Tinjauan dokumen ini membahas tata laksana anestesia dan reanimasi pada operasi torakotomi. Dokumen ini menjelaskan masalah-masalah yang dapat timbul terkait sistem kardiovaskular, respirasi, dan neurologis selama operasi, serta pendekatan evaluasi, persiapan, dan penatalaksanaan yang tepat.
1. TATA LAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI PADA
OPERASI TORAKOTOMI
Disusun oleh:
Ni Putu Eka Tania Savitri
dr. I Gede Budiarta, Sp.An. KMN
BAGIAN/SMFANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2017
2. i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................... i
I. Batasan............................................................................................................. 1
II. Masalah ........................................................................................................... 2
2.1 Masalah Kardiovaskular.................................................................... 3
2.2 Masalah Respirasi.............................................................................. 5
2.3 Masalah Neurologis........................................................................... 6
III. Penatalaksanaan .............................................................................................. 8
3.1 Evaluasi............................................................................................. 8
3.2 Persiapan Praoperatif ....................................................................... 13
3.3 Premedikasi....................................................................................... 15
3.4 Pilihan Anestesi ................................................................................ 16
3.5 Pemantauan Selama Anestesi ........................................................... 21
3.6 Terapi Cairan .................................................................................... 25
3.7 Pemulihan Anestesia......................................................................... 26
3.8 Pasca Anestesia................................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31
3. 1
I. BATASAN
Kemajuan dalam manajemen penyakit toraks sejalan dengan kemajuan
operasi toraks dan anestesia toraks. Pada awal abad ke-20, operasi toraks terbatas
pada reseksi tulang rusuk, dekortikasi, dan drainase empyema untuk manajemen
Tuberculosis. Saat ini operasi toraks dan anestesia toraks terus berkembang.
Seiring dengan kemajuan itu, frekuensi bedah paru juga mengalami peningkatan.
Saat ini dilaporkan terdapat 120.000 – 130.000 kasus operasi paru per tahun, dan
diperkirakan akan semakin meningkat pada dekade berikutnya. Perkembangan
operasi dengan endoskopi telah merevolusi operasi toraks dengan menyediakan
akses yang relatif non-invasif untuk operasi rongga dada. Meskipun operasi
dengan endoskopi belum dapat menggantikan operasi terbuka torakotomi untuk
pembedahan mayor seperti reseksi paru, penggunaannya lebih luas untuk operasi
nonpulmoner, seperti thymectomy, pericardectomy, dan simpatektomi.1
Anestesia pada torakotomi mencakup berbagai tindakan anestesia yang
dilakukan pada operasi yang melibatkan paru-paru, saluran udara, dan struktur
intratoraks lainnya. Torakotomi mencakup berbagai prosedur diagnostik dan
terapi yang menggunakan pendekatan sternotomi atau insisi interkosta. Pada awal
abad terakhir, torakotomi terutama dilakukan untuk mengobati adanya indikasi
infeksi seperti abses paru, bronkiektasis, dan empyema. Meskipun kasus ini masih
ada untuk operasi di era post-antibiotik, saat ini indikasi yang paling umum adalah
terkait dengan keganasan seperti keganasan pada paru, esofagus, dan
mediastinum. Selain itu, dua dekade terakhir telah digunakan terapi bedah untuk
penyakit paru-paru stadium akhir dengan prosedur seperti transplantasi paru-paru
dan pengurangan volume paru-paru. 2
4. 2
Pasien yang menjalani operasi torakotomi seringkali memiliki penyakit
dasar pernafasan, dan permasalahan utama yang terjadi pada torakotomi adalah
terganggunya fungsi paru.3
Oleh karena permasalahan tersebut, maka pada
periode prabedah harus dilakukan serangkaian tindakan perawatan sistem respirasi
yang meliputi : penghentian kebiasaan merokok, dilatasi jalan nafas, pengeluaran
sekret, memberikan edukasi pada pasien dan persiapan fasilitas pasca bedah.
Serangkaian tindakan prabedah ini dimaksudkan untuk mengurangi komplikasi
paru pasca bedah.4
Selama periode pembedahan torakotomi, seorang ahli anestesi akan
mengahadapi berbagai masalah mulai dari masalah yang timbul akibat posisi
lateral decubitus maupun masalah-masalah yang mengganggu fungsi sistem
kardiovaskular, respirasi, dan neurologis. Oleh karena itu, pada periode
pembedahan diperlukan pemilihan obat dan teknik anestesi yang paling tepat
untuk pasien, monitoring secara intensif, dan pemahaman tentang perubahan
fisiologi yang terjadi.1
Pada periode pasca bedah juga harus diperhatikan adanya risiko-risiko
komplikasi serta tatalaksana untuk mengatasi nyeri pasca operasi.
II. MASALAH
Permasalahan anestesi yang timbul pada operasi torakotomi dapat
diklasifikasikan menjadi masalah kardiovaskular, masalah respirasi, dan masalah
neurologis. Kondisi-kondisi misalnya seperti pneumotoraks, edema paru, herniasi
jantung, aritmia, dan perdarahan mayor, yang mana memerlukan intervensi
segera.1
5. 3
2.1 Masalah Kardiovaskular
1. Herniasi jantung
Herniasi jantung termasuk masalah yang jarang terjadi namun cepat
berakibat fatal jika tidak segera terdiagnosis dan ditangani. Masalah ini
lebih sering terjadi setelah pneumonectomy tepat di mana pericardium
dibuka untuk mendapatkan akses yang lebih baik untuk pembuluh darah
paru. Masalah ini juga dikaitkan dengan perubahan posisi pasien (dari
posisi lateral decubitus menjadi posisi supine).1
Gambaran klinis herniasi jantung yakni kolaps kardiovaskular akut,
terdapat bukti obstruksi vena cava superior (distensi pembuluh darah
leher, kemerahan pada wajah, dan edema), perubahan axis pada EKG,
gambaran siluet jantung yang menggembung, dan posisi kateter arteri
pulmonalis yang tidak wajar pada gambaran rontgen toraks. Pasien-pasien
ini memerlukan operasi segera, tetapi dapat distabilkan dengan
menempatkan pasien dalam posisi lateral dengan paru-paru yang dioperasi
berada pada posisi nondependen. Induksi harus dilakukan dengan hati-hati
dengan menggunakan ketamin atau etomidate dan relaksasi otot. Untuk
mengurangi pergeseran mediastinum, ventilasi paru harus diberikan
dengan volume tidal yang kecil.1
2. Disaritmia jantung
Disaritmia supraventrikular, sinus takikardi, dan atrium fibrilasi atau
flutter, sering terjadi setelah operasi toraks dan berhubungan dengan
peningkatan morbiditas pasca operasi. Faktor risiko yang signifikan
diantaranya jenis kelamin laki-laki, usia lanjut, dan riwayat gagal jantung
6. 4
kongestif atau aritmia. Penyebab potensial lainnya termasuk retraksi dan
trauma pada jantung (diseksi intraperikardial), peningkatan tonus simpatik
terkait tidak adekuatnya analgesia pasca operasi, dan ketidakseimbangan
respirasi dan metabolik (hipoksia, hiperkapnia, asidosis respiratorik, dan
ketidakseimbangan elektrolit).1
Strategi manajemen yang tepat untuk disaritmia adalah dengan
menstabilkan kondisi hemodinamik dan mengelola masalah yang
mendasari. Pasien normotensi yang mengalami atrial fibrilasi dapat
dikonversi menjadi irama sinus dengan pemberian β-blocker,
procainamide, atau amiodaron.1
3. Perdarahan mayor
Perdarahan pasca operasi yang memerlukan intervensi bedah jarang
terjadi. Temuan pasca operasi biasanya pasien dengan hipovolemia
(takikardia, hipotensi, dan tidak adanya distensi vena jugularis).
Kebanyakan perdarahan mayor terjadi akibat adanya lepasnya ligasi
disekitar pembuluh darah utama. Titik lain yang berpotensi terjadi
perdarahan adalah arteri bronkial dan interkostal. Meskipun drainase chest
tube merupakan indikator dari tingkat perdarahan, tidak adanya darah pada
drainase chest tube tidak mengesampingkan terjadinya perdarahan besar.
Mungkin terjadi malposisi chest tube atau tersumbat oleh bekuan darah
sehingga menyembunyikan hemotoraks yang terjadi. Jika terdapat
kecurigaan, reposisi pasien dan lakukan rontgen toraks untuk
mengkonfirmasi adanya efusi pleura yang serius dengan darah.1
7. 5
2.2 Masalah Respirasi
1. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah komplikasi yang umum terjadi intraoperatif dan
pasca operasi. Adanya pneumotoraks yang luas merupakan keadaan gawat
darurat. Tanda dan gejala klinis mencakup distres pernafasan, suara nafas
menurun pada satu sisi, meningkatnya tekanan jalan nafas dengan
compliance dada yang menurun, dan penurunan saturasi oksigen arteri.
Pneumotoraks dapat berkembang menjadi tension pneumotoraks yang
ditandai dengan hipotensi, deviasi trakea, dan kolaps kardiovaskuler.
Penanganannya dilakukan dengan menempatkan chest tube untuk
mengevakuasi udara intrapleural. Dalam kondisi gawat darurat,
dekompresi dapat dilakukan dengan penempatan kateter intravena 14G ke
dalam ruang interkostal pada garis aksila anterior setinggi ICS 2.1
2. Edema paru
Edema paru terjadi akibat gangguan keseimbangan dari gaya Starling yang
menghasilkan perpindahan cairan ke ruang interstitial. Pneumonectomy
atau reekspansi paru yang mengalami atelektasis terkait dengan edema
paru pasca operasi. Etiologi dari masalah ini yang paling mungkin adalah
multifaktorial dan melibatkan perubahan tekanan hidrostatik, tekanan
onkotik, curah jantung, dan permeabilitas pembuluh darah. Terapi
umumnya bersifat suportif. Ventilasi mekanik dengan PEEP, diuresis, dan
perbaikan hemodinamik mungkin dapat membantu. Memposisikan pasien
dengan benar juga mungkin membantu pada edema paru yang unilateral.
Posisi lateral decubitus dengan sisi yang mengalami edema berada diatas
8. 6
akan mengurangi perpindahan intrapulmoner dan meningkatkan
oksigenasi.1
2.3 Masalah Neurologis
1. Cedera nervus phrenicus
Nervus phrenicus berasal dari C3, C4, dan C5, melewati dada anterior
menuju hilium paru-paru dalam pericardium. Nervus ini rentan mengalami
cedera pada operasi sternotomi median atau torakotomi. Tes diagnosis
yang dilakukan mencakup pemeriksaan radiologi toraks dan fluoroscopic
dari gerakan diafragma. Kebanyakan pasien dengan fungsi paru yang
normal dapat mentolerir cedera nervus phrenicus unilateral.1
2. Cedera tulang belakang
Cedera tulang belakang merupakan masalah yang jarang terjadi pada
torakotomi. Mekanisme cedera mencakup kompresi saraf dan iskemia
pembuluh darah. Epidural hematoma dan kompresi saraf dapat terjadi
akibat penempatan kateter epidural atau dari perdarahan bedah yang
masuk ke dalam ruang epidural.1
3. Cedera pleksus brakialis
Plexus brakialis rentan mengalami cedera yang disebabkan oleh trauma
bedah dan secara tidak langsung akibat posisi pasien saat pembedahan.
Cedera pleksus dapat terjadi akibat abduksi ekstrim, rotasi eksternal, dan
dorsal ekstensi lengan.1
Selain menimbulkan masalah pada sistem kardiovaskular, respirasi, dan
neurologis, juga harus diperhatikan mengenai posisi pasien selama operasi. Posisi
lateral decubitus merupakan posisi yang paling umum digunakan dalam operasi
9. 7
toraks. Posisi ini memungkinkan akses penuh pada hemitoraks dan
memungkinkan perluasan insisi baik ke anterior maupun posterior. Posisi ini
memberikan akses ke rongga pleura, hilus, pericardium lateral, dan aorta toraks
descending. Posisi lateral decubitus digunakan pada pasien yang menjalani
operasi paru dan operasi pada esofagus, aorta toraks, vertebra torakalis, dan
prosedur jantung tertentu. Posisi ini dapat mempengaruhi fisiologi paru, jantung,
dan neurologis. Orientasi dari satu paru pada posisi yang dependen meningkatkan
risiko kontaminasi paru-paru dependen oleh darah atau bahan purulen. Paru-paru
yang dependen akan mengalami penurunan kapasitas residual fungsional (FRC)
dan meningkatnya penutupan jalan napas dan atelektasis. Meningkatkan aliran
darah paru dan berkurangnya ventilasi ke paru-paru dependen akan
mengakibatkan abnormalitas ventilasi dan perfusi ketika kedua paru sedang
diventilasi. Sedangkan peningkatan aliran darah ke paru-paru dependen akan
menguntungkan pada ventilasi satu paru.1
Posisi lateral decubitus dikaitkan dengan bahaya yang serius. Untuk
menghindari komplikasi yang serius, perhatian khusus harus diberikan pada
orientasi vertebra servikal dan posisi ekstremitas.1
10. 8
Gambar 1. Posisi lateral decubitus1
III PENATALAKSANAAN
3.1 Evaluasi
Evaluasi pasien sebelum menjalani operasi torakotomi mirip dengan
pasien yang menjalani anestesi umum. Seorang anesthesiologist harus melakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, serta harus familiar dengan berbagai
pemeriksaan laboratorium, elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan radiologis
toraks. Selain itu juga harus dievaluasi bagaimana fungsi paru dan prediksi fungsi
paru pasca operasi. Dengan melakukan evaluasi sebelum tindakan anestesi akan
membantu merencanakan tindakan anestesi yang rasional dan tatalaksana
perioperatif.1
Pada evaluasi prabedah torakotomi kegiatan utama adalah melakukan
evaluasi untuk mendeteksi pasien yang memiliki risiko tinggi dan melakukan
persiapan serta tindakan-tindakan perawatan untuk optimalisasi fungsi pernafasan
sehingga dapat mengurangi komplikasi pulmoner pasca bedah.2
3.1.1. Penilaian status prabedah
Sebelum melakukan penilaian status prabedah, pastikan identitas pasien
sudah lengkap dan cocokkan kembali dengan gelang identitas yang dikenakan
11. 9
pasien. Pasien ditanya kembali mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan
dioperasi. Status pasien prabedah dapat dinilai melalui anamnesis dengan pasien
sendiri atau dengan orang lain (keluarga atau pengantarnya). Anamnesis yang
dilakukan meliputi :
a. Identitas pasien atau biodata
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin
menimbulkan gangguan fungsi sistem organ.
c. Anamnesis umum meliputi :
1. Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita yang bisa mempengaruhi
prosedur anestesia yang diberikan.
2. Riwayat pemakaian obat yang telah atau sedang digunakan yang mungkin
berinteraksi dengan obat anestesia.
3. Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya : apakah pasien mengalami
komplikasi anestesia.
Riwayat operasi atau anestesia terdahulu sangatlah penting untuk
mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus,
misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca
bedah, sehingga anestesia berikutnya dapat dirancang dengan lebih baik.
4. Kebiasaan buruk, antara lain ; perokok, peminum minuman keras (alkohol),
pemakai obat-obatan terlarang (sedatif dan narkotik).
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk
eliminasi nikotin yang mempengaruhi sistem kardiorespirasi, dihentikan
beberapa hari untuk mengaktifkan kerja silia jalan pernafasan dan
12. 10
dihentikan 1-2 minggu untuk mengurang produksi sputum. Kebiasaan
minum alkohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
5. Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain.5
3.1.2 Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang yang
lain sesuai dengan indikasi
a. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan/pengukuran status presen yang meliputi kesadaran, frekuensi
nafas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat badan dan tinggi badan untuk
menilai status gizi.
2. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan keadaan gigi-geligi,
kemampuan buka mulut pasien, kondisi-kondisi yang dapat menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi seperti lidah besar, leher pendek dan kaku.
Selain itu juga dilakukan pemeriksaan fisik rutin secara sistematik untuk
mengetahui keadaan umum pasien dengan melakukan inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi pada semua sistem organ tubuh pasien. Sistem
organ tubuh yang diperiksa meliputi sistem saraf, respirasi, hemodinamik,
gastrointestinal, hepatobilier, urogenital, metabolik dan endokrin,
muskuloskeletal, dan integumen.5
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan perhatian khusus pada sistem respirasi.
Pengamatan laju pernapasan dan pola dapat memberikan gambaran kondisi
paru-paru pasien. Gejala umum penyakit paru adalah produksi dahak yang
berlebihan dan sesak nafas. Batuk menandakan terdapat iritasi bronkus dan
sekresi jalan nafas. Dahak yang kental berwarna kuning atau hijau terutama
berbau menyokong adanya infeksi.5
13. 11
Dari auskultasi dievaluasi apakah terdapat wheezing, rhales, ronkhi, dan
suara nafas abnormal lainnya. Adanya hal ini memberi kesan diperlukannya
tindakan medis yang lebih lanjut. Kuku clubbing dapat menggambarkan
kondisi hipoksia kronis atau kanker paru-paru. Deviasi dari trakea mungkin
menunjukkan massa mediastinum, hemotoraks, pneumotoraks, atau
fibrotoraks. Seorang ahli anestesi juga harus menilai kemampuan pasien
dalam mentolerir posisi terlentang, karena intoleransi untuk posisi ini dapat
mengindikasikan bahwa pasien memiliki penyakit gagal jantung kongestif
atau obstuksi jalan napas akibat massa mediastinum.1
b. Pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan yang lainnya
1. Pemeriksaan rutin
Pemeriksaan rutin yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah dengan
menilai Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa perdarahan
dan masa pembekuan. Pada pemeriksaan darah mungkin didapatkan polisitemia
sekunder yang menandakan oksigenasi yang tidak adekuat (saturasi hemoglobin
yang rendah), atau leukositosis yang menandakan infeksi paru aktif. Urin juga
diperiksa yang meliputi pemeriksaan fisik, kimiawi, dan sedimen urin.6,7,8
2. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan khusus dilakukan untuk pasien yang menderita penyakit
sistemik tertentu dengan indikasi tegas. Hal-hal yang diperiksa diantaranya
pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi fungsi hati, fungsi ginjal, analisis gas
darah, elektrolit, hematologi dan faal hemostasis lengkap, sesuai dengan indikasi.
Dilakukan juga pemeriksaan radiologi foto toraks antero-posterior dan lateral
yang sangat besar implikasinya bagi ahli anestesiologi. Misalnya adanya deviasi
14. 12
trakea atau obstruksi trakea (kesulitan intubasi atau ventilasi), massa mediastinum
(kesulitan ventilasi, sindrom vena cava superior, kompresi arteri pulmonaris),
efusi pleura (kurangnya kapasitas vital dan kapasitas fungsional residu),
perbesaran jantung (peka terhadap obat-obat anestesi yang menekan jantung),
kista bulosa (bahaya ruptur), batas cairan udara (abses dengan bahaya penyebaran
infeksi), retikulasi parenkim, atelektasis atau edema (ventilasi dan perfusi yang
tidak merata).2
c. Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif maka dapat disimpulkan status
fisik pasien pra anestesia. American Society of Anesthesiologist (ASA) membuat
klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 5 (lima) kelas, yaitu :
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan
sampai sedang.
ASA 3 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa
secara langsung.
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
secara langsung mengancam kehidupannya.
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat
yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam
24 jam pasien akan meninggal.
Apabila pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan tanda E
(emergency) di belakang angka.5
15. 13
3.1.3 Evaluasi khusus terhadap fungsi paru
Uji fungsi paru sangat bermanfaat sebagai dasar dan untuk mengetahui
besarnya fungsi cadangan paru oleh karena kebanyakan pasien yang akan
menjalani torakotomi memiliki penyakit paru dan oleh karena pada torakotomi
dipastikan akan terjadi gangguan fungsi paru. Informasi yang didapat dari uji
fungsi paru bermanfaat untuk membuat prediksi kemampuan pasien untuk
mempertahankan ventilasi spontan yang adekuat, melakukan nafas dalam dan
batuk pada periode pasca operasi. Uji fungsi paru dapat dilakukan dalam dua
bentuk yaitu uji fungsi paru keseluruhan dan uji fungsi paru regional.5
Uji fungsi
paru yang secara rutin dilakukan adalah pengukuran kapasitas vital paksa (FVC)
dan volume ekspirasi paksa (FEV). Ini adalah pemeriksaan yang sederhana dan
dapat dilakukan menggunakan spirometer disamping tempat tidur pasien. Hasil
pengukuran FVC dapat dibandingkan dengan nilai normal yang dapat dihitung
berdasarkan jenis kelamin, berat badan dan umur, dan ditampilkan sebagai
persentase dari kapasitas vital yang diperkirakan (%FVC). %FVC >85% adalah
normal, 70-80% batas normal, 60-70% menunjukkan adanya penyakit paru, dan
<60% menunjukkan adanya penurunan fungsi paru yang nyata.7
3.2 Persiapan Praoperatif
Persiapan praoperatif pasien bedah toraks harus difokuskan pada kondisi-
kondisi yang dapat ditangani. Penelitian oleh Stein dkk menunjukkan bahwa
komplikasi pasca operasi terjadi pada 4 dari 17 pasien yang dipersiapkan dengan
baik dibandingkan dengan 13 dari 17 pasien yang persiapan praoperatifnya kurang
baik. Tindakan profilaksis seperti terapi bronkodilator, hidrasi, dan terapi fisik
16. 14
dada, menurunkan insiden komplikasi pasca operasi dan harus mulai sebelum
operasi dan dilanjutkan setelah operasi. Penghentian merokok setidaknya
dilakukan 4 sampai 8 minggu sebelum operasi dimana hal ini terkait dengan
penurunan insiden komplikasi pernafasan pasca operasi. Meskipun penghentian
merokok selama 12 sampai 24 jam sebelum operasi tidak menurunkan insiden
komplikasi pernafasan pasca operasi, namun hal ini masih mungkin memiliki efek
menurunkan konsentrasi karboksihemoglobin. Keuntungan lainnya dengan
menghentikan kebiasaan merokok selama beberapa minggu sebelum operasi yakni
dapat menurunkan produksi sputum dan meningkatkan aktivitas silia.1
Obat simpatomimetik dapat diberikan untuk mengaktifkan reseptor β2-
adrenergik, meningkatkan adenosin monofosfat intraselular (AMP) dan
menyebabkan bronkodilatasi. Bronkodilatasi juga bisa terjadi akibat pemberian
obat parasympatholytics, seperti ipratropium bromida, yang menghambat tonus
vagus parasimpatis dari cabang trakeobronkial. Manajemen lain untuk mengatasi
mengi meliputi pemberian steroid untuk menekan peradangan dan mengurangi
edema mukosa.1
Mobilisasi sekresi paru dapat meningkatkan fungsi paru perioperatif.
Mobilisasi sekresi paru dapat dicapai dengan kombinasi pernapasan dalam, batuk
vigorous, drainase postural, hidrasi, dan perkusi dada. Namun, fisioterapi dada
relatif kontraindikasi pada pasien dengan abses paru, metastasis paru, atau riwayat
hemoptisis.1
Infeksi akut maupun kronis harus dikelola dengan penuh dengan antibiotik
sebelum operasi. Perubahan warna dan kuantitas sputum yang diproduksi oleh
pasien dengan COPD dapat menunjukkan suatu infeksi. Sebuah penelitian
17. 15
menunjukkan penurunan kejadian komplikasi paru pasca operasi dan angka
kematian pada pasien yang diobati dengan profilaksis antibiotik sebelum operasi.1
Rehabilitasi paru pra operasi harus dipertimbangkan untuk semua pasien.
Dibandingkan hanya pemberian edukasi saja, rehabilitasi komprehensif paru telah
menghasilkan peningkatan yang signifikan pada tes berjalan 6 menit, toleransi
latihan maksimal, uptake oksigen maksimal, dan pengukuran kualitas hidup.
Meskipun intervensi ini telah terbukti menurunkan komplikasi paru pasca operasi,
program ini harus dimulai 24 minggu sebelum operasi untuk mencapai efek yang
maksimal.1
3.3 Premedikasi
Pemberian premedikasi tergantung pada kondisi psikis pasien, derajat
kelainan paru, dan tindakan pembedahan. Penjelasan akan dilakukannya
pemasangan kateter, alat monitoring, pemberian oksigen dengan sungkup muka,
dan tindakan-tindakan lain yang akan dilakukan dapat mengurangi kecemasan
pasien.5,6,9
Pasien yang akan menjalani operasi reseksi paru tidak rutin diberikan
obat-obat sedasi sebelum operasi. Obat sedasi ringan seperti short acting
benzodiazepine intravena sering diberikan sebelum melakukan prosedur
monitoring invasif seperti pemasangan kateter. Pada pasien dengan sekresi
berlebih, pemberian antisialogogue (misalnya glikopirolat) berguna untuk
memfasilitasi bronkoskopi fiberoptik untuk penempatan endobronkial tube lumen
ganda atau bronchial blocker. Untuk menghindari injeksi intramuskular, obat-obat
ini dapat diberikan secara oral atau intravena segera setelah penempatan kateter
18. 16
intravena. Umumnya juga digunakan antibiotik profilaksis jangka pendek seperti
sefalosporin yang diberikan secara intravena. Perlu diperhatikan pasien yang
alergi terhadap antibiotik sefalosporin atau penisilin harus diketahui pada
kunjungan awal prabedah.2
Pemberian antikolinergik pada pasien normal dan pasien PPOM ringan
atau sedang sering menimbulkan perasaan tidak enak yaitu kekeringan mulut.
Secara teoritis kekeringan ini akan mempersulit pengeluaran sekret, sehingga
antikolinergik tidak rutin diberikan pada periode prabedah.5
Pasien yang mengalami hipoksemia pada udara kamar (PaO2< 60 mmHg)
atau hiperkarbia (PaCO2> 45 mmHg) tidak diberikan premedikasi atau diberikan
premedikasi ringan. Pasien yang biasa mendapat oksigen waktu dibawa ke kamar
operasi harus tetap diberikan oksigen dengan konsentrasi sama, pasien orthopneu
dibawa ke kamar operasi harus dengan posisi setengah duduk.5
3.4 Pilihan Anestesi dan Reanimasi
3.4.1 General Anestesi
General anestesi dengan ventilasi kontrol merupakan teknik anestesi yang
paling aman untuk torakotomi.5,6,10
Obat-obat anestesi inhalasi halogen
merupakan pilihan yang baik karena mempunyai efek yang baik pada jalan nafas,
yaitu dapat mencegah terjadinya bronkokonstriksi, mempunyai efek
bronkodilatasi, dan menghilangkan reflek jalan nafas pada pasien yang memiliki
jalan nafas yang reaktif (misalnya perokok). Kelebihan lain dari obat-obat ini
adalah dapat diberikan dengan oksigen inspirasi konsentrasi tinggi tanpa
kehilangan efek anestesinya, cepat dieliminasi sehingga kejadian hipoventilasi
19. 17
pasca bedah dapat diperkecil, pada dosis klinis dapat menjamin stabilitas
kardiovaskuler, dan obat golongan ini tidak terlihat menurunkan PaO2 selama
ventilasi satu paru.5,6,11
Ketamin dalam kombinasi dengan N2O dan pelumpuh otot dapat
digunakan dalam bedah toraks. Meskipun tidak dianjurkan pemakaiannya untuk
penatalaksanaan operasi elektif, obat ini bermanfaat untuk induksi pada pasien-
pasien kritis yang akan menjalani bedah darurat oleh karena memiliki efek
simpatomimetik yang sangat diperlukan oleh karena kebanyakan bedah toraks
darurat disertai dengan hipovolemia. Disamping itu obat ini memiliki onset yang
cepat dan dapat mengurangi bronkospasme pada pasien asma.6
Pada operasi di daerah mediastinum, diberikan anestesia umum
inhalasi/balans PET dan nafas kendali. Setelah preoksigenasi dengan oksigen
100% selama 3 menit, diberikan fentanil intravena hingga frekuensi nafas menjadi
8-10 kali per menit. Setelah frekuensi nafas relatif lambat dan dalam, serta respon
terhadap perintah menjadi lambat, diberikan tiopentone dosis rendah (2-3
mg/kgBB) atau ketamin 1-2 mg/kgBB untuk pasien yang memiliki jalan nafas
yang sangat reaktif atau mengalami hipovolemia sedang.6,11
Jalan nafas dipertahankan, diberikan ventilasi tekanan positif secara
intermitten dan berikan isoflurane dari konsentrasi 2,5% hingga 5%. Isoflurane
konsentrasi tinggi diberikan dalam waktu singkat (1-2 menit) dan ketika pasien
menunjukkan tanda-tanda anestesi dalam, konsetrasinya diturunkan. Diberikan
pelumpuh otot vecuronium 0,1 mg/kgBB atau atracurium 0,5 mg/kgBB. Sebelum
intubasi diberikan lidokain spray di daerah trakea, lalu lakukan intubasi dengan
pipa endotrakea lumen ganda. Meskipun lidokain dan fentanil mampu mencegah
20. 18
gejolak kardiovaskuler akibat intubasi, dianjurkan pula pemakaian esmolol 5-10
mg intravena untuk meredakan gejolak hemodinamik akibat intubasi.6,11
Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan isoflurane 0,5-1,0 MAC, narkotik
dan pelumpuh otot dosis pemeliharaan.11
Bila pasien diramalkan dapat diekstubasi
pada jam-jam pertama pasca bedah, posisi pasien dirubah ke posisi supine lalu
pipa endotrakea lumen ganda diganti dengan pipa endotrakea lumen tunggal dan
lakukan reverse untuk pelumpuh otot. Pada saat pasien bernafas spontan,
diberikan fentanil dengan dosis sangat rendah yaitu 0,3 mg/kgBB. Keuntungan
pemberian narkotik ini adalah pasien lebih cepat keluar dari ruang pemulihan,
kebutuhan ventilasi mekanik lebih singkat dan ekstubasi dapat dilakukan dengan
mudah. Keberhasilan pemberian fentanil ini akan ditandai dengan pasien bernafas
relatif lambat dan dalam yaitu laju nafas kembali menjadi 10-12 kali per menit.6,11
Ditambahkan pula, agar sekresi dari paru yang sakit mengalir ke trakea secara
gravitasi dan tidak mengkontaminasi paru yang sehat, maka untuk torakotomi kiri
kepala pasien dibuat head-down 350
, untuk torakotomi kanan head-down 550
.11
Pada operasi paru dan beberapa kasus non paru misalnya abses tulang
belakang torakal dan PDA, dilakukan ventilasi satu paru menggunakan pipa
endotrakeal khusus. Pasien diinduksi dengan tiopentone 4-5 ml/kgBB diberikan
intravena pelan-pelan. Berikan suksinilkholin untuk fasilitas intubasi
endobronkeal dengan pipa endotrakeal lumen ganda, dimana untuk paru kanan
mempergunakan pipa White, dan untuk paru kiri mempergunakan pipa Carlens.
Berikan nafas buatan melalui sungkup muka dengan oksigen 100%
mempergunakan fasilitas mesin anestesia sampai fasikulasi hilang. Kemudian
lakukan pemasangan pipa endotrakeal dan hubungkan dengan mesin anestesia
21. 19
mempergunakan konektor ganda. Pada tahap awal operasi dilakukan ventilasi
pada kedua paru dengan diberikan kombinasi obat inhalasi N2O + O2 dan narkotik
(sebagai analgetik-sedatif) ditambah obat sedatif atau hipnotik serta obat
pelumpuh otot non depolarisasi secara intravena. Pada saat manipulasi khusus
sesuai dengan sasaran operasi, dilakukan anestesia satu paru dengan cara
melepaskan konektor lumen pipa yang menuju paru yang akan dikempeskan.
Perbandingan antara N2O : O2 diubah menjadi 50 : 50 atau hanya dengan oksigen
100% tergantung dari saturasi oksigen pada saat itu. Pada saat-saat tertentu bagian
paru yang kolaps dikembangkan dengan tekanan yang ringan. Apabila operasi
yang dimaksud sudah selesai, paru yang kolaps dikembangkan bersama-sama
dengan menghubungkan kembali dengan konektor yang tersedia. Parameter
ventilasi dan perbandingan N2O : O2 ditata kembali sesuai dengan parameter
ventilasi normal kedua paru. Dapat diberikan tambahan obat anestesi intravena
misalnya fentanyl dengan dosis yang disesuaikan dengan kebutuhan.5
3.4.2 Anestesia Regional
Anestesi epidural, blok paravertebral, blok saraf interkostal, atau blok
lapangan operasi kadang-kadang digunakan secara murni pada berbagai prosedur
toraks, termasuk torakotomi. Blok epidural dengan membuat pasien tetap terjaga
namun dibuat dalam kondisi tertidur telah berhasil digunakan untuk torakotomi
atau torakoskopi. Hasil yang paling mengejutkan yakni tidak adanya respirasi
paradoks dan dyspnea. Pola pernafasan dan bicara pasien nampak normal.
Beberapa faktor mungkin memberikan kontribusi bagi keberhasilan teknik ini
diantaranya : pasien yang sangat kooperatif, analgesia lengkap dan pasien yang
nyaman, penggunaan premedikasi dan sedasi untuk menghindari oversedasi dan
22. 20
eksitabilitas, tambahan oksigen diberikan melalui sungkup bertekanan positif jika
pasien dilaporkan mengalami sesak nafas, dan operasi yang berlangsung cepat.1
3.4.3 Kombinasi Blok Epidural dan General Anestesia
Pada kondisi dimana pasien tidak dapat mentolerir anestesia regional
sebagai anestesia yang murni digunakan dalam suatu tindakan pembedahan,
teknik anestesi epidural dan general anestesia sering digabungkan untuk
mendapatkan keuntungannya masing-masing. Kontribusi relatif dari masing-
masing teknik yang dikombinasikan dapat bervariasi. Blok epidural mungkin baik
digunakan untuk analgesia pasca operasi atau sebagai anestesi utama, dengan
sedikit general anestesi yang digunakan untuk membuat pasien amnesia dan
sedasi. Anestesi epidural memiliki keuntungan seperti pengurangan afterload,
peningkatan fungsi paru, penurunan kejadian tromboemboli vena, dan penekanan
respon stress. Potensi kerugiannya meliputi peningkatan kebutuhan cairan dan
penurunan tekanan darah relatif yang berhubungan dengan simpatektomi, dan
potensi komplikasi teknis seperti hematoma epidural.1
Kapasitas vital dan compliance paru mengalami penurunan setelah general
anestesi dan terjadi blokade neuromuskuler pada pasien yang menjalani
torakotomi. Penggunaan analgesia epidural dengan sedikit general anestesi dapat
meminimalisir perubahan fungsi paru pasca operasi. Penggunaan anestesi epidural
juga terkait dengan infeksi pasca operasi yang lebih sedikit. Hal ini dapat
mengakibatkan : penurunan durasi intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik
yang banyak mengurangi mekanisme pertahanan terhadap infeksi, mengurangi
durasi perawatan di RTI post-operasi sekaligus mengurangi risiko infeksi
nosokomial, penekanan respon stress endokrin akibat operasi yang berpengaruh
23. 21
pada sistem imun. Kekebalan imun lebih sedikit mengalami gangguan pasca
operasi jika menggunakan anestesi epidural dibandingkan menggunakan teknik
anestesi yang lainnya.1
3.5 Pemantauan Selama Anestesia dan Reanimasi
3.5.1 Pemantauan Rutin
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi Amerika Serikat (ASA) pada
1986 menentukan monitoring standar untuk oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan
suhu badan perianestesia untuk semua kasus termasuk anestesia umum, analgesia
regional dan pasien dalam keadaan diberikan obat-obat sedatif, yang meliputi :
a. Standar 1 : Selama anestesia pasien harus diawasi oleh personel anestesi
yang berkualitas.
b. Standar 2 : Selama anestesia oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu
pasien harus dievaluasi baik secara berkala ataupun terus-menerus.
Pemantauan rutin atau pemantauan dasar dilakukan dengan menggunakan
stetoskop prekordial/esofageal, manset tekanan darah, EKG, oksimeter, dan
termometer.5
3.5.1.1 Pemantauan Kardiovaskular.
a. Non-invasif (tak langsung)
1. Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan suatu keharusan, karena
gangguan sirkulasi sering terjadi selama anestesi. Semakin bradikardi
pasien semakin menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi
dapat dilakukan dengan cara palpasi arteri radialis, brakialis, femoralis
24. 22
atau karotis. Dengan palpasi dapat diketahui irama, frekuensi, dan
kekuatan nadi. Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan
dengan perlatan elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai
alarm.5
2. Tekanan darah
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan
manset yang harus tepat ukurannya, karena jika terlalu lebar akan
menghasilkan nilai lebih rendah dan terlalu sempit mnghasilkan nilai
lebih tinggi. Tekanan sistolik-diastolik diketahui dengan cara
auskultasi, palpasi, sedangkan tekanan arteri rata-rata (mean arterial
pressure) diketahui secara langsung dengan monitor tekanan darah
elektronik.5
3. Jumlah perdarahan
Monitoring terhadap perdarahan dilakukan dengan menimbang kain
kasa ketika sebelum kena darah dan sesudahnya., mengukur jumlah
darah di botol pengukur darah ditambah 10-20% untuk yang tidak
dapat diukur.5
b. Invasif (langsung)
Biasanya dikerjakan untuk bedah khusus atau pasien dengan keadaan
umum yang kurang baik. Dapat dillakukan dengan menggunakan kanulasi
arteri melalui arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri karotis, dan arteri
femoralis sehingga diketahui secara kontinyu tekanan darah pasien. Bisa
juga menggunakan kanulasi vena sentral seperti vena jugularis interna-
25. 23
eksterna, vena subklavia, vena basilika, dan vena femoralis sehingga
diketahui tekanan vena sentral secara kontinyu.5
3.5.1.2 Pemantauan Respirasi
Pemantauan respirasi dapat dilakukan tanpa alat yakni dengan inspeksi.
Pasien diawas secara langsun dengan melihat gerakan dada-perut baik
pada saat bernafas spontan atau dengan nafas kendali, dan gerakan
kantong cadangan apakah sinkron. Dapat juga dilakukan menggunakan
stetoskop prekodial atau esofageal dengan mendengarkan suara
pernafasan. Pulse oxymetri juga akan membantu mengetahui saturasi
oksigen. Saat ini juga sering digunakan kapnometri untuk mengetahui
secara kontinyu kadar CO2 dalam udara inspirasi atau ekspirasi.5
3.5.1.3 Pemantauan Suhu Badan
Pemantauan suhu badan dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan
anak kecil. Pengukuran suhu sangat penting pada anak terutama bayi,
karena bayi mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konvesi,
evaporasi dan konduksi, dengan konsekuensi depresi otot jantung,
hipoksia, asidosis, dan pemulihan anestesia lambat. Pemantauan suhu
badan dapat dilakukan pada beberapa area seperti suhu aksila, oral-
sublingual, rektal, dan nasofaring esofageal.5
3.5.1.4 Pemantauan Ginjal
Pemantauan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan sirkulasi ginjal.
Produksi urin minimal 0,5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama
dan sangat bermnafaat untuk menghindari retensi urin atau distensi buli-
26. 24
buli. Monitoring produksi urin harus dilakukan dengan hati-hati, karena
selain traumatis juga akan mengundang infeksi sampai ke pielonefritis.5
3.5.2 Perhatian Khusus
Pasien yang mempunyai riwayat penyakit respirasi dan kardiovaskular
sebelumnya, selama menjalani pembedahan akan dapat terjadi ketidaksesuaian
antara ventilasi dan perfusi dimana hal ini dapat diperburuk oleh kondisi-kondisi
seperti manipulasi selama pembedahan, posisi operasi, periode kolaps paru, dan
ventilasi satu paru. Oleh karena itu sangat penting untuk terus memantau
oksigenasi dan ventilasi. Pemantauan harus bersifat individual, tergantung pada
seberapa luas operasinya dan seberapa parah penyakit yang mendasari.1
Pemantauan untuk pasien yang menjalani torakotomi meliputi EKG, pulse
oxymetri, tekanan vena sentral, tekanan darah arteri langsung, analisis gas darah
secara periodik dan kapnografi untuk memantau CO ekspirasi. Auskultasi untuk
mencari mengi, rhales, atau ronki membantu dalam diagnosis malposisi pipa
endotrakeal, gagal jantung kongestif, jalan nafas yang tidak terhubung, atau
bronkospasme. Tekanan pada saluran nafas dapat memberikan informasi tentang
perubahan compliance paru, terjadinya bronkospasme, atau malposisi dari pipa
endotrakeal lumen ganda. Pulse oxymetri merupakan indikator yang paling
penting untuk mendiagnosis secara dini masalah-masalah terkait dengan
oksigenasi. Kapnografi memberikan gambaran yang kontinyu mengenai
perubahan kadar CO2 dan memberikan peringatan kepada dokter anestesi untuk
kemungkinan terjadinya apnea, terputusnya jalan napas, dan hipoventilasi. Ahli
anestesi mungkin memerlukan pemantauan tambahan seperti kateter arteri
sistemik atau kateter arteri paru ketika berhadapan dengan pasien pneumonia,
27. 25
penyakit jantung, atau reseksi paru mayor. Kateter intra arteri secara rutin
digunakan untuk memantau gas darah arteri dan kondisi hemodinamik selama
reseksi mayor.1
Tabel 1. Monitoring Untuk Mendeteksi dan Mendiagnosis Kejadian
Intraoperatif1
Respirasi
Pola respirasi, frekuensi
nafas
Apneu, kesulitan bernafas,
rhales
Auskultasi Wheezing, ronkhi, apneu
Tekanan jalan nafas Obtruksi, pneumotoraks,
bronkospasme, sekresi
Oksigenasi
Pulse oxymetri Hipoksia
Gas darah arteri Asidosis (metabolik,
respiratorik)
Ventilasi
Kapnografi Bronkospasme
Hipoventilasi dan apneu
Memastikan intubasi
endotrakeal
ROSC selama ventilasi
terkenali
Fungsi Kardiovaskular
EKG Aritmia, iskemik
Kateter intra arteri Hipotensi atau hipertensi
Kompresi arteri
Kateter arteri pulmoner Hipertensi pulmoner, menilai
performa jantung
Transesophageal
echocardiography
Iskemik, status volume,
disfungsi ventrikel kanan
3.6 Terapi Cairan
Terapi cairan pada operasi torakotomi harus diperhatikan adanya
kemungkinan terjadi komplikasi terutama pasien yang menjalani pneumonektomi
karena banyak pasien post pneumonektomi yang mengalami postpneumonectomy
pulmonary oedem (PPE). Balans total lebih dari 20 ml/kgBB harus dihindari pada
28. 26
24 jam pertama perioperatif. Margois dan Singer merekomendasikan cairan 2 liter
durante operasi dan 50 ml/kg setelah operasi. Parkuin menyatakan pemberian
cairan >2 liter menaikkan insiden PPE. Benumof, J.L. merekomendasikan untuk
perdarahan ringan <10% tidak perlu diganti darah, melainkan diberikan infus
kristaloid 10 ml/kg dalam 1 jam pertama. Kemudian dilanjutkan 5 ml/kg.12
Peter merekomendasikan transfusi darah dihindari bila perdarahan kurang
dari 750 ml. Penggantian dilakukan dengan kristaloid dan tidak boleh lebih dari 4
kali jumlah darah yang hilang. Penggantian cairan harus terbagi dalam
setengahnya diberikan segera, seperempat diberikan dalam 12 jam kemudian,
sisanya diberikan 12 jam berikutnya. Bila perdarahan > 750 ml darah harus
diberikan. Jumlah pemberian darah pengganti ditambah kristaloid harus seimbang
dengan yang hilang.12
Urin ouput jangan lebih dari 0,5 ml/kg/jam, kecuali pasien menunjukkan
tanda-tanda insufisiensi renal.12
Pemberian inotropik yang dibantu monitor hemodinamik invasif
dianjurkan terutama pada resusitasi cairan yang agresif pada kasus perfusi
sistemik yang tidak adekuat. Cara ini efektif terutama pada kasus disfungsi
ventrikel kanan, terutama inotropik yang berefek vasodilatasi arter pulmonalis.12
3.7 Pemulihan Anestesia
Setelah prosedur anestesia berakhir, dilakukan prosedur pemulihan pasien.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan pipa endotrakeal dari
lendir atau bekuan darah. Pipa lumen ganda yang terpasang diganti dengan pipa
endotrakeal single lumen. Aliran gas atau obat anestesia inhalasi dihentikan dan
29. 27
pasien diberikan oksigen 100% (4-8 liter) selama 2 – 5 menit. Selanjutnya
dilakukan reverse obat pelumpuh otot dengan memberikan antikolinesterase yakni
neostigmin dan dikombinasikan dengan atropin. Ekstubasi dilakukan jika pasien
telah bernafas spontan dan adekuat. Namun jika dicurigai pasien akan mengalami
depresi nafas pasca bedah, tidak dilakukan ekstubasi pipa endotrakeal dan pasien
langsung dikirim ke ruang terapi intensif untuk mendapatkan perawatan lebih
lanjut.10
3.8 Pasca Anestesia
Pasca bedah torakotomi, pasien akan dikelola di kamar pulih atau unit
perawatan pasca anestesi. Idealnya bangun dari anestesia terjadi secara bertahap,
dan tanpa keluhan. Kenyataannya sering ditemukan hal-hal yang tidak
menyenangkan akibat stress pasca bedah atau pasca anestesia berupa mual
muntah, gangguan nafas, gangguan kardiovaskular, gelisah, nyeri, menggigil, dan
kadang-kadang perdarahan.5
Pengawasan ketat di kamar pulih harus sama seperti sewaktu berada di
kamar operasi sampai pasien terbebas dari bahaya. Oleh karena itu, harus
disediakan peralatan monitor yang baik. Tensimeter, oksimeter denyut (pulse
oxymeter), EKG, peralatan resusitasi jantung-paru dan obatnya harus disediakan
tersendiri, terpisah dari kamar operasi.5
3.8.1 Penatalaksanaan Nyeri Pasca Bedah
Pengobatan nyeri pasca bedah torakotami merupakan hal yang sangat
penting, bukan hanya untuk membuat pasien merasa nyaman tetapi juga untuk
memperkecil komplikasi pulmoner dengan membuat pasien mampu untuk
30. 28
melakukan nafas dalam dan batuk serta mempercepat mobilisasi sehingga tidak
terjadi retensi sputum dan atelektase.5,6
Pada saat ini, ada dua metode yang sangat efektif dan digunkakan secara
luas serta dianggap sebagai pilihan untuk mengatasi nyeri pasca torakotomi, yaitu
: cryoanalgesia dan pemberian narkotik secara epidural.5
a. Cryoanalgesia
Cara ini terbukti sangat efektif untuk mengatasi nyeri dan mengurangi
kebutuhan narkotik pasca torakotomi, memperbaiki fungsi paru, serta merupakan
cara pilihan mengelola nyeri toraks yang diduga akan berlangsung lama (misalnya
nyeri akibat trauma dada).1
Pembekuan saraf interkosa (cryoanalgesia) akan
menghasilkan blok saraf interkosta yang berlangsung sangat lama.5,6,10
Aplikasi es
langsung pada saraf akan menyebabkan degenerasi akson saraf tanpa
menimbulkan kerusakan pada jaringan penyokong saraf (neurolema), sehingga
menghentikan aktifitas saraf secara reversebel. Dalam waktu 2-3 minggu pasca
pembekuan, struktur dan fungsi saraf tersebut akan mulai mengalami pemulihan
dan pulih sempurna setelah 1-3 bulan tanpa gejala sisa neuritis atau neuroma.5,6
Cryoproble ditempatkan langsung pada saraf setinggi tempat sayatan, lalu dua
atau tiga interkosta diatas dan dibawahnya.
b. Anestesia epidural
Kateter epidural harus sudah terpasang sebelum induksi anestesi dan
posisinya di cek dengan obat lokal anestesi dosis rendah. Injeksi pertama dapat
dilakukan di kamar operasi, kamar pemulihan, atau unit perawatan intensif.5
Kelebihan dari teknik ini adalah menghilangkan nyeri dengan nyata dan durasinya
lebih panjang daripada narkotik parenteral.5,6,10
31. 29
Pada praktek klinis banyak digabungkan penggunaan opioid epidural
dengan anestesi lokal. Secara teoritis, kombinasi dari 2 agen akan bertindak secara
sinergis untuk memberikan analgesia yang lebih baik sementara meminimalkan
efek samping agen. Kombinasi epidural bupivakain ditambah dengan morfin atau
fentanyl akan memberikan efek analgesia yang lebih baik daripada penggunaan
anestesi lokal saja. Sedangkan penambahan bupivakain pada infus opioid epidural
tidak meningkatkan analgesia pasca torakotomi bila dibandingkan dengan infus
narkotik epidural saja. Narkotik epidural memberikan efek analgesik yang
dominan.1
Beberapa cara alternatif lain untuk mengatasi nyeri pasca torakotomi,
antara lain :
a. Narkotik sistematik
Pemberiannya lebih baik secara patient controlled analgesia (PCA) atau titrasi
perinfus intravena.7,10
Biasanya diberikan dalam dosis kecil secara titrasi dan
harus dimonitor dengan ketat agar nyeri dapat teratasi tanpa menimbulkan
depresi pernafasan. Perlu diingat juga bahwa analgetik narkotik dapat
menghambat reflek batuk, mengurangi frekuensi nafas, dan menghilangkan
kepekaan pusat pernafasan terhadap hiperkarbia dan hipoksia.7
b. Blok saraf interkostal
Blok saraf interkostal adalah teknik yang efektif untuk memberikan analgesia
pascaoperasi tanpa depresi pusat pernafasan dan untuk mengurangi penurunan
fungsi paru pasca operasi. Nyeri pasca torakotomi tidak sepenuhnya dikelola
dengan analgesia interkostal, tetapi membutuhkan tambahan narkotik
parenteral atau NSAID.1
32. 30
Cara ini terbukti mampu memberikan analgesia yang nyata, menurunkan
kebutuhan opioid, dan memperbaiki fungsi paru pasca bedah toraks.7,10
Biasanya digunakan obat anestesi lokal yang bekerja lama, 3-4 ml bulpivakain
0,5% dengan epinephrine (pengenceran 1:200.000) disuntikkan dua interkosta
diatas dan dibawah sayatan.1,10
c. Blok interpleural
Dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam rongga antara
pleura parietalis dan visceralis melalui kateter epidura yang dipasang lewat
dinding dada pada saat toraks masih terbuka.6,7
Biasanya digunakan
bupivakain 0,25 - 0,5% yang dicampur epinefrin.6
d. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation TENS
Dipasang elektroda pada sisi dada yang mengalami sayatan dan diberikan
rangsangan listrik. Biasanya digunakan rangsangan listrik voltase rendah
dengan frekuensi tinggi (80 Hz) melalui kulit.7,10
33. 31
DAFTAR PUSTAKA
1. Longnecker, D.E., Brown, D.L., Newman, M.F., Zapol, W.M.
Anesthesiology. 2nd
ed. New York : Mc Graw Hill, 2012 : 950 – 1008.
2. Miller, R.D., Cogen, N.H., Erksson, L.I., et al. Miller’s Anesthesia. 8th
ed.
Canada : Elsevier. 2015 : 2264 – 2334.
3. Brodsky JB., Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Healy TEJ, Cohen PJ,
eds. A Practice of Anesthesia, 6th
ed. London : Edward Arnold, 1995 :
1148 – 64
4. Anwar, A., Soeroso S.D., Ahmad S. Dkk., Anestesia pada Bedah Paru,
Dalam : Makalah Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesiologi,
Jakarta : 1995.
5. Latief .A., Suryadi, K.A.S .,Dachlan M.R., Petunjuk Praktis Anestesiologi
. ed. 2. Jakarta : Bagian anestesiologi dan terapi intensif. 2002.Benumof,
J.L., Alfery, D.D., Anesthesia for Thoracic Surgery. In : Miller RD, ed.
Anesthesia 3rd
., New York : Churchill Livingstone, 1990 : 1517 – 73.
6. Brodsky JB., Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Healy TEJ, Cohen PJ,
eds. A Practice of Anesthesia, 6th
ed. London : Edward Arnold, 1995 :
1148 – 64
7. Filderman AE., Mathay RA., Preoperative Pulmonary Evaluation. In :
Shields, ed., General Thoracic Surgery, 3rd
ed., Philadelphia : Lea &
Febiger, 1989 : 277 – 82.
8. Wong HY., Brunner EA. Preanesthetic Evaluation and Preaparation , In
Shields, ed., General Thoracic Surgery, 3rd
ed., Philadelphia : Lea &
Febiger, 1989 : 285 – 92.
9. Morgan GE., Mikhail MS. Anesthesia for Thoracic Surgery, In : Clinical
Anesthesiology, 1st
ed., Connecticut : Applenton & Lange. 2013 : 545 – 73.
10. Benumof JL., Choice of Anesthetic Drug and Techniques, In : Anesthesia
for Thoracic Surgery, 2rd
ed., Philadelphia : WB Saunders Company, 1995
: 300 – 26.
11. Atkinson RS, Rushman GB., Lee JA., Thoracic Anesthesia In : A Synosis
of Anaesthesia, 10th
ed., Singapore : PG Publishing Pte. Ltd., 1988 : 569.
12. Harijanto, E. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan Perioperatif. I : PP
IDSAI 2010. 295-305