2. i
DAFTAR ISI
Daftar Isi...................................................................................................... i
BAB I ......................................................................................................... 1
Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
Rumusan Masalah ........................................................................... 2
Tujuan Penulisan ............................................................................. 2
BAB II ......................................................................................................... 3
Pengertian Evaluasi ........................................................................ 3
BAB III ....................................................................................................... 5
Fungsi Sumber Daya Manusia ....................................................... 5
BAB IV ...................................................................................................... 10
Perngertian Motivai dan Kepuasan Kinerja ..................................... 10
Hubungan Motivasi dan Kepuaan Kinerja ...................................... 12
BAB V ......................................................................................................... 15
Pengertian Teori Kecerdasan Emosi ................................................ 15
BAB VI ........................................................................................................ 19
Strategi Kompensasi ......................................................................... 19
BAB VII ....................................................................................................... 21
Perkembangan Audit Kerja .............................................................. 21
PENUTUP ................................................................................................... 23
KESIMPULAN ........................................................................................... 24
3. 1
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu persoalan penting dalam pengelolaan sumber daya manusia (dalam tulisan
ini disebut juga dengan istilah pegawai) dalam organisasi adalah evaluasi kinerja pegawai dan
pemberian kompensasi. Ketidak tepatan dalam melakukan evaluasi kinerja akan berdampak
pada pemberian kompensasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku dan sikap
karyawan, karyawan akan merasa tidak puas dengan kompensasi yang didapat sehingga akan
berdampak terbalik pada kinerja pegawai yang menurun dan bahkan karyawan akan mencoba
mencari pekerjaan lain yang memberi kompensasi baik.
Hal ini cukup berbahaya bagi perusahaan apabila pesaing merekrut atau membajak
karyawan yang merasa tidak puas tersebut karena dapat membocorkan rahasia perusahaan
atau organisasi.
Kompensasi dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk melamar sebuah
pekerjaan, tetap bersama perusahaan, atau bekerja lebih produktif. Jika dikelola secara
pantas, gaji dapat menyebabkan karyawan mengurangi upaya mereka untuk mencari
pekerjaan alternatif. kompensasi mempengaruhi sikap dan perilaku kerja karyawan ini adalah
alasan yang mendorong untuk memastikan bahwa sistem gaji dirancang dan dilaksanakan
secara wajar dan adil. Evaluasi kinerja pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana kadar profesionalisme karyawan serta seberapa tepat pegawai telah menjalankan
fungsinya. Penilaian kinerja dimaksudkan untuk menilai dan mencari jenis perlakuan yang
tepat sehingga karyawan dapat berkembang lebih cepat sesuai dengan harapan. Ketepatan
pegawai dalam menjalankan fungsinya akan sangat berpengaruh terhadap pencapaian kinerja
organisasi secara keseluruhan.
Tidak sedikit di perusahaan-perusahaan swasta maupun negeri yang melakukan
evaluasi kinerja pegawai tidak tepat, tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, pada
akhirnya akan berdampak pada pemberian kompensasi. Oleh karena itu, banyak para
karyawan yang kinerjanya menurun dan pada akhirnya harus mengundurkan diri karena
kompensasi yang tidak sesuai. Dengan adanya kasus seperti inilah bagi instansi
pemerintahan, maupun perusahaan swasta, evaluasi kinerja sangat berguna untuk menilai
kuantitas, kualitas, efisiensi perubahan, motivasi para aparatur serta melakukan pengawasan
dan perbaikan. Kinerja aparatur yang optimal sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
produktivitas dan menjaga kelangsungan hidup instansi ini. Setiap instansi tidak akan pernah
luput dari hal pemberian balas jasa atau kompensasi yang merupakan salah satu masalah
penting dalam menciptakan motivasi kerja aparatur, karena untuk meningkatkan kinerja
aparatur dibutuhkan pemenuhan kompensasi untuk mendukung motivasi para aparatur.
Dengan terbentuknya motivasi yang kuat, maka akan dapat membuahkan hasil atau kinerja
yang baik sekaligus berkualitas dari pekerjaan yang dilaksanakannya.
4. 2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, rumusan masalah makalah
adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud evaluasi kinerja dan kompensasi?
2. Aspek-aspek apa sajakah yang dinilai dalam evaluasi kinerja?
3. Apakah tujuan dari evaluasi kinerja dan kompensasi?
4. Apakah kegunaan evaluasi kinerja?
5. Apa saja metode yang digunakan dalam evaluasi kinerja?
6. Bagaimana jenis-jenis dan elemen dalam penilaian kinerja?
7. Apa macam - macam / jenis - jenis Kompensasi yang diberikan pada pegawai?
8. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kompensasi?
9. Apa hubungan antara Evaluasi kinerja dan kompensasi?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian evaluasi kinerja dan kompensasi
2. Untuk mengetahui aspek-aspek yang dinilai dalam evaluasi kinerja
3. Untuk mengetahui tujuan dan kegunaan evaluasi kinerja dan kompensasi
4. Untuk mengetahui jenis-jenis dan elemen penilaian kinerja
5. Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam evaluasi kinerja.
6. Untuk mengetahui Jenis-jenis dan elemen dalam penilaian kinerja.
7. Untuk mengetahui macam-macam/jenis kompensasi yang diberikan pada
pegawai atau karyawan.
8. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kompensasi.
9. Untuk mngetahui hubungan Evaluasi kinerja dengan kompensasi.
5. 3
BAB II
PENGERTI, FUNGSI EVALUASI KINERJA (SDM)
2.1 Pengertian Evaluasi/Penilaian kinerja
Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi karyawan yang dikemukakan Leon C. Menggison
(1981:310) dalam Mangkunegara (2000:69) adalah sebagai berikut: ”penilaian prestasi kerja
(Performance Appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukkan
apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggng
jawabnya”. Selanjutnya Andrew E. Sikula (1981:2005) yang dikutip oleh Mangkunegara
(2000:69) mengemukakan bahwa ”penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis
dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses
penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang ataupun
sesuatu (barang)”. Selanjutnya Menurut Siswanto (2001:35) penilaian kinerja adalah: ” suatu
kegiatan yang dilakukan oleh Manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja
dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian / deskripsi pekerjaan dalam
suatu periode tertentu biasanya setiap akhir tahun.” Anderson dan Clancy (1991) sendiri
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “Feedback from the accountant to management
that provides information about how well the actions represent the plans; it also identifies
where managers may need to make corrections or adjustments in future planning
andcontrolling activities” sedangkan Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997)
mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “the activity of measuring the performance of an
activity or the value chain”. Dari kedua definisi terakhir Mangkunegara (2005:47)
menyimpulkan bahwa pengukuran atau penilaian kinerja adalah tindakan pengukuran yang
dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada peruisahaan. Hasil
pengukuran tersebut digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang
prestasi, pelaksanaan suatu rencana dan apa yang diperlukan perusahaan dalam penyesuaian-
penyesuaian dan pengendalian.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja adalah
penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan
kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara
tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat
melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk
menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan.
2.2 Tujuan Penilaian/Evaluasi Kinerja
Tujuan evaluasi kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi
melalui peningkatan kinerja dari SDM organisasi. Secara lebih spesifik, tujuan dari evaluasi
kinerja sebagaimana dikemukakan Sunyoto (1999:1) yang dikutip oleh Mangkunegara
(2005:10) adalah:
1. Meningkatkan Saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja.
6. 4
2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi
untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan
prestasi yang terdahulu.
3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan
aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karier atau pekerjaan yang di
embannya sekarang.
4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan
termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan
pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada
hal-hal yang perlu diubah.
Kegiatan penilaian kinerja sendiri dimaksudkan untuk mengukur kinerja masing-masing
tenaga kerja dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas kerja, sehingga dapat
diambil tindakan yang efektif semisal pembinaan berkelanjutan maupun tindakan koreksi
atau perbaikan atas pekerjaan yang dirasa kurang sesuai dengan deskripsi pekerjaan.
Penilaian kinerja terhadap tenaga kerja biasanya dilakukan oleh pihak manajemen atau
pegawai yang berwenang untuk memberikan penilaian terhadap tenaga kerja yang
bersangkutan dan biasanya merupakan atasan langsung secara hierarkis atau juga bisa dari
pihak lain yang diberikan wewenang atau ditunjuk langsung untuk memberikan penilaian.
Hasil penilaian kinerja tersebut disampaikan kepada pihak manajemen tenaga kerja untuk
mendapatkan kajian dalam rangka keperluan selanjutnya, baik yang berhubungan dengan
pribadi tenaga kerja yang bersangkutan maupun yang berhubungan dengan perusahaan.
Dalam melakukan penilaian kinerja terhadap seorang tenaga kerja, pihak yang berwenang
dalam memberikan penilaian seringkali menghadapi dua alternatif pilihan yang harus
diambil: pertama, dengan cara memberikan penilaian kinerja berdasarkan deskripsi pekerjaan
yang telah ditetapkan sebelumnya; kedua, dengan cara menilai kinerja berdasarkan harapan-
harapan pribadinya mengenai pekerjaan tersebut. Kedua alternatif diatas seringkali
membingungkan pihak yang berwenang dalam memberikan penilaian karena besarnya
kesenjangan yang ada diantara kedua alternatif tersebut sehingga besar kemungkinan hanya
satu pilihan alternatif yang bisa dipergunakan oleh pihak yang berwenang dalam melakukan
penilaian
Penentuan pilihan yang sederhana adalah menilai kinerja yang dihasilkan tenaga kerja
berdasarkan deskripsi pekerjaan yang telah ditetapkan pada saat melaksanakan kegiatan
analisis pekerjaan. Meskipun kenyataannya, cara ini jarang diperoleh kepastian antara
pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh seorang tenaga kerja dengan deskripsi pekerjaan yang
telah ditetapkan. Karena seringkali deskripsi pekerjaan yang etrtulis dalam perusahaan
kurang mencerminkan karakteristik seluruh persoalan yang ada.
Kebiasaan yang sering dialami tenaga kerja adalah meskipun penilaian kinerja telah selesai
dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam melakukan penilaian, tenaga kerja yang
bersangkutan tetap kurang mengetahui seberapa jauh mereka telah memenuhi apa yang
mereka harapkan. Seluruh proses tersebut (penilaian kinerja) analisis dan perencanaan
diliputi oleh kondisi yang tidak realistis semisal permaian, improvisasi, dan sebagainya. Jalan
yang lebih berat bagi pihak yang berwenang dalam melakukan penilaian adalah menentukan
hal-hal yang sebenarnya diharapkan tenaga kerja dalam pekerjaan saat itu.
Cara menghindarkan hal tersebut biasa dilakukan manajemen adalah dengan cara
menanyakan pada masing-masing tenaga kerja untuk merumuskan pekerjaanya. Meskipun
cara ini sebenarnya agak bertentangan dengan literatur ketenaga kerjaan yang ada. Dengan
alasan para tenaga kerja cenderung merumuskan pekerjaan mereka dalam arti apa yang telah
mereka kerjakan, bukannya apa yang diperlukan oleh perusahaan. Hal ini bukan berarti
7. 5
tenaga kerja tidak memiliki hak suara dalam merumuskan deskripsi pekerjaan mereka.
Mereka juga membantu merumuskan pekerjaan secara konstruktif, karena kesalahan bukan
karena tenaga kerja tidak diminta untuk membantu merumuskan pekerjaan, tetapi karena
seluruh beban pekerjaan dilimpahkan diatas pundak mereka.
BAB III
HR SCORE CARD (PENGUKURAN KINERJA SDM)
3.1 PENDAHULUAN
Di dalam salah satu buku yang ditulis oleh Kaplan dan Norton pada tahun 1992 telah
diperkenalkan konsep tentang “Balance Scorecard” untuk mengukur kinerja organisasi. Sejak
itu Kaplan dan Norton telah mengembangkan konsep “Balance Scorecard” di sekitar 200
perusahaan di Amerika. Pertanyaan yang selalu diajukan dalam mendesain konsep tersebut
adalah “apa strategi organisasi anda?”. Melalui pertanyaan demikian telah memberikan suatu
inspirasi bagi Kaplan dan Norton untuk memahami para pimpinan organisasi berpikir tentang
organisasinya.
Umumnya para pimpinan organisasi mempunyai kesamaan terutama dalam memusatkan
perhatiannya kepada strategi finansial dan memberikan prioritas kepada perbaikan proses
operasional. Para pimpinan organisasi pada umumnya kurang memperhatikan pada strategi
pelanggan (siapa yang menjadi target; bagaimana nilai-nilai yang berlaku dalam organisasi?).
Mereka nampaknya belum menyadari dan memahami pentingnya strategi untuk
pengembangan SDM (human capital).
Di dalam perkembangan organisasi dan ekonomi baru pada era sekarang ini khususnya di
dalam penciptaan nilai-nilai (value creation), suatu organisasi sangat di dominasi oleh
“human capital” dan modal “intangible” lainnya. Oleh sebab itu perlu adanya pengukuran
terhadap strategi sumber daya manusia. Salah satu konsep yang diperkenalkan adalah “HR
Scorecard” yang menawarkan langkah-langkah penting guna mengelola strategi sumber daya
manusia.
Arsitektur sumber daya manusia sebagai modal strategik
Menurut Becker,Huselid and Ulrich (2001), sistem pengukuran SDM yang efektif
mempunyai 2 (dua) tujuan penting yaitu :
1. Memberikan petunjuk bagi pembuatan keputusan dalam organisasi dan
2. Berfungsi sebagai dasar untuk mengevaluasi kinerja SDM.
Konsep yang dikembangkan dalam HR Scorecard tersebut lebih ditujukan kepada peran
penting dari para profesi SDM di masa datang.
Bila fokus strategi perusahaan adalah menciptakan “competitive advantage” yang
berkelanjutan , maka fokus strategi SDM harus disesuaikan. Hal ini untuk memaksimalkan
kontribusi SDM terhadap tujuan organisasi, dan selanjutnya menciptakan nilai (value) bagi
organisasi. Dasar dari peran SDM yang strategik terdiri dari 3 dimensi rantai nilai (value
chain) yang dikembangkan oleh Arsitektur SDM perusahaan, Yaitu :
8. 6
· Fungsi
· Sistem
· Prilaku Karyawan
Istilah “arsitektur” secara luas menjelaskan profesi SDM di dalam fungsi SDM, Sistem SDM
yang berkaitan dengan kebijakan dan praktek SDM melalui kompetensi,motivasi dan prilaku
SDM.
Gambar 1 berikut ini menggambarkan proses arsitektur strategi SDM (Becker,Huselid and
Ulrich 2001)
3.2 Fungsi sumber daya manusia ( The Human Resource Function)
Dasar penciptaan nilai strategi SDM adalah mengelola infrastruktur untuk memahami dan
mengimplementasikan strategi perusahaan. Biasanya profesi dalam fungsi SDM diharapkan
dapat mengarahkan usaha ini. Ada yang berpendapat bahwa Manajemen SDM yang efektif
terdiri dari dua dimensi penting, yaitu :
Manajemen SDM teknis, mencakup : rekruitmen,kompensasi, dan benefit
Manajemen SDM yang strategik, mencakup : penyampaian (delevery) pelayanan
Manajemen SDM teknis dalam cara mendukung langsung implementasi strategi
perusahaan.
Dalam prakteknya ditemukan bahwa kebanyakan manajer SDM lebih memusatkan
kegiatannya pada penyampaian (delevery) yang tradisional atau kegiatan Manajemen SDM
teknis, dan kurang memperhatikan pada dimensi manajemen SDM yang strategik.
Kompetensi yang perlu dikembangkan bagi manajer SDM masa depan dan memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap kinerja organisasi adalah kompetensi manajemen SDM
strategik dan bisnis
3.3 Sistem sumber daya manusia (The Human Resource System)
Sistem SDM adalah unsur utama yang berpengaruh dalam SDM strategik. Model sistem ini
disebut “High Performance Work System” (HPWS). Dalam HPWS setiap elemen pada sistem
SDM di rancang untuk memaksimalkan seluruh human capital melalui organisasi. Untuk
membangun dan memelihara persediaan human capital yang berkualitas, HPWS melakukan
hal-hal sebagai berikut :
Menghubungkan keputusan seleksi dan promosi untuk memvalidasi model kompetensi
Mengembangkan strategi yang menyediakan waktu dan dukungan yang efektif untuk
keterampilan yang dituntut oleh implementasi strategi organisasi
Melaksanakan kebijaksanaan kompensasi dan manajemen kinerja yang menarik,
mempertahankan dan memotivasi kinerja karyawan yang tinggi.
Hal diatas merupakan langkah penting dalam pembuatan keputusan peningkatan kualitas
karyawan dalam organisasi, sehingga memungkinkan kinerja organisasi berkualitas. Agar
supaya SDM mampu menciptakan value, organisasi perlu membuat struktur untuk setiap
elemen dari sistem SDM dengan cara menekankan, mendukung dan me-reinforceHPWS.
Tetapi dengan mengadopsi kinerja tinggi yang memfokuskan pada masing-masing
kebijaksanaan dengan praktek SDM saja tentunya tidaklah cukup. Pada hakekatnya
diperlukan adanya pemikiran sistem yang menekankan pada “inter-relationship” antara
komponen sistem SDM dan hubungan antara SDM dengan sistem implementasi strategi yang
lebih luas.
9. 7
HPWS secara langsung menciptakan “customer value” atau nilai (value) lainnya yang
berkaitan. Dalam hal ini, proses kemitraan (alignment) dimulai dari pemahaman yang jelas
terhadap rantai nilai perusahaan, suatu pemahaman solid apa saja yang dijadikan nilai
perusahaan dan bagaimana manfaat nilai tersebut diciptakan. Kuncinya, bahwa karakteristik
HPWS tidak hanya mengadopsi kebijaksanaan dan praktek SDM yang tepat tetapi juga
bagaimana mengelola praktek SDM tersebut. Dalam HPWS, kebijaksanaan dan praktek SDM
perusahaan menunjukkan alignment (kemitraan) yang kuat dengan sasaran operasional dan
strategi bersaing organisasi. Setiap HPWS akan berbeda diantara organisasi, sehingga HPWS
dapat disesuaikan dengan keunikan, kekuatan dan kebutuhan masing-masing organisasi.
3.4 Perilaku karyawan yang strategik (Employee Behavior Strategically)
Peran SDM atau “human capital” yang strategik akan memfokuskan pada produktivitas
perilaku karyawan dalam organisasi. Perilaku strategik adalah perilaku produktif yang secara
langsung mengimplementasikan strategi organisasi. Strategi ini terdiri dari dua kategori
umum, seperti :
Perilaku inti (core behavior) adalah alur yang langsung berasal dari kompetensi inti dan
merupakan perilaku yang didefinisikan organisasi. Perilaku tersebut sangat fundamental
untuk keberhasilan organisasi.
Perilaku spesifik yang situasional (situation specific behavior) yang esensial sebagai key
point dalam organisasi atau rantai nilai dari suatu bisnis. Misalnya berupa
keterampilan cross-selling yang dibutuhkan oleh Bank Cabang
Mengintegrasikan perhatian pada prilaku ke dalam keseluruhan usaha untuk mempengaruhi
dan mengukur kontribusi SDM terhadap organisasi merupakan suatu tantangan.
Pertanyaannya yang mana yang penting?. Bagaimana mereka mengelolanya?.
Pertama, pentingnya prilaku akan didefinisikan oleh kepentingan untuk implementasi
strategi organisasi.
Kedua, cukup penting untuk mengingat bahwa kita tidak mempengaruhi prilaku strategik
secara langsung, tentang prilaku tersebut merupakan hasil akhir dari arsitektur SDM secara
luas.
10. 8
BAB IV
MOTIVASI DAN KEPUASAN KINERJA
4.1 Pengertian Motivasi dan Kepuasan Kerja
1. Konsep Motivasi
Kata motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti to move (untuk bergerak)
sehingga dapat dikatakan bahwa motivasi adalah seperangkat alasan untuk melakukan tindakan
tertentu.[1] Beberapa ahli juga mengemukakan pendapat mereka mengenai pengertian motivasi,
diantaranya
a. Sumadi Suryabrata
Motivasi adalah keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan aktifitas tertentu guna pencapaian tujuan.
b. Gates
Motivasi adalah suatu kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang
yang mengatur tindakannya dengan cara tertentu.
c. Greenberg
Motivasi adalah proses membangkitkan, mengarahkan, dan memantapkan perilaku ke arah
suatu tujuan.[2]
d. Chung dan Megginson
Motivasi dirumuskan sebagai perilaku yang ditujukan pada sasaran. Motivasi berkitan dengan
tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan.[3]
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi dapat diartikan sebagai
kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan aktifitas dengan cara tertentu yang terararah untuk mencapai tujuan.
Menurut Arnold, Robertson, dan Cooper, motivasi terdiri dari tiga komponen, yaitu:[4]
a. Direction (arah), yaitu apa yang seseorang coba lakukan.
b. Effort (usaha), yaitu seberapa keras seseorang mencoba.
c. Persistence (ketekunan), yaitu seberapa lama seseorang terus berusaha.
11. 9
Menurut Luthans, proses motivasi kerja sendiri terdiri dari tiga elemen penting, yakni
kebutuhan (needs), dorongan (drives) dan rangsangan (incentives) dapat dijelaskan sebagai
berikut:[5]
1. Kebutuhan adalah tekanan yang ditimbulkan oleh adanya kekurangan untuk
menyebabkan seseorang berperilaku untuk mencapai tujuan. Kekurangan tersebut dapat bersifat
psikologis, fisiologis, atau sosial.
2. Dorongan adalah suatu kondisi yang menyebabkan seseorang menjadi aktif untuk
melakukan suatu tindakan atau perilaku demi tercapainya kebutuhan atas tujuan.
3. Rangsangan adalah sesuatu yang memiliki kecenderungan merangsang minat seseorang
untuk bekerja mencapai tujuan.
2. Konsep Kepuasan Kerja
Sumber daya manusia merupakan salah satu bagian yang memiliki peranan yang sangat
penting dalam menentukan pencapaian hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan oleh
pihak manajemen perusahaan. Dengan mengetahui kepuasan kerja karyawan, melalui bagaimana
karyawan tersebut merespon terhadap berbagai program atau rencana yang telah ditetapkan oleh
perusahaan, hal ini dapat menjadi umpan balik yang sangat berharga bagi perusahaan tersebut.
Kepuasan kerja adalah sikap umum seseorang terhadap pekerjaannya.[6] Pada dasarnya kepuasan
merupakan suatu konsep yang multifacet atau banyak dimensi, dan bersifat subyektif dari masing-
masing individu yang bersangkutan.[7]
Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan
dimana pegawai memandang perkerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminnkan perasaan
seseorang terhadap pekerjaannya. Hal ini nampak dari sikap positif pegawai terhadap pekerjaan dan
segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya.[8] Sedangkan menurut As’ad kepuasan kerja
merupakan sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap faktor-faktor
pekerjaan, penyesuaian diri dan hubungan individu di luar kerja.[9]
Kepuasan kerja juga memiliki hubungan yang erat dengan sikap karyawan atas pekerjaan
mereka, situasi kerja setiap harinya, kerjasama antar karyawan baik dengan atasan maupun dengan
rekan kerja. Kepuasan kerja secara lebih jauh, juga menunjukkan kesesuaian antara sebuah harapan
terhadap pekerjaan yang ada dan imbalan yang diperoleh dari pekerjaan tersebut.[10]
Dari beberapa definisi dan penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan
kerja merupakan refleksi dari seorang karyawan terhadap pekerjaannya yang timbul bukan hanya
sebagai hasil interaksi antara karyawan dengan pekerjaannya, tetapi juga dengan lingkungan kerja,
situasi dan kondisi kerja serta rekan kerja karyawan.
Adapun yang menentukan kepuasan kerja adalah:[11]
a. Kerja yang secara mental menantang, bagi pegawai yang cenderung menyukai pekerjaan
yang memberikan kesempatan menggunakan keterampilan dan kemampuan dalam bekerja.
b. Gagasan yang pantas, pegawai menginginkan sistem upah atau gaji dan kebijakan
promosi yang adil, tidak meragukan dan sesuai dengan pengharapan mereka.
12. 10
c. Kondisi kerja mendukung, bagi pegawai yang peduli lingkungan kerja baik untuk
kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik.
d. Rekan sekerja yang mendukung adanya interaksi sosial antara sesama pegawai yang
saling mendukung meningkatkan kepuasan kerja.
e. Jangan melupakan kesesuaian antara kepribadian pekerjaan, kecocokan yang tinggi
antara kepribadian seorang pegawai dan pengharapan akan menghasilkan individual yang lebih
terpuaskan.
f. Ada dalam gen bahwa 30% dari kepuasan individual dapat dijelaskan oleh keturunan.
Dalam mengelola kepegawaian harus senantiasa memonitor kepuasan kerja, karena hal itu
mempengaruhi tingkat absensi, perputaran tenaga kerja, semangat kerja, keluhan dan masalah
personalia vital lainnya. Oleh karena itu fungsi personalia mempunyai pengaruh baik langsung
maupun tidak langsung, selain itu berbagai kebijakan dalam kegiatan personalia berdampak pada
iklim organisasi memberikan suatu lingkungan kerja yang menyenangkan maupun tidak
menyenangkan bagi anggota organisasi yang akhirnya memenuhi kepuasan kerja anggota
organisasi.
4.2 Hubungan Motivasi dengan Kepuasan Kerja
1. Teori Motivasi dan Kepuasan Kerja.
Terdapat beberapa teori yang mengkaitkan antara motivasi dan kepuasan kerja:[12]
a. Teori Keadilan dan Kepuasan Kerja
Teori keadilan ini membantu untuk memahami bagaimana seorang pegawai mencapai
kesimpulan bahwa ia diperlakukan dengan adil atau tidak. Perasaan ini mmerupakan perasaan
subjektif yang dapat mempengaruhi motivasi kerja. Untuk itu seorang pimpinan harus mengetahui
bahwa pegawainya membandingkan imbalan, hukuman, tugas, serta dimensi lainnya antarpegawai.
Beberapa cara untuk mengetahui adanya perasaan perlakuan tidak adil ini dapat dilakukan
dengan:[13]
1) Manajer harus mengenal kesimpulan dari tindakan seseorang yang mengindikasikan
bahwa ia telah mendapat perlakuan tidak adil.
2) Manajer harus mampu memberikan resolusi sederhana terkait isu ketidak-adilan yang
dapat mengganggu distorsi input atau output.
3) Manajer harus mampu mengenal klaim-klaim ketidak adilan.
4) Manajer harus mampu mencegah klaim-klaim ketidak adilan dengan cara memperjelas
apa yang sebenarnya mereka rasakan.
b. Teori Kebutuhan
Menurut teori ini manusia mempunyai beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi. Salah satu
teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow menyebutkan bahwa manusia memiliki tingkat
13. 11
kebutuhan dari tingkat bawah sampai yangpaling tinggi, yaitu: kebutuhan fisiologis dasar,
keselamatan dan keamanan, sosial dan kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri.
c. Teori Harapan dan Motivasi
Teori harapan atau expectancy secara logis mencoba untuk menyusun kembali proses mental
yang mengakibatkan seorang pegawai mencurahkan usaha dalam tugas tertentu. Diasumsikan
bahwa usaha para pegawai diakibatkan oleh tiga hal, yaitu: kemungkinan subyektif pegawai yang
berkaitan dengan kemampuan kerja, kemungkinan subjektif terhadap reward atau punishment yang
terjadi sebagai hasil dari perilaku pimpinan, dan nilai pegawai yang menempatkan penghargaan dan
hukuman.
d. Job Desain dan Motivasi
Motivasi dan kepuasan kerja juga dapat dilihat dari bagaimana pekerjaan didesain. Terdapat
beberapa prinsip dasar dalam metode untuk mengklasifikasikan dan merancang pekerjaan,
yakni:[14]
1) Pekerjaan yang disimplifikasi dapat dilakukan oleh setiap orang dengan pelaatihan yang
sedikit.
2) Pekerjaan yang distandarisasikan menggunakan cara terbaik untuk melaksanakannya.
Ketentuan ini dapat ditetapkan melalui pengamatan tujuan dan analisis metode kerja.
3) Pekerjaan yang sudah dispesialisasikan membuat seseorang dapat dengan cepat
mengembangkan keterampilan tanpa buang-buang waktu.
2. Hubungan Antara Motivasi dengan Kepuasan Kerja
Terdapat hubungan antara motivasi dan kepuasan dari seorang pekerja. Hubungan tersebut
dapat dikategorikan dalam empat bagian, yaitu:[15]
a. Pegawai yang motivasi dan kepuasannya tinggi, ini merupakan keadaan ideal, baik bagi
organisasi maupun bagi pegawai itu sendiri. Keadaan ini timbul bila sumbangsih yang diberikan
oleh pegawai bernilai bagi organisasi, dimana pada gilirannya organisasi memberikan hasil yang
diinginkan atau pantas bagi pegawai.
b. Karyawan termotivasi untuk bekerja dengan baik, tetapi tidak merasa puas dengan kerja
mereka. Beberapa alasan yang memungkinkan adalah karyawan membutuhkan pekerjaan dan uang.
Uang dan pekerjaan tergantung pada kinerja yang baik, di satu sisi karyawan merasa bahwa mereka
berhak mendapatkan gaji yang lebih atas kinerja yang diberikan kepada perusahaan, namun tidak
mendapatkannya.
c. Kinerja yang rendah dari karyawan namun mereka merasa puas dengan pekerjaannya.
Perusahaan telah memberikan segala sesuatu sesuai dengan harapan karyawan sehingga karyawan
tidak mengeluh, namun tidak ada timbal balik yang berarti bagi perusahaan sehingga kerugian
dapat dirasakan dari sisi perusahaan.
d. Karyawan tidak bekerja dengan baik dan tidak memperoleh rangsangan yang memuaskan
dari perusahaan. Situasi seperti inilah yang akan mendorong keinginan pegawai untuk berhenti dari
14. 12
pekerjaan atau keputusan perusahaan untuk memberhentikan karyawan karena tidak ada manfaat
yang dapat diperoleh baik oleh pegawai maupun perusahaan.
4.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Faktor-faktor kepuasan kerja yang diambil berdasarkan pada Job Descriptive Index, dimana
terdapat pengukuran yang standar terhadap kepuasan kerja, yang meliputi beberapa faktor yaitu
pekerjaan itu sendiri, mutu dan pengawasan supervisi, gaji atau upah, kesempatan promosi, dan
rekan kerja. Job Description Index adalah pengukuran terhadap kepuasan kerja yang dipergunakan
secara luas. Riset menunjukkan bahwa Job Description Index dapat menyediakan skala kepuasan
kerja yang valid dalam skala yang dapat dipercaya. Seperti yang dikemukakan oleh Dipboye,
Smith, dan Houkakawell, faktor-faktor tersebut meliputi:[16]
1. Pekerjaan itu sendiri
Setiap karyawan lebih menyukai pekerjaan yang memberikan peluang kepada mereka untuk
menggunakan ketrampilan dan kemampuan yang dimiliki, yang mampu menawarkan satu varietas
tugas, kebebasan dan umpan balik tentang seberapa baiknya mereka dalam melakukan hal tersebut.
Karakteristik tersebut membuat pekerjaan menjadi lebih menantang secara mental. Studi-studi
mengenai karakteristik pekerjaan, diketahui bahwa sifat dari pekerjaan itu sendiri adalah
determinan utama dari kepuasan kerja. Lima dimensi inti dari materi pekerjaan yang meliputi
ragam ketrampilan (skill variety), identitas pekerjaan (task identity), keberartian pekerjaan (task
significance), otonomi (autonomy) dan umpan balik (feed back). Dari setiap dimensi inti dari
pekerjaan mencakup sejumlah aspek materi pekerjaan yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja
seseorang. Adapun kaitan masing-masing dimensi tersebut dengan semakin besarnya keragaman
aktivitas pekerjaan yang dilakukan, seseorang akan merasa pekerjaanya semakin berarti.
2. Mutu Pengawasan Supervisi
Kegiatan pengawasan merupakan suatu proses dimana seorang manajer dapat memastikan
bahwa kegiatan yang dilakukan oleh karyawannya sesuai dengan apa yang telah direncanakan
sebelumnya. Proses pengawasan mencatat perkembangan pekerjaan yang telah dilakukan oleh
karyawan sehingga memungkinkan manajer untuk dapat mendeteksi adanya penyimpangan dari
apa yang telah direncanakan dengan hasil saat ini, dan kemudian dapat dilakukan tindakan
pembetulan untuk mengatasinya. Perilaku pengawas merupakan hal penting yang menentukan
selain dari kepuasan kerja itu sendiri. Sebagian besar dari studi yang telah dilakukan menunjukkan
hasil bahwa karyawan akan lebih puas dengan pemimpin yang lebih bijaksana, memperhatikan
kemajuan, perkembangan dan prestasi kerja dari karyawannya.
3. Gaji atau Upah
Karyawan selalu menginginkan sistem penggajian yang sesuai dengan harapan mereka.
Apabila pembayaran tersebut tampak adil berdasarkan pada permintaan pekerjaan, tingkat
ketrampilan individu, dan standar pembayaran masyarakat pada umumnya, maka kepuasan yang
dihasilkan akan juga tinggi. Upah sebagai jumlah keseluruhan pengganti jasa yang telah dilakukan
oleh tenaga kerja yang meliputi upah pokok dan tunjangan sosial lainnya. Gaji merupakan salah
satu karakteristik pekerjaan yang menjadi ukuran ada tidaknya kepuasan kerja, dalam artian ada
15. 13
atau tidaknya keadilan dalam pemberian gaji tersebut. Gaji atau upah yang diberikan kepada
karyawan merupakan suatu indikator terhadap keyakinan seseorang pada besarnya upah yang harus
diterima.
4. Kesempatan Promosi
Promosi merupakan perpindahan dari suatu jabatan ke jabatan yang lain dimana jabatan
tersebut memiliki status dan tanggung jawab yang lebih tinggi. Hal ini memberikan nilai tersendiri
bagi karyawan, karena merupakan bukti pengakuan terhadap prestasi kerja yang telah dicapai oleh
karyawan. Promosi juga memberikan kesempatan untuk pertumbuhan pribadi, untuk lebih
bertanggung jawab dan meningkatkan status sosial. Oleh karena itu salah satu kepuasan terhadap
pekerjaan dapat dirasakan melalui ketetapan dan kesempatan promosi yang diberikan oleh
perusahaan.
5. Rekan Kerja
Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan orang lain, begitu
juga dengan karyawan di dalam melakukan pekerjaannya membutuhkan interaksi dengan orang
lain baik rekan kerja maupun atasan mereka. Pekerjaan seringkali juga memberikan kepuasan
kebutuhan sosial, dimana tidak hanya dalam arti persahabatan saja tetapi dari sisi lain seperti
kebutuhan untuk dihormati, berprestasi, dan berafiliasi. Rekan kerja juga merupakan bagian dari
perwujudan salah satu teori motivasi menurut Alderfer yaitu kebutuhan akan hubungan
(Relatedness Needs), dimana penekanan ada pada pentingnya hubungan antar-individu
(interpersonal relationship) dan bermasyarakat (social relationship). Pada dasarnya seorang
karyawan juga menginginkan adanya perhatian dari rekan kerjanya, sehingga pekerjaan juga
mengisi kebutuhan karyawan akan interaksi sosial, sehingga pada saat seorang karyawan memiliki
rekan kerja yang saling mendukung dan bersahabat, maka akan meningkatkan kepuasan kerja
mereka.
BAB V
MENGELOLA POTENSI KECERDASAN DAN EMOSIONAL SDM
5.1 Pengertian Teori Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (bahasa Inggris: emotional
quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol
emosi dirinya dan oranglain di sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan terhadap
informasi akan suatu hubungan. Sedangkan, kecerdasan (intelijen) mengacu pada kapasitas untuk
16. 14
memberikan alasan yang valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional adalah kemampuan
mengenali diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan hubungannya dengan orang lain (Goleman,2001:512). Seseorang
dengan kecerdasan emosional yang berkembang dengan baik, kemungkinan besar akan berhasil
dalam kehidupannya karena mampu menguasai kebiasaan berfikir yang mendorong produktivitas
(Widagdo, 2001). Goleman (2001) membagi kecerdasan emosional yang dapat memperngaruhi
keberhasilan seseorang dalam bekerja ke dalam lima bagian utama yaitu kesadaran diri, pengaturan
diri, motivasi, empati dan ketrampilan sosial.
Menurut Salovey dan Mayer, 1999 (handbook Emotional Intelligence training, prime
consulting, p.11) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan emosi, menerima dan
membangun emosi dengan baik, memahami emosi dan pengetahuan emosional sehingga dapat
meningkatkan perkembangan emosi dan intelektual. Salovey juga memberikan definisi dasar
tentang kecerdasan emosi dalam lima wilayah utama yaitu, kemampuan mengenali emosi diri,
mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang kain, dan kemampuan
membina hubungan dengan orang lain. Seorang ahli kecerdasan emosi, Goleman (2000, p.8)
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi di dalamnya termasuk kemampuan
mengontrol diri, memacu, tetap tekun, serta dapat memotivasi diri sendiri. Kecakapan tersebut
mencakup pengelolaan bentuk emosi baik yang positif maupun negatif. Purba (1999, p.64)
berpendapat bahwa kecerdasan emosi adalah kemampuan di bidang emosi yaitu kesanggupan
menghadapi frustasi, kemampuan mengendalikan emosi, semamgat optimisme, dan kemampuan
menjalin hubungan dengan orang lain atau empati.
Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang kecerdasan emosional menurut para ahli
(Mu’tadin, 2002), yaitu:
1) Salovey dan Mayer (1990)
Salovey dan Mayer (1990) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk
mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami
perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga dapat membantu
perkembangan emosi dan intelektual.
2) Cooper dan Sawaf (1998)
Cooper dan Sawaf (1998) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan
merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa
kecerdasan emosi menuntut seseorang untuk belajar mengakui, menghargai perasaan diri sendiri
dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat dan menerapkan secara efektif energi emosi
dalam kehidupan sehari-hari.
3) Howes dan Herald (1999)
Howes dan Herald (1999) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai komponen yang
membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosinya. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa emosi
manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi dan sensasi emosi
yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional akan menyediakan pemahaman yang
lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
4) Goleman (2003)
17. 15
Goleman (2003) mendefiniskan kecerdasan emosional sebagai kemampuan lebih yang
dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi, dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut
seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan, dan mengatur
suasana hati.
Goleman (2003) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional terbagi ke dalam lima wilayah
utama, yaitu kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri,
mengenali emosi orang lain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Secara jelas
hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Kesadaran Diri (Self Awareness)
Self Awareness adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan dalam dirinya
dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur
yang realistis atas kemampuan diri sendiri dan kepercayaan diri yang kuat.
b) Pengaturan Diri (Self Management)
Self Management adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan dan menangani
emosinya sendiri sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, memiliki
kepekaan pada kata hati, serta sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran
dan mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
c) Motivasi (Self Motivation)
Self Motivation merupakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun diri menuju sasaran, membantu pengambilan inisiatif serta bertindak sangat efektif, dan
mampu untuk bertahan dan bangkit dari kegagalan dan frustasi.
d) Empati (Empathy/Social awareness)
Empathy merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakakan orang lain, mampu
memahami perspektif orang lain dan menumbuhkan hubungan saling percaya, serta mampu
menyelaraskan diri dengan berbagai tipe hubungan.
e) Ketrampilan Sosial (Relationship Management)
Relationship Management adalah kemampuan untuk menangani emosi dengan baik
ketika berhubungan sosial dengan orang lain, mampu membaca situasi dan jaringan sosial secara
cermat, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan ini untuk mempengaruhi,
memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, serta bekerja sama dalam tim.
5) Menurut Prati, et al. (2003) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk membaca dan
memahami orang lain, dan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan untuk mempengaruhi
orang lain melalui pengaturan dan penggunaan emosi. Jadi kecerdasan emosi dapat diartikan
tingkat kecemerlangan seseorang dalam menggunakan perasaannya untuk merespon keadaan
perasaan dari diri sendiri maupun dalam menghadapi lingkungannya. Sementara itu menurut Bitsch
(2008) indikator yang termasuk dalam variabel kecerdasan emosional ada 7. Tujuh indikator
tersebut diukur dengan ”The Yong emotional intelligence Inventory (EQI)”, yakni kuesioner self-
report yang mengukur 7 indikator tersebut adalah:
18. 16
a) Intrapersonal skills,
b) Interpesonal skills,
c) Assertive,
d) Contentment in life,
e) Reselience,
f) Self-esteem,
g) Self-actualization.
5.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
a. Faktor Internal.
Faktor internal adalah apa yang ada dalam diri individu yang mempengaruhi kecerdasan
emosinya. Faktor internal ini memiliki dua sumber yaitu segi jasmani dan segi psikologis. Segi
jasmani adalah faktor fisik dan kesehatan individu, apabila fisik dan kesehatan seseorang dapat
terganggu dapat dimungkinkan mempengaruhi proses kecerdasan emosinya. Segi psikologis
mencakup didalamnya pengalaman, perasaan, kemampuan berfikir dan motivasi.
b. Faktor Eksternal.
Faktor ekstemal adalah stimulus dan lingkungan dimana kecerdasan emosi berlangsung.
Faktor ekstemal meliputi: 1) Stimulus itu sendiri, kejenuhan stimulus merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam memperlakukan kecerdasan emosi tanpa
distorsi dan 2) Lingkungan atau situasi khususnya yang melatarbelakangi proses kecerdasan emosi.
Objek lingkungan yang melatarbelakangi merupakan kebulatan yang sangat sulit dipisahkan.
Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional
1. Membaca situasi
Dengan memperhatikan situasi sekitar, kita akan mengetahui apa yang harus dilakukan.
2. Mendengarkan dan menyimak lawan bicara
Dengarkan dan simak pembicaraan dan maksud dari lawan bicara, agar tidak terjadi salah
paham serta dapat menjaga hubungan baik.
3. Siap berkomunikasi
Jika terjadi suatu masalah, bicarakanlah agar tidak terjadi salah paham.
4 . Tak usah takut ditolak
Setiap usaha terdapat dua kemungkinan, diterima atau ditolak, jadi siapkan diri dan jangan
takut ditolak.
5. Mencoba berempati
19. 17
EQ tinggi biasanya didapati pada orang-orang yang mampu berempati atau bisa mengerti
situasi yang dihadapi orang lain.
6. Pandai memilih prioritas
Ini perlu agar bisa memilih pekerjaan apa yang mendesak, dan apa yang bisa
ditunda.
7. Siap mental
Situasi apa pun yang akan dihadapi, kita harus menyiapkan mental sebelumnya.
8. Ungkapkan lewat kata-kata
Katakan maksud dan keinginan dengan jelas dan baik, agar dapat salaing mengerti.
9. Bersikap rasional
Kecerdasan emosi berhubungan dengan perasaan, namun tetap berpikir rasional.
10. Fokus
Konsentrasikan diri pada suatu masalah yang perlu mendapat perhatian. Jangan
memaksa diri melakukannya dalam 4-5 masalah secara bersamaan.
BAB VI
MEMBANGUN KAPABILITAS DAN KOMPENSASI SDM
6.1 STATEGI KOMPENSASI
Strategi Kompensasi bagi karyawan menjadi hal yang penting bagi perusahaan untuk bisa
mendapatkan sumber daya manusia terbaik, menciptakan suasana kondusif di tempat kerja,
dan mempertahankan kestabilan keuangan perusahaan. Kesalahan dalam membuat strategi
kompensasi bisa membuat perusahaan menurun kinerjanya, timbul berbagai macam masalah
internal, atau ketidakstabilan keuangan yang bisa berujung pada kebangkrutan. Oleh karena
itu, dibutuhkan strategi kompensasi yang sama-sama menguntungkan baik untuk karyawan
maupun perusahaan.
Sistem kompensasi bagi karyawan memang merupakan hal yang cukup rumit karena
menyangkut dua pihak yang berlawanan namun sama-sama membutuhkan yaitu pihak
20. 18
karyawan dan pihak perusahaan. Keduanya biasanya sering tarik-menarik sehingga
menyebabkan kondisi yang tidak nyaman.
Dalam hal ini, karyawan membutuhkan perusahaan sebagai tempat bekerja dan mencari
penghasilan. Dari pihak karyawan, tentunya menginginkan kompensasi sebanyak mungkin.
Jika tidak mendapatkan kompensasi yang layak, hal ini bisa menurunkan motivasi dan
konsentrasi karyawan sehingga menurunkan produktivitas, meningkatkan kesalahan, dan bisa
menyebabkan kecelakaan. Kompensasi yang tidak layak juga akan membuat pekerja-pekerja
potensial pergi meninggalkan perusahaan.
Dilain pihak, perusahaan membutuhkan karyawan untuk menjalankan perusahaan sesuai
dengan jabatan dan pekerjaan masing-masing. Pihak perusahaan biasanya menginginkan
kompensasi serendah mungkin untuk mendapatkan profit perusahaan sebesar mungkin.
Perusahaan juga harus mengatur besarnya kompensasi dengan teliti agar tidak mengganggu
keuangan perusahaan. Walaupun perusahaan ingin memberikan penghargaan lebih bagi
karyawan, keinginan tersebut bisa saja dihadang oleh keadaan finansial yang tidak
memungkinkan karena perusahaan tentunya memiliki banyak sekali pengeluaran yang harus
dihitung dan dipertimbangkan selain pengeluaran untuk kompensasi karyawan.
Selain kondisi dan kebutuhan dua pihak utama tersebut, masalah strategi kompensasi juga
dipengaruhi oleh faktor perundang-undangan yang berlaku. Perusahaan harus mengikuti
aturan yang berlaku atau karyawan bisa melaporkan perusahaan yang akan berakibat pada
sanksi dari pemerintah. Untuk perusahaan-perusahaan yang baru memulai bisnisnya,
peraturan-peraturan yang menyangkut masalah kompensasi karyawan sering kali menjadi
beban perusahaan.
6.2 FAKTOR
Karena faktor-faktor yang telah disebutkan tadi, sistem kompensasi bagi karyawan harus
dibuat dengan sangat hati-hati agar semua pihak mendapatkan keuntungan tanpa melanggar
peraturan yang berlaku. Oleh karena itu, strategi kompensasi harus mempertimbangkan
peraturan pemerintah dan memastikan tidak ada satu pun pasal yang dilanggar. Dengan
begitu, setidaknya perusahaan tidak akan mendapatkan sanksi dan karyawan mendapatkan
pemenuhan kebutuhan hidup secara minimum.
Namun, mengikuti peraturan pemerintah saja tidak cukup karena perusahaan tentunya
menginginkan produktivitas yang lebih tinggi dengan karyawan yang lebih potensial. Oleh
karena itu, perlu dilakukan beberapa hal berikut:
Menghargai kerja karyawan: kompensasi harus diberikan sesuai dengan kualitas karyawan
yang meliputi kemampuan, keahlian, tanggung jawab, loyalitas, dan hasil kerjanya. Hal ini
akan membantu membentuk kepuasan yang dirasakan karyawan dan meningkatkan
kinerjanya.
Memastikan keadilan baik internal maupun eksternal: hal ini cukup sulit untuk dilakukan
karena masing-masing karyawan memiliki pola pikir yang berbeda dan kondisi perusahaan
pesaing yang mungkin lebih stabil. Dalam hal ini, dibutuhkan analisa yang mendalam tentang
kemampuan apa yang dimiliki karyawan, apa yang telah dilakukannya untuk perusahaan, dan
apa dirasakannya. Dengan begitu bisa ditentukan siapa yang berhak mendapatkan
21. 19
pembayaran lebih banyak dengan adil tanpa mengusik hati karyawan lain. Dalam hal
keadilan eksternal, setidaknya pembayaran sesuai dengan rata-rata pembayaran yang diterima
pekerja setingkat di perusahaan lain.
Membuat sistem kompensasi yang kompetitif. Walaupun dari sisi keadilan eksternal sudah
dirasakan adil, sebaiknya sistem kompensasi dibuat lebih kompetitif dengan menetapkan
kompensasi yang lebih tinggi. Tujuannya adalah untuk bisa mendapatkan karyawan yang
potensial. Hal ini sangat penting terutama untuk tenaga kerja ahli yang ketersediaannya
sangat terbatas. Selain itu, kompensasi yang kompetitif sangat dibutuhkan untuk
mempertahakan karyawan yang ada sehingga tidak perlu berulang kali mencari pekerja baru
dan melatihnya.
Kompensasi yang rasional: walaupun harus kompetitif, kompensasi yang diberikan pada
karyawan tetap harus rasional, tidak boleh terlalu tinggi dan juga tidak boleh terlalu rendah.
Hal ini sangat penting bagi kestabilan keuangan perusahaan.
Membuat sistem kompensasi yang mudah dipahami dan terbuka. Dengan begitu, pihak
manajemen dan karyawan akan saling mengerti dan bisa menghindari salah pengertian.
Dengan strategi yang baik dalam menetapkan kompensasi, perusahaan akan terhindar dari
perselisihan dengan karyawan. Jika perusahaan dalam kondisi yang kurang baik, perusahaan
harus terbuka dan memberikan penjelasan terbaik bagi karyawan untuk saling mengerti.
BAB VII
KONSEP AUDIT KINERJA DAN PELAKSANAAN AUDIT KINERJA
7.1 Perkembangan Audit Kerja
Audit kinerja mengalami proses, demikian pula dengan pengetahuan dan kompetisi yang
dibutuhkan. Sebelum mencapai bentuknya, audit kinerja mengalami evolusi yang cukup lama,
dimulai dari financial statement auditing pada tahum 1930, dilanjutkan dengan management
auditing pada tahun 1950 dan program auditing pada tahun 1970. Dalam kurun waktu yang hampir
bersamaan, tahun 1971 Elmer B Staat dari United State Comptoreller General Accounting Office
untuk pertama kalinya memperkenalkan audit kinerja (performance audit) pada kongres INTOSAI
(International Organization of Supreme Audit Intitution), di Montreal, Kanada. Sejak itu, audit
kinerja yang merupakan perluasan audit keuangan mulai diimplementasikan pada audit sektor
publik oleh Supreme Public Institution di seluruh dunia. Pelaksanaan audit kinerja di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia terus mengalami pasang surut. Sebagai gambaran pada Netherland Court of
Audit (BPK Belanda), perkembangan audit dimulai dengan pemberian mandat untuk melakukan
audit kinerja pada tahun 1976. Pada awalnya, audit kinerja berfokus pada efisiensi. Kemudian,
mereka mulai menyusun dan menyempurnakan manual audit kinerja yang ada. Pada
perkembangannya, mereka mengintegrasi teknologi informasi dan komunikasi dalam audit kinerja
22. 20
(antara lain untuk menganalisis data) serta menggunakan pendekatan strategis dalam menyusun
tema audit. Pada BPK Belanda, tema audit yang berfokus pada mutu dan akuntabilitas kebijakan
pemerintah merupakan perluasan dari audit keuangan yang berfokus pada penganggaran. Di
Australian National Audit Office (BPK Australia), audit kinerja dimulai pada tahun 1970-an. Audit
kinerja mulai berkembang di Australia karena ketertarikan pemerintah, parlemen, dan masyarakat
terhadap efektivitas program dan efisiensi administrasi pemerintah. Pada saat itu, departemen
pemerintah banyak diberikan kebebasan untuk mengelola operasi mereka, dengan sedikit kendali
dari pusat. Pada awalnya, pemeriksaan kinerja hanya divisi kecil dari ANAO. Antara tahun 1980-
1983, ANAO hanya membuat tujuh laporan audit kinerja. Saat ini, ANAO membuat hampir 50
laporan audit kinerja setiap tahunnya. Di Indonesia, audit kinerja mulai diperkenalkan pada tahun
1976 yang dimulai dengan management audit course di Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)
dengan bekerja sama dengan US-GAO. Serupa dengan negara lain, audit kinerja di Indonesia juga
mengalami pasang surut. Sejak tahun 2004-2007, BPK telah melaksanakan 99 audit kinerja, dengan
rincian 37 audit di kantor pusat dan 62 audit di kantor perwakilan daerah. Rekap audit kinerja pada
tahun 2004-2007.
7.2 Definisi Audit Kerja
Secara etimologi, audit kinerja terdiri atas dua kata, yaitu “audit” dan “kinerja”. Audit
menurut Arens adalah kegiatan mengumpulkan dan mengevaluasi terhadap bukti-bukti yang
dilakukan oleh yang kompeten dan independen untuk menentukan dan melaporkan tingkat
kesesuaian antara kondisi yang ditemukan dan kriteria yang ditetapkan. Sedangkan menurut
Stephen P Robbins, kinerja merupakan hasil evaluasi terhadap pekerjaan yang telah dilakukan
dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan bersama. Di pihak lain. Ayuha menjelaskan,
“Perfomance is the way of job or task is done by an individual, a group of organization”. Dari
kedua definisi tersebut, terlihat bahwa istilah kinerja mengarah pada dua hal yaitu proses dan hasil
yang dicapai. Definisi yang cukup komprehensif diberikan oleh Malan, Fountain, Arrowsmith, dan
Lockridge (1984), sebagai berikut.
“Perfomance auditing is a systematic process of objectively obtaining dan evaluating
evidence regarding the performance of an organization, program, function, or activity. Evaluation
is made in terms of its economy and efficiency of operations, effectiveness in achieving of desire
results, and compliance with relevan policies, law, and regulations, for the purposes of ascertaining
the degree of correspondence between performance and established criteria and communicating the
results to interest the users. The performance audit function provides an independent, third-party
review of management’s performance and the degree to which the perfomanced of audited entity
meets pre-stated expectation”. [“Audit kinerja merupakan suatu proses sistematis dalam
mendapatkan dan mengevaluasi bukti yang secara objektif atas suatu kinerja organisasi, program,
fungsi, atau kegiatan. Evaluasi dilakukan bedasarkan aspek ekonomi dan efisiensi operasi,
efektivitas dalam mencapai hasil yang diinginkan, serta kepatuhan terhadap peraturan, hukum, dan
kebijakan yang terkait. Tujuan dari evaluasi adalah untuk mengetahui tingkat keterkaitan antara
kinerja dan kriteria yang ditetapkan serta mengomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Fungsi dari audit kinerja ialah memberikan review dari pihak ketiga atas kinerja
manajemen dan menilai apakah kinerja organisasi dapat memenuhi harapan.”] Selanjutnya, Pasal 4
ayat (3) UU No 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara, mendefinisikan audit kinerja sebagai audit atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri
23. 21
atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Kemudian,
bedasarkan PP No. 60 Tahun 2008 tentang SPIP mendefinisikan audit kinerja sebagai audit atas
pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah yang terdiri
atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas. Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa audit kinerja adalah audit yang dilakukan secara objektif dan sistematis terhadap berbagai
bukti untuk menilai kinerja entitas yang diaudit dalam hal ekonomi, efisiensi, dan efektivitas.
7.3 Pentingnya Audit Kerja
1. Pemerintah Bagi pemerintah, audit kinerja dapat menjadi ukuran penilaian dan
perbaikan atas 3E (ekonomi, efektivitas, dan efisiensi) dari program kegiatan pemerintah dan
pelayanan publik.
2. Legislatif & Masyarakat Memberikan informasi independen apakah uang negara
digunakan secara 3E serta mendukung pengawasan dan pengambilan keputusan oleh legislatif.
3. BPK
Melakukan peningkatkan kematangan organisasi dan nilai BPK di masyarakat, meningkatkan
motivasi pemeriksa, dan mendorong kreativitas dan pembelajaran.
Lebih lanjut, audit sektor publik tidak hanya memeriksa serta menilai kewajaran laporan
keuangan sektor publik, tetapi juga menilai ketaatan aparatur pemerintahan terhadap undang-
undang dan peraturan yang berlaku. Disamping itu, audit sektor publik juga memeriksa dan menilai
sifat-sifat hemat (ekonomis), efisien serta keefektifan dari semua pekerjaan, pelayanan atau
program yang dilakukan pemerintah. Dengan demikian, bila kualitas audit kinerja sektor publik
rendah, akan mengakibatkan risiko tuntutan hukum (legitimasi) terhadap pejabat pemerintah dan
akan muncul kecurangan, korupsi, kolusi serta berbagai ketidakberesan. Sehubungan dengan itulah,
audit kinerja memegang peran yang sangat esensial dalam suatu organisasi atau lembaga yang
berkaitan dengan dana masyarakat.
7.4 Audit Kinerja untuk Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas publik meliputi :
1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum (accountability for probity and legality)
2. Akuntabilitas proses (process accountability)
3. Akuntabilitas program (program accountability)
4. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability)
Akuntabilitas Publik tidak bisa dipisahkan dari prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik (Good Governance). Salah satu tata kelola yang baik ialah dengan adanya kinerja yang baik.
Kinerja inilah dapat diidentifikasi dan dievaluasi melalui audit kinerja. Oleh sebab itu, audit kinerja
sangat diperlukan dalam akuntabilitas publik, terutama dalam hal menilai tingkat keberhasilan
kinerja suatu kementerian atau lembaga pemerintah dan memastikan sesuai atau tidaknya sasaran
24. 22
kegiatan yang menggunakan anggaran dan transparansi dalam pelaksanaannya. Pada sektor publik,
audit kinerja dilakukan untuk meningkatkan akuntabilitas berupa peningkatan pertanggungjawaban
manajemen kepada lembaga perwakilan, pengembangan bentuk-bentuk laporan akuntabilitas,
perbaikan indikator kinerja, perbaikan perbandingan kinerja antara organisasi sejenis yang
diperiksa, serta penyajian informasi yang lebih jelas dan normatif.
7.5 Keterkaitan Audit Kinerja dengan Manajemen Keuangan
Audit kinerja dapat dilaksanakan oleh pihak auditor internal atau auditor eksternal yang
profesional dan kompeten sehingga menjamin objektivitas hasil audit. Dalam melaksanakan audit
kinerja penting bagi auditor untuk memiliki pengetahuan yang memadai tentang pengelolaan
terhadap hasil-hasil, khususnya sistem perencanaan, penganggaran dan sistem pengindikator
kinerja yang dimiliki atau melekat pada suatu instansi pemerintah, yang mana informasi ini
dipegang oleh manajemen keuangan. Pendekatan auditor pada bagian ini bertujuan untuk
memperoleh dokumen yang mencukupi untuk memeriksa peraturan dasar organisasi dan
memahami sejarah serta kondisi operasi sekarang. Auditor seharusnya mengenal struktur
organisasi, sistem pengendalian, laporan keuangan, sistem informasi, pegawai dan pelaksanaan
adminsistratif.
Mendekati akhir pendekatan ini, auditor seharusnya memperoleh informasi mengenai hukum
yang terkait, pernyataan kebijakan, dokumen dan catatan penelitian terdahulu, laporan audit
sebelumnya, dan studi lain yang dilakukan oleh departemen. Auditor harus memperoleh gambaran
mengenai informasi dasar yang berkaitan organisasi dengan mendapatkan bagan organisasi, uraian
tertulis, serta bagan alir dari proses kerja dan sistem informasi. Auditor juga harus memperoleh
informasi mengenai kebijakan dan prosedur administrasi dan personalia, serta mengindentifikasi
dan memperoleh prosedur operasi.
7.6 Istilah-istilah dalam Audit Kinerja
Ada istilah umum yang digunakan dalam audit kinerja, di antaranya performance audit dan
Value For Money (VFM) audit. VFM audit mengacu pada penilaian apakah manfaat yang
dihasilkan oleh suatu program lebih besar dari biaya yang dikeluarkan atau masih mungkinkah
melakukan pengeluaran dengan bijak. Istilah VFM audit banyak digunakan di Kanada dan negara
persemakmurannya. Secara internasional, performance audit ialah istilah resmi yang digunakaan
kalangan INTOSAI. Istilah yang juga sering dijumpai ialah audit manajemen, audit operasional,
atau audit ekonomi dan efisiensi. Istilah ini digunakan untuk menilai dalam aspek ekonomi dan
efisiensi dari pengelolaan organisasi. Istilah lain ialah audit program atau audit efektivitas yang
ditujukan untuk menilai manfaat atau pencapaian suatu program. Gabungan antara audit
manajemen atau operasional dan audit program merupakan audit kinerja. Audit kinerja terkait erat
dengan konsep akuntabilitas yang dikenal dengan istilah akuntabilitas kinerja.
Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah antara lain diatur melalui Inpres No.7 tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Beberapa istilah yang sering dikaitkan
dalam konteks audit kinerja adalah 1. Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai
pencapaian, prestasi atau unjuk kerja dari instansi pemerintah 2. Indikator kinerja (performance
25. 23
indicator) adalah deskripsi kuantitatif atau kualitatif terhadap tercapaiannya kinerja. Indikator
kinerja dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk menilai dan melihat perkembangan yang
dicapai selama jangka waktu terterntu. 3. Indikator kinerja kunci (key performance indicator)
adalah indikator kinerja yang memiliki fokus pada aspek kinerja yang penting bagi keberhasilan
organisasi. 4. Efisiensi berkaitan dengan hubungan antara input yang digunakan untuk
menghasilkan output. Efisiensi lazimnya dinyatakan dalam bentuk indeks, rasio, unit, atau bentuk
lainnya (misalnya: dalam bentuk perbandingan). Secara umum efisiensi berkaitan dengan
produktivitas. 5. Efektivitas berkaitan dengan pencapaian hasil (outcome) yang ditetapkan telah
dicapai dengan output. Output sektor publik umumnya adalah jasa berupa layanan terhadap
masyarakat. Output dikatakan efektif jika memberi pengaruh sesuai yang diharapkan.
26. 24
PENUTUP
Konsep evaluasi kinerja hampir dikembangkan hanya dengan pekerja individu dalam pikiran.
Hal tersebut mencerminkan kepercayaan bahwa individu merupakan bangunan utama yang
dibangun di sekitar organisasi.Namun, semakin banyak organisasi yang membangun tim,
bagaimana mereka harus mengevaluasi kinerja.
KESIMPULAN
Terdapat empat saran muntuk merancang sistem yang mendukung dan memperbaiki kinerja
tim, yaitu sebagai berikut:
a. Mengikat hasil tim pada tujuan organisasi. Untuk itu, penting menemukan ukuran yang
diterapkan pada tujuan yang penting yang diharapkan dapat diselesaikan tim.
b. Memulai dengan pelanggan tim dan proses kerja yang diikuti tim untuk memuaskan
kebutuhan pelanggan. Produk akhir yang diterima pelanggan dapat dievaluasi dalam bentuk
persyaratan pelanggan. Transaksi di antara tim dapat dievaluasi berdasar pada pengirim dan
kualitas. Langkah proses dapat dievaluasi berdasar pada waste dan cycle time.
c. Mengatur kinerja tim dan individu. Untuk itu didefinisikan peran setiap anggota tim dalam
bentuk penyelesaian yang mendukung proses kerja tim. Kemudian, mengukur kontribusi
masing-masing anggota dan kinerja menyeluruh tim. Keterampilan individu penting untuk
keberhasilan tim, tetapi tidak cukup untuk kinerja tim yang baik.
d. Melatih tim untuk menciptakan ukuran sendiri. Tim mendefinisikan sasarannya dan setiap
anggota memastikan bahwa setiap orang memahami perannya dalam tim dan membantu
mengembangkan ke dalam unit yang lebih erat.