Teks tersebut menjelaskan pengertian Sunnah menurut istilah syariat dan para ulama. Sunnah didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan, penetapan, sifat tubuh, dan akhlak yang dimaksudkan sebagai syariat bagi umat Islam. Al-Quran menyebut Sunnah sebagai hikmah yang diajarkan Nabi bersama Al-Quran.
1. Kategori Kitab : As-Sunnah
Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at
Selasa, 6 Nopember 2007 12:47:43 WIB
PENGERTIAN AS-SUNNAH MENURUT SYARI'AT
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
B. Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh
serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat
Islam.[1]
Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru.
Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama.
Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu untuk perbuatan
dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna
asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah
muradif (sinonim) dengan hadits.
As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi j
selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi
dalil bagi hukum syar’i.
Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-undang
kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut.
As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni
hukumnya sunnah.[2]
As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad (keyakinan),
perkataan maupun perbuatannya.[3]
Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain:
2. a. Hadits qauli (Sunnah dalam bentuk ucapan) ialah segala ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam :
. ن كُْنرمْ رنمْلِنِ ن ن ن نِ
“Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat
baginya.” [4]
b. Hadits fi’li (Sunnah yang berupa perbuatan) ialah segala perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam yang diberitakan oleh para Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan
selainnya.
Contoh:
.ن حَِنْرنْف لْ ننَأنْف نَّأف كُأ أنبَأه أُ نبَن نِ نا نبأن لننْف نِِنبَِنِ كِثْ ننْنِ
“Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (apabila
berwudhu’), beliau menyela-nyela jenggotnya.” [5]
c. Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan beliau membiarkannya (sebagai tanda setuju) dan tidak mengingkarinya.
Contoh:
نِْنَ نَُِْ ننْنَ كُ لَِْْاِ ن لِن نعَِِِ لِ ننَْهْ ننَرنن نرَِبْنْنِ لِ يُِْ ن لن ةَِِ نرِ عِْْ لنألا ننِْ كُأ نبْأه أُ نبَن نِ نا نبأن كِ
نأ كن نن نَّاْ ةننبنَْ أَِ نبْأ عِ لِنكِْن ن نةَنبْْن ن لن ن ننِأِ لِ كُْنأِّأُِ ننِْ ن نرَِبْعِ ننَر نَّنَْهْ نَّةَِ كن نَّرندنأبمْ يِبِ لِ
. كُدِبِ ن لِنِْ كِ نَّفْ نَِّبَِْن
“Nabi Shalkallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh,
‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam
Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab,
‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau
malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat (sunnah) beberapa raka’at yang dapat aku
laksanakan.’” [6]
Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air (untuk
wudhu’) sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan
shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih
ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian
keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu.
Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah
berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain (Shahabat yang mengulangi
shalatnya), beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.” [7]
3. Di antara makna Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang
difahami oleh para Shahabat dan Salafush Shalih Ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin adalah
sebagai sumber kedua setelah Al-Qur-anul Karim
Sering kita menyebut Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
maksudnya adalah Sunnah sebagai sumber nilai tasyri’. Al-Qur-an menyifatkan As-Sunnah
dengan makna hikmah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
نَّةنع كُْن كُْنث بِ ةَِأن نْلَأن نا لُْن لِ بِ ن بََُِِْ نبِِْْ نبَن بِ نِرِِْن نانِِبَِْرِبِ كُْنِْْنْر نا كُْثِنْْرأن نانِِلََِ
“Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul di antara mereka yang akan
membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka dan mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah
kepada mereka dan mensucikan mereka (dari kelakuan-kelakuan yang keji), sesungguhnya
Engkau Mahamulia lagi Mahabijaksana.” [Al-Baqarah: 129]
بِ نانِِبَِْرِبِ كُْنِْْنْر نا كُْثِنْْرأن نا فَِ لن ةِكن ن نأَ أُ نبَنه كُْرِ ن مَِْ لنننْ لِ بِ ن نَّةنِ بِِْ نبِِْْ نبَن بِ نِرِِْنِ نانِِلَِ ننِِْْ كننِ ننَنَ ن “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia bagi orang-orang yang beriman, ketika Dia
mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan
ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka (dari sifat-sifat jahat), dan mengajarkan Al-Kitab
(Al-Qur-an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam
kesesatan yang nyata.” [Ali ‘Imranَ 164]
لنمْنِ أُ نبَن ن ن رَ نانَّةننَ أُ نبَن ن كُْنِْْنْر نا كُْثِنْْرأن نانبَأنرن ن كن رن رنبْْن نالننْف
“... Dan Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah dan mengajarkanmu
apa-apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah kepadamu amat besar.” [An-Nisaa’َ
113]
نِ أُ نا كُْثِنْْرأِ أَِف أُ ن لننْف كندِ نَ نا مَ نا مُْلِمْنف ن بِِْْنىه لِ لِ رَِأِْ “Sebutlah apa-apa yang dibacakan dalam rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah,
sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab: 34]
نِْْ كننِ ننَنَ ن ن بََُِِْ نبِِْْ نبَن بِ نِرِِْنِ نانِِلََِ بِ نانِِبَِْرِبِ كُْنِْْنْر نا كُْثِنْْرأن نا فَِ لنةِْ نيِِنَ كُأ لنننْ لِ ن “Dialah yang mengutus kepada ummat yang ummi seorang Rasul dari antara mereka yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya. Yang membersihkan mereka dan mengajarkan
kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan
4. yang nyata.” [Al-Jumu’ahَ 2]
Maksud penyebutan Al-Kitab pada ayat-ayat di atas adalah Al-Qur-an. Dan yang dimaksud
dengan Al-Hik-mah adalah As-Sunnah.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah menyebut al-Kitab, yang dimaksud adalah Al-
Qur-an dan menyebut Al-Hikmah. Aku mendengar di negeriku dari para ahli ilmu yang
mengerti Al-Qur-an berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.”[8]
Qatadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Begitu pula
penjelasan dari al-Hasan al-Bashri.[9]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
نَ نا اَِّكِ نُِْمَِْ ن نَّنِِب كُأنِِْ نِ نَّيِ أُ ن نانَّيِ كُأم
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di
antara kamu...” [An-Nisaa’َ 59]
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah dengan mengikuti Kitab-
Nya dan taat kepada Rasul adalah mengikuti dan As-Sunnah.” [10]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Banyak dari Salafush Shalih berkata
bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Karena sesungguhnya yang dibaca di rumah-rumah
isteri Nabi ننََِ نبَُِْ selain Al-Qur-an adalah Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
beliau bersabda:
.نَّن ةََِِ اَِّْرِ عِ كُْنِْْنْر نا حَِبْننِ ننَنِْ
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab dan yang sepertinya bersamanya.” [11]
Hasan bin Athiyyah rahimahullah berkata, “Jibril Alaihissallam turun kepada Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa As-Sunnah sebagaimana Al-Qur-an. Mengajarkan
As-Sunnah itu sebagaimana ia mengajarkan Al-Qur-an.” [12]
Dan lihat pula kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat ini (Al-Ahzaab: 34) dalam Tafsir Ibnu
Katsir dan lainnya dari tafsir Al-Qur-an bil ma’tsur.
Para Salafush Shalih memberi makna As-Sunnah dengan agama dan syari’at yang dibawa
oleh Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam secara mutlak dalam masalah ilmu dan amal, dan
apa-apa yang diterima oleh para Shahabat, Tabi’in dan Salafush Shalih dalam bidang ‘aqidah
maupun furu’.
Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Sunnah itu adalah tali Allah yang kuat.” [13]
5. ‘Abdullah bin ad-Dailamy rahimahullah (dari pembesar Tabi’in) berkata, “Telah sampai
kepadaku bahwa awal hilangnya agama ini adalah karena manusia meninggalkan As-
Sunnah.” [14]
Imam al-Lalika- i membawakan penafsiran ayat:
عأِ ننْبْْننُْر نبَنىه نمِِّنِنْأ نََِ نُِْمَِْ لنرْأنِْْْبْ
“Kemudian kami jadikan kamu di atas syari’at dari perintah, maka ikutilah...” [Al-Jaatsiyah:
18]
“Yakni engkau berada di atas Sunnah.” [15]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkataَ “Sesungguhnya As-Sunnah itu adalah syari’at, yakni
apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa
sallam dari agama (ini).” [16]
As-Sunnah adalah yang dimaksud dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
yang shahih.
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia,
Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
_______
Footnote
[1]. Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15),
Dr. Mahmud ath-Thahhan.
[2]. Lihat kitab Irsyaadul Fuhuul asy-Syaukani (hal. 32), Fat-hul Baari (XIII/245-246),
Mafhuum Ahlis Sunnah wal Jama’ah ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 37-43).
[3]. Lihat pada buku penulis, Syarah ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (hal. 10).
[4]. HR. At-Tirmidzi (no. 2317), Ibnu Majah (no. 3976), Ibnu Hibban (Ta’liiqatul Hisaan ‘ala
Shahiih Ibni Hibban no. 229), hadits ini hasan.
[5]. HR. At-Tirmidzi (no. 31), Ibnu Majah (no. 430), Shahih Ibni Majah (no. 345), al-Hakim
(I/149) dan al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” At-Tirmidzi berkataَ “Hasan shahih.”
Lihat Shahih Ibni Majah (no. 344) dari Shahabat ‘Ammar bin Yasir.
[6]. HR. Al-Bukhari (no. 1149) dan Muslim (no. 2458), dari Shahabat Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu.
[7]. HR. Abi Dawud (no. 338-339), an-Nasa-i (I/213) dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu
anhu. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud (no. 366), cet. I/ Ghar-raas, th. 1423 H.
[8]. Ar-Risaalah (hal. 78 no. (252)), tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah.
[9]. Lihat Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalikaaiy (I/78 no.
70-71), tahqiq Dr. Ahmad Sa’ad Hamdan.
6. [10]. Tafsir Ibnu Katsir (I/568).
[11]. HSR. Abu Dawud (no. 4604) dan Ahmad (IV/131).
[12]. Fatawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (III/366).
[13]. Asy-Syahru wal Ibanah, Ibnu Baththah al-‘Ukbary (no. 49).
[14]. Sunan ad-Darimi (I/45).
[15]. Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jama’ah oleh Imam al-Lalika- i (I/76-77 no.
66).
[16]. Majmu’ Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (IV/436