Membahas tentang manajemen Indonesia yang berisi perpaduan manajemen barat dan timur serta budaya tradisional.
Artikel ini diambil dari dokumen google.
Uts dasar dasar manajemen klara anitia (l1-c021047)
Manajemen Indonesia
1. MANAJEMEN INDONESIA
PERPADUAN MANAJEMEN BARAT DAN TIMUR
SERTA BUDAYA TRADISIONAL
PENDAHULUAN
Hingga saat ini, bangsa Indonesia yang merupakan salah satu bangsa yang besar
diantara negara-negara yang ada di atas bumi ini, belum memiliki suatu bentuk/format
yang pas mengenai gaya (Style) manajemennya, bila dibandingkan dengan Jepang, Cina
atau Amerika dan negara-negara Eropah, yang tampaknya sudah menemukan bentuk
gaya manajemen yang dijalankannya selama ini. Hal tersebut bukan berarti bahwa
pengelolaan administrasi negara dan bisnis selama ini di Indonesia tidak memakai
konsep manajemen. Para pimpinan administrasi negara dan pimpinan perusahaan
kebanyakan masih mengadopsi bentuk menajemen Amerika, Jepang, Cina serta bentuk
lainnya, atau bahkan ada yang memadukan berbagai bentuk gaya manajemen tersebut
dalam menjalankan organisasinya. Sehingga dengan demikian, gaya manajemen yang
asli dan khas Indonesia belum kelihatan.
Padahal kalau mengikuti pola dan jalan pikiran Peter F. Drucker (1977 : 7),
manajemen menyandang fungsi sosial. Manajemen tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat atau bagian dari masyarakat yang dilayaninya, sehingga tak terlepas dari
kaitan budaya (kultur) yang disandang oleh masyarakat yang dilayaninya. Kultur itu
bahkan tampil sebagai bagian terpadu dalam keseluruhan manajemen tersebut, hingga
saat ini kita mengenal sebutan Manajemen Gaya Amerika, Manajemen Gaya Cina,
Manajemen Gaya Jepang, Manajemen Gaya Barat dan sebagainya.
Catatan pengalaman secara empiris bangsa Indonesia sejal baru merdeka hingga
saat ini, memperlihatkan betapa banyaknya salah urus (mis-management) dalam
kehidupan sehari-hari, yang ditandai oleh parahnya birokrasi negara dan merajalelanya
kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di hampir semua segi. Di samping, pada saat yang
sama bangsa Indonesia harus menghadapi perlombaan atau kompetisi dengan negara-
negara lain dalam upaya memulihkan sendi-sendi kehidupan negara dan masyarakat
yang sudah amat terpuruk.
Dari paparan di atas, dirasakan sangat mendesak (urgent) untuk mengembangkan
kekuatan imbangan yang ada pada nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, yaitu berpa
pengembangan manajemen yang berciri khas Indonesia. Hal ini sangat penting, sebab
bila tidak demikian, maka gaya manajemen dari luar yang sebenarnya tidak cocok untuk
Indonesia dipaksakan diterapkan, sehingga mengakibatkan kegagalan pengelolaan
administrasi negara dan swasta seperti pada periode yang lalu. Gagal atau berhasinya
manajemen Indonesia, tentunya sangat tergantung dari cara penyaringan dari berbagai
2. budaya (suku/etnis) yang ada di masyarakat Indonesia serta penerapannya dalam
kehidupan organisasi.
Pengertian dan Batasan Manajemen
Manajemen itu sendiri berasal dari kata manage. Kata manage berasal dari bahasa
Italia, yaitu maneggiare, di mana kata ini berasal dari bahasa latin, yakni manus yang
berarti hand (tangan). Kata manage dalam bahsaa Perancis berarti house-keeping
(rumah tangga). Dalam kamus Webster’s New Collegiate Dictionary, 2002 digitized by
USU digital library 2 kata management diberikan penjelasan sebagai : the act or art of
managing, conduct, direction, and controll.
Di sisi lain banyak ahli manajemen memberi batasan tentang manajemen, yaitu
diantaranya Terry (1972), Robins (1991), Bartol dan Martin (1994) dan Stoner, dkk (1995).
Terry (1972 : 4) menyatakan bahwa manajemen adalah sesuatu proses khas yang terdiri
dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan
menggunakan tenaga manusia dan sumberdaya lainnya. Robbins (1991 : 5) memberi
pengertian manajemen sebagai suatu proses kegiatan untuk mencapai sesuatu secara
efisien melalui orang lain. Proses kegiatan tersebut terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, memimpin dan pengawasan. Sedangkan Bartol dan Martin (1994 : 6)
menyatakan bahwa manajemen adalah suatu proses mencapai tujuan-tujuan organisasi
dengan memanfaatkan empat fungsi utama, yakni perencanaan. Pengorganisasian,
memimpin dan pengawasan. Terakhir batasan dari Stoner, dkk (1995 : 7) yang
menyatakan bahwa manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan,
memimpin dan mengendalikan pekerjaan anggota organisasi dan menggunakan semua
sumberdaya organisasi untuk mencapai sasaran organisasi yang sudah ditetapkan.
Dari empat pendapat para ahli tersebut, ada empat batasan tentang manajemen
yang bisa ditarik yang merupakan ide pokok yang sangat penting untuk diperhatikan,
yaitu (1) identitas manajemen adalah suatu proses, (20 fungsi-fungsi fundamental
manajemen, (3) arah proses manajemen, dan (4) unsur-unsur manajemen.
Identitas manajemen sebagai suatu proses dikatakan oleh Pariasta Westra (1981 :
264) sebagai rangkaian perbuatan manusia yang mengandung sesuatu maksud tertentu
yang memang dikehendaki oleh orang yang melakukan kegiatan tersebut. Sedangkan
Siagian (dalam Gorda, 1999 : 78) menyatakan bahwa proses berarti suatu kegiatan yang
terus menerus dilaksanakan.
Dengan demikian, pengertian proses yang dikemukakan oleh dua hali tersebut di
atas memberikan informasi bahwa kegiatan mencapai tujuan organisasi tidak dapat
dilakukan dengan satu kegiatan saja seperti membalikkan tangan, melainkan suatu
kegiatan secara bertahap dan berkelanjutan serta secara sadar dilaksanakan. Hal ini
3. berarti proses tersebut dilakukan dengan penuh perhitungan dengan memperhatikan
kemampuan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi.
Mengenai fungsi-fungsi fundamental manajemen, tampaknya hampir seluruh ahli
sepakat intinya ada empat, yaitu planning, organizing, actuating dan controlling. Pada
umumnya organisasi di Indonesia mengalami keterbatasan dalam bidang sumber daya,
sementara di sisi lain tujuan yang ingin dicapai harus bisa dilakukan secara baik.
Proses manajemen itu sendiri diarahkan kepada usaha-usaha anggota organisasi
untuk meningkatkan produktivitasnya melalui pemanfaatan secara efektif dan efisien
sumber daya yang tersedia. Produktivitas adalah perbandingan antara keluaran (output)
dengan masukan (input). Keluaran bisa terdiri barang atau jasa. Sedangkan masukan
terdiri dari sumber daya manusia (human resorces), dan modal (capital), peralatan-
peralatan (materials), dan sumber daya lainnya. Efisiensi adalah kemampuan untuk
meminimalkan penggunaan sumber daya (masukan), sedangkan efektivitas adalah
kemampuan untuk menentukan tujuan yang memadai.
Unsur-unsur manajemen, pada umumnya terdiri dari 6 (enam) yang dikenal dengan
the six M’S, yaitu Men, Money, Materials, Machines, Methods and Markets. Diantara
seluruh unsur tersebut, men (manusia) adalah unsur yang paling penting di dalam proses
manajemen, sebab manajemen itu ada karena adanya dua orang atau lebih yang bekerja
sama dalam mencapai tujuan yang telah disepakati bersama. Hal ini berarti manusia
merumuskan tujuan, manusia yang menyusun organisasi sebagai 2002 digitized by USU
digital library 3 wadah pencapaian tujuan, manusia pula yang bekerja untuk mencapai
tujuan dan sekaligus manusia pula yang mengendalikan serta menikmati hasil-hasil yang
dicapai.
Aspek Positif dan Negatif Gaya Manajemen Barat dan Timur
Dari berbagai pengertian dan batasan manajemen di atas, dalam tulisan ini
pembahasannya dibatasi faktor manusia sebagai unsur utama manajemen dan berbagai
perilakunya dalam oraganisasi atau kelompok serta pengaruhnya terhadap lingkungan
sekitarnya. Hasil rumusan kelompok IV seminar Konsep Manajemen Indonesia yang
berlangsung dari tanggal 3-5 juli 1979 di Jakarta berhasil menyimpulkan aspek positif
dan negatif dari gaya manajemen antara negara barat (yang diwakili oleh Amerika
Serikat dan Eropa Barat) dengan negara dari dunia timur (yang diwakili Jepang dan Cina).
Adapun aspek positif dan negatif tersebut adalah sebagai berikut :
1. Manajemen Barat : Tekanan pada Amerika Serikand an Eropa Barat
4. o Aspek Positif :
- Efisien;
- Disiplin;
- Sadar akan waktu dan;
- Penghormatan terhadap inisiatif individu;
o Aspek Negatif :
- Manusia diperlakukan seperti mesin, dan;
- Masyarakatnya yang konsumtif.
2. Manajemen Jepang
o Aspek Positif :
- Solidaritas terhadap kelompok (perusahaan) yang tinggi;
- Dedikasi;
- Kesetiaan;
- Disiplin diri;
- Nasionalisme yang tinggi, dan;
- Penghormatan terhadap yang lebih senior.
o Aspek Negatif :
- Opportunities;
- Binatang ekonomi;
- Sangat tertutup, dan;
- Agak angkuh.
3. Manajemen Cina
o Aspek Positif :
- Memegang teguh janji;
- Ulet;
- Tekun;
- Hormat, dan;
- Solidaritas kelompok (suku).
o Aspek Negatif :
- Kikir;
- Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan;
- Tertutup, dan
- Terlalu materialistis.
Letak Posisi Manajemen Indonesia
Dari pemaparan aspek positif dan negatif manajemen barat dan timur itu, di
manakah letak posisi manajemen Indonesia ? Pertanyaan seperti itu selalu tercuat, sebab
5. belum ada manajemen Indonesia yang secara ekplisit dan terpraktekkan serta tertulis
dimunculkan oleh para ahi manajemen yang ada di Indonesia. Yang banyak didiskusikan
adalah istilah-istilah “Manajemen Gaya Indonesia”, “Gaya Manajemen Indonesia”,
“Manajemen ala Indonesia”, “Manajemen Pancasila”, dan sebagainya, dengan rumusan
yang mirip antara satu dengan yang linnya, (Budiman Christiananta, 1994 : 6).
Bila secara ekplisit, terpraktekkan dan tertulis belumlah ada, apakah ada organisasi
dan manajemen yang khas Indonesia ? Jawabannya tentu ada ! Cara orang tertentu
menyusun pekerjaan dan hubungan antara pekerjaannya, pasti dipengaruhi tidak saja
oleh sifat pekerjaan itu sendiri yang mungkin bersifat universal, tetapi juga oleh cara
orang-orang tersebut mengatur hidup pada umumnya. Sifat pekerjaan bisa saja bersifat
universal karena dilandasi teknologi yang berlaku di mana-mana disebabkan hukum-
hukum alam yang mendasari berlaku umum. Namun dapat dipastikan faktor-faktor
lainnya seperti kebudayaan, nilai, norma kehidupan dan yang lainnya menjadikan cara
hidup bangsa-bangsa berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Perlu juga
diperhatikan bahwa tidak hanya cara-cara orang mengatur pekerjaan dipengaruhi
kebudayaannya, tapi kebudayaan berpengaruh kuat pula pada perilaku pekerjaan.
Dari hasil penelitian Budi Paramita (1977) terhadap 172 buah perusahaan
pemerintah dan swasta nasional dan asing tahun 1976 di beberapa kota di Indonesia
(Jakarta, Surabaya, Malang, Madiun, Solo dan Padang) dengan 500 responden
menemukan bahwa umumnya organisasi bisnis Indonesia menurut para manajernya
sendiri dinilai bersifat rutin, formalistik, kurang tersentralisasi, kurang berkomunikasi
tugas, umumnya lebih dikoordinasi melalui rencana daripada saling menyesuaikan
ataupun umpak balik, namun tidak seluruhnya birokratis.
Birokrasi dalam Organisasi di Indonesia
Di dalam birokrasi Weber (dalam Gerth dan Wright, 1958 : Bab 8) terdapat prinsip
pembagian kerja atau diferensiasi horizontal serta hierarki atau diferensiasi vertikal yang
jelas. Dengan perkataan lain, birokrasi Weber merupakan organisasi kompleks. Namun
hasil temuan penelitian Budi paramita pada tahun 1976 terhadap perusahaan-
perusahaan di Indonesia, meskipun perusahaannya besar, tidak ada yang berpandangan
bahwa perusahaannya sendiri benar-benar kompleks, baik dalam dimensi horizontal
maupun vertikal. (Budi Paramita, 1977 : 47).
Mengenai sentralisasi, birokrasi Weber menyatakan terdapat sentralisasi
kewenangan yang tinggi, sebaliknya sentralisasi perusahaan-perusahaan di Indonesia
dinilai antara sedang dan rendah. Kecuali sentralisasi keputusan taktis rutin yang
dirasakan antara rendah dan cukup tinggi, ada perasaan yang cukup seragam bahwa
sentralisasi keputusan strategik cukup rendah, dan bahwa tingkat sentralisasi keputusan
taktis non rutin masih rendah. Di dalam birokrasi Weber terdapat tingkat formalisasi
6. yang tinggi. Pembagian kerja, hierarki,cara-cara bekerja, hak, kewajiban dan kedudukan
karyawan dikukuhkan dengan peraturan-peraturan yang tegas. Kegiatan-kegiatan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi ditegaskan merupakan tugas resmi.
Kewenangan memberikan perintah melaksanakan tugas-tugas tersebut ditetapkan
dalam peraturan-peraturan dan dikenakan batas-batas yang jelas menganai alat-alat
paksaan yang dapat digunakan pejabat. Pelaksanaan tugas dalam jabatan dilakukan
berdasarkan dokumen tertulis yang arsipnya disimpan dengan baik. Di perusahaan-
perusahaan Indonesia, walaupun tidak menyangkut semua aspek diformalkan dalam
sebuah birokratis, tingkat dormalisasi dinilai dari sedang sampai cukup tinggi. Ketat-
longgarnya pengawasan bersifat antara sedang dan tinggi, kodifikasi pekerjaan cukup
tinggi. (Budi Paramita, 1977 : 48).
Dalam birokrasi murni, pelaksanaan tugas dilakukan oleh karyawan yang memiliki
keahlian khusus di dalam peraturan-peraturan yang mengatur bidangnya masing-
masing serta di dalam menerapkan peraturan tersebut pada kasus-kasus yang timbul
sehari-hari. Penelitian Budi Paramita secara eksplisit tidak meneropong hal tersebut di
dalam perusahaan di Indonesia, akan tetapi terdapat kesan kuat bahwa tidak terdapat
hubungan yang erat antara tingkat keahlian dan tingkat kompleksitas organisasi dan
antara tingkat keahlian dengan sifat tugas. Pekerjaan dinilai tidak memerlukan pemikiran
lama, banyak dan mendalam.
Manajer Indonesia umumnya berusaha mengendalikan organisasi dengan
mengutamakan kendala-kendala formal, tetapi bekerja tanpa informasi yang cukup.
Namun dikarenakan adanya perencanaan, tampaknya semuanya bisa diatasi, meskipun
hasilnya tidak selalu memuaskan secara sempurna. Keberhasilan tujuan yang dicapai
banyak juga diakibatkan oleh terincinya tugas-tugas yang harus dilakukan (biasanya
dengan job description tertulis di masing-masing ruangan), adanya otonomi dalam
pekerjaan, serta banyaknya orang dalam organisasi.
Perilaku Manusia Indonesia dalam Organisasi dan Manajemen
Meskipun diakui bahwa unsur-unsur manajemen bersifat universal secara umum,
namun dalam prakteknya saat pengimplementasikan dalam suatu aktivitas, mau tidak
mau perilakunya dalam organisasi pasti dipengaruhi oleh budaya yang dianut oleh
anggota yang ada di dalamnya. Termasuk juga hal ini berlaku bagi pranata/organisasi
yang ada di Indonesia, terlebih lagi seperti yang dikatakan oleh Astrid S. Susanto yang
menyatakan perlu disadari bahwa manusia Indonesia dalam latar belakang budayanya
tidaklah sama, hal mana telah melahirkan semboyan Bhineka Tunggal Ika (Astrid S.
Susanto dalam Marbun, 1980 : 70-71).
Astid S. Susanto menyatakan lebih lanjut bahwa gambaran awal ciri-ciri
kebudayaan manusia Indonesia yang dapat digunakan sebagai pangkal tolak
7. pemahaman suasana dan kebudayaan organisasi Indonesia perlu mencakup
pengamatannya sendiri bahwa :
1. Manusia Indonesia masih bersifat manusia dalam pengorganisasian organisasi
daripada dalam pengorganisasian mekanis (Emille Durkheim). Dengan sendirinya
sikap demikian adalah baik dan tentu bentuk idealnya adalah suatu campuran
dari keduanya.
2. Manusia Indonesia menunjukkan keinginan untuk bertahan dalam lingkungan
solidaritas organis daripada solidaritas mekanis.
3. Walaupun pada satu pihak, suatu organisasi/instansi memang merupakan unit
ekonomi di mana orang mencari nafkah dan perbaikan nasibnya, langkah
tersebut dilaksanakannya karena mereka terpaksa. Hal mana berarti menerima
nilai organisasi atau kepentingan instansi/organisasi sebagai kepentingan sendiri
adalah sangat jarang.
Dalam berhubungan dengan manusia lainnya, manusia Indonesia selalu berpijak
dari penilaian kedudukan sosialnya terhadap lawan hubungannya, apakah sejajar, lebih
tinggi atau lebih rendah. Bagi manusia Indonesia, kesamaan atau ketidaksamaan
kedudukan sosial sama wajarnya. Berperilaku seolah-olah tidak ada perbedaan
kedudukan sosial malah tidak wajar. Masyarakat ditata menurut dimensi horizontal dan
vertikal : ada yang berkedudukan sama, ada yang lebih yunior, ada yang perlu dituakan.
Pada umumnya yang dituakan harus bersifat mengasuh dan melindungi. (Franz Magnis
Suseno, 1985 : 60-63).
Sifat “solider organik”, dengan berbagai konotasinya seperti keakraban,
keselamatan, kebersamaan dan sebagainya terpadu dengan sifat “hirarki’ dengan
konotasinya perlindungan, kesetiaan, penghormatan dan sebagainya dalam suatu
pranata atau lembaga yang disebut “kekeluargaan”. Karena sifat “kekeluargaan”-nya ,
manusia Indonesia dengan merasa sangat wajar menyapa lawan bicaranya sekelompok
organik dengan sebutan-sebutan yang berasal dari sebuah keluarga seperti Bapak, Ibu,
Saudara secara penuh dalam suatu acara resmi (Joedono, 1987).
Sikap kebudayaan tradisional yang meresapi pergaulan hidup manusia Indonesia
adalah kecenderungan untuk berusaha mempertahankan kesepakatan, kedamaian,
keadaan saling membantu, dan saling menerima satu sama lain dalam semua hubungan
sosial, dalam keluarga, diantara tetangga, di tempat kerja, di dalam masyarakat dan
sebagainya. Setiap orang wajib menghindari setiap sikap dan perbuatan yang dapat
menimbulkan perasaan tidak enak, ketegangan, keresahan, pertikaian terbuka, yang di
dalam masyarakat Jawa disebut dengan “rukun”. (Frans Magnis Suseno, 1985 ; 39).
Ciri kebudayaan manusia Indonesia lainnya yang sangat banya berpengaruh dalam
kehidupan berorganisasi adalah bermusyawarah menuju mufakat, dan memutuskan
segala sesuatu atas dasar konsensus diantara seluruh kelompok organik, sekurang-
kurangnya diantara kelompok seangkatan pengalaman (peer group). Namun demikian,
8. dewasa ini masyarakat Indonesia sudah tidak lagi berada pada tatanan masyarakat
tradisional seluruhnya, disebabkan dengan terbuka lebarnya arus informasi yang
berakibat dengan menggejalanya sikap mendunia (globalisasi), di mana semuanya itu
berpengaruh terhadap perilaku kehidupan masyarakat yang merupakan campuran
antara nilai-nilai tradisional dan modern.
Faktor Budaya dalam Organisasi dan Manajemen di Indonesia
Astrid S. Susanto (dalam Marbun, 1980 : 70-72), menyatakan dalam kehidupan
organisasi di Indonesia, instansi masih dilihat sebagai lanjutan kehidupan solidaritas
organisasinya, sehingga terbentuklah suasana organisasi (organization climate) dan
budaya organisasi (organization culture) khas Indonesia yang sedikit banyak masih
ditandai oleh sifat budaya tradisional seperti solider organik, hierarkis, rukun dan
musyawarah. Hal ini bisa dilihat pada suasana santai, akrab dan suasana seperti di
rumah, yang dibawa ke tempat kerja. Kebiasaan ngobrol (istilah jaman sekarangnya
disebut ngerumpi) dan bekerja yang santai waktu jam kerja menunjukkan adanya nilai
keakraban sosial yang masih dianggap lebih penting daripada sikap lugas (zakelijk)
waktu kerja. Bila memungkinkan, semua suka-duka (terutama duka) kehidupan pribadi
diharapkan akan dapat dipecahkan oleh atasan.
Namun demikian, menurut Danandjaja (1986 : 85) gambaran seperti itu tidak lagi
merupakan gambaran yang lengkap. Wong cilik termasuk karyawan pada level bawah,
sudah mulai merasuk dalam tata nilai manusia Indonesia. Dampaknya tidak hanya para
profesional dan manajer muda yang tumbuh pragmatis dan akusentris, akan tetapi telah
tumbuh pula “manajer yang autokratik dan berpikir jangka pendek”.
Danandjaja dalam penelitiannya menemukan bahwa manajer Indonesia lebih
mementingkan keuntungan jangka pendek; walaupun mengerti manfaatnya, tidak
menganggap realistik investasi jangka panjang; meskipun berakibat di bebas
tugaskannya sekelompok karyawan, cenderung menjual saja salah satu pabrik lama,
demi pengadaan dana untuk membangun pabrik bari; membatasi penyediaan dana
untuk program latihan hanya pada mereka yang memang masih dapat dikembangkan
lebih lanjut; dan hanya mau mengeluarkan dana terbatas, nila perlu sekecil mungkin
untuk fasilitas di tempat kerja seperti kafetaria dan kamar kecil.
Manajer seperti tersebut di atas, kata Danandjaja (1986 : 104) lebih suka pada
suasana yang menyenangkan, lebih suka orang yang sangat populer tapi kurang kreatif
daripada yang kreatif tetapi kurang populer, tidak suka konflik walaupun itu berarti
kemajuan, dan lebih memberikan wewenang pada anak buah yang hanya terbatas pada
pelaksanaan tugas.
9. Hal hampir senada dikemukakan pula oleh Budi Paramita (1992 : 10) yang
mengatakan gaya manajerial di Indonesia bersifat antara lain, paternalistik dan otokritik.
Suatu jenis pengendalian yang bersifat langsung dan pribadi dengan wewenang
dipusatkan pada pucuk pimpinan. Ini sesuai dengan dalih yang muncul dari gambaran di
atas, yang menunjukkan bahwa suatu pengendalian hierarkis yang ketat dalam suatu
organisasi merupakan cara paling efektif dalam masyarakat yang bersifat otoriter.
Berikut ini adalah Profil Manajer Indonesia menurut hasil temuan Danandjaja (1986 :
150):
1. Bagi para Manajer, perusahaan adalah wujud lain dari pemilik, yang patut
dihormati dan dituruti segala kehendaknya dengan taat. Ucapan “terserah
bagaimana maunya perusahaan”! sangat mudah diucapkan oleh Manajer di
Indonesia, terutama kalau sedang frustasi. Karena tidak ada ikatan lain kecuali
sebagai wadah tempat ia memperoleh kesempatan kerja, jaminan dan keamanan,
maka para Manajer tersebut akan cenderung untuk keluar dari perusahaannya
begitu saja kalau hal-hal tersebut tidak dipenuhi.
2. Bagi para Manajer, pemilik adalah orang yang sampai batas tertentu dapat
memberikan kesempatan memperoleh apa yang dibutuhkannya. Sesuai dengan
orientasi vertikalnya, para Manajer akan menghormati pemilik, dan malah sering
menganggapnya sebagai orang tua yang mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab moral untuk memelihara anak buah dan menjamin keberhasilannya.
Profil Manajer seperti tersebut di atas, sejalan dengan temuan Astrid S. Susanto
(dalam Marbun, 1980 :73-74) bahwa pegawai, dalam hal ini Manajer profesional
mengharapkan adanya solidaritas organik di dalam perusahaannya yang diidentikkan
dengan pemilik. Harapan tersebut sedemikian besarnya sehingga ia akan merasa sangat
kecewa dan sering merasa sakit hati bila apa yang diharapkan dari pemilik tidak
terpenuhi. Sejauh pemilik perusahaan dapat memuaskan kebutuhankebutuhannya, ia
akan bekerja dengan setia. Akan tetapi bila kepuasan itu tidak lagi dapat dicapai, maka ia
akan pergi. Hal ini sering tidak dapat dimengerti oleh pemilik, yang kebanyakan masih
menganggap bahwa bawahannya yang diberi pekerjaan dan upah itu, dianggap bahwa
bawahannya yang diberi pekerjaan dan upah itu, harus tahu diri dan tidak
menghianatinya (Danandjaja, 1986 : 151).
Danandjaja juga mengemukakan bahwa kecuali jika rekan kerja Manajer adalah
sahabat karib yang mempunyai hubungan lebih daripada sekedar rekan kerja biasa, tidak
ada piiran dibenaknya bahwa sesama rekan kerja adalah orang-orang yang berbagi
nasib dan hari depan, yang ikut menentukan dan menanggung hidup perusahaan dan
kebahagiaan hidup semuanya.
Dikatakannya bahwa hal tersebut pertanda bahwa nilai-nilai seperti gotong royong
dan sebagainya tidak lagi diikuti : sistem nilai yang berperan pada para Manajer lebih
menunjukkan individualisme dan konsentrasi pada keberhasilan pribadi. Hal tersebut
10. tampaknya benar. Namun masih benar juga bahwa para Manajer merasa sangat kecewa,
malah sakit hati, jika apa yang dilihatnya sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral
atasan/pemilik untuk memelihara anak buah dan menjamin keberhasilannya tidak
terwujud, dan bahwa atasan/pemilik merasa dikhianati jika bawahan keluar dari
perusahaan. Perasaan-perasaan demikian justru menunjukkan bahwa orang secara
emosional masih terikat pada hal tersebut, dan oleh karena itu masih tetap
menginginkan terwujudnya solidaritas organik.
Charles hendy (dalam Budi Paramita, 1992 : 11) mengemukakan adanya 4 macam
budaya organisasi, yakni budaya organisasi berdasarkan kekuasaan, peran, tugas dan
orang. Gambaran singkat masing-masing jenis budaya organisasi tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Budaya Berdasarkan Kekuasaan
Budaya yang seperti ini paling banyak terdapat di Indonesia. Strukturnya
bisa digambarkan seperti jaring laba-labanya berada di pusat. Pusat kekuasaan
tidak harus selalu merupakan seseorang individu sebagai penguasa tunggal,
melainkan dapat juga terdiri dari sekelompok kecil manusia yang memegang
kekuasaan organisasi. Pada umumnya organisasi seperti ini merupakan suatu
organisasi politis, mengingat keputusan organisasi lebih merupakan hasil
imbangan kekuatan yang ada daripada atas dasar prosedur atau tindakan yang
wajar dan masuk akal. Kekuatan organisasi semacam ini terletak pada kecepatan
pada tindakan dan lebih tanggap dalam menghadapi ancaman dan perubahan-
perubahan. Bagi karyawan yang berorientasi politis, senang berkuasa, suka
mengambil atau mencari resiko dan kurang mementingkan keamanan, organisasi
semacam ini merupakan lingkungan kerja yang paling menawan hati.
Pengendalian kekuatan dan arah kegiatan dilakukan atas dasar pengendalian
dana dan sumber dana.
2. Budaya Atas Dasar Peran
Budaya peran sebetulnya adalah budaya birokrasi. Menurut Weber (dalam
Gerth dan Wright, 1958 : Bab 8), organisasi yang berdasarkan birokrasi yang benar
umumnya lebih sempurna dibandingkan organisasi bentuk lain, dikarenakan
memiliki ketepatan da kecepatan bertindak serta mengurangi biaya bahan
maupun biaya pegawai. Sebagian dari penalarannya mengenai efektivitas
birokrasi adalah disiplin yang superior dan adanya pengendalian atas tingkat
peran. Semua pekerjaan dilakukan secara teratur, sistematis dan rutin. Organisasi
peran sangat efisien dan efektif dalam lingkungan yang stabil, atau bilamana
lingkungannya dapat dikendalikan dengan jalan monopoli misalnya. Organisasi
jenis ini khususnya berguna bagi organisasi yang lebih memerlukan skala
ekonomi besar dibandingkan fleksibilitas, atau dalam hal keahlian teknis dan
spesialisasi yang mendalam lebih penting daripada pengembangan dan biaya
11. produksi. Kelemahannya adalah kurangnya kepakaan terhadap perubahan
lingkungan dan lambatnya melakukan penyesuaian yang diperlukan. Bagi
karyawan yang menyukai kepastian, dan jaminan hidup bekerja dalam organisasi,
peran memberikan ketenangan besar. Sebaliknya bagi mereka yang ingin
mengendalikan pekerjaannya sendiri atau menginginkan kekuasaan, organisasi
semacam ini sangat mengecewakan baginya.
3. Budaya Atas Dasar Tugas
Budaya ini berusaha mengumpulkan sumber daya manusia yang tepat
untuk dapat melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya sebab orientasinya
terhadap penyelesaian pekerjaan/tugas. Organisasinya dapat digambarkan
sebagai suatu matriks antar fungsi atau keahlian dengan pekerjaan. Pengaruhnya
bersumber pada kekuatan keahlian dan bukan pada kedudukan atau atas dasar
kekuatan pribadi seseorang. Budaya atas dasar tugas ini merupakan budaya tim
atau budaya gotong-royong dikarenakan demi keberhasilan tugas harus dapat
mengatasi konflik yang dapat timbul disebabkan perbedaan kepentingan pribadi,
perbedaan status dan cara kerja.
Ada keunggulan positif budaya ini, yaitu peka atau lentur terhadap
perubahan lingkungan, dan sangat berguna bilamana organisasi menghadapi
pasar yang sangat bersaing, terutama jika produk yang dihasilkan bersiklus
pendek. Namun ada juga segi negatifnya, yaitu pengendaliannya agak sukar dan
mudah bergeser menjadi budaya peran atau kuasa. Pengendalian hanya dapat
dilakukan oleh pucuk Pimpinan dengan jalan memberi atau tidak memberi
tugas/pekerjaan, tambahan dana atau sumber daya manusia.
4. Budaya Berdasar Orangnya
Mengingat organisasi diciptakan biasanya hanya untuk melayani
anggotanya, seperti kelompok sosial, pagayuban, dan juga organisasi informal,
maka budaya jenis ini didasarkan atas pribadi-pribadi dan umumnya jarang
digunakan untuk tujuan ekonomis. Organisasinya praktis, tidak berstruktur dan
seolah merupakan sekumpulan manusia saja yang hanya mempunyai tujuan
bersama, serta kurang mementingkan tujuan masing-masing. Jenjang
kewenangan dan alat pengendalian sukar tumbuh dalam budaya seperti ini,
kecuali saling mufakat sebelumnya. Unsur pemersatu yang diperankan oleh
seseorang dalam kedudukan lebih tinggi tidaklah ada, kalaupun ada sesuatu
kekuasaan, itu hanya bersumber pada pengaruh kepribadian seseorang.
Umumnya budaya organisasi seperti ini tidak bersifat langgeng.
Dari paparan tersebut, kelihatannya Charles handy menekankan bahwa pencapaian
tugas menurut sifatnya harus didukung oleh kebudayaan yang serasi, dan ini berarti
harus sesuai dengan budaya masyarakatnya.
12. Pendapat ini sama dengan Peter F. Drucker (1977 : 7), yang mengatakan
manajemen menyandang fungsi sosial. Manajemen tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat atau bagian dari masyarakat yang dilayaninya, sehingga tak terlepas dari
kaitan budaya yang disandang oleh masyarakat yang dilayaninya. Budaya itu bahkan
tampil sebagai terpadu dalam keseluruhan manajemen tersebut.
Demikian juga tampaknya senada dengan pendapat Astrid S. Susanto yang
menyatakan bawha meskipun diakui bahwa unsur-unsur manajemen bersifat universal
secara umum, namun dalam prakteknya saat mengimplementasikan dalam suatu
aktivitas, mau tidak mau perilakunya dalam organisasi pasti dipengaruhi oleh budaya
yang dianut oleh anggota yang ada di dalamnya. Terlebih lagi dengan bangsa Indonesia
yang begitu banyak memiliki suku dengan budanya masingmasing, hingga melahirkan
apa yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika, yang secara langsung maupun tak
langsung mempengaruhi organisasi dan manajemen yang ada. (Astrid S. Susanto dalam
Marbun, 1980 : 70-71).
Simpulan
Setelah memaparkan berbagai pengertian, definisi, hasil temuan penelitian dan
pendapat-pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum manajemen
adalah proses pencapaian tujuan melalui dan bersama orang lain. Agar pencapaian
tujuan dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu ada koordinasi dari semua orang
yang ada di dalamnya. Manajemen dalam usaha koordinasinya harus memperhatikan 3
unsur, yakni unsur teknis dan unsur manusia, serta hubungan diantara kedua unsur
tersebut. Dari unsur-unsur tersebut, faktor budaya lebih banyak mempengaruhi unsur
manusia daripada unsur teknisnya. Dikarenakan kedua unsur saling berkaitan, maka
manajemen secara keseluruhan tidak akan pernah bebas dari pengaruh budaya.
Manajemen Indonesia yang banyak mengadopsi manajemen barat (Amerika dan
Eropa Barat) dan timur (Jepang dan Cina), tampaknya tidak luput dari pengaruh faktor
budaya tradisional yang ada di tengah-tengah masyarakat. Apalagi belum ditemukannya
secara pas bentuk manajemen Indonesia, menjadikan manajemen yang dijalankan
selama ini mencampurkan berbagai macam bentuk atau gaya yang ada, serta ditambah
dengan faktor budaya di mana organisasi tersebut berada.
Namun dari berbagai hasil temuan para peneliti dan dari berbagai tulisan yang ada.
Manajemen Indonesia secara umum bercirikan diantaranya adalah :
1. Bersifat budaya tradisional seperti solider organik, hierarkis, rukun dan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam mengembalikan keputusan (Astrid S.
Susanto, 1980).
2. Bersifat pragmatis, akusentris dan dalam beberapa tahun terakhir bersifat
otokritik dan berpikir jangka pendek (Danandjaja, 1986).
13. 3. Bersifat rutin, formalistik, kurang tersentralisasi, kurang berkomunikasi tugas,
umumnya lebih dikoordinasi melalui rencana daripada saling menyesuaikan,
namun tidak selurhnya birokratis serta bersifat paternalistik dan otokritik (Budi
Paramita, 1992).
DAFTAR PUSTAKA
---------, 1993, Manajemen Indonesia : Memasuki Era Globalisasi, Seri Manajemen
Indonesia No.1, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Bartol, Kathryn M. & David C. Martin, 1994, Management, McGraw-Hill Inc., USA.
Budiman Christiananta, 1994, Pengaruh Sistem Nilai Budaya Terhadap
Manajemen di Indonesia, Makalah.
Budi Paramita, 1977, Organizational Structure in Indonesia, Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
Budi Paramita, 1992, Masalah Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPFEUI), Jakarta.
Danandjaja, Andreas A., 1985, Sistem Nilai Manajer di Indonesia : Tinjauan Kritis
Berdasar Penelitian, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Franz Magnis Suseno, 1985, Etika Jawa : Sebuah Analisis Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia, Jakarta.
Gerth, H.H.., dan C. Wright Mills, 1958, From Max Weber : Essays in Sociplogy,
Galaxy, New York.
14. Gorda, I Gusti Ngurah, 1999, Manajemen dan Kepemimpinan Desa Adat di
Provinsi Bali, STIE Satya Dharma Singaraja bekerjasama dengan Widya Kriya Gematama
Denpasar.
Joedono, S.B., 1987, Perkembangan Manajemen Indonesia Survey Sebagian
Literatur, Makalah yang dibawakan pada Kongres ISEI di Bali September 1987.
Marbun, B.N., Penyunting, 1980, Konsep Manajemen Indonesia, PPM, Jakarta.
Marbun, B.N., dan Bambang K.S., Penyunting, 1985, Praktek dan Pengalaman
Manajemen Indonesia, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
Marbun, B.N., Penyunting, 1992, Pusparagam Manajemen Indonesia & Bisnis Cina
di Asia Tenggara (Rangkuman Hasil Seminar Memorial DR. T.B. Simatupang), PT. Pustaka
Binaman Pressindo, Jakarta.
Pariata Westra, dkk. Editor, 1981, Ensiklopedi Administrasi, Gunung Agung,
Jakarta.
Peter F. Drucker, 1977, People and Performance : The Best of Peter Drucker on
Management, Harper & Row Publisher, New York.
Robbins, Stephen P., 1991, Management, Prentice Hall, Inc. A. Simon & Schuster
Englewood Cliffs, New Jersey.
Stoner, A.F., 1995, Management, Prentice Hall, Inc, A. Simon & Schuster Company
Englewood Cliffs, New Jersey.
Terry, George R., 1972, Principles of Management, Richard D. Irwin, Inc.
Homewood, Illionis.