Dokumen tersebut membahas masalah transportasi umum di Indonesia yang kondisinya makin memburuk akibat armada yang tua dan kurangnya angkutan massal perkotaan. Hal ini dipicu oleh makin maraknya penggunaan kendaraan pribadi. Masalah utamanya adalah keterbatasan kapasitas fiskal daerah untuk membangun sistem angkutan massal yang memadai.
2. Kondisi dan ketersediaan angkutan umum di Indonesia, termasuk angkutan perkotaan
kini makin meperhatikan. Kondisi fisik armada makin tua dan rapuh, bahkan ada
beberapa kota sudah tidak mempunyai angkutan umum yang memadahi.
Termasuk kota Jakarta yang kini makin langka angkutan umum, sebaliknya kemacetan
lalu lintas makin parah. Kondisi tersebut justru dipicu makin parah. Kondisi tersebut
justru dipicu makin maraknya penggunaan kendaraan pribadi bahkan sepeda motor.
Tidak berkembangnya transportasi umum perkotaan, akar masalahnya adalah
keterbatasan kapasitas fiscal daerah untuk memebangun system angkuatan umum
massal perkotaan
3. Kerugian akibat kemacetan lain.
Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas di jakarta mencapai Rp65
triliun per tahun.
Sementara, pada 5 wilayah metropolitan (Bandung, Surabaya, Medan,
Semarang, Makasara) kerugian mencapai Rp12 triliun per tahun.
4. Saat ini, payung hokum untuk pembangunan proyek
massal perkotaan (termasuk dalam hal dukungan
pemerintah), masih belum menyeluruh atau bersifat
untuk masing-masing proyek.
Untuk mengimplementasi kebijakan pengembangan
angkutan umum massal perkotaan, di perlukan
paying hokum berupa peraturan presiden (perpres)
terkait pembangunan system angkutan umum
massal perkoataann.
5. Rancangan perpres antara lain mengatur kebijakan
mobilatas perkotaaan dan pengembangan kelembagaan
dan dukungan fiscal, termasuk kriteria untuk dapat
memperoleh dukungan dan ruan lingkup, skema, serta
bentuk dukungan pendanaan pemerintah pusat dan
tanggung jawab pemerintah daerah.
Alasan pertama diperlukan perpres.
Pertama, konstribusi metropolitan terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional relative lebih rendah dibandingkan
kemacetan akibat kurangnya pelayanan angkutan umum
massa.
6. Alasan kedua, biaya awal pembangunan
angkutan umum massal perkotaaan sangat
besar. Selain itu, angkutan massal biasanya
juga tidak menghasilkan yang cukup untuk
biaya operasi dan perawatan.
Ketiga, berdasarkan undang-undang nomor 23
tahun 2014 tentang pemerintah daerah,
kewenangan pembangunan angkutan umum
berada di pemda dan terbatas pada satu
wilayah administrasi Namun, Pemda selain DKI
Jakarta terkendala keterbatasan fiscal dan
kelembagaan, sehingga memerlukan dukungan
pemerintah pusat.
7. Kelima, selama in, angkutan umum
massal di Indonesia dilakukan
melalui investasi Pemerintah
dengan mekanisme ad hoc, hasilnya
kurang optimal.
Keempat, saat ini belum ada
aturan yang memungkinkan
pemerintah pusat memberikan
dukungan fiscal kepada pemda
untuk massal, kecuali KPBU.
Dukungan 49% Capex (dalam
aturan KPBU) tidak mencukupi
untuk angkutan massal, sehingga
sampai saat ini belum ada proyek
KPBU angkutan massal.