SlideShare a Scribd company logo
1 of 33
MASYARAKAT MADANI:
DIALOG ISLAM DAN MODERNITAS DI INDONESIA
Oleh:
Saefur Rochmat1
Abstrak:
Masyarakat madani merupakan wacana yang sedang dikembangkan pada era
reformasi sekarang ini. Supaya dapat menempatkan wacana tersebut dalam konteks
yang tepat maka kita harus mengetahui sejarah perkembangan konsep masyarakat
madani, prinsip-prinsip yang harus ditegakkan di dalamnya, dan hambatan
menciptakan masyarakat madani di Indonesia.
Masyarakat madani merupakan padanan dari konsep civil society (masyarakat
sipil) yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau
Montesquieu. Sebelumnya pada zaman Yunani Kuno pernah digunakan kata societies
civilis oleh Cicero, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Konsep
civil society berusaha untuk mencegah lahirnya pemerintahan yang otoriter, dengan
menciptakan masyarakat yang kuat vis-à-vis negara.
Konsep civil society diadopsi oleh umat Islam dengan pendekatan projecting
back theory, yaitu melihat pada sejarah awal Islam sebagai patokan, dan bila tidak
ditemukan maka dicarikan pada sumber normatif al-Kur’an dan al-Hadits. Civil
society diterjemahkan dengan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang
diciptakan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Ciri-ciri kehidupan pada masa Nabi
yang ideal dianggap sebagai proto-masyarakat modern. Kehidupan yang ideal pada
masa Nabi merupakan acuan juga bagi John Locke, Mostequieu, dan Rousseau dalam
menyusun konsep civil society.
Kata kunci: masyarakat madani, negara, Nabi, Indonesia, projecting back theory.
1
Dosen Jurusan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Yogyakarta
1
1. Pendahuluan
Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan
pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan
Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah pada Simposium Nasional dalam rangka
Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah
itu diterjemahkan dari bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan oleh
Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri
ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab).
Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari,
tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu pada
hal-hal yang ideal dalam kehidupan.
Konsep masyarakat madani itu lahir sebagai hasil dari Festival Islam yang
dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yang selenggarakan oleh ICMI (Ikatan
Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam
yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto dan diketuai
oleh BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri Riset dan
Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas dari peranan Habibie yang berhasil
menyakinkan Presiden Soeharto untuk mengakomodasi kepentingan golongan
menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana untuk
menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari partner
dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya menjadi presiden pada tahun
1998. Hal ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi tekanan pengaruh dari mereka
yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis yang
mendirikan berbagai LSM dan kelompok Islam yang menempuh jalur sosio-kultural
seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri.
Mereka mengembangkan gerakan prodemokrasi dengan memperkenalkan
konsep civil society atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter
2
terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan
para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan untuk mengkaunter
dominasi ABRI sebagai penyangga utama eksistensi Orde Baru. ABRI tidak hanya
memerankan sebagai unsur pertahanan dan keamanan saja tetapi juga mencampuri
urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya pada doktrin dwi
fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik dalam lembaga
eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat
menentukan. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan
dan Orde Baru menjelma menjadi regim yang bersifat bureaucratic authoritarian (Arif
Rohman, 52).
Konsep masyarakat madani berkembang belakangan sebagai padanan dari
masyarakat sipil. Istilah masyarakat madani yang diperkenalkan kalangan Islam
politik menjadi lebih populer karena didukung oleh Soeharto yang ingin melakukan
perubahan politik secara hati-hati dengan mengurangi keterlibatan ABRI dalam
jabatan sipil atas desakan negara-negara donor dengan berakhirnya perang dingin
pada tahun 1989. Bagi regim Orde Baru, istilah masyarakat madani lebih netral
karena tidak seperti halnya konsep civil society yang ingin mendesak ABRI sebagai
kekuatan pertahanan dan keamanan sebagaimana yang terjadi di USA.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan
Wakil Presiden Habibie, yang juga ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa
transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden beserta
kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai
kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998
tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu komite dengan tugas untuk
merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep
masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang
menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi.
3
Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim
Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern,
persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat
pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format
seperti yang dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani memiliki rentang
waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran
yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini
Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai akibat dari proses
pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Like all other
vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor
unprejudiced (Curtin, 2002: 1).
Perumusan dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan
projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr
al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam
menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian
yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127).
Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yang lahir di
Barat dengan masyarakat madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi
Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara
kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.
Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan di satu sisi, Islam
mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan
zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat
idel produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep
civil society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan setelah
4
teruji validitasnya berdasarkan landasan normatif (nass) dari sumber primer Islam
(al-Qur’an dan Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par
exellence).
Nabi Muhammad SAW dan Masyarakat Madani
Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahan civil society dengan
masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi
Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip dalam
civil society yang lahir di Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel dengan
ide civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis
that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws
of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the
political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society
(Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having
its own legal code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’
(Curtin, 2002: 2). What this basically represents is the idea that people living together
form a political community with a common good.
Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi
harkat kemanusiaan. Dalam QS 2: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh kepada
para malaikat bersujud kepada Adam (manusia pertama) yang telah diberi kelebihan
akal pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam
semesta). Perkembangan lebih lanjut dari paham humanisme ini, kemudian di Barat
sebagaimana yang dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yang
berangkat dari asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik sehingga harus diberi
kebebasan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan suci”.
Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seorang ahli sejarah dunia,
melihat bahwa seandainya sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya adalah
sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil dari sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian
5
adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, … (QS 3: 110). Dia melihat
kehadiran Islam di muka bumi ini sungguh sangat sukses dan memiliki implikasi
yang sangat signifikan bagi peradaban, di antaranya dalam bidang ilmu pengetahuan.
Sebelum Islam datang, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-untuk
tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu
India dan ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling benar dan mereka
tidak mau mempelajari ilmu-ilmu lain. Namun tidak demikian halnya dengan Islam.
Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun
berada di negeri Cina.” Dalam salah satu ayatnya, Al-Kur’an juga memerintahkan
kita untuk bertanya: … Maka bertanyalah kepada orang berpengetahuan jika kamu
tidak mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir menginterpretasikan ahl adz-
dzikr dalam ayat itu sebagai al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini
memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar kepada siapa saja. Dengan demikian
bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30).
Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh
konteks ruang dan waktu, dan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan
dirinya sebagai kepala negara Islam, disamping tidak melontarkan ise suksesi yang
tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun
Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati
tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia
karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk
mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan,
keadilan dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541).
Nabi Muhammad telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan
dengan konsep ummat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan
heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai pada masa Nabi
Muhammad karena tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum
Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang
non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu bila dilakukan
6
ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yang
tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya
dapat menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran
kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah.
Dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, Islam seperti yang tersebar
dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) telah mengembangkan ada lima
jaminan dasar (Wahid (1999: 1) sebagai berikut:
(1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan
hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya
paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4)
keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5)
keselamatan profesi.
Bahkan konsep civil society itu mendapat pengaruh dari pemikiran Islam,
sebagaimana dijelaskan buku karangan C.G. Weeramantry (Monash University,
Australia) dan M. Hidayatullah (India) yang berjudul Islamic Jurisprudence: An
International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut
mereka, pemikiran John Locke dan Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka
tentang kedaulatan (sovereignty), mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke
ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih
tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, professor studi tentang Arab.
Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai problem-problem tentang
pemerintahan, kekuasaan dan kebebasan individu.
Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam.
Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to
give unity to his political system, and for as long as the form of his government
endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to
that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters,
yang kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas
dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific
7
references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu”
(Azizi, 2000: 94).
3. Masyarakat Madani di Indonesia
a. Latar belakang Kehidupan Politik
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru
yang didirikan dengan asumsi yang bertolak belakang dengan asumsi Orde Lama.
Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik
sebagai panglima, sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima.
Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas untuk
mendukung program pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan
pendekatan para teoritisi modern yang didukung IMF (International Monetary Fund)
dan World Bank, suatu badan yang sangat besar peranannya bagi modernisasi
Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan
tradisi sebagai wahana bagi rakyat untuk memberi makna terhadap pembangunan.
Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada
konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis itu akan memilik
efek positif juga pada lapisan rakyat bawah.
Sejak diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1966, Soeharto berusaha
memberi citra yang jelek pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru
membentuk Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yang tidak bersifat
ideologis dan lebih mementingkan pada program. Kalau dilihat fungsinya maka
Golkar merupakan partai politik karena ikut kompetisi dalam pemilu 1971 dan
nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu
1971 tidak lepas dari peranan militer yang memiliki jalur komando teritorial dari
pusat sampai ke tingkat kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama dengan aparat
birokrasi dan para teknokrat.
Kemenangan Golkar tidak lepas dari kebijakan Soeharto menunda
pelaksanaan pemilu dari tahun 1967 sampai tahun 1971, dan selama waktu itu mesin
8
politiknya melakukan kampanye terselubung. Suatu cara yang ditentang berbagai
partai politik, terutama Partai NU yang menjadi saingannya. Golkar berhasil
menguasai mayoritas kursi parlemen dan berhasil memaksakan berbagai kebijakan
untuk mendukung regim Orde Baru dan sebaliknya berusaha membatasi pengaruh
partai politik. Keluar Keputusan MPR tahun 1971 tentang massa mengambang yang
membatasi kegiatan partai hanya sampai di aras kabupaten. Kemudian keluar
kebijakan deideologisasi pada tahun 1973 yang menggabungkan partai-partai politik
kedalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam PPP; sedangkan partai-
partai lainnya bergabung ke dalam PDI. Akhirnya keluar UU No. 3 tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golongan Karya, untuk menegasikan partai politik dan
menekankan pada golongan fungsional yang dibentuk Golkar (Sitompul, 1989: 127).
Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik dengan
melakukan intervensi dalam pemilihan ketua sehingga citra parpol menjadi menurun
di mata rakyat. Intervensi merupakan suatu yang sangat lumrah karena kedua partai
politik PPP dan PDI mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi berbagai
unsur yang membentuknya. Partai menjadi tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran
aspirasi rakyat dan rakyat menjadi apatis terhadap politik.
Meskipun pembangunanisme telah menghasilkan angka pertumbuhan
ekeonomi sebesar rata-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% pada
periode 1971-1980, namun angka kemiskinan masih relatif tinggi, angka
pengangguran meningkat, dan yang tak kalah mengerikan adalah pengebiran
demokrasi dan pelanggaran HAM terus meningkat. Memang secara makro ekonomi
terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan manfaatnya bahkan merugikan
rakyat. Hal ini disebabkan ideologi developmentalisme yang telah dielaborasi
menjadi program-program pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh dan
rakyat untuk kepentingan kaum borjuis.
Nasib rakyat yang tertindas kurang mendapatkan perhatian secara memadai
karena partai politik tidak dapat mengagresikan Media massa sulit melakukan kritik
terhadap pemerintah
9
Militer terlibat juga dalam kegiatan ekonomi dan melakukan kerjasama
dengan para konglomerat sehingga mereka menjadi tidak peka terhadap nasih rakyat
b. Latar belakang Kehidupan Ormas
Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang
relatif memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai
unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH
Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais.
Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi
keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam
(Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih
besar daripada partai-partai politik yang ada.
UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989:
168) mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi
pengaruh ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan
birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-
organisasi kemasyarakat dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI,
SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki
kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya,
sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda
pemerintahan.
c. Kelahiran Civil Society
Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh
kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan
“modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU
adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan
dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil
society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan
10
dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society,
lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri
Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam.
Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum
kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua
Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan
dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan
dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam-
negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU
terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan
paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat
13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy
(Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip
kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan
perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid
Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa
Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17).
3. Hubungan Masyarakat Madani dan Negara
Dalam pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim
menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika
kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu
(biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan
hukum (Azizi, 2000: 87).
Kalau kita melihat secara jeli masyarakat madani yang diciptakan Nabi
berbentuk suatu negara, sehingga tidak sepenuhnya benar bila kita ingin mewujudkan
masyarakat madani berati menjadikan kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah seperti
yang terjadi di Amerika. Kesan tersebut muncul karena konsep civil society lahir
bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk
11
menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua,
untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun
kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48):
…the state as an association between the members of a society rather than as the
personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique
among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of
the state as an association between all members of a society means ascribing to it
supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social
arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is
to be a genuine association between all members of the community, it follows that its
claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line,
but must originate in the way in which rulers are related to the ruled.
Dari penjelasan di atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara
modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the
problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil
society lebih berkait dengan tema kedua itu, yaitu;
…how government should ralate to the private, individualist world of civil society
organised around commodity production, individual exchange and money; what
policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined.
Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be regarded as
necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a sphere which
included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These
different conceptions were later to form one of the major dividing lines in modern
liberalism.
Hegel dan Rousseau memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin
bagi berkembangknya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar
persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap
12
individu dapat mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem
sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama
(Gamble, 1988: 56).
Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari
sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe
sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai
dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai
perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk
memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik (Azizi, 2000: 88-
89), yaitu:
(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3)
the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders
to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what
we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for
making government policies depend on votes and other expressions of
preference.
Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka
kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.
Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang
menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam
peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada
Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people
can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran
Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin
agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern.
Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan
Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan
13
konsep Masyarakat madanikarena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan
diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie
mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk
membentuk suatu dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep
masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk
menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang
terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21
Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah muak dengan
pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh
negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak
Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia
duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan
umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi
terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat
dengan Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani
merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam
Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari
para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa
berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan
prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM.
Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999)
yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu
menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum
berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa
menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah
distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan
pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga-
14
lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yang efektif,
yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris.
Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi
diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan
Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim
Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran
HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan
kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih
banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat
madani), disamping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan.
Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau
dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai
komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat
beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko-
eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H.
Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling
mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung
dialong antar agama/antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu
lembagai yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan
untuk memupuk saling pengertian antar agama. Gus Dur, seperti kelompok
Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada
pribadi, visi, kesederhanaan dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama
(Effendi, 1999).
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah
problem tentang prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yang dulu
menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah
15
menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa
yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik
nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil
society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka
NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu
tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak didapat dilakukan oleh negara,
misalnya pengembangan pesantren Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur harus
mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan
berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’
yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila
(Wahid, 1991: 164).
4. Simpulan
Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto
pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau
SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum
berpengalaman dalam berdemokrasi sehingga pengembangan masyarakat madani
justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap
demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian
kekuasaan, bukan pada aturan main
Konsep civil society lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John
Locke atau Montesquieu. Lahirnya konsep ini berbarengan dengan lahirnya konsep
negara modern, yaitu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut.
Dengan kata lain mereka ingin mewujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk
mewujudkan negara demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani,
tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik
dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern.
Kalau kita menerjemahkan civil society dengan referensi model pemerintahan
Nabi Muhammad SAW periode Madinah maka kita tahu bahwa Nabi bertindak juga
16
sebagai kepala negara. Hal ini menunjukkan tidak perlu mempertentangkan antara
negara dengan masyarakat madani. Contohnya Gus Dur yang menjadi pelopor
strategi Islam budaya, kini dalam jabatan sebagai presiden harus menciptakan
pemerintahan yang demokratis supaya masyarakat madani juga berkembang pesat.
Daftar Pustaka
Abdillah, Masykuri. 1999. Islam dan Masyarakat madani. Kompas Online. 27
Februari 1999.
Abdurrahman, Moeslim. 1999. Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian
Masyarakat madani. Kompas Online. 29 dan 30 April 1999.
Ahmadi, H. 2000. Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah
Filsafat Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan
Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian
Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan
Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dabashi, Hamid. 1993. Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the
Islamic Revolution in Iran. New York and London: New York University
Press.
Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung
Mas Inti.
Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang
Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM
17
dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat
Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hikam, Muhammad A.S. 1999. Telaah tentang Kebebasan di Indonesia Menjelang
Tahun 2000. Dalam ABRI dan Kekerasan. Yogyakarta: Interfidie.
Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought.
Hongkong: Macmillan Education Ltd.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas
Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv.
Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat
madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Madjid, Nurcholish. 1998. Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al-
Islam. Dalam Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
McKeon, Richard. 1990. Freedom and History and Other Eassys. Chicago: The
University of Chicago Press.
Mas’ud, Abdurrahman. 2000. Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat
“Madani”. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam,
Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
18
Pickering, W.S.F. 1975. Durkheim on Religion: A Selection of Readings with
Bibliographies and Introductory Remarks. London: Routledge & Keagan
Ltd.
Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November
1999.
Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London:
Oxford University Press.
Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan
Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi.
Jakarta: BP 7 Pusat.
Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban
Islam.
<http:/artikel.isnet.org/Islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html>
11/9/99. Hal. 1.
Wahid, Abdurrahman. 2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LkiS.
Rizkibulsarra’s Weblog
Just another WordPress.com weblog
19
Soeharto dan Tradisionalisme Jawa
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“tidak ada studi mengenai politik Indonesia – yang boleh melewatkan
Presiden Soeharto sebagai seseorang yang telah mendominasi kehidupan
nasional Indonesia selama 30 tahun”. [1]
Hal inilah yang membuat penulis
tertarik untuk menulis pemikiran Soeharto.
Kebudayaan Jawa mempunyai pengaruh bagi Soeharto dalam
menjalankan pemerintahannya. Soeharto sangat dipengaruhi oleh akar
budayanya yang berasal dari Kemusuk, Jawa Tengah.
Hampir sepanjang hidupnya Soeharto tampak tidak tertarik dan juga
acuh dengan politik. Namun, ia akhirnya menjadi seorang yang menguasai
politik di Indonesia. Dalam menguasai politik di Indonesia dan juga
20
mempertahankan kekuasaannnya, ia menggunakan sistem patronase atau
disebut bapakisme. [2]
B. Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah memberikan sedikit gambaran mengenai
pemikiran Soeharto yang dipengaruhi oleh Tradisionalisme Jawa. Kekuasaan
yang bersifat patronase merupakan suatu ciri dari pemerintahan Orde Baru
yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Dalam makalah ini penulis ingin
mengkaji hubungan sistem patronase yang terjadi di masa orde baru dengan
beberapa pemikiran tradisionalisme Jawa.
C. Sistematika Penulisan
Pengumpulan materi dalam makalah ini dilakukan melalui studi
literatur dan melalui penelusuran media elektronik (internet).
D. Kerangka Teori
Dalam makalah ini penulis menggunakan Teori Patronase Politik.
Menurut Vicent Lemieux, Teori Patronase Politik adalah teori yang
mengatakan bahwa patronase adalah suatu dipensasi dari suatu keberhasilan,
seperti pekerjaan kantor, kontrak-kontrak, pembagian-pembagian atau hal-hal
lain yang mempunyai berharga yang berasal dari seorang patron (seseorang
21
yang mengontrol dispensasi) kepada rekannya. Sebagai gantinya, rekanan
tersebut akan memberikan suatu penghargaan yang sama atau senilai, seperti
memilih partai Patron atau menyumbang sejumlah uang ataupun sejumlah
pekerja untuk diperkerjakan dalam kampanye pemilihan umum. Hubungan
antara Patron dengan rekanannya mempunyai tipikal tidak seimbang dan
selektif.
Teori yang digunakan selanjutnya adalah teori Ben Anderson yang
mengungkapkan konsep kekuasaan Jawa. Konsep kekuasaan Jawa mempunyai
ciri-ciri seperti: 1. Kekuasaan bersifat Konkrit. 2. Kekuasaan bersifat Homogen.
3. Kekuaasan tidak mempersoalkan keabsahan. 4. Kekuasaan di alam semesta
tetap.
II. ISI
Teori Patronase Politik patronase adalah suatu dipensasi dari suatu
keberhasilan, seperti pekerjaan kantor, kontrak-kontrak, pembagian-
pembagian atau hal-hal lain yang berharga yang berasal dari seorang patron
(seseorang yang mengontrol dispensasi) kepada rekannya. Sebagai gantinya,
rekanan tersebut akan memberikan suatu penghargaan yang sama atau senilai,
seperti contohnya memilih partai patron atau menyumbang sejumlah uang
ataupun sejumlah pekerja untuk diperkerjakan dalam kampanye pemilihan
umum.
22
Budaya membangun suatu rekanan di era Soeharto, merupakan salah
satu contoh sistem patronase. Dalam hal ini, atasan dan bawahan seperti halnya
hubungan patron-client. Oleh karena itu, seorang bawahan harus pada suatu
waktu memberikan pisungun berupa asok glondhong miwah pengarem-arem
atau upeti. [3]
Padahal, sebenarnya budaya patronase merupakan salah satu
pemikiran luhur Jawa, dimana seorang bawahan sebagai bentuk pengabdian
memberikan sebagian rezekinya kepada atasan. Karena pada saat itu, atasanlah
yang memberi tanah garapan.
A. Latar Belakang Soeharto
Soeharto dilahirkan di desa Kemusuk, Jawa Tengah. Sebagai orang
Jawa, ia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang cukup kental. Sejak
kecil Soeharto hidup miskin dan hidup dalam kesukaran. Penderitaan hidup
membuatnya tabah dan tahan dan juga berhati-hati untuk bergantung dengan
orang lain dalam banyak hal. Ia juga lebih menyukai hubungan dekat dengan
beberapa orang saja di mana ia menjadi tokoh dominannya. Penderitaan
materiil dan emosional Soeharto di masa kecil dan masa muda membentuk
pemikiran yang introspektif dan mandiri, atau apa yang disebut McIntrye
‘autarki emosional’; “saya selalu ingat pengalaman dan kesusahan di masa
kecil,” Soeharto kelak berujar, “dan sebab itu saya menekankan pentingnya
“tepa selira” (hendaknya meraba pada diri sendiri)” [4]
Sifat inilah yang
23
menyebabkan Soeharto dalam memecahkan masalah dan kebingungan dengan
melihat ke dalam dirinya sendiri, bukan melihat ke luar.
Soeharto bukanlah seperti Syahrir yang mempunyai “ratusan buku
anak-anak dan Novel Belanda” ataupun mempunyai kalimat yang menyerupai
Soekarno, bahwa “waktuku habis untuk membaca. Ketika anak-anak lain
bermain, aku belajar. Aku mengejar pengetahuan jauh di luar pelajaran biasa.”
[5]
Soeharto adalah orang yang sederhana namun juga kompleks. Secara
intelektual, wawasannya sempit dan sederhana, hal ini disebabkan oleh
pendidikannya yang terbatas. Ia juga tidak mempunyai kebiasaan membaca,
merenung ataupun membuat suatu teori.
Gaya pemikiran Soeharto ditandai oleh perenungan, penghitungan dan
penguasaan batin (“mendekatkan batin kita dengan pencipta kita”) [6]
yang
menampakkan dirinya dalam aturan-aturan moral maupun praktis tertentu.
Struktur kepribadian dan emosinya, susunan kerangka berpikirnya, serta
persepsinya tentang makna dan arah historis memang sangat dipengaruhi oleh
adat dan kepercayaan Jawa. [7]
Banyak contoh mengenai sifat Kejawaan dari Soeharto, seperti ia
mewakili sosok lama era para raja kuno Jawa yang terpengaruh oleh konsep-
konsep feodal kuno. Secara sadar ataupun tidak, ia tampaknya berupaya
24
mereorganisasi Indonesia yang modern menjadi seperti kerajaan Jawa, baik
dalam bentuk dan juga semangatnya. [8]
B. Patronase dalam Pemikiran Tradisionalisme Jawa
Pengertian patronase pada budaya Jawa, adalah sebagai bentuk
pengabdian seorang bawahan kepada atasannya yang telah memberikan banyak
hal kepadanya.
Bila kita merunut pada Teori Ben Anderson mengenai kekuasaan dapat
kita lihat bagaimana Soeharto terpengaruh oleh pemikiran Jawa mengenai
kekuasaan. Menurut teori Ben Anderson, di Jawa, kekuasaan memiliki ciri-ciri
seperti: 1. Kekuasaan itu konkrit, artinya kekuasaan itu adalah bentuk realitas
seperti kekuatan yang ada pada benda-benda seperti batu, tanah, air, dan api.
Bila menurut pemikiran Barat kekuasaan harus orang dengan orang baru
dikatakan kekuasaan. Dalam kekuasaan Jawa tidak ada garis yang tegas antara
zat organik dan zat anorganik. Sumber dari kekuasaan adalah adil kodrati. 2.
Kekuasaan itu Homogen, kekuasaan itu sama sumbernya (adil kodrati, Sang
Pencipta). 3. Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Contohnya ketika
Mataram Lama masih berjaya, mereka membangun bangunan-bangunan
monumental. Karena rakyatnya tidak senang dengan kerajaannya, rakyat
Mataram Lama pindah ke Jawa Timur dan terjadi akumulasi kekuasaan.
Dengan adanya kerajaan di Jawa Timur maka kerajaan Mataram Lama makin
25
merosot. 4. Kekuasaan di alam semesta selalu tetap. Karena kekuasaan bukan
hasil dari interaksi. Dan juga karena Alam Semesta tidak bertambah luas dan
sempit.
Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja.
Hal ini dapat dilihat dari konsep kerajaan Mataram yang menggunakan konsep
keagunbinataraan. Kekuasaan besar yang wenang wisesa ing sanagari, dalam
konteks pewayangan sering dinamakan gung binathraha, bau dendha nyakrawati
(sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). [9]
Oleh
karena itu raja berhak mengambil keputusan apa saja termasuk keputusan ia
untuk melakukan apapun untuk kerajaannya termasuk yang ada di dalamnya
yang berarti termasuk hidup manusia di dalam kerajaannya. Dengan demikian
bila raja menginginkan sesuatu maka ia akan dengan mudah mendapatkan apa
yang ia inginkan dan ketika ada orang yang tidak mau memberikan apa yang
diinginkan sang raja maka ia akan diperangi. Sehingga dengan keadaan seperti
demikian rakyat akan takut dan tunduk kepada raja.
Namun dalam konsep kekuasaan Jawa, seorang pemimpin dalam
berkuasa harus diimbangi oleh beberapa sikap seperti berbudi bawa leksana,
ambeg adil paramarta (berbudi luhur serta mulia dan bersifat adil kepada siapa
saja dan adil dengan penuh kasih sayang). [10]
Raja yang baik harus dapat
menjaga keseimbangan antara kewenangan yang besar dengan kewajiban yang
26
besar pula. Tugas raja adalah membuat dan mempertahankan agar negara tata
titi tentrem, negari ingkang panjang punjung-punjung pasir wukir lohjinawi
gemah ripah karta tur raharja (negara yang aman tenteram, terkenal dengan
kewibawaannya, luas wilayahnya ditandai oleh pegunungan dan laut sebagai
wilayahnya, di depannya terhampar sawah luas dan sungai yang selalu
mengalir). [11]
Sistem politik kerajaan sering disebut sistem politik patrimonial atau
monarchy. [12]
Dalam hal ini raja sebagai penguasa dan juga pengayom seperti
halnya peran bapak dalam keluarga. Oleh karena itu, hubungan pengayom
dengan pengayem (atau orang yang dilindungi oleh pengayom) seperti hubungan
patron dengan client. Di dalam sistem ini bapak sangat menentukan dan semua
orang berusaha agar menjadi anak buah yang baik dan taat.
Untuk menjadi anak buah yang baik dan taat kadang-kadang anak buah
melakukan perbuatan yang tidak seharusnya. Misalnya dapat kita simak
sepenggal kata-kata dari R Ng Ranggawarsita bahwa: “Sing sapa ngerti ing
panuju, prasat pageri wesi.” (Barangsiapa yang mengerti tujuan atau kehendak
seseorang, seperti ia berpagar besi) [13]
Bila kita artikan maksud dari perkataan
dari R Ng Ranggawarsita adalah bila ada bawahan (anak buah) yang dapat
membuat senang atasannya, dengan sikap mundhuk-mundhuk, nun inggih
27
sendika dhawuh atau kalau perlu mengelabui atasan, maka ia akan disenangi
oleh atasannya.
C. Sistem Patronase dan Penerapannya di Masa Presiden Soeharto
Sistem patronase di masa kepemimpinan Soeharto terdiri dari orang-
orang yang cukup dekat dengannya. Kita dapat melihat keterampilan Soeharto
dalam membangun dan memelihara mesin patronase yang rumit dan
memastikan bahwa pelaku dalam Orde Baru secara terkompromikan dan
berutang budi kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang manuver
politik. Hal ini dicapai melalui pembagian uang minyak secara profesional yang
dikelola oleh Ibnu Sutowo, dan melalui alokasi piawai peluang-peluang bisnis.[14]
Ketika mereka yang tidak puas akan kebijakan dan kepemimpinannya yang
kemungkinan akan menjadi masalah baginya, mereka pelan-pelan digeser ke
bidang-bidang yang memberikan status serta peluang bisnis yang sulit mereka
tolak.
Dalam hal ini, dapat kita hubungkan dengan salah satu budaya Jawa
yakni belantik (dagang sapi) yang sebetulnya budaya ini adalah budaya tawar
menawar agar terjadi kesepakatan (harmonisasi)[15]
. Namun budaya ini telah
disalah artikan dengan tawar menawar jual beli kekuasaan.
28
Perilaku para politisi tersebut berdampak pada timbulnya praktek
korupsi. Budaya Gotong Royong yang sebetulnya adalah budaya Jawa yang
luhur tetapi kembali disalah artikan oleh para politisi Orde Baru. Budaya
gotong royong di masa orde baru menjadi budaya bergotong royong dalam
tutup-menutupi kesalahan dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan
pejabat-pejabat negara. Contohnya saja kasus Udin (wartawan harian Berita
Nasional-Bernas) yang terkait dengan Sri Roso Sudarmo (Mantan Bupati
Bantul, Yogyakarta) sampai saat ini tidak jelas kapan akan selesai.
Dengan sistem patronasenya pula, Soeharto dapat menghancurkan
lawan-lawan politiknya. Para lawan politiknya yang tidak bisa disuap harus
menyadari bahwa mereka akan menanggung hukuman yang cukup berat. Hal
ini dapat dicontohkan dengan dalam memerangi lawan-lawan politiknya
(seperti A. H. Nasution, Mokoginta, M. Jasin, Hugeng, Ali Sadikin, Mohammad
Natsir, Burhanudin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara-dalam Petisi 50),
ia selalu berhati-hati dengan pertama-tama mengucilkannya sehingga lawan
politik tersebut tidak mampu memperoleh dukungan dalam jumlah yang besar.
Hal ini akan membuat lawan politiknya tidak dapat berbuat banyak dan
akhirnya pendapat-pendapat miring mengenai kepemimpinannya akan hilang
dengan sendirinya.
III. KESIMPULAN
29
Sistem Patronase dalam budaya Jawa, yang mempunyai arti bentuk
pengabdian seorang bawahan kepada atasannya yang telah memberikan banyak
hal kepadanya. Namun hal tersebut telah salah dipraktekkan dalam masa Orde
Baru. Seorang bawahan yang taat dan patuh kepada atasannya, oleh atasannya
dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan dirinya sendiri.
Bila kita lihat teori kekuasaan, kekuasaan adalah kemampuan seseorang
untuk mempengaruhi untuk mempengaruhi orang lain, sehingga tingkah laku
orang tersebut akan mengikuti orang yang mempengaruhinya. Kekuasaan
merupakan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan-
kepentingan kolektif dengan cara membuat keputusan-keputusan yang
mengikat, dan jika ada perlawanan akan diberikan sanksi. Korupsi model Orde
Baru yang menekankan pada kepentingan kolektif, sebagai akibat sistem
patronase adalah ciri politik Orde Baru, ciri yang sangat dekat dengan kolusi
dan upeti.
Pemimpin dalam suatu negara dapat dikatakan seperti raja. Raja dalam
konteks pemikiran Tradisionalisme Jawa, memiliki kekuasaan yang terpusat
padanya. Sama halnya di era Soeharto dimana ia menjadi presiden Republik
Indonesia, ia memiliki kekuasaan yang dapat dikatakan hampir tiada batas.
Namun, di dalam pemikiran Jawa, kekuasaan tersebut harus diimbangi oleh
30
sikap-sikap yang berbudi luhur, mulia, adil dan penuh kasih sayang. Hal inilah
yang dilupakan oleh Soeharto ketika ia berkuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Zainuddin. Soeharto Mengapa Kekuasaannya dapat Bertahan Selama 32
Tahun?. Jakarta: FISIP UI Press, 2005.
Elson, R. E. Soeharto: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Minda Utama,
2005.
Endaswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cakarawala,
2006.
Gayo, Iwan. Buku Pintar Seri Senior. Jakarta: Pustaka Warga Negara, 2004.
Purwadi, M. Hum. Panembahan Senopati. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006.
_______Hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung. Yogyakarta: Tugu
Publisher, 2005.
Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta,
2005.
Roeder, O.G., Anak desa: biografi presiden Soeharto. Jakarta: Gunung Agung,
1976.
31
_______The smiling general: President Soeharto of Indonesia, edisi revisi kedua.
Jakarta: Gunung Agung, 1976
[1]
Ramage, Politics in Indonesia, hal. 4.
[2]
Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta, 2003), hal. 156.
[3]
Endaswara, Op. cit, hal. 158.
[4]
R. E. Elson, Soeharto: Sebuah Biografi Politik (Jakarta, 2005), hal. 37.
[5]
Ibid. hal. 36.
[6]
Soeharto, Pikiran, hal. 235.
[7]
Elson, op. cit., hal. 582. Contoh dari pemikiran Soeharto dengan menggunakan istilah-istilah Jawa
dapat dilihat dalam “Laporan stenografi amanat Presiden Soeharto pada malam ramah-tamah dengan
pengurus KNPI, tanggal 19 Juli 1982 di Jl. Cendana No. 8, Jakarta” (yang diberikan dari Ken Ward
kepada R. E. Elson)
[8]
Mody, Indonesia under Suharto, hal. 132; Schwarz, A Nation in waiting, 1994, hal. 278.
[9]
Endaswara, Op. Cit., hal. 169.
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
[12]
Ibid., hal. 170.
[13]
Ibid., hal. 166.
[14]
Elson, op. cit., hal. 590.
[15]
Endaswara, op. cit., hal. 158.
Leave a Reply
Journal Sea
Pages
• About
• Soeharto dan Tradisionalisme Jawa
Archives
• June 2008
32
• May 2008
• April 2008
Categories
• Politics (2)
• Uncategorized (1)
Blog at WordPress.com. The ChaoticSoul Theme.
Follow
Follow “Rizkibulsarra's Weblog”
Get every new post delivered to your Inbox.
Powered by WordPress.com
33

More Related Content

What's hot

karakteristik masyarakat madani
karakteristik masyarakat madanikarakteristik masyarakat madani
karakteristik masyarakat madanidian safitri
 
Masyarakat Madani Power Point
Masyarakat Madani Power PointMasyarakat Madani Power Point
Masyarakat Madani Power PointFirda Khaerini
 
Felixsiauw bahaya sekulerisme, pluralisme dan liberalisme
Felixsiauw   bahaya sekulerisme, pluralisme dan liberalismeFelixsiauw   bahaya sekulerisme, pluralisme dan liberalisme
Felixsiauw bahaya sekulerisme, pluralisme dan liberalismeRizky Faisal
 
Selamatkan Indonesia dari Virus Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.
Selamatkan Indonesia dari Virus Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.Selamatkan Indonesia dari Virus Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.
Selamatkan Indonesia dari Virus Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.Imad IbnuHisyam
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniFauzan 'Math
 
Presentasi Masyarakat Madani Lengkap
Presentasi Masyarakat Madani LengkapPresentasi Masyarakat Madani Lengkap
Presentasi Masyarakat Madani LengkapRezky Maulana
 
Tugas konsep masyarakat madani
Tugas konsep masyarakat madaniTugas konsep masyarakat madani
Tugas konsep masyarakat madaniBilhad Hard
 
Pentingnya Muktamar Khilafah 1434 H
Pentingnya Muktamar Khilafah 1434 HPentingnya Muktamar Khilafah 1434 H
Pentingnya Muktamar Khilafah 1434 HAlat_Survey_Pemetaan
 
Masyarakat Madani
Masyarakat MadaniMasyarakat Madani
Masyarakat MadaniAZA Zulfi
 
Pancasila Vs Ideologi-Ideologi Dunia
Pancasila Vs Ideologi-Ideologi DuniaPancasila Vs Ideologi-Ideologi Dunia
Pancasila Vs Ideologi-Ideologi DuniaRajabul Gufron
 
Islam Politik & Kepemimpinan Islam
Islam Politik & Kepemimpinan IslamIslam Politik & Kepemimpinan Islam
Islam Politik & Kepemimpinan IslamFuad Amsyari
 
Peran umat islam_dalam_mewujudkan_masyarakat_madani
Peran umat islam_dalam_mewujudkan_masyarakat_madaniPeran umat islam_dalam_mewujudkan_masyarakat_madani
Peran umat islam_dalam_mewujudkan_masyarakat_madaniKartika Dwi Rachmawati
 
BLACK WAHABI & ILLUMINATI : MENGUNGKAP KETERLIBATAN DAN KEMESRAAN NEGARA ARAB...
BLACK WAHABI & ILLUMINATI : MENGUNGKAP KETERLIBATAN DAN KEMESRAAN NEGARA ARAB...BLACK WAHABI & ILLUMINATI : MENGUNGKAP KETERLIBATAN DAN KEMESRAAN NEGARA ARAB...
BLACK WAHABI & ILLUMINATI : MENGUNGKAP KETERLIBATAN DAN KEMESRAAN NEGARA ARAB...primagraphology consulting
 

What's hot (20)

karakteristik masyarakat madani
karakteristik masyarakat madanikarakteristik masyarakat madani
karakteristik masyarakat madani
 
Liberalisme
LiberalismeLiberalisme
Liberalisme
 
Islam & politik
Islam & politikIslam & politik
Islam & politik
 
Masyarakat Madani Power Point
Masyarakat Madani Power PointMasyarakat Madani Power Point
Masyarakat Madani Power Point
 
Felixsiauw bahaya sekulerisme, pluralisme dan liberalisme
Felixsiauw   bahaya sekulerisme, pluralisme dan liberalismeFelixsiauw   bahaya sekulerisme, pluralisme dan liberalisme
Felixsiauw bahaya sekulerisme, pluralisme dan liberalisme
 
Selamatkan Indonesia dari Virus Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.
Selamatkan Indonesia dari Virus Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.Selamatkan Indonesia dari Virus Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.
Selamatkan Indonesia dari Virus Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme.
 
Makalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat MadaniMakalah Masyarakat Madani
Makalah Masyarakat Madani
 
Presentasi Masyarakat Madani Lengkap
Presentasi Masyarakat Madani LengkapPresentasi Masyarakat Madani Lengkap
Presentasi Masyarakat Madani Lengkap
 
Tugas konsep masyarakat madani
Tugas konsep masyarakat madaniTugas konsep masyarakat madani
Tugas konsep masyarakat madani
 
Pentingnya Muktamar Khilafah 1434 H
Pentingnya Muktamar Khilafah 1434 HPentingnya Muktamar Khilafah 1434 H
Pentingnya Muktamar Khilafah 1434 H
 
Mengenal mabda kapitalisme
Mengenal  mabda kapitalismeMengenal  mabda kapitalisme
Mengenal mabda kapitalisme
 
Masyarakat Madani
Masyarakat MadaniMasyarakat Madani
Masyarakat Madani
 
Liberalisme
LiberalismeLiberalisme
Liberalisme
 
Pancasila Vs Ideologi-Ideologi Dunia
Pancasila Vs Ideologi-Ideologi DuniaPancasila Vs Ideologi-Ideologi Dunia
Pancasila Vs Ideologi-Ideologi Dunia
 
Islam Politik & Kepemimpinan Islam
Islam Politik & Kepemimpinan IslamIslam Politik & Kepemimpinan Islam
Islam Politik & Kepemimpinan Islam
 
Bab iii makalah agama
Bab iii makalah agamaBab iii makalah agama
Bab iii makalah agama
 
Bab iv
Bab ivBab iv
Bab iv
 
Peran umat islam_dalam_mewujudkan_masyarakat_madani
Peran umat islam_dalam_mewujudkan_masyarakat_madaniPeran umat islam_dalam_mewujudkan_masyarakat_madani
Peran umat islam_dalam_mewujudkan_masyarakat_madani
 
Mengenal mabda sosialisme komunisme
Mengenal mabda sosialisme komunismeMengenal mabda sosialisme komunisme
Mengenal mabda sosialisme komunisme
 
BLACK WAHABI & ILLUMINATI : MENGUNGKAP KETERLIBATAN DAN KEMESRAAN NEGARA ARAB...
BLACK WAHABI & ILLUMINATI : MENGUNGKAP KETERLIBATAN DAN KEMESRAAN NEGARA ARAB...BLACK WAHABI & ILLUMINATI : MENGUNGKAP KETERLIBATAN DAN KEMESRAAN NEGARA ARAB...
BLACK WAHABI & ILLUMINATI : MENGUNGKAP KETERLIBATAN DAN KEMESRAAN NEGARA ARAB...
 

Viewers also liked

MyCognition onderwijs brochure Nederlands
MyCognition onderwijs brochure NederlandsMyCognition onderwijs brochure Nederlands
MyCognition onderwijs brochure NederlandsMyCognition
 
Daniel larner
Daniel larnerDaniel larner
Daniel larnerLa Mone
 
Building relationships with your clients
Building relationships with your clientsBuilding relationships with your clients
Building relationships with your clientsMircea Criveanu
 
Soeharto before
Soeharto beforeSoeharto before
Soeharto beforeLa Mone
 
Rian yuliani fah
Rian yuliani fahRian yuliani fah
Rian yuliani fahLa Mone
 
A day on the farm
A day on the farmA day on the farm
A day on the farmbilhadad
 
Tugassejarah politik, kekuasaan
Tugassejarah politik, kekuasaanTugassejarah politik, kekuasaan
Tugassejarah politik, kekuasaanLa Mone
 

Viewers also liked (15)

Salinan
SalinanSalinan
Salinan
 
21
2121
21
 
Sanjaya
SanjayaSanjaya
Sanjaya
 
MyCognition onderwijs brochure Nederlands
MyCognition onderwijs brochure NederlandsMyCognition onderwijs brochure Nederlands
MyCognition onderwijs brochure Nederlands
 
Moo beef steaks
Moo beef steaksMoo beef steaks
Moo beef steaks
 
Daniel larner
Daniel larnerDaniel larner
Daniel larner
 
Salinan
SalinanSalinan
Salinan
 
Fast food
Fast foodFast food
Fast food
 
Building relationships with your clients
Building relationships with your clientsBuilding relationships with your clients
Building relationships with your clients
 
Soeharto before
Soeharto beforeSoeharto before
Soeharto before
 
Rian yuliani fah
Rian yuliani fahRian yuliani fah
Rian yuliani fah
 
A day on the farm
A day on the farmA day on the farm
A day on the farm
 
Matlab
MatlabMatlab
Matlab
 
Ktvt
KtvtKtvt
Ktvt
 
Tugassejarah politik, kekuasaan
Tugassejarah politik, kekuasaanTugassejarah politik, kekuasaan
Tugassejarah politik, kekuasaan
 

Similar to Soeharto3

Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani2.docx
Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani2.docxSejarah Pemikiran Masyarakat Madani2.docx
Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani2.docxIzzulHaqFirmanMaulan
 
ppt kelompok vi .pptx
ppt kelompok vi .pptxppt kelompok vi .pptx
ppt kelompok vi .pptxDeviNovita48
 
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam-211210080136
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam-211210080136Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam-211210080136
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam-211210080136subairD1
 
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islamTakari konsep-kebudayaan-dalam-islam
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islamsubairD1
 
Teori-Teori Sosiohistoris
Teori-Teori SosiohistorisTeori-Teori Sosiohistoris
Teori-Teori SosiohistorisGideon Repi
 
35. 33020210178_Muhammad Ichdal Umam.pdf
35. 33020210178_Muhammad Ichdal Umam.pdf35. 33020210178_Muhammad Ichdal Umam.pdf
35. 33020210178_Muhammad Ichdal Umam.pdfRINIRISDAYANTI0125
 
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama IslamKELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama IslamabdulhamidalyFKIP
 
masyarakat berkarakter.pdf
masyarakat berkarakter.pdfmasyarakat berkarakter.pdf
masyarakat berkarakter.pdfRasya Rianto
 
Tugas agama kelompok 7
Tugas agama kelompok 7Tugas agama kelompok 7
Tugas agama kelompok 7Dia Cahyawati
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika PolitikMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politiknorma 28
 

Similar to Soeharto3 (20)

Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani2.docx
Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani2.docxSejarah Pemikiran Masyarakat Madani2.docx
Sejarah Pemikiran Masyarakat Madani2.docx
 
ppt kelompok vi .pptx
ppt kelompok vi .pptxppt kelompok vi .pptx
ppt kelompok vi .pptx
 
masyarakat madani
masyarakat madanimasyarakat madani
masyarakat madani
 
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam-211210080136
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam-211210080136Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam-211210080136
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam-211210080136
 
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islamTakari konsep-kebudayaan-dalam-islam
Takari konsep-kebudayaan-dalam-islam
 
Teori-Teori Sosiohistoris
Teori-Teori SosiohistorisTeori-Teori Sosiohistoris
Teori-Teori Sosiohistoris
 
35. 33020210178_Muhammad Ichdal Umam.pdf
35. 33020210178_Muhammad Ichdal Umam.pdf35. 33020210178_Muhammad Ichdal Umam.pdf
35. 33020210178_Muhammad Ichdal Umam.pdf
 
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama IslamKELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
KELOMPOK 6 PUTARAN 2 Mata Kuliah Agama Islam
 
Sekularism 2010
Sekularism 2010Sekularism 2010
Sekularism 2010
 
Sekularism 2010
Sekularism 2010Sekularism 2010
Sekularism 2010
 
Sekularism 2010
Sekularism 2010Sekularism 2010
Sekularism 2010
 
Sekularism 2010
Sekularism 2010Sekularism 2010
Sekularism 2010
 
Sekularism 2010
Sekularism 2010Sekularism 2010
Sekularism 2010
 
Sekularism 2010
Sekularism 2010Sekularism 2010
Sekularism 2010
 
Sekularism 2010
Sekularism 2010Sekularism 2010
Sekularism 2010
 
Sekularism 2010
Sekularism 2010Sekularism 2010
Sekularism 2010
 
PELAJARAN 1.pptx
PELAJARAN  1.pptxPELAJARAN  1.pptx
PELAJARAN 1.pptx
 
masyarakat berkarakter.pdf
masyarakat berkarakter.pdfmasyarakat berkarakter.pdf
masyarakat berkarakter.pdf
 
Tugas agama kelompok 7
Tugas agama kelompok 7Tugas agama kelompok 7
Tugas agama kelompok 7
 
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika PolitikMacam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
Macam-macam Ideologi Dunia Sebagai Etika Politik
 

More from La Mone

Pembahasan
PembahasanPembahasan
PembahasanLa Mone
 
Tugas final sejarah politik
Tugas final sejarah politikTugas final sejarah politik
Tugas final sejarah politikLa Mone
 
Sampul tugas
Sampul tugasSampul tugas
Sampul tugasLa Mone
 
Tag archives
Tag archivesTag archives
Tag archivesLa Mone
 
Part one
Part onePart one
Part oneLa Mone
 
Daniel larne1
Daniel larne1Daniel larne1
Daniel larne1La Mone
 
Astria wulandari
Astria wulandariAstria wulandari
Astria wulandariLa Mone
 
Soeharto4
Soeharto4Soeharto4
Soeharto4La Mone
 
Soeharto2
Soeharto2Soeharto2
Soeharto2La Mone
 
Soeharto1
Soeharto1Soeharto1
Soeharto1La Mone
 
Soeharto
SoehartoSoeharto
SoehartoLa Mone
 
Soeharto 5
Soeharto 5Soeharto 5
Soeharto 5La Mone
 
Reinventing depsos
Reinventing depsosReinventing depsos
Reinventing depsosLa Mone
 
Chapter ii
Chapter iiChapter ii
Chapter iiLa Mone
 

More from La Mone (20)

Pembahasan
PembahasanPembahasan
Pembahasan
 
Tugas final sejarah politik
Tugas final sejarah politikTugas final sejarah politik
Tugas final sejarah politik
 
Sampul
SampulSampul
Sampul
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Sampul tugas
Sampul tugasSampul tugas
Sampul tugas
 
Tag archives
Tag archivesTag archives
Tag archives
 
Smelser
SmelserSmelser
Smelser
 
Part one
Part onePart one
Part one
 
No. 2
No. 2No. 2
No. 2
 
Daniel larne1
Daniel larne1Daniel larne1
Daniel larne1
 
Astria wulandari
Astria wulandariAstria wulandari
Astria wulandari
 
111
111111
111
 
Soeharto4
Soeharto4Soeharto4
Soeharto4
 
Soeharto2
Soeharto2Soeharto2
Soeharto2
 
Soeharto1
Soeharto1Soeharto1
Soeharto1
 
Soeharto
SoehartoSoeharto
Soeharto
 
Soeharto 5
Soeharto 5Soeharto 5
Soeharto 5
 
Reinventing depsos
Reinventing depsosReinventing depsos
Reinventing depsos
 
Chapter ii
Chapter iiChapter ii
Chapter ii
 

Soeharto3

  • 1. MASYARAKAT MADANI: DIALOG ISLAM DAN MODERNITAS DI INDONESIA Oleh: Saefur Rochmat1 Abstrak: Masyarakat madani merupakan wacana yang sedang dikembangkan pada era reformasi sekarang ini. Supaya dapat menempatkan wacana tersebut dalam konteks yang tepat maka kita harus mengetahui sejarah perkembangan konsep masyarakat madani, prinsip-prinsip yang harus ditegakkan di dalamnya, dan hambatan menciptakan masyarakat madani di Indonesia. Masyarakat madani merupakan padanan dari konsep civil society (masyarakat sipil) yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya pada zaman Yunani Kuno pernah digunakan kata societies civilis oleh Cicero, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Konsep civil society berusaha untuk mencegah lahirnya pemerintahan yang otoriter, dengan menciptakan masyarakat yang kuat vis-à-vis negara. Konsep civil society diadopsi oleh umat Islam dengan pendekatan projecting back theory, yaitu melihat pada sejarah awal Islam sebagai patokan, dan bila tidak ditemukan maka dicarikan pada sumber normatif al-Kur’an dan al-Hadits. Civil society diterjemahkan dengan masyarakat madani, yaitu suatu masyarakat yang diciptakan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Ciri-ciri kehidupan pada masa Nabi yang ideal dianggap sebagai proto-masyarakat modern. Kehidupan yang ideal pada masa Nabi merupakan acuan juga bagi John Locke, Mostequieu, dan Rousseau dalam menyusun konsep civil society. Kata kunci: masyarakat madani, negara, Nabi, Indonesia, projecting back theory. 1 Dosen Jurusan Sejarah, FIS, Universitas Negeri Yogyakarta 1
  • 2. 1. Pendahuluan Masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society diperkenalkan pertama kali oleh Anwar Ibrahim (ketika itu Menteri Keuangan dan Timbalan Perdana Menteri Malaysia) dalam ceramah pada Simposium Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada Festival Istiqlal, 26 September 1995 (Hamim, 2000: 115). Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “mujtama’ madani”, yang diperkenalkan oleh Prof. Naquib Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri ISTAC (Ismail, 2000: 180-181). Kata “madani” berarti civil atau civilized (beradab). Madani berarti juga peradaban, sebagaimana kata Arab lainnya seperti hadlari, tsaqafi atau tamaddun. Konsep “madani” bagi orang Arab memang mengacu pada hal-hal yang ideal dalam kehidupan. Konsep masyarakat madani itu lahir sebagai hasil dari Festival Islam yang dinamai Festival Istiqlal, suatu festival yang selenggarakan oleh ICMI (Ikatan Cendekiawan Islam Muslim Indonesia). ICMI adalah suatu wadah organisasi Islam yang didirikan pada Desember 1991 dengan restu dari Presiden Soeharto dan diketuai oleh BJ Habibie, tangan kanan Soeharto yang menduduki jabatan Menteri Riset dan Teknologi. Berdirinya ICMI tidak lepas dari peranan Habibie yang berhasil menyakinkan Presiden Soeharto untuk mengakomodasi kepentingan golongan menengah Muslim yang sedang berkembang pesat dan memerlukan sarana untuk menyalurkan aspirasinya. Gayung bersambut karena Soeharto sedang mencari partner dari golongan Muslim agar mendukung keinginannya menjadi presiden pada tahun 1998. Hal ini dilakukan Soeharto untuk mengurangi tekanan pengaruh dari mereka yang sangat kritis terhadap kebijakannya, terutama dari kalangan nasionalis yang mendirikan berbagai LSM dan kelompok Islam yang menempuh jalur sosio-kultural seperti Gus Dur, Emha, dan Mustafa Bisri. Mereka mengembangkan gerakan prodemokrasi dengan memperkenalkan konsep civil society atau masyarakat sipil. Konsep ini ditawarkan sebagai kaunter 2
  • 3. terhadap hegemoni negara yang begitu massif melalui aparat militer, birokrasi, dan para teknokratnya. Konsep Civil society lebih dimaksudkan untuk mengkaunter dominasi ABRI sebagai penyangga utama eksistensi Orde Baru. ABRI tidak hanya memerankan sebagai unsur pertahanan dan keamanan saja tetapi juga mencampuri urusan sipil. Untuk keperluan itu ABRI menjustifikasi tindakannya pada doktrin dwi fungsi ABRI, dimana ABRI ikut memerankan tugas-tugas sipil baik dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keterlibatannya dalam politik sangat menentukan. Akibatnya check and balance dalam sistem pemerintahan tidak berjalan dan Orde Baru menjelma menjadi regim yang bersifat bureaucratic authoritarian (Arif Rohman, 52). Konsep masyarakat madani berkembang belakangan sebagai padanan dari masyarakat sipil. Istilah masyarakat madani yang diperkenalkan kalangan Islam politik menjadi lebih populer karena didukung oleh Soeharto yang ingin melakukan perubahan politik secara hati-hati dengan mengurangi keterlibatan ABRI dalam jabatan sipil atas desakan negara-negara donor dengan berakhirnya perang dingin pada tahun 1989. Bagi regim Orde Baru, istilah masyarakat madani lebih netral karena tidak seperti halnya konsep civil society yang ingin mendesak ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan sebagaimana yang terjadi di USA. Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie, yang juga ketua umum ICMI, sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan konsep Masyarakat madani karena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu komite dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. 3
  • 4. Munculnya konsep masyarakat madani menunjukkan intelektual muslim Melayu mampu menginterpretasikan ajaran Islam dalam kehidupan modern, persisnya mengawinkan ajaran Islam dengan konsep civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus sebagai akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Like all other vocabularies with a political edge, their meaning is neither self-evident nor unprejudiced (Curtin, 2002: 1). Perumusan dan pengembangan konsep masyarakat madani menggunakan projecting back theory, yang berangkat dari sebuah hadits yang mengatakan “Khayr al-Qurun qarni thumma al-ladhi yalunahu thumma al-ladhi yalunahu”, yaitu dalam menetapkan ukuran baik atau buruknya perilaku harus dengan merujuk pada kejadian yang terdapat dalam khazanah sejarah masa awal Islam (Hamim, 2000: 115-127). Kemudian para cendekiawan muslim mengislamkan konsep civil society yang lahir di Barat dengan masyarakat madani, suatu masyarakat kota Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Mereka mengambil contoh dari data historis Islam yang secara kualitatif dapat dibandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Mereka melakukan penyetaraan itu untuk menunjukkan di satu sisi, Islam mempunyai kemampuan untuk diinterpretasi ulang sesuai dengan perkembangan zaman, dan di sisi lain, masyarakat kota Madinah merupakan proto-type masyarakat idel produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society. Tentunya penggunaan konsep masyarakat madani dilakukan setelah 4
  • 5. teruji validitasnya berdasarkan landasan normatif (nass) dari sumber primer Islam (al-Qur’an dan Hadits) atau dengan praktek generasi awal Islam (the Islamic era par exellence). Nabi Muhammad SAW dan Masyarakat Madani Rasanya tidaklah berlebihan kalau kita menerjemahan civil society dengan masyarakat madani, karena kehidupan masyarakat Madinah di bawah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin sangat menjunjung prinsip-prinsip dalam civil society yang lahir di Barat. Masyarakat madani bentukan Nabi paralel dengan ide civil society bentukan Cicero. Cicero introduced the concept of societas civilis that is communities which conformed to norms that rose above and beyond the laws of the state and they fulfilled their public and social roles to serve the interests of the political community. In this view, the state constitutes an instrument of civil society (Caparini, 2002: 1). It refers to the living in a civilized political community, having its own legal code and with undertones of civility, urbanity and ‘civic partnership’ (Curtin, 2002: 2). What this basically represents is the idea that people living together form a political community with a common good. Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW sangat menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Dalam QS 2: 30-34 dijelaskan bahwa Allah menyuruh kepada para malaikat bersujud kepada Adam (manusia pertama) yang telah diberi kelebihan akal pikiran. Manusia diutus Allah menjalankan misi khalifah fil ardhi (pengatur alam semesta). Perkembangan lebih lanjut dari paham humanisme ini, kemudian di Barat sebagaimana yang dikemukakan Geovany Piego melahirkan paham liberalisme yang berangkat dari asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik sehingga harus diberi kebebasan. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci”. Dalam karyanya The Venture of Islam, Hodgson, seorang ahli sejarah dunia, melihat bahwa seandainya sejarah dunia ini diibaratkan roda maka sumbunya adalah sejarah Islam. Bahkan motto bukunya diambil dari sebuah ayat Al-Kur’an: Kalian 5
  • 6. adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, … (QS 3: 110). Dia melihat kehadiran Islam di muka bumi ini sungguh sangat sukses dan memiliki implikasi yang sangat signifikan bagi peradaban, di antaranya dalam bidang ilmu pengetahuan. Sebelum Islam datang, ilmu pengetahuan bersifat sangat nasionalistik sekali-untuk tidak menyebut parokialistik. Misalnya, ilmu Yunani, ilmu Romawi, ilmu Cina, ilmu India dan ilmu Mesir. Masing-masing mengaku dirinya paling benar dan mereka tidak mau mempelajari ilmu-ilmu lain. Namun tidak demikian halnya dengan Islam. Sejak awal Nabi Muhammad menegaskan “Carilah ilmu pengetahuan walaupun berada di negeri Cina.” Dalam salah satu ayatnya, Al-Kur’an juga memerintahkan kita untuk bertanya: … Maka bertanyalah kepada orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS 16: 43dan 21: 7). Para ahli tafsir menginterpretasikan ahl adz- dzikr dalam ayat itu sebagai al-‘ulama bi at-taurah wa al-injil. Penafsiran ini memberi arti bahwa umat Islam boleh belajar kepada siapa saja. Dengan demikian bagi Islam, ilmu pengetahuan bersifat universal (Siradj, 1999: 29-30). Islam sebagai agama universal tidak mengatur bentuk negara yang terkait oleh konteks ruang dan waktu, dan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak menamakan dirinya sebagai kepala negara Islam, disamping tidak melontarkan ise suksesi yang tentunya sebagai prasyarat bagi kelangsungan negara (Wahid, 2000: 16). Walaupun Nabi telah melakukan revolusi dalam masyarakat Arab, tetapi ia sangat menghormati tradisi dan memperbaharuinya secara bertahap sesuai dengan psikologi manusia karena tujuannya bukanlah menciptakan orde baru (a new legal order) tapi untuk mendidik manusia dalam mencapai keselamatan melalui terwujudnya kebebasan, keadilan dan kesejahteraan (Schacht, 1979: 541). Nabi Muhammad telah menampilkan peradaban Islam yang kosmopolitan dengan konsep ummat yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan heteroginitas politik. Peradaban Islam yang ideal tercapai pada masa Nabi Muhammad karena tercapai keseimbangan antara kecenderungan normatif kaum Muslimin dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim) (Wahid, 1999: 4). Keseimbangan itu akan terganggu bila dilakukan 6
  • 7. ortodoksi (formalisme) terhadap ajaran Islam secara berlebih-lebihan. Ortodoksi yang tadinya untuk mensistematiskan dan mempermudah pengajaran agama, akhirnya dapat menjadi pemasung terhadap kebebasan berpikir karena setiap ada pemikiran kreatif langsung dituduh sebagai bid’ah. Dalam kaitannya dengan hak-hak asasi manusia, Islam seperti yang tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) telah mengembangkan ada lima jaminan dasar (Wahid (1999: 1) sebagai berikut: (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa adanya paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Bahkan konsep civil society itu mendapat pengaruh dari pemikiran Islam, sebagaimana dijelaskan buku karangan C.G. Weeramantry (Monash University, Australia) dan M. Hidayatullah (India) yang berjudul Islamic Jurisprudence: An International Perspective, terbitan Macmillan Press (Azizi, 2000, 90-94). Menurut mereka, pemikiran John Locke dan Rousseau, terutama sekali mengenai teori mereka tentang kedaulatan (sovereignty), mendapatkan pengaruh dari pemikiran Islam. Locke ketika menjadi mahasiswa Oxford sangat frustasi dengan disiplinnya, dan lebih tertarik mengikuti ceramah dan kuliah Edward Pococke, professor studi tentang Arab. Kemudian perhatian pemikiran Locke mengenai problem-problem tentang pemerintahan, kekuasaan dan kebebasan individu. Rousseau dalam Social Contract-nya juga tidak lepas dari pengaruh Islam. Bahkan dia secara jelas menyebut: ‘Mohamet had very sound opinions, taking care to give unity to his political system, and for as long as the form of his government endured under the caliphs who succeeded him, the government was undivided and, to that extent, good’. Sementara Montesquieu bermula dari bukunya Persian Lettters, yang kemudian diteruskan dalam buku berikutnya The Spirit of the Laws, tidak lepas dari pengaruh Islam. Tentang Montesquieu ditulis “indeed there are many specific 7
  • 8. references to the Qur’an and to the Islamic law in the writing of Montesquieu” (Azizi, 2000: 94). 3. Masyarakat Madani di Indonesia a. Latar belakang Kehidupan Politik Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada rezim Orde Baru yang didirikan dengan asumsi yang bertolak belakang dengan asumsi Orde Lama. Kedua regim didirikan secara timpang, dimana regim Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima, sedangkan Orde Baru menjadikan ekonomi sebagai panglima. Arah kebijakan Orde Baru tersebut menitikberatkan pendekatana stabilitas untuk mendukung program pembangunan ekonomi. Pendekatan ini sejalan dengan pendekatan para teoritisi modern yang didukung IMF (International Monetary Fund) dan World Bank, suatu badan yang sangat besar peranannya bagi modernisasi Indonesia di bawah Presiden Soeharto. Mereka kurang mengakomodasi peranan tradisi sebagai wahana bagi rakyat untuk memberi makna terhadap pembangunan. Bagi mereka pembangunan dititikberatkan pada aspek materi dan percaya pada konsep trickle down bahwa pembangunan yang bersifat sentralistis itu akan memilik efek positif juga pada lapisan rakyat bawah. Sejak diangkat menjadi pejabat presiden pada tahun 1966, Soeharto berusaha memberi citra yang jelek pada politik yang cenderung bersifat ideologis. Orde Baru membentuk Golkar sebagai suatu golongan (bukan partai) yang tidak bersifat ideologis dan lebih mementingkan pada program. Kalau dilihat fungsinya maka Golkar merupakan partai politik karena ikut kompetisi dalam pemilu 1971 dan nantinya sebagai pendukung regim Orde Baru. Keberhasilan Golkar dalam pemilu 1971 tidak lepas dari peranan militer yang memiliki jalur komando teritorial dari pusat sampai ke tingkat kecamatan. Militer ini menjalin kerjasama dengan aparat birokrasi dan para teknokrat. Kemenangan Golkar tidak lepas dari kebijakan Soeharto menunda pelaksanaan pemilu dari tahun 1967 sampai tahun 1971, dan selama waktu itu mesin 8
  • 9. politiknya melakukan kampanye terselubung. Suatu cara yang ditentang berbagai partai politik, terutama Partai NU yang menjadi saingannya. Golkar berhasil menguasai mayoritas kursi parlemen dan berhasil memaksakan berbagai kebijakan untuk mendukung regim Orde Baru dan sebaliknya berusaha membatasi pengaruh partai politik. Keluar Keputusan MPR tahun 1971 tentang massa mengambang yang membatasi kegiatan partai hanya sampai di aras kabupaten. Kemudian keluar kebijakan deideologisasi pada tahun 1973 yang menggabungkan partai-partai politik kedalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam PPP; sedangkan partai- partai lainnya bergabung ke dalam PDI. Akhirnya keluar UU No. 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, untuk menegasikan partai politik dan menekankan pada golongan fungsional yang dibentuk Golkar (Sitompul, 1989: 127). Regim Soeharto berusaha melakukan kooptasi terhadap partai politik dengan melakukan intervensi dalam pemilihan ketua sehingga citra parpol menjadi menurun di mata rakyat. Intervensi merupakan suatu yang sangat lumrah karena kedua partai politik PPP dan PDI mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi berbagai unsur yang membentuknya. Partai menjadi tidak berfungsi sebagai wadah penyaluran aspirasi rakyat dan rakyat menjadi apatis terhadap politik. Meskipun pembangunanisme telah menghasilkan angka pertumbuhan ekeonomi sebesar rata-rata 7% hingga tahun 1992, bahkan mencapai 7,9% pada periode 1971-1980, namun angka kemiskinan masih relatif tinggi, angka pengangguran meningkat, dan yang tak kalah mengerikan adalah pengebiran demokrasi dan pelanggaran HAM terus meningkat. Memang secara makro ekonomi terkesan baik, namun secara mikro kurang diraskan manfaatnya bahkan merugikan rakyat. Hal ini disebabkan ideologi developmentalisme yang telah dielaborasi menjadi program-program pembangunan ini memiliki karakter menindas buruh dan rakyat untuk kepentingan kaum borjuis. Nasib rakyat yang tertindas kurang mendapatkan perhatian secara memadai karena partai politik tidak dapat mengagresikan Media massa sulit melakukan kritik terhadap pemerintah 9
  • 10. Militer terlibat juga dalam kegiatan ekonomi dan melakukan kerjasama dengan para konglomerat sehingga mereka menjadi tidak peka terhadap nasih rakyat b. Latar belakang Kehidupan Ormas Hanya beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang relatif memiliki kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki otoritas dalam pemahaman ajaran Islam (Azizi, 1999). Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada. UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Sitompul, 1989: 168) mewajibakan semua ormas berasasakan Pancasila. , suatu partai pomembatasi pengaruh ideologi-ideologi adanya sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek kehidupan, terutama terbentuknya organisasi- organisasi kemasyarakat dan profesi dalam wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap jalannya roda pemerintahan. c. Kelahiran Civil Society Munculnya wacana civil society di Indonesia banyak disuarakan oleh kalangan “tradisionalis” (termasuk Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan “modernis” (Rumadi, 1999). Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Di kalangan NU dikembangkan wacana civil society yang dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan 10
  • 11. dengan negara. Kalangan muda NU begitu keranjingan dengan wacana civil society, lihat mereka mendirikan LKiS yang arti sebenarnya adalah Lembaga Kajian Kiri Islam, namun disamarkan keluar sebagai Lembaga Kajian Islam. Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke khittah 1926 pada tahun 1984 yang mengantarkan Gus Dur sebagai Ketua Umum NU. Gus Dur memperkenalkan pendekatan budaya dalam berhubungan dengan negara sehingga ia dikenal sebagai kelompok Islam budaya, yang dibedakan dengan kelompok Islam Politik. Dari kandungan NU lahir prinsip dualitas Islam- negara, sebagai dasar NU menerima asas tunggal Pancasila. Alasan penerimaan NU terhadap Pancasila berkaitan dengan konsep masyarakat madani, yang menekankan paham pluralisme, yaitu: (1) aspek vertikal, yaitu sifat pluralitas umat (QS al-Hujurat 13) dan adanya satu universal kemanusiaan, sesuai dengan Perennial Philosophy (Filsafat Hari Akhir) atau Religion of the Heart yang didasarkan pada prinsip kesatuan (tawhid); (2) aspek horisontal, yaitu kemaslahatan umat dalam memutuskan perkara baik politik maupun agama; dan (3) fakta historis bahwa KH A. Wahid Hasyim sebagai salah seorang perumus Pancasila, disamping adanya fatwa Mukhtamar NU 1935 di Palembang (Ismail, 1999: 17). 3. Hubungan Masyarakat Madani dan Negara Dalam pengembangan konsep masyarakat madani para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum (Azizi, 2000: 87). Kalau kita melihat secara jeli masyarakat madani yang diciptakan Nabi berbentuk suatu negara, sehingga tidak sepenuhnya benar bila kita ingin mewujudkan masyarakat madani berati menjadikan kekuasaan eksekutif/pemerintah lemah seperti yang terjadi di Amerika. Kesan tersebut muncul karena konsep civil society lahir bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk 11
  • 12. menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society menyusun kerangka dasar sebagai berikut (Gamble, 1988: 47-48): …the state as an association between the members of a society rather than as the personal domain of a monarch, and furthermore as an association that is unique among all the associations in civil society because of the role it plays. Thingking of the state as an association between all members of a society means ascribing to it supreme authority to make and enforce laws –the general rules that regulate social arrangements and social relationships. If the state is accorded such a role, and if it is to be a genuine association between all members of the community, it follows that its claim to supreme authority cannot be based upon the hereditary title of a royal line, but must originate in the way in which rulers are related to the ruled. Dari penjelasan di atas Gamble (1988: 54) menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the the problem of the relationship of state power to civil society. Sedangkan konsep civil society lebih berkait dengan tema kedua itu, yaitu; …how government should ralate to the private, individualist world of civil society organised around commodity production, individual exchange and money; what policies and puposes it should pursue and how the general interest should be defined. Two principal lines of thought emerged. In the first the state came to be regarded as necessarily subordinate to civil society; in the second it was seen as a sphere which included but also transcended civil society and countered its harmful effects. These different conceptions were later to form one of the major dividing lines in modern liberalism. Hegel dan Rousseau memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangknya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap 12
  • 13. individu dapat mengejar keperluannya; melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama (Gamble, 1988: 56). Adam Seligman mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik (Azizi, 2000: 88- 89), yaitu: (1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom od expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference. Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani. Penggunaan istilah yang kedua berkaitan dengan tinjauan filsafat yang menekankan pada nilai dan kepercayaan, sebagai pengaruh moralitas Kristen dalam peradaban modern. Moral diyakini sangat penting untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara, walaupun aspek moral itu tidak ditransendenkan kepada Tuhan, dengan alasan seperti yang diyakini Montesquieu dan Tocqueville “the people can be trusted to rule themselves” (Azizi, 2000: 90). Mereka mengabaikan peran Tuhan yang dipandang sudah tidak cocok lagi untuk dunia modern. Mereka yakin agama hanya berperan sebagai masa transisi antara dunia mitos dan dunia modern. Era Reformasi yang melindas rezim Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa transisi, telah mempopulerkan 13
  • 14. konsep Masyarakat madanikarena Presiden beserta kabinetnya selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan Habibie mengeluarkan suatu Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang sudah muak dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak Asasi Manusia (HAM). Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Pengamat politik dari UGM, Dr Mohtar Mas'oed (Republika, 3 Maret 1999) yakin bahwa pengembangan masyarakat madani memang bisa membantu menciptakan atau melestarikan demokrasi, namun bagi masyarakat yang belum berpengalaman dalam berdemokrasi, pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main. Untuk menghindari hal itu, diperlukan pengembangan lembaga- 14
  • 15. lembaga demokrasi, terutama pelembagaan politik, disamping birokrasi yang efektif, yang menjamin keberlanjutan proses pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris. Keteganggan di Indonesia tidak hanya dalam wacana politik saja, tetapi diperparah dengan gejala desintegrasi bangsa terutama kasus Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, dan Gerakan Papua merdeka. Hal itu lebih didorong oleh dosa rezim Orde Baru yang telah mengabaikan ciri-ciri masyarakat madani seperti pelanggaran HAM, tidak tegaknya hukum, dan pemerintahan yang sentralistis/absolut. Sedangkan kerusuhan sosial yang sering membawa persoalan SARA menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang buta hukum dan politik (sebagai prasyarat masyarakat madani), disamping penegakkan hukum yang masih belum memuaskan. Gus Dur memerankan diri sebagai penentang terhadap ortodoksi Islam atau dikatakannya main mutlak-mutlakan yang dapat membunuh keberagaman. Sebagai komitmennya dia berusaha membangun kebersamaan dalam kehidupan umat beragama, yang tidak hanya didasarkan pada toleransi model kerukunan (ko- eksistensi) dalam Trilogi Kerukunan Umat Beragama-nya mantan Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu Gus Dur sangat mendukung dialong antar agama/antar imam, bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembagai yang bernama Interfidie, yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antar agama. Gus Dur, seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih pada pribadi, visi, kesederhanaan dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama (Effendi, 1999). Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek Masyarakat madanidi kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah 15
  • 16. menjadi “negara” itu sendiri. Hal tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak didapat dilakukan oleh negara, misalnya pengembangan pesantren Rumadi, 1999: 3). Sementara Gus Dur harus mendukung terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat madani, dimana negara hanya berperan sebagai ‘polisi’ yang menjaga lalu lintas kehidupan beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164). 4. Simpulan Ekses dari gerakan Reformasi yang berhasil menggulingkan rezim Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 masih terus belum teratasi, seperti kerusuhan berbau SARA. Hal itu terjadi karena baik pemerintah maupun masyarakat masih belum berpengalaman dalam berdemokrasi sehingga pengembangan masyarakat madani justru bisa menjadi hambatan terhadap demokrasi karena mereka menganggap demokrasi adalah distribusi kekuasaan politik dengan tujuan pemerataan pembagian kekuasaan, bukan pada aturan main Konsep civil society lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Lahirnya konsep ini berbarengan dengan lahirnya konsep negara modern, yaitu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dengan kata lain mereka ingin mewujudkan masyarakat yang demokratis. Untuk mewujudkan negara demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang memang menjadi kewajiban negara modern. Kalau kita menerjemahkan civil society dengan referensi model pemerintahan Nabi Muhammad SAW periode Madinah maka kita tahu bahwa Nabi bertindak juga 16
  • 17. sebagai kepala negara. Hal ini menunjukkan tidak perlu mempertentangkan antara negara dengan masyarakat madani. Contohnya Gus Dur yang menjadi pelopor strategi Islam budaya, kini dalam jabatan sebagai presiden harus menciptakan pemerintahan yang demokratis supaya masyarakat madani juga berkembang pesat. Daftar Pustaka Abdillah, Masykuri. 1999. Islam dan Masyarakat madani. Kompas Online. 27 Februari 1999. Abdurrahman, Moeslim. 1999. Peran Masyarakat Akademis sebagai Bagian Masyarakat madani. Kompas Online. 29 dan 30 April 1999. Ahmadi, H. 2000. Reformasi Sistem Pendidikan Islam dan Era Reformasi: Telaah Filsafat Pendidikan. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azizi, A Qodri Abdillah. 2000. Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dabashi, Hamid. 1993. Theology of Discontent: The Ideological Foundation of the Islamic Revolution in Iran. New York and London: New York University Press. Departemen Agama. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: PT Tanjung Mas Inti. Hamim, Thoha. 2000. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM 17
  • 18. dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hikam, Muhammad A.S. 1999. Telaah tentang Kebebasan di Indonesia Menjelang Tahun 2000. Dalam ABRI dan Kekerasan. Yogyakarta: Interfidie. Gamble, Andrew. 1988. An Introduction to Modern Social and Political Thought. Hongkong: Macmillan Education Ltd. Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. 1998. Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal. xiv. Ismail SM. 2000. Signifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan Masyarakat madani. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ismail, Faisal. 1999. NU, Gusdurism, dan Politik Kyai. Yogyakarta: Tiara Wacana. Madjid, Nurcholish. 1998. Dialog Agama-agama dalam Perspektif Universalisme al- Islam. Dalam Pasing Over: Melintas Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. McKeon, Richard. 1990. Freedom and History and Other Eassys. Chicago: The University of Chicago Press. Mas’ud, Abdurrahman. 2000. Reformasi Pendidikan Agama Menuju Masyarakat “Madani”. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 18
  • 19. Pickering, W.S.F. 1975. Durkheim on Religion: A Selection of Readings with Bibliographies and Introductory Remarks. London: Routledge & Keagan Ltd. Rumadi. 1999. Civil Society dan NU Pasca-Gus Dur. Kompas Online. 5 November 1999. Schacht, Joseph and C.E. Bosworth (eds.). 1979. The Legacy of Islam. London: Oxford University Press. Wahid, Abdurrahman. 1991. Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Oetojo Oesman dan Alfian (eds.). Pancasila sebagai Ideologi. Jakarta: BP 7 Pusat. Wahid, Abdurrahman. 1999. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. <http:/artikel.isnet.org/Islam/Paramadina/Konteks/Universalisme.html> 11/9/99. Hal. 1. Wahid, Abdurrahman. 2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LkiS. Rizkibulsarra’s Weblog Just another WordPress.com weblog 19
  • 20. Soeharto dan Tradisionalisme Jawa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang “tidak ada studi mengenai politik Indonesia – yang boleh melewatkan Presiden Soeharto sebagai seseorang yang telah mendominasi kehidupan nasional Indonesia selama 30 tahun”. [1] Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk menulis pemikiran Soeharto. Kebudayaan Jawa mempunyai pengaruh bagi Soeharto dalam menjalankan pemerintahannya. Soeharto sangat dipengaruhi oleh akar budayanya yang berasal dari Kemusuk, Jawa Tengah. Hampir sepanjang hidupnya Soeharto tampak tidak tertarik dan juga acuh dengan politik. Namun, ia akhirnya menjadi seorang yang menguasai politik di Indonesia. Dalam menguasai politik di Indonesia dan juga 20
  • 21. mempertahankan kekuasaannnya, ia menggunakan sistem patronase atau disebut bapakisme. [2] B. Tujuan Tujuan penulisan ini adalah memberikan sedikit gambaran mengenai pemikiran Soeharto yang dipengaruhi oleh Tradisionalisme Jawa. Kekuasaan yang bersifat patronase merupakan suatu ciri dari pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Dalam makalah ini penulis ingin mengkaji hubungan sistem patronase yang terjadi di masa orde baru dengan beberapa pemikiran tradisionalisme Jawa. C. Sistematika Penulisan Pengumpulan materi dalam makalah ini dilakukan melalui studi literatur dan melalui penelusuran media elektronik (internet). D. Kerangka Teori Dalam makalah ini penulis menggunakan Teori Patronase Politik. Menurut Vicent Lemieux, Teori Patronase Politik adalah teori yang mengatakan bahwa patronase adalah suatu dipensasi dari suatu keberhasilan, seperti pekerjaan kantor, kontrak-kontrak, pembagian-pembagian atau hal-hal lain yang mempunyai berharga yang berasal dari seorang patron (seseorang 21
  • 22. yang mengontrol dispensasi) kepada rekannya. Sebagai gantinya, rekanan tersebut akan memberikan suatu penghargaan yang sama atau senilai, seperti memilih partai Patron atau menyumbang sejumlah uang ataupun sejumlah pekerja untuk diperkerjakan dalam kampanye pemilihan umum. Hubungan antara Patron dengan rekanannya mempunyai tipikal tidak seimbang dan selektif. Teori yang digunakan selanjutnya adalah teori Ben Anderson yang mengungkapkan konsep kekuasaan Jawa. Konsep kekuasaan Jawa mempunyai ciri-ciri seperti: 1. Kekuasaan bersifat Konkrit. 2. Kekuasaan bersifat Homogen. 3. Kekuaasan tidak mempersoalkan keabsahan. 4. Kekuasaan di alam semesta tetap. II. ISI Teori Patronase Politik patronase adalah suatu dipensasi dari suatu keberhasilan, seperti pekerjaan kantor, kontrak-kontrak, pembagian- pembagian atau hal-hal lain yang berharga yang berasal dari seorang patron (seseorang yang mengontrol dispensasi) kepada rekannya. Sebagai gantinya, rekanan tersebut akan memberikan suatu penghargaan yang sama atau senilai, seperti contohnya memilih partai patron atau menyumbang sejumlah uang ataupun sejumlah pekerja untuk diperkerjakan dalam kampanye pemilihan umum. 22
  • 23. Budaya membangun suatu rekanan di era Soeharto, merupakan salah satu contoh sistem patronase. Dalam hal ini, atasan dan bawahan seperti halnya hubungan patron-client. Oleh karena itu, seorang bawahan harus pada suatu waktu memberikan pisungun berupa asok glondhong miwah pengarem-arem atau upeti. [3] Padahal, sebenarnya budaya patronase merupakan salah satu pemikiran luhur Jawa, dimana seorang bawahan sebagai bentuk pengabdian memberikan sebagian rezekinya kepada atasan. Karena pada saat itu, atasanlah yang memberi tanah garapan. A. Latar Belakang Soeharto Soeharto dilahirkan di desa Kemusuk, Jawa Tengah. Sebagai orang Jawa, ia sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa yang cukup kental. Sejak kecil Soeharto hidup miskin dan hidup dalam kesukaran. Penderitaan hidup membuatnya tabah dan tahan dan juga berhati-hati untuk bergantung dengan orang lain dalam banyak hal. Ia juga lebih menyukai hubungan dekat dengan beberapa orang saja di mana ia menjadi tokoh dominannya. Penderitaan materiil dan emosional Soeharto di masa kecil dan masa muda membentuk pemikiran yang introspektif dan mandiri, atau apa yang disebut McIntrye ‘autarki emosional’; “saya selalu ingat pengalaman dan kesusahan di masa kecil,” Soeharto kelak berujar, “dan sebab itu saya menekankan pentingnya “tepa selira” (hendaknya meraba pada diri sendiri)” [4] Sifat inilah yang 23
  • 24. menyebabkan Soeharto dalam memecahkan masalah dan kebingungan dengan melihat ke dalam dirinya sendiri, bukan melihat ke luar. Soeharto bukanlah seperti Syahrir yang mempunyai “ratusan buku anak-anak dan Novel Belanda” ataupun mempunyai kalimat yang menyerupai Soekarno, bahwa “waktuku habis untuk membaca. Ketika anak-anak lain bermain, aku belajar. Aku mengejar pengetahuan jauh di luar pelajaran biasa.” [5] Soeharto adalah orang yang sederhana namun juga kompleks. Secara intelektual, wawasannya sempit dan sederhana, hal ini disebabkan oleh pendidikannya yang terbatas. Ia juga tidak mempunyai kebiasaan membaca, merenung ataupun membuat suatu teori. Gaya pemikiran Soeharto ditandai oleh perenungan, penghitungan dan penguasaan batin (“mendekatkan batin kita dengan pencipta kita”) [6] yang menampakkan dirinya dalam aturan-aturan moral maupun praktis tertentu. Struktur kepribadian dan emosinya, susunan kerangka berpikirnya, serta persepsinya tentang makna dan arah historis memang sangat dipengaruhi oleh adat dan kepercayaan Jawa. [7] Banyak contoh mengenai sifat Kejawaan dari Soeharto, seperti ia mewakili sosok lama era para raja kuno Jawa yang terpengaruh oleh konsep- konsep feodal kuno. Secara sadar ataupun tidak, ia tampaknya berupaya 24
  • 25. mereorganisasi Indonesia yang modern menjadi seperti kerajaan Jawa, baik dalam bentuk dan juga semangatnya. [8] B. Patronase dalam Pemikiran Tradisionalisme Jawa Pengertian patronase pada budaya Jawa, adalah sebagai bentuk pengabdian seorang bawahan kepada atasannya yang telah memberikan banyak hal kepadanya. Bila kita merunut pada Teori Ben Anderson mengenai kekuasaan dapat kita lihat bagaimana Soeharto terpengaruh oleh pemikiran Jawa mengenai kekuasaan. Menurut teori Ben Anderson, di Jawa, kekuasaan memiliki ciri-ciri seperti: 1. Kekuasaan itu konkrit, artinya kekuasaan itu adalah bentuk realitas seperti kekuatan yang ada pada benda-benda seperti batu, tanah, air, dan api. Bila menurut pemikiran Barat kekuasaan harus orang dengan orang baru dikatakan kekuasaan. Dalam kekuasaan Jawa tidak ada garis yang tegas antara zat organik dan zat anorganik. Sumber dari kekuasaan adalah adil kodrati. 2. Kekuasaan itu Homogen, kekuasaan itu sama sumbernya (adil kodrati, Sang Pencipta). 3. Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Contohnya ketika Mataram Lama masih berjaya, mereka membangun bangunan-bangunan monumental. Karena rakyatnya tidak senang dengan kerajaannya, rakyat Mataram Lama pindah ke Jawa Timur dan terjadi akumulasi kekuasaan. Dengan adanya kerajaan di Jawa Timur maka kerajaan Mataram Lama makin 25
  • 26. merosot. 4. Kekuasaan di alam semesta selalu tetap. Karena kekuasaan bukan hasil dari interaksi. Dan juga karena Alam Semesta tidak bertambah luas dan sempit. Kekuasaan Jawa memang hampir seluruh kekuasaan terpusat pada raja. Hal ini dapat dilihat dari konsep kerajaan Mataram yang menggunakan konsep keagunbinataraan. Kekuasaan besar yang wenang wisesa ing sanagari, dalam konteks pewayangan sering dinamakan gung binathraha, bau dendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa dunia). [9] Oleh karena itu raja berhak mengambil keputusan apa saja termasuk keputusan ia untuk melakukan apapun untuk kerajaannya termasuk yang ada di dalamnya yang berarti termasuk hidup manusia di dalam kerajaannya. Dengan demikian bila raja menginginkan sesuatu maka ia akan dengan mudah mendapatkan apa yang ia inginkan dan ketika ada orang yang tidak mau memberikan apa yang diinginkan sang raja maka ia akan diperangi. Sehingga dengan keadaan seperti demikian rakyat akan takut dan tunduk kepada raja. Namun dalam konsep kekuasaan Jawa, seorang pemimpin dalam berkuasa harus diimbangi oleh beberapa sikap seperti berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta (berbudi luhur serta mulia dan bersifat adil kepada siapa saja dan adil dengan penuh kasih sayang). [10] Raja yang baik harus dapat menjaga keseimbangan antara kewenangan yang besar dengan kewajiban yang 26
  • 27. besar pula. Tugas raja adalah membuat dan mempertahankan agar negara tata titi tentrem, negari ingkang panjang punjung-punjung pasir wukir lohjinawi gemah ripah karta tur raharja (negara yang aman tenteram, terkenal dengan kewibawaannya, luas wilayahnya ditandai oleh pegunungan dan laut sebagai wilayahnya, di depannya terhampar sawah luas dan sungai yang selalu mengalir). [11] Sistem politik kerajaan sering disebut sistem politik patrimonial atau monarchy. [12] Dalam hal ini raja sebagai penguasa dan juga pengayom seperti halnya peran bapak dalam keluarga. Oleh karena itu, hubungan pengayom dengan pengayem (atau orang yang dilindungi oleh pengayom) seperti hubungan patron dengan client. Di dalam sistem ini bapak sangat menentukan dan semua orang berusaha agar menjadi anak buah yang baik dan taat. Untuk menjadi anak buah yang baik dan taat kadang-kadang anak buah melakukan perbuatan yang tidak seharusnya. Misalnya dapat kita simak sepenggal kata-kata dari R Ng Ranggawarsita bahwa: “Sing sapa ngerti ing panuju, prasat pageri wesi.” (Barangsiapa yang mengerti tujuan atau kehendak seseorang, seperti ia berpagar besi) [13] Bila kita artikan maksud dari perkataan dari R Ng Ranggawarsita adalah bila ada bawahan (anak buah) yang dapat membuat senang atasannya, dengan sikap mundhuk-mundhuk, nun inggih 27
  • 28. sendika dhawuh atau kalau perlu mengelabui atasan, maka ia akan disenangi oleh atasannya. C. Sistem Patronase dan Penerapannya di Masa Presiden Soeharto Sistem patronase di masa kepemimpinan Soeharto terdiri dari orang- orang yang cukup dekat dengannya. Kita dapat melihat keterampilan Soeharto dalam membangun dan memelihara mesin patronase yang rumit dan memastikan bahwa pelaku dalam Orde Baru secara terkompromikan dan berutang budi kepadanya sehingga mereka tidak memiliki ruang manuver politik. Hal ini dicapai melalui pembagian uang minyak secara profesional yang dikelola oleh Ibnu Sutowo, dan melalui alokasi piawai peluang-peluang bisnis.[14] Ketika mereka yang tidak puas akan kebijakan dan kepemimpinannya yang kemungkinan akan menjadi masalah baginya, mereka pelan-pelan digeser ke bidang-bidang yang memberikan status serta peluang bisnis yang sulit mereka tolak. Dalam hal ini, dapat kita hubungkan dengan salah satu budaya Jawa yakni belantik (dagang sapi) yang sebetulnya budaya ini adalah budaya tawar menawar agar terjadi kesepakatan (harmonisasi)[15] . Namun budaya ini telah disalah artikan dengan tawar menawar jual beli kekuasaan. 28
  • 29. Perilaku para politisi tersebut berdampak pada timbulnya praktek korupsi. Budaya Gotong Royong yang sebetulnya adalah budaya Jawa yang luhur tetapi kembali disalah artikan oleh para politisi Orde Baru. Budaya gotong royong di masa orde baru menjadi budaya bergotong royong dalam tutup-menutupi kesalahan dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pejabat-pejabat negara. Contohnya saja kasus Udin (wartawan harian Berita Nasional-Bernas) yang terkait dengan Sri Roso Sudarmo (Mantan Bupati Bantul, Yogyakarta) sampai saat ini tidak jelas kapan akan selesai. Dengan sistem patronasenya pula, Soeharto dapat menghancurkan lawan-lawan politiknya. Para lawan politiknya yang tidak bisa disuap harus menyadari bahwa mereka akan menanggung hukuman yang cukup berat. Hal ini dapat dicontohkan dengan dalam memerangi lawan-lawan politiknya (seperti A. H. Nasution, Mokoginta, M. Jasin, Hugeng, Ali Sadikin, Mohammad Natsir, Burhanudin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara-dalam Petisi 50), ia selalu berhati-hati dengan pertama-tama mengucilkannya sehingga lawan politik tersebut tidak mampu memperoleh dukungan dalam jumlah yang besar. Hal ini akan membuat lawan politiknya tidak dapat berbuat banyak dan akhirnya pendapat-pendapat miring mengenai kepemimpinannya akan hilang dengan sendirinya. III. KESIMPULAN 29
  • 30. Sistem Patronase dalam budaya Jawa, yang mempunyai arti bentuk pengabdian seorang bawahan kepada atasannya yang telah memberikan banyak hal kepadanya. Namun hal tersebut telah salah dipraktekkan dalam masa Orde Baru. Seorang bawahan yang taat dan patuh kepada atasannya, oleh atasannya dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Bila kita lihat teori kekuasaan, kekuasaan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi untuk mempengaruhi orang lain, sehingga tingkah laku orang tersebut akan mengikuti orang yang mempengaruhinya. Kekuasaan merupakan upaya untuk mencapai tujuan-tujuan atau kepentingan- kepentingan kolektif dengan cara membuat keputusan-keputusan yang mengikat, dan jika ada perlawanan akan diberikan sanksi. Korupsi model Orde Baru yang menekankan pada kepentingan kolektif, sebagai akibat sistem patronase adalah ciri politik Orde Baru, ciri yang sangat dekat dengan kolusi dan upeti. Pemimpin dalam suatu negara dapat dikatakan seperti raja. Raja dalam konteks pemikiran Tradisionalisme Jawa, memiliki kekuasaan yang terpusat padanya. Sama halnya di era Soeharto dimana ia menjadi presiden Republik Indonesia, ia memiliki kekuasaan yang dapat dikatakan hampir tiada batas. Namun, di dalam pemikiran Jawa, kekuasaan tersebut harus diimbangi oleh 30
  • 31. sikap-sikap yang berbudi luhur, mulia, adil dan penuh kasih sayang. Hal inilah yang dilupakan oleh Soeharto ketika ia berkuasa. DAFTAR PUSTAKA Djafar, Zainuddin. Soeharto Mengapa Kekuasaannya dapat Bertahan Selama 32 Tahun?. Jakarta: FISIP UI Press, 2005. Elson, R. E. Soeharto: Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005. Endaswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit Cakarawala, 2006. Gayo, Iwan. Buku Pintar Seri Senior. Jakarta: Pustaka Warga Negara, 2004. Purwadi, M. Hum. Panembahan Senopati. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006. _______Hidup, Mistik, dan Kematian Sultan Agung. Yogyakarta: Tugu Publisher, 2005. Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005. Roeder, O.G., Anak desa: biografi presiden Soeharto. Jakarta: Gunung Agung, 1976. 31
  • 32. _______The smiling general: President Soeharto of Indonesia, edisi revisi kedua. Jakarta: Gunung Agung, 1976 [1] Ramage, Politics in Indonesia, hal. 4. [2] Suwardi Endaswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta, 2003), hal. 156. [3] Endaswara, Op. cit, hal. 158. [4] R. E. Elson, Soeharto: Sebuah Biografi Politik (Jakarta, 2005), hal. 37. [5] Ibid. hal. 36. [6] Soeharto, Pikiran, hal. 235. [7] Elson, op. cit., hal. 582. Contoh dari pemikiran Soeharto dengan menggunakan istilah-istilah Jawa dapat dilihat dalam “Laporan stenografi amanat Presiden Soeharto pada malam ramah-tamah dengan pengurus KNPI, tanggal 19 Juli 1982 di Jl. Cendana No. 8, Jakarta” (yang diberikan dari Ken Ward kepada R. E. Elson) [8] Mody, Indonesia under Suharto, hal. 132; Schwarz, A Nation in waiting, 1994, hal. 278. [9] Endaswara, Op. Cit., hal. 169. [10] Ibid. [11] Ibid. [12] Ibid., hal. 170. [13] Ibid., hal. 166. [14] Elson, op. cit., hal. 590. [15] Endaswara, op. cit., hal. 158. Leave a Reply Journal Sea Pages • About • Soeharto dan Tradisionalisme Jawa Archives • June 2008 32
  • 33. • May 2008 • April 2008 Categories • Politics (2) • Uncategorized (1) Blog at WordPress.com. The ChaoticSoul Theme. Follow Follow “Rizkibulsarra's Weblog” Get every new post delivered to your Inbox. Powered by WordPress.com 33