Teks tersebut membahas ketidaktepatan anggapan bahwa demokrasi perwakilan merupakan perkembangan alami dari demokrasi langsung di Yunani dan Romawi Kuno. Demokrasi di masa lalu sebenarnya hanya memberikan hak politik kepada kelompok tertentu saja dan bukan seluruh warga. Teks ini juga menyoroti bahwa demokrasi perwakilan sebenarnya memperkuat dominasi kelas elit dan bukan merupakan dem
2. This is dedicated
for those who bled for passion,
wept for ideas
and gasped for the very air we share
like it was the rst day
where everything was worth ghting for
GRIMLOC RECORDS & NETWORK OF FRIENDS
3. Singkatkata,Pemilu sebentar lagi. Foto-foto caleg dan logo-logo partai bertebaran di mana-mana,
danlogikademokrasikotaksuarabergemadiseanteronegeri.
Tak ada yang berubah, terlebih bagi mereka yang di pelosok sana yang jauh dari pantauan kamera
kelas menengah, yang berjuang hidup mati untuk keberlangsungan hidup mereka,dan apapun yang
pemilu hasilkan tidak akan merubah nasib mereka. Negara tetap lalai, represif dan tetap menjadi
perpanjangan tangan dari monster-monster korporasi yang melahap, menggurita tanpa banyak
disadari.
Di luar demokrasi kotak suara yang mayoritas yakini hari ini, ada model demokrasi lain yang
bergerak dan hidup di luar sana. Sebagian menyebutnya demokrasi partisipatoris, sering pula
disebut demokrasi langsung. Dari Porsea hingga Kulon Progo, perjuangan mereka memberikan
inspirasi,sepertihalnyamomenkrisislainnya.
Demokrasi yang tak membutuhkan perwakilan elit untuk bersuara, demokrasi yang tak perlu
bergenit-genit memproduksi rayuan-rayuan dan janji-janji surgawi yang kita sama-sama tahu
mustahil terjadi. Demokrasi yang memperjuangkan langsung kebutuhan mereka yang berjuang,
bukan demokrasi yang bekerja bagi mereka yang diuntungkan. Demokrasi yang tak perlu
representasi.
Tanpa perlu basa basi, bacaan ini hanya pengantar, sebuah pengenalan yang sangat awal untuk
menjawabpertanyaan,lalujikabukandemokrasilaluapa?jikasesudahtidakmencobloslaluapa?apa
yang ditawarkan sebagai pintu wacana oleh orang-orang yang tak lagi menganggap bahwa
demokrasiparlementerbukansesuatuyangmerekapilih.
KONTRA-WACANA
DEMOKRASI KOTAK SUARA
4. Adalah Pemilu yang berulang yang membuat kami membuat sesuatu yang berulang ini;
memberitakandanmeyakinkankawan-kawanlainuntukmempertanyakandemokrasikotaksuara
dan mencari alternatifnya diluar sana. Dan kami rasa jika ada momen mengkampanyekan
demokrasi langsung, ini lah saatnya, ketika foto-foto caleg dan logo-logo partai bertebaran di
mana-mana,danlogikademokrasikotaksuarabergemadiseanteronegeri.
Yang agak berbeda kali ini kami mencoba untuk mendistribusikannya lebih luas lagi, keluar jejaring
yang selama ini kami kenal, tak lain agar ide ini menjadi bahan perdebatan di antara kawan-kawan
dan lebih banyak kawan lain mulai mengaplikasikannya dan bereksperimen dalam kehidupan
sehari-hari pasca hari pencoblosan. Dari hal yang kecil hingga yang monumental. Persis seperti
halnya bagaimana kami mengorganisir kompilasi ini, secara desentralis dan intens. Sengaja kami
membuat kompilasi yang berisi band-band yang ada di lingkaran kami, di kota kami, di komunitas
kami untuk kemudian dapat mengajak kawan-kawan lain membuat kompilasi mereka sendiri
sebagaimediaekspresidarikomunitaskaliandihari-harikedepan.
Diluar sana perang sudah dimulai jauh hari lalu, antara mereka yang ingin mendominasi dan
mereka yang menolak dihegemoni. Lepas dari keputusan apakah kalian ingin terlibat atau tidak.
Kami meyakini, apapun dapat digunakan sebagai senjata, jika memakainya dengan baik. So this is
our ammo, locked and loaded. Terima kasih dan respek kami pada semua yang telah terlibat,
berkontribusi musik dan tulisan, mewartakan dan mendistribusikan kompilasi dan wacana ini
seluas-luasnya.
SalamPembebasan,
Ingobernables!
5. partiesguilty
the
THE WORDS
Demokrasi Langsung :
Sebuah Alternatif Anti-Otoritarian
Mengapa Demokrasi Perwakilan
Bukanlah Demokrasi?
Tak Ada Demokrasi Dalam Kotak Suara
Golongan Putih: Dari Alienasi ke Oposisi
01
02
03
04
6. Demokrasi Langsung :
Sebuah Alternatif Anti-Otoritarian
diterbitkan pertama kali di: Jurnal Kontinum #1 Januari 2008
7. Pertanyaan pertama yang mesti diajukan dalam memahami
demokrasi langsung (direct democracy) adalah apakah
seseorang akan menghianati kepentingannya saat ia dapat
mewakili dirinya?
Berbeda dengan demokrasi perwakilan yang memberikan
kekuasaan hampir mutlak pada politisi untuk memutuskan
apa saja, dalam demokrasi langsung semua proses
pengambilan keputusan diselenggarakan dari bawah.
Keputusan tersebut akan dibawa oleh delegasi yang
mendapat langsung komunitas, dimana delegasi tersebut
terikat oleh pemberi. Artinya delegasi tidak punya hak
untuk merubah keputusan. Keterikatan ini akan menjaga
bahwa keputusan yang diambil tetap utuh tidak terdistorsi
oleh kepentingan seseorang (seperti dalam demokrasi
perwakilan).
Delegasi dapat di-recall diganti atau ditarik oleh pemberi
setiap saat jika ada alasan yang cukup untuk mengganti
mereka misalnya delegasi tidak menjalankan fungsinya,
atau tidak mematuhi kesepakatan sebelumnya (tentu hal
tersebut berdasarkan kesepakatan seluruh anggota
komunitas). Demokrasi langsung bertumpu pada sistem
delegasi bukan perwakilan (representasi). Hal mendasar
yang membedakan kedua sistem adalah delegasi hanya
dipilih untuk melaksanakan keputusan tertentu
sementara perwakilan dapat melakukan apa saja.
Berbeda dengan di Yunani dan Romawi kuno, demokrasi
langsung yang kami maksud tentu tidak mengenal
diskriminasi tentang siapa saja yang berhak untuk ikut
dalam rapat dan mengambil keputusan. Untuk mencapai
sebuah masyarakat merdeka mesti dibangun dengan
metode-metode dan sistem yang merdeka pula. Oleh
karenanya semua anggota komunitas mesti berhak
terlibat secara partisipatif dan setara.
Masalah utama yang disoroti dalam demokrasi langsung
adalah adanya segelintir orang yang berkuasa atas
mayoritas lainnya. Sekumpulan orang di DPR memiliki
kekuasaan yang hampir mutlak dalam menentukan nasib
hidup keseluruhan masyarakat. Dalam demokrasi
langsung hal tersebut dibuang jauh-jauh dengan
menyelenggarakan sistem pengambilan keputusan yang
berasal dari bawah, baik dengan voting maupun alternatif
atau gabungan keduanya.
Titik tekan dari demokrasi langsung adalah siapa yang
“mengusulkan” ide-ide dan siapa yang “menyetujui”nya.
Sementara dalam demokrasi perwakilan, masyarakat tak
pernah ditanya apa gagasan dan idenya. Masyarakat
MEMOBILISASI KEMUAKAN | 05
8. hanya ditempatkan untuk bersikap “setuju” atau “tidak
setuju” terhadap gagasan dan ide yang telah disiapkan bagi
mereka. Demokrasi langsung dilandaskan pada gagasan
yang realistis bahwa “masyarakat paham bagaimana
mengatur diri mereka sendiri”. Ini yang membuat
demokrasi langsung sangat berbeda dengan demokrasi
perwakilan yang korup dan elitis itu. Kita tidak butuh kaum
spesialis untuk memberitahu bagaimana menjalankan
tempat kerja atau komunitas kita. Begitu pun juga dalam
upaya mewujudkan sebuah revolusi sosial, masyarakat
tidak membutuhkan sebuah kelompok atau partai yang
berhak memerintah kemana sebuah gerakan sosial harus
menuju. Pada dasarnya kita dapat menempuhnya tanpa
sebuah komando sentral, yang kita butuhkan adalah
wadah untuk dapat bertindak otonom dan saling
bekerjasama.
Demokrasi langsung berlaku di tempat kerja maupun di
dalam komunitas, kompleks pemukiman, kampus dan
organisasi lainnya. Pengoperasian sebuah pabrik, kantor
atau sebuah sekolah misalnya dijalankan melalui sebuah
rapat umum seluruh anggota tanpa kecuali. Para peserta
rapat mengambil suara dengan cara mengangkat tangan
atau menulis di lembar suara untuk sampai pada
keputusan, atau jika memungkinkan dapat menempuh
jalur (mufakat). Rapat ini menentukan rencana, aturan,
solusi atas sebuah masalah, sikap kolektif, dan juga delegasi
yang akan memegang _lterna dari kolektif. Pada intinya
proses ini mengembalikan _lterna secara otonom kepada
anggota komunitas bagaimana sebuah sistem sosial
dijalankan secara berimbang dan demokratis.
Secara luas, sebuah masyarakat dapat diorganisir dalam
tatanan yang demokratis, setara dan harmonis tanpa mesti
terjebak dalam sistem politik yang otoritarian, hirarkis dan
tersentral. Unit-unit terkecil dalam masyarakat harus
dijamin haknya untuk otonom secara penuh dalam
menentukan nasibnya sendiri. Masing-masing dari
unit/komunitas atau organisasi tersebut akan mengirim
delegasinya pada 'dewan atau badan' untuk membahas
hal-hal yang perlu yang berkaitan dengan hubungan antar
komunitas atau wilayah. Pengambilan keputusan dalam
skala yang besar dalam demokrasi langsung biasanya
diwujudkan dalam bentuk “dewan” delegasi yang terpilih.
Delegasi memiliki peranan atau pun kedaulatan untuk
menyajikan keinginan kelompok mereka di dalam dewan
berdasarkan _lterna dari komunitas masing-masing.
Banyak yang beranggapan demokrasi langsung sudah tidak
relevan atau sangat sulit diterapkan dengan populasi dan
geografi seperti sekarang ini. Namun lagi-lagi hal ini
terjebak pada logika umum bahwa sebuah
pengorganisasian masyarakat mesti terintegrasi secara
luas. Padahal salah satu ciri otoritarian sistem politik
dominan adalah karakter sentralistiknya dalam organisasi
sosial yang luas. Secara umum demokrasi langsung
mengusung otonomi penuh bagi wilayah atau komunitas
dan mengadvokasi proses politik yang terdesentralisasi.
Sementara parlemen dan pemerintah dalam sistem yang
kita kenal sekarang adalah institusi yang membawa spirit
hirarkis, sentralistik dan otoritarian. Dengan sendirinya
demokrasi langsung merombak struktur sosial secara
radikal karena mengubah logika sentralistik yang ada dalam
demokrasi perwakilan menjadi desentralisasi.
Satu-satunya cara membuktikan kebenaran dari
keunggulan demokrasi langsung adalah mencoba realisasi
alternatif ini. Menata sebuah tatanan sosial ke dalam
jaringan federasi tanpa pola sentralistik, hirarkis dan
otoritarian. Demokrasi langsung adalah salah satu
perangkat mewujudkan hal tersebut.
MEMOBILISASI KEMUAKAN | 06
10. Saat itu untuk memutuskan sesuatu masyarakat
berkumpul di pusat kota untuk membahas sebuah isu dan
mengambil keputusan secara langsung tanpa perwakilan.
Forum pengambilan keputusan tersebut kurang lebih
seperti forum warga dimana keputusan yang dihasilkan
bersama akan mengikat seluruh warga. Anggapan ini
menjadi baku dan mapan sehingga membangun sebuah
sudut pandang dan kerangka logis atas pemahaman kita
atas demokrasi. Bahwa apa yang pernah terjadi di Yunani
dan Romawi Kuno adalah contoh terbaik demokrasi.
Apa yang dulu berkembang di Yunani dan Romawi
bukanlah seperti yang kita yakini sebagai bukti praktek
demokrasi yang ideal. Di Yunani, demokrasi memang
berlangsung secara langsung, diputuskan secara langsung
oleh rakyat tanpa diwakili siapapun. Namun, kita mesti
melihat fakta lain bahwa yang berhak untuk datang
berpartisipasi dan mengambil keputusan bukanlah
keseluruhan warga kota. Sebuah Undang-undang yang
dibuat pada abad 5 SM di Solon menyebutkan bahwa yang
berhak duduk dalam “ecclesia” (dewan rakyat) hanyalah
mereka yang memiliki kekayaan paling tidak 5000
drakhma dan memiliki tanah sekian hektar. Hal yang sama
juga terjadi di Romawi Kuno, saat parlemen yang
dinamakan Senat dibentuk sebagai hasil dari penggulingan
Raja Tarquinius Superbus. Namun Senat Romawi yang
juga disebut sebagai contoh penerapan demokrasi klasik
yang ideal itu hanya boleh dimasuki oleh para bangsawan
dan keturunannya.
Jadi apa yang kita maksudkan dengan demokrasi jika yang
memiliki hak, berpartisipasi, dan mengontrol proses politik
hanya segelintir dari populasi yang ada? Walaupun
prosesnya berlangsung secara langsung, namun
'demokrasi' di Athena dan Romawi jelas-jelas melarang
lapisan sosial tertentu untuk ikut serta dalam proses politik.
Hanya yang pria, warga asli, bukan budak, dan memiliki
kekayaan seperti disebutkan dalam peraturan, yang dapat
mengikuti proses politik.
Mitos lain berkembang berabad-abad setelahnya.
Demokrasi perwakilan dianggap sebagai perkembangan
sejarah dari demokrasi langsung ala Yunani dan Romawi
karena keterbatasan demokrasi model klasik.
Keterbatasan tersebut seperti perkembangan populasi
masyarakat yang terus meningkat, sehingga sangat sulit
mengumpulkan jutaan orang sekaligus untuk membahas
sebuah masalah. Untuk menyiasatinya jumlah orang-
orang yang berkumpul mesti disusutkan jumlahnya.
MEMOBILISASI KEMUAKAN | 08
Kita masih sering menganggap bahwa demokrasi pertama kali
dipraktekkan di Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Demokrasi klasik ini
disebut-sebut sebagai prototipe demokrasi modern dan sering
menjadi acuan bahwa pernah ada masa dimana kedaulatan betul-betul
dipegang, dikendalikan dan dijalankan oleh rakyat.
11. MEMOBILISASI KEMUAKAN | 09
“Dewan Rakyat” yang pada mulanya beranggotakan
seluruh warga diperciut menjadi “dewan rakyat” yang
anggotanya hanya puluhan atau ratusan orang saja.
Tentu saja karena diperciut, hanya sebagian kecil saja
yang bisa ikut mengambil keputusan. Untuk
menentukan siapa saja yang bisa duduk di dewan
tersebut sebagai representasi warga lain,
diselenggarakanlah Pemilihan Umum (Pemilu).
Padahal jika ditelusuri, konsep representasi (perwakilan)
ini muncul dari watak feodalisme
(Eropa). Bermula ketika banyaknya
rakyat yang memprotes kebijakan
kalangan bangsawan waktu itu
yang kerapkali menaikkan pajak.
Karena tidak mungkin mereka
semua bicara satu persatu dengan
raja, aspirasi mereka mesti
disalurkan lewat wakil-wakilnya
(representatives).
Konsep parlemen lahir di Perancis,
mulanya disebut curia regis atau
dewan penasehat raja. Kata
parlemen sendiri berasal dari
bahasa Perancis 'parler' yang
berarti berbicara karena orang
dalam dewan penasehat tersebut
aktifitas utamanya adalah
berbicara. Sesaat setelah menaklukkan Inggris konsep
tersebut dibawa serta dan melebar disana. Jadilah
parlemen pertama di dunia di kerajaan Inggris Raya,
yang komposisinya adalah pejabat-pejabat kerajaan,
bendahara, pengusaha, bangsawan, uskup, dan para
gubernur/adipati (Lord, Duke) yang menguasai wilayah
tingkat dua.
Berkaitan dengan perkembangan politik jaman itu raja
tidak bisa seenaknya memberlakukan sebuah aturan
seperti besarnya pajak atau keputusan perang.
Kekuasaan seorang raja dalam feudalisme Eropa relatif
terbatas, berbeda dengan konsep raja dalam budaya-
budaya Timur. Sehingga ia tidak bisa seenaknya menarik
pajak atau memutuskan berperang tanpa berkonsultasi
dengan parlemen dan meminta dukungan kepada para
gubernur yang memiliki banyak pasukan atau uang
karena wilayahnya kaya. Secara militer, raja juga tidak
memiliki tentara reguler, maka jika
ingin berperang harus merekrut
petani-petani dari daerah-daerah
di kerajaannya, dengan terlebih
dahulu meminta ijin majikan
langsungnya yakni para adipati.
Meski posisi adipati berada di
bawah raja, tetapi secara politik
mereka lebih berkuasa di
wilayahnya karena memegang
kesetiaan dari rakyat lokal
ketimbang raja. Sehingga para
adipati dan kaum bangsawan ini
memiliki posisi tawar yang tinggi.
Mereka bisa saja mensabotase
rencana perang raja dengan tidak
muncul bersama pasukannya pada
saat apel siaga. Dan tentu saja petani-petani yang
direkrut ini harus diberi makan dan untuk itu diperlukan
uang.
Maka dari situ kedudukan parlemen yang
beranggotakan para adipati, bangsawan, uskup dan
pengusaha (istilahnya mereka yang “berfikiran jernih”)
sedemikian penting secara politis karena menyediakan
legitimasi bagi raja. Dan semenjak urusan yang
Jika ditelusuri, konsep
representasi (perwakilan)
ini muncul dari watak
feodalisme (Eropa).
Bermula ketika banyaknya
rakyat yang memprotes
kebijakan kalangan
bangsawan waktu itu yang
kerapkali menaikkan
pajak.
12. MEMOBILISASI KEMUAKAN | 10
dibicarakan makin banyak dan rumit, penanganan
urusan ini juga memerlukan pembagian tugas dalam
parlemen. Parlemen yunior (House of Common)
yang terdiri atas non-bangsawan perwakilan dari
daerah-daerah menangani urusan pemerintahan
sehari-hari, sedang Parlemen senior (House of
Lords) yang terdiri atas para bangsawan mengurusi
masalah yudikatif (asal mula sistem
dua kamar/bikameral).
Dalam perkembangan selanjutnya,
demokrasi perwakilan dimapankan
dalam sistem demokrasi modern.
Ciri-ciri utamanya adalah proses
elektoral, pemilihan wakil melalui
pemilu dimana hal tersebut
m e n j a d i b a t a s m a k s i m u m
partisipasi seorang warga yang
dapat ditoleransi. Bentuk-bentuk
aksi langsung yang menyerang
sistem politik dan ekonomi
kapitalisme merupakan musuh dari
demokrasi perwakilan karena akan
m e r u n t u h k a n l e g i t i m a s i
pemerintah dan parlemen,
sehingga hal tersebut tidak dapat
ditoleransi oleh demokrasi
perwakilan.
Selain itu, pemilu adalah memilih
wakil/representasi, dan bukan delegasi. Dalam
parlemen, tidak ada pemeriksaan mandat dari
konstituen atau pencabutan mandat (recall) karena
semenjak seorang anggota parlemen terpilih,
hubungannya dengan pemilihnya secara formal telah
putus. Lagipula dalam demokrasi perwakilan tak
dikenal adanya mandat dari bawah yang
memungkinkan rakyat memiliki hak veto untuk
membatalkan sebuah keputusan. Tidak ada
kewajiban secara hukum untuk berkonsultasi,
menemui, atau meminta persetujuan dari para
pemilihnya. Ini adalah karakter
otoritarian yang secara halus dan
kasar bergantian dipraktekkan.
Jadi, dapat terlihat mengapa
demokrasi perwakilan tidak lebih
dari demokrasi semu. Secara
mendasar sistem tersebut
menopang kekuasaan yang
memojokkan masyarakat luas
dengan tehnik yang sama :
mengatasnamakan orang banyak.
Mengganti pemerintahan korup
dengan pemerintahan kerakyatan
bagi sebagian orang mungkin terasa
penuh harapan, namun semuanya
tidak akan pernah membawa kita
kemana-mana semenjak hal
tersebut tetap mengamputasi
otonomi masyarakat untuk terus
mendapatkan kontrol seluas
mungkin. Inilah yang membuat
slogan-slogan semacam “Gulingkan SBY-JK”,
“Bangun Pemerintahan Pro-Rakyat” terasa garing
karena tak lebih dari upaya usang mengemas
permen lama dengan bungkus baru.
Selain itu, pemilu adalah
memilih wakil/
representasi, dan bukan
delegasi. Dalam parlemen,
tidak ada pemeriksaan
mandat dari konstituen
atau pencabutan mandat
(recall) karena semenjak
seorang anggota parlemen
terpilih, hubungannya
dengan pemilihnya secara
formal telah putus.
13. diterbitkan pertama kali di: Jurnal Kontinum #1 Januari 2008
Tak Ada Demokrasi
Dalam Kotak Suara
14. MEMOBILISASI KEMUAKAN | 12
Sepanjang tahun 2007, setidaknya 17 Pilkadal telah diselenggarakan di
sejumlah daerah di Indonesia dan menyusul 49 lagi pada 2008 ini. Oleh
banyak pihak, pemilihan kepala daerah, presiden dan anggota parlemen
secara langsung disebut-sebut sebagai contoh bagaimana demokrasi di
Indonesia sedang menguat. Dengan kata lain rakyat semakin dilibatkan
dalam gelanggang demokrasi. Benarkah demikian?
Anggapan bahwa demokrasi di Indonesia sedang menguat
didasarkan pertama pada model pemilihan yang
berlangsung secara langsung (one man one vote) dimana
rakyat dapat secara bebas memilih kandidat yang akan
mewakili atau memimpinnya. Kedua, pemilihan langsung
tidak hanya berlangsung pada pemilihan presiden atau
parlemen pusat, namun juga berlangsung sampai pada
tingkatan terbawah, yakni pemilihan kepala daerah
(Pilkada) baik Gubernur maupun Bupati/Walikota. Serta
ketiga, dibentuknya lembaga pengawas pemilu, dan
mengundang pengamat swasta/swadaya masyarakat
bahkan luar negeri untuk meyakinkan bahwa proses
pemilu berjalan dalam koridor demokrasi.
Jika dibandingkan dengan masa lampau, argumen tersebut
membenarkan bahwa tatanan sekarang lebih demokratis,
lebih transparan dan akomodatif. Terlebih beberapa
perangkat lain dalam masyarakat modern turut diciptakan
seperti Undang-undang Kebebasan Pers atau kebebasan
berserikat. Sepertinya semua persyaratan telah dipenuhi
untuk mencapai sebuah titik bernama 'demokratis' dan
membenarkan pernyataan seorang pengamat politik
bahwa dengan relatif lancarnya Pilkada-pilkada di seluruh
wilayah menyusul keberhasilan pilpres 2004 lalu, telah
menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara
demokratis terbesar di dunia.
Kericuhansebagaiciri-ciridemokrasi
Jelas, kita tidak akan percaya begitu saja dengan anggapan-
anggapan tersebut, terlebih jika memperhatikan fakta-
fakta yang terjadi di lapangan. Mari ambil sebuah contoh
hangat dimana pemberitaan media massa tentang Pilkadal
di berbagai daerah memunculkan hal yang kemudian
menjadi ciri dari penyelanggaraan 'pesta demokrasi' itu :
kericuhan.
Tak bisa dipungkiri kericuhan, yang mengambil bentuk
mulai dari pengerahan (mobilisasi) massa besar-besaran,
protes dan perselisihan hasil pilkadal, demonstrasi
menduduki kantor KPU, hingga kerusuhan dan bentrok
fisik antar pedukung, menyertai hampir seluruh proses
'demokratik' tersebut. Kejadian-kejadian ini terus terjadi
pada hampir semua proses pilkada, yang secara lambat
laun menjadi kesimpulan dangkal, bahwa dalam
demokrasi, kericuhan adalah hal lumrah dan wajar.
Kericuhan bahkan kerusuhan yang telah merambat dan
15. MEMOBILISASI KEMUAKAN | 13
mengganggu kepentingan umum (bahkan menjalar
kepada mereka yang tidak berkepentingan dengan
urusan itu) dianggap sebagai hal lazim yang menurut
bahasa para analis politik dipandang sebagai konsekuensi
dan ongkos sosial (social cost).
Dari sini muncul sebuah pertanyaan mendasar: apakah
sekelompok orang yang membela kandidat tertentu juga
berarti membela kepentingan mereka sendiri? Apakah
kepentingan mereka sama dengan kepentingan politisi
itu? Bukankah mustahil sekelompok orang yang memiliki
keinginan A akan mendukung orang berkeinginan
bertolakbelakang dengan A. Sekelompok pedagang kaki
lima yang akan digusur dan dilarang berjualan di jalan-jalan
utama kota, pastilah menitipkan suara
mereka kepada kandidat yang
menolak penggusuran tersebut.
Petani yang dirugikan dengan
masuknya beras impor tentu akan
menitipkan aspirasinya ke wakil
mereka yang akan menolak kebijakan
tersebut. Begitu juga para pengusaha
akan bersatu mendorong perwakilan
mereka untuk membuat aturan yang
melindungi investasinya dan
menekan ongkos produksi.
Logikanya, jika masyarakat pada
umumnya memiliki keinginan untuk kehidupan yang lebih
baik, lantas mengapa yang terjadi adalah sebaliknya?
Lapangan kerja menyusut, pengangguran berlipat,
kelaparan dan kemiskinan meluas, rusaknya sistem sosial,
dan menyusutnya kualitas hidup, disaat yang sama para
politisi dan elit di parlemen maupun pemerintahan justru
menikmati keistimewaannya secara politik maupun
ekonomi, dengan semakin mapannya karir mereka.
Siapakah yang mewakili siapa?
Apakahparlemendanpemerintahmunculdaribatu?
Tentu saja tidak. Kita memilih anggota parlemen dan
pemerintah kita dengan mencoblosnya saat Pemilu.
Dalam demokrasi perwakilan, pemilu adalah titik
maksimum dari partisipasi politik seorang warga. Seorang
warga hanya dibutuhkan perannya sekali dalam lima
tahun (lima menit, bahkan!), yaitu pada saat mencoblos.
Setelah itu, semua urusan dan kontrol mutlak diserahkan
pada siapa yang kita pilih. Ini berarti segera setelah para
politisi itu kita pilih, maka mereka bebas melakukan apa
saja yang dikehendakinya selama lima tahun! Termasuk
membuat berbagai rupa aturan dan kebijakan yang dapat
menyengsarakan hidup para pemilihnya!
Bukanlah kebetulan jika semua politisi
yang terpilih dapat dengan mudah
melupakan janji-janji, program atau
kontrak politiknya yang diumbar
dalam kampanye. Sebaik apapun dia,
setinggi apapun dedikasinya pada
publik, sesuci apapun niatnya,
persoalan pertama yang harus
diselesaikannya begitu mencapai kursi
kekuasaan adalah mempertahankan
kekuasaan itu. Dalam setiap
kekuasaan, akan terbangun sebuah
logika 'merawat diri' yang membuat
siapapun, bahkan seseorang yang
paling demokratis sekalipun, akan
menafikkan prinsip demokrasi apapila kekuasaannya
terancam.
Maka seperti selalu kita jumpai janji-janji dalam kampanye
dapat dengan mudah dikhianati, ditelikung atau pun
diulur-ulur. Alasan-alasan favorit para politisi adalah, “Saya
tidak menyangka akan ada hal menghalangi saya untuk
melaksanakan program yang saya janjikan”, “saya belum
dapat memenuhi janji kampanye saya karena beberapa
Logikanya, jika masyarakat
pada umumnya memiliki
keinginan untuk
kehidupan yang lebih baik,
lantas mengapa yang
terjadi adalah sebaliknya?
Siapakah yang mewakili
siapa?
16. hal yang tidak terduga”. Atau mungkin, “Saya berubah
pikiran!”
Takhayul-takhayulDemokrasi
Takhayul utama dari demokrasi perwakilan adalah setiap
orang yang berpartisipasi dalam Pemilu berarti telah ikut
menentukan jalannya pemerintahan, menentukan
kemana uang publik digunakan, atau merancang aturan
yang diterapkan. Namun kenyataan yang terjadi justru
sebaliknya. Para anggota parlemen maupun pemerintah,
entah yang berasal dari partai progresif dan selalu
mengaku lebih maju dan revolusioner, atau orang paling
baik hati sekali pun hanyalah kumpulan orang yang
berasumsi mewakili sekelompok orang.
Dalam demokrasi perwakilan, keinginan masyarakat akan
selalu terdistorsi oleh mekanisme yang ada. Sebagai
contoh Kota Makassar Sulawesi Selatan yang
berpenduduk 1.350.000 orang dengan jumlah anggota
DPRD 45 orang, maka setiap 1 anggota parlemen
mewakili 30.000 orang. Idealnya setiap orang anggota
parlemen harus mampu mengetahui, menyerap dan
menerjemahkan apa keinginan dan kemauan dari 30.000
orang yang diwakilinya untuk kemudian disalurkan dalam
rapat-rapat dan sidang parlemen. Tetapi faktanya, tak
pernah sekalipun keinginan 30.000 orang dapat
tertampung dan terwadahi oleh satu orang anggota
parlemen!
Untuk membuat sebuah kebijakan atau peraturan, kita
tidak menemukan mekanisme dimana anggota parlemen
atau pemerintah terlebih dahulu diharuskan untuk
membawa persetujuan dari masyarakat terhadap aturan-
aturan yang diberlakukan secara rinci pasal per pasal. Jika
mereka melanggar kesepakatan, pemilihnya tidak bisa
memecatnya sebagai wakil atau pemerintahnya.
Lantas, demokrasi perwakilan berjalan dengan
memanipulasi keterwakilan. Inilah sistem yang
sepenuhnya dijalankan dengan asumsi, bahwa ribuan
bahkan jutaan orang di luar gedung parlemen, dan kantor
pemerintah akan setuju terhadap keputusan-keputusan
yang diambil. Kebijakan apapun diasumsikan akan
disepakati oleh semua orang, yang telah mempercayakan
nasib kehidupannya pada sekelompok orang yang
memiliki hak istimewa hampir-hampir tanpa batas.
Dengan mencoblosnya di pemilu, maka hal itu
membuatnya memiliki legitimasi, persetujuan, dan
pengakuan yang bagi pemerintah dan parlemen adalah
alat yang legal untuk bertindak apa saja. Para anggota
parlemen dan pemerintah selalu berpegangan bahwa
mereka adalah wujud dari suara ribuan pemilihnya.
Dalam hal apapun dan bagaimana pun! Dan Jika ada yang
tidak setuju, dipersilahkan untuk menempuh jalur-jalur
yang disediakan. Jika sekelompok orang menempuh jalur
tersebut, ini akan memperkuat kesan bahwa mereka
telah berpartisipasi dalam mengambil keputusan baru.
Kondisi seperti ini memberikan pembenaran bahwa jika
keadaan menjadi buruk, maka kesalahan terletak pada
person atau individu yang berada dalam sistem
demokrasi ini. Pendeknya, segala morat-marit sosial yang
terjadi di tingkatan sosial masyarakat adalah kesalahan dari
para anggota parlemen, ketidakmampuan pemimpin
dalam membentuk pemerintahan yang bersih dan tegas,
moral politisi dan pejabat yang korup, atau
ketidakberpihakan pada rakyat. Walaupun ini benar
(bahwa kekuasaan tersebut korup, parlemen adalah
rumah bordil, dan pemerintah jelaslah bobrok), tidak
lantas memberikan jawaban utuh terhadap
permasalahan tersebut. Masyarakat terus diilusi untuk
terus menyelesaikan masalah dengan cara mengganti
pemimpin, memilih anggota parlemen yang dirasa lebih
MEMOBILISASI KEMUAKAN | 14
17. MEMOBILISASI KEMUAKAN | 15
bermoral dan lebih sensitif terhadap
permasalahan rakyat. Tetapi berulang
kali kita memilih pemimpin dan
anggota parlemen, berulang kali pula
kita menyaksikan bahwa pergantian
orang, pemerintahan, partai
pemenang pemilu, toh tidak juga
merubah kondisi ril masyarakat.
Inilah kegagalan demokrasi
perwakilan. Tidak memungkinkan
setiap orang merepresentasikan
dirinya, padahal mereka adalah pihak
yang paling mengenal dan paham
keinginannya masing-masing.
Keterwakilan justru memutasi fakta
bahwa sumber masalah bukanlah
pada sistem dan mekanisme yang ada
tetapi lebih disebabkan karena orang-orang di parlemen
atau para pemimpin tidak cakap dalam memahami
keinginan pemilihnya. Korupsi misalnya, selalu dianggap
hanya kebobrokan personal seorang pejabat dan tidak
pernah dilihat lebih luas dan dalam sebagai konsekuensi
dari gagalnya sebuah sistem dimana publik tidak memiliki
kuasa dalam mengontrol pemerintahan.
Takadademokrasidalamkotaksuara
Keadaan yang terus memburuk telah membimbing
kesadaran banyak orang untuk mengubah realitas sosial ke
arah lebih baik. Dan kesadaran itu semestinya selalu
berpijak pada bukti di masa lalu dan yang sementara
berlangsung. Kebangkrutan dan krisis demokrasi
perwakilan tidak dapat direformasi
untuk membawa kita ke arah yang
lebih masuk akal, sebaik apapun
komposisi orang-orang di parlemen
dan pemerintah yang kita pilih untuk
mewakili kita. Kotak suara dalam
pemilu/pilkada tidak pernah
menyediakan demokrasi sama sekali,
melainkan alat untuk mencegah warga
bertindak di luar toleransi.
Saat para politisi dan partainya
berlomba-lomba mengemas diri
untuk tampil lebih menarik dan
simpatik, terkesan pro rakyat dan
progresif, mengumbar jargon dan
janji-janji surga, kita masih juga
percaya dengan ilusi-ilusi usang
bahwa perubahan dapat diciptakan
dengan merebut kekuasaan, mengganti parlemen dan
pemerintah dengan orang yang berpihak pada rakyat, adil
dan memahami persoalan yang ada. Tanpa
menghancurkan sumber petakanya, masyarakat akan
tetap sebagai penonton, yang terwakilkan, yang
diasumsikan akan selalu sepakat dengan keputusan yang
diambil wakilnya. Dan kalau pun tidak sepakat, kita
dibolehkan protes selama hal tersebut tidak melebih titik
maksimal dari yang dibolehkan.
Dalam pemilu, kontrol atas hidup masih tetap bukan di
tangan kita. Satu-satunya pilihan yang tersisa bagi kita
adalah bertindak atas nama sendiri, atas nama komunitas
sendiri. Dan demokrasi langsung masih merupakan
alternatif realistis yang tersisa.][
Korupsi misalnya, selalu
dianggap hanya
kebobrokan personal
seorang pejabat dan tidak
pernah dilihat lebih luas
dan dalam sebagai
konsekuensi dari gagalnya
sebuah sistem dimana
publik tidak memiliki
kuasa dalam mengontrol
pemerintahan.
19. MEMOBILISASI KEMUAKAN | 17
Kemenangan golput tetap bukan sebuah kemenangan
politik. Itu karena golongan ini masih akan merupakan
“passive-abstentious-voters,” pemilih pasif yang tak-hadir,
atau yang keberadaannya tak punya siginfikansi politik.
Demokrasi kita masih akan tetap dikendalikan partai-partai
elitis.
Pemilu 2014 adalah pemilu besar di antara pemilu-pemilu
lain yang pernah diselenggarakan di seluruh dunia. Pemilu
ini akan memilih sekitar 19.700 kandidat legislatif yang
tersebar di 2.450 daerah pemilihan. Pemilu ini juga akan
diikuti oleh sekitar 186 juta pemilih.
Perludem (2014) menyebutkan kecenderungan naiknya
jumlah pemilih yang tak mau menggunakan haknya sejak
1999 sampai 2009. Data KPU secara resmi juga
memperlihatkan terus naiknya angka golongan putih, dari
8% (1999), 23% (2004), hingga 39% (2009). Beberapa
pengamat memiliki proyeksi yang berbeda-beda
mengenai angka golput pada 2014, yakni antara 40%
hingga 70%-an. Perkiraan tertinggi dikemukakan oleh
Tamrin Amal Tomagola, hingga 75%. Dengan mengambil
angka moderat dari semua perkiraan itu, kita bisa
menetapkan 57% sebagai proyeksi yang masuk akal.
Perkiraan semacam ini yang mungkin membuat Max Lane
mempunyai kesimpulan di atas. Pada pemilu 2009 lalu,
angka golput melebihi perolehan suara di atas semua
partai, termasuk Partai Demokrat yang mendapatkan suara
paling unggul. Jadi, sejak lima tahun lalu golongan putih
sebenarnya sudah “memenangkan pemilu.”
“Kemenangan” golput itu akan lebih terasa lagi jika kita
melihat proyeksi berbagai pengamatan mengenai bakal
merosotnya perolehan suara semua partai. Max Lane
sendiri memprediksi, suara tertinggi pada pemilu 2014
akan diperoleh PDIP dengan angka sekitar 20%, merosot
14% dibanding perolehannya pada 1999; disusul Golkar
yang merosot jadi 12%; lalu Partai Demokrat yang juga
akan jeblok di bawah 10%.
Keseluruhan proyeksi di atas tampaknya mengisyaratkan
kenyataan yang tak terbantahkan, bahwa kompetisi politik
pada periode elektoral keempat sejak jatuhnya Suharto itu
adalah kompetisi yang terjadi di kalangan elite lama. Empat
partai besar (Golkar, PD, Gerindra, dan PDIP) serta dua
partai menengah (PKB dan PPP) sebenarnya masih
mewarisi pemilahan politik kepartaian peninggalan Orde
Baru: kuning, merah, dan hijau. PDIP adalah kubu yang
masih solid, yang akan dibayang-bayangi oleh pecahan
partai Golkar (Golkar dan Gerindra) plus partai Demokrat.
Sedangkan PKB dan PKB yang mewakili kubu Islam berada
di papan bawah.
Max Lane meramalkan bahwa, seperti pada pemilu 2009 lalu, pemilu legislatif
2014 juga kembali akan dimenangkan Golongan Putih. Ini memang bukan
ramalan yang mengejutkan. Tetapi akan tetap mengherankan jika kita melihat
beberapa kemungkinan statistik bahwa, meskipun kemenangan golput kali ini
akan jauh lebih mutlak, namun fakta itu tetap tidak akan mengubah keadaan.
20. MEMOBILISASI KEMUAKAN | 18
Korupsi misalnya, selalu
dianggap hanya
kebobrokan personal
seorang pejabat dan tidak
pernah dilihat lebih luas
dan dalam sebagai
konsekuensi dari gagalnya
sebuah sistem dimana
publik tidak memiliki
kuasa dalam mengontrol
pemerintahan.
KompetisiEliteAhliWarisOrdeBaru
Mari kita lihat bagaimana partai-partai warisan Orde Baru
itu merancang kandidasi untuk perebutan posisi
kepresidenan. Golkar jelas sekali adalah pelanjut par
excellence Orde Baru. Baru-baru ini Ketuanya, Abu Rizal
Bakri, bahkan menegaskan agar kader-kadernya tidak
perlu minder dan justru harus bangga dengan kenyataan
itu. Di lain kesempatan, Ical juga pernah mengatakan akan
melanjutkan “Trilogi Pembangunan”
jika ia terpilih jadi presiden.
Pendiri Partai Demokrat, Presiden
SBY, juga adalah salah seorang
jenderal Orde Baru. Di luar politisi
Golkar yang pecah dan mendirikan
partai-partai kecil – misalnya Hanura,
Gerindra, PKPI, dan Nasdem – Partai
Demokrat belakangan digunakan
oleh SBY untuk membangun
dinastinya sendiri. Ini terbukti ketika ia
mencongkel Anas Urbaningrum dan
merebut posisi sebagai Ketua Umum
sekaligus Ketua Dewan Pembina
partai; serta menempatkan anaknya,
Ibas, sebagai Sekjennya. Belakangan
adik ipar SBY, Jenderal Edhie
Pramono Wibowo, dianggap sebagai
pilihan SBY untuk memenangkan konvensi partai dan
menggantikannya jadi Presiden.
Dinasti lain ada di PDIP. Sejauh ini Megawati masih terus
mempertimbangkan dirinya atau putrinya, Puan Maharani,
untuk didampingi atau mendampingi Jokowi. Sebagai
tokoh pengatrol suara partai, posisi Jokowi sangat
menentukan untuk mencegah kemerosotan perolehan
suara PDIP. Itulah yang membuat harga tawar Jokowi
sangat tinggi untuk posisi sebagai calon Presiden. Tapi
dalam dua kemungkinan, tidak ada jaminan bahwa jika
Jokowi naik dinasti Soekarno akan tetap dipertahankan;
begitu juga sebaliknya apakah Jokowi bisa didikte terus
menerus oleh Megawati.
Di urutan berikutnya, Gerindra, sudah mencalonkan
ketuanya Prabowo Subianto sebagai calon Presiden.
Berbagai survai menyebutkan,
dibandingkan Ical atau Edhie
Pramono, Prabowo jauh lebih
populer. Tetapi popularitas Prabowo
yang didukung oleh mesin partai yang
bekerja cepat, tetap akan dibayang-
bayangi oleh masa-lalunya sebagai
jenderal Orde Baru dengan berbagai
kasus pelanggaran HAM.
Terakhir, PPP dan PKB adalah
kekuatan politik yang terus
mengalami kemerosotan sehingga
manuvernya makin terbatas untuk
berbagai bargaining. Kemungkinan
besar mereka bahkan mengalami
kesulitan dalam berbagai negosiasi
koalisi karena suaranya yang kecil.
Alhasil, apa yang sesungguhnya terjadi adalah perebutan
kekuasaan di kalangan elite lama. Kehilangan patron besar
tunggal yang menjadi protektor mereka di masa lalu, kini
mereka saling berlomba untuk merebut posisi tertinggi itu.
Oligarki pasca Orde Baru sama sekali tidak mengubah
dasar-dasar kehidupan politik patronase yang telah
dibangun Suharto selama tiga dasawarsa.
MenujuPolitisasiGerakanPutih
21. Seperti disebutkan Max Lane, praktek politik demokrasi
elitis yang sepenuhnya dikuasai elite lama itu telah
membuat rakyat kebanyakan mengalami alienasi.
Kenyataan ini bisa dilihat secara kasat mata. Masyarakat
luas makin menyadari bahwa pemilu hanya menjadi
ajang para politisi korup untuk mendulang suara. Selama
tiga kali periode elektoral (1999-2004, 2004-2009,
2009-2014), mereka menyaksikan praktek demokrasi
semakin elitis, semakin jauh dari kepentingan rakyat.
Dengan persepsi yang meluas ini, pemilu – bahkan
demokrasi – dianggap tidak relevan dengan masalah
kehidupan sehari-hari mereka. Mereka juga
menyaksikan bahwa para politisi partai – yang
berkolaborasi dengan birokrasi yang juga korup, dan
kekuatan modal yang rakus dan agresif – ternyata hanya
memanfaatkan demokrasi untuk menumpuk kekayaan
dan menguber kekuasaan. Dalam pandangan mereka
demokrasi mengalami malfungsi, karena telah
disalahgunakan. Inilah yang bisa menjelaskan dua
fenomena penting dalam demokratisasi Indonesia
selama ini: pembajakannya oleh elite di satu pihak, dan
apatisme publik di pihak lain.
Bagaimanakah mengubah agar alienasi ini tidak berlarut-
larut menumpuk menjadi ledakan yang destruktif?
Bagaimanakah membuat pasivisme politik yang
melumpuhkan ini mengalami transformasi menjadi
gerakan publik yang kreatif dan secara politik signifikan?
Merebut kembali demokrasi dari tangan elite oligarkis
adalah skenario besar yang harus dipikirkan agar
golongan putih punya imaginasi mengenai tujuan
mereka melakukan politisasi gerakannya. Kita tidak
boleh membiarkan demokrasi hanya dipakai sebagai
sarana kompetisi elite untuk berebut kuasa sesama
mereka sendiri. Demokrasi harus dikembalikan pada
tujuan dasarnya untuk membangun sistem politik di
mana rakyat menjadi berdaulat untuk mengurus dirinya
sendiri; di mana kehidupan publik bisa dijaga dan
dikembangkan oleh publik sendiri.
Imaginasi bahwa melalui demokrasi publik bisa bangkit
itulah yang selama ini hilang dalam benak orang banyak.
Menghidupkan kembali ruang publik untuk kepentingan
publik menjadi langkah awal untuk menghidupkan
kembali partisipasi publik. Partisipasi publik inilah
persisnya yang selama ini absen dalam kehidupan
demokrasi kita. Pada kenyataannya ruang-ruang publik
kita justru telah dikuasai demi kepentingan mengejar
profit atau memperbesar pengaruh politik oleh
kepentingan-kepentingan yang sifat non-publik. Dengan
kata lain, privatisasi ruang publik telah membuat publik
terasing dari kehidupan publik.
Karena itu, bagaimana menjadikan kelompok-
kelompok masyarakat mempunyai komunitas-
publiknya masing-masing, berinteraksi dengan
kelompok-kelompok lain di ruang-publik yang terbuka
dan egaliter, untuk membahas isu-isu publik secara
bersama, itulah yang perlu dirumuskan sebagai strategi
politisasi gerakan politik putih.
Menolak pemilu adalah jalan pertama untuk
membangun imaginasi baru mengenai demokrasi
popular, demokrasi kerakyatan, demokrasi
partisipatoris, demokrasi deliberatif. Apa yang kita kenal
sekarang sebagai demokrasi elektoral-elitis itu pada
hakikatnya bukan demokrasi, tetapi oligarki dan
plutokrasi. Di banyak tempat lain, demokrasi model
representatif yang diwakili partai-partai juga sedang
mengalami krisis. Gagasan “perwakilan” itu sendiri kini
MEMOBILISASI KEMUAKAN | 19MEMOBILISASI KEMUAKAN | 18
22. telah kehilangan makna karena partai-partai politik lama
ternyata hanya bekerja demi kepentingannya sendiri atau
demi kepentingan kekuatan-kekuatan korporat yang
berada di belakangnya. Semua praktek demokrasi yang
seperti itu kini sedang digugat – sebuah gejala yang
sebenarnya juga sedang menguat di di Indonesia.
Demikianlah, penguatan gerakan golongan putih harus
diarahkan kembali untuk memperkuat keterlibatan dan
partisipasi dalam kehidupan publik; dan dalam jangka
panjang mentransformasikan demokrasi-representatif-
elitis-yang-eksklusioner-dan-anti-publik menjadi
demokrasi-delegatif-emansipatoris-yang-melibatkan-
publik.
Dalam konteks itulah, adalah penting membangkitkan
kesadaran publik untuk terus melakukan kontrol
terhadap praktek politik demokrasi Indonesia. Dengan
tema membongkar praktek demokrasi elektoral
oligarkis, kelompok-kelompok democracy watch-dog itu
harus bekerja ke arah tujuan-tujuan di atas, sambil:
menciptakan imaginasi baru, diskursus baru, dan praktek
alternatif untuk lahirnya demokrasi yang lebih
susbstansial, yang melibatkan semua kekuatan sosial-
politik yang tumbuh secara otentik dari kepentingan
masyarakat banyak. Basisnya adalah delegasi-delegasi
publik dengan kepentingan-kepentingan publiknya
masing-masing.
Krisis Demokrasi Liberal di Tingkat Global:
RelevansinyadenganPolitisasiGolput
Eksperimen agar kekuatan publik bangkit dan menjadi
basis politik baru dewasa ini sebenarnya juga sedang
berlangsung di berbagai belahan dunia. Krisis demokrasi
liberal bahkan sedang melanda negara-negara dengan
sistem demokrasi yang sudah mapan. Demokrasi politik
liberal yang bersekutu dengan ekonomi kapitalis
neoliberal telah menciptakan krisis partisipasi publik.
Diadopsinya ideologi neoliberal untuk mentransformasi
seluruh bangunan relasi-relasi sosial menjadi pasar-bebas
telah membuat warganegara mengalami depolitisasi,
mengubah political-citizen menjadi sekadar economical-
consumers. Peranan politik warganegara dengan sengaja
dilucuti untuk mengeliminasi potensi kritisnya terhadap
tatanan yang berlaku.
Sementara itu persekutuan liberalisme politik dengan
neoliberalisme ekonomi juga telah menciptakan akibat
yang meluas di mana negara-negara dipreteli peran
publiknya. Dalam doktrin politik demokrasi liberal, peran
publik negara memang seharusnya diminalkan begitu
rupa karena kepentingan publik akan diurus oleh
mekanisme pasar. Tetapi doktrin ekonomi neoliberal
yang dibangun dengan imaginasi bahwa dunia harus
menjadi pasar-global telah membuat negara-negara
akhirnya hanya menjadi agen-agen lokal bagi kepentingan
korporasi-korporasi finansial global. Begitu krisis
kapitalisme terjadi dalam skala dunia, maka akibat
langsungnya secara telak juga akan menimpa setiap
negara. Inilah yang menjelaskan mengapa krisis finansial
global yang terjadi sejak 2008, telah membuat negara-
negara demokrasi kapitalis juga langsung kolaps.
Di Eropa Selatan misalnya, tiga tahun lalu PM Yunani
bahkan diganti oleh sebuah badan yang mewakili
kepentingan IMF. Negara-negara nasional tunduk oleh
dikte korporasi finansial global. Krisis ekonomi Spanyol
dan Italia memaksa pemerintahnya menerapkan
kebjakan “economic-austerity” yang sangat ketat –
meningkatkan pajak dan mencabut semua subsidi – di
tengah-tengah bangkrutnya perusahaan-perusahaan dan
meluasnya pengangguran. Semua ini membuat rakyat
MEMOBILISASI KEMUAKAN | 20
23. Eropa marah, sementara partai-partai politik tidak bisa
melakukan apa-apa. Melalui apa yang disebut gerakan
“indignados,” masyarakat Eropa Selatan kini bangkit
melawan demokrasi kapitalis. Mereka menginginkan
terjadinya perombakan struktur ekonomi-politik yang
selama ini didikte oleh lembaga-lembaga finanasial global.
Gerakan seperti ini pula yang sedang terjadi di Irlandia,
Ukraina, Bulgaria, Boznia-Herzegovina, dan lain-lain.
Di Timur Tengah, di mana otoritarianisme bersekutu
dengan, atau didikte oleh, negara-negara kreditor Barat
yang menjadi agen IMF atau Bank Dunia, krisis
kapitalisme global yang sama telah melahirkan apa yang
disebut “Aarabellion” – sebuah revolusi yang memuncak
di lapangan Tahrir (Cairo) dan menjungkalkan Hosni
Mubarak. Bahkan rezim-rezim di bawah partai Islam
moderat seperti di Turki juga telah membuat rakyat
marah di lapangan Taksim (Istanbul), karena kebijakan-
kebijakan neoliberalnya. Hampir pada saat yang
bersamaan, perlawanan publik seperti itu juga terjadi di
Brazil atau Argentina, seperti pada gejolak yang disebut
gerakan “horizontalidad.” Gerakan ini meledak ketika
rakyat berbondong-bondong untuk merebut kembali
ruang-ruang publik dan menyatakan kekecewaannya
terhadap kebijakan-kebijakan pasar bebas yang
menyengsarakan.
MENGAPA persekutuan demokrasi liberal di Indonesia
dengan kebijakan ekonomi neoliberal yang bergitu agresif
diterapkan sejak naiknya SBY, belum juga menimbulkan
akibat yang sama dengan yang terjadi di tingkat global itu?
Sampai kapan kita masih akan terus membiarkan rezim
predatorial pasca Orde Baru ini menjadi makin destruktif
dan menghancurkan lingkungan alam dan lingkungan
kehidupan sosial kita? Sampai kapan kita akan bersikap
apatis terhadap partai-partai korup yang bersekutu
dengan birokrasi yang juga korup terus memfasilitas
berbagai kejahatan korporatis di bawah dukungan negara
neoliberal yang tak lain merupakan kaki tangan World
Bank dan IMF ini? Apakah momentum perlawanan rakyat
masih belum tiba?
Sambil menunggu matangnya situasi, ada baiknya kita
memproyeksikan bahwa satu-satunya kemungkinan
munculnya perlawanan itu akan datang dari korban, yakni
publik politik Indonesia sendiri. Publik yang sadar politik
harus dibangkitkan agar semakin tumbuh menguat. Dan
seperti kita lihat pada semakin membesarnya jumlah
golongan putih, modal politik kita adalah sikap oposisi
mereka kepada partai-partai politik dan penyelenggara
kekuasaan korup lainnya.
Dengan proyeksi seperti itu, kemungkinan-kemungkinan
memperluas basis gerakan politik putih perlu
mempertimbangkan agenda-agenda di bawah ini:
· Mengembangkan kekuatan publik melawan
kelompok-kelompok plutokratik yang menguasai negara.
· Mencetuskan gerakan spontan solidaritas
horisontal, bukan melalui komando hirarkis kepartaian
yang bersifat vertikal
· Membangun eksperimen-eksperimen demokrasi
langsung untuk menciptakan alternatif atas demokrasi
representatif
· Memperluas eksperimen untuk terciptanya proses-
proses politik deliberatif menyangkut berbagai isu publik,
bersandar pada aspirasi lokal, otonomi publik, dan
perluasan partisipasi lintas-sektoral
· Mengembangkan gerakan pengembangan
organisasi-organisasi masyarakat sipil dan gerakan sosial
lokal yang bersifat poliarkis.
MEMOBILISASI KEMUAKAN | 21
24. GUGAT
EYES OF WAR
EYEFEELSIX
GODLESS SYMPTOMS
WRECK
AYPEROS
JAGAL SANGKAKALA
MILISI KECOA
RESIST
WETHEPEOPLE!
BARS OF DEATH
SSSLOTHHH
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
The Funeral
Believe Your Choice
Manifes
Yakin Takkan Memilih
We Drift Like Daendelions
Menolak
Tamak
Bukan Untukku!
Never Trust the Government
This World is Full of Idiots
All Cops Are Gods
Deep, Far and Beyond
Copyleft owned by the bands respectively. Grimloc Records. All Fights Deserve
www.grimlocrecords.com | twitter.com/grimlocbdg
partiesguilty
the
THE SOUNDS
25. The Funeral
GUGAT
Music & Lyrics: Gugat
Recorded, mixed & mastered at Extend Studio
by Toteng Forgotten
GUGAT: Achi, Okid, Iman Komenk,
Oce, Bayu, Doel
01
Believe Your Choice
EYES OF WAR
Musik dan lirik oleh Eyes of War
Recording & mixing di Red Studio Bandung
EYES OF WAR: Deriz, Badick, Gigon, Kaufan
02
angin pemberontakan menyerang langit dan b umi
seribu masa silam menuding kepadaku
gelap mata bagai raga tak bernyawa
sampai kau ucap syarat
secara kasat mata
berlari, berhenti, terdiam, membayang fana
desir udara merangkap kulit ariku
selimuti yang terasing dari realita
saat ini deretan kenang silih menyilih
menunda pertanyaan jalan kehidupan
bulan retak langit tertumpah darah
tungkup kehidupan yang diteror dunia
saat tubuh menggigil terhuyung
kehenungan seperti telaga besar yang beku
sebaris angin mengiring rasa empati
berusaha mundur dan menjauh
Menolak apa yang kita tidak yakini
injak mereka yang memaksa
harus sejalan,tetap sejalan
percaya tanpa dipaksakan
hanya kita yang tentukan
jalan mana yang kita pilih
believe your choice true to the line
prove your self you will always true
Berdiri bersama disini untuk sesuatu yang kita yakini
tak perlu takut ataupun ragu
tetap yakini apa yang kita percaya
BELIEVE YOUR CHOICE
26. Memilih untuk tidak memilih lebih baik berdalih dengarkan mereka
bertasbih dengan mulut berbuih
[Soulkilaz]
poster wakil rakyat memborbardir tanpa motor
layaknya porter tanpa eskalator meracuni otak bagai narator
seperti komposer penebar janji palsu
layaknya vibrator tanpa sensor
dispenser anti dahaga mineral pengilang haus para kuroptor
barter suara harta tahta bahkan nyawa menjadi terminator kotor
para carter calo iblis menjadi motor
pembabat plagiat bak terminator
master penjilat jadi kompor, bakar akal sehat para sponsor
merger busuk politikus kamper dan tumbuh menjadi pospor
kremasi semua orasi para petinggi
penuh janji basa basi tanpa nyali
televesi hanyalah agen multi level martketing tingkat tinggi
penebar janji dan demokrasi hanya hirarki.
Manifes
EYEFEELSIX
Music produced by Jay Beathustler
Co-produced by Morgue Vanguard
Lyrics written by Mindfreeza and Soulkilaz
Scratchworks performed by DJ Evil Cutz
Recorded at Garputala, Mixed and Mastered at
ChronicLab by DJ Scratchy
EYEFEELSIX are: Soulkilaz, Mindfreeza,
Jay Beathustler, DJ Evil Cutz
03
Memilih untuk tidak memilih lebih baik berdalih dengarkan mereka
bertasbih dengan mulut berbuih
[Mindfreeza ]
Poly trick basi menukik kembali
Usik pagi lontar speak babi
Apik racik idiologi, umpan balik asumsi
Taktik promosi membidik akuisisi
Wacana serupa mulut berbusa, perkosa pengeras suara
Jargon tukang obat berdiploma,
apik meracik formula
Roda agenda propaganda bergulir tanpa jeda,
euphoria pesta birokrat melanda
Tanda pada demokrasi dibalut kain kafan diarak dalam keranda
Lacur korporasi televisi, atur mediasi kaderisasi
Luntur esensi akreditasi, hancur digagahi demostfuckin crazy
Pudar nilai yang kalian takar,
bila setiap pembodohan telah kalian anggap benar.
27. Sistem usang dan kami terlena,
Muntahkan busuk bualan, peduli negara kau jual,
Lembar suara hipnotis, rasuki jiwa raga,
Derita bertubi, mengejar meregang.
*Racuni dan bius, mereka terbahak! - 2x
Bual kosong tercipta dan terus mengakar,
Angguk angguk tunduk seperti mereka minta,
Muak muntah pendam amarah,
Sudah cukup ikuti, sudah cukup teracuni.
**Untuk janji di tiap sudut lalu gunung yang kau jual,
Milik siapa, untuk siapa!
Yakin takkan memilih! - 2X
Yakin takkan memilih, takkan pernah teracuni. - 2X
muak dan muntah pendam amarah,
Tak lagi teracuni, tak lagi memilih,
Percaya dikhianati, takkan terobati,
Yakin takkan memilih, tak akan memilih..
Yakin takkan memilih!!
04
Yakin Takkan Memilih
GODLESS SYMPTOMS
Musik dan lirik oleh Godless Symptoms
Direkam live di Postweg Cafe Bandung 09/03/14
Mixing di Red Studio Bandung
GODLESS SYMPTOMS: Baruz, Tommy,
Goestie, Dicky, Luke
We Drift Like Daendelions
WRECK
05
Direkam di Bilik Studio Bandung, 22 Maret 2014.
Dimixing oleh Ababil Ashari.
Musik dan lirik ditulis oleh Wreck
WRECK: Triyadi F, Heyipul, D Senjahari, Codename A.
I'm not talking about The Clash songs / that's all
about old history, too long / I've got my own way to
hit the ground / fly away, out of this world before I
drowned / here, I'm jailed / restricted our lives like
there's a hell inside of me / and why under a bright
sun that looks just like a pain I lost / I look at my
funeral and there's no words? / but, when all hope
has been left behind / I breathe in and shout a
survival sickness rhyme / You said: Let's join with us
and gimme your dignity, so I will pay your dreams! /
I said: Hey mister, eat a dick. I will mocking you.
You're truly an asshole, bastards!
28. Deretan lembaran kertas bergambar wajah dan selogan
janji, berserakan di tempel di tembok jalanan.
Berbagai media iklan mereka lakukan.
Kalian takan memberi perubahan yang berarti.
kami menolak untuk di bohongi.
Kami menolak untuk tersodomi.
Kami menolak untuk di dominasi
Kami menolak.
Saat satu terpilih siap tertikam dan menjadi korban.
Budaya cerita pilu di negri yang semu.
Isi dari kotak pilu hanya harapan yang sendu.
Tak usah kalian merayu..... kami tetap menolak.
Menolak
AYPEROS
06
Musick and Lyrics: Ayperos
Recorded at Tirgas Studio Bandung
Mixed by Diaz /Necrohell Room
AYPEROS : Decky, Vicky Crust,
Tony D, Garry
Tamak
JAGAL SANGKAKALA
Prod: Deepsmoke for Vessel & Crowbar
Written by: Jagal Sangkakala
JAGAL SANGKAKALA: Procezz, Deepsmoke, Jism,
Alias, Luo Endo, Yansenist The Tru Aim
07
Kami muak konspirasi perlu terkuak (4X)
(Procezz)
Mendikte langkah kritis,tertahan amukan picik
puluhan laras pembodohan bangsat kapitalis,
demokrasi terlanjur membuat kami muak,...
mreka hanyalah topeng pelindung tirani yg menunggu
terkuak,
para penguasa peler kronis lo kering,
politik layak ngentot yg slalu kalian paksa sanding,
kini butuh insulin koma
meredam benturan kenyataan yang luput dari propaganda
(Alias)
Pesta para hyenna demokratis bertajuk pemilu
Bergelut berebut kursi bergengsi layak benalu
Buat Riau sebelas siaga satu
Untuk para korban Kelas berat di atas Ring tinju
Bidik pencitraan instant benih benih anarki
hapus logis helatan bisnis ideologi
29. Kala nasib negri di tangan oportunis banci
Saatnya bangkit satukan kepalan resistansi
Reff
(Deepsmoke)
Tak perlu kejutan atau shock terapi,
kini tikus rakus ajak kucing pesta mabuk dan sex orgy
gambaran negeri imitasi,
yang kaya amputasi alam dan pejabat SARAP berprestasi
Haruskah trus kuterima?
Saat slogan otak marduk mreka siap pecahkan dubur sipir
penjara?
Oh, no. Kalian budak segitiga,
kami racuni anggurmu hingga semua mata kan terbuka!
(True Aim)
Perhelatan pesta para bedebah, para penjilat nanah
Bathory wujud carera berkoar demokrasi gonorea
Fantasi fiesta viva la vidaloca dalam ketiak garuda
Tebar cumshot pada setiap tahyul kotak suara
Orasi bisa hydra sehina acara uya kuya
Merajalela, layak kulit berkusta
Kalian adalah buruan yg siap kami bedah
Reff
(Ji$M)
keputusan konyol oligarki serakah
semurah hantaman dengkul ustad tanpa sertifikasi dakwah
yang terjadi hari ini adalah
kajian mewah perkara tanpa ritual jelangkung arwah
pancasila
demokrasi importir tak perlu pemilu
yang hanya lahirkan pemimpin bermental inlander bisu
demokrasi undang undang perampok
memasok kriminal yang sepantasnya kalian bacok
(Endo)
Mencandu mandat layak madat
kubur harapan bagai mayat
partisipasi hanya kredo hasil cuci otak
liturgi sesat memuja figur pencitraan
repetisi preseden busuk ini statement penolakan
pengemis suara tuli aspirasi
alasan kenapa tak ada garuda di dada ini
aku muak salahkan Tuhan atas semua kesialan
semua sebab wajah dikertas yang kau jadikan pilihan
Kami muak konspirasi perlu terkuak (2X)
Reff :
Kami muak
Konspirasi perlu terkuak
Bongkar semua tamak
Bongkar semua tamak
30. Kau memang terlahir lebih dulu
Tapi jalan hidup kita berbeda
Tak dapat kau dikte dan paksakan
Ini hidupku bukan hidupmu
Berpikirlah untuk dirimu sendiri
Pilihanmu bukan pilihanku
Persepsi baik dan buruk kita jelas tak sama
Tentukan yang terbaik untukmu, bukan untukku!
Bukan Untukku!
MILISI KECOA
Musik & Lirik: Milisi Kecoa
Live recording at Odissey Studio oleh Bubu
Mixing oleh Babam
MILISI KECOA: Acil, Ama, Cupy, Dani, Kadek
milisikecoa@yahoo.com
08
Never Trust Government
RESIST
09
Musik & Lirik: Resist
Live recording at Odissey Studio
Mixing: Bubu & Babam
Backing vocal: Ebi Doombray, Adi Error Brain
RESIST: Jured, Uki, Bobob, Kadek
Never trust government
Kita terlahir di dunia penuh dgn akal busuk.
Dimana pohon berdiri menopang bumi.
Pohon terpotong menjadi uang.
Air mengalir penuh dengan sampah kapital.
Dengan malam penuh dengan kebencian.
Kulihat sudut sana penuh dengan gelandangan.
Tersudut tersungkur kemajuan jaman.
Berharap dari langit tak pernah datang
We never trust goverment
We never trust goverment
Bomb....!!!!
We never trust goverment
We never trust goverment
31. 10
This World is Full of Idiots
WETHEPEOPLE!
Music and lyrics written by Wethepeople!
Recorded at Teargas Lab
Mixed and Mastered by Irsyad Ali So at Teargas Lab
WETHEPEOPLE!: Abdul Aziz, Ar an Firmansyah,
Trie Waskito, Whisnu Wardhana
The dumbest you can nd / They never use their
mind / They drool upon them self / They drool upon
them self / It's full of idiots.. the world it's full of
idiots / It's full of idiots.. the world it's full of idiots.
*Di dunia ini banyak orang yang merasa dirinya paling
pintar dan jenius, atau bahkan mungkin setiap manusia
harus disebut orang yang pintar karna setiap ucapan
dan tindakannya bisa merubah dan mempengaruhi
lingkungan, dan memang orang pintar dan jenius ini
sangat banyak jumlahnya sehingga mereka akhirnya
saling bersaing untuk bisa menjadi tidak sama dengan
orang lain (beda) hingga mereka lupa dengan manusia
lainnya, ahh saya jadi ikutan bodoh menjelaskannya
All Cops Are Gods
BARS OF DEATH
11
Music produced by Morgue Vanguard
Co-produced by Jay Beathustler
Lyrics written by Morgue Vanguard and Sarkasz
Scratchworks performed by The Cutmaster Evil Cut aka DJ-E
No loop machine used, all played live on turntables
Mixed and Mastered at ChronicLab by DJ Scratchy
BARS OF DEATH are: Morgue Vanguard and Sarkasz
[Sarkasz]
kami dewa mulai perempatan lampu merah
Kim jong Ill di korea hingga kalashnikov di cigondewah
petakan realita ala murdoch pada arus berita
dengan kemampuan Caligula dihadapan anus balita
sekiri sandinista, kami jabat tangan ortega
siapapun pemimpinnya, kami hidup dengan omerta
Sebut kami John Gotti abdi la cosa nostra
Seloyal perompak somali dihadapan kotak pandora
Seloyal mercenary dihadapan uang sewa
Dan seloyal kyai yang berorasi dihadapan massa
karena kalian hanyalah medium perantara
yang melegitimasi penjualan Ciremai sebagai syarat AFTA
kami pastikan setiap upeti sampai jakarta
haur konengkan nusantara jika tak selesaikan perkara
hingga tak ada lagi yang tersisa
hingga kami ambil alih semuanya, dan kalian hanyalah pemirsa
[Morgue Vanguard]
kredo agama komando dan lencana, pseudo bhayangkara,
moral berseragam dengan tarif sesuai selera
serupa pabrik romusha yang membutuhkan centeng
demokrasi berada ditangan kami yang menggenggam beceng
32. Deep, Far and Beyond
SSSLOTHHH
12
Live recorded at Odyssey Studio Bandung
Mixed and mastered by Rayhan Sudrajat
Music and lyric by SSSLOTHHH
SSSLOTHHH are Vinsensius, Syahroni and Dinar
Contact: +6282116000912 / ssslothhh@gmail.com
penjaga vital pintu kapital, garda depan penjagal
pelindung pesta CEO tempat elit kami berportal
pada pemadat yang rutin kami palak dan anal
kami tinggalkan marka makna kesaktian tuhan mega kolosal
korps kami imortal, jangan coba menjajal
geng motor adalah cunguk, kami raja sebenarnya diatas aspal
persetan bantuan hukum yang hafal ribuan pasal
kami adalah hukum, maaf, kami tuhan dalam arsenal
jangan coba tulis sampah yg menyudutkan kesatuan
kami ma a yang dilegalkan, darklords adalah rekanan
kami adalah alasan mengapa ormas diperlukan
dan kedamaian takan datang bila kami dilenyapkan
[Morgue Vanguard]
hukum hanya mitos, lihat apa yang sedang terjadi
belajar dari nasib para petani yang kami bui
dari lahan pantai Kulon Progo hingga Mesuji
kalian pikir siapa lagi yang selalu kami bekingi
[Sarkasz]
Kami adalah rotasi bumi/yang dihuni prostitusi/
Dan adiksi karnivora diplomasi suku tutsi/
Jika massa menjadi komoditas untuk berbagi kursi/
maka ilusi dan rasa takut adalah aset industri/
represi berakumulasi, responsif di akulturasi/
kami bermain imaji dansa di moshpit Rosemary/
teriakan anarki sampai kalian mati/
karena kalian tak bisa hidup tanpa pemimpin dan kami/
[Morgue Vanguard]
serupa demonstran yang kami seret ke dalam kandang
kami gelandang demokrasi hingga meradang
kalian aktivis kiri terlalu banyak bacot
kami kirim sebatalyon ormas
ratakan semua muka kalian dengan got
A.C.A.G
Winds roar now forming vortex
Spinnning without direction
when the moon embrace the larger
it was reluctant to go and wraps more
long nights to be lived, very deep feels cold
the light was shame to rise but we continue
chattering about coming of the end