SlideShare a Scribd company logo
1 of 70
I. DATA PASIEN
• Nama Pasien : Ny. T
• No RM : 5897**
• Tanggal Lahir : 02 Oktober 1974
• Usia : 48 Tahun
• Alamat : Jepara
• Pekerjaan : Swasta
• Tanggal MRS : 6 Mei 2022, jam 12.21 WIB
II. ANAMNESIS
• Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 9 Mei 2022 di Ruang Immanuel kamar no. 1E.
 Keluhan Utama
• Nyeri perut bawah
 Riwayat Penyakit Sekarang
• Pasien mengeluhkan nyeri perut bawah sejak 5 bulan lalu dan sering kambuh. Pada tanggal 6 Mei pasien
mengeluhkan nyeri perut bawah dan ulu hati sejak 3 hari yang lalu, demam (+) sejak 2 hari yang lalu, mual (+),
muntah (-), dada terasa panas hingga naik ke leher, belum BAB sejak 2 hari yang lalu, sudah ke RS bila duduk
pantat terasa nyeri. Pasien memiliki memiliki Riwayat jatuh dengan posisi terduduk sebelum dating ke rumah
sakit
 Riwayat Penyakit Dahulu
 Keluhan serupa:
Pernah, terjadi dalam kurun waktu 5 bulan. Pasien masuk dengan keluhan yang sama
 Trauma : terjatuh dengan posisi terduduk
 Hipertensi : disangkal.
 Penyakit jantung : disangkal.
 DM : disangkal.
 Asam Urat : disangkal.
 Dislipidemi : disangkal.
 Gastritis : ada
 Alergi : disangkal.
 Operasi : disangkal.
 Penyakit Ginjal : disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluhan serupa : disangkal
 Hipertensi : disangkal
 Penyakit jantung : disangkal
 DM : disangkal
 Asam urat : disangkal
 Kolesterol : disangkal
 Alergi : disangkal
•
 Riwayat Pengobatan
• Pasien tidak mengkonsumsi obat rutin serta tidak memiliki alergi
• Gaya Hidup
i. Merokok : (-)
ii. Alkohol : (-)
iii. NAPZA : (-)
iv. Olahraga : pasien jarang berolahraga
v. Pola makan : Pasien makan 1 atau 2x sehari. Proporsi makanseimbang antara nasi, lauk dan sayur
vi. Aktivitas : Aktivitas fisik ringan
III. PEMERIKSAAN FISIK STATUS GENERALIS
• Keadaan umum : Sedang
• Kesadaran : Compos mentis
• GCS : E4 V5 M6
• VAS : -
• Tanda Vital
• Tekanan darah : 127/72 mmHg
• Nadi : 96x/menit
• Respirasi : 22x/menit
• Suhu : 38,20 C
• Saturasi O2 : 99%
Status Lokalis
 Kepala
Normocephali, deformitas (-), jejas (-), mata cekung (-/-), konjungtiva anemis
(+/+), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+), pupil isokor, telinga simetris &
tidak ada kelainan, hidung simetris & tidak ada deformitas, bibir kering (-), bibir
sianosis (-), atrofi papil lidah (-)
 Leher
Simetris, pembengkakan (-), jejas (-), limfonodi dalam batas normal, tidak
teraba pembesaran kelenjar tiroid. Tidak ada peningkatan JVP.
 Thorax (Pulmo)
 Inspeksi : bentuk dada simetris, jejas (-), deformitas (-), retraksi
interkostal dan subkostal (-), SIC tampak melebar.
 Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus kanan kiri sama, pengembangan dada
simetris.
 Perkusi : sonor kedua lapang paru
 Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-).
 Thorax (Cor)
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra SIC V
 Perkusi : batas jantung dalam batas normal
 Auskultasi : suara jantung S1/S2 reguler , tidak ada suara tambahan
 Abdomen
 Inspeksi : distensi (-), jejas (-)
 Auskultasi : bunyi usus (+), peristaltik usus dalam batas normal
 Perkusi : nyeri ketuk (+) pada regio epigastrium, hypogastrium dan
inguinal kanan
 Palpasi : massa/benjolan (-), hepatomegaly (-), splenomegaly (-)
 Ekstremitas
 Ekstremitas atas : kulit tampak utuh, akral teraba hangat, CRT <2 detik,
sensibilitas baik, nyeri (-), keterbatasan gerak (-)
 Ekstremitas bawah : kulit tampak utuh, akral teraba hangat, CRT <2
detik, sensibilitas baik, nyeri gerak (-), keterbatasan gerak (-)
V. DIAGNOSIS SEKUNDER
• Hernia Nucleus Pulposus (HNP)
IV. DIAGNOSIS PRIMER
• IHD, Kongestif Hepar, Efusi Pleura, Gastritis, Adnexitis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 11.70 g/dL 11.7 - 15.5
Leukosit 5.30 Ribu/mmk 3.6 - 11.0
Hematokrit 34.40 [Low] % 36 - 46
Eritrosit 3.9 Juta/mmk 3.80 - 5.20
MCV 87 fL 80 - 100
MCH 30 pg 26.0 - 34.0
MCHC 34 g/dL 32.0 - 36.0
Trombosit 257 Ribu/mmk 150 - 400
RDW 11.4 [Low] % 11.5 - 14.5
PDW 12.0 fL 10 - 18
MPV 9.4 fL 6.8 - 10
Kimia
Gula Darah Stik 100 mg/dl 75 - 110
SGOT 18 U/L 13 - 35
SGPT 15 U/L 7 - 35
Imunoserologi
Dengue Ns1 Negatif Negatif
Dengue IgG Negatif Negatif
Dengue IgM Negatif Negatif
Kimia
Ureum 18.7 mg/dL 15 - 40
Creatinin 0.88 Mg/dL 0.6 - 1.1
eGFR (CKD-EPI) 78 [Low] mL/min/m
^2 > 90
Natrium 140.0 mmol/L 135 - 147
Kalium 3.48 [Low] Mmol/L 3.5 - 5.1
Urin Lengkap
Albumin Negatif Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Reaksi/pH <= 5.0 4.8 – 7.4
Urobilinogn Normal Normal
Benda Keton Negatif Negatif
Nitrit Positif Negatif
Berat Jenis <= 1.005 1.003 – 1.030
Darah Samar Negatif Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Bilirubin Urine Negatif Negatif
Sedimen
Epiten ren
(sedimen)
0 /LPK 0 – 1
Epitel Sel 5 - 7 /LPK 5 – 15
Eritrosit 0 - 1 /LPB 0 – 1
Leukosit 0 - 2 /LPB 0 – 15
Silinder 0
Parasit Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Pemeriksaan radiologi foto Thorax AP (6 Mei 2022)
• Kesan : Cor tak membesar, Pulmo aspek tenang
•
Pemeriksaan radiologi foto Lumbosakral AP/LAT (7 Mei 2022)
• Kesan : HNP L5-S1 (kanan), Spondylosis lumbalis (L2-5), tak tampak kompresi / listesis lumbalis
•
Pemeriksaan USG Abdomen (9 Mei 2022)
• Kesan : Gambaran congestif hepar dengan efusi pleura kanan, gambaran cairan bebas intra abdomen DD.
Ascites, mesenterial inflamasi dengan adneksitis, tak tampak gambaran apendisitis akut saat ini, penebalan
dinding gaster mendukung gambaran gastritis, penebalan dinding Gallbladder DD. Sekunder efusi dan
ascites, kolesistitis
•
Pemeriksaan EKG (6 Mei 2022)
• Kesan : Sinus Rhytmus, IHD anterior (T inverted V1-V3)
DAFTAR ABNORMALITAS
a. Anamnesis
- Nyeri perut bawah
- Nyeri ulu hati
- Nyeri punggung bawah dekat bokong
- Demam
- Mual
- Susah BAB
b. Pemeriksaan Fisik
Perut : Nyeri tekan epigastrium, hipogastrium, dan inguinal
Punggung : Nyeri tekan regio lumbal kanan
a. Pemeriksaan Penunjang
- RO Lumbosakral AP/LAT 7 Mei 2022
Gambaran HNP L5-S1 (kanan), Spondylosis Lumbalis (L2-5)
- USG Abdomen 9 Mei 2022
Gambaran Kongestif Hepar, Efusi Pleura disertai ascites, mesenterial inflamasi dengan
adneksitis, gastritis.
- EKG 6 Mei 2022
IHD anterior (T inverted V1-V3)
- Hipokalemia
- Fungsi Ginjal sedikit menurun (eGFR 70)
- Anemia (Hematokrit, RDW menurun)
TATALAKSANA Hipokalemia S: Mual, Konstipasi, Lemas
O: pemeriksaan lab Kalium 3.48 Mmol/L
A: Hipokalemia
P: KSR 600 mg tab 1x1
Efusi Pleura dan Ascites S: -
O: Pada pemeriksaan Rontgen dan USG
A: Efusi Pleura, Ascites
P: Furosemide 20 mg / 2 ml injeksi 1x1
Kongestif Hepar S: -
O: pada pemeriksaan USG
A: Kongestif Hepar
P: Spironolactone 25 mg tab 1x1 pagi
Gastritis S: Nyeri perut, nyeri ulu hati karena maag
O: USG penebalan dinding gaster
A: Gastritis
P: Rebamipid generik 100 mg 3x1
Antasida doen 60 ml sirup 3x1 C harus dikocok
sebelum minum, diminum saat perut kosong
Omeprazole 40 mg injeksi 2x1
HNP S: Nyeri punggung kanan
O: RO Lumbosacral HNP L5-S1, Spondylosis
lumbalis L2-5
A: HNP Lumbosacral
P: Methylprednisolone 125 mg injeksi 2x62.5
drip dalam NaCl 100
Meloxicam 15 mg tab 2x1
Adneksitis S: Nyeri punggung, demam
O: USG, mesenterial inflamasi dengan adneksitis
A: Adneksitis
P: Ceftriaxone 1 gr injeksi 2x1
Paracetamol 1500 mg / 100 ml infus 3 x 500 mg
IHD S: -
O: EKG, IHD anterior T invertid
A: IHD
P: ISDN 5 mg tab 3x1
Clopidogrel 75 mg tab 1-0-0
RENCANA TERAPI
Terapi rawat inap
- Clopidogrel 75 mg tab 1-0-0
- KSR 600 mg tab 1x1
- Furosemide 20 mg / 2 ml injeksi 1x1
- Spironolactone 25 mg tab 1x1 tablet pagi
- Rebamipid generik 100 mg tab 3x1
- Methylprednisolone 125 mg injeksi 2x62.5 drip dala NaCl 100
- Ceftriaxone 1 gr injeksi 2x1
- ISDN 5 mg tab 3x1
- Meloxicam 15 mg tab 2x1
- Antasida doen 60 ml sirup 3x1 C
- Paracetamol 1000 mg / 100 ml infus 3x500 mg
- Omeprazole 40 mg injeksi 2x1
Terapi rawat jalan
- Cefixime 200 mg Kaps 2x1
- Omeprazole 20 mg 1x1
- Furosemide uresix 40 mg 1x1
- ISDN 5 mg tab 3x1
- KSR 600 mg tab 1x1
- Meloxicam 15 mg tab 2x1
- Antasida doen 60 ml sirup 3x1 C
EDUKASI
- Edukasi mengenai kondisi pasien dan perjalanan penyakit pasien
- Edukasi mengenai obat yang dikonsumsi dan dosis yang diberikan
- Edukasi mengenai terapi berdasarkan penyakit pasien
Terapi rawat jalan
- Cefixime 200 mg Kaps 2x1
- Omeprazole 20 mg 1x1
- Furosemide uresix 40 mg 1x1
- ISDN 5 mg tab 3x1
- KSR 600 mg tab 1x1
- Meloxicam 15 mg tab 2x1
- Antasida doen 60 ml sirup 3x1 C
PROGNOSIS
Ad Vitam : bonam
Ad Functionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
BALANCE CAIRAN
- 09 Mei 2022 – 11 Mei 2022
Infus / Injeksi Minum Makan / Sonde Nama Obat
14-21.00 WIB 350 350 200 102 1002
21-07.00 WIB 350 200 100 650
07-14.00 WIB 600 300 200 212 1312
14-21.00 WIB 200 200 200 101 701
21-07.00 WIB 200 600 100 209 1109
07-14.00 WIB 200 200 150 212 762
INPUT
Tanggal / Jam TOTAL
HERNIA NUKLEUS PULPOSUS
A. Definisi
Hernia nukleus pulposus (HNP) mengacu pada kondisi terjadinya penonjolan dari
nucleus pulposus melalui anulus fibrosus dari diskus intervertebralis, herniasi diskus ke bagian
dorsalis yang masuk ke kanal tulang belakang atau foramen intervertebralis dapat
menyebabkan kompresi pada medula spinalis. (Bryne TN, 2000). American Association of
Neurological Surgeons (AANS) mendefinisikan sebagai fragmen nukleus pada diskus yang
terdorong keluar dari anulus ke kanal tulang belakang melalui anulus yang robek atau pecah.
(AANS,2014). Insiden HNP sering terjadi sekitar 5 sampai 20 kasus per 1000 orang dewasa
setiap tahun dan paling sering terjadi pada orang-orang pada dekade ketiga hingga kelima
kehidupan, dengan rasio pria dan wanita 2:1. (Dydyk AM, 2021)
B. Faktor Risiko
1. Mengangkat beban dengan cara yang tidak tepat.
 Menggunakan otot punggung dan bukan otot kaki sebagai tumpuan
untuk mengangkat benda berat dapat menyebabkan herniasi diskus.
 Memutar badan saat mengangkat beban.
2. Berat badan.
Kelebihan berat badan menambah kompresi diskus di punggung bawah
3. Kegiatan berulang yang meregangkan tulang belakang.
Pekerjaan yang banyak menuntut fisik dan memerlukan kekuatan untuk
mengangkat, menarik, membungkuk, atau memutar. Sering mengemudi, dan
tetap duduk untuk waktu yang lama, ditambah getaran dari mesin mobil. Dapat
memberikan tekanan pada tulang belakang dan diskus.
4. Gaya hidup.
Olahraga teratur berperan penting dalam aktivitas fisik dan menurunkan berat
badan yang berlebih.
C. Patogenesis
Diskus yang mengalami herniasi merupakan tahap awal proses degenerasi. Kanal
vertebra memiliki ruang terbatas, yang tidak adekuat untuk saraf tulang belakang dan bagian
diskus yang mengalami herniasi. Akibat pergeseran ini, diskus menekan pada saraf tulang
belakang. Kausa dari HNP dihubungkan dengan dengan proses degenerasi diskus
intervertebralis dan faktor mekanik, misalnya tekanan yang berlebihan atau peregangan yang
berlebihan pada diskus intervertebra. Cedera fleksi dapat terjadi pada saat pasien yang
bersangkutan sedang membungkuk sambil melakukan suatu aktivitas berat, misalnya mencabut
ubi, mengangkat beban berat, terjatuh dalam posisi duduk, terpeleset, dan sebagainya.
Aktivitas-aktivitas tersebut dapat mengakibatkan cedera fleksi yang memicu timbulnya HNP
tanpa ada cedera-cedera sebelumnya. (Pudjonarko, 2016)
D. Patofisiologi
Patofisiologi HNP sebagai kombinasi dari kompresi secara mekanis oleh nukleus
pulposus yang menonjol dan peningkatan lokal pada kemokin inflamasi. Herniasi lebih
mungkin terjadi posterolateral, di mana anulus fibrosus lebih tipis dan tidak memiliki dukungan
struktural dari ligamen longitudinal anterior atau posterior. Karena kedekatannya, herniasi
posterolateral lebih mungkin menekan akar saraf. Di sisi lain, kompresi sumsum tulang
belakang dan mielopati dapat terjadi jika ada herniasi diskus garis tengah yang besar. Nyeri
punggung yang terlokalisir merupakan kombinasi dari tekanan herniasi diskus pada ligamen
longitudinal, dan iritasi akibat inflamasi lokal. (Dydyk AM, 2021).
E. Klasifikasi
HNP terbagi dalam 4 grade berdasarkan keadaan herniasinya yaitu :
1. Protrusi diskus intervertebralis: nukleus terlihat menonjol ke satu arah tanpa
kerusakan annulus fibrosus.
2. Prolaps diskus intervertebral: nukleus berpindah, tetapi masih dalam lingkaran anulus
fibrosus.
3. Extrusi diskus intervertebral: nukleus keluar dari anulus fibrosus dan berada di bawah
ligamentum longitudinalis posterior.
4. Sequestrasi diskus intervertebral: nukleus telah menembus ligamentum
longitudinalis posterior. (Edgar G. Dawson and Howard S. An, 2019)
Nukleus pulposus yang mengalami herniasi ini dapat menekan nervus di dalam medulla
spinalis jika menembus dinding diskus (annulus fibrosus) : hal ini dapat menyebabkan nyeri,
rasa tebal, rasa keram, atau kelemahan. Rasa nyeri dari herniasi ini dapat berupa nyeri mekanik,
yang berasal dari diskus dan ligamen : inflamasi, nyeri yang berasal dari nucleus pulposus yang
ekstrusi menembus annulus dan kontak dengan pembuluh darah; dan nyeri neurogenik, yang
berasal dari penekanan pada nervus. (AANS, 2019).
F. Kriteria Diagnosis
Diagnosis Hernia Nukleus Pulposus (HNP) ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Pasien biasanya datang dengan gejala klinis nyeri punggung bawah yang
menjalar hingga ke kaki. Pada pemeriksaan fisik neurologis dapat ditemukan tes Laseque dan
Patrick yang positif. Pemeriksaan penunjang MRI merupakan gold standar dalam menentukan
diagnosis HNP. (Mayo Clinic, 2019).
G. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan nyeri pasien,
misalnya frekuensi nyeri, interval, lokasi nyeri, sifat nyeri, penjalaran, apa aktivitas yang
memprovokasi nyeri, serta hal-hal yang memperberat nyeri dan meringankan nyeri.
Selain mengenai nyerinya, tanyakan pula pekerjaan pasien, riwayat trauma, dan riwayat
merokok karena merupakan faktor risiko terjadinya HNP. Anamnesis juga diarahkan untuk
mencari redflag nyeri punggung bawah, misalnya inkontinensia fekal, skiatika, dan
spondiloartropati. (Benjamin Ma, 2009).
H. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik terlihat gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi
tungkai yang nyeri dengan fleksi di sendi panggul dan lutut, serta kaki yang berjingkat. Dalam
pemeriksaan fisik juga perhatikan daerah yang mengalami spasme dan ketegangan otot,
kelemahan otot, atrofi otot, atau perubahan sensoris yang dialami ekstremitas bawah.
Perhatikan pula postur dan keadaan umum dan menyuruh pasien untuk fleksi, ekstensi, dan
rotasi untuk mengetahui range of motion yang dapat digapai pasien dan untuk mengidentifikasi
gerakan yang dapat menimbulkan nyeri. (Mayo Clinic, 2019).
Terdapat beberapa pemeriksaan fisik neurologis yang dapat dilakukan pada pasien dengan
HNP, antara lain adalah tes Laseque dan Patrick.
1. Straight Leg Raise (Laseque) Test
Tes untuk mengetahui adanya jebakan nervus ischiadicus. Pasien tidur dalam posisi supinasi
dan pemeriksa memfleksikan panggul secara pasif, dengan lutut dari tungkai terekstensi
maksimal. Tes ini positif bila timbul rasa nyeri pada saat mengangkat kaki dengan lurus,
menandakan ada kompresi dari akar saraf lumbar.
Tes Laseque ini memiliki nilai sensitivitas yang tinggi (80-97%) untuk penonjolan diskus
lumbar, namun memiliki nilai spesifitas yang rendah (sekitar 40%), karena tes ini memberikan
hasil positif juga untuk nyeri ischialgia lainnya. (Lyndsay A, 2007).
1. Patricks Test atau Flexion, Abduction and External Test (FABER Test)
Tes Patrick merupakan skrining pasif untuk kelainan pada muskuloskeletal seperti daerah
panggul, lumbal dan disfungsi sendi sakroiliaka. Pasien diposisikan dalam posisi supine dan
calcaneus menyentuh patella. Tangan pemeriksa berada di spina iliaka anterior superior (SIAS)
dan bagian medial dari lutut, setelah itu diberikan kompresi. Tes ini positif bila timbul rasa
nyeri pada sendi sakroiliaka yang diuji. Tes ini memiliki nilai sensitivitas 54-66% dan nilai
spesifitas 51-62%. (Ozgocmen S, 2008).
Adapun pemeriksaan fisik lainnya seperti :
2. Tanda Kerning
Pada pemeriksaan ini penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian
panggung sampai membuat sudut 90 derajat. Selain itu tungkai bawah diekstensikan pada
persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat, antara
tungkai bawah dan tungkai atas, bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut
ini, maka dikatakan tanda kerning positif. (Robin A, 2007).
3. Ankle Jerk Reflex
Dilakukan pengetukan pada tendon Achilles. Jika tidak terjadi dorsofleksi pada kaki, hal ini
mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L5-S1. (Robin A, 2007)
5 .Knee-Jerk Reflex
Dilakukan pengetukan pada tendon lutut. Jika tidak terjadi ekstensi pada lutut, hal ini
mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L2-L3-L4. (Robin A,
2007).
I. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis dan menyingkirkan
diagnosis bandingnya. Pada HNP dapat dilakukan imaging diantaranya foto X-Rray, CT-scan
dan MRI.
X-Ray tidak dapat menunjukkan herniasi diskus secara langsung. X-ray digunakan
dalam pemeriksaan pasien yang diduga mengalami herniasi diskus adalah untuk menunjukkan
bukti tidak langsung dari degenerasi diskus, seperti penyempitan ruang diskus, perubahan
endplate, osteofit, degenerasi facet-joint, dan perubahan keseimbangan sagittal (Deepak
Gautam, 2021)
Foto X-Ray merupakan pemeriksaan yang dipilih di awal. Pemeriksaan dilakukan pada
posisi anteroposterior dan lateral. Biasanya akan terlihat adanya spondylolisthesis dan
ostheophytes (Klezl Z, 2012).
CT Scan merupakan tes yang paling sensitif untuk memeriksa struktur tulang belakang.
CT Scan juga dapat menunjukkan hernia yang terkalsifikasi ataupun kerusakan tulang. Pada
pasien yang tidak dapat atau tidak memenuhi syarat untuk menjalani MRI, CT myelography
dapat digunakan sebagai alternatif untuk memvisualisasikan herniasi diskus (Samir S, 2021)
MRI merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk mendeteksi kelainan diskus
intervertebral. MRI menampilkan gambaran tiga dimensi medulla spinalis dan dapat
mengetahui apabila terjadi kompresi. MRI selain dapat mengidentifikasi kompresi medulla
spinalis dan radiks saraf juga dapat digunakan untuk mengetahui beratnya perubahan
degeneratif pada diskus intervertebral (Klezl Z, 2012).
J. Tatalaksana
 Perawatan Konservatif: Radikulopati servikal akut akibat herniasi diskus biasanya
ditangani dengan perawatan non-bedah karena sebagian besar pasien (75 hingga
90%) akan membaik.
1. Imobilisasi Collar: Pada pasien dengan nyeri leher akut, imobilisasi jangka
pendek (kira-kira satu minggu) mungkin bermanfaat selama periode inflamasi
akut.
2. Traksi: Mungkin bermanfaat dalam mengurangi gejala radikular yang terkait
dengan herniasi diskus. Traksi akan memperlebar neuroforamen dan
menghilangkan stres yang ditempatkan pada saraf yang terkena, yang, pada
gilirannya, akan menghasilkan perbaikan gejala. Terapi ini melibatkan
penempatan sekitar 8 hingga 12 pon traksi pada sudut sekitar 24 derajat fleksi
leher selama periode 15 hingga 20 menit.
3. Farmakoterapi: Dokter dapat mempertimbangkan anti-inflamasi steroid
(biasanya prednison) pada nyeri akut yang parah untuk waktu yang singkat.
Regimen tipikal adalah prednison 60 hingga 80 mg/hari selama lima hari, yang
kemudian dapat diturunkan perlahan-lahan hingga 14 hari berikutnya.
Antidepresan (amitriptyline) dan antikonvulsan (gabapentin dan pregabalin)
dapat digunakan untuk mengobati nyeri neuropatik, dan dapat memberikan
efek analgesik sedang.
4. Terapi Fisik: Biasanya diresepkan setelah istirahat dan imobilisasi singkat.
Modalitas meliputi latihan rentang gerak, latihan penguatan, es, panas,
ultrasound, dan terapi stimulasi listrik. (Samir, 2021)
 Perawatan Bedah: Indikasi untuk intervensi bedah termasuk gangguan neurologis
yang parah atau progresif dan rasa sakit yang signifikan yang refrakter terhadap
tindakan non-operatif. (Samir, 2021)
KONGESTIF HEPATOPATHY
A. Definisi
Congestive hepatopathy, yang sebelumnya sering disebut cardiac cirrhosis merupakan
gangguan hati yang terjadi pada kondisi gagal jantung kanan. Kelainan hati dalam perjalanan
gagal jantung sudah lama diketahui, namun studi yang menjelaskan hubungan ini relative
sedikit, dan hasilnya sering berbeda beda. Hal ini dikarenakan etiologi gagal jantung yang telah
mengalami perubahan, dari awalnya berhubungan dengan penyakit katup rematik, sekarang
lebih banyak karena kardiomiopati iskemik. Istilah cardiac cirrhosis merupakan congestive
hepatopathy yang menimbulkan fibrosis hati. Namun, hasil pengobatan medis yang efisien
membuat kondisi ini menjadi jarang terjadi. Saat ini, terminology congestive hepatopathy lebih
tepad digunakan menggantikan cardiac cirrhosis. Congestive hepatopathy terjadi pada gagal
jantung akut ataupun kronis sehingga dapat ditemukan pada kebanyakan kasus.
B. Etiologi
Penyebab congestive hepatopathy antara lain semua kondisi yang menyebabkan
penyumbatan pasif akibat peningkatan tekanan ventrikel kanan dan gagal jantung kanan yaitu
: pericarditis konstriktif, hipertensi arteri pulmonal berat, stenosis mitral, regurgitasi tricuspid,
cor-pulmonale, kardiomiopati iskemik, pasca-operasi dengan prosedur fontan untuk atresia
pulmonal, dan sindrom jantung kiri hypoplasia.
C. Patofisiologi
Pada gagal jantung kronis terjadi mekanisme kegagalan mundur (backward failure)
yaitu kondisi kerusakan jantung yang berkembang kearah berlawanan dari aliran darah di
jantung. Pada keadaan ini terjadi peningkatan tekanan vena karena disfungsi ventrikel kanan
mengakibatkan atrofi hepatosit dan edema perisinusoid, sehingga mengganggu difusi oksigen
dan nutrient ke hepatosit. Peningkatan tekanan pengisian jantung kanan ditransmisikan ke
sinusoid hati sentrilobular yang akan menekan struktur lobulus, yaitu kanalikuli dan ductus
biliaris. Hal ini memicu kerusakan ductus biliaris karena merusak sel endotel dan ikatan kuat
intrahepatosit yang memisahkan rongga ekstravaskuler dari kanalikuli biliaris, sehingga terjadi
kolestasis. Ditambah terjadinya peningkatan pembentukan limfe hati yang juga akibat
kegagalan mundur, akan menghasilkan asites saat laju produksinya melebihi kekampuan
drainase. Terjadi stagnasi aliran darah, thrombosis di sinusoid, venula, dan jalur vena porta
berlanjut timbulnya aktivasi fibroblast dan deposisi kolagen, akhirnya terjadi fibrosis hati.
D. Gejala Klinis
Kondisi gagal jantung kanan dapat asimptomatis. Gejala nyeri ringan dan tumpul di
perut kanan atas disebabkan peregangan kapsul hati. Pada pasien gagal jantung kanan kronis
paling sering ditemukan hepatomegaly dengan batas halus dan tegas disertai edema perifer.
Pemeriksaan tekanan vena jugularis (JVP) penting karena pada kondisi ini terjadi refluks
hepatojugular, sehingga JVP meningkat. Asites terjadi pada hamper 25% pasien dan
splenomegaly biasanya tidak ditemukan. Beberapa pasien merasa lemah, mual, muntah, dan
nocturia. Ikterus jarang dilaporkan. Bila kegagalan jantung kanan diawali gagal jantung kiri,
pasien mengalami gagal jantung biventrikel. Pada kondisi ini, dapat muncul gejala gagal
jantung kiri seperti : sesak saat beraktivitas (dyspnea deffort), sesak malam hari (paroxysmal
nocturnal dispnea), sesak saat berbaring (orthopnea) mengi dan mudah lelah.
E. Data Laboratorium
Pada congestive hepatopathy sering di- temukan peningkatan parameter biokimia
fungsi hati sebesar 2-3 kali batas normal atas, termasuk AST/aspartate aminotrans- ferase
(SGOT/Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), ALT/alanine aminotransferase
(SGPT/Serum Glutamic-Pyruvic Transaminase), LDH (Lactate Dehydrogenase), GGT
(Gamma- Glutamyl Transpeptidase), dan ALP (alkaline phosphatase). Hiperbilirubinemia
akibat peningkatan bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi juga sering didapat; kadar
bilirubin total jarang mencapai >3 mH/dL. Peningkatan GGT, ALP, dan bilirubin juga
menunjukkan kolestasis. Derajat keparahan kolestasis berhubungan dengan keparahan gagal
jantung, peningkatan tekanan atrium kanan, regurgitasi trikuspid, dan peningkatan serum BNP
(Brain Natriuretic Peptide), yaitu polipeptida yang disekresikan ventrikel jantung sebagai
respons terhadap peregangan otot jantung berlebihan.
Kongesti hati kronis juga akan menyebab- kan perpanjangan prothrombin time dan penurunan
albumin serum yang dapat menyebabkan mortalitas pada pasien dengan penurunan Fraksi
ejeksi.
F. Terapi
Tidak ada studi prospektif untuk mengevaluasi terapi congestive hepatopathy. Karena tidak
ada data bahwa kondisi ini memperburuk morbiditas dan mortalitas pengobatan lebih
ditujukan pada penyakit dasar yaitu penyebab yang meningkatkan tekanan jantung kanan dan
penyumbatan vena hati. yang perlu diperhatikan adalah: rawat inap untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit Kantung iskemik dan untuk pemberian diuretik secara intravena. pada
sebagian besar kasus diuretik adalah landasan terapi awal untuk meredakan gejala. Setelah
kondisi euvolemik beta-blocker dan ACE-inhibitor harus diberikan bila penyebab diawali
kegagalan ventrikel kiri. Spironolakton dipertimbangkan bila gagal jantung memasuki
functional class III atau IV (NYHA). ACE-inhibitor dan beta-blocker adalah terapi utama
untuk gagal jantung kronis dan congestive hepatopathy. ACEinhibitor meningkatkan cardiac
output dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri dengan efek vasodilatasinya.
beberapa ACE-inhibitor adalah prodrug yang perlu diubah oleh hati agar menjadi metabolit
aktif sehingga penggunaan obat tersebut seringkali tidak efektif karena itu diperlukan
pengamatan efikasi pada pasien. ACE-inhibitor yang sering digunakan di Indonesia kaptopril
dan lisinopril adalah bentuk obat aktif. penggunaannya tidak memerlukan perubahan dosis
pada kelainan hati. untuk pasien yang terganggu efek samping batuk ACE-inhibitor
direkomendasikan golongan Angiostensin Receptor Blocker ARB. Losartan dimetabolisme
menjadi metabolit aktif dengan karboksilasi hati karena itu pada gangguan hati
bioavailabilitasnya menjadi dua kali lipat dan eliminisasi dari plasma menjadi setengahnya
oleh karena itu disarankan dosis awal lebih rendah. pada valsartan dan irbesartan konversi
metabolisme yang terjadi sangat kecil sehingga lebih disarankan untuk penderita gangguan
hati karena tidak diperlukan perubahan dosis. golongan beta-blocker seperti propranolol
diberikan secara hati-hati karena dimetabolisme di hati. pada sirosis konsentrasi dalam darah
meningkat 2.5 kali normal karena itu perlu dipertimbangkan perubahan dosis. perubahan
dosis tidak diperlukan pada jenis beta-blocker lain.
Obat golongan ini terbukti menurunkan mortalitas penderita gagal jantung hingga 30%
untuk golongan diuretik loop diuretic seperti furosemid digunakan untuk mengatur volume
pada pasien gagal jantung karena efek natriuretiknya lebih besar dibandingkan diuretik lain.
Namun, respons farmakologi pasien disfungsi hati dan gagal jantung berkurang dibandingkan
dengan individu sehat. Perubahan dosis tidak perlu bila fungsi ginjal normal.
Amiodaron terbukti efektif menekan aritmia ventrikel pada pasien gagal jantung.
Meskipun dimetabolsme dihati, tidak diperlukan penyesuain dosis. Obat golongan stain
dikontraindikasikan jika peningkatan serum transaminase > 3 kali normal, karena
dimetabolsme di hati.
ISCHEMIC HEART DISEASE
A. Definisi
Ischemia adalah suatu keadaan kekurangan oksigen pada jaringan yang
bersifatsementara dan reversibel. Ischemia yang lama akan menyebabkan kematian otot
ataunekrosis. (Muttagin.2009)
Ischemia adalah suplai darah yang tidak adekuat ke suatu daerah. Jika mengalami
ischemia, jaringan tersebut akan kehilangan suplai oksigen dan zat-zat makanan yang
dibutuhkan. (Price &Wilson. 2005)
Ischemic Heart Disease (IHD) atau penyakit jantung ischemik
adalahketidakseimbangan antara kebutuhan perfusi jantung dan pasokan darah
teroksigenasidari arteri koronaria. Hasilnya bisa berupa iskemia miokard transien (angina)
atauischemia berkepanjangan yang mengakibatkan kerusakan miosit (sindrom koroner
akut).(Brashers. 2007)
B. Etiologi
Penyakit jantung coroner dapat disebabkan oleh beberapa hal :
1. Penyempitan (stenosis) dan penciutan (spasme) arteri koronaria, tetapi penyempitan bertahap
akan memungkinkan berkembangnya kolateral yang cukup sebagai pengganti.
2. Aterosklerosis, menyebabkan sekitar 98% kasus PJK.
3. Penyempitan arteri koronaria pada sifilis, aortitis takayasu, berbagai jenis arteritisyang
mengenai arteri coronaria, dll
C. Faktor Resiko
Alkohol, diabetes militus, obat obatan yang menyebabkan hipertensi misalnya :
golongan mineralokortikoid, NSAIDs, amfetamin, antidepresan trisiklik, dan lain lain,
hiperlipoproteinemia, hipertensi, obesitas, merokok
D. Patofisiologi
1. Perubahan awalterjadinya penimbunan plak-plak aterosklerosis
2. Perubahan intermediatePlak semakin besar dan terjadi obstruksi dari lumen arteri koroner
epikardium. Halini menyebabkan peningkatan sirkulasi darah sebanyak 2-3 kali lipat akibat
olahragatidak dapat dipenuhi. Keadaan ini disebut Iskemia dan manifestasinya dapat
berupaAngina atau nyeri pada dada akibat kerja jantung yang meningkat
3. Perubahan akhir
Terjadi ruptur pada ‘cap’ atau bagian superficial dari plak sehingga akan terjadi suatu situasi
yang tidak stabil dan bebagai macam manifestasi klinik seperti Angina at restatau Infark
Miokard. Dengan terpaparnya isi plak dengan darah, akan memicuserangkaian proses platetel
agregasi yang pada akhirnya akan menambah obstruksidari lumen pembuluh darah tersebut
4. Iskemia miokardPeristiwa ini akan menimbulkan serangkaian perubahan pada fungsi
diastolik, lalukemudian pada fungsi sistolik. Menyusul dengan perubahan impuls
listrik(gelombang ST-T) dan akhirnya timbullah keadaan Infark Miokard.
a. Angina stabil : Bila obstruksi pada arteri koroner ≥ 75%
b. Unstable angina : Bila terjadi ruptur dari plak ateromatosa
c. Angina Prinzmetal : Bila terjadi vasospasme dari arteri koroner utama
E. Manifestasi Klinis
Angina pectoris, angina stabil, angina prinzmetal, angina tak stabil, infark miokard, silent myocardial ischemic
(SMI), gagal jantung, disritmia cordis
F. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG (Elektrokardiografi)Adanya gelombang patologik disertai peninggian S-T segmen
yang konveks dandiikuti gelombang T yang negative dan simetrik. Kelainan Q menjadi lebar
(lebih dari0,04 sec) dan dalam (Q/R lebih dari ¼).
b. Laboratorium
- Creatin fosfakinase (CPK). Iso enzim CKMB meningkatHal ini terjadi karena kerusakan
otot, maka enzim intra sel dikeluarkan ke dalamaliran darah. Normal 0-1 mU/mL.
-SGOT (Serum Gluramic Oxalotransaminase
Test) Nomal kurang dari 12 mU/mL. kadar enzim ini naik pada 12-24 jam setelahserangan.
-LDH (Lactic De-Hydrogenase) Normal kurang dari 195 mU/mL. kadar enzim biasanya baru
mulai naik setelah 48 jam.Pemeriksaan lain : Ditemukan peninggian LED, Lekositosis
ringan, dan kadangHiperglikemi ringan.
c. Kateterisasi : Angiografi koroner untuk mengetahui derajat obstruksi.
d. Radiology : Pembesaran dari jantung
G. Tatalaksana
Istirahat total, diet makanan lunak/saring serta rendah garam, pasang infus untuk persiapan pemberian obat
intravena, diberikan diuretic untuk meningkatkan aliran darah ginjal, diberikan nitrat untuk mengurangi aliran
balik vena dan melemaskan arteri, oksigen 2-4 l/menit, anti koagulan.
EFUSI PLEURA
A. Definisi
Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer
jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. efusi dapat berupa cairan
jernih, yang mungkin merupakan transudate, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus. Efusi
pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan
visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit
sekunder terhadap penyakit lain. secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil
cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural
bergerak tanpa adanya friksi (Utama, 2018:18).
Efusi pleura merupakan keadaan terdapat cairan dalam jumlah berlebihan di dalam
rongga pleura. Pada kondisi normal, rongga ini hanya berisi sedikit cairan ekstrasel yang
melumasi permukaan pleura. Peningkatan produksi atau penurunan pengeluaran cairan akan
mengakibatkan efusi pleura. Empiema merupakan penumpukan pus dan jaringan nekrotik di
dalam rongga pleura. Darah (hemotoraks) dan kilus atau cairan getah bening (kilotoraks) dapat
pula terkumpul di daerah ini (Kowalak, 2011:250)
B. Etiologi
Menurut (Kowalak, 2011:250) efusi pleura transudatif sering terjadi karena gagal
jantung, penyakit hepar yang disertai asites, dialysis peritoneal, hipoalbuminemia, dan
gangguan yang menimbulkan peningkatan volume intravaskuler secara berlebihan. Efusi
pleura eksudatif terjadi pada tuberkulosis (TB), abses subfrenikus, pankreatitis, pneumonitis,
atau empyema bakterialatau fungus, malignansi, emboli paru dengan atau tanpa infark paru,
penyakit kolagen (lupus eritematosus [LE] serta asrtritis rematoid), miksedema, dan trauma
dada. Empiema dapat terjadi karena infeksi idiopatik atau dapat berkaitan dengan pneumonitis,
karsinoma, perforasi, atau ruptura esofagus.
Transudat adalah cairan pleura dalam keadaan normal yang jumlahnya sedikit.
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada meningkatnya tekanan kapiler
sistemik, meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, menurunnya tekanan koloid osmotik dalam
pleura, dan menurunnya tekanan intra pleura (Sudoyo, 2009:2330).
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya
abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudate. Terjadinya
perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura.
Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening.
Kegagalan aliran protein getah bening akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein
cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat (Sudoyo, 2009:2331).
Menurut (Padila, 2012:120), kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses
penyakit neoplastic, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh
sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar :
a. Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik.
b. Penurunan tekanan osmotik koloid darah.
c. Peningkatan tekanan negatif intrapleural.
d. Adanya inflamasi atau neoplastic pleura.
C. Tanda dan Gejala
Pasien efusi pleura secara khas memperlihatkan keluhan dan gejala yang berkaitan dengan
kondisi patologis yang mendasari. Sebagian besar pasien dengan efusi yang luas, khususnya pasien
yang menderita penyakit paru sebagai penyebab yang mendasari, akan mengeluh sesak napas
(dispnea). Keluhan ini pada keadaan efusi yang berkaitan dengan pleuritis akan disertai keluhan
nyeri pleuritik dada. Gambaran klinis lain bergantung pada penyebab efusi. (Kowalak, 2011:251).
Menurut (Padila, 2012:120), tanda dan gejala dari efusi pleura adalah sebagai berikut :
1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan,
setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan
sesak napas.
1. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritic (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosis), banyak keringat, batuk, banyak riak.
2. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi
penumpukan cairan pleural yang signifikan.
3. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang
bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi
didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk
garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
4. Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani
dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah
pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi
daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki.
5. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
D. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan
osmotik plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk
ke dalam rongga pleura (Sudoyo, 2009:2329).
Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5ml cairan yang cukup untuk membasahi
seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Sebagian cairan ini diserap kembali
oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir ke dalam
pembuluh limfe sehingga aliran cairan disini mencapai 1 liter sehariannya (Padila, 2012:121).
Tekanan yang seimbang dalam kapiler pleura viseralis meningkatkan reabsorpsi cairan
ini. Tekanan hidrostatik yang berlebihan atau tekanan osmotik yang menurun dapat
menyebabkan cairan berlebihan tersebut mengalir melintasi kapiler yang utuh. Akibatnya akan
terjadi efusi pleura transudatif. Sedangkan ketika kapiler memperlihatkan peningkatan
permeabilitas dengan atau tanpa perubahan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid,
dapat mengakibatkan efusi pleura eksudatif (Kowalak, 2011:250-251).
E. Klasifikasi
Transudat adalah cairan pleura dalam keadaan normal yang jumlahnya sedikit. Transudat
terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi
terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh
pleura lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada meningkatnya tekanan kapiler sistemik,
meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura,
dan menurunnya tekanan intra pleura (Sudoyo, 2009:2330).
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang
permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein
transudate. Terjadinya perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan
pada pleura. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah
bening. Kegagalan aliran protein getah bening akan menyebabkan peningkatan konsentrasi
protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat (Sudoyo, 2009:2331).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang atau diagnostik untuk mengetahui adanya efusi pleura pada
selaput paru ada beberapa cara, yaitu
1. Foto Toraks (X-Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan
seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila
permukaannya horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut
yang dapat berasal dari luar atau dalam paru-paru sendiri. Kadang-kadang sulit membedakan
antara bayangan cairan bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu
pemeriksaan foto dada dengan posisi lateral dekubitus. Cairan bebas akan mengikuti posisi
gravitasi (Sudoyo, 2009:2329-2330).
Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva, karena terperangkap atau
terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru-paru yang berbatasan dengan
permukaan atas diafragma. Cairan ini dinamakan juga sebagai efusi subpulmonik.
Gambarannya pada sinar tembus sering terlihat sebagai diafragma yang terangkat. jika terdapat
bayangan dengan udara dalam lambung, ini cenderung menunjukkan efusi subpulmonik.
Begitu juga dengan bagian kanan di mana efusi subpulmonik sering terlihat sebagai bayangan
garis tipis (fisura) yang berdekatan dengan diafragma kanan. Untuk jelasnya bisa dilihat dengan
foto dada lateral dekubitus, sehingga gambaran perubahan efusi tersebut menjadi nyata
(Sudoyo, 2009:2330).
Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus paru (biasanya
lobus bawah) dan terlihat dalam foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus, bisa juga
mengumpul di daerah paramediastinal dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris, bisa
juga terdapat secara paralel dengan sisi jantung, sehingga terlihat sebagai kardiomegali
(Sudoyo, 2009:2329-2330).
Jumlah cairan minimal yang dapat terlihat pada foto toraks tegak adalah 250-300 ml.
Bila cairan kurang dari 250 ml (100-200 ml), dapat ditemukan pengisian cairan di sinus
kostofrenikus posterior pada foto toraks lateral tegak.
1. Ultrasonografi
Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya cairan dalam
rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi
cairan terutama pada efusi yang terlokalisasi (Sudoyo, 2009:2330).
2. CT scan
Pemeriksaan CT scan/dada dapat membantu. Adanya perbedaan densitas cairan dengan
jaringan sekitarnya, sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi pleura (Sudoyo,
2009:2330).
1. Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostic
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai
jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-
1500 cc pada setiap kali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu
kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut.
(Sudoyo, 2009:2330).
2. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik penyakit
pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu. (Sudoyo,
2009:2331).
3. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme,
apalagi bila cairannya purulent, (menunjukkan empiema). Efusi yang purulent dapat
mengandung kuman-kuman yang aerob atau anaerob (Sudoyo, 2009:2331)..
4. Biopsi Pleura
Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura.
(Sudoyo, 2009:2331).
G. Tatalaksana
Efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalu sela
iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multilokular, perlu
tindakan operatif (Sudoyo, 2009:2332). Selain itu, bisa dilakukan pengobatan sebagai berikut :
1. Water Seal Drainase
WSD adalah suatu unit yang bekerja sebagai drain untuk mengeluarkan udara dan cairan
melalui selang dada. Bertujuan untuk mengeluarkan udara, cairan, atau darah dari rongga pleura,
mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura, mengembangkan kembali paru yang kolap dan
kolap sebagian, dan mencegah reflux drainase kembali ke dalam rongga dada (Padila, 2012:123).
GASTRITIS
A. Definisi
Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung yang diakibatkan oleh diet yang tidak benar,
atau makanan atau yang mengandung mikroorganisme penyebab penyakit. Sedangkan menurut
Mansjoer, gastritis akut adalah lesi mukosa akut berupa erosi atau perdarahan akibat faktor-
faktor agresif atau akibat gangguan sirkulasi akut mukosa lambung.
Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung, secara
histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut.
Gastritis adalah episode berulang nyeri epigastrium, gejala sementara atau cepat hilang, dapat
berhubungan dengan diet, memiliki respon yang baik dengan antasid atau supresi asam.
Dari beberapa pengertian tentang gastritis menurut para ahli, penulis dapat
menyimpulkan bahwa gastritis adalah inflamasi yang terjadi pada mukosa lambung ditandai
dengan adanya radang pada daerah tersebut yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan
yang dapat meningkatkan asam lambung (seperti makanan yang asam atau pedas) atau bisa
disebabkan oleh kebiasaan merokok dan minum alkohol.
Gastritis dibagi menjadi 2 yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. Gastritis akut adalah
kelainan klinis akut yang jelas penyebabnya dengan tanda dan gejala yang khas, biasanya
ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil. Sedangkan gastritis kronik merupakan suatu
peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun, yang disebabkan oleh ulkus
dan berhubungan dengan Helicobacter pylori.
B. Epidemiologi
Gastritis merupakan masalah kesehatan yang umum ditemui dalam pelayanan
klinis.Sekitar 10% kunjungan pada unit gawat darurat merupakan kasus gastritis. Berdasarkan
penelitian WHO (Word Health Organization) dilaporkan prevalensi gastritis dibeberapa negara
sebagai berikut : Inggris 22%,China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan Perancis 29,5%.
Sekitar 1,8-2,1 juta penduduk mengalami gastritis setiap tahunnya.
B. Etiologi
Menurut Mansjoer, penyebab gastritis adalah :
1. Gastritis Akut
1. Penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid
dalam dosis rendah sudah dapat menyebabkan erosi mukosa lambung.
2. Alkohol
Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan
membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada
kondisi normal.
3. Gangguan mikrosirkulasi mukosa lambung : trauma, luka bakar
4. Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi
berat dapat menyebabkan gastritis dan perdarahan pada lambung.
2. Gastritis Kronik
Pada gastritis kronik penyebab tidak jelas, tetapi berhubungan dengan
Helicobacter pylori, apalagi ditemukan ulkus pada pemeriksaan penunjang.
Sedangkan menurut Brunner & Suddarth, penyebab gastritis adalah :
1. Gastritis Akut
Gastritis akut sering disebabkan akibat diet yang tidak benar. Penyebab lain dari
gastritis akut mencakup alcohol, aspirin, refluks empedu atau terapi radiasi.
2. Gastritis Kronik
Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau maligna dari
lambung, atau oleh bakteri Helicobacter pylori.
C. Faktor Risiko
1. Pola Makan
Terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh pola makan yang tidak baik dan tidak teratur,
a. Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan kuantitatif.
Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut
sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika
rata-rata, umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun
menyesuaikan dengan kosongnya lambung.
Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Pada
saat perut harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung akan
mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri. Secara alami lambung akan
terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam jumlah yang kecil, setelah 4-6 jam
sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam darah telah banyak terserap dan terpakai
sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam lambung terstimulasi.
Bila seseorang telat makan sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin
banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri
di seitar epigastrium. Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk
beradaptasi. Jika hal itu berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga
dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal
tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan
yang menimbulkan rasa panas terbakar. Produksi asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh
pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut secara refleks
akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan
dapat merangsang sekresi asam lambung.
b. Jenis Makanan.
Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan diserap
akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang. Menyediakan variasi
makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat menyebabkan gangguan
pencernaan, seperti halnya makanan pedas. Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan
akan merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini
akan mengakibatkan rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah.
Gejala tersebut membuat penderita makin berkurang nafsu makannya.
Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas lebih dari satu kali dalam seminggu
selama minimal 6 bulan dibiarkan terus-menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung
Presentasi1.pptx
Presentasi1.pptx
Presentasi1.pptx

More Related Content

Similar to Presentasi1.pptx

Seorang anak laki laki dengan sindrom syok dengue
Seorang anak laki laki dengan sindrom syok dengueSeorang anak laki laki dengan sindrom syok dengue
Seorang anak laki laki dengan sindrom syok dengueArgo Dio
 
PPT LAPKAS AMAY.pptx
PPT LAPKAS AMAY.pptxPPT LAPKAS AMAY.pptx
PPT LAPKAS AMAY.pptxSuciMayvera1
 
Morning report materi Gout Arthritis.pptx
Morning report materi Gout Arthritis.pptxMorning report materi Gout Arthritis.pptx
Morning report materi Gout Arthritis.pptxAnumillahAriniZidna1
 
Nurtika CBD Diare Kronis.pptx
Nurtika CBD Diare Kronis.pptxNurtika CBD Diare Kronis.pptx
Nurtika CBD Diare Kronis.pptxNurtika2
 
HHS in Diabetic Person
HHS in Diabetic PersonHHS in Diabetic Person
HHS in Diabetic PersonRafi Mahandaru
 
MR 4 Periode maret arthritis gout akut.pptx
MR 4 Periode maret arthritis gout akut.pptxMR 4 Periode maret arthritis gout akut.pptx
MR 4 Periode maret arthritis gout akut.pptxIndahTI
 
TN BBS ADHF (1).pptx
TN BBS ADHF (1).pptxTN BBS ADHF (1).pptx
TN BBS ADHF (1).pptxRenalYusuf2
 
119497230 gastropati-nsaid
119497230 gastropati-nsaid119497230 gastropati-nsaid
119497230 gastropati-nsaidRais Reskiawan
 
COD Tn MN Miki.ppt
COD Tn MN Miki.pptCOD Tn MN Miki.ppt
COD Tn MN Miki.pptssusere14e57
 
Preskas Cardioembolic Stroke.pdf
Preskas Cardioembolic Stroke.pdfPreskas Cardioembolic Stroke.pdf
Preskas Cardioembolic Stroke.pdfIvyN7
 

Similar to Presentasi1.pptx (20)

Seorang anak laki laki dengan sindrom syok dengue
Seorang anak laki laki dengan sindrom syok dengueSeorang anak laki laki dengan sindrom syok dengue
Seorang anak laki laki dengan sindrom syok dengue
 
PPT LAPKAS AMAY.pptx
PPT LAPKAS AMAY.pptxPPT LAPKAS AMAY.pptx
PPT LAPKAS AMAY.pptx
 
Pkb hnp
Pkb hnpPkb hnp
Pkb hnp
 
Laporan Jaga
Laporan JagaLaporan Jaga
Laporan Jaga
 
Morning report materi Gout Arthritis.pptx
Morning report materi Gout Arthritis.pptxMorning report materi Gout Arthritis.pptx
Morning report materi Gout Arthritis.pptx
 
Nurtika CBD Diare Kronis.pptx
Nurtika CBD Diare Kronis.pptxNurtika CBD Diare Kronis.pptx
Nurtika CBD Diare Kronis.pptx
 
Slide Admisi Kasus 1 061022.pptx
Slide Admisi Kasus 1 061022.pptxSlide Admisi Kasus 1 061022.pptx
Slide Admisi Kasus 1 061022.pptx
 
Psmba.pptx
Psmba.pptxPsmba.pptx
Psmba.pptx
 
CAP (3).pptx
CAP (3).pptxCAP (3).pptx
CAP (3).pptx
 
HHS in Diabetic Person
HHS in Diabetic PersonHHS in Diabetic Person
HHS in Diabetic Person
 
MR 4 Periode maret arthritis gout akut.pptx
MR 4 Periode maret arthritis gout akut.pptxMR 4 Periode maret arthritis gout akut.pptx
MR 4 Periode maret arthritis gout akut.pptx
 
file.pdf
file.pdffile.pdf
file.pdf
 
TN BBS ADHF (1).pptx
TN BBS ADHF (1).pptxTN BBS ADHF (1).pptx
TN BBS ADHF (1).pptx
 
119497230 gastropati-nsaid
119497230 gastropati-nsaid119497230 gastropati-nsaid
119497230 gastropati-nsaid
 
COD Tn MN Miki.ppt
COD Tn MN Miki.pptCOD Tn MN Miki.ppt
COD Tn MN Miki.ppt
 
Laporan Kasus ACS STEMI
Laporan Kasus ACS STEMILaporan Kasus ACS STEMI
Laporan Kasus ACS STEMI
 
Preskas Cardioembolic Stroke.pdf
Preskas Cardioembolic Stroke.pdfPreskas Cardioembolic Stroke.pdf
Preskas Cardioembolic Stroke.pdf
 
CRS DM tipe 2 .pptx
CRS DM tipe 2 .pptxCRS DM tipe 2 .pptx
CRS DM tipe 2 .pptx
 
LAPORAN KASUS.pptx
LAPORAN KASUS.pptxLAPORAN KASUS.pptx
LAPORAN KASUS.pptx
 
Laporan Jaga 2 Juni 2022.pptx
Laporan Jaga 2 Juni 2022.pptxLaporan Jaga 2 Juni 2022.pptx
Laporan Jaga 2 Juni 2022.pptx
 

Presentasi1.pptx

  • 1.
  • 2. I. DATA PASIEN • Nama Pasien : Ny. T • No RM : 5897** • Tanggal Lahir : 02 Oktober 1974 • Usia : 48 Tahun • Alamat : Jepara • Pekerjaan : Swasta • Tanggal MRS : 6 Mei 2022, jam 12.21 WIB
  • 3. II. ANAMNESIS • Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 9 Mei 2022 di Ruang Immanuel kamar no. 1E.  Keluhan Utama • Nyeri perut bawah  Riwayat Penyakit Sekarang • Pasien mengeluhkan nyeri perut bawah sejak 5 bulan lalu dan sering kambuh. Pada tanggal 6 Mei pasien mengeluhkan nyeri perut bawah dan ulu hati sejak 3 hari yang lalu, demam (+) sejak 2 hari yang lalu, mual (+), muntah (-), dada terasa panas hingga naik ke leher, belum BAB sejak 2 hari yang lalu, sudah ke RS bila duduk pantat terasa nyeri. Pasien memiliki memiliki Riwayat jatuh dengan posisi terduduk sebelum dating ke rumah sakit
  • 4.  Riwayat Penyakit Dahulu  Keluhan serupa: Pernah, terjadi dalam kurun waktu 5 bulan. Pasien masuk dengan keluhan yang sama  Trauma : terjatuh dengan posisi terduduk  Hipertensi : disangkal.  Penyakit jantung : disangkal.  DM : disangkal.  Asam Urat : disangkal.  Dislipidemi : disangkal.  Gastritis : ada  Alergi : disangkal.  Operasi : disangkal.  Penyakit Ginjal : disangkal
  • 5.  Riwayat Penyakit Keluarga  Keluhan serupa : disangkal  Hipertensi : disangkal  Penyakit jantung : disangkal  DM : disangkal  Asam urat : disangkal  Kolesterol : disangkal  Alergi : disangkal •  Riwayat Pengobatan • Pasien tidak mengkonsumsi obat rutin serta tidak memiliki alergi
  • 6. • Gaya Hidup i. Merokok : (-) ii. Alkohol : (-) iii. NAPZA : (-) iv. Olahraga : pasien jarang berolahraga v. Pola makan : Pasien makan 1 atau 2x sehari. Proporsi makanseimbang antara nasi, lauk dan sayur vi. Aktivitas : Aktivitas fisik ringan
  • 7. III. PEMERIKSAAN FISIK STATUS GENERALIS • Keadaan umum : Sedang • Kesadaran : Compos mentis • GCS : E4 V5 M6 • VAS : - • Tanda Vital • Tekanan darah : 127/72 mmHg • Nadi : 96x/menit • Respirasi : 22x/menit • Suhu : 38,20 C • Saturasi O2 : 99%
  • 8. Status Lokalis  Kepala Normocephali, deformitas (-), jejas (-), mata cekung (-/-), konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks pupil (+/+), pupil isokor, telinga simetris & tidak ada kelainan, hidung simetris & tidak ada deformitas, bibir kering (-), bibir sianosis (-), atrofi papil lidah (-)  Leher Simetris, pembengkakan (-), jejas (-), limfonodi dalam batas normal, tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid. Tidak ada peningkatan JVP.  Thorax (Pulmo)  Inspeksi : bentuk dada simetris, jejas (-), deformitas (-), retraksi interkostal dan subkostal (-), SIC tampak melebar.
  • 9.  Palpasi : nyeri tekan (-), fremitus kanan kiri sama, pengembangan dada simetris.  Perkusi : sonor kedua lapang paru  Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), rhonki (-/-).  Thorax (Cor)  Inspeksi : ictus cordis tidak tampak  Palpasi : ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra SIC V  Perkusi : batas jantung dalam batas normal  Auskultasi : suara jantung S1/S2 reguler , tidak ada suara tambahan  Abdomen  Inspeksi : distensi (-), jejas (-)  Auskultasi : bunyi usus (+), peristaltik usus dalam batas normal  Perkusi : nyeri ketuk (+) pada regio epigastrium, hypogastrium dan inguinal kanan  Palpasi : massa/benjolan (-), hepatomegaly (-), splenomegaly (-)  Ekstremitas  Ekstremitas atas : kulit tampak utuh, akral teraba hangat, CRT <2 detik, sensibilitas baik, nyeri (-), keterbatasan gerak (-)  Ekstremitas bawah : kulit tampak utuh, akral teraba hangat, CRT <2 detik, sensibilitas baik, nyeri gerak (-), keterbatasan gerak (-)
  • 10. V. DIAGNOSIS SEKUNDER • Hernia Nucleus Pulposus (HNP) IV. DIAGNOSIS PRIMER • IHD, Kongestif Hepar, Efusi Pleura, Gastritis, Adnexitis
  • 11. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Hematologi Hemoglobin 11.70 g/dL 11.7 - 15.5 Leukosit 5.30 Ribu/mmk 3.6 - 11.0 Hematokrit 34.40 [Low] % 36 - 46 Eritrosit 3.9 Juta/mmk 3.80 - 5.20 MCV 87 fL 80 - 100 MCH 30 pg 26.0 - 34.0 MCHC 34 g/dL 32.0 - 36.0 Trombosit 257 Ribu/mmk 150 - 400 RDW 11.4 [Low] % 11.5 - 14.5 PDW 12.0 fL 10 - 18 MPV 9.4 fL 6.8 - 10 Kimia Gula Darah Stik 100 mg/dl 75 - 110 SGOT 18 U/L 13 - 35 SGPT 15 U/L 7 - 35 Imunoserologi Dengue Ns1 Negatif Negatif Dengue IgG Negatif Negatif Dengue IgM Negatif Negatif Kimia Ureum 18.7 mg/dL 15 - 40 Creatinin 0.88 Mg/dL 0.6 - 1.1 eGFR (CKD-EPI) 78 [Low] mL/min/m ^2 > 90
  • 12. Natrium 140.0 mmol/L 135 - 147 Kalium 3.48 [Low] Mmol/L 3.5 - 5.1 Urin Lengkap Albumin Negatif Negatif Reduksi Negatif Negatif Reaksi/pH <= 5.0 4.8 – 7.4 Urobilinogn Normal Normal Benda Keton Negatif Negatif Nitrit Positif Negatif Berat Jenis <= 1.005 1.003 – 1.030 Darah Samar Negatif Negatif Leukosit Negatif Negatif Bilirubin Urine Negatif Negatif Sedimen Epiten ren (sedimen) 0 /LPK 0 – 1 Epitel Sel 5 - 7 /LPK 5 – 15 Eritrosit 0 - 1 /LPB 0 – 1 Leukosit 0 - 2 /LPB 0 – 15 Silinder 0 Parasit Negatif Negatif Bakteri Negatif Negatif Jamur Negatif Negatif Kristal Negatif Negatif
  • 13. Pemeriksaan radiologi foto Thorax AP (6 Mei 2022) • Kesan : Cor tak membesar, Pulmo aspek tenang
  • 14. • Pemeriksaan radiologi foto Lumbosakral AP/LAT (7 Mei 2022) • Kesan : HNP L5-S1 (kanan), Spondylosis lumbalis (L2-5), tak tampak kompresi / listesis lumbalis
  • 15. • Pemeriksaan USG Abdomen (9 Mei 2022) • Kesan : Gambaran congestif hepar dengan efusi pleura kanan, gambaran cairan bebas intra abdomen DD. Ascites, mesenterial inflamasi dengan adneksitis, tak tampak gambaran apendisitis akut saat ini, penebalan dinding gaster mendukung gambaran gastritis, penebalan dinding Gallbladder DD. Sekunder efusi dan ascites, kolesistitis
  • 16. • Pemeriksaan EKG (6 Mei 2022) • Kesan : Sinus Rhytmus, IHD anterior (T inverted V1-V3)
  • 17. DAFTAR ABNORMALITAS a. Anamnesis - Nyeri perut bawah - Nyeri ulu hati - Nyeri punggung bawah dekat bokong - Demam - Mual - Susah BAB b. Pemeriksaan Fisik Perut : Nyeri tekan epigastrium, hipogastrium, dan inguinal Punggung : Nyeri tekan regio lumbal kanan
  • 18. a. Pemeriksaan Penunjang - RO Lumbosakral AP/LAT 7 Mei 2022 Gambaran HNP L5-S1 (kanan), Spondylosis Lumbalis (L2-5) - USG Abdomen 9 Mei 2022 Gambaran Kongestif Hepar, Efusi Pleura disertai ascites, mesenterial inflamasi dengan adneksitis, gastritis. - EKG 6 Mei 2022 IHD anterior (T inverted V1-V3) - Hipokalemia - Fungsi Ginjal sedikit menurun (eGFR 70) - Anemia (Hematokrit, RDW menurun)
  • 19. TATALAKSANA Hipokalemia S: Mual, Konstipasi, Lemas O: pemeriksaan lab Kalium 3.48 Mmol/L A: Hipokalemia P: KSR 600 mg tab 1x1 Efusi Pleura dan Ascites S: - O: Pada pemeriksaan Rontgen dan USG A: Efusi Pleura, Ascites P: Furosemide 20 mg / 2 ml injeksi 1x1 Kongestif Hepar S: - O: pada pemeriksaan USG A: Kongestif Hepar P: Spironolactone 25 mg tab 1x1 pagi Gastritis S: Nyeri perut, nyeri ulu hati karena maag O: USG penebalan dinding gaster A: Gastritis P: Rebamipid generik 100 mg 3x1 Antasida doen 60 ml sirup 3x1 C harus dikocok sebelum minum, diminum saat perut kosong Omeprazole 40 mg injeksi 2x1
  • 20. HNP S: Nyeri punggung kanan O: RO Lumbosacral HNP L5-S1, Spondylosis lumbalis L2-5 A: HNP Lumbosacral P: Methylprednisolone 125 mg injeksi 2x62.5 drip dalam NaCl 100 Meloxicam 15 mg tab 2x1 Adneksitis S: Nyeri punggung, demam O: USG, mesenterial inflamasi dengan adneksitis A: Adneksitis P: Ceftriaxone 1 gr injeksi 2x1 Paracetamol 1500 mg / 100 ml infus 3 x 500 mg IHD S: - O: EKG, IHD anterior T invertid A: IHD P: ISDN 5 mg tab 3x1 Clopidogrel 75 mg tab 1-0-0
  • 21. RENCANA TERAPI Terapi rawat inap - Clopidogrel 75 mg tab 1-0-0 - KSR 600 mg tab 1x1 - Furosemide 20 mg / 2 ml injeksi 1x1 - Spironolactone 25 mg tab 1x1 tablet pagi - Rebamipid generik 100 mg tab 3x1 - Methylprednisolone 125 mg injeksi 2x62.5 drip dala NaCl 100 - Ceftriaxone 1 gr injeksi 2x1 - ISDN 5 mg tab 3x1 - Meloxicam 15 mg tab 2x1 - Antasida doen 60 ml sirup 3x1 C - Paracetamol 1000 mg / 100 ml infus 3x500 mg - Omeprazole 40 mg injeksi 2x1
  • 22. Terapi rawat jalan - Cefixime 200 mg Kaps 2x1 - Omeprazole 20 mg 1x1 - Furosemide uresix 40 mg 1x1 - ISDN 5 mg tab 3x1 - KSR 600 mg tab 1x1 - Meloxicam 15 mg tab 2x1 - Antasida doen 60 ml sirup 3x1 C
  • 23. EDUKASI - Edukasi mengenai kondisi pasien dan perjalanan penyakit pasien - Edukasi mengenai obat yang dikonsumsi dan dosis yang diberikan - Edukasi mengenai terapi berdasarkan penyakit pasien Terapi rawat jalan - Cefixime 200 mg Kaps 2x1 - Omeprazole 20 mg 1x1 - Furosemide uresix 40 mg 1x1 - ISDN 5 mg tab 3x1 - KSR 600 mg tab 1x1 - Meloxicam 15 mg tab 2x1 - Antasida doen 60 ml sirup 3x1 C
  • 24. PROGNOSIS Ad Vitam : bonam Ad Functionam : dubia ad bonam Ad Sanationam : dubia ad bonam BALANCE CAIRAN - 09 Mei 2022 – 11 Mei 2022 Infus / Injeksi Minum Makan / Sonde Nama Obat 14-21.00 WIB 350 350 200 102 1002 21-07.00 WIB 350 200 100 650 07-14.00 WIB 600 300 200 212 1312 14-21.00 WIB 200 200 200 101 701 21-07.00 WIB 200 600 100 209 1109 07-14.00 WIB 200 200 150 212 762 INPUT Tanggal / Jam TOTAL
  • 25. HERNIA NUKLEUS PULPOSUS A. Definisi Hernia nukleus pulposus (HNP) mengacu pada kondisi terjadinya penonjolan dari nucleus pulposus melalui anulus fibrosus dari diskus intervertebralis, herniasi diskus ke bagian dorsalis yang masuk ke kanal tulang belakang atau foramen intervertebralis dapat menyebabkan kompresi pada medula spinalis. (Bryne TN, 2000). American Association of Neurological Surgeons (AANS) mendefinisikan sebagai fragmen nukleus pada diskus yang terdorong keluar dari anulus ke kanal tulang belakang melalui anulus yang robek atau pecah. (AANS,2014). Insiden HNP sering terjadi sekitar 5 sampai 20 kasus per 1000 orang dewasa setiap tahun dan paling sering terjadi pada orang-orang pada dekade ketiga hingga kelima kehidupan, dengan rasio pria dan wanita 2:1. (Dydyk AM, 2021)
  • 26. B. Faktor Risiko 1. Mengangkat beban dengan cara yang tidak tepat.  Menggunakan otot punggung dan bukan otot kaki sebagai tumpuan untuk mengangkat benda berat dapat menyebabkan herniasi diskus.  Memutar badan saat mengangkat beban. 2. Berat badan. Kelebihan berat badan menambah kompresi diskus di punggung bawah 3. Kegiatan berulang yang meregangkan tulang belakang. Pekerjaan yang banyak menuntut fisik dan memerlukan kekuatan untuk mengangkat, menarik, membungkuk, atau memutar. Sering mengemudi, dan tetap duduk untuk waktu yang lama, ditambah getaran dari mesin mobil. Dapat memberikan tekanan pada tulang belakang dan diskus. 4. Gaya hidup. Olahraga teratur berperan penting dalam aktivitas fisik dan menurunkan berat badan yang berlebih.
  • 27. C. Patogenesis Diskus yang mengalami herniasi merupakan tahap awal proses degenerasi. Kanal vertebra memiliki ruang terbatas, yang tidak adekuat untuk saraf tulang belakang dan bagian diskus yang mengalami herniasi. Akibat pergeseran ini, diskus menekan pada saraf tulang belakang. Kausa dari HNP dihubungkan dengan dengan proses degenerasi diskus intervertebralis dan faktor mekanik, misalnya tekanan yang berlebihan atau peregangan yang berlebihan pada diskus intervertebra. Cedera fleksi dapat terjadi pada saat pasien yang bersangkutan sedang membungkuk sambil melakukan suatu aktivitas berat, misalnya mencabut ubi, mengangkat beban berat, terjatuh dalam posisi duduk, terpeleset, dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat mengakibatkan cedera fleksi yang memicu timbulnya HNP tanpa ada cedera-cedera sebelumnya. (Pudjonarko, 2016) D. Patofisiologi Patofisiologi HNP sebagai kombinasi dari kompresi secara mekanis oleh nukleus pulposus yang menonjol dan peningkatan lokal pada kemokin inflamasi. Herniasi lebih mungkin terjadi posterolateral, di mana anulus fibrosus lebih tipis dan tidak memiliki dukungan struktural dari ligamen longitudinal anterior atau posterior. Karena kedekatannya, herniasi posterolateral lebih mungkin menekan akar saraf. Di sisi lain, kompresi sumsum tulang belakang dan mielopati dapat terjadi jika ada herniasi diskus garis tengah yang besar. Nyeri punggung yang terlokalisir merupakan kombinasi dari tekanan herniasi diskus pada ligamen longitudinal, dan iritasi akibat inflamasi lokal. (Dydyk AM, 2021).
  • 28. E. Klasifikasi HNP terbagi dalam 4 grade berdasarkan keadaan herniasinya yaitu : 1. Protrusi diskus intervertebralis: nukleus terlihat menonjol ke satu arah tanpa kerusakan annulus fibrosus. 2. Prolaps diskus intervertebral: nukleus berpindah, tetapi masih dalam lingkaran anulus fibrosus. 3. Extrusi diskus intervertebral: nukleus keluar dari anulus fibrosus dan berada di bawah ligamentum longitudinalis posterior. 4. Sequestrasi diskus intervertebral: nukleus telah menembus ligamentum longitudinalis posterior. (Edgar G. Dawson and Howard S. An, 2019) Nukleus pulposus yang mengalami herniasi ini dapat menekan nervus di dalam medulla spinalis jika menembus dinding diskus (annulus fibrosus) : hal ini dapat menyebabkan nyeri, rasa tebal, rasa keram, atau kelemahan. Rasa nyeri dari herniasi ini dapat berupa nyeri mekanik, yang berasal dari diskus dan ligamen : inflamasi, nyeri yang berasal dari nucleus pulposus yang ekstrusi menembus annulus dan kontak dengan pembuluh darah; dan nyeri neurogenik, yang berasal dari penekanan pada nervus. (AANS, 2019).
  • 29. F. Kriteria Diagnosis Diagnosis Hernia Nukleus Pulposus (HNP) ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien biasanya datang dengan gejala klinis nyeri punggung bawah yang menjalar hingga ke kaki. Pada pemeriksaan fisik neurologis dapat ditemukan tes Laseque dan Patrick yang positif. Pemeriksaan penunjang MRI merupakan gold standar dalam menentukan diagnosis HNP. (Mayo Clinic, 2019). G. Anamnesis Pada anamnesis dapat ditanyakan beberapa hal yang berhubungan dengan nyeri pasien, misalnya frekuensi nyeri, interval, lokasi nyeri, sifat nyeri, penjalaran, apa aktivitas yang memprovokasi nyeri, serta hal-hal yang memperberat nyeri dan meringankan nyeri. Selain mengenai nyerinya, tanyakan pula pekerjaan pasien, riwayat trauma, dan riwayat merokok karena merupakan faktor risiko terjadinya HNP. Anamnesis juga diarahkan untuk mencari redflag nyeri punggung bawah, misalnya inkontinensia fekal, skiatika, dan spondiloartropati. (Benjamin Ma, 2009).
  • 30. H. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik terlihat gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi tungkai yang nyeri dengan fleksi di sendi panggul dan lutut, serta kaki yang berjingkat. Dalam pemeriksaan fisik juga perhatikan daerah yang mengalami spasme dan ketegangan otot, kelemahan otot, atrofi otot, atau perubahan sensoris yang dialami ekstremitas bawah. Perhatikan pula postur dan keadaan umum dan menyuruh pasien untuk fleksi, ekstensi, dan rotasi untuk mengetahui range of motion yang dapat digapai pasien dan untuk mengidentifikasi gerakan yang dapat menimbulkan nyeri. (Mayo Clinic, 2019). Terdapat beberapa pemeriksaan fisik neurologis yang dapat dilakukan pada pasien dengan HNP, antara lain adalah tes Laseque dan Patrick. 1. Straight Leg Raise (Laseque) Test Tes untuk mengetahui adanya jebakan nervus ischiadicus. Pasien tidur dalam posisi supinasi dan pemeriksa memfleksikan panggul secara pasif, dengan lutut dari tungkai terekstensi maksimal. Tes ini positif bila timbul rasa nyeri pada saat mengangkat kaki dengan lurus, menandakan ada kompresi dari akar saraf lumbar. Tes Laseque ini memiliki nilai sensitivitas yang tinggi (80-97%) untuk penonjolan diskus lumbar, namun memiliki nilai spesifitas yang rendah (sekitar 40%), karena tes ini memberikan hasil positif juga untuk nyeri ischialgia lainnya. (Lyndsay A, 2007).
  • 31. 1. Patricks Test atau Flexion, Abduction and External Test (FABER Test) Tes Patrick merupakan skrining pasif untuk kelainan pada muskuloskeletal seperti daerah panggul, lumbal dan disfungsi sendi sakroiliaka. Pasien diposisikan dalam posisi supine dan calcaneus menyentuh patella. Tangan pemeriksa berada di spina iliaka anterior superior (SIAS) dan bagian medial dari lutut, setelah itu diberikan kompresi. Tes ini positif bila timbul rasa nyeri pada sendi sakroiliaka yang diuji. Tes ini memiliki nilai sensitivitas 54-66% dan nilai spesifitas 51-62%. (Ozgocmen S, 2008). Adapun pemeriksaan fisik lainnya seperti : 2. Tanda Kerning Pada pemeriksaan ini penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian panggung sampai membuat sudut 90 derajat. Selain itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derajat, antara tungkai bawah dan tungkai atas, bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan tanda kerning positif. (Robin A, 2007). 3. Ankle Jerk Reflex Dilakukan pengetukan pada tendon Achilles. Jika tidak terjadi dorsofleksi pada kaki, hal ini mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L5-S1. (Robin A, 2007) 5 .Knee-Jerk Reflex Dilakukan pengetukan pada tendon lutut. Jika tidak terjadi ekstensi pada lutut, hal ini mengindikasikan adanya jebakan nervus di tingkat kolumna vertebra L2-L3-L4. (Robin A, 2007).
  • 32. I. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis dan menyingkirkan diagnosis bandingnya. Pada HNP dapat dilakukan imaging diantaranya foto X-Rray, CT-scan dan MRI. X-Ray tidak dapat menunjukkan herniasi diskus secara langsung. X-ray digunakan dalam pemeriksaan pasien yang diduga mengalami herniasi diskus adalah untuk menunjukkan bukti tidak langsung dari degenerasi diskus, seperti penyempitan ruang diskus, perubahan endplate, osteofit, degenerasi facet-joint, dan perubahan keseimbangan sagittal (Deepak Gautam, 2021) Foto X-Ray merupakan pemeriksaan yang dipilih di awal. Pemeriksaan dilakukan pada posisi anteroposterior dan lateral. Biasanya akan terlihat adanya spondylolisthesis dan ostheophytes (Klezl Z, 2012).
  • 33. CT Scan merupakan tes yang paling sensitif untuk memeriksa struktur tulang belakang. CT Scan juga dapat menunjukkan hernia yang terkalsifikasi ataupun kerusakan tulang. Pada pasien yang tidak dapat atau tidak memenuhi syarat untuk menjalani MRI, CT myelography dapat digunakan sebagai alternatif untuk memvisualisasikan herniasi diskus (Samir S, 2021) MRI merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk mendeteksi kelainan diskus intervertebral. MRI menampilkan gambaran tiga dimensi medulla spinalis dan dapat mengetahui apabila terjadi kompresi. MRI selain dapat mengidentifikasi kompresi medulla spinalis dan radiks saraf juga dapat digunakan untuk mengetahui beratnya perubahan degeneratif pada diskus intervertebral (Klezl Z, 2012).
  • 34. J. Tatalaksana  Perawatan Konservatif: Radikulopati servikal akut akibat herniasi diskus biasanya ditangani dengan perawatan non-bedah karena sebagian besar pasien (75 hingga 90%) akan membaik. 1. Imobilisasi Collar: Pada pasien dengan nyeri leher akut, imobilisasi jangka pendek (kira-kira satu minggu) mungkin bermanfaat selama periode inflamasi akut. 2. Traksi: Mungkin bermanfaat dalam mengurangi gejala radikular yang terkait dengan herniasi diskus. Traksi akan memperlebar neuroforamen dan menghilangkan stres yang ditempatkan pada saraf yang terkena, yang, pada gilirannya, akan menghasilkan perbaikan gejala. Terapi ini melibatkan penempatan sekitar 8 hingga 12 pon traksi pada sudut sekitar 24 derajat fleksi leher selama periode 15 hingga 20 menit. 3. Farmakoterapi: Dokter dapat mempertimbangkan anti-inflamasi steroid (biasanya prednison) pada nyeri akut yang parah untuk waktu yang singkat. Regimen tipikal adalah prednison 60 hingga 80 mg/hari selama lima hari, yang kemudian dapat diturunkan perlahan-lahan hingga 14 hari berikutnya. Antidepresan (amitriptyline) dan antikonvulsan (gabapentin dan pregabalin) dapat digunakan untuk mengobati nyeri neuropatik, dan dapat memberikan efek analgesik sedang. 4. Terapi Fisik: Biasanya diresepkan setelah istirahat dan imobilisasi singkat. Modalitas meliputi latihan rentang gerak, latihan penguatan, es, panas, ultrasound, dan terapi stimulasi listrik. (Samir, 2021)
  • 35.  Perawatan Bedah: Indikasi untuk intervensi bedah termasuk gangguan neurologis yang parah atau progresif dan rasa sakit yang signifikan yang refrakter terhadap tindakan non-operatif. (Samir, 2021)
  • 36. KONGESTIF HEPATOPATHY A. Definisi Congestive hepatopathy, yang sebelumnya sering disebut cardiac cirrhosis merupakan gangguan hati yang terjadi pada kondisi gagal jantung kanan. Kelainan hati dalam perjalanan gagal jantung sudah lama diketahui, namun studi yang menjelaskan hubungan ini relative sedikit, dan hasilnya sering berbeda beda. Hal ini dikarenakan etiologi gagal jantung yang telah mengalami perubahan, dari awalnya berhubungan dengan penyakit katup rematik, sekarang lebih banyak karena kardiomiopati iskemik. Istilah cardiac cirrhosis merupakan congestive hepatopathy yang menimbulkan fibrosis hati. Namun, hasil pengobatan medis yang efisien membuat kondisi ini menjadi jarang terjadi. Saat ini, terminology congestive hepatopathy lebih tepad digunakan menggantikan cardiac cirrhosis. Congestive hepatopathy terjadi pada gagal jantung akut ataupun kronis sehingga dapat ditemukan pada kebanyakan kasus.
  • 37. B. Etiologi Penyebab congestive hepatopathy antara lain semua kondisi yang menyebabkan penyumbatan pasif akibat peningkatan tekanan ventrikel kanan dan gagal jantung kanan yaitu : pericarditis konstriktif, hipertensi arteri pulmonal berat, stenosis mitral, regurgitasi tricuspid, cor-pulmonale, kardiomiopati iskemik, pasca-operasi dengan prosedur fontan untuk atresia pulmonal, dan sindrom jantung kiri hypoplasia.
  • 38. C. Patofisiologi Pada gagal jantung kronis terjadi mekanisme kegagalan mundur (backward failure) yaitu kondisi kerusakan jantung yang berkembang kearah berlawanan dari aliran darah di jantung. Pada keadaan ini terjadi peningkatan tekanan vena karena disfungsi ventrikel kanan mengakibatkan atrofi hepatosit dan edema perisinusoid, sehingga mengganggu difusi oksigen dan nutrient ke hepatosit. Peningkatan tekanan pengisian jantung kanan ditransmisikan ke sinusoid hati sentrilobular yang akan menekan struktur lobulus, yaitu kanalikuli dan ductus biliaris. Hal ini memicu kerusakan ductus biliaris karena merusak sel endotel dan ikatan kuat intrahepatosit yang memisahkan rongga ekstravaskuler dari kanalikuli biliaris, sehingga terjadi kolestasis. Ditambah terjadinya peningkatan pembentukan limfe hati yang juga akibat kegagalan mundur, akan menghasilkan asites saat laju produksinya melebihi kekampuan drainase. Terjadi stagnasi aliran darah, thrombosis di sinusoid, venula, dan jalur vena porta berlanjut timbulnya aktivasi fibroblast dan deposisi kolagen, akhirnya terjadi fibrosis hati.
  • 39. D. Gejala Klinis Kondisi gagal jantung kanan dapat asimptomatis. Gejala nyeri ringan dan tumpul di perut kanan atas disebabkan peregangan kapsul hati. Pada pasien gagal jantung kanan kronis paling sering ditemukan hepatomegaly dengan batas halus dan tegas disertai edema perifer. Pemeriksaan tekanan vena jugularis (JVP) penting karena pada kondisi ini terjadi refluks hepatojugular, sehingga JVP meningkat. Asites terjadi pada hamper 25% pasien dan splenomegaly biasanya tidak ditemukan. Beberapa pasien merasa lemah, mual, muntah, dan nocturia. Ikterus jarang dilaporkan. Bila kegagalan jantung kanan diawali gagal jantung kiri, pasien mengalami gagal jantung biventrikel. Pada kondisi ini, dapat muncul gejala gagal jantung kiri seperti : sesak saat beraktivitas (dyspnea deffort), sesak malam hari (paroxysmal nocturnal dispnea), sesak saat berbaring (orthopnea) mengi dan mudah lelah.
  • 40. E. Data Laboratorium Pada congestive hepatopathy sering di- temukan peningkatan parameter biokimia fungsi hati sebesar 2-3 kali batas normal atas, termasuk AST/aspartate aminotrans- ferase (SGOT/Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), ALT/alanine aminotransferase (SGPT/Serum Glutamic-Pyruvic Transaminase), LDH (Lactate Dehydrogenase), GGT (Gamma- Glutamyl Transpeptidase), dan ALP (alkaline phosphatase). Hiperbilirubinemia akibat peningkatan bilirubin terkonjugasi dan tidak terkonjugasi juga sering didapat; kadar bilirubin total jarang mencapai >3 mH/dL. Peningkatan GGT, ALP, dan bilirubin juga menunjukkan kolestasis. Derajat keparahan kolestasis berhubungan dengan keparahan gagal jantung, peningkatan tekanan atrium kanan, regurgitasi trikuspid, dan peningkatan serum BNP (Brain Natriuretic Peptide), yaitu polipeptida yang disekresikan ventrikel jantung sebagai respons terhadap peregangan otot jantung berlebihan. Kongesti hati kronis juga akan menyebab- kan perpanjangan prothrombin time dan penurunan albumin serum yang dapat menyebabkan mortalitas pada pasien dengan penurunan Fraksi ejeksi.
  • 41. F. Terapi Tidak ada studi prospektif untuk mengevaluasi terapi congestive hepatopathy. Karena tidak ada data bahwa kondisi ini memperburuk morbiditas dan mortalitas pengobatan lebih ditujukan pada penyakit dasar yaitu penyebab yang meningkatkan tekanan jantung kanan dan penyumbatan vena hati. yang perlu diperhatikan adalah: rawat inap untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit Kantung iskemik dan untuk pemberian diuretik secara intravena. pada sebagian besar kasus diuretik adalah landasan terapi awal untuk meredakan gejala. Setelah kondisi euvolemik beta-blocker dan ACE-inhibitor harus diberikan bila penyebab diawali kegagalan ventrikel kiri. Spironolakton dipertimbangkan bila gagal jantung memasuki functional class III atau IV (NYHA). ACE-inhibitor dan beta-blocker adalah terapi utama untuk gagal jantung kronis dan congestive hepatopathy. ACEinhibitor meningkatkan cardiac output dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri dengan efek vasodilatasinya. beberapa ACE-inhibitor adalah prodrug yang perlu diubah oleh hati agar menjadi metabolit aktif sehingga penggunaan obat tersebut seringkali tidak efektif karena itu diperlukan pengamatan efikasi pada pasien. ACE-inhibitor yang sering digunakan di Indonesia kaptopril dan lisinopril adalah bentuk obat aktif. penggunaannya tidak memerlukan perubahan dosis pada kelainan hati. untuk pasien yang terganggu efek samping batuk ACE-inhibitor direkomendasikan golongan Angiostensin Receptor Blocker ARB. Losartan dimetabolisme menjadi metabolit aktif dengan karboksilasi hati karena itu pada gangguan hati bioavailabilitasnya menjadi dua kali lipat dan eliminisasi dari plasma menjadi setengahnya oleh karena itu disarankan dosis awal lebih rendah. pada valsartan dan irbesartan konversi metabolisme yang terjadi sangat kecil sehingga lebih disarankan untuk penderita gangguan hati karena tidak diperlukan perubahan dosis. golongan beta-blocker seperti propranolol diberikan secara hati-hati karena dimetabolisme di hati. pada sirosis konsentrasi dalam darah meningkat 2.5 kali normal karena itu perlu dipertimbangkan perubahan dosis. perubahan dosis tidak diperlukan pada jenis beta-blocker lain.
  • 42. Obat golongan ini terbukti menurunkan mortalitas penderita gagal jantung hingga 30% untuk golongan diuretik loop diuretic seperti furosemid digunakan untuk mengatur volume pada pasien gagal jantung karena efek natriuretiknya lebih besar dibandingkan diuretik lain. Namun, respons farmakologi pasien disfungsi hati dan gagal jantung berkurang dibandingkan dengan individu sehat. Perubahan dosis tidak perlu bila fungsi ginjal normal. Amiodaron terbukti efektif menekan aritmia ventrikel pada pasien gagal jantung. Meskipun dimetabolsme dihati, tidak diperlukan penyesuain dosis. Obat golongan stain dikontraindikasikan jika peningkatan serum transaminase > 3 kali normal, karena dimetabolsme di hati.
  • 43. ISCHEMIC HEART DISEASE A. Definisi Ischemia adalah suatu keadaan kekurangan oksigen pada jaringan yang bersifatsementara dan reversibel. Ischemia yang lama akan menyebabkan kematian otot ataunekrosis. (Muttagin.2009) Ischemia adalah suplai darah yang tidak adekuat ke suatu daerah. Jika mengalami ischemia, jaringan tersebut akan kehilangan suplai oksigen dan zat-zat makanan yang dibutuhkan. (Price &Wilson. 2005) Ischemic Heart Disease (IHD) atau penyakit jantung ischemik adalahketidakseimbangan antara kebutuhan perfusi jantung dan pasokan darah teroksigenasidari arteri koronaria. Hasilnya bisa berupa iskemia miokard transien (angina) atauischemia berkepanjangan yang mengakibatkan kerusakan miosit (sindrom koroner akut).(Brashers. 2007)
  • 44. B. Etiologi Penyakit jantung coroner dapat disebabkan oleh beberapa hal : 1. Penyempitan (stenosis) dan penciutan (spasme) arteri koronaria, tetapi penyempitan bertahap akan memungkinkan berkembangnya kolateral yang cukup sebagai pengganti. 2. Aterosklerosis, menyebabkan sekitar 98% kasus PJK. 3. Penyempitan arteri koronaria pada sifilis, aortitis takayasu, berbagai jenis arteritisyang mengenai arteri coronaria, dll
  • 45. C. Faktor Resiko Alkohol, diabetes militus, obat obatan yang menyebabkan hipertensi misalnya : golongan mineralokortikoid, NSAIDs, amfetamin, antidepresan trisiklik, dan lain lain, hiperlipoproteinemia, hipertensi, obesitas, merokok
  • 46. D. Patofisiologi 1. Perubahan awalterjadinya penimbunan plak-plak aterosklerosis 2. Perubahan intermediatePlak semakin besar dan terjadi obstruksi dari lumen arteri koroner epikardium. Halini menyebabkan peningkatan sirkulasi darah sebanyak 2-3 kali lipat akibat olahragatidak dapat dipenuhi. Keadaan ini disebut Iskemia dan manifestasinya dapat berupaAngina atau nyeri pada dada akibat kerja jantung yang meningkat 3. Perubahan akhir Terjadi ruptur pada ‘cap’ atau bagian superficial dari plak sehingga akan terjadi suatu situasi yang tidak stabil dan bebagai macam manifestasi klinik seperti Angina at restatau Infark Miokard. Dengan terpaparnya isi plak dengan darah, akan memicuserangkaian proses platetel agregasi yang pada akhirnya akan menambah obstruksidari lumen pembuluh darah tersebut 4. Iskemia miokardPeristiwa ini akan menimbulkan serangkaian perubahan pada fungsi diastolik, lalukemudian pada fungsi sistolik. Menyusul dengan perubahan impuls listrik(gelombang ST-T) dan akhirnya timbullah keadaan Infark Miokard. a. Angina stabil : Bila obstruksi pada arteri koroner ≥ 75% b. Unstable angina : Bila terjadi ruptur dari plak ateromatosa c. Angina Prinzmetal : Bila terjadi vasospasme dari arteri koroner utama
  • 47. E. Manifestasi Klinis Angina pectoris, angina stabil, angina prinzmetal, angina tak stabil, infark miokard, silent myocardial ischemic (SMI), gagal jantung, disritmia cordis
  • 48. F. Pemeriksaan Penunjang a. EKG (Elektrokardiografi)Adanya gelombang patologik disertai peninggian S-T segmen yang konveks dandiikuti gelombang T yang negative dan simetrik. Kelainan Q menjadi lebar (lebih dari0,04 sec) dan dalam (Q/R lebih dari ¼). b. Laboratorium - Creatin fosfakinase (CPK). Iso enzim CKMB meningkatHal ini terjadi karena kerusakan otot, maka enzim intra sel dikeluarkan ke dalamaliran darah. Normal 0-1 mU/mL. -SGOT (Serum Gluramic Oxalotransaminase Test) Nomal kurang dari 12 mU/mL. kadar enzim ini naik pada 12-24 jam setelahserangan. -LDH (Lactic De-Hydrogenase) Normal kurang dari 195 mU/mL. kadar enzim biasanya baru mulai naik setelah 48 jam.Pemeriksaan lain : Ditemukan peninggian LED, Lekositosis ringan, dan kadangHiperglikemi ringan. c. Kateterisasi : Angiografi koroner untuk mengetahui derajat obstruksi. d. Radiology : Pembesaran dari jantung
  • 49. G. Tatalaksana Istirahat total, diet makanan lunak/saring serta rendah garam, pasang infus untuk persiapan pemberian obat intravena, diberikan diuretic untuk meningkatkan aliran darah ginjal, diberikan nitrat untuk mengurangi aliran balik vena dan melemaskan arteri, oksigen 2-4 l/menit, anti koagulan.
  • 50. EFUSI PLEURA A. Definisi Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam ruang pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya terjadi sekunder akibat penyakit lain. efusi dapat berupa cairan jernih, yang mungkin merupakan transudate, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus. Efusi pleural adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain. secara normal, ruang pleural mengandung sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Utama, 2018:18). Efusi pleura merupakan keadaan terdapat cairan dalam jumlah berlebihan di dalam rongga pleura. Pada kondisi normal, rongga ini hanya berisi sedikit cairan ekstrasel yang melumasi permukaan pleura. Peningkatan produksi atau penurunan pengeluaran cairan akan mengakibatkan efusi pleura. Empiema merupakan penumpukan pus dan jaringan nekrotik di dalam rongga pleura. Darah (hemotoraks) dan kilus atau cairan getah bening (kilotoraks) dapat pula terkumpul di daerah ini (Kowalak, 2011:250)
  • 51. B. Etiologi Menurut (Kowalak, 2011:250) efusi pleura transudatif sering terjadi karena gagal jantung, penyakit hepar yang disertai asites, dialysis peritoneal, hipoalbuminemia, dan gangguan yang menimbulkan peningkatan volume intravaskuler secara berlebihan. Efusi pleura eksudatif terjadi pada tuberkulosis (TB), abses subfrenikus, pankreatitis, pneumonitis, atau empyema bakterialatau fungus, malignansi, emboli paru dengan atau tanpa infark paru, penyakit kolagen (lupus eritematosus [LE] serta asrtritis rematoid), miksedema, dan trauma dada. Empiema dapat terjadi karena infeksi idiopatik atau dapat berkaitan dengan pneumonitis, karsinoma, perforasi, atau ruptura esofagus. Transudat adalah cairan pleura dalam keadaan normal yang jumlahnya sedikit. Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada meningkatnya tekanan kapiler sistemik, meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura, dan menurunnya tekanan intra pleura (Sudoyo, 2009:2330). Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudate. Terjadinya
  • 52. perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat (Sudoyo, 2009:2331). Menurut (Padila, 2012:120), kelebihan cairan rongga pleura dapat terkumpul pada proses penyakit neoplastic, tromboembolik, kardiovaskuler, dan infeksi. Ini disebabkan oleh sedikitnya satu dari empat mekanisme dasar : a. Peningkatan tekanan kapiler subpleural atau limfatik. b. Penurunan tekanan osmotik koloid darah. c. Peningkatan tekanan negatif intrapleural. d. Adanya inflamasi atau neoplastic pleura.
  • 53. C. Tanda dan Gejala Pasien efusi pleura secara khas memperlihatkan keluhan dan gejala yang berkaitan dengan kondisi patologis yang mendasari. Sebagian besar pasien dengan efusi yang luas, khususnya pasien yang menderita penyakit paru sebagai penyebab yang mendasari, akan mengeluh sesak napas (dispnea). Keluhan ini pada keadaan efusi yang berkaitan dengan pleuritis akan disertai keluhan nyeri pleuritik dada. Gambaran klinis lain bergantung pada penyebab efusi. (Kowalak, 2011:251). Menurut (Padila, 2012:120), tanda dan gejala dari efusi pleura adalah sebagai berikut : 1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
  • 54. 1. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritic (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosis), banyak keringat, batuk, banyak riak. 2. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan. 3. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu). 4. Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronki. 5. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.
  • 55. D. Patofisiologi Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstisial submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura (Sudoyo, 2009:2329). Di dalam rongga pleura terdapat kurang lebih 5ml cairan yang cukup untuk membasahi seluruh permukaan pleura parietalis dan pleura viseralis. Sebagian cairan ini diserap kembali oleh kapiler paru dan pleura viseralis, sebagian kecil lainnya (10-20%) mengalir ke dalam pembuluh limfe sehingga aliran cairan disini mencapai 1 liter sehariannya (Padila, 2012:121). Tekanan yang seimbang dalam kapiler pleura viseralis meningkatkan reabsorpsi cairan ini. Tekanan hidrostatik yang berlebihan atau tekanan osmotik yang menurun dapat menyebabkan cairan berlebihan tersebut mengalir melintasi kapiler yang utuh. Akibatnya akan terjadi efusi pleura transudatif. Sedangkan ketika kapiler memperlihatkan peningkatan permeabilitas dengan atau tanpa perubahan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid, dapat mengakibatkan efusi pleura eksudatif (Kowalak, 2011:250-251).
  • 56.
  • 57. E. Klasifikasi Transudat adalah cairan pleura dalam keadaan normal yang jumlahnya sedikit. Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada meningkatnya tekanan kapiler sistemik, meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura, dan menurunnya tekanan intra pleura (Sudoyo, 2009:2330). Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudate. Terjadinya perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening akan menyebabkan peningkatan konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat (Sudoyo, 2009:2331).
  • 58. F. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang atau diagnostik untuk mengetahui adanya efusi pleura pada selaput paru ada beberapa cara, yaitu 1. Foto Toraks (X-Ray) Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dalam paru-paru sendiri. Kadang-kadang sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan posisi lateral dekubitus. Cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi (Sudoyo, 2009:2329-2330).
  • 59. Cairan dalam pleura bisa juga tidak membentuk kurva, karena terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru-paru yang berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini dinamakan juga sebagai efusi subpulmonik. Gambarannya pada sinar tembus sering terlihat sebagai diafragma yang terangkat. jika terdapat bayangan dengan udara dalam lambung, ini cenderung menunjukkan efusi subpulmonik. Begitu juga dengan bagian kanan di mana efusi subpulmonik sering terlihat sebagai bayangan garis tipis (fisura) yang berdekatan dengan diafragma kanan. Untuk jelasnya bisa dilihat dengan foto dada lateral dekubitus, sehingga gambaran perubahan efusi tersebut menjadi nyata (Sudoyo, 2009:2330). Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus paru (biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus, bisa juga mengumpul di daerah paramediastinal dan terlihat dalam foto sebagai fisura interlobaris, bisa juga terdapat secara paralel dengan sisi jantung, sehingga terlihat sebagai kardiomegali (Sudoyo, 2009:2329-2330).
  • 60. Jumlah cairan minimal yang dapat terlihat pada foto toraks tegak adalah 250-300 ml. Bila cairan kurang dari 250 ml (100-200 ml), dapat ditemukan pengisian cairan di sinus kostofrenikus posterior pada foto toraks lateral tegak. 1. Ultrasonografi Pemeriksaan dengan ultrasonografi pada pleura dapat menentukan adanya cairan dalam rongga pleura. Pemeriksaan ini sangat membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan terutama pada efusi yang terlokalisasi (Sudoyo, 2009:2330). 2. CT scan Pemeriksaan CT scan/dada dapat membantu. Adanya perbedaan densitas cairan dengan jaringan sekitarnya, sangat memudahkan dalam menentukan adanya efusi pleura (Sudoyo, 2009:2330).
  • 61. 1. Torakosentesis Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostic maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000- 1500 cc pada setiap kali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. (Sudoyo, 2009:2330). 2. Sitologi Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu. (Sudoyo, 2009:2331). 3. Bakteriologi Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulent, (menunjukkan empiema). Efusi yang purulent dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau anaerob (Sudoyo, 2009:2331).. 4. Biopsi Pleura Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura. (Sudoyo, 2009:2331).
  • 62. G. Tatalaksana Efusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan dengan memakai pipa intubasi melalu sela iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila empiemanya multilokular, perlu tindakan operatif (Sudoyo, 2009:2332). Selain itu, bisa dilakukan pengobatan sebagai berikut : 1. Water Seal Drainase WSD adalah suatu unit yang bekerja sebagai drain untuk mengeluarkan udara dan cairan melalui selang dada. Bertujuan untuk mengeluarkan udara, cairan, atau darah dari rongga pleura, mengembalikan tekanan negatif pada rongga pleura, mengembangkan kembali paru yang kolap dan kolap sebagian, dan mencegah reflux drainase kembali ke dalam rongga dada (Padila, 2012:123).
  • 63. GASTRITIS A. Definisi Gastritis adalah inflamasi mukosa lambung yang diakibatkan oleh diet yang tidak benar, atau makanan atau yang mengandung mikroorganisme penyebab penyakit. Sedangkan menurut Mansjoer, gastritis akut adalah lesi mukosa akut berupa erosi atau perdarahan akibat faktor- faktor agresif atau akibat gangguan sirkulasi akut mukosa lambung. Gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung, secara histopatologi dapat dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Gastritis adalah episode berulang nyeri epigastrium, gejala sementara atau cepat hilang, dapat berhubungan dengan diet, memiliki respon yang baik dengan antasid atau supresi asam. Dari beberapa pengertian tentang gastritis menurut para ahli, penulis dapat menyimpulkan bahwa gastritis adalah inflamasi yang terjadi pada mukosa lambung ditandai dengan adanya radang pada daerah tersebut yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang dapat meningkatkan asam lambung (seperti makanan yang asam atau pedas) atau bisa disebabkan oleh kebiasaan merokok dan minum alkohol. Gastritis dibagi menjadi 2 yaitu gastritis akut dan gastritis kronik. Gastritis akut adalah kelainan klinis akut yang jelas penyebabnya dengan tanda dan gejala yang khas, biasanya ditemukan sel inflamasi akut dan neutrofil. Sedangkan gastritis kronik merupakan suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun, yang disebabkan oleh ulkus dan berhubungan dengan Helicobacter pylori.
  • 64. B. Epidemiologi Gastritis merupakan masalah kesehatan yang umum ditemui dalam pelayanan klinis.Sekitar 10% kunjungan pada unit gawat darurat merupakan kasus gastritis. Berdasarkan penelitian WHO (Word Health Organization) dilaporkan prevalensi gastritis dibeberapa negara sebagai berikut : Inggris 22%,China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan Perancis 29,5%. Sekitar 1,8-2,1 juta penduduk mengalami gastritis setiap tahunnya.
  • 65. B. Etiologi Menurut Mansjoer, penyebab gastritis adalah : 1. Gastritis Akut 1. Penggunaan obat-obatan seperti aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid dalam dosis rendah sudah dapat menyebabkan erosi mukosa lambung. 2. Alkohol Alkohol dapat mengiritasi dan mengikis mukosa pada dinding lambung dan membuat dinding lambung lebih rentan terhadap asam lambung walaupun pada kondisi normal. 3. Gangguan mikrosirkulasi mukosa lambung : trauma, luka bakar 4. Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar atau infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan perdarahan pada lambung. 2. Gastritis Kronik Pada gastritis kronik penyebab tidak jelas, tetapi berhubungan dengan Helicobacter pylori, apalagi ditemukan ulkus pada pemeriksaan penunjang. Sedangkan menurut Brunner & Suddarth, penyebab gastritis adalah : 1. Gastritis Akut Gastritis akut sering disebabkan akibat diet yang tidak benar. Penyebab lain dari gastritis akut mencakup alcohol, aspirin, refluks empedu atau terapi radiasi. 2. Gastritis Kronik Inflamasi lambung yang lama dapat disebabkan oleh ulkus benigna atau maligna dari lambung, atau oleh bakteri Helicobacter pylori.
  • 66. C. Faktor Risiko 1. Pola Makan Terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh pola makan yang tidak baik dan tidak teratur, a. Frekuensi Makan Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan kuantitatif. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-rata, umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun menyesuaikan dengan kosongnya lambung. Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Pada saat perut harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung akan mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri. Secara alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam jumlah yang kecil, setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam darah telah banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam lambung terstimulasi. Bila seseorang telat makan sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta menimbulkan rasa nyeri di seitar epigastrium. Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal itu berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding mukosa pada lambung dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar. Produksi asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan makanan dapat merangsang sekresi asam lambung.
  • 67. b. Jenis Makanan. Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan diserap akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang. Menyediakan variasi makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat menyebabkan gangguan pencernaan, seperti halnya makanan pedas. Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem pencernaan, terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas dan nyeri di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut membuat penderita makin berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas lebih dari satu kali dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus-menerus dapat menyebabkan iritasi pada lambung