1. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk untuk menyatukan fungsi pengaturan, pengawasan, dan penindakan di sektor keuangan yang sebelumnya terpisah-pisah. 2. OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner yang terdiri dari Kepala Eksekutif bidang perbankan, pasar modal, dan keuangan nonbank beserta anggota dari Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan masyarakat. 3. Terdapat potensi konflik internal antara Dew
1. 1
Corporate Governance dan Potensi Konflik Internal
Otoritas Jasa Keuangan
PERDANA WAHYU SANTOSA
Program Magister Manajemen Universitas YARSI
Komisaris PT Kertas Padalarang (Peruri Group)
SUWINTO JOHAN
Presiden Direktur PT TIFA Finance, Tbk
embentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini dilandasi motivasi yang
baik yaitu untuk memperbaiki kualitas pengaturan, pengawasan dan
penindakan terhadap perbankan, pasar modal dan industri keuangan
non bank (INKB). Sebelumnya fungsi-fungsi tersebut dipegang oleh bank sentral BI
dan Bapepam-LK Kemenkeu yang kerap bermasalah, baik secara teknis maupun
substansial. Sejauh ini tercatat, bahwa kolapsnya puluhan bank akibat krisis
moneter 1998 berikut dana penalangan BLBI yang koruptif sehingga merugikan
keuangan negara hingga kini.
Selain itu, beberapa kasus terbaru seperti skandal Bank Century dan
bangkrutnya Bank IFI semakin menunjukkan kelemahan pengawasan BI. Beberapa
kasus di pasar modal juga kerap terjadi yang merugikan nasabah dan negara seperti
yang terbaru adalah Sarijaya Securities dan lainnya. Beberapa kasus juga terjadi
pada unit usaha keuangan syariah seperti bobolnya Bank Syariah Mandiri dan
investasi bodong Golden Trader Investasi Syariah (GTIS).
Pengalaman empirik masa lalu menunjukkan, misalnya kasus PT. Antaboga
Delta Sekuritas, yang produknya diam-diam dipasarkan oleh Bank Century yang
memicu skandal politik itu. Hakikatnya, produk Antaboga tersebut merupakan
instrumen pasar modal namun baik BI maupun Bapepam-LK tidak mengetahuinya
“pelanggaran” tersebut. Hingga akhirnya kasus tersebut menimbulkan berbagai
masalah ekonomi dan politik yang serius dan menguras dana, konsentrasi dan
tenaga secara sia-sia. Kasus-kaus kejahatan finansial tersebut menunjukkan kepada
publik bahwa selain pengawasan yang lemah dan koruptif dari BI dan Bapepam-LK,
juga tidak adanya koordinasi yang baik antara dua lembaga tersebut selama ini.
Sistem Pengendalian Otoritas Jasa Keuangan
UU OJK disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 27 Oktober
2011, setelah mengalami penundaan selama beberapa bulan. Sepanjang penyusunan
dan pengesahan UU OJK selalu mendapat resistensi yang kuat dari BI. Hal itu dapat
dipahami karena BI akan khawatir kehilangan kewenangan melakukan pengawasan
perbankan dari sisi mikroprudensial. Amanat Undang-Undang OJK bertujuan untuk
P
2. 2
membentuk sebuah lembaga independen dan transparan dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya, bebas dari intervensi pihak lain baik bisnis mupun politik. Tugas
dan wewenangnya adalah melakukan pengaturan, pengawasan dan penindakan
terhadap kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan, pasar modal dan industri
keuangan non bank. Dengan demikian BI akan lebih fokus pada kebijakan
makromoneter dan makroprudential.
Otoritas Jasa Keuangan dipimpin oleh sebuah Dewan Komisioner (bersifat
kolegial) yang terdiri dari 9 orang yakni 2 anggota dari ex officio Bank Indonesia dan
Kementerian Keuangan, 3 orang Kepala Eksekutif untuk masing-masing bidang dan
4 orang berasal dari masyarakat. Untuk anggota berasal dari masyarakat diusulkan
oleh Menteri Keuangan kepada Presiden RI untuk selanjutnya ditetapkan dan
dikonfirmasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Dewan Komisioner tidak
dapat diberhentikan sebelum masa berakhir jabatannya kecuali meninggal dunia,
mengundurkan diri, berhalangan tetap melaksanakan tugas, tidak menjalankan
tugasnya dan hal-hal lainnya.
Gambar 1. Struktur Organisasi Otoritas Jasa Keuangan (2013)
Fungsi Dewan Komisioner adalah menetapkan kebijakan umum mengenai
tugas Otoritas Jasa Keuangan, menetapkan peraturan dan keputuasan Otoritas Jasa
Keuangan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawasan
yang dilakukan oleh Kepala Eksekutif. Dalam pelaksanaan fungsi ini, Dewan
Komisioner memiliki wewenang dalam menetapkan peraturan pelaksanaan
3. 3
Undang-Undang, menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah
tertulis terhadap para pihak yang menjalankan kegiatan jasa keuangan untuk
melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi peraturan
perundang-undangan, menetapkan struktur organisasi dan infrastrutur dan lainnya.
Otoritas Jasa Keuangan memiliki masing-masing seorang Kepala Eksekutif
yang membidangi perbankan, pasar modal dan industri keuangan non bank. Tugas
masing-masing Kepala Eksekutif adalah memimpin tugas pengawasan di bidang
masing-masing sesuai kewenangan yang dimilikinya.
Otoritas Jasa Keuangan akan melaporkan kegiatan opersional kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden RI atas hasil audit Kantor Akuntan Publik
dan/atau Badan Pemeriksa Keuangan RI. Dalam pelaksanaan tugasnya, Otoritas
Jasa Keuangan akan berkoordinasi dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan
dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Gambar 2. Lingkup Tugas dan Kewenangan OJK
Anggaran operasional OJK, secara teknis akan diambil dari iuran pelaku
industri jasa keuangan itu sendiri termasuk iuran profesi keuangan. Sebagian elemen
publik keberatan dengan konsep iuran ini karena menganggap OJK memasuki
wilayah keuangan liberal. Hal ini perlu diwaspadai secara ekstra karena rawan
unsur subjektivitas-politis. Beberapa pelaku jasa keuangan besar (big players) dapat
memanfaatkan konsep iuran anggota ini untuk meningkatkan “daya tawar”nya
terhadap OJK sehingga dapat mengatur kewenangan OJK untuk kepentingan bisnis-
politik mereka.
OJK dalam posisi berhadapan dengan pemain besar maka fungsi dan
kewenangannya berpotensi “dilemahkan”, apalagi jika mereka membentuk kartel
keuangan terutama dari industri perbankan dan pasar modal. Selain itu, intervensi
kepentingan ekonomi-politik dari pejabat-parpol/DPR terhadap OJK diprediksi
akan semakin tinggi. Maka tidaklah mengherankan jika banyak pendapat
menganggap OJK adalah lembaga “super body” yang sangat luas kewenangannya
dengan pengelolaan dana super besar yaitu di atas Rp12.000 triliun. Sebagai
perbandingan, APBN RI 2013 “hanya” sebesar Rp1.600 triliun. Dengan demikian,
maka sistem pengendalian dan pengawasan manajemen OJK dan proses
4. 4
pengambilan keputusan strategiknya harus benar-benar memenuhi unsur-unsur
good corporate governance berstandar tinggi.
Dengan adanya OJK, maka fungsi dan kewenangan pengaturan, pengawasan
dan penindakan dilakukan melalui satu badan tunggal ini yang menaungi semua
pelaku industri keuangan baik perbankan, pasar modal dan industri keuangan non
bank lainnya. Diharapkan dengan terbentuknya OJK maka pengawasan akan lebih
terpadu, efisien, efektif dan tentu saja independen sehingga diharapkan mampu
melindungi kepentingan masyarakat-nasabah baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Jejaring Industri Keuangan
Pelaku industri keuangan, domestik maupun internasional, pada umumnya
memiliki keterkaitan yang sangat erat satu dengan lainnya (correlated), sehingga
berpotensi mengalami efek cotagion atau interdependence, sebagaimana beberapa
krisis ekonomi-keuangan global (meltdown) seperti 1928, 1998 dan 2008 lalu. Istilah
contagion merupakan efek structural break dalam mekanisme linear atas sebuah
financial shock yang terjadi pada suatu negara. Sedangkan interdependensi lebih
dimaknai sebagai pengaruh antar pasar finansial terhadap pasar finansial lainnya
yang saling terkait pada masa normal (Corsetti, Pericoli, Sbacia 2005).
Sumber: www.kontan.co.id (2011)
Gambar 3. Keterkaitan Industri Keuangan Indonesia
5. 5
Contagion merupakan fenomena pasar finansial global yang mengarah pada
financial panics herding yang mengandung efek domino akibat berubahnya
ekspektasi investor di seluruh dunia sehingga menimbulkan kerusakan berat
terhadap likuiditas pasar. Pada umumnya industri keuangan menganut prinsip “too
big too fall”, sehingga pemerintah harus siap melakukan bail out terhadap dampak
krisis industri keuangan di hampir semua negara. Oleh karena itu, OJK harus benar-
benar waspada terhadap efek contagion maupun interdependensi. Untuk meredam
impak negatif krisis khususnya contagion tersebut maka sudah seharusnya OJK
memiliki semacam protokol manajemen krisis berbasis konsep stabilisasi sistem
keuangan nasional. Namun hal tersebut belum kita miliki karena pihak DPR dan
pemerintah tampaknya belum sepakat dengan makna kata “krisis” itu sendiri.
Semua pelaku industri keuangan menempatkan portofolio dananya di
perbankan dan pasar modal. Perbankan menjadi sumber penempatan dana yang
paling aman selain pada surat utang negara (SUN). Dana perusahaan yang tercatat
(emiten) di pasar modal dan dana masyarakat yang ada di sekuritas juga disimpan
di perbankan. Lembaga pembiayaan (multifinance) dan institusi pengadaian
meminjam dana dari perbankan dan mencari modal di pasar modal, untuk
disalurkan kepada masyarakat.
Perusahaan asuransi mengalang dana dari masyarakat (premi) selanjutnya
diinvestasikan melalui berbagai portofolio instrumen keuangan di pasar modal dan
sebagian disimpan di perbankan juga. Sehingga perbankan dan pasar modal menjadi
tempat penyimpanan atau investasi sekaligus sumber pendanaan (modal) bagi
industri keuangan lainnya.
Perbankan juga memiliki investasi pada lembaga keuangan lainnya seperti
perusahaan asuransi, perusahaan pembiayaan, perusahaan dana pensiun atas
simpanan pensiun pegawainya dan juga memiliki Bank Syariah yang menjalankan
usaha pengadaian juga. Keterkaitan antara perbankan dan pasar modal dengan
pelaku industri keuangan lainnya memiliki hubungan yang sangat erat.
Selain itu perbankan juga menawarkan produk investasi lainnya kepada
nasabahnya seperti investasi pada obligasi perusahaan pembiayaan atau pegadaian
yang diurus oleh manager investasi pasar modal dengan dikombinasikan dengan
produk asuransi perlindungan jiwa jangka panjang.
Masalah Internal dan Implikasinya
Ditinjau segi agency theory, Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif OJK
memiliki potensi konflik. Industri yang diawasi merupakan industri yang sangat
terdiversifikasi, sehingga sangat tidak mungkin seorang kepala eksekutif memiliki
pengalaman dan kompetensi di industri lainnya. Dengan kata lain kepala eksekutif
merupakan jabatan spesialis dengan keterampilan profesional khusus. Selain itu,
antara ex-officio Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan juga memiliki
perbedaan pandangan yang mendasar. Sedangkan anggota lainnya, yaitu sebanyak 4
orang juga belum tentu memiliki pengetahuan spesifik dan rinci terhadap semua
industri keuangan yang diawasi.
6. 6
Kepala Eksekutif OJK dengan masing-masing industri keuangan juga
memiliki konflik kepentingan (conflict of interest). Masing-masing kepala eksekutif
tentu akan membela kepentingan masing-masing dalam menjalankan tugasnya.
Egosentrik masing-masing bidang akan mengkristal. Kompleksitas dalam industri
keuangan dan pasar finansial ini mengakibatkan ketidakmampuan seorang memiliki
kemampuan yang mendalam terhadap keseluruhan informasi pada industri lainnya.
Industri keuangan dengan Industri keuangan lainnya juga memiliki potensi
konflik. Masing-masing industri memiliki kepentingan pada industri masing-
masing. Salah contoh permintaan lembaga pembiayaan untuk diperbolehkan
mengambil simpanan langsung dari masyarakat seperti di India. Hal tersebut akan
memiliki kepentingan konflik dengan perbankan.
Perbankan konvensional yang memiliki unit usaha keuangan syariah atau
anak perusahaan Bank Syariah juga akan mengalami konflik dengan perusahaan
Pegadaian. Pada saat ini, banyak Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah juga
menjalankan usaha gadai, sebagaimana dilakukan oleh Pegadaian. Industri
pembiayaan juga menuntut akan premi asuransi kendaraan yang dibayarkan kepada
perusahaan asuransi yang dianggap terlalu mahal akibat ketidakefisiensian
perusahaan asuransi dalam menjalankan investasinya.
Friksi Internal OJK dan Proses Pengambilan Keputusan
Dalam struktur organisasi OJK, sistem dewan komisioner lebih cenderung
menganut sistem pengawasan struktur oganisasi perusahaan di Negara-negara
Commonwealth. Dimana pelaksana juga merupakan bagian daripada pengawasan.
Tiga Kepala Eksekutif menduduki posisi sebagai anggota dewan komisioner dengan
didampingi oleh 4 anggota independen dan 2 anggota Bank Indonesia/Kementerian
Keuangan.
Proses pengambilan keputusan yang didasarkan pada keputusan suara
terbanyak, dimana keputusan bisa diambil tanpa wajib mendapatkan dukungan dari
kepala eksekutif sebagai pengawas yang paling bertanggungjawab pada industri
tertentu. Dengan perangkapan jabatan ini, juga menimbulkan potensi isu dalam
kecepatan pengambilan keputusan sebagai antisipasi terhadap sebuah krisis yang
memungkin terjadi, terutama jika keputusan tersebut berpotensi merugikan salah
satu industri. Dalam hal ini OJK seharusnya berusaha menerapkan sistem
manajemen isu dan krisis yang lebih berimbang agar diperoleh win-win solution bagi
semua industri.
Dilihat dari segi kompleksitas dan struktur bisnis, OJK bisa disamakan
dengan sebuah lembaga keuangan universal yang memiliki unit usaha di bidang
perbankan, asuransi, sekuritas, manajer investasi, pembiayaan, pegadaian, dan
lainnya. Beberapa pertanyaan yang terus membayangi adalah: “Apakah
memungkinkan jika lembaga sebesar dan sepenting itu, pengambilan keputusannya
bisa diambil melalui suara terbanyak?” dan “bagaimana jika ada yang tidak setuju,
apakah dia harus ikut bertanggungjawab?”
---000---