Tulisan ini mengulas film Eat, Pray, Love yang diangkat dari novel berjudul sama karya Elizabeth Gilbert. Film ini menceritakan perjalanan spiritual sang penulis setelah bercerai untuk menemukan makna hidup dengan mengunjungi Italia, India, dan Bali. Di setiap negara, sang penulis belajar tentang cinta akan hidup dan diri sendiri.
1. Mengkaji Lebih Dalam Film “Eat, Pray, Love”
Eat, Pray, Love (EPL), mungkin bukan film
terbaik bagi pribadi Julia Roberts, tapi bisa
jadi ini film Julia Roberts yang terbaik bagi
orang Indonesia. Alasannya jelas, film ini
sebagian dibuat di negeri kita, atau lebih
tepatnya di Bali. Tulisan ini berusaha untuk
melihat lebih dalam film ini…
Seperti yang kita tahu, film ini diangkat dari
Novel yang berjudul sama tulisan Elizabeth
Gilbert. Novel yang terbit tahun 2006 ini Ketut Liyer
sempat menjadi best seller yang terjual lebih
dari 7 juta kopi. Dan dari 5 novel yang sudah ditulis oleh Liz (panggilan untuk Elizabeth Gilbert
dalam film ini), novel ini merupakan kisah nyata dari pengalaman hidupnya sendiri. Tak heran,
jika dalam film ini juga banyak berisi tentang falsafah hidup yang memang mempengaruhi arah
hidup si penulis.
Di awal film EPL ini, kita semacam ditunjukkan bahwa ketika hidup telah berjalan dengan lancar
seperti yang kita cita-citakan, ternyata itu belum tentu memuaskan kita. Sebagai contoh, ketika
Liz (diperankan oleh Julia Roberts) berumur 30-an tahun, dia sudah mempunyai segalanya.
Pendidikan, karir, rumah uang dan juga suami sudah ia punya. Bisa dibilang, hidupnya
sempurna. Namun di tengah kondisi “zona nyaman”-nya ini, dia merasa ada yang hilang,
tepatnya ada yang kosong dalam dirinya. Ada keresahan yang membayanginya yang dia sendiri
kurang jelas apa penyebabnya.
Iya, Liz sendiri memang kurang jelas apa yang dia resahkan. Mungkin, yang paling jelas baginya
adalah dia nggak merasa bahagia dengan hidupnya. Dan dia rela melepas semua yang sudah ada
di tangannya, demi mencapai apa yang membuat dia resah itu. Hal ini bisa dilihat ketika dia
memutuskan untuk pergi dari negaranya untuk berkelana ke 3 negara. Bahkan ketika dia harus
memutuskan untuk bercerai dengan suaminya, dia juga rela semua hartanya menjadi hak bagi
suaminya.
Liz memutuskan untuk menghabiskan satu tahun ke depan untuk berkunjung ke 3 negara
(masing-masing 4 bulan) yaitu ke Italia, India dan Indonesia (Bali). Ketiga negara ini dipilih
tentu juga ada alasannya. Italia, dipilih karena alasan kuliner. Perlu diketahui bahwa salah satu
yang Liz resahkan tentang dia sendiri adalah hilangnya nafsu makan, makanya dia ingin
mengembalikan nafsu makannya. India, dipilih karena dia tertarik dengan cerita salah satu teman
prianya (David) yang bercerita tentang guru spiritualnya di India. Sedangkan Bali, dipilih karena
ketika dulu dia pernah ke sana, dia pernah diramal oleh seorang dukun (medicine man). Nah
ternyata, sedikit banyak, ramalannya itu terbukti, makanya dia ingin kembali ke Bali.
Empat bulan di Italia, Liz benar-benar menikmati hidup di sana, terutama makanannya. Dia
nggak mau terpenjara oleh ketakutan akan gemuk atau sejenisnya. Yang penting menikmati
makanan yang ada. Bahkan di Italia ini, dia nggak sekadar belajar menikmati makanan, namun
2. dia juga belajar bagaimana menikmati hidup, menikmati waktu dan memanjakan diri. Dia baru
sadar bahwa orang Italia lebih tahu tentang ini semua (cara menikmati hidup).
Belajar bahasa Italia dan berkenalan dengan banyak teman adalah hal lain yang Liz lakukan di
Italia. Semua ini memberikan dia banyak pengalaman dan pelajaran hidup. Terutama ketika dia
bisa berada di dalam sebuah keluarga, dia benar-benar bisa menikmatinya.
India, negara kedua yang dia kunjungi. Kondisi negara yang jauh dari kata nyaman harus
dihadapi oleh Liz. Namun dia sadar bahwa tujuannya ke India adalah menata diri untuk masalah
spiritual. Dia menuju sebuah ashram atau padepokan agama Hindu. Ashram adalah tempat
menuntut ilmu bagi agama Hindu seperti halnya pondok pesantren di agama Islam. Dan perlu
diketahui bahwa kata ashram inilah yang akhirnya dalam bahasa Indonesia disebut asrama.
Di sini, dia bertemu dengan sesama warga Amerika yang bernama Richard (diperankan oleh
Richard Jenkins). Richard yang berasal dari Texas ini ternyata mempunyai masalah yang lebih
parah daripada Liz. Kondisi terpuruknya itulah yang akhirnya membawa Richard ke ashram ini.
Dan karena keduanya sama-sama mencari ketenangan jiwa di sini, akhirnya Liz dan Richard bisa
saling berbagi.
Terakhir, Liz pun kembali ke Bali. Dia langsung menemui sang dukun yang dulu pernah
meramalnya. Dukun itu adalah Ketut Liyer (diperankan oleh Hadi Subiyanto). Dan mungkin
karena terlalu banyak yang menjadi pasien Ketut, maka Ketut sempat lupa sama Liz. Namun
setelah Liz menceritakan kembali tentang dirinya, akhirnya Ketut kembali ingat tentang Liz.
Di Bali, Liz mencari tempat tinggal di mana ia bisa melakukan meditasi seperti yang ia pelajari
di India. Dan meski tujuan utamanya di Bali adalah bertemu Ketut, namun di sini dia juga
berkenalan dengan orang-orang lain yang di antaranya adalah seorang tabib wanita (healer) dan
seseorang asal Brasil yang kemudian jadi kekasihnya.
Tabib wanita yang dikenalnya ini bernama Wayan Nuriyasih (diperankan oleh Christine Hakim).
Dari Wayan inilah akhirnya dia mengenal lebih banyak orang di Bali sekaligus banyak mengerti
tentang budaya Indonesia khususnya Bali.
Lalu ada juga kejadian yang tak disangka yang akhirnya mengenalkan Liz dengan pengusaha
dari Brasil yang bernama Felipe (diperankan oleh Javier Bardem). Felipe mempunyai bisnis di
Bali dan sudah lama tinggal di Bali. Dan meski Felipe berstatus duda dan jauh lebih tua dari Liz,
tapi akhirnya mereka saling jatuh cinta. Liz pun menemukan cintanya di Bali.
Best Quotes
Seperti biasa saya selalu menyertakan kutipan-kutipan dialog dari film yang saya review.
Namun, karena film ini banyak didasari kejadian-kejadian filosofis yang dialami sang penulis,
maka kali ini kutipan yang saya ambil sedikit lebih banyak.
3. “Liz, having a baby is like getting a tattoo on your face. You kind of wanna be fully
committed.” Kutipan ini diucapkan saudara Liz yang baru saja mempunyai anak (bayi). Sebuah
kalimat yang sekadar mengingatkan kita bahwa mempunyai anak haruslah penuh perencanaan.
“Hello, God? Nice to finally meet you. I am sorry l‟ve never spoken directly to you before
but l hope l‟ve expressed my ample gratitude for all the blessings you‟ve given to me in my
life. I‟m in serious trouble. I don‟t know what to do. I need an answer. Please, tell me what
to do. Oh, God, help me, please. Tell me what to do and l‟ll do it.” Ini adalah doa yang
diucapkan Liz di tengah keresahannya. Mungkin karena selama ini dia “mengesampingkan”
Tuhan, dia akhirnya merasa ada yang hilang dalam dirinya meski hidupnya terlihat sempurna.
Dan di saat seperti itulah kebutuhan manusia akan Tuhan justru muncul.
“I‟m going to Italy and then l‟m going to David‟s guru‟s ashram in lndia and l‟m going to
end the year in Bali.” Inilah keputusan Liz ketika mau meninggalkan New York, kotanya.
Sedikit membanggakan bagi kita karena di situ ada Bali. Meski sebenarnya ini menyedihkan bagi
kita karena di situ bukannya menyebut Indonesia, tapi Bali. Padahal ketika dia menyebut Italia
dan India, dia menyebut nama negara. Tapi begitu menyebut Indonesia, dia lebih memilih untuk
menyebut Bali. Ini memang membuktikan bahwa nama Bali lebih familiar bagi dunia
internasional dibanding Indonesia itu sendiri.
“There is a wonderful old Italian joke about a poor man who goes to church every day and
prays before the statue of a great saint, begging: “Dear saint, please, please, please let me
win the lottery.” Finally, the exasperated statue comes to life and looks down at the begging
man and says: “My son, please, please, please buy a ticket.”” Joke ini dinarasikan oleh Liz
ketika dia memutuskan untuk beli tiket pesawat menuju Italia.
“You don‟t know how to enjoy yourself. lt‟s true. Americans know entertainment, but
don‟t know pleasure.” Seorang warga Italia di sebuah barber shop menyampaikan ini kepada
Liz. Di sini ada 2 kata kunci yang ternyata sangat dipahami perbedaannya oleh orang Italia yaitu
entertainment dan pleasure.
“We call it „dolce far niente‟. It means the sweetness of doing nothing. We are masters of
it.” Ini kelanjutan dari orang Italia di barber shop yang juga menyampaikan bahwa orang Italia
sangat menikmati hidup. Hal ini menurutnya sangat berbeda dengan orang Amerika.
“You don‟t speak the language just with your mouth, speak it with your hands.” Ini
diucapkan ketika Liz mempelajari bahasa Italia. Dari sini kita juga jadi sadar bahwa orang Italia
selalu menggunakan gerakan tangan untuk menekankan ucapan mereka.
“I thank God for fear because for the first time l‟m afraid the person next to me will be the
one who wants to leave.” Liz diminta rekan-rekannya di Italia untuk merayakan hari
Thanksgiving yang merupakan budaya orang Amerika. Dan sebelum menikmati hidangan utama
Thanksgiving, setiap orang diharuskan menyampaikan rasa syukurnya terhadap hidup ini.
Kutipan tersebut disampaikan oleh salah seorang rekan Liz yang bernama Giovanni yang
berusaha menunjukkan rasa cintanya pada sang istri yang ada di sebelahnya.
4. “No, no. No lips on the bottle. First rule in lndia is never touch anything but yourself.”
Diucapkan Richard pada Liz ketika di India. Richard yang telah tinggal lebih lama di India
melarang Liz untuk minum sebotol softdrink tanpa sedotan. Larangan Richard ini menunjukkan
betapa tidak higienisnya kehidupan di India.
“Jamu. Drink this. Better than antibiotic.” Kutipan ini sebenarnya nggak terlalu istimewa.
Tapi karena ini diucapkan oleh Wayan (Christine Hakim) yang juga sedang mempromosikan
jamu ke Hollywood, maka ini termasuk bagian dari dialog film ini yang perlu kita ingat.
“My birthday‟s coming up soon. If I were home, l‟d be planning a stupid, expensive
birthday party and you‟d all be buying me gifts and bottles of wine. A cheaper, more lovely
way to celebrate would be to make a donation to help a healer named Wayan Nuriyasih
buy a house in Indonesia.” Tiga kalimat ini potongan dari isi surat Liz kepada teman-temannya
di Amerika. Surat ini ditulis Liz untuk menghimpun dana untuk membuatkan Wayan dan
putrinya sebuah rumah. Kalimatnya cukup menarik dalam mengarahkan teman-temannya untuk
menggunakan uangnya jadi lebih berarti.
“In the end, I‟ve come to believe in something I call „The Physics of the Quest‟. A force in
nature governed by laws as real as the laws of gravity. The rule of Quest Physics goes
something like this: If you‟re brave enough to leave behind everything familiar and
comforting which can be anything from your house to bitter, old resentments and set out
on a truth-seeking journey either externally or internally, and if you are truly willing to
regard everything that happens to you on that journey as a clue and if you accept everyone
you meet along the way as a teacher, and if you are prepared, most of all to face and
forgive some very difficult realities about yourself then the truth will not be withheld from
you.” Kutipan ini juga terdiri dari 3 kalimat. Namun kalimat yang ketiga sangatlah panjang.
Kutipan ini bagian dari penutup film yang sepertinya menjadi kesimpulan bagi Liz terhadap apa
yang telah dia alami selama dia berkelana. Apakah kita juga bisa mengambil pelajaran?
Sumber : http://www.kompasiana.com