Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas kasus anestesi spinal yang dilakukan pada pasien dengan hernia scrotalis incarserata dan memiliki komplikasi decompensatio cordis serta sirosis hepatis.
2. Teknik anestesi yang digunakan adalah spinal anestesi dengan obat bupivakain dan dilakukan monitoring vital sign pasien selama prosedur.
3. Dibahas pula definisi, indikasi, kontraindikasi, persiapan,
1. PRESENTASI KASUS
ANASTESI SPINAL PADA OPERASI HERNIA SCROTALIS INCARSERATA PADA
PASIEN DENGAN DECOMPENSATIO CORDIS DAN SIROSIS HEPATIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anestesi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh :
SYDNEY N.RF.
2008 031 0220
Diajukan Kepada :
dr. TINON ANINDHITA , Sp. An
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANESTESI
RSUD SALATIGA
2013
2. I.
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien
Umur
: 70 Tahun
Alamat
II.
: Tn. S
: Banjaran, Salatiga
KEADAAN UMUM
Kesadaran
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 100 x / menit
Suhu
: 37 º C
Respirasi
III.
: Compos Mentis
: 22 x / menit.
PEMERIKSAAN
a. Riwayat perjalanan penyakit
-
Keluhan utama
: Pembesaran pada scrotum kanan dan kiri
-
RPS
: Pasien datang ke IGD dengan keluhan kedua scotum yang
membesar setelah mengangkat benda yang berat. Pasien juga mengeluh nyeri
pada kedua scrotum terutama yang sebelah kiri, nyeri perut (+) mual (+) muntah
(+) cair 3x berwarna kehitaman, demam (-) perut membesar sejak kurang lebih
satu bulan yang lalu, dan riwayat opname dengan diagnosis sirosis hepatis dan
decompensatio cordis. Pasien menyangkal adanya sesak napas kecuali saat
beraktivitas, nyeri dada (-), batuk (-), BAK (+) normal, BAB (+) cair sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit.
-
RPD
: hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat asma (-), riwayat
alergi obat (-), riwayat operasi sebelumnya(-), riwayat opname (+) satu bulan
yang lalu dengan dekompensatio cordis dan sirosis hepatis.
-
RPK
: gejala serupa (-), riwayat hipertensi (+) , riwayat DM (-),
riwayat asma (-), riwayat alergi obat (-).
b. Pemeriksaan fisik
Kedaan umum
: tampak kurus dengan perut yang membesar ( asites )
Kesadaran
: kompos mentis,
3. Gizi
: kurang
Pucat (-), ikterus (+), sesak nafas (-)
-
Kepala
: pupil isokor, sclera ikterik (+), konjungtiva anemis (+) edema
palpebra (-)
-
Leher
: peningkatan JVP (+) , lnn tidak teraba
-
Thorax
: simetris, ketinggalan gerak (-/-), sonor (+/+), suara paru ronkhi
basah (+), vesikuler menurun, cor: gallop (+)
-
Abdomen
: inspeksi tampak asites, asukultasi (bunyi usus menurun, palpasi
nyeri tekan (+) hepar dan lien tidak teraba, hipertimpani (+) shifting dullnes (+)
tes undulasi (+)
-
Ekstremitas
: akral hangat, edema (-) nadi kuat angkat
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin
No
1
Parameter
WBC
Hasil
3,1
Nilai normal
M:4.8-10.8
Interpretasi
menurun
F:4.8-10.8
2
RBC
4,16
M:4.7-6.1
menurun
F:4.2-5.4
3
Hb
11,5
M: 14-18
menurun
F:12-16
4
Ht
35,5(%)
M:42-52
menurun
F:37-47
5
MCV
85,3(fL)
79.0-99.0
Dbn
6
MCH
27,6(pg)
27.1-31.0
Dbn
7
MCHC
32,4(g/dL)
33.0-37.0
Dbn
8
PLT
160(10ˆ3/UL)
150-450
Dbn
2. Pemeriksaan darah:
Gula darah sewaktu
: 117 mg/dl (dbn, N= <144)
4. Ureum
: 60 mg/dl(dbn, N= 10-50)
Kreatinin
: 1,4 mg/dl (dbn N=0,1-1,3)
SGOT
: 28 U/L (dbn, N<37)
SGPT
: 14 U/L (dbn, N <42)
Natrium
: 146 mEq/L(dbn, N=135-155)
Kalium
: 3,9 mEq/L(dbn, N=3,5-5,5)
Klorida
: 103 mEq/L(dbn, N=95-108)
HbsAg
: negative
Protein total
: 6,0 g/dl ( sedikit menurun N=6,6-8,7)
Albumin
: 3,2 g/dl ( sedikit menurun N=3,5-4,2)
Globulin
: 2,8 g/dl
PTT
: 15,6 detik ( sedikit meningkat, N=11,5-15,5)
APTT
: 33,2 detik (dbn,N= 24-36,2)
Ratio 1,24
INR 1,32
EKG : OMI lateral
STATUS ANESTESI
ASA 3-4 (pasien dengan gangguan atau kelainan sistemik berat oleh berbagai
penyebab – pasien dengan gangguan sistemik berat yang secara langsung mengancam
ex. Decompensatio cordis dan sirosis hepatis).
HIPOTESIS
Hernia scrotalis incarserata dengan decompensatio cordis dan sirosis hepatis
TREATMENT
1. Premedikasi (-)
2. Preload: Fimahes 500 ml – Asering 15-20 ml/kgBB
3. Maintenance:
Bunascan (Bupivacain 0,5% Heavy 20 mg)
O2 nasal kanul 3lpm
Cedantron 4mg IV
5. Ketopain 30 mg IV
Efedrin 10 mg IV diulang 3-4 menit sampai tekanan darah lebih dari 100.
IV.
TINDAKAN ANESTESI
Catatan anestesi selama proses pembedahan
Teknik : spinal anestesi.
Vital sign awal :
Tekanan darah = 120/80 mmHg
Nadi
= 92 x/menit
Respirasi Rate = 20 x/menit
Lampiran.
6. PEMBAHASAN
A. SPINAL ANESTESI
1. Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan
obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal subaraknoid juga disebut
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat yang digunakan,
efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang
belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas,kehamilan,dan penyebaran obat.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan
parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang
mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan
proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah.
Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris
yang pertama kali akan pulih.
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat. Sebagian
besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah vena sedangkan
sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantung dari kecepatan obat
meninggalkan cairan serebrospinal.
2. Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah,
panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah
endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan
bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan
dengan anestesi umum.
3. Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal,
bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial.
Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan
7. obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang
tidak stabil, serta resistant surgeon.
Persiapan pasien pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini meliputi
pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan
meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu
dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin
parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
4. Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang
lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan
yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. obat
anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat
jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada
anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan
terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan
berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat
yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk steril juga
harus disiapkan. Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya
runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang
ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang
menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
5. Teknik Anestesi Spinal
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah
untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi,
bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien
tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada dimeja operasi. Posisi permukaan jarum
8. spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrat lumbalis (interlumbal). Lakukan
tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.
Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan
sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan menembus
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan
duramater, dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes
keluar.
Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid.
Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti
adrenalin.
6. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri
punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta
anestesi spinal total.
OBAT-OBAT SPINAL ANESTESI
9. 1. Bupivakain
Bupivakain (marcaine) adalah derivate-butil yang k.l 3 kali lebih kuat dan bersifat longaction (5-8jam). Obat ini terutama digunakan untuk anestesi daerah luas (larutan 0, 25-0, 5%)
dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. derajat relaksasinya terhadap otot tergantung pada
kadarnya. PP-nya sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi
pipekololsilidin (PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam keadaan utuh, sebagian kecil
sebagai PPX dab sisanya metabolit-metabolit lain. Plasma-t1/2-nya 1,5-5,5 jam.
Bupivakain disebut juga obat golonngan amida yang digunakan pada anestesi spinal.
Obat ini menghasilkan blokade saraf sensorik dan motorik. Bupivakain mempunyai efek
penurunan tekanan arteri rerata lebih sedikit dibanding dengan menggunakan lidokain.
2.
Morfin
Morfin memiliki efek terapeutik, akan tetapi juga memiliki efek terhadap sistem saraf
pusat ( otak dan medula spinalis ), terhadap saluran pencernaan, serta sistem lainnya. Efek
terhadap SSP meliputi analgesik, sedasi, perubahan sifat, depresi pernapasan, mual dan
muntah, pruritus, serta perubahan ukuran pupil. Morfin juga berpengaruh terhadap sekresi
lambung, motilitas usus, serta memiliki efek terhadap endokrin, saluran kencing, sistem saraf
autonom. Morfin memiliki efek yang menyerupai opioid endogen, dengan cara bekerja
sebagai agonis pada reseptor µ1 danµ2.dan dipertimbangkan sebagai agonis standar terhadap
agonis µ lainnya.
10. B. EFEK SPINAL ANESTESI SISTEM KARDIOVASKULER
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi terjadi karena
vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi penurunan tekanan arteriola
sistemik dan vena, makin tinggi blok makin berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang
akibat dari penurunan venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan
pemberian cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin atau
fenilefedrin.
Cardiac arrest pernah dilaporkan pada pasien yang sehat pada saat dilakukan anestesi
spinal. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi bradikardia yang berat
walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang stabil. Pada kasus seperti ini, hipotensi
atau hipoksia bukanlah penyebab utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari
mekanisme reflek bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch.
Pencegahan
hipotensi
dilakukan
dengan
memberikan
infuse
cairan
kristaloid
(NaCl,Ringer laktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dlm 10 menit segera setelah
penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat tersebut masih terjadi
hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin intravena sebanyak 19mg diulang
setiap 3-4menit sampai mencapai tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi
karena aliran darah balik berkurang atau karena blok simpatis, dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4 mg IV.
Akibat Blok spinal tinggi atau total
Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan perhitungan dosis
yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang bisa muncul dari hal ini adalah
hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran, paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa
menyebabkan henti jantung. Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan
kapasitas pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada
anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan sirkulasi darah ke organ vital
terutama otak dan jantung, yang cenderung menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke
serebral merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi
spinal total. Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas
terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf phrenik biasanya
11. dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral mendorong terjadinya
penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi, sirkulasi jantung akan berkurang
seterusnya menyebabkan terjadi iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan
akhirnya menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor, dan
pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal berkurang, pasien akan
kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi. Namun, tidak ada sequel yang
permanen yang disebabkan oleh komplikasi ini jika diatasi dengan pengobatan yang cepat
dan tepat.
Efek Anestesi Spinal pada Dekompensasi Cordis
Patofisiologi gagal jantung :
Tidak efektifnya jalan nafas.
Tanda dominan gagal jantung adalah meningkatnya volume intravaskular. Kongesti jaringan
terjadi akibat tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat turunnya curah jantung pada gagal
jantung. Peningkatan tekanan vena pulmonalis dapat menyebabkan cairan mengalir dari kapiler
paru ke alveoli, akibatnya terjadi oedem paru yang dimanifestasikan dengan batukdan nafas
pendek. Meningkatnya tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan oedem perifer secara umum
dan penambahan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Dipsneu bahkan terjadi
saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang. Dapat terjadi ortopneu
(kesulitan bernafas saat baring). Pada spinal anestesi jika preload cairan berlebihan maka dapat
memperberat oedem paru sehingga kebutuhan O2 miokard meningkat, namun bila tidak segera
dipenuhi dapat terjadi iskemik atau infark miokard.
Selain itu, efek kardiovaskular anestesi regional akibat sebagian dari efek langsung
terhadap jantung dan membrane otot polos, serta efek secara tidak langsung melalui saraf
otonomanestesi lokal menghambat saluran natrium jantung sehingga meningkatkan aktivitas
pacu jantung, eksitabilitas, dan konduksi jantung menjadi abnormal. Dengan pengecualian
kokain, obat anestesi regional juga menekan kontraksi jantung, sehingga terjadi dilatasi arteriol,
dimana kedua efek ini dapat menyebabkan hipotensi. Walaupun kolaps vascular dan kematian
12. biasanya timbul setelah memberikan dosis yang sangat tinggi, kadang-kadang dapat pula terjadi
pada pemberian dosis kecil secara infiltrasi anestesi.
Seperti telah disebutkan, kokain memiliki efek berbeda terhadap kardiovaskular.
Hambatan ambilan kembali norepinefrin menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi. Kokain
dapat pula menyebabkan aritmia jantung. Efek vasokonstriksi kokain dapat menimbulkan
iskemia pada mukosa hidung, dan pada pemakai jangka panjang bahkan dapat terjadi tukak
lapisan mukosa dan kerusakan septum hidung. Sifat vasokonstriksi kokain ini dimanfaatkan
secara klinis untuk mengurangi perdarahan akibat kerusakan mukosa nasofaring.
Bupivakain lebih kardiotoksik dibandingkan anestesi lainnya. Beberapa kasus
menunjukkan bahwa kelalaian suntikan bupivakain intravena tidak saja menyebabkan kejang,
tetapi juga kolaps kardiovaskular, dimana tindakan resusitasi sangat sulit dilakukan dan tidak
akan berhasil.
13. Daftar Pustaka
- Scwartz, Seymour, 2000, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC. Jakarta.
- Boulton Thomas dan Blogg Colin E. 1994. Anestesiologi. EGC : Jakarta.
- Gunawan Sulistia G, dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. FK UI:Jakarta.
- Guyton dan Hall.1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC:Jakarta.
- Neal M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Erlangga:Jakarta