Essay - Posisi Luar Negeri Indonesia dalam Kasus Pengungsi Rohingya
1. POSISI POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENGHADAPI
KASUS PENGUNGSI ROHINGYA
Indira Junita Jauza | 2014330217 – Kelas B
0171 / R. 03502
Masalah pengungsi merupakan masalah yang sangat serius yang
dihadapi oleh masyarakat internasional yang penanggulangannya
memerlukan kerjasama masyarakat internasional secara keseluruhan.
Masalah perlindungan kepada pengungsi juga merupakan masalah klasik
yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Konvensi 1951 terkait status
pengungsi (refugees) dan Protokol 1967 merupakan perwujudan hukum
modern dari tradisi kuno dan universal memberikan perlindungan pada
mereka yang berisiko dan dalam bahaya. Kedua instrumen tersebut
mencerminkan nilai dasar manusia pada konsensus global yang ada dan
instrumen pertama dan hanya pada tingkat yang secara global khusus
mengatur penanganan mereka yang dipaksa untuk meninggalkan rumah
mereka karena pecah dengan negara asal mereka.
Istilah dan definisi pengungsi (refugees) pertama kali muncul pada
waktu Perang Dunia Pertama, yang dianggap sebagai titik kulminasi dari
proses pembangunan sebuah bangsa.1
Selama setengah abad, mereka telah
secara jelas menunjukkan adaptasi mereka untuk mengubah keadaan faktual.
Dimulai dengan pengungsi Eropa dari Perang Dunia Kedua, Konvensi telah
berhasil diberikan kerangka untuk melindungi pengungsi dari penganiayaan
baik dari rezim represif dan pergolakan yang disebabkan oleh perang
kemerdekaan, atau banyaknya konflik etnis dari era pasca-Perang Dingin.2
Saat ini, perlindungan pengungsi internasional diperlukan seperti ketika
1
Peter J.Taylor, Political Geography World Economy, Nation State and Locality, Es Sex :
Longman, ed. 1993. dalam Achmad Romsan, Pengantar Hukum PengungsiInternasional :
Hukum Internasional dan Prinsip-prinsip Perlindungan Internasional, (Jakarta: UNHCR,
2003), hlm.28.
2
Lihat umumnya, UNHCR, The State of theWorld’s Refugees (Oxford University Press,
2000).
2. Konvensi 1951 diadopsi lebih dari lima puluh tahun yang lalu. Sejak akhir
Perang Dingin, ketegangan membara yang bersifat antar-etnis sering
dimanfaatkan oleh politisi populis telah meletus menjadi konflik dan
perselisihan. Masyarakat yang hidup bersama selama beberapa generasi
telah dipisahkan dan jutaan orang mengungsi. Secara terencana warga sipil
dan pengungisan mereka ditegakkan tidak hanya mewakili metode
peperangan tetapi telah menjadi tujuan dari konflik. Terlihat jelas,
pemindahan paksa tersebut merupakan alasan definisi pengungsi (refugees)
dalam Konvensi.
Hingga saat ini, masalah klasik yang masih terus terulang adalah
perilaku pengungsi di negara transit, yakni pelanggaran-pelanggaran yang
tergolong sebagai tindak pidana dan melanggar hukum nasional negara
tempat dimana ia berada. Salah satu contoh terhadap masalah tersebut yaitu
beberapa pengungsi Rohingya pada tahun 2009. Rohingya adalah pengungsi
asal Myanmar dan Bangladesh yang transit di Indonesia dengan tujuan akhir
ke Australia. Kebijakan hukum dan politik pemerintah Myanmar terhadap
Minoritas suku Rohingya menjadi isu hukum internasional yang relevan.
Sebagai warga minoritas, kelompok etnis Rohingya selama ini mengalami
tekanan masalah sosial, budaya, ekonomi, dan pengabaian hak-hak dasar
mereka. Hal tersebut menyebabkan ribuan warna etnis Rohingya terkena
dampak kekerasan yang mengakibatkan banyak warga yang meninggal,
kehilangan kewarganegaraan dan mengungsi.
Salah satu teori atau pun perspektif yang sering digunakan dalam
mempelajari studi hubungan internasional (HI) yaitu teori realisme atau juga
sering disebut sebagai “spektrum ide”.3
Realisme menjadi sebuah paradigma
besar setelah kegagalan LBB dalam upaya untuk mencegah terjadinya
perang pasca perang dunia pertama. Kaum realis berpendapat bahwa
mustahil menata ‘hutan’ menjadi ‘kebun binatang’. Hewan-hewan yang
terkuat tidak akan membiarkan dirinya ditangkap dan dimasukkan ke dalam
kandang.4
3
Goodin, Robert E. (2010). The Oxford Handbook of International Relations. Oxford: Oxford
University Press. hal. 132
4
Jackson, Robert & Sorensen, George. 2009. Pengantar Studi Ilmu Hubungan Internasional,
3. Dalam tulisan ini, penulis akan menjabarkan beberapa penjabaran
pengertian mendasar realisme dari pandangan Morgenthau, khususnya
terkait dengan langkah-langkah Indonesia dalam menangani kasus
pengungsi Rohingya. Hingga saat ini, konsep interest dan power oleh
Hans J. Morgenthau masih menjadi konsep terpenting dalam studi
Hubungan Internasional.
Realism: the state, national interest and foreign policy (Hans J.
Morgenthau)
Realisme klasik dalam teori HI dipengaruhi oleh beberapa tokoh
diantaranya yang paling besar adalah pandangan Hans J. Morgenthau.
Karyanya yang begitu fenomenal berjudul Politics Among Nations ditulis
diakhir Perang Dunia II, saat itu Amerika menjadi negara yang memiliki
kekuatan internasional yang paling tangguh. Selain pembahasannya
terpaku pada perang akan tetapi di sisi lain juga membahas peranan
Amerika Serikat terhadap dunia pasca perang (Scott Burchil & Andrew
Linklater, 1996: 99). Karya penting Morgenthau oleh karenanya terbagi
dalam dua pihak: karya itu merupakan pernyataan intelektual yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi mahasiswa di generasi itu di
lingkungan akademi HI dan merupakan serangkaian panduan bagi para
pembuat kebijakan luar negeri AS yang dihadapkan pada ketidakpastian
Perang Dingin.
Mengenai Human Nature, Morgenthau berpandangan bahwa pria dan
wanita secara alami adalah binatang politik. Dimana maksudnya mereka
dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan untuk memperoleh hasil dari
kekuasaan. Morgenthau juga berbicara tentang animus dominandi, dimana
artinya manusia “haus” akan kekuasaan.5
Pengharapan akan kekuasaan
bukan hanya menghasilkan pencarian keuntungan relative (relative gain)
teapi juga pencaian wilayah politik yang terjamin keamanannya yang dapat
Pustaka pelajar Offset, Hal. 56.
5
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional, Penerbit
Nusa Media, Hal. 99.
4. digunakan untuk mempertahankan diri sendiri dan untuk memperoleh
kebebasan diri sendiri dari pihak lain. Itu merupakan aspek keamanan
animus dominandi. Wilayah politik yang paling akhir yang di situ keamanan
dapat diatur dan diperoleh. Tentunya hanyalah negara merdeka.
Keamanan diluar negara adalah mustahil.
Morgenthau membungkus teori HI-nya dalam “enam prinsip realisme
politik”6
sebagai berikut:
1) Politik berakar dalam sifat manusia yang permanen dan tidak
berubah yang pada dasarnya mementingkan diri sendiri.
2) Politik adalah “wilayah tindakan otonom” dan oleh karena itu tidak
dapat terlepas dari masalah ekonomi atau dari persoalan moral.
Para pemimpin negara seharusnya bertindak sesuai dengan
petunjuk kebijaksanaan politik.
3) Kepentingan pribadi adalah fakta mendasar kondisi manusia:
seluruh rakyat memiliki minat yang sangat rendah dalam hal
memperjuangkan keamanan dan keber;angsungan hidupnya.
Politik adalah arena mengekspresikan kepentingan-kepentingan
yang cepat atau lambat akan berubah menjadi suatu konflik. Politik
Internasional adalah arena kepentingan-kepentingan negara yang
sedang berkonflik. Tetapi kepentingan-kepentingan tidaklah tetap:
dunia selalu berubah kapanpun dan dimanapun. Realisme adalah
doktrin yang menjawab fakta dari realitas politik yang berubah.
4) Etika hubungan internasional adalah etika situasionaL atau politis
yang berbeda jauh dari moralitas pribadi. Seorang pemimpin politik
tidak memiliki kebebasan yang sama untuk melakukan sesuatu
yang benar seperti yang dimiliki warga negara pribadi. Hal itu
disebabkan pemimpin politik memilik tanggung jawab yang jauh
lebih berat dibandingkan warganegara pribadi: ia bertanggung
jawab pada rakyat (terutama pada negerinya) yang bergantung
padanya; ia bertanggung jawab untuk keamanan dan
6
Enam prinsip realisme secara luas bersumber pada: Morgenthau, Hans J. 2010.Politik Antar
Bangsa. Yayasan Pustaka Obor. Hal. 4.
5. kesejahteraan mereka. Pemimpin negara yang bertanggung jawab
harus berjuang tidak melakukan yang terbaik, malainkan,
melakukan yang terbaik ketika keadaan pada saat itu mengijinkan.
Situasi pilihan politik yang terbatas tersebut adalah inti normatif
etika kaum realis
5) Oleh karena itu, kaum realis menentang pemikiran bahwa bangsa-
bangsa tertentu-sekalipun bangsa yang sangat demokratis seperti
Amerika Serikat dapat memaksakan ideologinya pada bangsa lain
dan dapat menggunakan kekuatannya dalam mendukung tindakan
tadi. Kaum realis menentangnya sebab mereka melihat itu sebagai
aktivitas berbahaya yang mengancam perdamaian dan keamanan
internasional. Pada akhirnya, hal itu dapat berbalik dan
mengancam negara yang sedang berjuang.
6) Seni bernegara adalah aktivitas sederhana dan cenderung
membosankan yang menimbulkan kesadaran penuh akan
keterbatasan dan ketidaksempurnaan manusia. Pandangan
manusia yang pesimistik sebagaimana adanya dan bukan
sebagaimana yang kita harapkan adalah sesuatu kenyataan yang
sulit yang terdapat dalam inti politik internasional.
Dari enam prinsip politik diatas bisa dilihat bahwa Morgenthau
menganggap bagwa negara bangsa sebagai suatu kesatuan dalam politik
internasional. Meski demikian Morgenthau juga tidak menganggapnya
sebagai ekspresi utama dari komunitas politik. Morgenthau merasakan
bahwa kekuatan globalisasi akan mengubah negara bangsa menjadi tidak
berlaku lagi dan segera akan menjadi usang.7
ANALISIS
Posisi Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya
Berbagai media baik cetak maupun elektronik telah memuat berita-
7
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional, Penerbit
Nusa Media, Hal. 99.
6. berita tentang pengungsi Rohingya dari Myanmar. Orang-orang Rohingya
adalah sebutan bagi kaum minoritas muslim yang berasal dari kawasan
Arakhan di sebelah Barat Myanmar. Penduduk di kawasan tersebut
umumnya berasal dari keturunan Arab yang hijrah ke wilayah tersebut
sejak masa kekhaisaran Mughal, Kekaisaran Muslim yang pernah
berkuasa di sub kontinen India pada tahun 1526-1858.
Fakta terkait pengungsi Rohingya, yaitu pertama, etnis Rohingya jelas
tidak diakui sebagai rakyat Myanmar (stateless). Kedua, mereka
mengalami perlakuan diskriminatif dan rasis baik secara ekonomi, sosial
maupun politik. Ketiga, etnis Rohingya mengalami berbagai penyiksaan
dan pelanggaran HAM dengan diperkerja paksakan, diberi upah minim dan
bahkan tanpa upah diberbagai proyek pembangunan infrastruktur di
Myanmar.8
Bagi Morgenthau, sifat manusia merupakan dasar hubungan
internasional tidak lebih dari hubungan manusia lain dimanapun. Manusia
mementingkan diri sendiri dan mengejar kekuasaan, dan itu dapat dengan
mudah mengakibatkan agresi.9
Myanmar secara terang-terangan
mengejar kebijakan luar negeri yang agresif dan dicapai melalui konflik.
Tidak ada yang mustahil mengingat bahwa hubungan internasional sudah
terbiasa diiringi dengan pilihan kerjasama atau konflik. Terdapat
pandangan kaum liberal dimana perang atau kebijakan yang menjadikan
konflik sebagai wadah untuk mencapai tujuan hanya merupakan pilihan
yang mengesampingkan kepentingan rakyat dan mendahulukan
kepentingan dan nafsu buas elit-elit politik.
Pandangan Morgenthau yang juga penting adalah “politik
Internasional, seperti semua politik, adalah perjuangan demi kekuasaan.
Apapun tujuan akhir dari politik Internasional, kekuasaan merupakan tujuan
yang selalu didahulukan, dan cara-cara memperoleh, memelihara, dan
8
Myanmar, The Rohingya Minority: Fundamental Right Denied, Amnesty International, May
2004, AI Index: ASA 16/005/2004
http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA16/005/2004/en/dom-ASA160052004en.pdf.
9
Jackson, Robert & Sorensen, George. 2009. Pengantar Studi Ilmu Hubungan Internasional,
Pustaka Pelajar Offset, Hal. 55.
7. menujukkan kekuasaan menentukan teknik aksi politik”. Dalam perjalanan
waktu sejak Myanmar dikuasai oleh Junta Militer, orang-orang Rohingya
menjadi sasaran dari berbagai bentuk kekerasan dan tindakan lain yang
melanggar HAM mereka. Banyak diantara mereka yang dipekerjakan
secara paksa untuk membangun jalan dan kamp militer, dianiaya dan
kaum perempuan menjadi korban perkosaan. Menurut Amnesti
Internasional, orang Rohingya telah mengalami penderitaan yang cukup
panjang akibat pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah Junta
Myanmar. Pemerintah Myanmar yang tidak bertanggung jawab terhadap
orang-orang Rohingya mengakibatkan gelombang pelarian dan
pengungsian dari orang Rohingya menyebar ke berbagai negeri, termasuk
juga ke Indonesia.
Indonesia hingga saat ini belum menjadi negara pihak (state parties)
dari Konvensi Jenewa Tahun 1951 tentang Pengungsi dan Prototol 1967.
Dengan belum menjadi pihak pada Konvensi Tahun 1951 dan Protokol,
maka Pemerintah Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk memberikan
penentuan status pengungsi atau yang biasa disebut dengan “Refugee
Status Determination” (RSD), sehingga pengaturan permasalahan
mengenai pengungsi ditetapkan oleh UNHCR (Badan PBB yang mengurusi
soal pengungsi) sesuai dengan mandat yang diterimanya berdasarkan
Statuta UNHCR Tahun 1950. Semua negara yang belum meratifikasi
Konvensi Pengungsi wajib menjunjung tinggi standar perlindungan
pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum internasional umum,
karena konvensi tersebut sudah menjadi jus cogens, dan tidak seorang
pengungsipun dapat dikembalikan ke wilayah di mana hidup atau
kebebasannya terancam.10
Indonesia telah menolak secara konsisten segala bentuk diskriminasi
atas dasar agama, suku dan alasan-alasan lain. Sikap Pemerintah
Indonesia terhadap persoalan Rohingya di Myanmar, termasuk kepedulian
untuk membawa dalam diskusi multilateral dan bilateral dengan Myanmar
(Jawahir Thontowi, 2013).
10
Atik Krustiyati, “Aspek Hukum Internasional Penyelesaian Pengungsi Timor Leste”,
Disertasi Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945), Surabaya, 2009: 13.
8. Hubungan antara pemerintah Indonesia dan Myanmar cukup dekat,
baik secara bilateral maupun dengan negara kawasan. Karena itu pula,
kepedulian yang ditunjukkan Indonesia lewat berbagai macam bantuan dari
masyarakatnya diharapkan bisa diteirma tanpa mencederai hubungan
persahabatan kedua negara.
Upaya pemerintah Indonesia secara multilateral dan regional aktif ikut
membahas permasalahan etnis Rohingya, seperti di dalam organisasi-
organisasi kemanusiaan: UNHCR, IOM dan JVT. Diplomasi mengangkat
isu Rohingya di KTT ASEAN, Forum Bali Process dan KTT OKI yang
berlangsung di Mekkah, Saudi Arabia tanggal 14-15 Agustus 2012 juga
sebagaimana diketahui, atas inisiatif Indonesia dan beberapa negara
ASEAN, telah mendorong pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan
konflik.
Dalam perspektif realis, kebijakan luar negeri adalah tujuan nasional
suatu negara yang dipengaruhi oleh perilaku interasional seperti
keamanan, kapasitas militer dan aliansi negara. Pemerintah Indonesia
tidak dapat menutup mata terhadap penderitaan etnis Rohingya dan
berupaya untuk mencari solusi terbaik sesuai yang diamanatkan oleh UUD
1945.11
Sesuai dengan amanat UUD 1945 untuk ikut menciptakan
perdamaian dunia, menjaga ketertiban dunia, dan menghapus segala
tindak penindasan, maka terlepas dari apakah manusia perahu tersebut
adalah pengungsi yang berhak mendapatkan perlindungan atau pencari
suaka bermotif ekonomi, secara moral, Indonesia sebagai negara
kedua/transit wajib memberikan perlindungan kepada mereka, sampai
statusnya jelas. Hal ini tercantum dalam UU Dasar 1945, Keputusan MPR.
No.XVII/MPR/1998, UU No. 39/1999 mengenai HAM, dan UU No. 37/1999
mengenai Hubungan Luar Negeri yang menyiratkan bahwa setiap orang
berhak mendapatkan suaka dan perlindungan HAM. Pemerintah Indonesia
menegaskan bahwa penanganan pengungsi Rohingya akan melibatkan
11
Rismayati, Irma D. 2009. Manusia Perahu Rohingya: Tantangan Penegakan HAM Di
ASEAN. http://pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/Opinio%20Juris%20Vol%201%20Oktober
%202009.pdf
9. negara asal, negara transit, negara tujuan negara-negara lain di kawasan
serta lembaga internasional terkait.
Dalam penanganannya, terdapat beberapa opsi pilihan dalam
penanganan pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh, antara lain
adalah pertama, Indonesia segera mengembalikan (mendeportasi)
pengungsi Rohingya tersebut, apabila dipandang negara asal akan
menerima dan menjamin adanya perlindungan bagi mereka. Kedua,
Indonesia sebagai negara transit menetapkan status manusia perahu
tersebut sebagai pengungsi. Dalam kaitan ini, Indonesia dapat meminta
bantuan dan bekerjasama dengan IOM, UNCHR dan OCHA untuk
mencarikan negara ketiga/tujuan.12
Keputusan pemerintah Indonesia terkait masalah pengungsi
Rohingya untuk menampung sementara merupakan hal sepatutnya
dilakukan dari sisi hukum internasional sesuai asas non reloulement dalam
Konvensi tentang Status Pengungsi 1951. Sebagai Negara yang memiliki
penduduk mayoritas Muslim, sudah selayaknya jika Muslim Indonesia
menghormati prinsip-prinsip yang diatur dalam Konvensi Internasional dan
mendukung pengungsi Rohingya yang mayoritas beragama Islam.
Kesimpulan
Kaum realis (realism) menganggap bahwa umat manusia pada dasarnya
tidak murah hati melainkan bersifat egois dan kompetitif. Dari begitu
banyaknya pembahasan mengenai realisme, Morgenthau mencatat enam
prinsip realisme politik yaitu (1) politik ditentukan oleh hukum-hukum objektif
12
Krustiyati, Atik. 2012. Kebijakan Penanganan Pengungsi Di Indonesia: Kajian Dari
Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967. Law Review Volume XII No. 2.
http://repository.ubaya.ac.id/3344/1/Krustiyati_Kebijakan_2012.pdf
10. yang berakar pada kodrat manusia. (2) Untuk mengetahui tentang politik
internasional tidak terlepas dari pengertian kekuatan maksudnya adalah
kepentingan yang sangat berkaitan dengan kekuasaan. (3) Bentuk dan sifat
kekuasaan negara akan bermacam-macam dalam waktu, tempat dan
konteks, tetapi konsep kepentingan masih tetap sama. (4) Prinsip-prinsip
moral universal tidak menuntut sikap negara, meski sikap negara jelas akan
memiliki implikasi moral dan etika. (5) Tidak ada serangkaian prinsip-prinsip
moral yang disetujui secara universal. (6) Secara intelektual, bidang politik itu
otonom dari setiap bidang perhatian manusia lainnya, entah bidang-bidang
yang lain tersebut bersifat legal, moral atau ekonomi.
Indonesia sebagai salah satu negara peserta konvensi wajib
melaksanakan hak-hak dan kewajiban tersebut walaupun Indonesia belum
meratifikasinya karena konvensi tersebut berubah menjadi kebiasaan
intenasional yang harus ditaati semua negara. Indonesia memiliki
tanggungjawab untuk memberikan penghormatan terhadap Konvensi
Pengungsi 1951 tersebut khususnya terhadap prinsip Non-Refoulement
dengan tidak menolak atau mengembalikan pengungsi Rohingya kembali ke
Myanmar dengan alasan keamanan dan keselamatan serta adanya ancaman
persekusi atau penganiayaan.
Morgenthau menekankan pentingnya “kepentingan nasional” bagi setiap
negara dalam memformulasikan kebijakan luar negerinya. Pemerintah
Indonesia diharapkan untuk segera menjadi pihak pada Konvensi 1951 dan
Protokol 1961, untuk itu perlu ada kesiapan baik dari segi aspek teknik, politis
dan yuridis dalam meratifikasi dua instrumen hukum internasioanl tersebut.
Penanganan persoalan pengungsi harus mengedepankan prinsip individual
rights model yang memperlihatkan prinsip keamanan manusia (human
security). Hal ini penting agar tercipta hubungan bilateral yang baik antara
negara asal pengungsi dengan negara tujuan pengungsi.
DAFTAR PUSTAKA
11. Atikah. 2016. Sekilas tentang Posisi Indonesia Terkait Pengungsi.
http://www.acehtrend.co/sekilas-tentang-posisi-indonesia-terkait-pengungsi/
Burchill, Scott & Linklater, Andrew. 2009. Teori-Teori Hubungan Internasional,
Penerbit Nusa Media, Bandung.
Goodin, Robert E. (2010). The Oxford Handbook of International Relations.
Oxford: Oxford University Press. hal. 132.
Jackson, Robert & Sorensen, George. 2009. Pengantar Studi Ilmu Hubungan
Internasional, Pustaka Pelajar Offset. Yogyakarta.
Krustiyati, Atik. 2009. “Aspek Hukum Internasional Penyelesaian Pengungsi
Timor Leste”, (Disertasi Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus
1945), Surabaya.
Krustiyati, Atik. 2012. Kebijakan Penanganan Pengungsi Di Indonesia: Kajian
Dari Konvensi Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol 1967. Law Review
Volume XII No. 2.
http://repository.ubaya.ac.id/3344/1/Krustiyati_Kebijakan_2012.pdf
Morgenthau, Hans J. 2010. Politik Antar Bangsa. Yayasan Pustaka Obor.
Jakarta.
Myanmar, The Rohingya Minority: Fundamental Right Denied, Amnesty
International, May 2004, AI Index: ASA 16/005/2004
http://www.amnesty.org/en/library/asset/ASA16/005/2004/en/dom-
ASA160052004en.pdf.
Peter J. Taylor, Political Geography World Economy, Nation State and
Locality, Es Sex : Longman, ed. 1993. dalam Achmad Romsan,
Pengantar Hukum PengungsiInternasional : Hukum Internasional dan
Prinsip-prinsip Perlindungan Internasional, (Jakarta: UNHCR, 2003),
hlm.28.
12. Rismayati, Irma D. 2009. Manusia Perahu Rohingya: Tantangan Penegakan
HAM Di ASEAN.http://pustakahpi.kemlu.go.id/dir_dok/Opinio%20Juris
%20Vol%201%20Oktober%202009.pdf
Scott Burchil dan Andrew Linklater. Teori-teori Hubungan Internasional.
Banding: Nusa Media, 1996.
UNHCR, 2000, The State of theWorld’s Refugees (Oxford University Press).
Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta
Timur, Hlm. 129.