Gramsci mengkritik pandangan Marx yang terlalu ekonomis dan menolak gagasan revolusi total. Ia menekankan pentingnya hegemoni kelas buruh dalam masyarakat sipil untuk merebut kekuasaan secara gradiual. Gramsci memandang negara terdiri atas masyarakat politik dan sipil, dimana terjadi proses hegemoni kelompok dominan. Kelas buruh perlu membangun hegemoni di masyarakat sipil untuk mewujudkan negara sosialis melal
1. GRAMSCI : NEGARA DAN MASYARAKAT SIPIL
A. Kritik Terhadap Marx.
Gramsci mengritik ekonomisme Marx yang didasarkan pada materialisme sejarah. Menurut
Gramsci, pembagian struktur kehidupan pada bangunan atas dan bangunan bawah
mengakibatkan kegagalan Partai Sosialis Italia dalam mengobarkan semangat revolusi 1912-
1920. Gambaran struktur Marx itu pula yang menyebabkan gerakan buruh melemah dan
buruh tunduk pada struktur penindasan kapitalis dan fasisme.
Gramsci menolak paham ekonomistis Marx. Bagi Gramsci, perubahan ke arah masyarakat
sosialis bukan semata-mata bercorak ekonomistis, tetapi juga harus memperhatikan aspek
sosial, budaya dan ideologi. Oleh karena itu, hegemoni menjadi tema sentral dalam pemikiran
Gramsci sebagai upaya mewujudkan cita-cita masyarakat sosialis-nya.
Gramsci juga menolak pemikiran Marx mengenai revolusi yang akan mengganti secara total
negara dengan masyarakat tanpa kelas. Bagi Gramsci, perubahan ke arah sosialisme harus
dilakukan dengan memanfaatkan jalur-jalur yang tersedia. Bertolak dari kondisi yang sudah
ada itu, buruh membuat jaringan dan aliansi-aliansi baru dengan kelompok-kelompok sosial
yang ada melalui hegemoni.
B. Pemikiran Gramsci : Masyarakat Sipil
Gramsci memasukkan masyarakat sipil dalam bangunan atas (super structure) Marx bersama
dengan negara. Dalam masyarakat sipil, terjadi proses hegemoni oleh kelompok-kelompok
dominan sedangkan negara melakukan dominasi langsung kepada masyarakat sipil melalui
hukum dan masyarakat politik. Gramsci sendiri mengakui bahwa senyatanya masyarakat sipil
telah terhegomi. Pengakuannya itu diungkapkan dengan mengatakan bahwa masyarakat sipil
adalah etika atau moral.
Gramsci membedakan masyarakat sipil dengan masyarakat politik. Masyarakat politik adalah
aparat negara yang melaksanakan fungsi monopoli negara dengan koersi, yang di dalamnya
meliputi tentara, polisi, lembaga hukum, penjara, semua departemen administrasi yang
mengurusi pajak, keuangan, perdagangan dan sebagainya. Masyarakat sipil adalah wilayah
dimana relasi antara kelompok tidak dilakukan dengan koersi. Maka Gramsci mengatakan
2. bahwa masyarakat sipil mencakup organisasi-organisasi privat seperti gereja, serikat dagang,
sekolah, dan termasuk juga keluarga. Gramsci juga mengatakan bahwa organisasi-organisasi
dalam masyarakat sipil mempunyai tujuan yang berbeda-beda seperti politik, ekonomi, olah
raga, seni dan sebagainya namun mereka memiliki asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang
diterima oleh masyarakat meskipun sering tidak kentara.
Masyarakat sipil merupakan salah satu bagian dari masyarakat kapitalis. Gramsci
mengatakan masyarakat kapitalis terdiri dari tiga jenis hubungan yaitu hubungan dasar antara
pekerja dan pemodal, hubungan koersif yang menjadi watak negara, dan hubungan sosial
lainnya yang membentuk masyarakat sipil. Maka bagi Gramsci, masyarakat sipil bukan
negara karena negara bersifat koersif dan bukan produksi karena dalam produksi terjadi
tindakan koersif pemilik modal kepada buruh. Ronnie D. Lipschutz merumuskannya dengan
mengatakan “Gramsci placed civil society between state and market and outside of the
private sphere of family and friendship.”
Masyarakat sipil merupakan medan perjuangan politik. Oleh karena itu, dalam rangka
pembentukan negara sosialis, Gramsci mengatakan perlunya kelompok buruh membangun
hegemoni atas kelompok-kelompok lain dalam masyarakat sipil dengan sebuah ideologi baru
yang mampu mewadahi kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok lain dalam
masyarakat sipil dan sekaligus mampu mewadahi kepentingan kelompok buruh. Dalam hal
ini, kelompok buruh harus mampu mentransformasi ideologi-ideologi yang ada dengan tetap
mempertahankan unsur-unsur penting dari masing-masing ideologi itu dan menyusunnya
menjadi sebuah ideologi baru yang mencakup semua termasuk kepentingan kelompok buruh
sendiri.
Karena masyarakat sipil telah terhegemoni, maka kelompok buruh perlu melakukan kontra
hegemoni. Dalam hal ini, kelompok buruh membangun hegemoni dengan melakukan “perang
posisi” melawan hegemoni negara yang telah menjadi blok historis. Pada saatnya nanti ketika
negara sosialis telah terbentuk, kelompok buruh harus tetap membangun hegemoni agar
menjadi blok historis.
Ketika kelompok buruh memperoleh kekuasaan negara, masyarakat sipil harus sudah maju.
Kemajuan masyarakat sipil diukur dari kemampuan membangun hubungan secara otonom,
kemampuan mengatur dirinya sendiri (self-governing) dan adanya disiplin diri masyarakat.
Tanpa disertai dengan kemajuan masyarakat sipil, maka kelompok buruh akan tetap memiliki
ketergantungan yang kuat terhadap negara atau tetap berada dalam periode statolatry. Oleh
karena itu, periode statolatry harus terus menerus dikritik agar masyarakat sipil menjadi maju
dimana terjadi perkembangan inisiatif individu dan kelompok.
3. C. Pemikiran Gramsci : Negara.
Bagi Gramsci, negara adalah masyarakat politik dan masyarakat sipil. Negara memiliki alat-alat
koersif yaitu lembaga-lembaga yang disebutnya sebagai masyarakat politik. Tetapi
negara tidak semata-mata melakukan koersif saja tetapi negara juga melakukan apa yang ia
sebut sebagai ‘peran edukatif dan formatif negara’ yaitu melakukan hegemoni. Masyarakat
sipil merupakan masyarakat yang telah terhegemoni oleh negara sehingga memampukan
negara menjadi blok historis berkat dukungan dari masyarakat sipil. Itulah sebabnya, ia
mengatakan bahwa negara merupakan masyarakat politik dan masyarakat sipil.
Pemikirannya mengenai negara sebagai masyarakat politik dan masyarakan sipil melahirkan
gagasan mengenai negara integral. Pemahaman mengenai negara integral tidak bisa
dilepaskan dari gagasannya mengenai sifat kekuasaan. Kekuasaan dipahami oleh Gramsci
sebagai hubungan sosial. Hubungan sosial negara terjadi terhadap masyarakat politik dan
juga terhadap masyarakat sipil. Jadi, di dalam masyarakat sipil disamping terdapat hubungan
sosial di antara kelompok-kelompoknya sendiri juga terdapat hubungan sosial dengan negara.
Gramsci memikirkan negara yang dicita-citakannya dalam gambaran Dewan Pabrik. Dewan
pabrik ini merupakan hasil cetusan gagasannya mengenai perlunya transformasi komisi
internal yang ia lontarkan saat ia duduk dalam kepengurusan komisi internal di Turin. Inti
gagasannya mengenai transformasi itu adalah agar komisi internal sebagai organ kekuasaan
proletarian menggantikan kelompok pemodal dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen
dan administrasi sehingga komisi internal bisa menjadi sekolah politik dan administrasi bagi
kaum pekerja. Gagasan itu diterima dengan cepat sehingga komisi internal berkembang
menjadi dewan pabrik. Dalam dewan pabrik ini, pekerja dapat melakukan kontrol atas proses
produksi, mengambil alih fungsi manajemen dan administrasi. Dengan demikian, bagi
Gramsci, dewan pabrik membangun kesadaran politik akan negara demokrasi langsung yang
dibangun atas partisipasi rakyatnya. Dengan menggambarkan dewan pabrik sebagai embrio
negara, Gramsci mencita-citakan sebuah negara demokrasi langsung dimana kendali atas
proses produksi berada di tangan kelompok buruh.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa pemikiran mengenai negara dan masyarakat sipil
mengalami pasang surut dalam perjalanan sejarah. Dalam pemikiran Hegel, masyarakat sipil
adalah masyarakat yang hidupnya tidak dicampuri urusannya oleh negara. Hegel belum
4. memaksudkan masyarakat sipil seperti yang dikemukakan oleh Larry Diamond. Hegel masih
mengartikan sebagai sebuah masyarakat biasa, komunitas yang terdiri dari individu-individu,
yang kehidupannya tidak dicampuri oleh negara. Dalam kaitan ini, negara dipandang Hegel
sebagai pengatur dan pemersatu dari masyarakat sipil melalui hukum, lembaga-lembaga
peradilan dan lembaga kepolisian. Pemikiran Hegel ini diinterpretasikan oleh Marx dalam
kerangka perjuangan kaum buruh. Masyarakat sipil dipandang sebagai kelompok yang
teralieanasi sehingga masyarakat membutuhkan negara. Masyarakat sipil adalah masyarakat
dimana terjadi penghisapan buruh oleh majikan. Negara juga dipandang sebagai alat di
tangan kaum borjuis untuk mempertahankan kedudukannya. Maka Marx mencita-citakan
sebuah masyarakat tanpa kelas sehingga individu-individu mendapatkan kebebasan dan
bekerja seturut kodratnya sebagai manusia. Dalam kondisi seperti ini, negara mati dengan
sendirinya. Perwujudan utopi itu dilakukan melalui revolusi yang akan menghapus
kepemilikan alat produksi dari kaum borjuis. Gramsci menentang teori ekonomistis Marx ini
dan mengatakan bahwa perubahan masyarakat sosialis harus bertolak dari kondisi yang ada.
Perubahan harus dilakukan oleh kelompok buruh melalui hegemoni dalam masyarakat sipil.
Masyarakat sipil dalam pemikiran Gramsci sudah mulai dipikirkan adanya organisasi-organisasi
atau kelompok-kelompok yang otonom. Meskipun organisasi-organisasi itu saling
membangun hegemoni sendiri, negara juga tidak ketinggalan membangun hegemoni di antara
kelompok-kelompok itu. Negara disamping memiliki kekuatan untuk membangun hegemoni
masyarakat sipil, juga memiliki masyarakat politik sebagai alat koersif negara.
Sumbangan pemikiran yang penting bagi perkembangan demokrasi dari ketiga pemikiran itu
adalah bahwa kehidupan masyarakat sipil harus menjadi wilayah kebebasan (Hegel) sehingga
akan menjadi medan kehidupan yang manusiawi (Marx). Dengan kebebasan itu, organisasi-organisasi
kemasyarakatan akan tumbuh memperkuat demokrasi (Gramsci). Mereka mampu
bersikap kritis terhadap negara (Gramsci) sehingga memungkinkan terciptanya kehidupan
yang lebih baik dengan dilandasi pada rationalitas dan kebebasan manusia (Hegel). Negara
dalam hal ini harus terus menerus menyandarkan diri dalam rasionalitasnya (Hegel) agar
tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan berupa penyalahgunaan lembaga-lembaga koersifnya
(Hegel, Marx, Gramsci) maupun penyalahgunaan kemampuan hegemoniknya melalui
struktur hukum, ideologi atau pendidikan (Hegel, Marx, Gramsci).
Demikianlah pemaparan atas pemikiran Hegel, Marx dan Gramsci. Semoga bermanfaat bagi
wacana kita dalam memperkembangkan demokrasi di Indonesia.
Daftar Pustaka
Anafansyev, V. Marxist Philosophy A Popular Outline. trans. by Leo Lempert. Rev.Ed.
Moscow : Progress Publishers, 1965
Calabrese, Andrew. “The Promise of Civil Society : A Global Movement for Communication
Rights.” Continuum : Journal of Media and Cultures Studies 3 (September 2005), 317-329.
5. Hegel’s Philosophy of Right. Transl. T.M. Knox. Reprint. London : Oxford University Press,
1981.
Iskandar, Deddy. “Mengenal dan Mengritik Gramsci.” Pemikiran-pemikiran Revolusioner.
Ed. Saiful Arif. Malang : Averroes Press, 2001
Lipschutz, Ronnie D. “Power, Politics and Global Civil Society.” Millenium: Journal of
International Studies 33 (3:2005)
McLellan, David. “Marx, Engels and Lenin on Party and State.” The Withering Away of
State?Party State under Communism, ed. Leslie Holmes. London : SAGE Publications Ltd,
1981.
McClelland, J.S. History of Western Political Thought. London : Routledge, 1996.
Muukkonen, Martti. “Civil Society.” Makalah dalam Annual Meeting of Finish Sociologist,
Turku, 24 – 25 Maret 2000.
Nina, Daniel. “Beyond The Frontier : Civil Society Revisited.” Transformation 17 (1992),
61-73.
Suseno, Franz Magnis. Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.
Jakarta:Gramedia, 1991
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme. Jakarta : Gramedia, 1999.
Shils, Edward. “The Virtue of Civility,” Selected Essay on Liberalism, Tradition and Civil
Society. Ed. Steven Grosby. Indiana Polis : Liberty Fund, 1997.
6. Simon, Roger. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. terj. Kamdani et al. Yogyakarta : Insist,
2000.
Stumpf, Samuel Enoch. Philosophy History and Problems. Fifth edition. New York :
McGraw Hill Inc, 1994.
Martti Muukkonen, “Civil Society” (Makalah dalam Annual Meeting of Finish Sociologist,
Turku, 24-25 Maret 2000).
Samuel Enoch Stumpt, Philosophy History and Problems (New York :1994), hal. 337.
Ibid
J.S. McClelland, A History of Western Political Thought (Fifth Ed.: London, 1996), hal. 531.
Bdk. Hegel’s Philosophy of Right, transl. T.M. Knox (Reprint: London, 1981) No.255 dan
No. 238
Ibid. No.189 – 195. Lihat juga Andrew Calabrese, “The Promise of Civil Society: A Global
Movement for Comunication Rights,” Continuum : Journal of Media dan Cultural Studies, 3
(September 2004), hal. 319.
Ibid. No.243.
Ibid. No. 202.
Ibid. No. 203.
Ibid. No.204.
Ibid. No.205.
Samuel Enoch Stumpf, Op.Cit., hal.338.
Hegel’s Philosophy of Right No. 245
Lih. Ibid. No.246-248
Lih. Samuel Enoch Stumpf, Op.Cit, hal. 338. Lihat juga Franz Magnis-Suseno, Etika Politik
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta:1991), hal. 247-250
Lih. Hegel’s Philosophy of Right No. 272
Lih. Ibid No.302
Lih. J.S. McClelland, Op.Cit, hal. 532-533