WJIHS #44 - Renungan masa COVID-19 - MUREX - DARAH UNGU YESUS KRISTUS
4 orang yang dilaknat allah
1. 4 Orang yang dilaknat Allah
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru
dalam agama (bid’ah).
TAKHRIJ HADITS
HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allâh man la’ana walidaih, no. 17.-Muslim, dalam
Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.- An Nasa-I, dalam as Sunan, kitab adh
dhahaya, no. 4346, dan- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.
SYARAH HADITS
Di antara nikmat Allâh Ta'ala yang terbesar dan anugerah-Nya yang paling agung, yaitu dijadikannya
kita sebagai kaum Muslimin dan kaum Mukminin yang hanya beribadah kepada-Nya, dan yang
hanya mengikuti Nabi-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, serta menjadi pemberi kabar gembira
dan pemberi peringatan. Islam adalah agama yang mulia, tegak di atas al-Qur‘an dan Sunnah.
Allâh Ta'ala berfirman dalam al Qur‘an :
Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur‘an,
agar kamu menerangkan kepada umat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka.
(Qs. an-Nahl/16 : 44)
Al-Qur‘an adalah dzikr, dan Sunnah adalah dzikr, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
“Ketahuilah, bahwa aku telah diberi al-Qur‘an dan yang semisal dengannya”.
Al-Qur‘an adalah Kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang
merupakan mukjizat, dan membacanya terhitung sebagai suatu ibadah. Demikian pula Sunnah
(hadits) Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah wahyu Allâh Ta'ala, seperti yang telah Dia
firmankan :
2. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Qur‘an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
(QS an Najm/53 : 3-4)
Dan sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Amru bin ‘Ash radhiyallâhu'anhu, bahwasanya
dia pernah datang kepada Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sambil bertanya :
“Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya, Anda terkadang berkata dalam keadaan marah dan terkadang
dalam keadaan ridha. Apakah boleh kita menulis semua yang Anda katakan?”
Maka Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab,
”Tulis semuanya, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah yang keluar dariku melainkan
haq (benar),”sambil menunjuk ke arah mulut beliau yang suci.
Hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam adalah tafsir bagi ayat-ayat yang global dalam al-
Qur‘an dan pengkhusus bagi ayat-ayat yang umum, serta pengikat bagi ayat-ayat yang mutlak, dan
dia adalah wahyu Allâh Ta’ala. Di antara wahyu tersebut adalah diberinya Nabi Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam jawaami’ul kalim, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan
Muslim, Pent), beliau bersabda :
“Aku diutus dengan jawaami’ul kalim”.
Arti jawaami’ul kalim adalah ucapan singkat, tetapi padat maknanya. Di antara jawaami’ul
kalim tersebut adalah hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang merupakan pembahasan
kita sekarang yang tercantum dalam Shahih Muslim, dari seorang sahabat yang mulia dan seorang
khalifah yang mendapat petunjuk, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, bahwasanya
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh.
Allâh melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya.
Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain),
dan Allâh melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan
perkara baru dalam agama (bid’ah).
Hadits ini amat singkat, namun mengandung banyak perkara yang berharga, karena menjelaskan hak-
hak yang agung, yang menjadi landasan sosial masyarakat muslim. Jika kaum Muslimin telah
3. mengalami kemunduran, maka dengan mewujudkan hak-hak ini, mereka akan kembali menjadi umat
yang maju di tengah umat-umat yang lain. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak
ibadah, hak sunnah, hak nafs (jiwa), dan hak orang lain. Jika kita mau merenungi keempat hak-hak
di atas, maka kita akan mendapatkan hal tersebut telah mencakup semua hak muslim, baik yang
berkaitan dengan dirinya, orang lain, dan yang berkaitan dengan Rabb-nya serta Nabi-Nya
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Hak ibadah adalah tauhid yang dijelaskan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam sabda
beliau :
“Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh”.
Bagaimana seseorang bisa mengarahkan sembelihan kepada selain Allâh? Sedangkan tindakan
tersebut termasuk ibadah. Dan ibadah adalah sebuah nama yang mencakup hal-hal yang dicintai dan
diridhai oleh Allâh Ta'ala, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, yang lahir maupun yang
batin, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku (sesembelihanku),
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allâh, Tuhan semesta alam,
tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku,
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allâh)”.
(QS al-An’am/6 : 162-163)
Menjaga hak tauhid dan ibadah, adalah kewajiban yang harus ditanamkan di dalam hati dan akal
pikiran, lalu diwujudkan dalam amal perbuatan dengan penuh keyakinan, tanpa ada sedikit pun
keraguan. Bagaimana tidak demikian, sedangkan kita tidaklah diciptakan, melainkan hanya untuk
beribadah kepada-Nya saja, sebagaimana firman Allâh Ta'ala :
4. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembahKu.
Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka,
dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allâh,
Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
(QS adz Dzariyaat : 56-58)
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sudah mengajarkan kepada sahabat-sahabat beliau yang
masih kecil, dan kepada yang dewasa tentang hak ibadah ini agar ditanamkan dalam hati, dan
tumbuh di dalam akal pikiran serta anggota badan.
Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu –sepupu Nabi Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam- bahwasanya Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berkata kepadanya :
“Wahai, anak kecil. Aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa perkara. (Yaitu) jagalah Allâh,
maka pasti Allâh menjagamu. Jagalah Allâh, pasti engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Jika
engkau meminta, maka mintalah kepada Allâh. Dan jika engkau memohon pertolongan, mintalah
kepada Allâh”.
Maka, tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dimintai
pertolongan melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak dijadikan sumpah melainkan Allâh. Dan tidak
ada yang berhak di-istighasah-i, melainkan Allâh. Tidak ada yang berhak diserahi sesembelihan dan
nadzar, melainkan Allâh.
Tidak boleh bernadzar kepada Nabi, wali maupun siapa saja, meskipun memiliki kedudukan yang
tinggi. Dengan ini, (seorang muslim) bisa menjaga hak ibadah dan tauhidnya.
Kemudian Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang melindungi muhditsan”.
Al-muhdits, adalah orang yang mengada-adakan hal baru dalam agama (bid’ah) dan
yang merubah Sunnah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Dalam hal ini, terdapat pemeliharaan
terhadap hak Sunnah dan ittiba’ (mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam).
Ketika kita mengikrarkan kalimat tauhid Lâ ilaha illallâh Muhammaddur Rasûlullâh,
maka, ucapan ini mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban serta konsekuensi-konsekuensi. Dan
kalimat tersebut, bukan hanya sekedar huruf-huruf yang dirangkai, atau ucapan yang terlepas begitu
saja dari lisan. Tetapi, dengan kalimat inilah berdiri langit dan bumi. Tidak diciptakan manusia,
melainkan untuk mewujudkan kandungan kalimat tersebut. Dan tidaklah diturunkan kitab-kitab
Allâh serta diutus para rasul, melainkan karenanya.
Kalimat Lâ ilaha illallâh, maknanya tidak ada yang berhak disembah dengan
5. benar, kecuali Allâh. Dan kalimat Muhammaddur Rasûlullâh, maknanya
tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Sebaik-baik perkara adalah apa yang disunnahkannya. Dan sejelek-jelek perkara adalah apa yang
beliau tinggalkan (bid’ah, Pent). Tidaklah beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal
dunia, melainkan beliau telah menjelaskan segala kebaikan kepada kita dan melarang dari segala
kejelekan.
Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban rahimahullâh dalam Shahih-nya dari sahabat Abu Dzar
al-Ghifari radhiyallâhu'anhu bahwasanya dia berkata :
“Tidaklah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam meninggal dunia, melainkan telah dijelaskan
semuanya kepada kita, sampai-sampai burung yang terbang di udara telah beliau jelaskan kepada kita
ilmunya”.
Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang hak Sunnah yaitu hak Nabi Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam. Tidak ada yang berhak diikuti, melainkan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Beliaulah suri tauladan yang baik dan yang sempurna bagi kita; bagaimana tidak, sedangkan Allâh
Ta'ala telah berfirman tentang beliau :
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu,
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh
dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allâh.
(Qs. al-Ahzab/33 : 21)
Allâh Ta'ala telah menjelaskan, bahwa satu-satunya jalan petunjuk, yang seorang hamba selalu
memohonnya lebih dari sepuluh kali sehari semalam di kala shalat fardhu, sunnah maupun nafilah
(yaitu, Tunjukilah kami jalan yang lurus), adalah dengan mengikuti sunnah Rasûlullâh
Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Tidak ada jalan yang lurus melainkan dengan mengikuti Sunnah beliau Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam, sebagaimana yang telah Allâh Ta'ala firmankan :
"Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk."
(QS an Nuur : 54)
Apabila kalian mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, maka kalian akan mendapat
hidayah yang selalu kalian minta kepada Rabb kalian dikala siang dan petang hari. Inilah hak Allâh
Ta'ala, dan inilah hak Rasul-Nya Shallallâhu 'Alaihi Wasallam serta hak agama-Nya.
6. Maka apakah kita telah menjalankan semua hak-hak ini? Di bagian yang lain dari hadits ini terdapat
peringatan adanya dua kewajiban lain. Yang pertama, yang merupakan urutan kedua dari hadits di
atas, yaitu sabda beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Allâh melaknat orang yang mencela kedua orang tuanya”.
Berbakti kepada kedua orang tua adalah suatu kewajiban dan kita mesti menjadi pemelihara
keduanya dengan baik. Mendo'akan mereka dan menjaga hak-hak mereka, tidak meremehkannya
serta tidak menjadi penyebab engkau mencaci kedua orang tuamu. Hak kedua orang tua, terkadang
bisa secara langsung disia-siakan oleh anak yang durhaka, yaitu dengan mencaci-maki ayah atau
ibunya karena mencari ridha sang istri, hawa nafsu maupun setannya. Dan sangat disesalkan, hal ini
terjadi (di tengah masyarakat kita, Pent).
Adapun yang kedua, secara tidak langsung, yaitu engkau berbuat sesuatu yang menyebabkan orang
lain mencaci-maki kedua orang tuamu. Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda :
“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci-maki kedua orang tuanya,”
Para sahabat bertanya,
”Bagaimana seseorang bisa mencaci-maki kedua orang tuanya?”,
Maka beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab :
“Dia mencaci-maki ayah orang lain, lalu orang lain itu mencaci maki kembali orang tuanya”.
Dan ini (termasuk) di antara arah tujuan syariat, yaitu menutup segala pintu (kejelekan) serta
membendung kerusakan. Engkau tidak boleh berbuat suatu yang mengakibatkan kerusakan yang
besar di kemudian hari. Tetapi amat disayangkan, perkara ini secara global banyak disepelekan oleh
sebagian kaum Muslimin, bahkan oleh Islamiyyin (orang-orang yang bersemangat membela Islam
tanpa bekal ilmu yang benar, Pent). Kita melihat, mereka bersemangat dalam banyak perkara dan
banyak berbuat sesuatu, dan mereka mengira hal tersebut sebagai suatu bentuk hidayah dan
kebenaran, namun hakikatnya tidak seperti itu
Mereka melakukan dengan semangat membara, yang mengakibatkan umat Islam menjadi santapan
lezat bagi umat-umat yang lain, dan menjadikan orang-orang kafir menguasai kaum Muslimin dan
merampas harta kekayaan mereka. Ini termasuk menutup segala pintu kejelekan.
Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarang kita mencaci-maki orang tua, maka bagaimana
jika kita melakukannya lebih dari itu? Yaitu mencaci-maki orang tua orang lain, lalu orang tersebut
mencaci-maki kedua orang tua kita? Ini termasuk dosa besar.
Jika kita melaksanakan ketaatan kepada mereka (kedua orang tua) maka ini termasuk menjaga hak
jiwa pribadi (nafs). Adapun meremehkan dan menyia-nyiakan mereka, maka akibat buruknya akan
7. menimpa dirinya sendiri.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya :
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.”
(Qs. Al-Isra’ : 23)
Di dalam ayat ini Allâh Ta'ala menyatukan antara ketaatan kepada kedua orang tua dengan ibadah
hanya kepada-Nya saja, karena didalamnya terdapat unsur pemeliharaan terhadap hak jiwa sendiri,
ayah dan anak. Adapun hak yang terakhir yang disebutkan dalam hadits ini adalah yang berkaitan
dengan hak orang lain.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjelaskan dalam hadits ini empat hak yaitu :
1. Hak Allâh
2. Hak Nabi
3. Hak nafs
4. Hak orang lain
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda :
“Allâh melaknat orang yang merubah tanda batas tanah orang lain”
Maksudnya adalah seseorang yang melanggar hak (tanah) orang lain baik itu tetangganya, kerabat,
saudaranya ataupun orang yang jauh darinya. Barangsiapa yang melanggar hak orang lain meski
kelihatannya sepele, niscaya akan terkena ancaman dalam hadits ini. Jika melanggar hak tanah orang
lain saja yang berkaitan dengan masalah dunia mengakibatkan terlaknat, maka bagaimana kalau
pelanggaran tersebut berkaitan dengan hak yang lebih besar dari itu seperti melanggar kehormatan
atau kemuliaan orang lain dengan menggunjingnya, mengadu domba, berdusta atas namanya ?
Renungkanlah sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Dosa riba yang paling besar adalah
seseorang melanggar kehormatan saudaranya muslim”
Yaitu dengan menggunjingnya, berdusta atas namanya, berburuk sangka kepadanya atau dengan
mengadu domba antara dia dengan orang lain. Semua ini terlarang dan merupakan sebab
perampasan hak orang lain dan termasuk dosa besar.
8. Jika kita mengetahui sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
“Satu dirham (hasil) riba yang dimakan oleh seseorang yang tahu (hukum-nya, pent) lebih besar
dosanya di sisi Allâh dari pada 36 kedustaan”
Apabila ini tingkat paling rendah akibat harta riba, maka bagaimana dengan riba yang paling besar ?
Ini semua dalam rangka menjaga hak-hak orang lain baik kerabat maupun orang yang jauh.
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam ketika berpesan kepada Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda :
“Dan pergauli manusia dengan akhlak yang baik”
Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak mengatakan (pergaulilah) orang-orang mukmin atau
muslimin atau yang berpuasa saja atau orang-orang shalih atau shadiqin saja, tapi beliau malah
mengatakan (pergaulilah manusia) maksudnya semua manusia baik dia mukmin atau kafir, shaleh
atau thaleh. Karena dengan akhlak yang mulia disertai pemeliharaan terhadap hak pribadi dan hak
orang lain, kita dapat mengambil hati orang lain sehingga kita bisa menyerunya (kepada
kebenaran).
Sumber : khutbah Jum’at Syaikh Ali bin Hasan al Halabi al Atsari di Masjid al-Akbar
Surabaya, 18 Muharram 1427H bertepatan 17 Februari 2006.