SlideShare a Scribd company logo
1 of 12
Nama Mahasiswa : Donna Wibiananda Suryaman
NIM : 55118010016
Nama Dosen Pengampu : Bapak Prof. Dr. Hapzi Ali, Ir, MM, CMA. MPM
Mata Kuliah : Quiz 14. Strategic Management : Distruption Era
EXECUTIVE SUMMARY
A. Pengertian dan Perkembangan Bisnis di Era Distruption
Disruption adalah singkatan Disruptive Innovation. Diistilahkan disruptive (menganggu)
karena adanya pergesaran model bisnis dari era analog ke era digital dengan inovasi-inovasi
digital yang membuat segalanya menjadi mudah. Istilah “disruption” dicetuskan oleh Clayton
Christensen 1997, The Innovator’s Dilemma. Di dalamnya, Christensen memperkenalkan
gagasan “disruptif innovation” di dalam dunia bisnis. Ia menggunakan ungkapan ini sebagai
cara untuk memikirkan perusahaan yang sukses tidak hanya memenuhi kebutuhan pelanggan
saat ini, namun mengantisipasi kebutuhan mereka di masa depan. Teorinya menjelaskan
bagaimana perusahaan kecil dengan sumber daya yang minim mampu memasuki pasar dan
menggantikan sistem yang sudah mapan.
Saat Era keemasaan Nokia tiba-tiba di disruptive oleh Innovasi Blackberry. Nokia pun
tumbang. Dan benar saja Nokia tidak mengalami kesalahan apapun, hanya saja brand mereka
terdisruptive oleh brand yang telah berinovasi, sedangkan Nokia hanya bertahan pada zona
nyamannya tidak melakukan Disruption untuk melawan Innovasi perusahaan pesaingnya.
Sedan Biru yang sebelumnya menguasai pangsa pasar transportasi yang kerap kita tau
berbama Blubird, telah didisruptive oleh Si Hijau yaitu Go-Jek bahkan nyaris tanpa warna
khas (Go-Car). Ketika dulu jika kita hendak mencari barang belanjaan kita harus ke pasar
tradisonal atau perkulakan, sekarang kita hanya menggunakan jari saja. Dan pasar-pasarpun
mulai terganggu dan bertumbangan.
Digitalisasi adalah akibat dari evolusi teknologi (terutama informasi) yang mengubah
hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan dalam berusaha. Sebagian pihak
mengatakan bahwa disrupsi adalah sebuah ancaman. Namun banyak pihak pula mengatakan
kondisi saat ini adalah peluang.
Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas
yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya. Fenomena ini berkembang pada
perubahan pola dunia bisnis. Kemunculan transportasi daring adalah salah satu dampaknya
yang paling populer di Indonesia.
B. Era Distruption
Sejarah akan menunjukkan bahwa industrialisasi dan manufaktur akan menjamin
kemakmuran ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, tetapi waktu itu pasti telah berlalu.
Populasi yang matang (dan pertumbuhan rendah) di barat dan kelebihan kapasitas di China
tidak akan menciptakan cukup ruang kepala untuk penciptaan lapangan kerja yang memadai
melalui industrialisasi.
Namun, mengubah demografi global juga memberikan peluang bagi bisnis untuk menjadi
modal layanan dunia. Tetapi ini hanya mungkin jika demografi bonus potensial dapat
dipertahankan dan didukung dengan cara yang berarti. Selain itu, akan memiliki empat
generasi orang yang bekerja bersama untuk pertama kalinya dalam sejarah, yang
menghadirkan tantangannya sendiri dalam menarik dan mempertahankan angkatan kerja.
Ketika mengamati para millennial, ada beberapa pola yang menarik untuk diamati. Ambil
digitalisasi umum yang memastikan generasi ini terbiasa memiliki manfaat teknologi di
berbagai titik kontak - telekomunikasi, musik, perjalanan, ritel, dan buku - dan mereka
mengharapkan inovasi, kecepatan, keandalan, dan akses yang sama dari interaksi apa pun
dengan penyedia produk dan layanan.
C. Hal Penting Dalam Distrupsi
Rhenald Kasali dalam Kompas.Com mengungkapkan bahwa terdapat 5 (lima) hal penting
dalam disrupsi yaitu :
 Disrupsi berakibat terhadap penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang
menjadi lebih simpel.
 Disrupsi membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik daripada sebelumnya.
 Disrupsi berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-
eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.
 Produk/jasa hasil disrupsi ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para
penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan
termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam
smartphone.
 Disrupsi membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih
menghemat waktu dan lebih akurat.
D. Perubahan Dalam Distrupsi
Perkembangan teknologi memang dapat dikatakan menjadi pemicu. Kehadirannya
membuat semuanya dapat diakses. Hingga akhirnya baru diketahui bahwa itulah bagian dari
disrupsi. Tentu, akan ada pihak yang panik karena semuanya terjadi secara tiba-tiba. Bersifat
kejutan (surprise). Namun, meskipun begitu, tetap saja tidak menyadari bahwa disrupsi juga
menandakan adanya hal-hal yang berubah. Hal-hal yang tidak sama lagi dengan sebelumnya
sehingga membutuhkan cara-cara baru untuk dapat menakkukannya.
Sebagian besar orang akan mengatakan, disrupsi tengah terjadi. Perubahannya tidak
terasa di awal. Bahkan sudah terlanjur terlambat untuk menyadarinya. Dalam buku
Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber, dituliskan
bahwa keadaan yang serba cepat membuat manusia terlena. Kemudahan yang semakin lama
dirasakan dalam mengakses suatu sumber daya , tidak disadari sebagai sebuah sinyal lembut.
Persaingan pun diyakini menjadi semakin tak kasat mata. Secara tiba-tiba, terjadi penurunan
di satu sisi. Entah itu dalam penjualan ataupun pendapatan. 3 hal yang harus dipahami antara
lain :
1. Pasar yang Baru
Disruption pada akhirnya mencptakan suatu dunia baru: digital marketplace. Dunia
baru tersebut menandakan bentuk pasar yang berubah. Dengan kata lain konsumen
pun akan berpindah. Pasar tersebut tidak disadari dan tidak terlihat wujudnya.
Memunculkan prasangka-prasangka. Sayangnya, banyak yang masih berusaha
berkilah daripada berorientasi kepada konsumen tersebut dan menyesuaikan produk
serta layanannya.
2. Nasib yang Berbeda
Dalam menghadapi pertarungan yang kompetitif, akan selalu ada akhir yang berbeda
bagi masing-masing pemain. Perubahan-perubahan yang terjadi menuntut adanya
inovasi. Tanpa hal tersebut, yang lebih inovatif akan mengalahkan, bahkan
menggantikan yang terdahulu. Sehingga, dalam sejarah disruption akan ada akhir
yang berbeda. Maka, inovasi yang berkelanjutan adalah kunci.
3. Bersaing dengan business model
Ada yang berubah dalam melakukan pemasaran ketika sudah memasuki era disrupsi.
Kini, pertarungannya pun tidak sesederhana hanya sekadar produk. Melainkan
mencakup pada model bisnis (business model). Produk bisa saja sama, tetapi apabila
model bisnisnya dapat menarik hati konsumen, maka sudah barang tentu nyata siapa
yang menjadi pemenang. Misalnya saja keduanya sama-sama berupa swalayan,
namun karena model bisnis yang berbeda, maka salah satunya yang akan
memenangkannya.
E. Cara Menghadapi Era Distrupsi
Perusahaan harus dapat segera beradaptasi, dan mengenali bagaimana keadaan sekarang
yang penuh dengan perubahan. Tidak lagi sekedar berubah, melainkan langsung bergeser
atau menggantikan yang sudah berdiri sebelumnya dalam waktu yang cepat. Pergeseran
segmen konsumen yang sebelumnya generasi X kini menjadi generasi milenial memerlukan
pengembangan dari berbagai aspek termasuk layanan. Jika kita mengikuti perkembangan
selama ini yang terjadi, kita akan menyadari bahwa tanda-tanda perubahan tersebut sudah
terbaca sejak beberapa tahun lalu.
7 (tujuh) cara yang dapat dilakukan oleh bisnis dalam menghadapi era disrupsi ini agar
bisnis tidak kehilangan pelanggannya atau bahkan mati sebagai berikut :
1. Trend Watching
Cara menghadapi era disrupsi yang pertama adalah melakukan Trend watching yaitu
kegiatan dalam memantau perubahan trend dalam lingkungan bisnis. Dengan selalu
memantau lingkungan, maka bisnis akan selalu mengetahui perubahan-perubahan yang
sedang dan akan terjadi sehingga gejala-gejala timbulnya disrupsi akan terdeteksi secara
dini. Komponen-komponen yang harus dipantau yaitu trend teknologi, ekonomi, budaya,
politik, dan lingkungan alam. Informasi dari trend watching dapat digunakan untuk
melakukan adaptasi dan antisipasi, sehingga efek dari disrupsi dapat diminimalisir, atau
bahkan dapat menjadi agent of disruption, yaitu pelaku bisnis yang menjadi pionir dalam
disrupsi.
2. Research
Cara menghadapi era disrupsi selanjutnya adalah melakukan riset. Agar trend watching
yang dilakukan hasilnya dapat lebih meyakinkan, maka harus dilakukan dengan
pendekatan riset. Karena dengan riset informasi yang didapat dapat
dipertanggungjawabkan mengenai kesahihan dan keabsahannya, karena dilakukan secara
ilmiah. Oleh karena itu bisnis di era ini harus memiliki fungsi riset, yang biasa dinamakan
R&D (research & development).
3. Risk Management
Cara menghadapi era disrupsi yang ketiga yaitu selalu melakukan pengelolaan terhadap
resiko. Lingkungan yang terdisrupsi pada dasarnya akan menjadi pemicu dari resiko
bisnis. Oleh karena itu, bisnis harus selalu dapat mengelola disrupsi sebagai suatu peril
dalam resiko, dan bisa dikatakan bahwa disrupsi itu harus dikelola, dan risk management
disini dapat difokuskan kepada disruption management mengenai bagaimana disrupsi
diidentifikasi, dianalisis dan dievaluasi, sehingga bisnis dapat memiliki ruang dan waktu
untuk mengantisipasi gejala disrupsi yang akan terjadi.
4. Inovation
Cara menghadapi era disrupsi yang ke-empat adalah melakukan inovasi, yaitu membuat
terobosan-terobosan baru atau penyesuaian-penyesuaian pada bisnis yang lama agar lebih
sesuai dengan era dimana masa disrupsi terjadi. Inovasi dapat dilakukan jika peristiwa
tersebut sudah terlanjur terjadi dan dapat berhasil pada bisnis yang akan melakukan
perubahan. Contohnya adalah bisnis yang murni offline, membuat inovasi dengan
meluncurkan versi online.
5. Switching
Cara menghadapi era disrupsi yang ke-lima adalah switching atau memutar haluan bisnis.
Cara ini dapat dilakukan Jika bisnis yang ada tidak dapat lagi dimodifikasi, maka
solusinya adalah harus berani memutar haluan atau mematikan produk yang sudah
dimiliki. Contohnya Telkom yang selalu berani untuk mematikan atau mengkanibalisasi
produknya sendiri seperti telepon kabel yang diganti dengan nir-kabel dll.
6. Partnership
Cara menghadapi era disrupsi yang ke-enam yaitu melakukan strategi partnership. Era
disrupsi pada masa ini membuat bisnis sulit untuk bertempur sendiri karena persaingan
sudah sangat kompleks dan proses bisnis sudah ter-inklusi. Oleh karena itu solusinya
adalah dengan melakukan kolaborasi dan aliansi-aliansi strategis mulai dari sisi input
sampai output dalam supply chain agar bisnis menjadi lebih efektif dan efisien.
7. Change Management
Cara menghadapi era disrupsi yang terakhir adalah dengan melakukan change
management. Hal ini dapat dilakukan untuk merubah pola pikir dan kesadaran dari
elemen sumber daya manusia dalam organisasi bisnis agar dapat bahu-membahu
melakukan perubahan. Karena efek disrupsi itu dapat merubah segala hal tak terkecuali
pada budaya organisasi dalam melakukan proses bisnisnya. Oleh karena itu solusinya
adalah organisasi harus dapat berubah menyesuaikan budaya organisasi di era disrupsi
yang ada.
Disruption bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari
esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present).
Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita tengah berada dalam sebuah
peradaban baru. Kita baru saja melewati gelombang tren yang amat panjang, yang tiba-
tiba terputus begitu saja (a trend break).
Bahayanya adalah semakin "berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, dia
akan semakin sulit untuk "membaca" fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami
"the past trap" atau "success trap". Apalagi untuk mencerna dan berselancar di atas
gelombang disrupsi. Itu akan sulit sekali diterima oleh orang yang pintar dan
berpengalaman tadi. Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran tersebut amat kental
logika masa lalunya.
Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari pemerintahan,
ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi, pelayanan kesehatan,
pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial. Bahkan konsep
marketing pun sekarang terdisrupsi.
Generasi muda harus siap menghadapi era disrupsi dengan memiliki etos kerja,
sikap terbuka, serta mampu menjadi problem solving untuk menyelesaikan berbagai
persoalan yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat karena di tangan generasi
muda terletak kunci keberhasilan Indonesia.
F. Inovasi Distruptif
Inovasi disruptif (disruptive innovation) adalah inovasi yang membantu menciptakan
pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya
menggantikan teknologi terdahulu tersebut. Inovasi disruptif mengembangkan suatu produk
atau layanan dengan cara yang tak diduga pasar, umumnya dengan menciptakan jenis
konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama.
Istilah disruptive innovation dicetuskan pertama kali oleh Clayton M. Christensen dan
Joseph Bower pada artikel "Disruptive Technologies: Catching the Wave" di jurnal Harvard
Business Review (1995). Artikel tersebut sebenarnya ditujukan untuk para eksekutif yang
menentukan pendanaan dan pembelian disuatu perusahaan berkaitan dengan pendapatan
perusahaan dimasa depan. Kemudian pada bukunya "The Innovator's Dilemma", Christensen
memperkenalkan model Disruptive Inovasi (The Disruptive Innovation Model).
Salah satu contoh dari Inovasi Disruptif (disruptive innovation) adalah Wikipedia.
Wikipedia merupakan salah satu contoh inovasi disruptif yang merusak pasar ensiklopedia
tradisional (cetak). Kalau dilihat, saat ini jarang sekali ditemukan ensiklopedia edisi cetak
dijual ditoko buku. Semuanya sudah beralih ke Wikipedia. Dari sisi harga ensiklopedia
tradisional (cetak) bisa jutaan, sekarang malah informasi bisa didapat secara cuma-cuma
lewat Wikipedia. Makanya disebut "disruptif" atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai
"mengganggu".
Contoh dari Inovasi Distruptif dan pasar terganggu oleh Inovasi (market distrupted by
Innovation) antara lain :
 Telegrafi, pasar terganggu oleh inovasi Telepon
 Ensikopledia cetak, pasar terganggu oleh inovasi Wikipedia
 Floppy Disk, pasar terganggu oleh inovasi USB
 Kamera Film, pasar terganggu oleh inovasi kamera digital
 Cetak offset, pasar terganggu oleh inovasi printer komputer. Dll
Journal Review
International Journal of Innovation Management Vol.20 No 5 – 1640013 (June
2016)
ANALYSING UBER IN SOCIAL MEDIA — DISRUPTIVE
TECHNOLOGY OR INSTITUTIONAL DISRUPTION?
CHRISTOFER LAURELL
In recent years, collaborative consumption platforms have gained momentum in several
sectors of the economy. Entrant firms such as AirBnB, Taskrabbit and Uber are growing rapidly
and threaten established players by introducing new business models that create lower prices,
new performance parameters and new levels of scalability. While there are many examples of
collaborative consumption models on the internet, their impact on established industries and
physical marketplaces remains understudied.
Collaborative consumption firms introduce an offering that clearly posit some disruptive
properties in the sense that value is created in novel ways, often by introducing new performance
parameters (Bower and Christensen, 1996). It was however argued in a recent publication that
Uber does not fulfil the traditional criteria for being regarded as a disruptive innovation
(Christensen et al., 2015). At the same time, Uber and many similar firms create institutional
turbulence, largely by circumventing existing rules, taxes and regulations. The actions of these
firms can thus be thought of as a form of institutional entrepreneurship as they do not compete
according to established rules and norms, but rather by altering the institutional set-up governing
an industry.
As these phenomena are relatively new, it is still unclear how collaborative consumption
platforms emerge within an established institutional setting and how they are received by the
market. The purpose of this paper is therefore to explore whether Uber, a personal transportation
platform, is conceived of as a technological innovation, and/or as an institutional disruption. This
is done by analysing
how Uber is discussed in social media. Given current discourse about whether Uber is disruptive
or not and the ongoing public debates about this case, it is important to investigate in further
detail whether Uber is primarily a technological or institutional disruption.
Technology supply and demand
The emergence of new technology is frequently addressed and studied by looking into the
interactions between technology supply and demand. Starting with technology supply, a number
of scholars have argued that a new technology is likely to emerge when the performance of the
previous solution has reached its limits (Sahal, 1985). This pattern is commonly known as a
technology S-curve (Foster,1986).
Other streams of research in this area have maintained more sociological perspectives
upon the diffusion of innovations (Rogers, 1995). Relaxing assumptions of rational, self-
maximising behaviour, this domain of literature has instead argued that diffusion is
fundamentally a social process and that new technology gains acceptance if it caters to the
customs, norms and values of the market. The diffusion of innovation is therefore thought of as
an epidemic pattern, where one individual’s decisions to adopt a novelty influences the decisions
of others, resulting in an exponential increase, followed by saturation.
Technological change and institutional disruption
The emergence of new technology may also have far reaching implications with regard to
the institutional setup in a certain industry (Jacobsson and Bergek, 2003;Pihl, 2013; Ernkvist,
2015). Such changes are not fully captured by literature on technology supply and demand.
Broadly speaking, institutions can be defined as the “rules of the game” or as “regulative,
normative, and cognitive structures and activities that provide stability and meaning to social
behavior” (Scott, 1995: 33). Established institutions create stability and reduce transaction costs
(Peng et al.,2009) and can be thought of as those factors which govern and mediate the
interaction between technology supply and demand.
The institutional perspective on technological change is different as institutions are not
concerned with supply and demand on a market, but rather with the informal and formal rules
that govern the interactions between demand and supplied offerings. Agency directed towards
changing institutions is commonly defined as institutional entrepreneurship (Peng and Heath,
1996; DiMaggio, 1998). This form of change is often referred to as divergent as such processes
result in an era of ferment in the institutional domain, which at times is triggered by
technological change (Garud et al., 2002). These periods of instability are frequently
characterised by conflicting interests, struggles for power and attempts to demarcate what
constitutes a certain organisational field.
Method
Methods related to the collection and analysis of user-generated content, as well as social
media in general, has over recent years become an increasingly discussed topic and has resulted
in the emergence of social media analytics (SMA). By gathering and coding entries about Uber
on various social media platforms, we are able to study whether the marketplace perceives Uber
as a disruptive technological innovation and/or an institutional innovation.
The SMA approach is interdisciplinary and seeks to combine, extend and adapt methods
for analysis of social media data (Stieglitz et al., 2014). While the purposes of applying SMA
vary across disciplines, innovation management has been suggested to represent one of the
settings where this methodological approach is particularly useful. This is because social media
have been suggested to be represent “a kind of living lab, which enables academics to collect
large amounts of data generated in a real-world environment” (Stieglitz et al., 2014: 90) that also
provides a methodical approach that is relatively unobtrusive in its nature.
Data Collection
For the purpose of data collection for the present study, one of these services was used.
As other alternative services, notified has been developed to capture user-generated contents
published on a diverse set of social media platforms. When using the tool, the user first enters
one or a set of keywords. After the keyword, or the set of keywords has been entered, all
publically published usergenerated contents from Twitter, Instagram, Facebook, blogs, forums
and You-Tube are collected in a database in real-time. Thus, the tool allows for researchers to
collect data from a relatively broad set of social media applications found in the social media
landscapes in a structured manner. This also means that the researcher
does not need to use problematic data collection methods, such as scraping techniques (Stieglitz
et al., 2014).
For the purpose of this study, the keyword “Uber” was entered into the service on the
16th of June. Data was thereafter collected up until the 16th of August. This generated a dataset
amounting to 6550 social media posts covering a time period of two months. This dataset only
contains user-generated contents written in Swedish or user-generated contents written in
English posted by Swedish users. The rationale for doing so was twofold. First, filtering the data
collection process to a specific language and user origin allowed for a more focused data
collection process. Doing so is important as certain keywords tend to have several connotations
in different languages and also be either rare or common in the everyday vocabulary of different
languages. In the case of Uber, the usage of this word in the Swedish language is strongly
limited. Therefore, user-generated contents including the keyword “Uber” were assumed to have
a relatively high degree of relevance in relation to the phenomenon in question. Second, Sweden
is one of the countries that tend to top the global ranking of digital technology usage as well as
high speed Internet access which makes its social media landscape particularly vibrant (Findahl
and Davidsson, 2015) and therefore suitable for the purpose of SMA.
Result
In regards to user-generated contents that focus on Uber and the transformation of the
personal transportation sector, this theme represents 26.7% of the total material. Meanwhile,
user-generated content concerning Uber and its societal consequences represents 18.0% of the
total material. Within these two main themes, that together represent 44.7% of the total material,
neutral contents are the most frequently occurring in regards to the transformation of the sector
while positive or negative contents dominate in regards to the societal implications. In terms of
topical discussions found within these two main themes, one particular issue is predominant
across them both. More specifically, this issue relates
to whether Uber and Taxi should be regarded as either one and the same or two distinctly
different personal transportation service offerings. One example of how this is commonly
explicated was published the 17th of August 2015: “For those of you who do not know, Uber is a
cheaper alternative
to taxi.”
Analysis and Disccusion
The results presented above show that a considerable amount of social media userstake
part in posting user-generated contents revolving around Uber and with relatively varying
sentiments. In order to analyse the distribution of published contents for the total period, as well
as over time, the following three subsections will address the results in relation to technological
disruptions, institutional disruptions and the interplay between these two.
Technological disruption
As illustrated in regards to the two main themes relating to technological disruption,
the contents that focus on Uber or Uber in relation to its competitors has been given significant
attention. 21.6% of the user-generated contents (1050 posts) concern the actual offering, i.e.,
how users perceive Uber or how Uber relates to one or more competitors.
Uber’s entry into the taxi market can therefore be analysed and understood as a new
technological solution, competing with an established solution. As such, Uber’s offer clearly has
some disruptive properties in the sense that it creates value in new ways, for instance by being
simpler, cheaper and reducing costs (Christensen and Bower, 1995). Before a solution gains
acceptance in the market, it must
also reach certain acceptable performance levels (Adner, 2002) and current levels
of diffusion suggest that this is also the case. In view of this development, it can also be argued
that the traditional taxi industry has reached its performance limits and that Uber’s solution
transcends established tradeoffs with regard to e.g., price, service, convenience and reliability
(Sahal, 1985). It is, however, noteworthy that a relatively small share of the published posts
found in the material actually concern Uber’s offering, its value and how it compares to
established solutions. Hence, it clear that Uber has introduced a new offer, but that the actual
value of this offer vis-à-vis previous solutions is only perceived to a limited extent.
Discussion and future research
As collaborative consumption platforms are emerging within several sectors of the
economy, individual platforms may potentially differ in terms of the balance between
technological and institutional disruption. As this study has been limited to one particular
platform, research which spans across platforms would be of particular value as such studies
could help to (i) reveal particular evolutionary
phases of the interplay between technological and institutional disruptions, and (ii) help to
further explain the effects of collaborative consumption platforms on traditional market
arrangements.
Another direction for future research revolves around the role of users in social media.
The presented study has illustrated how users of social media devote themselves to either
supporting or rejecting changes that take place within a certain sector. Based on these
illustrations, the potential role of social media as a source of institutional pressure for both
individual organisations as well as sectors represent an area where more knowledge is needed,
particularly regarding business models that are formed in digital contexts and in close proximity
to social media participation.
In view of these potential avenues for future research, the SMA approach offers
methodologically relevant tools. The initial character of social media posed several challenges in
regards to the usage of user-generated content, as content tended to be scattered across the social
media landscape and being produced by a relatively homogenous user group. As the social media
landscape has evolved, however, and now is centred on a number of dominating platforms where
a vast plethora of users interact, this development has contributed considerably to the relevance
and potentialof utilizing social media data for the purpose of innovation research.
Sumber :
Wajib
Hapzi Ali. 2019. Modul Manajemen Strategic Management : Distruption Era. Universitas
Mercu Buana. Jakarta
Tambahan
Laurell, Christofer. Analysis Uber in Social Media – Distruptive Technology or
Intitutional Disruption. 2016. International Journal of Innovation Management. Stockholm
Business School Sweden.
IMPLEMENTASI ERA DISTRUPSI PADA DUNIA PENDIDIKAN
Dunia hari ini sedang menghadapi fenomena disruption (disrupsi), situasi di mana
pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat,
fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.
Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif.
Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat,
hingga pendidikan. Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah.
Tidak diragukan lagi, disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi sistem pendidikan.
Munculnya inovasi aplikasi teknologi seperti Uber atau Gojek akan menginspirasi lahirnya
aplikasi sejenis di bidang pendidikan.
Misalnya MOOC, singkatan dari Massive Open Online Course serta AI (Artificial
Intelligence). MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka, dapat saling
berbagi dan saling terhubung atau berjejaring satu sama lain. Prinsip ini menandai dimulainya
demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi kita untuk memanfaatkan dunia
teknologi dengan produktif. Sedangkan AI adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang
untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia. Di bidang
pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang bersifat individual.
Sebab, AI mampu melakukan pencarian informasi yang diinginkan sekaligus menyajikannya
dengan cepat, akurat, dan interaktif. Baik MOOC maupun AI akan mengacak-acak metode
pendidikan lama.
Kegiatan belajar-mengajar akan berubah total. Ruang kelas mengalami evolusi dengan pola
pembelajaran digital yang memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kreatif, partisipatif,
beragam, dan menyeluruh.
Evolusi pembelajaran yang ditawarkan oleh MOOC dan AI akan memunculkan pertanyaan
kritis, "Masih relevankah peran guru ke depan?"
Chief Executive Officer TheHubEdu, Tiffany Reiss berpendapat, guru memiliki peran
penting dalam melakukan kontekstualisasi informasi serta bimbingan terhadap siswa dalam
penggunaan praktis diskusi daring.
Jack Ma, pendiri Alibaba, perusahaan transaksi daring terbesar di dunia juga mengatakan,
fungsi guru pada era digital ini berbeda dibandingkan guru masa lalu. Kini, guru tidak mungkin
mampu bersaing dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hapalan, hitungan, hingga
pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan, dan efektif dibandingkan
kita karena tidak pernah lelah melaksanakan tugasnya.
Karena itu, fungsi guru bergeser lebih mengajarkan nilai-nilai etika, budaya,
kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat
diajarkan oleh mesin. Jika tidak, wajah masa depan pendidikan kita akan suram.
Guru perlu untuk memulai mengubah cara mereka mengajar, meninggalkan cara-cara
lamanya serta fleksibel dalam memahami hal-hal baru dengan lebih cepat. Teknologi digital
dapat membantu guru belajar lebih cepat dan lebih efektif untuk berubah dan berkembang.
Mereka akan lebih cakap mengubah pelajaran yang membosankan dan tidak inovatif
menjadi pembelajaran multi-stimulan sehingga menjadi lebih menyenangkan dan menarik.
Pertanyaannya adalah apakah guru-guru saat ini telah disiapkan untuk menghadapi perubahan
peran ini? Ini bukan hanya persoalan mengganti kelas tatap muka konvensional menjadi
pembelajaran daring.
Namun yang lebih penting adalah revolusi peran guru sebagai sumber belajar atau
pemberi pengetahuan menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan inspirator mengembangkan
imajinasi, kreativitas, karakter, serta team work siswa yang dibutuhkan pada masa depan.
Hal ini memerlukan inisiatif pemerintah untuk menata ulang arah kebijakan
pendidikannya mulai dari paradigma, kurikulum, assessment hingga sistem rekrutmen serta
metode pengembangan profesionalitas guru di pendidikan dasar ataupun pendidikan tinggi.
Sayangnya, kebijakan saat ini belum mampu menjawab kebutuhan pendidikan pada masa
depan. Misalkan kurikulum dan assessment, sistemnya masih berorientasi penguasaan materi
akibatnya pengajaran guru lebih berorientasi pada peningkatan nilai akademis siswa.
Orientasinya bukan pada aspek karakter atau kompetensi yang dibutuhkan di abad ke-21, seperti
berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi, hingga pemecahan masalah. Karena itu,
perombakan kebijakannya harus komprehensif mulai dari hulu hingga hilir.
Sumber :
Wajib
Hapzi Ali. 2019. Modul Manajemen Strategic Management : Distruption Era. Universitas Mercu
Buana. Jakarta
Tambahan
Elba. 2017. https://republika.co.id/berita/ozw649440/menghadapi-era-disrupsi. Diakses pada 2
Juli 2019 pukul 22.00

More Related Content

Similar to distruption era. umb. 2019

14,sm, lusiana sari, prof. dr. ir. hapzi ali.mm.cma. disruption era,universit...
14,sm, lusiana sari, prof. dr. ir. hapzi ali.mm.cma. disruption era,universit...14,sm, lusiana sari, prof. dr. ir. hapzi ali.mm.cma. disruption era,universit...
14,sm, lusiana sari, prof. dr. ir. hapzi ali.mm.cma. disruption era,universit...ana_sari
 
Tb1, executive summary era disrupsi niken udanarti
Tb1, executive summary era disrupsi niken udanarti Tb1, executive summary era disrupsi niken udanarti
Tb1, executive summary era disrupsi niken udanarti NikenUdanarti
 
Compilation Managing Growing business
Compilation Managing Growing business Compilation Managing Growing business
Compilation Managing Growing business AnatasyaRukkha
 
Givenchy 2001578052 la28_compliation
Givenchy 2001578052 la28_compliationGivenchy 2001578052 la28_compliation
Givenchy 2001578052 la28_compliationGivenYohanes
 
Hambatan dan Tantangan dalam Implementasi SIM
Hambatan dan Tantangan dalam Implementasi SIMHambatan dan Tantangan dalam Implementasi SIM
Hambatan dan Tantangan dalam Implementasi SIMdhibah
 
Compilation shinta hidayat 2001557691
Compilation shinta hidayat 2001557691Compilation shinta hidayat 2001557691
Compilation shinta hidayat 2001557691Shinta Hidayat
 
Upaya Pengembangan Usaha dengan Kreatifitas dan Inovasi Era Digital saat ini.pdf
Upaya Pengembangan Usaha dengan Kreatifitas dan Inovasi Era Digital saat ini.pdfUpaya Pengembangan Usaha dengan Kreatifitas dan Inovasi Era Digital saat ini.pdf
Upaya Pengembangan Usaha dengan Kreatifitas dan Inovasi Era Digital saat ini.pdfCrusscitaFuwanmahara
 
Complication managing growing business
Complication  managing growing businessComplication  managing growing business
Complication managing growing businessNiraOlvina
 
Makalah Kreativitas dan Inovasi-Disruptive Innovation
Makalah Kreativitas dan Inovasi-Disruptive InnovationMakalah Kreativitas dan Inovasi-Disruptive Innovation
Makalah Kreativitas dan Inovasi-Disruptive InnovationJihan Ineke
 
PENGARUH SOSIAL MEDIA DALAM PERILAKU PENGUSAHA DAN DAMPAKNYA PADA KARAKTER KE...
PENGARUH SOSIAL MEDIA DALAM PERILAKU PENGUSAHA DAN DAMPAKNYA PADA KARAKTER KE...PENGARUH SOSIAL MEDIA DALAM PERILAKU PENGUSAHA DAN DAMPAKNYA PADA KARAKTER KE...
PENGARUH SOSIAL MEDIA DALAM PERILAKU PENGUSAHA DAN DAMPAKNYA PADA KARAKTER KE...WafaelHusna
 
zillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptxzillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptxAlviFurwantiAlwie2
 
zillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptxzillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptxAlviFurwantiAlwie2
 
zillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptxzillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptxAlviFurwantiAlwie2
 
12 karakteristik ekonomi digital
12 karakteristik ekonomi digital12 karakteristik ekonomi digital
12 karakteristik ekonomi digitalHansah Darmawan
 
MF445_11_095710.pdf
MF445_11_095710.pdfMF445_11_095710.pdf
MF445_11_095710.pdfGiovanni Man
 

Similar to distruption era. umb. 2019 (20)

Disruption era
Disruption eraDisruption era
Disruption era
 
14,sm, lusiana sari, prof. dr. ir. hapzi ali.mm.cma. disruption era,universit...
14,sm, lusiana sari, prof. dr. ir. hapzi ali.mm.cma. disruption era,universit...14,sm, lusiana sari, prof. dr. ir. hapzi ali.mm.cma. disruption era,universit...
14,sm, lusiana sari, prof. dr. ir. hapzi ali.mm.cma. disruption era,universit...
 
Tb1, executive summary era disrupsi niken udanarti
Tb1, executive summary era disrupsi niken udanarti Tb1, executive summary era disrupsi niken udanarti
Tb1, executive summary era disrupsi niken udanarti
 
Compilation Managing Growing business
Compilation Managing Growing business Compilation Managing Growing business
Compilation Managing Growing business
 
Givenchy 2001578052 la28_compliation
Givenchy 2001578052 la28_compliationGivenchy 2001578052 la28_compliation
Givenchy 2001578052 la28_compliation
 
Inovasi disruptif (Disruptive innovation )
Inovasi disruptif (Disruptive innovation )Inovasi disruptif (Disruptive innovation )
Inovasi disruptif (Disruptive innovation )
 
Inovasi disruptif (Disruptive innovation)
Inovasi disruptif (Disruptive innovation)Inovasi disruptif (Disruptive innovation)
Inovasi disruptif (Disruptive innovation)
 
Hambatan dan Tantangan dalam Implementasi SIM
Hambatan dan Tantangan dalam Implementasi SIMHambatan dan Tantangan dalam Implementasi SIM
Hambatan dan Tantangan dalam Implementasi SIM
 
Compilation shinta hidayat 2001557691
Compilation shinta hidayat 2001557691Compilation shinta hidayat 2001557691
Compilation shinta hidayat 2001557691
 
Upaya Pengembangan Usaha dengan Kreatifitas dan Inovasi Era Digital saat ini.pdf
Upaya Pengembangan Usaha dengan Kreatifitas dan Inovasi Era Digital saat ini.pdfUpaya Pengembangan Usaha dengan Kreatifitas dan Inovasi Era Digital saat ini.pdf
Upaya Pengembangan Usaha dengan Kreatifitas dan Inovasi Era Digital saat ini.pdf
 
Complication managing growing business
Complication  managing growing businessComplication  managing growing business
Complication managing growing business
 
028 180407 Disruption Chapter 1-2
028 180407 Disruption Chapter 1-2028 180407 Disruption Chapter 1-2
028 180407 Disruption Chapter 1-2
 
084 180407 bookclub_distruption bab 1-3
084 180407 bookclub_distruption bab 1-3084 180407 bookclub_distruption bab 1-3
084 180407 bookclub_distruption bab 1-3
 
Makalah Kreativitas dan Inovasi-Disruptive Innovation
Makalah Kreativitas dan Inovasi-Disruptive InnovationMakalah Kreativitas dan Inovasi-Disruptive Innovation
Makalah Kreativitas dan Inovasi-Disruptive Innovation
 
PENGARUH SOSIAL MEDIA DALAM PERILAKU PENGUSAHA DAN DAMPAKNYA PADA KARAKTER KE...
PENGARUH SOSIAL MEDIA DALAM PERILAKU PENGUSAHA DAN DAMPAKNYA PADA KARAKTER KE...PENGARUH SOSIAL MEDIA DALAM PERILAKU PENGUSAHA DAN DAMPAKNYA PADA KARAKTER KE...
PENGARUH SOSIAL MEDIA DALAM PERILAKU PENGUSAHA DAN DAMPAKNYA PADA KARAKTER KE...
 
zillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptxzillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptx
 
zillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptxzillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptx
 
zillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptxzillenial vs entrepreneur.pptx
zillenial vs entrepreneur.pptx
 
12 karakteristik ekonomi digital
12 karakteristik ekonomi digital12 karakteristik ekonomi digital
12 karakteristik ekonomi digital
 
MF445_11_095710.pdf
MF445_11_095710.pdfMF445_11_095710.pdf
MF445_11_095710.pdf
 

More from Donna Wibiananda Suryaman

Business ethic csr risk management. UMB. 2019
Business ethic csr risk management. UMB. 2019Business ethic csr risk management. UMB. 2019
Business ethic csr risk management. UMB. 2019Donna Wibiananda Suryaman
 
Strategic management. canvas model, diversification, balance scorecard. umb. ...
Strategic management. canvas model, diversification, balance scorecard. umb. ...Strategic management. canvas model, diversification, balance scorecard. umb. ...
Strategic management. canvas model, diversification, balance scorecard. umb. ...Donna Wibiananda Suryaman
 
Type Implementation strategy. Universitas Mercu Buana. 2019
Type Implementation strategy. Universitas Mercu Buana. 2019Type Implementation strategy. Universitas Mercu Buana. 2019
Type Implementation strategy. Universitas Mercu Buana. 2019Donna Wibiananda Suryaman
 
Internal analysis. universitas mercu buana. 2019
Internal analysis. universitas mercu buana. 2019Internal analysis. universitas mercu buana. 2019
Internal analysis. universitas mercu buana. 2019Donna Wibiananda Suryaman
 
External macro environment analysis. universitas mercu buana. 2019
External macro environment analysis. universitas mercu buana. 2019External macro environment analysis. universitas mercu buana. 2019
External macro environment analysis. universitas mercu buana. 2019Donna Wibiananda Suryaman
 
Strategi Management Vission and Company Mission. Universitas Mercu Buana. 2019
Strategi Management Vission and Company Mission. Universitas Mercu Buana. 2019 Strategi Management Vission and Company Mission. Universitas Mercu Buana. 2019
Strategi Management Vission and Company Mission. Universitas Mercu Buana. 2019 Donna Wibiananda Suryaman
 
Strategic Management; Overview of Strategic Management. Universitas Mercu Bua...
Strategic Management; Overview of Strategic Management. Universitas Mercu Bua...Strategic Management; Overview of Strategic Management. Universitas Mercu Bua...
Strategic Management; Overview of Strategic Management. Universitas Mercu Bua...Donna Wibiananda Suryaman
 

More from Donna Wibiananda Suryaman (12)

review materi. umb. 2019
review materi. umb. 2019review materi. umb. 2019
review materi. umb. 2019
 
digital era. umb. 2019
digital era. umb. 2019digital era. umb. 2019
digital era. umb. 2019
 
five force porters. umb. 2019
five force porters. umb. 2019five force porters. umb. 2019
five force porters. umb. 2019
 
global economy. umb. 2019
global economy. umb. 2019global economy. umb. 2019
global economy. umb. 2019
 
Business ethic csr risk management. UMB. 2019
Business ethic csr risk management. UMB. 2019Business ethic csr risk management. UMB. 2019
Business ethic csr risk management. UMB. 2019
 
Strategic management. canvas model, diversification, balance scorecard. umb. ...
Strategic management. canvas model, diversification, balance scorecard. umb. ...Strategic management. canvas model, diversification, balance scorecard. umb. ...
Strategic management. canvas model, diversification, balance scorecard. umb. ...
 
Type Strategic Generic Porter. UMB. 2019
Type Strategic Generic Porter. UMB. 2019Type Strategic Generic Porter. UMB. 2019
Type Strategic Generic Porter. UMB. 2019
 
Type Implementation strategy. Universitas Mercu Buana. 2019
Type Implementation strategy. Universitas Mercu Buana. 2019Type Implementation strategy. Universitas Mercu Buana. 2019
Type Implementation strategy. Universitas Mercu Buana. 2019
 
Internal analysis. universitas mercu buana. 2019
Internal analysis. universitas mercu buana. 2019Internal analysis. universitas mercu buana. 2019
Internal analysis. universitas mercu buana. 2019
 
External macro environment analysis. universitas mercu buana. 2019
External macro environment analysis. universitas mercu buana. 2019External macro environment analysis. universitas mercu buana. 2019
External macro environment analysis. universitas mercu buana. 2019
 
Strategi Management Vission and Company Mission. Universitas Mercu Buana. 2019
Strategi Management Vission and Company Mission. Universitas Mercu Buana. 2019 Strategi Management Vission and Company Mission. Universitas Mercu Buana. 2019
Strategi Management Vission and Company Mission. Universitas Mercu Buana. 2019
 
Strategic Management; Overview of Strategic Management. Universitas Mercu Bua...
Strategic Management; Overview of Strategic Management. Universitas Mercu Bua...Strategic Management; Overview of Strategic Management. Universitas Mercu Bua...
Strategic Management; Overview of Strategic Management. Universitas Mercu Bua...
 

distruption era. umb. 2019

  • 1. Nama Mahasiswa : Donna Wibiananda Suryaman NIM : 55118010016 Nama Dosen Pengampu : Bapak Prof. Dr. Hapzi Ali, Ir, MM, CMA. MPM Mata Kuliah : Quiz 14. Strategic Management : Distruption Era EXECUTIVE SUMMARY A. Pengertian dan Perkembangan Bisnis di Era Distruption Disruption adalah singkatan Disruptive Innovation. Diistilahkan disruptive (menganggu) karena adanya pergesaran model bisnis dari era analog ke era digital dengan inovasi-inovasi digital yang membuat segalanya menjadi mudah. Istilah “disruption” dicetuskan oleh Clayton Christensen 1997, The Innovator’s Dilemma. Di dalamnya, Christensen memperkenalkan gagasan “disruptif innovation” di dalam dunia bisnis. Ia menggunakan ungkapan ini sebagai cara untuk memikirkan perusahaan yang sukses tidak hanya memenuhi kebutuhan pelanggan saat ini, namun mengantisipasi kebutuhan mereka di masa depan. Teorinya menjelaskan bagaimana perusahaan kecil dengan sumber daya yang minim mampu memasuki pasar dan menggantikan sistem yang sudah mapan. Saat Era keemasaan Nokia tiba-tiba di disruptive oleh Innovasi Blackberry. Nokia pun tumbang. Dan benar saja Nokia tidak mengalami kesalahan apapun, hanya saja brand mereka terdisruptive oleh brand yang telah berinovasi, sedangkan Nokia hanya bertahan pada zona nyamannya tidak melakukan Disruption untuk melawan Innovasi perusahaan pesaingnya. Sedan Biru yang sebelumnya menguasai pangsa pasar transportasi yang kerap kita tau berbama Blubird, telah didisruptive oleh Si Hijau yaitu Go-Jek bahkan nyaris tanpa warna khas (Go-Car). Ketika dulu jika kita hendak mencari barang belanjaan kita harus ke pasar tradisonal atau perkulakan, sekarang kita hanya menggunakan jari saja. Dan pasar-pasarpun mulai terganggu dan bertumbangan. Digitalisasi adalah akibat dari evolusi teknologi (terutama informasi) yang mengubah hampir semua tatanan kehidupan, termasuk tatanan dalam berusaha. Sebagian pihak mengatakan bahwa disrupsi adalah sebuah ancaman. Namun banyak pihak pula mengatakan kondisi saat ini adalah peluang. Era disrupsi ini merupakan fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas-aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata, ke dunia maya. Fenomena ini berkembang pada perubahan pola dunia bisnis. Kemunculan transportasi daring adalah salah satu dampaknya yang paling populer di Indonesia.
  • 2. B. Era Distruption Sejarah akan menunjukkan bahwa industrialisasi dan manufaktur akan menjamin kemakmuran ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, tetapi waktu itu pasti telah berlalu. Populasi yang matang (dan pertumbuhan rendah) di barat dan kelebihan kapasitas di China tidak akan menciptakan cukup ruang kepala untuk penciptaan lapangan kerja yang memadai melalui industrialisasi. Namun, mengubah demografi global juga memberikan peluang bagi bisnis untuk menjadi modal layanan dunia. Tetapi ini hanya mungkin jika demografi bonus potensial dapat dipertahankan dan didukung dengan cara yang berarti. Selain itu, akan memiliki empat generasi orang yang bekerja bersama untuk pertama kalinya dalam sejarah, yang menghadirkan tantangannya sendiri dalam menarik dan mempertahankan angkatan kerja. Ketika mengamati para millennial, ada beberapa pola yang menarik untuk diamati. Ambil digitalisasi umum yang memastikan generasi ini terbiasa memiliki manfaat teknologi di berbagai titik kontak - telekomunikasi, musik, perjalanan, ritel, dan buku - dan mereka mengharapkan inovasi, kecepatan, keandalan, dan akses yang sama dari interaksi apa pun dengan penyedia produk dan layanan. C. Hal Penting Dalam Distrupsi Rhenald Kasali dalam Kompas.Com mengungkapkan bahwa terdapat 5 (lima) hal penting dalam disrupsi yaitu :  Disrupsi berakibat terhadap penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel.  Disrupsi membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik daripada sebelumnya.  Disrupsi berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter- eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.  Produk/jasa hasil disrupsi ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam smartphone.  Disrupsi membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat. D. Perubahan Dalam Distrupsi Perkembangan teknologi memang dapat dikatakan menjadi pemicu. Kehadirannya membuat semuanya dapat diakses. Hingga akhirnya baru diketahui bahwa itulah bagian dari disrupsi. Tentu, akan ada pihak yang panik karena semuanya terjadi secara tiba-tiba. Bersifat kejutan (surprise). Namun, meskipun begitu, tetap saja tidak menyadari bahwa disrupsi juga menandakan adanya hal-hal yang berubah. Hal-hal yang tidak sama lagi dengan sebelumnya sehingga membutuhkan cara-cara baru untuk dapat menakkukannya.
  • 3. Sebagian besar orang akan mengatakan, disrupsi tengah terjadi. Perubahannya tidak terasa di awal. Bahkan sudah terlanjur terlambat untuk menyadarinya. Dalam buku Disruption: Menghadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan dalam Peradaban Uber, dituliskan bahwa keadaan yang serba cepat membuat manusia terlena. Kemudahan yang semakin lama dirasakan dalam mengakses suatu sumber daya , tidak disadari sebagai sebuah sinyal lembut. Persaingan pun diyakini menjadi semakin tak kasat mata. Secara tiba-tiba, terjadi penurunan di satu sisi. Entah itu dalam penjualan ataupun pendapatan. 3 hal yang harus dipahami antara lain : 1. Pasar yang Baru Disruption pada akhirnya mencptakan suatu dunia baru: digital marketplace. Dunia baru tersebut menandakan bentuk pasar yang berubah. Dengan kata lain konsumen pun akan berpindah. Pasar tersebut tidak disadari dan tidak terlihat wujudnya. Memunculkan prasangka-prasangka. Sayangnya, banyak yang masih berusaha berkilah daripada berorientasi kepada konsumen tersebut dan menyesuaikan produk serta layanannya. 2. Nasib yang Berbeda Dalam menghadapi pertarungan yang kompetitif, akan selalu ada akhir yang berbeda bagi masing-masing pemain. Perubahan-perubahan yang terjadi menuntut adanya inovasi. Tanpa hal tersebut, yang lebih inovatif akan mengalahkan, bahkan menggantikan yang terdahulu. Sehingga, dalam sejarah disruption akan ada akhir yang berbeda. Maka, inovasi yang berkelanjutan adalah kunci. 3. Bersaing dengan business model Ada yang berubah dalam melakukan pemasaran ketika sudah memasuki era disrupsi. Kini, pertarungannya pun tidak sesederhana hanya sekadar produk. Melainkan mencakup pada model bisnis (business model). Produk bisa saja sama, tetapi apabila model bisnisnya dapat menarik hati konsumen, maka sudah barang tentu nyata siapa yang menjadi pemenang. Misalnya saja keduanya sama-sama berupa swalayan, namun karena model bisnis yang berbeda, maka salah satunya yang akan memenangkannya. E. Cara Menghadapi Era Distrupsi Perusahaan harus dapat segera beradaptasi, dan mengenali bagaimana keadaan sekarang yang penuh dengan perubahan. Tidak lagi sekedar berubah, melainkan langsung bergeser atau menggantikan yang sudah berdiri sebelumnya dalam waktu yang cepat. Pergeseran segmen konsumen yang sebelumnya generasi X kini menjadi generasi milenial memerlukan pengembangan dari berbagai aspek termasuk layanan. Jika kita mengikuti perkembangan selama ini yang terjadi, kita akan menyadari bahwa tanda-tanda perubahan tersebut sudah terbaca sejak beberapa tahun lalu. 7 (tujuh) cara yang dapat dilakukan oleh bisnis dalam menghadapi era disrupsi ini agar bisnis tidak kehilangan pelanggannya atau bahkan mati sebagai berikut : 1. Trend Watching Cara menghadapi era disrupsi yang pertama adalah melakukan Trend watching yaitu kegiatan dalam memantau perubahan trend dalam lingkungan bisnis. Dengan selalu memantau lingkungan, maka bisnis akan selalu mengetahui perubahan-perubahan yang
  • 4. sedang dan akan terjadi sehingga gejala-gejala timbulnya disrupsi akan terdeteksi secara dini. Komponen-komponen yang harus dipantau yaitu trend teknologi, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan alam. Informasi dari trend watching dapat digunakan untuk melakukan adaptasi dan antisipasi, sehingga efek dari disrupsi dapat diminimalisir, atau bahkan dapat menjadi agent of disruption, yaitu pelaku bisnis yang menjadi pionir dalam disrupsi. 2. Research Cara menghadapi era disrupsi selanjutnya adalah melakukan riset. Agar trend watching yang dilakukan hasilnya dapat lebih meyakinkan, maka harus dilakukan dengan pendekatan riset. Karena dengan riset informasi yang didapat dapat dipertanggungjawabkan mengenai kesahihan dan keabsahannya, karena dilakukan secara ilmiah. Oleh karena itu bisnis di era ini harus memiliki fungsi riset, yang biasa dinamakan R&D (research & development). 3. Risk Management Cara menghadapi era disrupsi yang ketiga yaitu selalu melakukan pengelolaan terhadap resiko. Lingkungan yang terdisrupsi pada dasarnya akan menjadi pemicu dari resiko bisnis. Oleh karena itu, bisnis harus selalu dapat mengelola disrupsi sebagai suatu peril dalam resiko, dan bisa dikatakan bahwa disrupsi itu harus dikelola, dan risk management disini dapat difokuskan kepada disruption management mengenai bagaimana disrupsi diidentifikasi, dianalisis dan dievaluasi, sehingga bisnis dapat memiliki ruang dan waktu untuk mengantisipasi gejala disrupsi yang akan terjadi. 4. Inovation Cara menghadapi era disrupsi yang ke-empat adalah melakukan inovasi, yaitu membuat terobosan-terobosan baru atau penyesuaian-penyesuaian pada bisnis yang lama agar lebih sesuai dengan era dimana masa disrupsi terjadi. Inovasi dapat dilakukan jika peristiwa tersebut sudah terlanjur terjadi dan dapat berhasil pada bisnis yang akan melakukan perubahan. Contohnya adalah bisnis yang murni offline, membuat inovasi dengan meluncurkan versi online. 5. Switching Cara menghadapi era disrupsi yang ke-lima adalah switching atau memutar haluan bisnis. Cara ini dapat dilakukan Jika bisnis yang ada tidak dapat lagi dimodifikasi, maka solusinya adalah harus berani memutar haluan atau mematikan produk yang sudah dimiliki. Contohnya Telkom yang selalu berani untuk mematikan atau mengkanibalisasi produknya sendiri seperti telepon kabel yang diganti dengan nir-kabel dll. 6. Partnership Cara menghadapi era disrupsi yang ke-enam yaitu melakukan strategi partnership. Era disrupsi pada masa ini membuat bisnis sulit untuk bertempur sendiri karena persaingan sudah sangat kompleks dan proses bisnis sudah ter-inklusi. Oleh karena itu solusinya adalah dengan melakukan kolaborasi dan aliansi-aliansi strategis mulai dari sisi input sampai output dalam supply chain agar bisnis menjadi lebih efektif dan efisien. 7. Change Management Cara menghadapi era disrupsi yang terakhir adalah dengan melakukan change management. Hal ini dapat dilakukan untuk merubah pola pikir dan kesadaran dari elemen sumber daya manusia dalam organisasi bisnis agar dapat bahu-membahu melakukan perubahan. Karena efek disrupsi itu dapat merubah segala hal tak terkecuali pada budaya organisasi dalam melakukan proses bisnisnya. Oleh karena itu solusinya
  • 5. adalah organisasi harus dapat berubah menyesuaikan budaya organisasi di era disrupsi yang ada. Disruption bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present). Pemahaman seperti ini menjadi penting karena sekarang kita tengah berada dalam sebuah peradaban baru. Kita baru saja melewati gelombang tren yang amat panjang, yang tiba- tiba terputus begitu saja (a trend break). Bahayanya adalah semakin "berpengalaman" dan "merasa pintar" seseorang, dia akan semakin sulit untuk "membaca" fenomena ini. Ia akan amat mungkin mengalami "the past trap" atau "success trap". Apalagi untuk mencerna dan berselancar di atas gelombang disrupsi. Itu akan sulit sekali diterima oleh orang yang pintar dan berpengalaman tadi. Mengapa? Sederhana saja, yakni karena pikiran tersebut amat kental logika masa lalunya. Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubungan-hubungan sosial. Bahkan konsep marketing pun sekarang terdisrupsi. Generasi muda harus siap menghadapi era disrupsi dengan memiliki etos kerja, sikap terbuka, serta mampu menjadi problem solving untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat karena di tangan generasi muda terletak kunci keberhasilan Indonesia. F. Inovasi Distruptif Inovasi disruptif (disruptive innovation) adalah inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut. Inovasi disruptif mengembangkan suatu produk atau layanan dengan cara yang tak diduga pasar, umumnya dengan menciptakan jenis konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar yang lama. Istilah disruptive innovation dicetuskan pertama kali oleh Clayton M. Christensen dan Joseph Bower pada artikel "Disruptive Technologies: Catching the Wave" di jurnal Harvard Business Review (1995). Artikel tersebut sebenarnya ditujukan untuk para eksekutif yang menentukan pendanaan dan pembelian disuatu perusahaan berkaitan dengan pendapatan perusahaan dimasa depan. Kemudian pada bukunya "The Innovator's Dilemma", Christensen memperkenalkan model Disruptive Inovasi (The Disruptive Innovation Model). Salah satu contoh dari Inovasi Disruptif (disruptive innovation) adalah Wikipedia. Wikipedia merupakan salah satu contoh inovasi disruptif yang merusak pasar ensiklopedia tradisional (cetak). Kalau dilihat, saat ini jarang sekali ditemukan ensiklopedia edisi cetak dijual ditoko buku. Semuanya sudah beralih ke Wikipedia. Dari sisi harga ensiklopedia tradisional (cetak) bisa jutaan, sekarang malah informasi bisa didapat secara cuma-cuma lewat Wikipedia. Makanya disebut "disruptif" atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai "mengganggu". Contoh dari Inovasi Distruptif dan pasar terganggu oleh Inovasi (market distrupted by Innovation) antara lain :  Telegrafi, pasar terganggu oleh inovasi Telepon  Ensikopledia cetak, pasar terganggu oleh inovasi Wikipedia  Floppy Disk, pasar terganggu oleh inovasi USB
  • 6.  Kamera Film, pasar terganggu oleh inovasi kamera digital  Cetak offset, pasar terganggu oleh inovasi printer komputer. Dll Journal Review International Journal of Innovation Management Vol.20 No 5 – 1640013 (June 2016) ANALYSING UBER IN SOCIAL MEDIA — DISRUPTIVE TECHNOLOGY OR INSTITUTIONAL DISRUPTION? CHRISTOFER LAURELL In recent years, collaborative consumption platforms have gained momentum in several sectors of the economy. Entrant firms such as AirBnB, Taskrabbit and Uber are growing rapidly and threaten established players by introducing new business models that create lower prices, new performance parameters and new levels of scalability. While there are many examples of collaborative consumption models on the internet, their impact on established industries and physical marketplaces remains understudied. Collaborative consumption firms introduce an offering that clearly posit some disruptive properties in the sense that value is created in novel ways, often by introducing new performance parameters (Bower and Christensen, 1996). It was however argued in a recent publication that Uber does not fulfil the traditional criteria for being regarded as a disruptive innovation (Christensen et al., 2015). At the same time, Uber and many similar firms create institutional turbulence, largely by circumventing existing rules, taxes and regulations. The actions of these firms can thus be thought of as a form of institutional entrepreneurship as they do not compete according to established rules and norms, but rather by altering the institutional set-up governing an industry. As these phenomena are relatively new, it is still unclear how collaborative consumption platforms emerge within an established institutional setting and how they are received by the market. The purpose of this paper is therefore to explore whether Uber, a personal transportation platform, is conceived of as a technological innovation, and/or as an institutional disruption. This is done by analysing how Uber is discussed in social media. Given current discourse about whether Uber is disruptive or not and the ongoing public debates about this case, it is important to investigate in further detail whether Uber is primarily a technological or institutional disruption. Technology supply and demand The emergence of new technology is frequently addressed and studied by looking into the interactions between technology supply and demand. Starting with technology supply, a number of scholars have argued that a new technology is likely to emerge when the performance of the previous solution has reached its limits (Sahal, 1985). This pattern is commonly known as a technology S-curve (Foster,1986). Other streams of research in this area have maintained more sociological perspectives upon the diffusion of innovations (Rogers, 1995). Relaxing assumptions of rational, self- maximising behaviour, this domain of literature has instead argued that diffusion is fundamentally a social process and that new technology gains acceptance if it caters to the
  • 7. customs, norms and values of the market. The diffusion of innovation is therefore thought of as an epidemic pattern, where one individual’s decisions to adopt a novelty influences the decisions of others, resulting in an exponential increase, followed by saturation. Technological change and institutional disruption The emergence of new technology may also have far reaching implications with regard to the institutional setup in a certain industry (Jacobsson and Bergek, 2003;Pihl, 2013; Ernkvist, 2015). Such changes are not fully captured by literature on technology supply and demand. Broadly speaking, institutions can be defined as the “rules of the game” or as “regulative, normative, and cognitive structures and activities that provide stability and meaning to social behavior” (Scott, 1995: 33). Established institutions create stability and reduce transaction costs (Peng et al.,2009) and can be thought of as those factors which govern and mediate the interaction between technology supply and demand. The institutional perspective on technological change is different as institutions are not concerned with supply and demand on a market, but rather with the informal and formal rules that govern the interactions between demand and supplied offerings. Agency directed towards changing institutions is commonly defined as institutional entrepreneurship (Peng and Heath, 1996; DiMaggio, 1998). This form of change is often referred to as divergent as such processes result in an era of ferment in the institutional domain, which at times is triggered by technological change (Garud et al., 2002). These periods of instability are frequently characterised by conflicting interests, struggles for power and attempts to demarcate what constitutes a certain organisational field. Method Methods related to the collection and analysis of user-generated content, as well as social media in general, has over recent years become an increasingly discussed topic and has resulted in the emergence of social media analytics (SMA). By gathering and coding entries about Uber on various social media platforms, we are able to study whether the marketplace perceives Uber as a disruptive technological innovation and/or an institutional innovation. The SMA approach is interdisciplinary and seeks to combine, extend and adapt methods for analysis of social media data (Stieglitz et al., 2014). While the purposes of applying SMA vary across disciplines, innovation management has been suggested to represent one of the settings where this methodological approach is particularly useful. This is because social media have been suggested to be represent “a kind of living lab, which enables academics to collect large amounts of data generated in a real-world environment” (Stieglitz et al., 2014: 90) that also provides a methodical approach that is relatively unobtrusive in its nature. Data Collection For the purpose of data collection for the present study, one of these services was used. As other alternative services, notified has been developed to capture user-generated contents published on a diverse set of social media platforms. When using the tool, the user first enters one or a set of keywords. After the keyword, or the set of keywords has been entered, all publically published usergenerated contents from Twitter, Instagram, Facebook, blogs, forums and You-Tube are collected in a database in real-time. Thus, the tool allows for researchers to collect data from a relatively broad set of social media applications found in the social media landscapes in a structured manner. This also means that the researcher
  • 8. does not need to use problematic data collection methods, such as scraping techniques (Stieglitz et al., 2014). For the purpose of this study, the keyword “Uber” was entered into the service on the 16th of June. Data was thereafter collected up until the 16th of August. This generated a dataset amounting to 6550 social media posts covering a time period of two months. This dataset only contains user-generated contents written in Swedish or user-generated contents written in English posted by Swedish users. The rationale for doing so was twofold. First, filtering the data collection process to a specific language and user origin allowed for a more focused data collection process. Doing so is important as certain keywords tend to have several connotations in different languages and also be either rare or common in the everyday vocabulary of different languages. In the case of Uber, the usage of this word in the Swedish language is strongly limited. Therefore, user-generated contents including the keyword “Uber” were assumed to have a relatively high degree of relevance in relation to the phenomenon in question. Second, Sweden is one of the countries that tend to top the global ranking of digital technology usage as well as high speed Internet access which makes its social media landscape particularly vibrant (Findahl and Davidsson, 2015) and therefore suitable for the purpose of SMA. Result In regards to user-generated contents that focus on Uber and the transformation of the personal transportation sector, this theme represents 26.7% of the total material. Meanwhile, user-generated content concerning Uber and its societal consequences represents 18.0% of the total material. Within these two main themes, that together represent 44.7% of the total material, neutral contents are the most frequently occurring in regards to the transformation of the sector while positive or negative contents dominate in regards to the societal implications. In terms of topical discussions found within these two main themes, one particular issue is predominant across them both. More specifically, this issue relates to whether Uber and Taxi should be regarded as either one and the same or two distinctly different personal transportation service offerings. One example of how this is commonly explicated was published the 17th of August 2015: “For those of you who do not know, Uber is a cheaper alternative to taxi.” Analysis and Disccusion The results presented above show that a considerable amount of social media userstake part in posting user-generated contents revolving around Uber and with relatively varying sentiments. In order to analyse the distribution of published contents for the total period, as well as over time, the following three subsections will address the results in relation to technological disruptions, institutional disruptions and the interplay between these two. Technological disruption As illustrated in regards to the two main themes relating to technological disruption, the contents that focus on Uber or Uber in relation to its competitors has been given significant attention. 21.6% of the user-generated contents (1050 posts) concern the actual offering, i.e., how users perceive Uber or how Uber relates to one or more competitors. Uber’s entry into the taxi market can therefore be analysed and understood as a new technological solution, competing with an established solution. As such, Uber’s offer clearly has some disruptive properties in the sense that it creates value in new ways, for instance by being
  • 9. simpler, cheaper and reducing costs (Christensen and Bower, 1995). Before a solution gains acceptance in the market, it must also reach certain acceptable performance levels (Adner, 2002) and current levels of diffusion suggest that this is also the case. In view of this development, it can also be argued that the traditional taxi industry has reached its performance limits and that Uber’s solution transcends established tradeoffs with regard to e.g., price, service, convenience and reliability (Sahal, 1985). It is, however, noteworthy that a relatively small share of the published posts found in the material actually concern Uber’s offering, its value and how it compares to established solutions. Hence, it clear that Uber has introduced a new offer, but that the actual value of this offer vis-à-vis previous solutions is only perceived to a limited extent. Discussion and future research As collaborative consumption platforms are emerging within several sectors of the economy, individual platforms may potentially differ in terms of the balance between technological and institutional disruption. As this study has been limited to one particular platform, research which spans across platforms would be of particular value as such studies could help to (i) reveal particular evolutionary phases of the interplay between technological and institutional disruptions, and (ii) help to further explain the effects of collaborative consumption platforms on traditional market arrangements. Another direction for future research revolves around the role of users in social media. The presented study has illustrated how users of social media devote themselves to either supporting or rejecting changes that take place within a certain sector. Based on these illustrations, the potential role of social media as a source of institutional pressure for both individual organisations as well as sectors represent an area where more knowledge is needed, particularly regarding business models that are formed in digital contexts and in close proximity to social media participation. In view of these potential avenues for future research, the SMA approach offers methodologically relevant tools. The initial character of social media posed several challenges in regards to the usage of user-generated content, as content tended to be scattered across the social media landscape and being produced by a relatively homogenous user group. As the social media landscape has evolved, however, and now is centred on a number of dominating platforms where a vast plethora of users interact, this development has contributed considerably to the relevance and potentialof utilizing social media data for the purpose of innovation research. Sumber : Wajib Hapzi Ali. 2019. Modul Manajemen Strategic Management : Distruption Era. Universitas Mercu Buana. Jakarta Tambahan Laurell, Christofer. Analysis Uber in Social Media – Distruptive Technology or Intitutional Disruption. 2016. International Journal of Innovation Management. Stockholm Business School Sweden.
  • 10. IMPLEMENTASI ERA DISTRUPSI PADA DUNIA PENDIDIKAN Dunia hari ini sedang menghadapi fenomena disruption (disrupsi), situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru. Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan. Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah. Tidak diragukan lagi, disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi sistem pendidikan. Munculnya inovasi aplikasi teknologi seperti Uber atau Gojek akan menginspirasi lahirnya aplikasi sejenis di bidang pendidikan. Misalnya MOOC, singkatan dari Massive Open Online Course serta AI (Artificial Intelligence). MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka, dapat saling berbagi dan saling terhubung atau berjejaring satu sama lain. Prinsip ini menandai dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi kita untuk memanfaatkan dunia teknologi dengan produktif. Sedangkan AI adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia. Di bidang pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang bersifat individual. Sebab, AI mampu melakukan pencarian informasi yang diinginkan sekaligus menyajikannya dengan cepat, akurat, dan interaktif. Baik MOOC maupun AI akan mengacak-acak metode pendidikan lama. Kegiatan belajar-mengajar akan berubah total. Ruang kelas mengalami evolusi dengan pola pembelajaran digital yang memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kreatif, partisipatif, beragam, dan menyeluruh. Evolusi pembelajaran yang ditawarkan oleh MOOC dan AI akan memunculkan pertanyaan kritis, "Masih relevankah peran guru ke depan?"
  • 11. Chief Executive Officer TheHubEdu, Tiffany Reiss berpendapat, guru memiliki peran penting dalam melakukan kontekstualisasi informasi serta bimbingan terhadap siswa dalam penggunaan praktis diskusi daring. Jack Ma, pendiri Alibaba, perusahaan transaksi daring terbesar di dunia juga mengatakan, fungsi guru pada era digital ini berbeda dibandingkan guru masa lalu. Kini, guru tidak mungkin mampu bersaing dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hapalan, hitungan, hingga pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan, dan efektif dibandingkan kita karena tidak pernah lelah melaksanakan tugasnya. Karena itu, fungsi guru bergeser lebih mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat diajarkan oleh mesin. Jika tidak, wajah masa depan pendidikan kita akan suram. Guru perlu untuk memulai mengubah cara mereka mengajar, meninggalkan cara-cara lamanya serta fleksibel dalam memahami hal-hal baru dengan lebih cepat. Teknologi digital dapat membantu guru belajar lebih cepat dan lebih efektif untuk berubah dan berkembang. Mereka akan lebih cakap mengubah pelajaran yang membosankan dan tidak inovatif menjadi pembelajaran multi-stimulan sehingga menjadi lebih menyenangkan dan menarik. Pertanyaannya adalah apakah guru-guru saat ini telah disiapkan untuk menghadapi perubahan peran ini? Ini bukan hanya persoalan mengganti kelas tatap muka konvensional menjadi pembelajaran daring. Namun yang lebih penting adalah revolusi peran guru sebagai sumber belajar atau pemberi pengetahuan menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan inspirator mengembangkan imajinasi, kreativitas, karakter, serta team work siswa yang dibutuhkan pada masa depan. Hal ini memerlukan inisiatif pemerintah untuk menata ulang arah kebijakan pendidikannya mulai dari paradigma, kurikulum, assessment hingga sistem rekrutmen serta metode pengembangan profesionalitas guru di pendidikan dasar ataupun pendidikan tinggi. Sayangnya, kebijakan saat ini belum mampu menjawab kebutuhan pendidikan pada masa depan. Misalkan kurikulum dan assessment, sistemnya masih berorientasi penguasaan materi
  • 12. akibatnya pengajaran guru lebih berorientasi pada peningkatan nilai akademis siswa. Orientasinya bukan pada aspek karakter atau kompetensi yang dibutuhkan di abad ke-21, seperti berpikir kritis, kreativitas, komunikasi, kolaborasi, hingga pemecahan masalah. Karena itu, perombakan kebijakannya harus komprehensif mulai dari hulu hingga hilir. Sumber : Wajib Hapzi Ali. 2019. Modul Manajemen Strategic Management : Distruption Era. Universitas Mercu Buana. Jakarta Tambahan Elba. 2017. https://republika.co.id/berita/ozw649440/menghadapi-era-disrupsi. Diakses pada 2 Juli 2019 pukul 22.00