1. Dokumen tersebut membahas tentang teori feminisme eksistensial Simone de Beauvoir dan analisis film Mona Lisa Smile melalui perspektif teori tersebut.
2. Film Mona Lisa Smile menceritakan perjuangan perempuan untuk mewujudkan semangat feminisme di Amerika Serikat pascaperang dunia.
3. Tokoh-tokoh dalam film tersebut merepresentasikan berbagai aliran feminisme dalam mengekspresikan eksistensi diri.
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
1. Permasalahan
Perempuan merupakan sosok istimewa yang menarik untuk dikaji.
Perempuan mampu memengaruhi persepsi orang-orang di sekitarnya. Sebagian
orang menganggap keistimewaan perempuan sebagai hal bernilai yang membuat
perempuan harus dihargai dan dilindungi, tetapi pada sisi lain ada orang yang
memanfaatkan bahkan menekan keberadaan perempuan. Orang yang menekan
ataupun membatasi ruang gerak perempuan pun membentuk subordinasi terhadap
perempuan sehingga menyebabkan peran, kedudukan, dan martabat perempuan
menurun. Persoalan tersebut pun memburuk ketika subordinasi terhadap
perempuan menjadi satu konstruksi sosial yang mengakar dari waktu ke waktu.
Perempuan dalam berbagai bentuk subordinasi sejak dulu hingga kini
masih terjadi, sebagaimana dalam ideologi patriarki secara tegas menyebutkan
bentuk kekuasaan laki-laki terhadap perempuan yang pada akhirnya juga
memasuki ruang negara, tampaknya pihak negara dan semua kebijakan masih
menunjukkan upaya mengukuhkan ideologi patriarki (Basa, 2000: 8).
Feminisme merupakan gerakan menuntut kesamaan hak dan keadilan
antara perempuan dengan laki-laki dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis
utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Gerakan feminisme banyak
memperjuangkan, mulai dari tuntutan hak atas perlindungan perempuan dari
kekerasan rumah-tangga, pelecehan seksual dan perkosaan, dan persamaan hak
2. 2
perempuan dalam bidang pekerjaan. Pencetus ide dan pemikiran-pemikiran di atas
sebagian besar adalah perempuan kelas menengah Inggris, Perancis dan Amerika
Serikat (Rachman, 2013: 1-3).
Pengaruh positif dari perkembangan gerakan feminisme perlahan mulai
mengubah persepsi masyarakat dalam memandang peran serta kedudukan
perempuan dalam lingkup publik. Konstruksi sosial pun mulai memberikan
peluang bagi perempuan untuk berperan dan berpartisipasi dalam lingkup publik,
sehingga perempuan mendapatkan kesempatan menunjukkan eksistensi diri dalam
lingkup publik. Eksistensi perempuan dalam konteks ini tentu tidak serta-merta
bereksistensi tanpa tujuan. Perempuan dinilai berhasil bereksistensi dengan
mewujudkan semangat feminisme apabila dalam bereksistensi menyertakan
esensi.
Eksistensialisme berkeyakinan bahwa manusia dapat menjadi apa saja
tergantung pada pilihannya. Jean Paul Sartre dalam buku Eksistensialisme dan
Humanisme, mengatakan bahwa manusia dalam menentukan pilihan tidak hanya
menciptakan nilai-nilainya tetapi juga mengikat diri. Manusia menjadi diri,
mendapat bentuk, hingga hakikatnya mulai tampak. Keputusan itu berarti bahwa
manusia menjadi ini atau itu, jadi esensinya terwujud. Keputusannya
menunjukkan jati dirinya dan karakternya (Suseno, 2000: 77).
Perempuan dalam menunjukkan eksistensi diri sama halnya dengan laki-
laki yang juga dapat menunjukkan eksistensi diri. Perempuan memiliki
kesempatan yang sama seperti laki-laki, dapat mewujudkan eksistensi diri sesuai
keinginan dan kebebasan masing-masing tanpa suatu tekanan. Hal tersebut
3. 3
sebagaimana diungkapkan oleh tokoh feminis asal Perancis, Simone de Beauvoir
(1908-1986) yang menyatakan bahwa setiap orang lahir di dunia dengan
eksistensi. Manusia semasa hidup sedang berupaya mencapai esensi masing-
masing melalui setiap proses yang dilalui.
Simone de Beauvoir (1908-1986) dalam membahas eksistensi dan esensi
sependapat dengan pemikiran Jean Paul Sartre (1905-1980) bahwa eksistensi
manusia mendahului esensi. Simone de Beauvoir bermaksud menyampaikan
bahwa manusia memang lahir didahului oleh eksistensi sebagaimana perempuan
yang memang memiliki eksistensi juga sejak lahir, tetapi eksistensi sesungguhnya
bagi Simone de Beauvoir adalah eksistensi yang disertai subjek esensial.
Perempuan dapat melengkapi eksistensinya jika perempuan menjadi
subjek esensial, artinya perempuan memegang kendali penuh atas berbagai
keputusan yang diambilnya. Contoh uraian tersebut yaitu ada banyak tokoh
perempuan dan perempuan yang berkarier dalam bidang masing-masing. Akan
tetapi yang menjadi pertanyaan, perempuan dalam melakukan perbuatan dan
mengambil keputusan benarkah selalu sesuai dengan keinginanya. Jangan sampai
perempuan melakukan perbuatan dan mengambil keputusan karena adanya
tekanan dari luar. Persoalan dilematis tersebut berkaitan dengan citra sosial
perempuan sebagaimana dikutip dalam paragraf berikut.
“Citra sosial perempuan merupakan perwujudan dari citra perempuan
dalam keluarga serta citranya dalam masyarakat. Citra sosial ini memiliki
hubungan dengan norma-norma dan sistem nilai yang berlaku dalam
masyarakat, tempat dimana perempuan menjadi anggota dan berhasrat
mengadakan hubungan antarmanusia. Kelompok masyarakat tersebut
termasuk kelompok dalam keluarga dan masyarakat luas. Melalui
hubungannya dengan masyarakat sosial, dapat terlihat bagaimana cara
perempuan tersebut menyikapi sesuatu dan menjalin hubungannya de ngan
4. 4
sesama, serta pada sisi lain perempuan selalu membutuhkan orang lain
untuk melangsungkan kehidupannya” (Sugihastuti, 2000: 43).
Pembahasan terkait esensi dan eksistensi dalam kajian feminisme filsafati
tidak terlepas dari citra sosial perempuan yang menggambarkan model ideal
perempuan pada era dan tempat tertentu. Hal tersebut disebabkan oleh perempuan
dalam mengambil keputusan dapat terpengaruh oleh lingkungan yang memiliki
citra sosial perempuan. Akibatnya, perempuan dapat terbawa arus mengikuti trend
citra sosial perempuan di sekitarnya meskipun perempuan sebenarnya belum tentu
ingin menjalani kehidupan sesuai citra sosial perempuan yang ditirunya.
Persoalan tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang bertidak serta
mengambil keputusan karena pengaruh citra sosial, maka perempuan tersebut
belum sepenuhnya bereksistensi seperti diungkapkan Simone de Beauvoir (1908-
1986). Buku The Ethics of Ambiguity karya Simone de Beauvoir yang menuliskan
bahwa manusia hidup di dunia mengalami ambiguitas, yaitu ketidakpastian
sehingga manusia harus mencapai kepastian berupa esensi. Perempuan dalam hal
ini harus berhasil membawa diri dengan mengambil keputusan dan melakukan
sesuatu tanpa tekanan dari luar. Perempuan yang berhasil mencapai esensinya
dengan menentukan pilihan secara bebas dan sadar, berarti dapat melengkapi
eksistensi dalam mengekspresikan semangat feminisme (Beauvoir, 1948: 7).
“Mona Lisa Smile”, sebuah film karya Mike Newell yang menceritakan
kisah perwujudan semangat feminisme di Amerika Serikat pascaperang Dunia II.
Cerita dalam film “Mona Lisa Smile” yang kaya akan ekspresi feminisme
memberikan alasan penting film “Mona Lisa Smile” menjadi satu materi diskusi
ataupun kajian ilmiah dalam bidang feminisme. Banyaknya wujud feminisme
5. 5
dalam film “Mona Lisa Smile” yang ditampilkan melalui tokoh utama,
memberikan pesan penting bagi perempuan di berbagai wilayah. Salah satu pesan
penting untuk perempuan yaitu bereksistensi dengan menyertakan esensi yang
dicapai setelah melalui proses perjuangan mewujudkan semangat feminisme.
Pesan penting dari film “Mona Lisa Smile” pun sesuai dengan teori feminisme
eksistensial Simone de Beauvoir (1908-1986).
Objek formal penelitian ini ialah teori feminisme eksistensial Simone de
Beauvoir (1908-1986). Simone de Beauvoir menjelaskan banyak hal berkaitan
dengan teori feminisme eksistensial. Penelitian ini menganalisis objek material
dengan menggunakan salah satu bagian dari teori feminisme eksistensial Simone
de Beauvoir yang fokus pada penjelasan tentang eksistensi dan esensi
sebagaimana terdapat dalam buku The Ethic of Ambiguity dan The Second Sex.
Wujud ekspresi feminisme berupa suatu karya film yang dibuat dengan
tujuan tertentu, menggambarkan dinamika perkembangan feminisme melalui
rangkaian cerita dalam sebuah film. “Mona Lisa Smile” merupakan film
bertemakan feminisme yang menayangkan jalan cerita menarik perihal peran dan
pilihan perempuan. Penelitian ini menjadikan alur cerita dalam “Mona Lisa
Smile” sebagai objek material dengan mengkaji karakter sejumlah tokoh film
yang dikaitkan dengan nuansa kultural kota Wellesly, New England, Amerika
Serikat.
Teori yang digunakan untuk menganalisis objek material penelitian ini
yaitu feminisme eksistensialis Simone de Beauvoir (1908-1986) yang memandang
perempuan harus menyadari keberadaannya dengan memperlakukan dirinya
6. 6
secara sadar, membuktikan eksistensinya karena proses mencapai eksistensi
merupakan satu tujuan mendapatkan esensi diri yang dimiliki oleh setiap orang,
tidak peduli laki-laki atau perempuan.
Sejumlah tokoh dalam film “Mona Lisa Smile” memiliki karakter
berbeda-beda dalam mengekspresikan semangat feminisme, telah
mengkasifikasikan mereka ke dalam berbagai aliran feminisme tertentu. Ragam
wujud aliran feminisme pun dapat terlihat jelas melalui permainan masing-masing
tokoh film “Mona Lisa Smile”. Setiap tokoh film “Mona Lisa Smile” memiliki
cara masing-masing dalam menunjukkan eksistensi diri dan mencapai subjek
esensial.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana teori feminisme eksistensial Simone de Beauvoir?
b. Bagaimana inti cerita film “Mona Lisa Smile”?
c. Apa makna filosofis dalam cerita film “Mona Lisa Smile” dalam perspektif
feminisme eksistensial Simone de Beauvoir?
3. Keaslian Penelitian
Penulis selama proses pengerjaan penelitian telah menemukan sejumlah
penelitian dalam format skripsi berkaitan dengan film “Mona Lisa Smile” yang
menggunakan beragam sudut pandang berbeda-beda dalam mengkaji perihal
perempuan. Berikut beberapa judul skripsi yang meneliti perihal perempuan
melalui film “Mona Lisa Smile”.
a. Diskursus Analisis Kritis Bias Gender dalam Film “Mona Lisa Smile” oleh
Fisma Faradila, 2008, Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Fakutas
7. 7
Humaniora dan Budaya Universitas Islam Negeri Malang. Skripsi ini
menganalisis bentuk diskriminasi oleh kaum laki-laki terhadap kaum
perempuan dalam film “Mona Lisa Smile”. Bentuk diskriminasi tersebut
terlihat pada jenis bahasa yang diucapkan oleh pemeran utama film “Mona
Lisa Smile”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan
menggunakan metode pengumpulan data dengan menyaksikan keseluruhan
film “Mona Lisa Smile”, kemudian peneliti membuat daftar bahasa dari
dialog “Mona Lisa Smile” yang mengindikasikan bias gender. Uraian
tersebut menunjukkan bahwa penelitian Fisma Faradila tergolong ke dalam
penelitian kritik sastra, sehingga berbeda dengan penelitian feminisme
filsafati.
b. Analisis Tindakan Bahasa dalam Film “Mona Lisa Smile” oleh Sahroni,
2012, Universitas Pamulang. Skripsi ini menjadikan film “Mona Lisa
Smile” sebagai objek material penelitian dan Filsafat bahasa sebagai objek
formal penelitian. Peneliti memberikan perhatian pada kajian pragmatis
dalam penggunaan tindak tutur serta menganalisis arti dan contoh ilokusi di
dalam karya sastra film “Mona Lisa Smile”. Teori-teori yang digunakan
untuk menganalisis kajian ini adalah teori Yan Huang dan Cruse. Penelitian
ini bertujuan menjelaskan contoh ilokusi dan arti dari ilokusi dalam ucapan
pemeran film “Mona Lisa Smile”. Peneliti menggunakan kajian kualitatif
untuk menganalisis data, seperti menganalisis arti dari ilokusi yang
ditemukan pada dialog selamat, ucapan terimakasih, penawaran,
permohonan, ancaman, penolakan, deklarasi, rasa bersalah, kesimpulan,
8. 8
permintaan maaf, nasihat, dan bentuk janji. Penelitian Sahroni tersebut
menunjukkan bahwa objek formal yang digunakan ialah Filsafat bahasa,
sehingga berbeda dengan objek formal feminisme meskipun keduanya
masih termasuk dalam kajian filsafat.
c. Refleksi Semangat Feminisme dalam Pemeran Utama Film “Mona Lisa
Smile”: Kajian Feminisme dalam Masyarakat Patriarki oleh Widya Ivani
Putri, 2011, Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Humaniora Universitas
Diponegoro. Penelitian ini menganalisis sebagian besar unsur intrinsik dan
ekstrinsik film “Mona Lisa Smile” secara cukup rinci. Penelitian ini
merefleksikan semangat feminisme terutama pada pemeran utama yaitu
Katherine Watson yang berjuang mengubah pola pikir konservatif dan
patriarkis di Wellesley College. Penelitian ini mengkaji sebatas pada unsur-
unsur film dan semangat feminisme pada pemain utama, tidak
menggolongkan pemeran utama ke dalam beberapa aliran feminisme.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa penelitian Ivani Putri menganalisis
film “Mona Lisa Smile” menggunakan kajian feminisme, tetapi hanya
terbatas pada satu pemeran utama. Berbeda dengan penelitian ini yang
menganalisis sejumlah karakter pemeran dalam film melalui perspektif
Feminisme Eksistensial Simone de Beauvoir (1908-1986).
Penelitian ini menganalisis perwujudan semangat feminisme dalam
sejumlah tokoh film “Mona Lisa Smile”. Penelitian ini bertujuan pada analisis
filosofis terhadap tantangan perempuan Wellesley dalam menunjukkan eksistensi
diri dan mencapai esensi sebagaimana diungkapkan oleh Simone de Beauvoir
9. 9
(1908-1986). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian lain juga dapat dilihat
dari teori yang digunakan untuk menganalisis objek material, karena penelitian
yang bernuansa filosofis ini tentu berbeda dengan kajian feminisme bidang ilmu
lain.
Hal tersebut sebagaimana diketahui bahwa feminisme tidak hanya
dipelajari dalam ranah Filsafat, tetapi juga Sastra, Antropologi, dan Sosiologi.
Kajian Sastra Feminis cenderung menganalisis objek sasaran feminisme
menggunakan pilihan kata dan gaya bahasa pengarang dalam karya sastra tertentu.
Kajian Sosiologi Feminis lebih memandang peran perempuan dalam struktur
sosial di lingkup publik. Kajian Antropologi Feminis fokus pada analisis peran
perempuan yang dipengaruhi oleh ikatan nilai serta budaya di sekitarnya. Kajian
Feminisme dalam ranah filsafat menitikberatkan pada hal-hal hakiki yaitu fokus
pada akar atau hakikat feminisme sebagaimana bereksistensi dengan esensi yang
berarti mengambil peran dengan tetap memiliki tujuan dan prinsip berdasarkan
keputusan otonomnya, tidak terpengaruh oleh trend ataupun dengan keterpaksaan.
Kajian feminisme dalam ranah filsafat memandang posisi perempuan
dalam mengambil keputusan dan melakukan tindakan secara mendasar sesuai
prinsip esensial gerakan feminisme. Penelitian berjudul Tinjauan Feminisme
Eksistensialis dalam Film “Mona Lisa Smile” adalah penelitian orisinal, karena
secara substansial berbeda dengan penelitian lain yang juga menggunakan film
“Mona Lisa Smile” sebagai objek material penelitian.
10. 10
4. Manfaat Penelitian
a. Bidang Ilmu dan Pengetahuan
Penelitian ini dapat menambah ragam metode belajar, bahwa
mempelajari sesuatu yang bersifat ilmiah tidak selalu identik dengan cara
formal seperti membaca buku ataupun penelitian lapangan. Belajar dan
mengkaji gejala sosial dapat dilakukan dengan menonton film berkualitas baik
yang memiliki unsur ilmiah di dalamnya. Dengan begitu mempelajari sesuatu
dapat dilakukan dalam suasana relatif santai, tetapi tetap mendapatkan ilmu
dan pengetahuan.
b. Bidang Ilmu Filsafat
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi bidang ilmu Filsafat,
khususnya bagi kajian studi feminisme. Hasil analisis filosofis dalam penelitian
ini dapat menjadi salah satu referensi dan bahan diskusi berkaitan dengan
gejala feminisme baik pada masa lalu maupun masa kini, baik dalam konteks
Indonesia maupun luar Indonesia. Film “Mona Lisa Smile” memuat sejumlah
dialog bermakna filosofis yang mengandung pesan bijaksana. “Mona Lisa
Smile” yang juga menampilkan sisi sejarah perkembangan feminisme di
Amerika Serikat pascaperang dunia kedua, dapat memberikan gambaran bagi
kelompok studi feminisme ketika mendiskusikan situasi gerakan feminisme
kala itu.
c. Bidang Pembangunan Bangsa dan Negara
Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa
dan negara, khususnya dalam pembangunan karakter feminis perempuan
11. 11
Indonesia. Penelitian ini menguraikan cerita film “Mona Lisa Smile” yang
menyampaikan banyak pesan mengenai penerapan semangat feminisme
dikaitkan dalam konteks pembangunan bangsa dan negara.
B. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan teori feminisme eksistensial Simone de Beauvoir.
2. Menguraikan inti cerita film “Mona Lisa Smile”.
3. Menganalisis makna filosofis dalam cerita film “Mona Lisa Smile” dalam
perspektif feminisme eksistensial Simone de Beauvoir.
C. Tinjauan Pustaka
Perempuan merupakan sesuatu yang selalu menarik untuk dikaji, baik dari
segi eksistensi, karakteristik, maupun problematikanya, yang selalu timbul seiring
dengan perkembangan masyarakat. Perempuan tidak mudah bagi untuk keluar
dari kondisi kontruksi sosial, psikologis maupun teologis yang sudah terbentuk.
Seiring dengan perkembangan zaman konsep jati diri perempuan makin
menunjukan kematangan dan kedewasaan, yang mengacu pada kehendak
partisipasi untuk merobohkan kontruksi pemikiran, perempuan selalu menjadi apa
yang disebuat Gusti Kanjeng Ratu Hemas (1992: 1) sebagai Dewi, yang selalu
dibela, tidak dapat mandiri, selalu dalam ketergantungan dan berfungsi sebagai
penjaga rumah dengan segala isinya, serta menjadi pelengkap dan pemanis dalam
interaksi sosial kemasyarakatan.
Orang masih mempunyai pandangan bahwa perempuan dan
ketergantungan merupakan dua pengertian yang sangat erat menyatu (Murniati,
2004: 102). Perempuan dalam kedudukan sebagai ibu rumah tangga dan istri
12. 12
tergantung pada suami, sosial, perbedaan kelas, serta adat istiadat. Usaha
kemandirian perempuan bukanlah hal baru dalam kehidupan masyarakat, yang
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masih harus bergulat dengan kejamnya
alam (Hemas, 1992: 54).
Film merupakan sebuah media yang menyajikan cerita, peristiwa, musik,
drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Film sebagai
media massa juga merupakan satu bentuk teks kultural dimana d i dalam film
tersebut direkam kejadian sesuai dengan keadaan pada saat itu, seperti budaya
yang ada pada tahun 1980-an digambarkan dengan pakaian yang berwarna cerah,
tema film yang diangkat mengarah ke percintaan mahasiswa, simbol-simbol itulah
yang dianggap sebagai cultural text. Film memiliki predikat sebagai gender
regime yakni bentuk pengkelasan hal yang sama namun di tempat yang berbeda,
misalnya ialah perempuan digambarkan sebagai seorang yang berkuasa di sekolah
namun ketika digambarkan di rumah justru menjadi anak yang penurut (Nugroho,
2002: 4 dan 13).
Film sebagai media komunikasi yang merepresentasikan realitas
kehidupan sering pula dipahami sebagai sebuah teks seperti dikemukakan Roland
Barthes (1915-1980) karena di dalamnya terkandung tanda, kode, atau bahasa.
Teks di sisni bukan sekadar sebagai naskah, tetapi jalinan atau rangkaian tanda-
tanda yang mengandung makna, dengan mengaitkan pada orang yang
memanfaatkannya serta realitas eksternal yang dijadikan titik acuan teks dan
pemakainya (Prasetyo, 2001, 44).
13. 13
Perkembangan film tidak terlepas dari aspek produksi, distribusi, dan
konsumsi. Film menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan kajian
teknis lainnya kepada masyarakat umum. Produksinya film pada dasarnya
merupakan proses pengalihan dari bahan mentah menjadi sebuah produk melalui
pengaplikasian perangkat keras dan faktor manusia. Produksi film ini akan
berkaitan dengan keseluruhan konteks sosial yang melingkupinya. Konteks sosial
ini yang akan memengaruhi produksi film, sehingga ide cerita film biasanya
berasal dari kejadian sehari-hari, pengalaman pembuat, serta sistem intelektual
mereka sebagai bagian dari aspek keberadaan manusia (Herman, 1975: 10).
Film “Mona Lisa Smile” menampilkan situasi pada tahun 1953 di New
England, Amerika Serikat. “Mona Lisa Smile” dibuat dengan tujuan agar
pasangan yang berpisah setelah Perang Dunia II dapat bersatu kembali.
Munculnya ekonomi global menimbulkan lebih ba nyak orang yang lebih kaya
daripada sebelum masa perang dan 'tidak cukup anak, tidak cukup dewasa', yang
masih tinggal di rumah, banyak remaja memiliki waktu lebih bebas dibandingkan
sebelum perang. Ledakan media massa dalam bentuk televisi, majalah dan musik
pop memicu pertumbuhan besar pasar komersia l. Produser film “Mona Lisa
Smile” Elaine Goldsmith-Thomas mengatakan: "Kostum dalam film ini adalah
sebuah metafora untuk cerita, dasar dan korset mendikte ideal feminin yang
didefinisikan tahun 1950-an (Robert, 2004: 11).
Tuntutan akan hak-hak perempuan pada 1953 di seluruh dunia telah
marak, tetapi di Amerika Serikat masih ada kerusuhan sipil karena bentuk lain
dari ketimpangan: rasisme dan pemisahan. Hukum sebelum sampai 1965,
14. 14
melarang segregasi kulit putih dan kulit hitam. Film “Mona Lisa Smile” memuat
karakter etnis yang terlihat oleh ketidakhadiran mereka (Robert, 2004: 4). Hal
tersebut ditunjukkan dalam satu adegan film pada bagian ketika Katherine Watson
mengobrol dengan seorang pegawai Wellesley College. Pegawai tersebut
mengatakan bahwa tidak semua pejabat Wellesley menginginkan pengajar baru di
Wellesley College, tetapi karena Katherine Watson adalah satu-satunya pelamar
kulit putih dan pelamar lain orang kulit hitam maka Katherine diterima mengajar
di Wellesley College.
Film “Mona Lisa Smile” menampilkan perempuan Wellesley yang
mendapatkan pelajaran tata cara mempersiapkan makan malam untuk bos suami
mereka. Hal itu menunjukkan, ilmu-ilmu tradisional telah menempatkan 'laki-laki'
sebagai subjek (Robert, 2004: 7). Film “Mona Lisa Smile” menarik menjadi
bahan diskusi dan kajian filosofis karena menampilkan semangat dan nilai-nilai
feminisme melalui karakter sejumlah tokoh dalam film. “Mona Lisa Smile” pun
menampilkan sejumlah pemeran utama peraih penghargaan film Academy Award
yaitu Julia Roberts.
Penggambaran gender dalam media telah memunculkan dua wacana
diskriminatif dan tendensius. Pertama, perempuan didefinisikan melalui tubuh,
anggota tubuh, serta hubungan fisiknya dengan makhluk lain. Kedua, perempuan
adalah pasif dan agen untuk selalui dikenai tindakan. Dua wacana tersebut secara
simbolis dan historis menghapus jejak partisipasi dan pencapaian perempuan
dalam lingkup publik (Baliey, 1995: 33).
15. 15
Impian perempuan pada masa setelah Perang Dunia II bukan mengejar
karier dan pekerjaan, tetapi menikah, mempunyai anak yang banyak dan tinggal di
suburban dengan rumah yang indah. Betty Freidan dalam buku berjudul The
Feminine Mystique, Bab I menjelaskan bahwa setelah PD II muncul the American
Dream yang dimunculkan oleh media massa. Impian yang disamaratakan untuk
seluruh perempuan sebenarnya adalah bentuk pengekangan terhadap eksistensi
perempuan, karena mereka hanya dijadikan objek. Perempuan banyak yang
termakan oleh konstruksi yang dibangun berdasarkan pemikiran laki-laki.
Perempuan ingin menjadi “perempuan” yang mereka lihat di televisi dan
media cetak, tetapi ketika mereka mencapai tahap dimana mereka memiliki
banyak anak, suami yang mapan dan rumah yang indah maka mereka merasa
tidak menjadi diri sendiri (Freidan, 1995: 48). Hal tersebut sejalan dengan teori
feminisme eksistensial Simone de Beauvoir (1908-1986) yaitu perempuan juga
memiliki kesempatan untuk mencapai esensi setelah bereksistensi, artinya jika
perempuan meniru model ideal seperti perempuan di media masa maka
perempuan belum mendapatkan esensinya.
Eksistensialisme seorang perempuan menjadi terkekang dan hilang karena
dibatasi oleh laki-laki. Teori yang disebutkan sebelumnya menjelaskan bahwa
perempuan mendapat opresi atau tekanan dari laki-laki karena laki-laki ingin terus
menjadi superior untuk tetap mempertahankan diri, sehingga Liyan perempuan
hanya dijadikan objek. Hal itu juga didukung oleh pendidikan, institusi, keluarga,
dan masyarakat yang menganut pola pikir patriarki. Seorang perempuan pada
16. 16
akhirnya tidak dapat keluar dari persoalan dalam dirinya karena pola pikir
patriarkis mengekangnya untuk menjadi berbeda (Dewi, 2011: 8).
Beauvoir berpendapat bahwa tidak ada manusia yang dilahirkan sebagai
perempuan. Seseorang dianggap sebagai perempuan karena proses yang
dijalaninya bukan suratan biologis, psikologis, atau ekonomis yang menentukan
sosok manusia perempuan ada dalam masyarakat. Peradaban sebagai satu
kesatuanlah yang melahirkan perempuan, di tengah kejantanan dan impotensi
yang digambarkan sebagai feminin (Beauvoir, 2003: 3).
Simone de Beauvoir (1908-1986) memulai pertanyaan dalam memulai
diskusinya mengenai “Apa itu perempuan?” pada umumnya orang akan
menjawab “perempuan adalah rahim kandungan”. Definisi tersebut merujuk pada
fungsi biologis perempuan yang membedakan perempuan dengan laki-laki.
Beauvoir dalam buku The Second Sex bab II menjelaskan secara lugas gambaran
proses reproduksi serta fungsi biologis laki-laki dan perempuan, kemudian
Beauvoir menjadikan penjelasan tersebut sebagai dasar dalam pembentukan
definisi kedua jenis kelamin.
Perempuan memiliki rahim, uterus, dan ovarium sementara laki-laki
memiliki sperma dan penis. Perempuan dan laki-laki dalam melestarikan
keturunannya melakukan hubungan seksual. Laki-laki mengeluarkan sperma dari
penis, kemudian sperma mengalir ke dalam uterus yang menjadi tempat ovum
menunggu untuk dibuahi. Fakta alamiah tersebut menunjukkan bahwa posisi alat
reproduksi perempuan pasif, sementara laki-laki aktif karena perempuan
17. 17
menunggu untuk dibuahi sementara laki-laki aktif bergerak (Beauvoir, 1949: 16-
17).
D. Landasan Teori
Feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat
keperempuanan. Feminisme secara umum merupakan gerakan perempuan untuk
menuntut dan menegakkan hak-hak yang selayaknya mereka dapatkan.
Feminisme adalah gerakan berbeda baik secara kultural maupun historis. Tujuan
dan gerakan feminisme pun mendapatkan dukungan masyarakat seluruh dunia
(Gamble, 2010: 297). Gerakan feminisme adalah gerakan transformasi sosial,
artinya suatu gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka
mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang
adil bagi perempuan maupun laki-laki (Nugroho, 2011: 31).
Feminisme eksistensialis Simone de Beauvoir (1908-1986) berangkat dari
kesadaran tentang budaya patriarki yang tidak memberikan keuntungan bagi
perempuan. Perempuan tidak mendapatkan hak secara adil sebagaimana diperoleh
laki-laki. Beauvoir mengkritik bahwa setiap orang, tidak peduli laki-laki atau
perempuan lahir tanpa esensi. Perempuan dan laki-laki harus berusaha
mendeskripsikan subjektivitas diri masing-masing.
Manusia selama berproses mendeskripsikan diri, kesempatan yang
diterima perempuan dan laki-laki haruslah sama. Beauvoir (1908-1986) dalam
The Ethics of Ambiguity menyatakan bahwa setiap orang sepenuhnya milik
18. 18
dirinya sendiri. Orang lain dapat menasihati seseorang, tetapi tidak satu pun dari
mereka yang menasihati mampu menunjukkan kekuasaannya (Martin, 2003: 32).
Simone de Beauvoir (1908-1986) berusaha mencari jawaban mengapa
laki-laki sampai dinamai Diri sedangkan perempuan Liyan. Beauvoir kemudian
berspekulasi bahwa dengan memandang dirinya sebagai subjek yang mampu
mempertaruhkan nyawanya dalam pertempuran, laki-laki memandang perempuan
sebagai objek yang hanya mampu memberi kehidupan (Rollins, 1996: 48).
Pergerakan feminisme eksistensialis memang bukan merupakan sebuah
pergerakan besar, tetapi tokoh-tokoh feminisme eksistensialis berperan besar
dalam menyadarkan perempuan menemukan jati diri mereka. Beauvoir
berpendapat bahwa melalui karya sastra dapat terlihat bukti laki-laki menguasai
perempuan dan menciptakan mitos itu sebagai refleksi akurat dari makna menjadi
perempuan.
Simone de Beauvoir (1908-1986) berangkat dari pemikiran being for
others, mencetuskan pemikiran mengenai women’s power yang mengobarkan
semangat kaum perempuan agar bangkit dan tidak terus-menerus menjadi liyan
bagi laki-laki, tetapi perempuan pun harus dapat menempatkan diri sebagai diri.
Beauvoir berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki yang lahir tanpa esensi,
oleh sebab itu perempuan tidak harus menjadi objek bagi laki-laki yang
menjadikan keinginan laki-laki terwujud. Perempuan dapat menjadi subjek, dapat
terlibat dalam kegiatan positif di dalam masyarakat. Perempuan sebagaimana laki-
laki, lebih merupakan subjek dibandingkan objek, dengan begitu sudah saatnya
laki-laki menyadari fakta ini (Tong, 2006: 273-274).
19. 19
Konsep Jean Paul Sartre (1905-1980) yang paling dekat dengan feminisme
adalah etre pour les autres. Ini adalah filsafat yang melihat relasi-relasi
antarmanusia. Sayangnya, relasi antara perempuan dengan laki-laki menunjukkan
bahwa laki-laki mengobjekkan perempuan dan memandang perempuan sebagai
the other. Laki-laki mendapatkan sebutan self, sedangkan perempuan the other.
Akibatnya timbul suatu kesan apabila laki-laki ingin bebas maka harus
mengsubordinasi perempuan, sehingga posisi perempuan pun terancam oleh laki-
laki.
E. Metode Penelitian
1. Model Penelitian
Model penelitian filsafat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
historis faktual mengenai naskah atau buku yang ditampilkan dalam bentuk film
populer. Naskah berupa dialog dalam film menjadi objek material penelitian.
Naskah dan film tidak dipandang dalam sudut pandang nilai sastra, atau menurut
arti politis atau budaya, tetapi dipandang sejauh mengandung visi mengenai
hakikat manusia, dunia, dan Tuhan (Bakker dan Charris Zubair, 1990: 67).
Hal tersebut sebagaimana objek material penelitian yaitu cerita dalam film
“Mona Lisa Smile” yang dianalisis secara filosofis, tidak dianalisis menggunakan
kajian kritik sastra, feminisme sosiologi, ataupun antropologi feminis. Selain itu,
analisis penelitian ini mengarah pada pembahasan terkait hakikat eksistensi
perempuan yang selama hidupnya berupaya mencapai esensi dengan melibatkan
subjek otonom sebagaimana diungkapakan oleh Simone de Beauvoir (1908-
1986). Beauvoir pun dalam mengemukakan teori feminisme eksistensial tergolong
20. 20
memiliki pemikiran filosofis karena Beauvoir memulai diskusi perihal perempuan
dengan mempertanyakan definisi perempuan secara hakiki. Dengan begitu, teori
feminsime eksistensial Beauvoir dapat digunakan untuk menganalisis objek
material secara filosofis.
2. Bahan dan Materi Penelitian
Bahan dan materi penelitian berfungsi sebagai sumber penting dalam
pengambilan data. Proses pengambilan data didapatkan dengan memahami isi
cerita film “Mona Lisa Smile” serta naskah yang digunakan dalam dialog film
“Mona Lisa Smile”, selain itu, dilakukan studi pustaka pada buku, jurnal, majalah,
ataupun koran yang mengulas film “Mona Lisa Smile”. Penelitian kepustakaan ini
menggunakan bahan dan materi penelitian melalui penelusuran pustaka yang
membahas tema terkait objek formal dan objek material penelitian yaitu sumber
pustaka yang mengulas film “Mona Lisa Smile” serta membahas teori feminisme
eksistensial Simone de Beauvoir (1908-1986). Bahan dan materi penelitian terdiri
dari dua bagian yaitu sebagai berikut.
a. Sumber Primer
1) Film “Mona Lisa Smile” karya Mike Newell.
2) Naskah Film “Mona Lisa Smile” karya Lawrence Konner dan Mark
Rosenthal.
3) Buku Study Guide Film Education Film “Mona Lisa Smile” karya
Rachel Robert.
21. 21
b. Sumber Sekunder
1) Skripsi yang berkaitan dengan tema penelitian ini dan menggunakan
objek material serta objek formal penelitian serupa dengan penelitian
ini.
2) Buku, artikel, karya ilmiah, surat kabar, jurnal, dan media jenis lain
yang mengulas film “Mona Lisa Smile” dan kajian feminisme
eksistensial.
3. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ialah
menonton keseluruhan film “Mona Lisa Smile” sejak awal hingga akhir.
Setelah selesai menonton film, bagian-bagian cerita film diklasifikasikan
sesuai urutan pertama hingga terakhir. Penulisan bagian-bagian cerita
tersebut, apabila ada hal penting yang menjadi bahan analisis maka langsung
dicatat agar ketika proses analisis data berlangsung dapat dilakukan secara
rinci. Penulisan pembagian cerita selesai, mulai lah disusun draft cerita dalam
film sesuai Bab III yaitu penokohan, setting, alur, dan konflik dalam film
“Mona Lisa Smile”.
4. Jalan Penelitian
Jalan penelitian ini melalui beberapa tahap secara berurutan dan
sistematis. Pertama, peneliti mempersiapkan keperluan alat, bahan, dan
materi penelitian seperti buku, majalah, surat kabar, jurnal, ataupun karya
tulis lain yang mengulas film “Mona Lisa Smile” dan teori fem inisme
eksistensial Simone de Beauvoir (1908-1986). Kedua, peneliti melakukan
22. 22
penelitian dengan menonton film “Mona Lisa Smile” secara cermat dan
menyeluruh sembari mencatat poin-poin penting yang menjadi acuan untuk
menjawab rumusan masalah penelitian. Ketiga, peneliti melakukan analisis
serta pengklasifikasian data yang didapatkan dari hasil menonton film
sembari mencocokkan dengan referensi ilmiah yang memuat kutipan atau
pernyataan pendukung hasil analisis. Keempat, seluruh data yang telah
dianalisis sesuai klasifikasi kemudian dianalisis lagi secara utuh. Kelima,
seluruh data yang telah dianalisis kemudian dibaca ulang agar kekurangan
dan kesalahan penulisan baik secara teknis maupun substansial dapat segera
diperbaiki. Keenam, hasil penelitian kemudian disimpulkan dan seluruh
bagian penelitian disusun sesuai format penulisan skripsi S1 Ilmu Filsafat
Universitas Gadjah Mada.
5. Teknik Pengolahan Data
Model analisis data dalam penelitian ini merujuk pada buku Metodologi
Penelitian Filsafat karangan Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair
(1994) dengan metode Hermeneutika Filosofis menggunakan unsur-unsur
metodis sebagai berikut:
a. Deskripsi
Seluruh hasil penelitian dibahasakan agar menjadi kesatuan
mutlak antara bahasa dan pikiran seperti halnya antara badan dan jiwa.
Sebagaimana dalam ilmu sosial diberikan pendekripsian kasus
konkret, demikian juga dalam penelitian filsafat disajikan deskripsi
23. 23
objek, kasus, dan situasi secara cermat agar pembahasan dalam
penelitian dapat dipahami dengan jelas (Bakker, 1994: 54).
b. Interpretasi
Setiap penelitian dalam pelaksanaannya melibatkan peneliti
berhadapan dengan kenyataan yang dapat berupa fakta, peristiwa,
ataupun data. Peneliti harus berupaya menginterpretasikan arti, nilai,
makna pada tiga kenyataan tersebut karena filsuf tidak hanya
memahami sesuatu dari sisi biologis dan ekonomis, tetapi juga sisi
estetis, filsafat sosial, religius, dan filsafat moral (Bakker, 1994: 42).
c. Refleksi
Metode analisis reflektif dalam kajian filsafati tidak terbatas
pada studi antropologi, sosiologi, ataupun historis. Metode refleksi ini
menganalisis persoalan secara filosofis yakni sejauh berhubungan
langsung dengan hakikat manusia menurut pemahaman dan keyakinan
pribadi. Peneliti dapat membentuk konsepsi pribadi tentang manusia,
dunia, dan Tuhan, meneliti struktur dan norma yang lebih dasariah
dibandingkan yang dapat dicapai metode ilmu eksata serta ilmu sosial
(Bakker, 1994: 97-99).
24. 24
F. Hasil Yang Dicapai
1. Deskripsi teori feminisme eksistensial Simone de Beauvoir.
2. Deskripsi film “Mona Lisa Smile” sebagai satu alternatif dalam studi
ataupun diskusi terkait tema feminisme.
3. Menemukan makna filosofis dalam cerita film “Mona Lisa Smile”
dalam perspektif feminisme eksistensial Simone de Beauvoir.
G. Sistematika Penulisan
BAB I:
Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan
sistematika penulisan.
BAB II:
Bab II berisi pembahasan objek formal penelitian yaitu
mendeskripsikan teori feminisme eksistensial Simone de Beauvoir.
BAB III:
Bab III berisi pembahasan objek material penelitian yang meliputi
uraian inti cerita “Mona Lisa Smile” dengan menuliskan latar belakang
pembuatan film, penokohan, setting, alur, dan konflik film “Mona Lisa
Smile”.
25. 25
BAB IV:
Bab IV berisi analisis filosofis film “Mona Lisa Smile” ditinjau
melalui teori feminisme eksistensial Simone de Beauvoir.
BAB V:
Bab V berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran terkait
dengan relevansi pesan feminisme dalam film “Mona Lisa Smile” dengan
perwujudan nyata semangat feminisme perempuan.