1. Tawasul Kepada Allah
Khutbah Pertama:
Kaum muslimin rahimakumullah,
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. al-Ma-idah: 35)
al-Wasilah secara bahasa (etimologi) berarti segala hal yang dapat menggapai sesuatu atau dapat
mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata, “Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah peribadahan
yang dapat mendekatkan diri kepada Allah.” Demikian pula Qatadah mengatakan tentang makna
ayat tersebut, “Mendekatlah kepada Allah dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang
diridhai-Nya.”
Ibadallah,
Tawassul (mendekatkan diri kepada Allah dengan cara tertentu) ada tiga macam:
Pertama: Tawasul yang disyariatkan. Yaitu tawassul kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan Asma’
dan Sifat-Nya dengan amal shalih yang dikerjakannya atau melalui doa orang shalih yang masih
hidup.
2. Kedua: Tawasul yang bid’ah. Yaitu mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara
yang tidak disebutkan dalam syariat, seperti tawassul dengan pribadi para Nabi dan orang-orang
shalih, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.
Ketiga: Tawasul yang syirik. Yatiu bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai
perantara dalam ibadah, termasuk berdoa kepada mereka, meminta keperluan dan memohon
pertolongan kepada mereka.
Tawassul yang yang disyariatkan juga ada 3 macam, yaitu:
Pertama: Tawassul Dengan Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Yaitu seseorang memulai doa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengagungkan, membesarkan,
memuji, mensucikan Dzat-Nya yang Maha Tinggi, Nama-Nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-
Nya yang tinggi kemudian berdoa (memohon) apa yang dia inginkan. Inilah bentuk doa dengan
menjadikan pujian dan pengagungan sebagai wasilah kepada-Nya agar Dia mengabulkan doa dan
permintaannya sehingga dia pun mendapatkan apa yang dia minta dari Rabb-nya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Dan Allah memiliki asma-ul husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya
dengan menyebut asma-ulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalah-artikan nama-
nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.
Al-A’raf:180)
3. Dalil dari al-Hadits tentang tawassul yang disyariatkan ini adalah hadits yang diriwayatkan dari
Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar
seseorang yang berucap dalam dalam shalatnya:
“Ya Allah, aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tidak ada ilah yang
berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Mu, Maha
Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Ya Rabb Yang memiliki
keagungan dan kemuliaan, ya Rabb Yang Mahahidup, ya Rabb yang mengurusi segala sesuatu,
sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan (ke surga dan aku berlindung kepada-Mu
dari siksa neraka).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh dia telah meminta kepada Allah dengan Nama-Nya yang paling agung yang apabila
seseorang berdoa dengannya niscaya akan dikabulkan, dan apabila ia meminta akan dipenuhi
permintaannya.”(HR. Bukhari dan selainnya).
Juga hadits lain yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdoa:
“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri sendiri (tidak butuh segala
sesuatu) dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan
Engkau serahkan urusanku kepada diriku meskipun hanya sekejap mata (tanpa mendapat
pertolongan dari-Mu).” (HR. an-Nasa-I dan Hakim).
Kedua: Seorang Muslim Bertawassul Dengan Amal Shalih Yang Dilakukannya.
4. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, kami benar-benar beriman, maka ampunilah
dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari adzab neraka.” (QS. Ali ‘Imran: 16).
Ketiga: Tawassul Kepada Allah ‘Azza wa Jalla Dengan Doa Orang Shalih Yang Masih Hidup.
Jika seorang muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia menyadari
kekurangan-kekurangan dirinya di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, sedang ia ingin mendapatkan
sebab yang kuat kepada Allah, lalu ia pergi kepada orang yang diyakini keshalihan dan
ketakwaannya, atau memiliki keutamaan dan pengetahuan tentang al-Qur-an serta as-Sunnah,
kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar mendoakan dirinya kepada Allah supaya ia
dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini termasuk tawassul yang
dibolehkan, seperti:
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa ‘Umar bin al-
Khaththab radhiyallahu anhu -ketika terjadi musim paceklik- ia meminta hujan kepada
Allah ‘Azza wa Jalla melalui ‘Abbas bin ‘Abdil Muthalib radhiyallahu anhu, lalu berkata, “Ya
Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan
kepada kami. Sekarang kami memohon kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka berilah kami
hujan.” Ia (Anas bin Malik) berkata, “Lalu mereka pun diberi hujan.”(HR. Bukhari dan selainnya).
Seorang Mukmin dapat pula minta didoakan oleh saudaranya untuknya seperti ucapannya,
“Berdoalah kepada Allah agar Dia memberikan keselamatan bagiku atau memenuhi keperluanku.”
Dan yang serupa dengan itu. Sebagaimana juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta
kepada seluruh ummatnya untuk mendoakan beliau, seperti bershalawat kepada beliau setelah
5. adzan atau memohon kepada Allah agar beliau diberikan wasilah, keutamaan dan kedudukan yang
terpuji yang telah dijanjikan oleh-Nya.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzin.
Kemudian bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya barang siapa yang bershalawat
kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah
wasilah (derajat di Surga) kepada Allah untukku karena ia adalah kedudukan di dalam Surga yang
tidak layak bagi seseorang kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allah dan aku berharap
akulah hamba tersebut. Maka, barang siapa memohonkan wasilah untukku, maka dihalalkan
syafaatku baginya.(HR. Muslim).
Doa yang dimaksud adalah doa sesudah adzan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
“Ya Allah, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang akan
didirikan. Berilah al-wasilah (kedudukan di Surga) dan keutamaan kepada Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam . Bangkitkanlah beliau sehingga dapat menempati maqam terpuji yang telah
Engkau janjikan.” (HR. Bukhari).
Kaum muslimin rahimakumullah,
Suka atau tidak, sebuah realita yang terjadi pada umat ini adalah adanya bid’ah di tengah-tengah
mereka. Suatu amalan baru yang menyerupai syariat akan tetapi sejatinya tidak dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tawassul yang bid’ah yaitu mendekatkan diri kepada Allah
6. dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat. Tawassul yang bid’ah ini ada beberapa macam,
di antaranya:
1. Tawassul dengan kedudukan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kedudukan
orang selainnya.
2. Tawassul dengan dzat makhluk.
Jika dimaksudkan: seseorang bersumpah dengan makhluk dalam meminta kepada Allah, maka
tawassul ini—seperti bersumpah dengan makhluk—tidak dibolehkan, sebab sumpah makhluk
terhadap makhluk tidak dibolehkan, bahkan termasuk syirik, sebagaimana disebutkan di dalam
hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Nama Allah, maka ia telah berbuat kufur atau
syirik.” (HR. Tirmidzi).
Apalagi bersumpah dengan makhluk kepada Allah, maka Allah tidak menjadikan permohonan
kepada makhluk sebagai sebab terkabulnya doa dan Dia tidak mensyariatkannya.
3. Tawassul dengan hak makhluk.
Tawassul ini pun tidak dibolehkan, karena dua alasan:
Pertama, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak wajib memenuhi hak atas seseorang, tetapi justru
sebaliknya, Allah-lah yang menganugerahi hak tersebut kepada makhluk-Nya, sebagaimana
firman-Nya :
“… Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman.” (QS. ar-Rum: 47).
7. Orang yang taat berhak mendapatkan balasan (kebaikan) dari Allah karena anugerah dan nikmat,
bukan karena balasan setara sebagaimana makhluk dengan makhluk yang lain.
Kedua, hak yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya adalah hak khusus bagi diri hamba
tersebut dan tidak ada kaitannya dengan orang lain dalam hak tersebut. Jika ada yang bertawassul
dengannya, padahal dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan perkara asing yang
tidak ada kaitannya antara dirinya dengan hal tersebut dan itu tidak bermanfaat untuknya sama
sekali.
Demikian kaum muslimin, khotib sampaikan pada khotbah yang pertama ini tentang dua bentuk
tawassul. Tawassul yang disunnahkan dan tawassul yang menyerupai syariat akan tetapi bukan
bagian dari syariat. Mudah-mudahan Allah menuntun kita untuk meneladani Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah dan dalam tindak-tanduk di kehidupan
kita .
Khutbah Kedua:
Ibadallah,
Pada khotbah pertama telah khotib jelaskan bentuk tawassul yang terlarang meskipun ia masih
mirip dengan bentuk ibadah. Adalah lagi bentuk tawassul yang merupakan ibadah yang utama ini,
namun dicampuri kesyirikan. Inilah yang dinamakan dengan tawassul yang syirik.
Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai tempat ditujukannya
ibadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan sesuatu kepada
mereka.
8. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman :
“Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Dia (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar
mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sungguh, Allah akan
memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak
memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.” (QS. az-Zumar: 3).
Tawassul dengan meminta doa kepada orang mati tidak diperbolehkan bahkan perbuatan ini adalah
syirik akbar. Karena mayit sudah tidak bias lagi berdoa seperti ketika ia masih hidup. Demikian
juga meminta syafa’at kepada orang mati, karena ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu dan para Shahabat yang bersama mereka, juga para
Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik ketika ditimpa kekeringan mereka memohon
diturunkannya hujan, bertawassul, dan meminta syafa’at kepada orang yang masih hidup, seperti
kepada al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib dan Yazid bin al-Aswad. Mereka tidak bertawassul,
meminta syafa’at dan memohon diturunkannya hujan melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam, baik di kuburan beliau atau pun di kuburan orang lain, tetapi mereka mencari pengganti
(dengan orang yang masih hidup).
‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata, ‘Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-
Mu dengan perantaraan Nabi-Mu, sehingga Engkau menurunkan hujan kepada kami dan kini kami
bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, karena itu turunkanlah hujan
kepada kami.’ Ia (Anas) berkata: ‘Lalu Allah menurunkan hujan.’
Mereka menjadikan al-‘Abbas radhiyallahu anhu sebagai pengganti dalam bertawassul ketika
mereka tidak lagi bertawassul kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai
dengan yang disyariatkan sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Padahal sangat
9. mungkin bagi mereka untuk datang ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertawassul
melalui beliau, jika memang hal itu dibolehkan. Dan mereka (para Sahabat) meninggalkan
praktek-praktek tersebut merupakan bukti tidak diperbolehkannya bertawassul dengan orang mati,
baik meminta doa maupun syafa’at kepada mereka. Seandainya meminta doa atau syafa’at, baik
kepada orang mati atau maupun yang masih hidup itu sama saja, tentu mereka tidak berpaling dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang lebih rendah derajatnya.
“Dan tidak (pula) sama orang yang hidup dengan orang yang mati. Sungguh, Allah memberikan
pendengaran kepada siapa yang Dia kehendaki dan engkau (Muhammad) tidak akan sanggup
menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22).
Setelah kita mengetahui bentuk-bentuk tawassul ini, di antara kita mungkin akan mendapati
ternyata bentuk-bentuk tawassul yang dilarang itu terjadi di sekitar kita. Maka wajib bagi kita
memperingatkan keluarga, saudara, teman, dan masyarakat secara umum tentang bentuk yang
dilarang ini.
Dan bagi kita yang belum mengetahui bentuk tawassul yang diperbolehkan, maka ia bisa
memanfaatkan syariat yang Allah tuntunkan ini dalam memanjatkan doa kepada-Nya. Mudah-
mudahan hal itu menjadi penyebab diterimanya dan dikabulkannya doa-doa kita.