Mengikuti hawa nafsu dapat menyebabkan berbagai jenis dosa mulai dari dosa kecil, dosa besar, bid'ah, hingga syirik kecil atau besar tergantung pada tingkatannya. Hukum bagi pelaku bervariasi, dari sekadar pelaku dosa kecil hingga pelaku syirik besar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.
1. Hukum mengikuti hawa nafsu
Mengikuti hawa nafsu berbeda-beda hukumnya, sesuai dengan tingkatan dosanya, ada kalanya dosa
kecil, dosa besar, bid’ah, ada pula yang syirik kecil, bahkan ada yang sampai kufur atau syirik akbar.
Berikut penjelasannya:
1. Dihukumi dosa kecil: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga mendorongnya
melakukan dosa kecil dan ia dikatakan ‘aashin(pelaku maksiat), namun tidak
dikatakan fasiq (pelaku dosa besar).
2. Dihukumi dosa besar: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga mendorongnya
melakukan dosa besar, seperti zina, meminumkhamr (minuman yang memabukkan) dan yang
semisalnya tanpa menghalalkannya, dan dia fasiq (pelaku dosa besar).
3. Dihukumi bid’ah: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga mendorongnya melakukan
dosa bid’ah ghairu mukaffirah (tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam), dan ia
disebut mubtadi’ (pelaku bid’ah).
4. Dihukumi Syirik kecil: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga mendorongnya
melakukan syirik kecil, seperti bersumpah dengan nama selain Allah atau
melakukan riya’ (memamerkan ibadahnya) dan ia dikatakan pelaku kesyirikan dengan jenis syirik
kecil.
5. Dihukumi kufur atau syirik besar: ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya hingga
mendorongnya melakukan dosa yang kategori syirik besar, seperti berdo’a kepada kuburan,
bersikap berlebih-lebihan sampai mengangkat wali ke derajat Tuhan, atau kategori kufur besar,
seperti mendustakan kerasulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menghina beliau,
menghalalkan zina, atau meninggalkan sholat secara totalitas.
Catatan:
Dan Ulama didalam mengelompokkan sebuah perbuatan itu kedalam kufur/syirik besar atau kecil
mengembalikan pada kaidah-kaidah syar’i dan dalil-dalilnya yang terperinci.
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa mengikuti hawa nafsu bisa menghantarkan kepada
dosa-dosa yang beranekaragam, dan tidak bisa disama-ratakan hukumnya. Oleh karena itu, tidaklah
boleh kita katakan bahwa setiap orang yang mengikuti hawa nafsu, pastilah kafir, tanpa kecuali.
Yang benar adalah hukum bagi orang yang mengikuti hawa nafsunya, bisa dikatakan pelakunya sebagai
pelaku dosa kecil, dosa besar, bid’ah, syirik kecil, dan syirik besar.
Menjawab Syubhat
Bagaimana memahami dalil yang menyebutkan penuhanan kepada hawa nafsu? Apakah ini tidak
menunjukan bahwa mengikuti hawa nafsu merupakan syirik akbar? Di dalam surat Al-Furqan, Allah
mencela orang yang ittiba’ul hawa (mengikuti hawa nafsu) dan menyebutnya sebagai orang yang
menuhankannya,
أَرَأَيَتأَمََِأاََ
ََإَِلأََََُأََِأهَأَفَتَنَتأَتِكَأوََِتَََْأ ِكَيأ َأ
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka
apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (Al-Furqaan: 43).
2. Apakah makna “penuhanan (menjadikan sesuatu sebagai Tuhan)” atau “penghambaan (menghamba
kepada sesuatu yang dianggap sebagai Tuhan)” pada ayat di atas?
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid hafizhahullah berkata,
“Dan lafadz {نم ذختا ههلإ }هاوه berlaku atas orang yang menyekutukan Allah baik dengan jenis
syirik akbar (besar), maupun syirik ashgar (kecil), maka setiap orang yang bergantung hatinya kepada
selain Allah, sehingga pada dirinya terdapat ‘ubudiyyah (penghambaan) kepada selain Allah tersebut,
bentuk ‘ubudiyyah ini bisa termasuk kekufuran (syirik) akbar atau ashghar ”.
Oleh karena itu sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa semua kemaksiatan masuk kategori syirik,
jika ditinjau dari pengertian syirik secara umum, karena setiap orang yang bermaksiat kepada Allah
Ta’ala, pastilah mengikuti hawa nafsunya dan menghamba kepadanya, sebagaimana ditunjukkan oleh
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَعَسَأفََدأَاَدأفََدأََِلَأوَرِهَأنَرِاَْأتََِلأِ
ََتِخََََِأوَِِتِاََََُْأوِرَاَنَِْوَأوِنمَفِأَْووََْْأَرِدَي
‘Binasalah (semoga binasa) hamba dinar, hamba dirham, hamba qathifah (pakaian bermotif serabut
ujungnya) dan hamba khamishah (pakaian indah dari bulu domba). Jika diberi maka ia ridha jika tak
diberi maka ia tak ridha’ (HR. Al-Bukhari : 2887)”.
Jadi, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan “menuhankan” atau “penghambaan ” dalam ayat di atas ada
dua kemungkinan,
1. Penghambaan kepada selain Allah yang tidak totalitas, sehingga tidak sampai dikatakan
menyembah selain Allah dan menuhankannya sebagaimana orang kafir dan musyrik yang non
muslim dalam menuhankan selain Allah.
2. Penghambaan kepada selain Allah yang totalitas, dan menuhankan serta menyembahnya, sama
persis sebagaimana menuhankan Allah dan menyembah-Nya, sehingga pelakunya dikatakan
telah memalingkan hak uluhiyyah kepada selain Allah.