SlideShare a Scribd company logo
1 of 31
IDENTIFIKASI CACING EURYTREMA SP. PADA TERNAK SAPI
                             BERDASARKAN CIRI-CIRI MORFOLOGIS
                   (Identification of Eurytrema Sp. in Cattle Based on Morphological
                                             Characteristics)
                      Keywords : Identification, Eurytrema sp ., morphology, cattle


ABSTRACT

The study was conducted to identify the Eurytrema sp. morphologically . The specimens of Eurytrema sp
. were obtained from the pancreatic duct of cattle slaughtered in Makassar, Yogyakarta and Aceh. The
flukes were fixated in 70% ethanol for morphological examination. The morphological examination was
conducted by using at least 3 flukes of each sample. The parameter which were measured included the
body size, oral and ventral succer, pharynx, testis, ovary and eggs. The measurement was conducted after
staining. Based on the morphological features it was found that there were 3 species, i.e. Eurytrema
pancreaticum, Eurytrema dajii and Eurytrema spp.

PENDAHULUAN

Penelitian tentang infeksi cacing pada ternak domba pernah dilakukan oleh DORNY et al. (1996) di
Sumatra Utara. Di sana terdapat 13 spesies cacing yang menginfeksi domba diantaranya 8 spesies
nematoda, 1 spesies cestoda dan 4 spesies trematoda . Semua domba mengalami infeksi campuran lebih
dari 1 spesies cacing . Di antara 4 spesies trematoda salah satunya ialah Eurytrema pancreaticum dengan
tingkat infeksi mencapai 23,3%. Kejadian E. pancreaticum juga pernah dilaporkan di Jawa Timur pada
sapi dan kambing (WIRORENO et al ., 1987) dan di Sumatera Utara pada domba (ARASU et al., 1991).
Genus Eurytrema sering juga disebut dengan cacing pankreas yang ditemukan di dalam pankreas dan
saluran empedu sapi, kerbau air, domba, kambing, man-nut, babi, unta, monyet dan manusia (TANG,
1950).Kejadiannya pada manusia yang kedua kalinya dilaporkan oleh ISHII et al. (1983) . Infeksi pada
induk semang definitif terjadi karena termakannya belalang yang terinfeksi oleh sporosista (GATENBY
et al., 1992). Cacing pankreas termasuk dalam kelas Trematoda sub kelas Digenea, famili Dicrocoelfdae.
Genus Eurytrema terdiri dari 6 spesies masing-masing : E. pancreaticum, E. coelomaticum, E. parvum, E.
rebelle, E. dajii, dan E. ovis . Secara morfologis, panjang dan lebar tubuh E. pancreaticum lebih besar
daripada Eurytrema sp. lainnya. Batil isap mulut lebih besar daripada batil isap perut. Eurytrema
coelomaticum identik dengan E. pancreaticum, perbedaannya dijumpai pada perbandingan antara
diameter batil isap perut dengan batil isap mulut. Eurytrema coelomaticum mempunyai diameter batil isap
mulut yang sama dengan batil isap perut. Eurytrema rebelle mempunyai batil isap perut yang lebih besar
daripada batil isap mulut, serta testisnya asimetris dan terletak lebih di bawah batil isap perut. Eurytrema
dajii mempunyai batil isap perut lebih besar daripada batil isap mulut dan testisnya berlobus . Eurytrema
ovis lebih mirip dengan E. pancreaticum dan E. coelomaticum, namun ukuran tubuhnya lebih kecil
daripada E. coelomaticum, dan ukuran batil isap mulut hampir sama dengan batil isap perut (NEVEU-
LEMAIRE, 1936). Perbedaan antara satu spesies dengan spesies lainnya didasarkan atas ciri-ciri
morfologisnya seperti ukuran tubuh, telur, dan perbandingan ukuran batil isap perut dengan batil isap
mulut (NEVEU-LEMAIRE, 1936) . Cacing pankreas mempunyai dua induk semang perantara yaitu siput
tanah (TANG, 1950) dan belalang (BASCH, 1965). Induk semang perantara pertama adalah dua jenis
siput tanah yaitu Bradybaena similaris dan Cathaica ravida sieboldtiana yang termasuk ke dalam famili
Fruiticoidolidae (TANG, 1950). Induk semang perantara kedua adalah belalang Conocephalus chinensis
(CHINONE et al., 1984; GU et al ., 1990). Belalang ini merupakan famili Tettigoniidae (METCALF dan
FLINT, 1979). Pengklasifikasian Eurytrema sp . sampai saat ini masih tetap kontroversial (MORIYAMA,
1982). Informasi tentang ciri-ciri morfologis cacing tersebut di Indonesia sangat minim, sehingga sampai
saat ini belum diketahui dengan jelas spesies yang terdapat di Indonesia . Oleh karena itu, dirasakan perlu
untuk dilakukan penelitian tentang identifikasi Eurytrema sp. pada sampel yang berasal dari daerah
berbeda sehingga diperoleh informasi tentang spesies cacing tersebut di Indonesia . Penelitian ini
berukuan untuk mengetahui spesies serata ciri-ciri morfologi cacing Eurytrema sp. yang berasal dari
ternak ruminansia di Jawa, Sumatera dan Sulawesi.

TEMPAT DAN WAKTU

-acetic dengan Koleksi bahan cacing Eurytrema sp. dewasa dilaksanakan di tiga lokasi yaitu Makassar,
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Daerah Istimewa Aceh (DIA) yang pelaksanaannya dilakukan
pada bulan Agustus 2000 sampai dengan April 2001 . Pemeriksaan morfologi dilaksanakan di
Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada. Bahan dan alat Penelitian
ini menggunakan cacing Eurytrema sp. dewasa yang diperoleh dari 13 buah pankreas sapi yang dipotong
di rumah potong hewan (RPH) Makassar (kode M), RPH Ngampilan, DIY (kode J) dan RPH Keudah, DI
Aceh (kode A). Sampel dari Makassar diperoleh dari 3 buah pankreas yang berasal dari sapiBali, dari
DIY 5 buah pankreas dari sapi cross breed, dan dari DI Aceh 5 buah pankreas dari sapi lokal (sapi Aceh).
Sapi yang digunakan berumur di atas 1 tahun. Pemeriksaan morfologi Prosedur penyiapan dan fiksasi
sampel mengikuti metode CABLE (1961). Seratus individu cacing dewasa yang diperoleh dari pankreas
yang terinfeksi dicuci dengan aquades, diletakkan di atas gelas nako yang berukuran 15 x 10 x 0,5 cm,
ditutup dengan gelas nako lainnya dan di atasnya diberi beban _+ 0,5 kg selama 15 menit. Sampel cacing
yang telah pipih difiksasi dalam larutan etanol 70%. Pemeriksaan morfologi hanya dilakukan terhadap 3-9
individu cacing yang telah diwarnai dari masingmasing sampel pankreas yang terinfeksi. Parameter yang
diukur meliputi ; ukuran tubuh, batil isap mulut dan perut, farinks, testis, ovarium, telur dan jarak
percabangan sekum ke ujung anterior tubuh. Pengukuran ukuran tubuh dilakukan dengan menggunakan
penggaris sedangkan ukuran batil isap mulut dan perut, farinks, testis, ovarium, telur danjarak
percabangan sekum ke ujung anterior tubuh menggunakan mikrometer. Identifikasi cacing berdasarkan
ciri morfologis mengacu pada metode standar menurut CABLE (1961). Cacing yang akan diwarnai
diletakkan di antara 2 gelas obyek sedemikian rupa agar tidak mengkerut dan dimasukkan ke dalam
cawan petri yang berisi larutan fiksatif AFA (alcoholformolkonsentrasi formalin 10 bagian, alkohol 95%
50 bagian,asam asetat 2 bagian dan air 40 bagian) dan dibiarkan selama _+24 jam. Cacing yang telah
difiksasi dicuci dengan air selama 15 menit dan dimasukkan ke dalam larutan alkohol bertingkat 30%,
50% dan 70% masingmasing selama 15 menit. Cacing diwarnai dengan Semichon's carmin selama 1 jam,
kemudian dicuci dengan larutan alkohol 70% selama 15 menit. Cacing dicuci dengan larutan HCl-alkohol
1 % selama 30 menit, dimasukkan dalam larutan alkohol 70%, 80%, 95%, 100% masing-masing selama
15 menit. Cacing dipindahkan ke dalam larutan xylol 2 kali masingmasing selama 15 menit, diletakkan di
atas gelas obyek dengan bagian ventral menghadap ke atas dan ditutup dengan entellan.

ANALISIS DATA
Ukuran morfologi cacing yang meliputi ukuran tubuh, ukuran batil isap mulut dan perut, ukuran testis,
ukuran ovarium, ukuran farinks dan ukuran telur dianalisis secara statistik .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rata-rata jumlah cacing per pankreas dari sampel DI Aceh adalah 326 (224-425) . Secara morfologi
cacing yang didapat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Batil isap mulut lebih besar dari batil isap perut,
testes berlobus, ovarium tidak berlobus dan ada juga yang berlobus, follikel vitellaria berkelompok yang
jelas batasannya. Sesuai dengan pendapat NEVEU-LEMAIRE (1936), LAPAGE (1959), MORIYAMA
(1982), dan INOUE et al. (1986) cacing tersebut termasuk E. pancreaticum (Gambar 1) . Selain itu juga
ditemukan Eurytrema dengan ciri-ciri sebagai berikut : Batil isap mulut lebih kecil dari batil isap perut,
testes berlobus, ovarium tidak berlobus dan ada juga yang berlobus dan follikel vitellaria berkelompok.
Sesuai dengan pendapat Neveu- LEMAIRE (1936), cacing tersebut tergolong E. dajii (Gambar 2).
Rata-rata jumlah cacing per pankreas dari sampel DIY adalah 1351 (134 - 2407). Secara morfologi cacing
tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Batil isap mulut lebih kecil dari batil isap perut, testes
berlobus, ovarium tidak berlobus dan ada juga yang berlobus dan follikel vitellaria berkelompok yang
jelas batasannya. Sesuai dengan pendapat NEVEU-LEMAIRE (1936),cacing tersebut tergolong E. dajii .
Rata-rata jumlah cacing per pankreas dari sampel Makassar tidak dihitung karena sampel cacing yang
dikoleksi dari masing-masing pankreas hanya diambil sebagian . Sampel cacing tersebut mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut : Batil isap mulut lebih kecil dari batil isap perut, testes berlobus, ovarium tidak
berlobus dan ada juga yang berlobus dan follikel vitellaria berkelompok yang jelas batasannya. Sesuai
dengan pendapat NEVEU-LEMAIRE (1936), cacing tersebut termasuk E. dajii . Selain itu juga
ditemukan Eurytrema dengan ciri-ciri sebagai berikut : Batil isap mulut lebih kecil dari batil isap perut,
testes dan ovarium kurang berlobus dan follikel vitellaria berkelompok yang tidak jelas batasannya .
Eurytrema ini belum diperoleh kunci identifikasinya sehingga spesies ini diduga sebagai spesies baru dan
di beri nama Eurytrema spp. (Gambar 3) . Sampel cacing yang berasal dari DI Aceh, DIY dan Makassar
mempunyai ukuran morfologi seperti tercantum pada Tabel 1 . Perbandingan ciri morfologis dari masing-
masing spesies seperti tercantum pada Tabel 2 . Ukuran tubuh E. pancreaticum lebih besar dari E. dajii
dan Eurytrema spp, E. dajii lebih besar dari Eurytrema spp. Meskipun rata-rata ukuran tubuh E.
pancreaticum lebih besar dari E. dajii namun E. dajii ada juga yang berukuran besar sehingga untuk
membedakannya hanya berdasarkan ukuran tubuh saja kurang tepat . Eurytrema pancreaticum
mempunyai batil isap mulut yang lebih besar daripada batil isap perut, hal ini sesuai dengan yang
dilaporkan NEVEU-LEMAIRE (1936), LAPAGE (1959), MORIYAMA (1982), dan INOUE et al.
(1986). Batil isap perut E. dajii lebih besar daripada batil isap mulut, sesuai dengan yang dilaporkan oleh
NEVEU-LEMAIRE (1936). Eurytrema spp. juga mempunyai batil isap perut yang lebih besar daripada
batil isap mulut. NOSAKA et al. Sit. CHINONE et al. (1984) melaporkan bahwa perbandingan batil isap
mulut dengan batil isap perut merupakan salah satu ciri yang bermanfaat untuk identifikasi spesies .
Perbandingan diameter batil isap perut dan batil isap mulut E. pancreaticum dan E. dajii yang diperoleh
dari penelitian ini (Tabel 2) sesuai dengan laporan terdahulu (NEVEU-LEMAIRE, 1936) (Tabel 3) .

Tabel   1 . Rata-rata ukuran morfologis Eurytrema sp . sampel asal DI Aceh, DIY dan Makassar

    Ciri-ciri
# tubuh
Panjang (mm)
Lebar (mm)
Diameter BIM
(mm)
Diameter BIP
(mm)
Diameter
BIM/BIP
# faring
Panjang (mm)
Lebar (mm)
# Testes kiri
Panjang
Lebar
#testes kanan
Panjang
Lebar
# ovarium
Panjang
Lebar
# telur
Panjang
Lebar
Cab. sekum ke
UAT (mm)
KETERANGAN : BIM = batil isap mulut           BIP = batil isap perut
             UAT = ujung anterior tubuh       Ed = Eurytrema dajii
             E.p = Eurytrema pancreaticum     E.spp = Eurytrema new spesies

Bentuk testis E. pancreaticum dan E. dajii lebih berlobus daripada Eurytrema spp, demikian juga bentuk ovariumnya .
Lobulasi testis ini merupakan sifat yang menciri untuk E. pancreaticum (CHINONE et al., 1984) dan E. dajii (NEVEu-
LEMAIRE, 1936). Kelompok folikel vitellaria E. pancreaticum dan E. dajii jelas batasannya sedangkan pada
Eurytrema spp. tidak jelas. Secara morfologis E. pancreaticum lebih mirip dengan E. dajii, perbedaan yang menciri
dijumpai pada perbandingan antara diameter batil isap mulut dengan batil isap perut (Tabel 2) . Perbedaan antara
Eurytrema spp. dengan E. pancreaticum dan E. dajii dijumpai pada semua parameter morfologis, kecuali pada
ukuran telur. Ukuran telur dari masing-masing spesies relatif sama, hal ini berbeda dengan laporan sebelumnya yang
mengatakan bahwa ukuran telur E. pancreaticum lebih besar dari telur E. dajii (NEVEU-LEMAIRE, 1936) . Ciri
morfologis yang sama antara Eurytrema spp. dan E. dajii adalah pada perbandingan antara batil isap mulut dengan
batil isap perut. Secara umum ukuran morfologi E. dajii sampel asal DI Aceh lebih besar daripada E. dajii sampel asal
DIY dan Makassar, namun ukuran testes kiri dan ovarium lebih besar pada sampel asal DIY.

Tabel 2. Rata-rata ciri morfologis Eurytrema sp.




Keterangan:
UAT= ujung anterior tubuh
BIM= batil isap mulut
BIP= batil isap perut
pt= panjang tubuh
*= rerata ukuran tubuh setelah diwamai

Tabel 3. Ciri-ciri morfologis spesies Eurytrema
Keterangan : ND = tidak ada data
             * =diameter
             (NEVEU-LEMAIRE, 1936)

Sampel asal Makassar dan D .I. Aceh dijumpai 2spesies cacing yang berbeda sedangkan sampel asal
DIY hanya 1 spesies pada 1 induk semang yang sama. Hal ini berbeda dengan laporan sebelumnya
yang menyebutkan bahwa spesies yang berbeda mungkin tidak hidup bersama pada induk semang
definitif yang sama (MORIYAMA, 1982). Tidak dijumpainya E. pancreaticum di DIY dan Makassar serta
Eurytrema spp. di DI Aceh dan DIY diduga karena faktor lingkungan dan induk semang definitif yang
berbeda dan juga mungkin karena waktu pengambilan sampel yang relatif singkat yaitu lebih kurang 1
minggu. Untuk penelitian selanjutnya dirasakan perlu untuk mempertimbangkan faktor tersebut di atas
sehingga dapat memberikan gambaran tentang spesies Eurytrema yang ada di Indonesia .




KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa secara morfologis genus Eurytrema yang berasal dari DI. Aceh,
Yogyakarta dan Makassar ada 3 spesies yaitu E. pancreaticum, E. dajii dan Eurytrema spp. Eurytrema
pancreaticum hanya dijumpai pada sampel asal DI. Aceh, E. dajii pada semua sampel dan Eurytrema
spp . hanya dijumpai pada sampel asal Makassar. Induk semang definitif dapat terinfeksi lebih dari satu
spesies Eurytrema. Penelitian yang sama perlu dilakukan lebih lanjut terutama di daerah lainnya, dengan
demikian akan diperoleh tambahan informasi tentang spesies Eurytrema yang ada di Indonesia .
EKINOKOKOSIS/HIDATIDOSIS, SUATU ZOONOSIS
          PARASIT CESTODA PENTING TERHADAP KESEHATAN
                          MASYARAKAT
                                                 TARMUDJI
                                          Balai Penelitian Veteriner
                           Jl. R.E. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114

ABSTRAK

Ekinokokosis/hidatidosis adalah suatu penyakit zoonosis cestoda yang disebabkan oleh infeksi stadium
larva Echinococcosis granulosus. Parasit cacing pita ini berukuran kecil (panjangnya < 1 cm) dan
mempunyai tiga segmen. Untuk melengkapi siklus hidupnya, E. granulosus memerlukan dua mamalia
sebagai inangnya. Cacing dewasanya hidup di dalam usus kecil hewan carnivora, terutama anjing (induk
semang definitif) dan menghasilkan telur yang mengandung larva infektif. Sedangkan stadium larva,
metacestode berkembang di dalam organ internal hewan ungulata, misalnya, domba, sapi, babi dan onta
(induk semang antara). Secara asidental E. granulosus dapat menginfeksi manusia (bila tertelan telur
infektif) dan dalam perkembangan stadium larva (hidatid) dapat membentuk kista pada organ tubuh
inangnya (terutama hati dan paru-paru). Penyebaran penyakit hidatid secara kosmopolitan, terutama di
daerah yang mempunyai populasi domba dan sapi yang sangat banyak. Penyakit ini merupakan problem
utama di daerah Timur Tengah, Afrika utara dan sub sahara serta di Amerika Utara. E. granulosus kurang
patogen pada anjing, tetapi bersifat patogen pada manusia dan menyebabkan hidatidosis (cystic
hydatidosis). Penyakit ini, pada stadium awal tidak memperlihatkan gejala klinik (aymptomatic). Gejala
klinis dapat terjadi setelah masa inkubasi yang cukup lama (diperkirakan beberapa bulan hingga tahunan).
Dan, tergantung dari jumlah, besar dan lokasi kista, perkembangannya (aktif/inaktif) serta terjadinya
penekanan kista terhadap jaringan di sekitarnya. Ukuran kista pada organ tubuh manusia sangat
bervariasi, biasanya sekitar 1-15 cm, tetapi bisa juga lebih besar (diameter > 15 cm). Kista pada hati dapat
menimbulkan rasa nyeri perut di bagian atas, hepatomegali dan berbagai macam gejala yang lain. Batuk
kronik, sesak nafas dan hemoptysis dapat disebabkan oleh kista pada paru-paru. Pada induk semang
antara, diagnosa tergantung ada/tidaknya kista pada organ, terutama pada hati dan paru-paru. Diagnosis
pada anjing dengan ditemukannya cacing (dewasa) E. granulosus. Sedang pada manusia diagnosis
ekinokokosis didasarkan pada gejala klinik, ultrasonografi dan pemeriksaan dengan sinar X (X-Ray) dan
metode lain yang dapat mendukung diagnosis yaitu dengan deteksi serum spesifik antibodi/uji
imunodiagnostik. Di Indonesia, secara serologi pernah ditemukan pada penduduk di sekitar danau Lindu,
Sulawesi Tengah, namun pada anjing tidak ditemukan cacing E. granulosus.
Kata kunci : Ekinokokosis/hidatidosis, E. granulosus, zoonosis, anjing, hewan ungulata, manusia

PENDAHULUAN

Beberapa parasit cestoda pada hewan ada yang bersifat zoonosis dan salah satu diantaranya adalah genus
Echinococcus (SOULSBY, 1965). Echinococcus sp. adalah cacing kecil (panjang <1cm) yang daur
hidupnya melibatkan dua mamalia (ECKERT et al., 1982). Cacing dewasanya hidup di dalam usus kecil
(intestine) hewan carnivora, terutama anjing sebagai induk semang definitive/ISD (Definitive Host),
sedangkan stadium larvanya (hidatid) hidup di dalam tubuh hewan ungulata (misalnya, domba, sapi, babi,
kuda, onta, dsb) sebagai induk semang antara/ISA (Intermediate Host). Di dalam usus, Echinococcus sp.
memproduksi telur yang dikeluarkan bersama feses anjing, sehingga dapat mencemari lingkungan. Bila
telur tersebut termakan oleh ISA, akan berkembang dan membentuk kista yang menyerupai tumor di
dalam organ tubuh inangnya, terutama pada organ hati dan paru-paru. Manusia dapat terinfeksi parasit
tersebut secara asidental, bila ia tertelan oleh telur cacing infektif melalui jari tangannya atau makanan
yang terkontaminasi feses anjing tersebut (FAO, 1957; ECKERT et al., 1982). Dua bentuk larva
Echinococcus yang merupakan masalah penting bagi kesehatan masyarakat yaitu, Echinococcus
granulosus yang menyebabkan Cystic Echinococcosis (CE) dan E. multilocularis yang menyebabkan
Alveolar Echinococcosis (AE). CE dan AE merupakan problem utama di wilayah peternakan domba
intensif dengan transmisi anjing-domba-anjing (LEECH et al., 1988). Masih ada dua spesies lagi yaitu E.
vogeli dan E.oligarthrus yang dapat menyebabkan Polycystic Echinococcosis, namun tidak begitu penting
karena frekuensi kejadiannya sangat rendah. (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Meskipun secara
geografis CE dan AE penyebarannya luas dan berdampak terhadap ekonomi dan kesehatan masyarakat,
namun CE yang paling penting diantara keduanya. Karena penyebaran CE sangat luas, paling sedikit
sudah dilaporkan terdapat di 100 negara dan variasi inangnya juga banyak (ECKERT dan DEPLAZES,
2004). E. granulosus bersifat kosmopolitan dan mampu beradaptasi dengan berbagai jenis inangnya pada
hewan-hewan di Eropa dan di belahan bumi lainnya. Di sebagian besar negara-negara Mediterranean
yang paling timur, infeksinya hiper-endemik pada domba, onta, kambing dan keledai. E. granulosus juga
dilaporkan di sebagian besar negara Asia, termasuk China, Kampuchea, Vietnam, Philipina, Taiwan dan
Indonesia dan daerah yang prevalensinya tertinggi adalah Iran, India, Nepal dan Pakistan. (ECKERT et
al., 1982). E. granulosus ini kurang patogen terhadap anjing, tetapi patogenitasnya cukup tinggi pada
manusia dan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan (di daerah endemik), yang disebut penyakit
hidatid (Hydatid Disease/ Hidatidosis) atau Ekinokokosis (THOMPSON dan ROBERTSON, 2003).
Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ekinokokosis/ hidatidosis yang disebabkan
oleh infeksi E. granulosus dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.

EKINOKOKOSIS/HIDATIDOSIS

Ekinokokosis dan hidatidosis merupakan suatu istilah yang biasa digunakan untuk menyatakan penyakit
yang disebabkan oleh infeksi cacing dewasa dan stadium larva (metacestoda) dari genus Echinococcus
(Family: Taeniidae). Istilah hidatidosis terbatas untuk infeksi metacestoda, sedang ekinokokosis untuk
keduanya (infeksi cacing dewasa maupun larvanya) (ECKERT et al., 1982). Penyebaran geografis E.
granulosus Phenotipe dan varietas dari spesies E. granulosus telah diisolasi dan diidentifikasi, ada
beberapa strain E. granulosus yang terdapat pada hewan piaraan/ternak (ISD – ISA) yang berpotensi
dapat menginfeksi manusia. Penyebaran E. granulosus secara geografis pada berbagai jenis hewan antara
lain sbb:
1. Anjing – Domba (strain domba/common sheep strain): di Eropa, Timur Tengah, Afrika, Iran, India,
Nepal, China, Rusia, Australia, Tasmania, New Zeland, USA dan Amerika Selatan.
2. Anjing – Sapi (strain sapi/cattle strain): di Eropa, Afrika Selatan, India, Nepal, Sri Lanka, Rusia,
Amerika Selatan.
3. Anjing – Babi (strain babi/pig strain): di Polandia, Slowakia, Ukraina, Rusia dan Argentina.
4. Anjing – Onta (strain onta/camel strain): Timur Tengah, Iran, Afrika, China, Nepal dan Argentina.
5. Anjing – Rusa (strain rusa/deer strain): di Norwegia, Swedia dan Alaska. Selain itu, ada strain E.
granulosus yang lainnya yang infektivitasnya pada manusia masih dipertanyakan/belum diketahui secara
pasti yaitu, strain kerbau/bufallo strain (di Asia), strain kuda/horse strain (di Timur Tengah, Eropa dan
Afrika Selatan) dan Lion strain (di Polandia dan Afrika) (OIE, 2000; ECKERT dan DEPLAZES, 2004).

Morfologi dan Daur Hidup E. granulosus

E. granulosus adalah cacing cestoda kecil, panjangnya 3-8,5 mm. Terdiri dari kepala (scolex), leher
(neck) dan proglottid (3-4 segmen). Scolex mempunyai empat alat penghisap (oral suckers), dan
mempunyai dua deret kait (hooks). Segmen terakhir (gravid proglottid), panjangnya lebih dari setengah
dari panjang total cacing dewasa dan mengandung sekitar 5000 butir telur. Setiap telur berbentuk ovoid
dengan diameter 30 – 40 mikron. Di dalam telur terdapat hexacanth embrio, yaitu embrio yang memiliki
tiga pasang kait (Oncosphere) (MULLER, 1975). Selanjutnya oncosphere di lokasi akhir (organ tubuh
ISA) akan berkembang menjadi metacestoda (larva hidatid) selama beberapa bulan dan menghasilkan
protoscolices (metcestoda fertile) atau tidak menghasilkan protoscolices (metcestoda steril) (ECKERT et
al., 1982). Metacestoda fertile inilah yang akan menjadi cacing dewasa bila berada dalam tubuh ISD. E.
granulosus dewasa, hidupnya menempel pada usus kecil anjing atau carnivora lainnya (wolf, dingo,
jackal) sebagai ISD. Proglottid (gravid) yang mengandung telur-telur infektif dikeluarkan bersama feses.
Apabila telur infektif E. granulosus termakan/tertelan oleh ISA (domba, sapi, babi, kuda, onta dsb) atau
manusia, maka telur tersebut akan menetas menjadi larva di dalam duodenum inangnya. Kemudian
oncosphere, dengan bantuan kait yang dimilikinya menembus mukosa usus, menuju pembuluh darah
portal dan mengikuti aliran darah ke berbagai organ tubuh. Dalam perkembangannya metacestoda ini
membentuk kista hidatid pada organ sasaran (hati, paruparu dan organ lainnya) (EDINGTON dan
GILLES, 1976). Perkembangan kista sangat lambat, tetapi pasti dan makin lama makin membesar.
Ukurannya baru mencapai 1mm setelah satu bulan dan setelah lima bulan ukurannya bertambah besar,
menjadi 10-55 mm dan mulai membentuk gelembung berbentuk kapsula yang berisi cairan bening
dan steril. Cairan tersebut mengandung garam, enzim,sedikit protein dan substansi toksik (MULLER,
1975). Kasus hidatidosis pada manusia terjadi secara asidental, bila telur cacing yang infektif tertelan
olehnya dan selanjutnya akan berkembang menjadi metacestoda di organ tubuhnya. Sedangkan
metacestoda fertile dengan protoscolices (scolex pada metacestoda) merupakan stadium larva yang
infektif. Siklus hidup cacing E. granulosus akan sempurna, apabila metacestoda fertile (pada organ
domba atau hewan lain) tersebut dimakan oleh anjing atau carnivora lainnya yang peka dan larva tersebut
akan menjadi dewasa di dalam usus anjing (Gambar 1) (ECKERT et al., 1982). Untuk kelangsungan
hidup E. granulosus, maka domba merupakan ISA yang penting dan menjadi sumber utama untuk
transmisi kista hidatid, karena metacestoda ini daya fertilitasnya tinggi. (1) Cacing dewasa di dalam usus
halus anjing atau Canidae lain. (2) Proglottid dengan telurtelurnya dikeluarkan bersama feses, (3) Telur,
(4) ISA - domba. Metacestoda (kista hidatid ) berkembang dalam hati, paru-paru dan organ viscera
lainnya. (4a) Infeksi secara asidental pada manusia (5) Hati yang terinfeksi metacestoda (5a) Metacestoda
fertile dengan protoscolex. Ini merupakan stadium infectif. Siklus hidup lengkap, bila metacestoda fertile
dimakan oleh carnivora yang peka.

Ekinokokosis pada hewan dan manusia

Adanya kista hidatid pada organ tubuh ternak dapat menimbulkan problem ekonomi, karena sebagian
produk ternaknya tidak layak dikonsumsi dan harus diafkir. Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat,
adanya kista hidatid pada manusia yang terus membesar, meskipun dalam waktu yang lama, dapat
menimbulkan penyakit kronik. Bagi penderitanya hal ini menjadi beban karena untuk pengobatannya
maupun operasi (pembedahan) memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Pada Hewan

Di Algeria, siklus anjing-domba-anjing biasanya merupakan sumber utama penularan pada manusia.
Namun, kapan strain E. granulosus tersebut terlibat dalam kontaminasi dan peranan hewan lainnya,
tidak/belum diketahui (BARDONNET et al., 2003). Di Australia, E. granulosus (sheep strain) sudah
lama terjadi, yaitu semasa kolonisasi bangsa Eropa di sana. Ternyata siklus anjing-dombaanjing ini
berkembang di daerah peternakan (banyak anjing yang diberi makan jerohan domba) dan kejadian ini
terus meluas dan menimbulkan masalah kesehatan di daerah perkotaan (urban area). Kista hidatid juga
diketemukan pada kanguru (THOMPSON dan ROBERTSON, 2003). Studi ekinokokosis di Iran bagian
Barat, selama tiga tahun (1997-2000) yang meliputi lima propinsi dapat ditemukan pada ISD dan kista
hidatid pada ISA. Pada ISD, 19,1% dari 115 ekor anjing yang positip E. granulosus. Demikian pula pada
jackal (2,3% dari 86) dan fox (5% dari 60) juga positip E. granulosus. Sedangkan kista hidatid dapat
dijumpai pada domba (19,1% dari 32.898), kambing (6,3% dari 10.691), sapi (16,4% dari 15.799) dan
kerbau (12,4% dari 659). Kista (pada hati dan paru-paru) pada domba lebih fertile disbanding dengan
kista dari hewan lainnya (DALIMI et al., 2002). Hal ini menunjukkan bahwa, anjing berpotensi dalam
penularan penyakit hidatid ke hewan lain dan semua ruminansia berisiko terserang penyakit hidatid ini,
terutama domba. Meskipun kista hidatid dapat terbentuk pada hewan ungulata, namun metacestoda fertile
tidak berkembang pada semua hewan, adakalanya steril dan perkembangan stadium fertile (terbentuk
protoscolices) yang terbaik hanya pada domba (EUZEBY, 1974). Karena kista hidatid pada domba lebih
fertile (90% fertile) dibanding dengan kista pada sapi (90% steril) atau babi (80% steril) (JUBB dan
KENNEDY, 1970). Di Brosov, kerbau berisiko tinggi terinfeksi ekinokokosis, hal ini ditunjukkan dengan
tingginya kasus tersebut. Dari hasil survai mencapai 86% (37 dari 43 ekor) kerbau betina positip
ekinokokosis. Sebagian besar kista E. granulosus ditemukan di paru-paru dan hati, dengan diameter kista
1-5,1 cm (COMAN et al., 2001). Kasus yang sama juga pernah dilaporkan di Punjab. Empat dari tujuh
ekor kerbau betina (7-9 tahun) menderita ekinokokosis paru-paru (pulmonary echinococcosis). Selain di
paru-paru, kista juga ditemukan pada organ hati. Pada pemeriksaan post mortem, ditemukan sejumlah
kista hidatid dengan ukuran bervariasi, dari sebesar buah anggur sampai sebesar bola yang memenuhi
rongga thorax. Kista hidatid juga ditemukan pada organ hati (PANDEY et al., 1978).

Pada manusia

Hidatidosis yang disebabkan oleh stadium larva E. ganulosus ini menjadi penting karena dapat
menginfeksi manusia. Satu atau lebih kista besar dapat menimbulkan lesi kronik (ANDERSON, 1986).
Menurut MAEINTYRE dan DIXON (2001), protoscolices dapat menyebabkan reaksi local dan
menginduksi mitosis sel-sel B dan se-sel T yang berpotensi terjadinya proliferasi dan deplesi sel-sel
tersebut di sekitar lokasi kista. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan kista membentuk
protoscolices tidak diketahui, tetapi diperkirakan lebih dari 10 bulan post infeksi (ECKERT dan
DEPLAZES, 2004). Bahkan mungkin tahunan, seperti yang dikatakan oleh MULLER (1975) bahwa,
periode inkubasi biasanya paling sedikit lima tahun, kecuali kista pada otak atau kelopak mata. Kista
primer dapat berkembang di berbagai organ tubuh, tetapi kista sekunder (metastasis dari serpihan kista
besar yang rupture akibat trauma) dapat terjadi di ruang abdomen. Kista yang kecil (dari metastasis
tersebut) terus berkembang dan tumbuh menjadi besar (ECKERT dan DEPLAZES, 2004).
Prevalensi hidatidosis pada manusia di setiap negara bervariasi. ECKERT et al. (1982) menyebutkan
bahwa, prevalensi kasus per 100.000 populasi/penduduk per tahun di beberapa negara adalah sbb : Di
Uruguay 20,7 kasus per 100.000, selanjutnya terjadi 12,9 kasus di Cyprus, 7,8 di Chili, 7,5-8,3 di Greece,
5,1-6,1 di Algeria dan 3,7 di Yugoslavia. Kasus Ekinokokosis pada manusia ini, di daerah endemik E.
granulosus cukup banyak dan merupakan masalah yang serius. Di daerah urban di Brazil (dekat
perbatasan Argentina-Uruguay), ekinokokosis ini menimbulkan problema kesehatan masyarakat yang
serius (HOFFMANN et al., 2001). Sementara itu, di Spanyol, selama kurun waktu 15 tahun (1981-1996),
pernah didiagnosa adanya 575 kasus hidatidosis pada manusia di salah satu rumah sakit di sana dan 321
pasien diantaranya dilakukan terapi dengan operasi/ pembedahan (CAMPOS-BUENO et al., 2000). Dan,
pada penelitian selanjutnya mereka menyimpulkan bahwa, faktor resiko terjadinya penyakit ini, berkaitan
dengan lingkungan keluarga (lingkungan peternakan, tempat tinggal di kota kecil dan sering kontak
dengan anjing). Resiko mereka untuk terkena ekinokokosis secara asidental lebih besar dibanding pekerja
pada peternakan itu sendiri. Karena mereka sering bergaul dengan anjing dan kurang menjaga kebersihan
diri maupun lingkungannya agar terbebas dari pencemaran kotoran anjing tersebut (FAO, 1957).
Sementara itu, REINECKE (1983) mengatakan bahwa, penyakit ini dapat ditularkan ke manusia (orang
yang selalu kontak dengan anjing) melalui embriophore yang menempel pada rambut dan cakar anjing.
Kista hidatid pada manusia dapat terjadi di berbagai lokasi organ tubuh, namun yang terbanyak pada
organ hati. Ukuran kista pada tubuh manusia sangat bervariasi dengan diameter 1-15cm, tetapi bisa juga
lebih besar (>15 cm atau lebih), tergantung dari umur dan perkembangan kista (ECKERT dan
DEPLAZES, 2004). Dilaporkannya bahwa, di rumah sakit di Mediterranean, didapatkan adanya 459
kasus hidatidosis. Kista hidatid secara tunggal (single site), paling banyak dijumpai pada organ hati (68,8
%) dan paru-paru (17,2 %). Selebihnya terjadi pada organ ginjal (3,7 %), limpa (3,3%), otot dan kulit
(2,2%), rongga abdominal dan rongga pelvis (2,0%), jantung (1,1%), otak (0,9%), tulang (0,6%) dan
ovarium (0,2%). Demikian pula di China, kasus hidatidosis pada pasien bedah (15.289 kasus), ditemukan
kista pada berbagai organ yang bersifat tunggal (single) dan ganda (multiple), sebanyak 75,2% dijumpai
pada organ hati, 22,4% pada paruparu dan selebihnya pada organ lainnya (ECKERT dan DEPLAZES,
2004). Banyaknya kista pada organ hati ini, disebabkan pada tahap awalnya larva yang masuk vena portal
tersaring dan tidak mampu melewati filter kapiler hati. Sedangkan larva yang dapat lolos dari filter di
kapiler hati akan masuk ke sirkulasi darah secara sistemik masuk paruparu dan atau organ tubuh lainnya
(EDINGTON dan GILLES, 1976).

EKINOKOKOSIS DI INDONESIA

Kejadian ekinokokosis di Indonesia belum banyak diketahui. Kemungkinan tidak ada kasus atau sedikit
kejadiannya, sehingga kurang menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian penyakit tersebut.
Penyakit ini bukanlah penyakit zoonosis yang diprioritaskan untuk diteliti di Indonesia, baik pada hewan
maupun pada manusia. Meskipun di daerah endemik di beberapa negara lain telah banyak dilakukan
penelitian penyakit ini, karena ekinokokosis merupakan salah satu zoonosis penting yang berdampak
terhadap kesehatan masyarakat. ECKERT et al. (1982) memang pernah melaporkan adanya E. granulosus
di Indonesia. Sementara itu, PALMIERI et al (1984) dalam laporannya menyebutkan bahwa, secara
serologis serum darah dari penduduk asli (berumur lebih dari 10 tahun) di sekitar danau Lindu Sulawesi
Tengah, ditemukan reaksi positip mengandung antibodi Echinococcus. Namun di lokasi yang sama, pada
pemeriksaan material intestin dari anjing tidak ditemukan adanya cacing E. granulosus. Material intestin
ini diperoleh setelah anjing (63 ekor) diberi purgative arecoline hydrobromida (1,5%) melalui oral. Yang
ditemukan adalah endoparasit lain selain E. granulosus, antara lain Toxocara sp. dan Diphyllobotrium sp.
Sementara itu, secara serologis (dengan metoda indirect hemagglutination test), ditemukan 17 dari 903
(1,8%) sera yang bereaksi positip mengandung antibodi echinococcus (titer: 1: 64 sampai 1: 512)
(PALMIERI et al., 1984). Hal ini menunjukkan bahwa, orang-orang tersebut diperkirakan pernah terpapar
oleh larva echinococcus, namun belum cukup untuk menimbulkan gejala klinik, mengingat timbulnya
gejala klinik cukup lama.

Gejala klinik dan patologik

Manifestasi klinik sangat tergantung dari banyaknya kista hidatid dan di mana kista tersebut berada. Kista
biasanya ditemukan secara tunggal dan 50% menginfeksi orang dewasa pada organ hati, di lobus kanan.
Sedang pada anak-anak lebih sering dijumpai pada paru-parunya daripada di hati (MULLER, 1975). Pada
phase awal infeksi primer, tidak memperlihatkan gejala klinik (asymptomatic), karena bentuk kistanya
masih kecil dan dilindungi kapsula sehingga tidak menimbulkan reaksi tubuh dan tidak menunjukkan
gejala klinik. Namun dalam perkembangan selanjutnya, untuk dapat menimbulkan gejala klinik
tergantung dari jumlah, besar dan perkembangan kista (aktif atau inaktif), organ yang terlibat (lokasi
kista), tekanan kista terhadap jaringan di sekitarnya dan mekanisme pertahanan tubuh dari inangnya
(ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Kista ekinikokosis terlihat sebagai gelembung-gelembung yang
terdiri dari dinding parasit dan isinya yaitu cairan bening. Membran ekinokokosis terdiri dari kutikula
yang strukturnya berlapis-lapis (terdapat di sebelah luar). Sedang lapisan parenkim terletak di sebelah
dalam, terdiri dari serabut-serabut otot dan endapan-endapan kapur. Lapisan parenkim menjadi scolices di
dalam gelambung-gelembung fertile. Scolices tidak terbentuk di dalam gelambung-gelembung steril
(RESSANG, 1984). Efek patologi dari kista hidatid berupa tekanan pada organ yang dapat menyebabkan
nekrosis pada hati atau organ lainnya.. Reaksi allergi (pruritis dan urticaria) dapat terjadi bila kista hidatid
secara spontan robek (ruptur) akibat trauma atau pembedahan (operasi). Serpihan antigen hidatid
menimbulkan reaksi dengan gejala-gejala dyspnoe, sianosis (MULLER, 1975; ANDERSON, 1985). Kista
pada hati dapat menyebabkan rasa sakit di bagian atas abdomen, gangguan pencernaan, hepatomegali,
cholestasis, sirosis dan berbagai manifestasi klinik lainnya. Sedang kista pada paru-paru yang ruptur ke
dalam ruang peritoneum dapat menyebabkan batuk kronis, sesak nafas, hemoptysis, pleuritis dan abses
paru-paru dan kista di otak dapat menyebabkan gangguan syaraf (ECKERT dan DEPLAZES, 2004).

Teknologi Diagnosis

Tehnik dan prosedur diagnosis yang digunakan untuk identifikasi E. granulosus tergantung infeksinya
(secara alami), inangnya (ISD & ISA) yang akan diperiksa. Diagnosis juga untuk menentukan stadia larva
hidatid dalam tubuh manusia (WOODS, 1986). Menurut MULLER (1975), diagnosis dapat dilakukan
sbb: 1. secara klinik dan parsitologi, bila ditemukan adanya protoscolices dalam sputum penderita akibat
kista paru-paru yang ruptur, 2. secara radiology, dengan sinar X (Xray), 3.secara imunologi (Uji Casoni,
uji Haemaglutinasi, uji Complement Fixation Test/CFT). DOGANAY et al. (2003) menambahkan bahwa
dengan uji Indirect Flourescent Antibody Technique (IFAT) dapat untuk diagnosis ekinokokosis pada
manusia dan domba. Sementara BARDONNET et al. (2003) mengatakan bahwa, untuk mengetahui
peranan inang lain (terutama sapi) yang dapat menjadi transmisi (reservoar) ke manusia dapat dilakukan
analisis DNA dengan PCR.

DIAGNOSIS HIDATIDOSIS PADA ISA

Diagnosis ini dapat dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH). Kista hidatid dari E. granulosus pada
berbagai organ (domba dan sapi) dapat diobservasi secara palpasi dan insisi. Tetapi pada babi dan
kambing, kadang kadang sulit dilakukan, karena dapat dikelirukan dengan infeksi cacing pita yang lain
(Taenia hydatigena ), bila kedua parasit tersebut menginfeksi organ hati yang sama. Namun dengan
pemeriksaan histopatologi dari potongan organ tersebut, dengan pewarnaan Periodic-acid Schiff (PAS),
dapat diketahui perbedaannya, yakni terdapat protoscolex dengan brood capsule atau “hydatid sand” yang
merupakan ciri khas E. granulosus (OIE, 2000).

DIAGNOSIS E. GRANULOSUS PADA ANJING

Diagnosis dengan mengidentifikasi telur E. granulosus dari feses anjing secara mikroskopis sulit
dilakukan, karena tidak mudah untuk membedakan antara telur E. granulosus dan telur Taenia sp.
(ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Namun dengan nekropsi anjing, dapat dilakukan identifikasi cacing
dewasanya dengan bantuan mikroskup stereo, biasanya E. granulosus dapat dijumpai pada sepertiga
bagian usus kecil anjing (OIE, 2000). Menurut HOFFMANN et al. (2001), ada tiga cara untuk diagnosis
ekinokokosis yaitu, pertama, purgasi dengan arecoline bromida untuk verifikasi adanya parasit. Kedua,
Uji ELISA untuk mendeteksi coproantigen dan ketiga dengan indirect immunosorbent antibody test untuk
mendeteksi adanya antibody terhadap E. granulosus.

Diagnosis hidatidosis pada manusia

Diagnosis larva hidatid pada manusia didasarkan pada pemeriksaan sinar X (XRAY), ultrasonography
dan metode lainnya dan didukung dengandeteksi antibody terhadap antigen echinococcus. Kemudian
dikonfirmasi dengan adanya parasit tersebut. Diagnosis secara serologis dapat dilakukan secara
imunodiagnostik yakni, mendeteksi serum antibody spesifik dengan metode ELISA (Enzyme Linked
immunosorbent Assay) dengan Crude Antigen EgCF (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Sementara itu,
DOGANAY et al. (2003) menyatakan bahwa, diagnosis kejadian awal hidatidosis yang dilakukan dengan
metoda IFAT dapat memberikan tingkat specifisitas dan sensitivitas masing-masing pada manusia 80 dan
90% dan pada domba keduanya 90%.

PENCEGAHAN DAN KONTROL

Di daerah endemik, perlu dilakukan pencegahan dan kontrol terhadap kemungkinan penularan parasit
lebih lanjut. Yaitu, memutus siklus hidup parasit dengan mencegah anjinganjing di wilayah tersebut
memperoleh kemudahan/mendapatkan ases makanan atau makan visceral domba (yang berasal dari
RPH). Karena organ visceral tersebut diperkirakan ada yang mengandung kista hidatid fertile, sehingga
dapat merupakan sumber penularan. Memberi makan anjing dengan visceral domba yang telah dimasak
terlebih dulu, agar parasitnya mati (WOODS, 1986). Infeksi telur cacing E.granulosus pada domba sulit
dicegah, namun hal ini dapat diatasi dengan vaksinasi domba dengan vaksin rekombinan antigen
oncosphere yang dapat memproteksi hewan itu terhadap parasit tersebut (OIE, 2000). Pada manusia,
harus membiasakan diri dengan menjaga kebersihan, terutama harus mencuci tangan sebelum makan dan
minum bagi mereka sering kontak dengan anjing.
Penyuluhan kepada masyarakat akan bahayanya penyakit hidatidosis ini (WOODS, 1986). Sementara
pasien penderita hidatidosis dapat dilakukan pembedahan (operasi) untuk membuang kistanya dan
dilakukan pengobatan /khemoterapi dengan Benzimedazole (Albendazole atau Mebendazole) (ECKERT
dan DEPLAZES, 2004).

KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. E. granulosus, cacing cestoda kecil (< 1cm), hidup di dalam usus kecil anjing atau carnivora lainnya
(ISD). Sedangkan
  stadium larvanya (metacestoda) berkembang di dalam tubuh ISA (domba, sapi, babi, kuda, onta dsb).
  Di dalam organ tubuh (terutama hati atau paru-paru), terbentuk kista yang mempunyai protoscolices
  (metacestoda fertile). Daur hidup menjadi lengkap, bila metacestoda fertile pada organ tubuh ISA
  tersebut dimakan oleh anjing atau carnivora lainnya.
2. Kasus hidatidosis pada manusia terjadi secara asidental, bila ia tertelan/termakan telur E. granulosus
infektif. Kejadian
  semacam ini sering terjadi di daerah endemic parasit tersebut, terutama bagi mereka yang sering kontak
  dengan anjing
  dan tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungannya. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh hidatidosis
  tergantung stadium larva, lokasi dan besarnya kista di dalam organ tubuh inangnya. 3. Pada anjing,
  ekinokokosis kurang pathogen terhadap inangnya, tetapi pada ternak/ISA dapat menimbulkan masalah
  ekonomi akibat sebagian produknya banyak yang harus diafkir dan menimbulkan problem kesehatan
  masyarakat terhadap penduduk di daerah endemik parasit tersebut.
Analisis Faktor-Faktor Resiko Infeksi Cacing Pita
                        pada Ayam Ras Petelur Komersial di Bogor
                   (RISK FACTORS ANALYSIS OF CESTODES INFECTION
                 OF COMMERCIAL CAGED LAYER CHICKENS IN BOGOR)
                             Elok Budi Retnani*, Fadjar Satrija,
                       Upik Kesumawati Hadi, Singgih Harsoyo Sigit
                        Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan
            Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner
        Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Jl Agatis, Dramaga, Bogor.
                       Telpon 0251-627272, Email: elokbeer@yahoo.com

ABSTRACT

A cross-sectional study was conducted in Bogor Region, West Java for two months from June to July
2006. The aim of this research was to identify the risk factors of cestode infection in commercial caged
layer chickens. A total of 202 chicken samples were collected from ten commercial caged layer chicken
farms. The risk factors assumption included host factors, farm environment and management
characteristic. Logistic regression model showed that cestode infection risk association (P<0,01) to host
age, (P<0,05) to dry climate condition and open house farm management characteristic. This suggests that
>50 months have higher risk (OR=5.6) than <20 months host age, dry climate condition have higher risk
(OR=3.75) than wet, and open house farm management have higher risk (OR=27.24) than close house on
the cestodes infection.
  Key words: Cestodes, caged layer chickens, infection risk factors, Oods-Ratio, Bogor

PENDAHULUAN

Kejadian infeksi cestoda atau Cestodosis pada ternak ayam buras cukup tinggi karena pemeliharaannya
dilakukan secara tradisional (Poulsen et al., 2000) . Prevalensi yang dilaporkan selama tiga dekade
terakhir di wilayah Indonesia mencapai 60% hingga 100% pada ayam buras (Kusumamiharja, 1973;
Sasmita, 1980; Ketaren dan Ari, 1988; He et al., 1991; Siahaan, 1993). Prevalensi yang tinggi pada ayam
buras tersebut berpotensi sebagai sumber infeksi bagi ternak ayam ras dengan manajemen modern yang
seharusnya rendah infeksinya (Eckman, 2001). Sebagai contohnya adalah pemeliharaan ayam ras petelur
komersial dengan sistem baterei memiliki beberapa keuntungan, yaitu ruang gerak terbatas, hemat tempat
per unit area, dan biaya pakan yang rendah sehingga lebih ekonomis dan praktis. Selain itu pemantauan
mudah, berisiko kecil terhadap predator, pengaruh luar seperti dingin, panas, angin atau kelembaban,
yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan ternak. Faktor pakan yang selektif juga mengurangi peluang
terjadinya penyakit yang ditularkan secara oral seperti kecacingan, baik penularan langsung mau pun
melalui inang antara seperti cacing pita. Namun, masalah kecacingan pada ayam ras petelur justru secara
signifikan menyebabkan kerugian cukup besar. Hal tersebut merupakan topik yang banyak dibahas dalam
majalah-majalah ilmiah populer bidang peternakan maupun media massa lainnya oleh para praktisi baik
peternak, konsultan kesehatan ternak termasuk dokter hewan. Mereka mengatakan bahwa infestasi cacing
yang sering menggerogoti ayam petelur adalah cestoda. Ayam-ayam tersebut mendadak lesu, diare,
radang usus disertai diare yang meluas jika terinfeksi berat, sehingga produksi menurun di bawah rata-
rata, termasuk berat badan, laju pertumbuhan turun, produksi daging mau pun telur. Menurut mereka telah
banyak dilakukan kajian berkelanjutan tentang upaya melenyapkan kecacingan tetapi tidak membuahkan
hasil. Pemberantasan lalat dan kumbang di sekitar kandang merupakan prioritas utama yang disarankan
selain pemberian anthelmintika tetapi cestodosis tetap terjadi. Berdasarkan bukti-bukti di atas kiranya
perlu kajian secara ilmiah yang sampai saat ini masih sangat kurang dilakukan, baik melalui survei
lapangan mau pun eksperimental di laboratorium untuk menganalisis kejadian
cestodosis khususnya pada ayam ras. Laporan terbaru kasus cestodosis ini ditemukan pada beberapa
peternakan ayam ras petelur di wilayah sentra peternakan ayam petelur komersial di Kabupaten Bogor,
Jawa Barat (Zalizar, 2006) dengan prevalensi 24,75% (Retnani et al., 2007) dan rataan derajat infeksi
0,273±0,905 hingga 17,913±53,954 ekor cacing per ekor ayam. Tiga genus cestoda yang ditemukan pada
pengamatan tersebut adalah Raillietina, Choanotaenia, dan Hymenolepis. Hasil pengamatan tersebut
merupakan informasi awal yang penting walau pun belum cukup sebagai landasan pengetahuan untuk
pengendalian cestodosis, mengingat adanya faktor-faktor terkait lingkungan serta manajemen peternakan
secara umum yang mungkin memiliki kontribusi terhadap cestodosis. Penelitian ini bertujuan untuk
menduga faktor-faktor risiko infeksi cestoda dengan menghitung nilai Odds-Ratio (OR) terhadap setiap
faktor yang terkait lingkungan dan manajemen peternakan. Telaah tentang berbagai faktor yang dapat
menghambat tindakan pengendalian cestodosis di lingkungan peternakan ayam ras petelur di Indonesia
sampai saat ini belum ada laporan ilmiahnya. Hasil penelitian yang diperoleh disertai dengan kajian
ilmiah tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan transmisinya merupakan informasi sangat penting
untuk merancang strategi pengendalian khususnya bagi kondisi peternakan dan budaya beternak di
Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama bulan Juni- Juli 2006 dengan metode Cross-sectional. Sebanyak 202 ekor
sampel ayam asal 10 peternakan ayam ras di Kabupaten Bogor dikumpulkan secara acak sederhana
menurut rumus ukuran sampel oleh Thrushfield (1995) Pencatatan data beberapa dugaan faktor risiko
terjadinya infeksi cestoda dikelompokkan berdasarkan faktor ayam (berat badan, umur, ras, adanya kutuk,
dan populasi), lingkungan (tipe iklim dan pembuangan manur), dan manajemen (kandang, struktur
kandang, dan pemberian anthelmintika). Saluran pencernaan ayam dikeluarkan untuk mengumpulkan
cestoda. Jumlah ayam yang terinfeksi serta jumlah cacing pada setiap individu yang terinfeksi dihitung.
Untuk melihat ada atau tidak adanya pengaruh faktor-faktor risiko terhadap tingkat kejadian (prevalensi)
infeksi dianalisis dengan Chi-square (Steel dan Torrie, 1999). Sedangkan besarnya pengaruh dari faktor-
faktor tersebut dianalisis dengan Uji Korelasi Non-Parametrik dan Regresi Logistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Faktor-Faktor Ayam, Lingkungan, dan Manajemen terhadap Prevalensi Cestodosis

Sampel ayam yang terkumpul dari 10 peternakan berasal dari berbagai variasi umur, populasi, dan ras
ayam serta adanya pemeliharaan kutuk (anak ayam) pada peternakan yang sama. Berdasarkan faktor
lingkungan dan manajemen yang bervariasi kondisi tipe iklimnya, periodisasi pembuangan limbah manur,
serta manajemen kandang dan pemberian anthelmintika. Infeksi cestoda ditemukan pada sebagian besar
peternakan yaitu pada 8 peternakan selain peternakan Gung dan Gundur. Satu di antara dua peternakan
yang tidak terinfeksi pada penelitian ini adalah peternakan dengan sistem kandang tertutup (close house)
yaitu Gundur. Prevalensi cestodosis dihitung berdasarkan berbagai faktor risiko terjadinya infeksi. Tidak
semua faktor yang diamati berpengaruh secara nyata terhadap terjadinya infeksi. Tingkat prevalensi
berdasarkan faktor inang, lingkungan serta manajemen peternakan disajikan pada Tabel 1. Pada penelitian
ini umur dan populasi ayam (P<0,01), tipe iklim lokasi peternakan (P<0,05), serta manajemen kandang
(P<0,01) secara nyata mempengaruhi tingginya tingkat kejadian cestodosis. Ayam yang lebih banyak
terinfeksi (37%) berumur di atas 50 minggu, sedangkan yang berumur di bawah 20 minggu dan 20-50
minggu hanya terinfeksi sebanyak 10,34% dan 15,91%. Kejadian infeksi lebih tinggi (31,20%) terdapat
pada kelompok peternakan yang populasi ternak ayamnya >65 ribu ekor. Prevalensi tinggi (29,41%) juga
terjadi pada peternakan yang terletak di daerah bertipe iklim kering dari pada yang beriklim basah
(15,15%). Pengaruh yang nyata juga ditunjukkan oleh peternakan dengan sistem kandang terbuka.
Manajemen kandang dengan sistem tersebut ternyata menyebabkan kejadian infeksi yang sangat tinggi
(49%) dibandingkan dengan sistem tertutup yang hanya 1%. Faktor-faktor lain yaitu ras ayam, adanya
pemeliharaan kutuk, periodisasi pembuangan limbah manur, serta manajemen pemberian anthelmintika
tidak terbukti secara nyata dapat mempengaruhi prevalensi cestodosis pada penelitian ini.

Faktor-Faktor Risiko yang Diduga Mempengaruhi Tingkat Kejadian Cestodosis
Besarnya pengaruh faktor risiko terhadap kejadian infeksi cestoda pada penelitian ini dapat diduga dari
nilai Oods-Ratio (OR) yang disajikan pada Tabel 2, 3, 4, dan 5. Secara umum faktor yang berpengaruh
besar terhadap peluang terjadinya cestodosis pada penelitian ini adalah umur inang yaitu ayam yang
berumur di atas 50 minggu berisiko infeksi 5,09:1,00 dibandingkan dengan yang berumur di bawah 20
minggu (P<0,01). Peternakan yang populasi ayamnya >65 ribu ekor memiliki risiko terinfeksi lebih besar
2,72:1,00 dibandingkan yang populasinya di bawah 65 ekor (P<0,01). Demikian pula dengan faktor iklim
dan manajemen kandang. Pada area peternakan yang bertipe iklim kering berisiko infeksi 2,33 kali lipat
dari iklim basah (P<0,05). Manajemen kandang dengan sistem kandang terbuka jauh lebih besar risiko
infeksinya yaitu 13,07:1,00 dibandingkan yang tertutup (P<0,05). Selain dengan nilai crude OR, nilai
adjusted OR dari faktor-faktor yang memiliki nilai korelasi nyata bahkan sangat nyata (Uji Korelasi
NonParametrik) terhadap kejadian infeksi cestoda disajikan pada Tabel 6 dan 7. Hasil penghitungan
(Tabel 6) menunjukkan bahwa ayam berumur >50 minggu memiliki risiko terinfeksi lebih tinggi 5,58 kali
jika dibandingkan dengan yang berumur <20 minggu, sedangkan dengan umur 20-50 minggu walau pun
lebih tinggi risikonya namun tidak nyata. Tabel 7 adalah hasil analisis dengan menambahkan faktor
anthelmintika walau pun faktor tersebut tidak menunjukkan korelasi yang nyata terhadap kejadian infeksi.
Nilai adjusted OR pada Tabel 7 menggambarkan pengaruh yang hampir sama dengan nilai crude OR.
Perubahan nilai OR pada adjusted OR terjadi karena perubahan keterkaitan atau variasi faktor-faktor
risiko yang dianalisis secara bersama-sama (Tabel 2, 3, 4, dan 5 dibandingkan dengan Tabel 6 dan 7).
Jenis-jenis cestoda yang ditemukan di lokasi peternakan tertentu berhubungan dengan keberadaan
serangga yang berpotensi sebagai inang antaranya. Pesatnya perkembangan peternakan ayam
meningkatkan pula kuantitas limbah yang dihasilkan oleh aktifitas peternakan tersebut. Salah satu
limbahnya adalah manur. Manur adalah material organic sebagai media yang ideal tempat
perkembangbiakan serangga tertentu yang mungkin sebagai pengganggu atau pembawa agen penyakit
termasuk telur cacing. Jika tinja ayam dalam manur mengandung telur cestoda kemudian tertelan oleh
inang antara yang cocok selanjutnya berkembang menjadi sistiserkoid sebagai larva infektif bagi ayam.
Keberadaan dan jumlah sistiserkoid dalam tubuh inang antara menggambarkan tingkat kejadian
cestodosis pada ayam di tempat dan waktu tertentu (Mond et al., 2001). Beragamnya kondisi fisik
peternakan termasuk manajemen maupun sanitasi secara umum menunjukkan pula gambaran prevalensi
cestodosis yang beragam pada setiap peternakan. Kejadian terendah terjadi di peternakan tertutup. Pada
system tersebut kadangnya berupa bangunan permanen dengan distribusi pakan dan minum dengan
nipple secara otomatis sehingga tumpahanpakan mau pun air minum diminimalisir Pemanenan telur juga
menggunakan roda berjalan dari dalam kandang selanjutnya diseleksi di luar kandang. Kedalaman pitfall
untuk penampungan tinja tidak terlalu tinggi namun pembuangan tinja disapu ke luar kandang secara
elektrik dan diatur otomatis. manajemen yang demikian tidak member peluang untuk perkembangbiakan
serangga sebagai inang antara yang potensial. Pada kondisi yang demikian seharusnya tidak terjadi
cestodosis karena tidak ada peluang transmisi. Peternakan tersebut membeli ayam pulet dari perusahaan.
Terjadinya infeksi diduga ketika sebelum ternak dimasukkan ke dalam kandang baterei yaitu pada masa
kutuk hingga pulet. Menurut pengamatan Siahaan (1993), Ueta dan Avancini (1994) infeksi sestoda pada
ayam buras yang diumbar dapat terjadi sejak sebelum pulet. Dua peternakan yang angka kejadiannya 0%
salah satunya adalah peternakan tertutup dengan sistem kandang bongkar-pasang (knockdown) dan
memelihara sendiri ayam petelur sejak kutuk. Satu-satunya peternakan terbuka yang angka cestodosisnya
0% juga memelihara kutuk, sanitasi sekitar kandang relatif kering, jarak antar flock maupun antara
kandang baterei dengan permukaan tanah relatif jauh. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal pemberian
anthelmintika secara periodik teratur dengan anthelmintika berspektrum luas.
Faktor risiko infeksi parasit adalah semua faktor yang secara nyata meningkatkan peluang terjadinya
transmisi (stadium infektif) parasit sehingga menyebabkan inang sakit. Secara alami, berbagai faktor
tersebut tidak saling bebas dalam mendukung terjadinya penyakit baik berkaitan sangat erat mau pun
secara longgar. Hubungan tersebut dapat dilihat dari hasil analisis sehingga memperoleh nilai crude OR
dan adjusted OR. Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa faktor risiko yang berpengaruh nyata terhadap
terjadinya infeksi hanya faktor umur ayam yang berumur di atas 50 minggu. Selain pengaruh kepekaan
ayam terhadap infeksi cestoda adalah sepanjang umur produktif (Ueta dan Avancini, 1994), kemungkinan
karena manajemen pemberian anthelmintika yang diaplikasikan oleh setiap peternak. Dalam hal aplikasi
anthelmintika ternyata peternakan dengan prevalensi cestodosis paling tinggi pemberiaannya tidak teratur.
Walaupun menggunakan jenis obat yang berbeda secara selang-seling ternyata satu diantaranya sama
sekali tidak efektif untuk eliminasi cestoda. Manajemen peternakan (Retnani et al., 2001), periode
pengangkatan manur, serta manajemen pemberian anthelmintika yang sangat beragam menunjukkan
perbedaan dalam peluang transmisi cestoda. Walau pun hasil analisis faktor pemberian anthelmintika dan
pambuangan manur tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, namun nilai korelasinya mendekati nyata.
Dengan demikian perlu dipertimbangkan nilai ekonomisnya. Banyak faktor yang dapat meningkatkan
keterpaparan terhadap parasit saluran pencernaan antara lain manajemen yang buruk (Ashenafi dan
Eshetu, 2004). Peternakan dengan sistem kandang terbuka memiliki peluang terinfeksi lebih tinggi
dibandingkan dengan tertutup. Pemilihan sistem kandang yang digunakan harus diimbangi dengan
memperhatikan faktor risiko yang lain karena secara alami faktor-faktor risiko tersebut tidak berdiri
sendiri. Faktor agroekolologi seperti faktor perbedaan klimat juga mempengaruhi infeksi cestoda (Retnani
et al., 2000; Mond et al., 2001). Di daerah dataran tinggi dengan suhu lebih rendah, peluang terinfeksi
lebih rendah (Eshetu et al., 2001) mungkin disebabkan terhambatnya perkembangan stadium awal larva
infektif. Kepadatan populasi inang serta sumber infeksi antar peternakan pasti berbeda, maka secara
umum dapat dikatakan bahwa faktor-faktor biotik mau pun abiotik yang meliputi inang, parasit,
lingkungan, serta apa pun yang mendukung terjadinya transmisi sangat berpengaruh terhadap prevalensi.
Sistem peternakan modern telah dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menekan frekuensi infeksi
endoparasit. Namun endoparasitosis masih terjadi pada sistem lantai/ liter yaitu pada breeder dan broiler.
Dari sudut pandang manajemen sistem baterei, jumlah mau pun prevalensi cestodosis yang ditemukan
pada penelitian ini sulit dipahami. Perlu telaah lebih lanjut tentang waktu dan tempat terjadinya transmisi
yang menyebabkan tingginya prevalensi pada peternakan ayam ras petelur dalam kandang baterei. Perlu
kajian mendalam untuk menjawab pertanyaan bagaimana prevalensi yang tinggi dapat terjadi padahal
peluang terjadinya infeksi rendah. Oleh karena itu, kompleksitas masalah endoparasitosis di peternakan
dengan manajemen tertentu harus dipecahkan dengan strategi pengendalian terpadu. Tidak cukup hanya
dengan eliminasi parasit secara periodik, perbaikan manajemen yang dapat menekan terjadinya transmisi
endoparasit perlu dilakukan termasuk menekan populasi serangga yang berperan sebagai inang antara.
Hasil analisis risiko infeksi pada penelitian ini besar kemungkinan berlaku spesifik pada peternakan
tertentu dengan berbagai ragam manajemennya. Perlu memperbanyak jumlah dan waktu pengamatan
untuk dapat memperoleh standar rekomendasi pengendalian yang mendekati baku, walau pun
kenyataannya tidak sedikit kendala-kendala yang ditemukan di lapangan sehingga tidak sesuai dengan
rancangan pengamatan yang telah disusun sebelumnya. Kiranya nilai-nilai Oods-Ratio hasil penelitian ini
merupakan pengetahuan yang perlu dipertimbangkan dalam praktek peternakan pada ayam ras petelur
komersial. Informasi standar manajemen pemeliharaan ternak merupakan salah satu hal yang menunjang
perkembangan peternakan melalui pengembangan teknologi pengendalian penyakit secara terpadu dalam
upaya meningkatkan produktivitas ternak (Talib et al., 2007).

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa faktor inang yang berisiko terinfeksi
sestoda lebih tinggi (OR=5,06) adalah ayam yang berumur >50 minggu dibandingkan dengan umur <20
minggu. Sedangkan faktor lingkungan dan manajemen yang berisiko terinfeksi cestoda lebih tinggi adalah
area bertipe iklim kering (OR=3,75) dan peternakan dengan sistem kandang terbuka (OR=27,24).
Manajemen pemberian anthelmintik
pada peternakan yang diamati tidak menunjukkan risiko yang nyata terhadap terjadinya infeksi cestoda.
Besarnya peluang risiko infeksi dapat berubah dengan berubahnya variasi berbagai faktor-faktor terkait.
ANALISA INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA IKAN KAKAP PUTIH DARI PERAIRAN
                            PANTAI DEMAK
TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS MERUPAKAN PENYAKIT
                                      ZOONOSIS PARASITER
                                 SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH
               Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
                       (Makalah diterima 5 Pebruari 2009 – Revisi 22 Mei 2009)

ABSTRAK
Taeniasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita dari genus Taenia dan infeksi oleh
larvanya disebut Sistiserkosis. Beberapa spesies Taenia bersifat zoonosis dan manusia sebagai induk
semang definitif, induk semang perantara atau keduanya. Manusia adalah induk semang definitif untuk
Taenia solium, T. saginata dan T. asiatica, akan tetapi untuk Taenia solium dan T. asiatica, manusia
berperan sebagai induk semang perantara. Hewan, seperti babi adalah induk semang perantara untuk T.
solium dan T. asiatica, dan sapi sebagai induk semang perantara untuk T. saginata. Manusia dapat
terinfeksi Taeniasis dengan memakan daging sapi atau daging babi yang mengandung larva (sistiserkus).
Penularan sistiserkosis dapat melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing Taenia spp.
Penularan juga bisa terjadi secara autoinfeksi akibat kurangnya kebersihan. Diagnosis taeniasis
berdasarkan penemuan telur cacing atau proglotid dalam feses manusia. Diagnosis pada hewan hidup
dapat dilakukan dengan palpasi pada lidah untuk menemukan adanya kista atau benjolan. Uji serologik
bisa juga membantu dalam mendiagnosis sistiserkosis pada manusia ataupun hewan. Cacing pita dewasa
di dalam usus dapat dibunuh dengan pemberian obat cacing dan pencegahannya dengan menghindari
daging mentah atau daging yang kurang matang, baik daging babi untuk T. solium dan T. asiatica, dan
daging sapi untuk T. saginata. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi Taenia solium, T. saginata
atau T. asiatica, ternak babi ataupun sapi dijauhkan dari tempat pembuangan feses manusia.
Kata kunci: Taeniasis, sistiserkosis, zoonosis, babi, sapi

PENDAHULUAN
Taenia spp. adalah cacing pita (tapeworm) yang panjang dan tubuhnya terdiri dari rangkaian
segmensegmen yang masing-masing disebut proglotid. Kepala cacing pita disebut skoleks dan memiliki
alat isap (sucker) yang mempunyai kait (rostelum). Cacing pita ini termasuk famili Taeniidae, subklas
Cestode dan genus Taenia. Beberapa spesies cacing Taenia antara lain, Taenia solium, T. saginata, T.
crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis atau T. hydatigena, T. serialis, T. brauni dan T. asiatica. Larva dari
cacing Taenia disebut metasestoda, menyebabkan penyakit sistiserkosis pada hewan dan manusia.
Sedangkan, cacing dewasa yang hidup di dalam usus halus induk semang definitive (carnivora) seperti
manusia, anjing dan sejenisnya, penyakitnya disebut Taeniasis. Berdasarkan laporan dari OIE (2005), T.
asiatica merupakan spesies baru yang ditemukan di Asia yang semula dikenal dengan nama T.
taewanensis. T. asiatica hanya ditemukan di beberapa negara di Asia seperti Taiwan, Korea, China
(beberapa propinsi), Indonesia (di Sumatera Utara Papua dan Bali) dan Vietnam (EOM et al., 2002; ITO
et al., 2003). T. saginata adalah cacing pita pada sapi dan T. solium adalah cacing pita pada babi,
merupakan penyebab taeniasis pada manusia. Manusia adalah induk semang definitif dari T. solium dan
T. saginata, dan juga sebagai induk semang definitif dari T. asiatica (OIE, 2005). Sedangkan, hewan
seperti anjing dan kucing merupakan induk semang definitif dari T. ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena,
T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Pada T. solium dan T. asiatica, manusia juga bisa berperan sebagai
induk semang perantara. Selain manusia, induk semang perantara untuk T. solium adalah babi, sedangkan
induk semang perantara T. saginata adalah sapi. T. solium yang terdapat pada daging babi menyebabkan
penyakit Taeniasis, dimana cacing tersebut dapat menyebabkan infeksi saluran pencernaan oleh cacing
dewasa, dan bentuk larvanya dapat menyebabkan penyakit sistiserkosis. Cacing T. saginata pada daging
sapi hanya menyebabkan infeksi pada pencernaan manusia oleh cacing dewasa. Penyakit Taeniasis
tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi
daging sapi atau daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Selain itu, pada kondisi
kebersihan lingkungan yang jelek, makanan sapi dan babi bisa tercemar feses manusia yang bisa
menyebabkan terjadinya penyakit tersebut. Kejadian penyakit Taeniasis paling tinggi di Negara Afrika,
Asia Tenggara dan negara-negara di Eropa Timur. Di Indonesia terdapat tiga provinsi yang berstatus
endemi penyakit Taeniasis/sistiserkosis yaitu: Sumatera Utara, Papua dan Bali (ITO et al., 2002a; b;
2003; 2004; MARGONO et al., 2001; SIMANJUNTAK et al., 1997). Kasus Taeniasis juga pernah terjadi
di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, NTT dan Kalimantan Barat. Berdasarkan laporan dari
SIMANJUNTAK et al. (1997) dan MARGONO et al. (2000) prevalensi sistiserkosis di Indonesia
bervariasi antara 2% di Bali dan 48% di Papua. Selanjutnya, MARGONO et al. (2003) melaporkan bahwa
ada sekitar 8,6% (5/58) dari penduduk lokal di kota Wamena terinfeksi cacing dewasa T. solium.
Sedangkan, prevalensi Taeniasis (T. saginata) di daerah urban sekitar Denpasar, Bali selama tahun 2002 –
2004 adalah 14,1% (56/398) (WANDRA et al., 2006). Jumlah kasus tertinggi ditemukan pada laki-laki
yang berumur antara 30 – 40 tahun. Hal ini disebabkan karena di desa-desa laki-laki sering
menikmati/memakan daging mentah bersama sambil minum tuak. Selanjutnya, berdasarkan laporan dari
Direktorat Kesehatan Hewan, prevalensi sistiserkosis pada sapi di 4 kabupaten di Bali (Badung, Gianjar,
Klungkung dan Tabanan) tahun 1977 masing-masing adalah 3,3, 16,9, 1,2 dan 8,3% (SUROSO et al.,
2006). Sistiserkosis pada sapi di Bali menurut laporan yang ada hanya terjadi pada tahun 1977 – 1980 dan
1988, prevalensinya masing-masing adalah 0,31% (100/32.199), 0,30% (102/33.842), 1,51%
(476/31.586), 2,39% (844/35.288) dan 1,93% (674/34.887). Infeksi sistiserkosis pada babi yang tertinggi
juga terjadi di Bali dan Papua. Di Papua dilaporkan 70,4% (50/71) babi positif T. solium secara serologi
(seropositif), dan dinyatakan bahwa babi tersebut telah terinfeksi oleh metasestoda dari T. solium
(SUBAHAR et al., 2001), demikian juga 10,9% (7/64) anjing local dinyatakan seropositif terhadap
sistiserkus dari T. solium (SUROSO et al., 2006). Pada umumnya, T. solium jarang ditemukan di daerah
yang berpenduduk muslim karena tidak memakan daging babi. Akan tetapi, di beberapa daerah seperti
Papua dan Timor merupakan problem kesehatan masyarakat, karena penduduknya masih mengkonsumsi
daging babi yang tercemar sistiserkus. Penyakit Taeniasis dan sistiserkosis sangat berkaitan erat dengan
faktor sosio-kultural, seperti cara pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan dan kebiasaan
pengolahan makanan yang kurang matang serta kebiasaan makan yang kurang sehat dan masih rendahnya
pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan. Untuk itu, pada tulisan ini akan disampaikan
tentang beberapa jenis cacing Taenia, cara penularan, metode diagnosis yang dilakukan serta upaya
pencegahan dan pengobatan penyakit Taeniasis/ sistiserkosis baik pada hewan maupun pada manusia.

BEBERAPA JENIS CACING TAENIA

Genus cacing pita yang paling penting adalah Taenia. Cacing dewasa dan stadium larva dari beberapa
spesies cacing Taenia merupakan bagian yang sangat penting terhadap kesehatan manusia dan veteriner.
Induk semang definitif, induk semang perantara dan bentuk larvanya.

Cacing Taenia yang bersifat zoonosis
T. solium
Pada umumnya cacing dewasa T. solium berada di dalam usus halus manusia, panjangnya bisa mencapai
3 – 5 meter dan dapat hidup selama 25 tahu (SOULSBY, 1982). Manusia sebagai induk semang definitif,
sedangkan, induk semang perantara adalah babi domestik dan babi liar. Larva dari T. solium kadang-
kadang juga bisa ditemukan pada induk semang perantara lainnya termasuk domba, anjing, kucing, rusa,
unta dan manusia (OIE, 2005). Larva T. solium disebut Cysticercus cellulose. Sistiserkus T. solium
biasanya ditemukan pada otot daging, sangat jarang ditemukan di organ visceral dari babi dan kera (FAN
et al., 1987; FAN, 1988).
T. saginata
Manusia sebagai induk semang definitif, cacing dewasa berada dalam usus halus dan panjangnya bisa
mencapai 3 – 8 meter dan bisa hidup selama 5 – 20 tahun (SOULSBY, 1982). Induk semang perantaranya
adalah sapi, kerbau, ilamas dan ruminansia liar lainnya termasuk jerapah. Bentuk larva T. saginata
disebut Cysticercus bovis. Pada umumnya, sistiserkus T. saginata ditemukan pada otot daging dan sangat
jarang ditemukan pada organ visceral, otak dan hati sapi (FAN et al., 1987), kemungkinan karena otot
daging merupakan tempat yang memperoleh sirkulasi darah paling banyak. Akan tetapi, menurut laporan
dari DHARMAWAN et al. (1996) berdasarkan hasil penelitiannya disebutkan bahwa babi yang diinfeksi
telur T. saginata ternyata menghasilkan pertumbuhan sistiserkus pada organ hati babi yang
pertumbuhannya mirip dengan pola pertumbuhan sistiserkus T. saginata taiwanensis (T. asiatica) yaitu
pada organ hati. Oleh karena tempat pertumbuhan sistiserkus hanya ditemukan pada organ hati babi,
maka diduga bahwa T. saginata (strain Bali) dan T. saginata taiwanensis berasal dari spesies yang sama.
Selanjutnya, dimungkinkan bahwa babi Bali bisa bertindak sebagai induk semang perantara T. saginata
(strain Bali).
T. asiatica
Cacing pita T. asiatica dewasa mirip dengan T. saginata dewasa yang terdapat pada usus manusia. Cacing
ini panjangnya mencapai 341 cm, dengan lebar maksimum 9,5 mm (EOM dan RUM, 1993). Adapun,
induk semang perantara T. asiatica adalah babi domestik dan babi liar, kadang-kadang juga sapi, kambing
atau kera (OIE, 2005). Bentuk larva T. asiatica disebut Cysticercus vicerotropika (EOM et al., 2002).
Cacing Taenia pada anjing dan kucing
T. hydatigena
Induk semang definitif T. hydatigena adalah anjing, serigala, anjing hutan dan jarang ditemukan pada
kucing. Cacing dewasanya mempunyai panjang antara 75 – 500 cm (SOULSBY, 1982). Sedangkan,
induk semang perantaranya adalah domba, kambing, sapi, babi, rusa kutub dan hewan domestik lainnya.
Kelinci dan manusia jarang terinfeksi oleh T. hydatigena. Larva T. hydatigena sangat besar berdiameter 8
cm dan disebut sebagai Cysticercus tenuicollis (URQUHART et al., 1996). Biasanya C. tenuicollis
ditemukan pada domba pada saat pemeriksaan daging pada saat pemotongan.


T. multiceps
Panjang cacing dewasa mencapai 100 cm dan hidupnya dalam usus anjing dan serigala sebagai induk
semang definitif. Sedangkan, induk semang perantara adalah domba, sapi dan kuda. Larva dari cacing ini
bisa mencapai otak yang disebut Coenurus cerebralis (URQUHART et al., 1996), memerlukan waktu
selama 8 bulan untuk menjadi matang dan akan menimbulkan gejala klinis seperti hyperaesthesia atau
paraplegia pada induk semang perantara (ruminansia).
T. ovis
T. ovis merupakan cacing pita pada anjing dan panjang cacing dewasanya mencapai 200 cm. Larva dari T.
ovis disebut Cysticercus ovis yang bisa ditemukan pada daging domba dan kambing, sebagai induk
semang perantara (URQUHART et al., 1996). Bentuk larvanya bisa menyebabkan muscular cysticercosis
pada domba dan kambing di beberapa negara (GAAFAR, 1985). Oleh karena bentuk kistanya yang kecil
dan biasanya sudah mati/mengalami kalsifikasi, sehingga mudah dideteksi pada karkas saat pemotongan.
Kista yang mengalami kalsifikasi, kapsulnya tampak mengeras tanpa cairan dan ditemukan adanya
pengapuran (DHARMAWAN et al., 1993).
T. taeniaeformis
Cacing pita ini disebut juga Hydatigena taeniaeformis. Cacing dewasanya hidup di dalam usus halus
kucing dan mempunyai panjang 60 cm (SOULSBY, 1982). Induk semang definitif selain kucing adalah
anjing, serigala dan hewan sejenis kucing dan anjing lainnya. Infeksi pada kucing adalah lebih sering
ditemukan daripada infeksi pada anjing. Hewan rodensia termasuk tikus dan mencit adalah sebagai induk
semang perantara dari T. taeniaeformis, dan larvanya disebut Cysticercus fasciolaris yang sering dijumpai
di parenkim hati. Manusia sangat jarang terinfeksi oleh cacing ini. Dari beberapa spesies cacing Taenia
tersebut di atas yang paling penting sampai saat ini adalah T.
solium, T. saginata dan T. asiatica karena sifatnya yang zoonosis.

CARA PENULARAN DAN SIKLUS HIDUP
CACING Taenia spp.
Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk semang yaitu induk semang
definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi untuk T. saginata dan babi untuk T. solium). T.
saginata tidak secara langsung ditularkan dari manusia ke manusia, akan tetapi untuk T. solium
dimungkinkan bisa ditularkan secara langsung antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang
terinfeksi langsung ke mulut penderita sendiri atau orang lain. Di dalam usus manusia yang menderita
Taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut
keluar bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang
menjadi onkoster (telur yang mengandung larva). Larva onkoster menembus usus dan masuk ke dalam
pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang
disebut C. bovis (larva cacing T. saginata). Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang
disebut sistiserkus. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah
matang. Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks menempel pada
usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa yang tubuhnya bersegmen disebut
proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian
termakan oleh sapi. Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi
larva onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti di atas.
Siklus hidup T. solium pada dasarnya sama dengan siklus hidup T. saginata, akan tetapi induk semang
perantaranya adalah babi dan manusia akan terinfeksi apabila memakan daging babi yang mengandung
kista dan kurang matang/tidak sempurna memasaknya atau tertelan telur cacing. T. saginata menjadi
dewasa dalam waktu10 – 12 minggu dan T. solium dewasa dalam waktu 5 – 12 minggu (OIE, 2005).
Telur T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan (tidak tergantung suhu dan kelembaban) sampai
beberapa minggu bahkan bisa bertahan sampai beberapa bulan. Proglotid T. saginata biasanya lebih aktif
(motile) daripada T. solium, dan bisa bergerak keluar dari feses menuju ke rumput. Telur T. saginata
dapat bertahan hidup dalam air dan atau pada rumput selama beberapa minggu/bulan. Pada hewan,
Taeniasis disebabkan oleh T. ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni.
Ini terjadi karena hewan memakan daging dari induk semang perantara termasuk ruminansia, kelinci dan
tikus. Pada sapi (C. bovis) mulai mati dalam waktu beberapa minggu, dan setelah 9 bulan akan
mengalami kalsifikasi. Sedangkan, sistiserkus dari spesies lain bisa bertahan hidup sampai beberapa
tahun. T. solium pada babi, sistiserkus bisa ditemukan pada jaringan/otot jantung, hati dan otak. Pada
babi, sistiserkus juga bisa ditemukan pada daging bagian leher, bahu, lidah, jantung dan otak (KUMAR
dan GAUR, 1994). Pada manusia, sistiserkus ini sering ditemukan di jaringan bawah kulit, otot skeletal,
mata dan otak. Pada kasusyang serius disebabkan oleh adanya sistiserkus pada jaringan otak bisa
menyebabkan neurocysticercosis dan bisa menyebabkan kejang-kejang pada manusia. Sistiserkus T.
saginata pada sapi dan sistiserkus T. ovis pada kambing ditemukan pada jaringan otot (muscles).
Sistiserkus T. asiatica dan sistiserkus T. taeniaeformis biasanya ditemukan pada hati, sedangkan
sistiserkus T. hydatigena ditemukan dalam peritoneum.

METODE DIAGNOSIS YANG DILAKUKAN

Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi proglotid atau telur cacing
dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan
mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode
uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan
morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya Untuk
diagnosis sistiserkosis sangat sulit dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil, diagnosis dilakukan
dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya kista yang sudah mengalami
kalsifikasi, sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan secara post mortem dengan melakukan
pemeriksaan daging. Sistiserkus kadangkadang dapat dideteksi pada lidah babi atau sapi dengan
melakukan palpasi akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau intramuskular. Palpasi adalah
merupakan satu-satunya cara deteksi ante mortem pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di
daerah endemis pada negara yang berkembang (GONZALEZ et al., 2001). Meskipun diagnosis
sistiserkosis bisa dilakukan dengan cara palpasi pada lidah hewan dan telah dilaporkan sangat spesifik,
tetapi sensitivitasnya sedang, terutama pada hewan yang infeksinya ringan (GONZALEZ et al., 1990).
Berdasarkan hasil penelitian SATO et al. (2003), 34% (17/50) babi yang dinyatakan negatif dengan
pemeriksaan palpasi lidah, tetapi dengan uji ELISA (Enzyme-linked Immunoabsorbent Assay) dinyatakan
seropositif. Dalam hal ini uji serologi lebih dapat dipercaya untuk deteksi infeksi T. solium daripada
pemeriksaan palpasi lidah. Pada manusia, diagnosis Taeniasis dilakukan selain dengan menemukan telur
cacing atau proglotid dalam feses, juga bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan serologi yaitu dengan
ELISA, Enzymelinked Immunoelectro Transfer Blot (EITB), Complement fixation dan haemagglutination
dan PCR (Polymerase Chain Reaction) (OIE, 2005). Sedangkan, diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan
pemeriksaan Computed Tomography (CT) Scan dan MRI untuk mengidentifikasi adanya sistiserkus
dalam otak. Kista yang sudah mati atau mengalami kalsifikasi dalam daging/jaringan bisa terdeteksi
dengan pemeriksaan X-Ray. Biopsi juga bisa dilakukan untuk memeriksa adanya benjolan/kista di bawah
jaringan kulit. Diagnosis secara serologi digunakan juga untuk mendeteksi sistiserkosis pada ternak dan
ELISA merupakan uji yang paling banyak digunakan (CHO et al., 1992; YONG et al., 1993).
DHARMAWAN (1995) melaporkan bahwa dari 420 sampel serum babi yang diperiksa dengan ELISA,
47 ekor babi (11,2%) menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis dan dari 210 sampel serum sapi, 11
ekor sapi (5,23%) menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis. Uji ELISA sangat spesifik untuk
mendeteksi antibody sistiserkosis pada manusia dan babi (ITO et al., 1999). Selanjutnya, ITO et al.
(2002b) melaporkan bahwa sistiserkosis pada anjing dapat juga terdeteksi secara serologi, tetapi
sensitivitas dan spesifisitasnya masih perlu dievaluasi. Sedangkan, kista yang ditemukan di anjing
tersebut berdasarkan pemeriksaan morfologinya adalah T. solium.

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT

Penyakit sistiserkosis pada hewan dapat ditekan dengan cara mengobati induk semang definitif yang
menderita Taeniasis. Anjing yang sering berkeliaran dan bergabung dengan hewan ternak lain harus
dihindarkan dan dicegah supaya tidak memakan bangkai hewan yang terinfeksi Taenia. Selain itu, untuk
mencegah terjadinya infeksi dengan T. solium, T. saginata dan T. asiatica, hewan ternak dilarang kontak
langsung dengan feses manusia. Taeniasis pada kucing dan anjing dapat ditekan dengan melarang hewan
tersebut memakan hewan pengerat (rodent) atau induk semang perantara lainnya dan dihindarkan dari
memakan daging mentah. Untuk mencegah Taeniasis pada manusia, dapat dilakukan dengan menghindari
memakan daging yang kurang matang, baik daging babi (untuk T. solium) maupun daging sapi (untuk T.
saginata). Daging yang terkontaminasi harus dimasak dahulu dengan suhu di atas 56 Selain itu,
                                                                                           C.
dengan membekukan daging terlebih dahulu, dapat mengurangi risiko penularan penyakit. Menurut
FLISSER et al. (1986), daging yang direbus dan dibekukan pada suhu -20 dapat membunuh
                                                                                   C
sistiserkus. Sistiserkus akan mati pada suhu -20 tetapi pada suhu 0 – 20 akan tetap hidup selama 2
                                                 C,                          C
bulan, dan pada suhu ruang akan tahan selama 26 hari (BROWN dan BELDING, 1964). Pengobatan
Taeniasis pada hewan bisa dilakukan dengan pemberian obat cacing praziquantel, epsiprantel,
mebendazole, febantel dan fenbendazole. Demikian juga untuk pengobatan Taeniasis pada manusia,
pemberian obat cacing praziquantel, niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh
cacing dewasa dalam usus. Adapun sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan melakukan tindakan
operasi (bedah). Berdasarkan laporan dari OIE (2005), hanya sedikit sekali informasi tentang penggunaan
obat cacing terhadap penyakit sistiserkosis pada hewan. OIE (2008) melaporkan bahwa pengobatan
dengan albendazole dan oxfendazole pada sapi dan babi yang terinfeksi T. saginata dan T. solium
kistanya mengalami degenerasi.

KESIMPULAN

Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taenia dewasa, sedangkan
sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesies
cacing Taenia. Induk semang definitif dari T. saginata, T. solium dan T. asiatica hanya manusia, kecuali
T. solium dan T. asiatica manusia juga berperan sebagai induk semang perantara. Sedangkan, babi adalah
induk semang perantara untuk T. solium dan sapi adalah induk semang perantara untuk T. saginata.
Adapun induk semang definitif dari cacing Taenia selain ketiga spesies tersebut adalah hewan carnivora
(anjing/ kucing). Penularan Taeniasis melalui makanan yaitu memakan daging yang mengandung larva,
baik yang terdapat pada daging sapi (C. bovis) ataupun daging babi (C. cellulose atau C. vicerotropika).
Sedangkan, penularan sistiserkosis pada manusia melalui makanan atau minuman yang tercemar telur
cacing T. solium atau T. asiatica. Telur T. saginata tidak menimbulkan sistiserkosis pada manusia.
Diagnosis dapat dilakukan dengan palpasi pada hewan terutama di daerah endemis. Palpasi dilakukan
untuk melihat adanya benjolan/kista di jaringan bawah kulit atau intra muskular. Pemeriksaan feses
dilakukan untuk menemukan adanya telur cacing atau proglotid pada penderita Taeniasis terutama pada
manusia. Diagnosis secara serologik dengan ELISA juga bisa diterapkan untuk hewan maupun manusia.
Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita
Taeniasis dan menghilangkan kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentah. Pemeriksaan
daging oleh dokter hewan atau mantra hewan di Rumah Potong Hewan (RPH) perlu dilakukan, sehingga
daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat. Selain itu, ternak sapi atau babi
dipelihara pada tempat yang tidak tercemar atau dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran.

More Related Content

What's hot

laporan praktikum farmakologi I PENDAHULUAN
laporan praktikum farmakologi I PENDAHULUANlaporan praktikum farmakologi I PENDAHULUAN
laporan praktikum farmakologi I PENDAHULUANsrinova uli
 
Pertemuan 4 Sistem reproduksi pada hewan
Pertemuan 4 Sistem reproduksi pada hewanPertemuan 4 Sistem reproduksi pada hewan
Pertemuan 4 Sistem reproduksi pada hewanAhmad Nawawi, S.Kom
 
Makalah penanganan hewan coba
Makalah penanganan hewan cobaMakalah penanganan hewan coba
Makalah penanganan hewan cobaRhiza Amalia
 
33.achla ilfana.pptx
33.achla ilfana.pptx33.achla ilfana.pptx
33.achla ilfana.pptxAchla Ilfana
 
Group 4 phylum platyhelminthes
Group 4 phylum platyhelminthesGroup 4 phylum platyhelminthes
Group 4 phylum platyhelminthesMaman Sulaeman
 
Nemathelminthes (Nematoda)
Nemathelminthes (Nematoda)Nemathelminthes (Nematoda)
Nemathelminthes (Nematoda)Hevliza Tiara
 
Laporan Identifikasi Tikus
Laporan Identifikasi TikusLaporan Identifikasi Tikus
Laporan Identifikasi Tikusdanivita
 
presentasi filum nematelminthes
presentasi filum nematelminthespresentasi filum nematelminthes
presentasi filum nematelminthesdewii_er
 
Presentasi zoologi invertebrata filum platyhelminthes
Presentasi zoologi invertebrata filum platyhelminthesPresentasi zoologi invertebrata filum platyhelminthes
Presentasi zoologi invertebrata filum platyhelminthesdewii_er
 
NEMATHELMINTHES Presentation
NEMATHELMINTHES PresentationNEMATHELMINTHES Presentation
NEMATHELMINTHES PresentationD C Rini
 
Filum platyhelminthes
Filum platyhelminthesFilum platyhelminthes
Filum platyhelminthesaryana_imam
 
Kelas crustaceae klpk 10
Kelas crustaceae klpk 10Kelas crustaceae klpk 10
Kelas crustaceae klpk 10Dwy D'fg-cweety
 

What's hot (20)

laporan praktikum farmakologi I PENDAHULUAN
laporan praktikum farmakologi I PENDAHULUANlaporan praktikum farmakologi I PENDAHULUAN
laporan praktikum farmakologi I PENDAHULUAN
 
Pertemuan 4 Sistem reproduksi pada hewan
Pertemuan 4 Sistem reproduksi pada hewanPertemuan 4 Sistem reproduksi pada hewan
Pertemuan 4 Sistem reproduksi pada hewan
 
Makalah penanganan hewan coba
Makalah penanganan hewan cobaMakalah penanganan hewan coba
Makalah penanganan hewan coba
 
Monyet sebagai hewan coba
Monyet sebagai hewan cobaMonyet sebagai hewan coba
Monyet sebagai hewan coba
 
2. power point
2. power point2. power point
2. power point
 
33.achla ilfana.pptx
33.achla ilfana.pptx33.achla ilfana.pptx
33.achla ilfana.pptx
 
Group 4 phylum platyhelminthes
Group 4 phylum platyhelminthesGroup 4 phylum platyhelminthes
Group 4 phylum platyhelminthes
 
Platyhelmintes
PlatyhelmintesPlatyhelmintes
Platyhelmintes
 
Nemathelminthes (Nematoda)
Nemathelminthes (Nematoda)Nemathelminthes (Nematoda)
Nemathelminthes (Nematoda)
 
2. power point
2. power point2. power point
2. power point
 
Laporan Identifikasi Tikus
Laporan Identifikasi TikusLaporan Identifikasi Tikus
Laporan Identifikasi Tikus
 
presentasi filum nematelminthes
presentasi filum nematelminthespresentasi filum nematelminthes
presentasi filum nematelminthes
 
NEMANTHELMINTHES
NEMANTHELMINTHESNEMANTHELMINTHES
NEMANTHELMINTHES
 
1. bahan ajar
1. bahan ajar1. bahan ajar
1. bahan ajar
 
Presentasi zoologi invertebrata filum platyhelminthes
Presentasi zoologi invertebrata filum platyhelminthesPresentasi zoologi invertebrata filum platyhelminthes
Presentasi zoologi invertebrata filum platyhelminthes
 
NEMATHELMINTHES Presentation
NEMATHELMINTHES PresentationNEMATHELMINTHES Presentation
NEMATHELMINTHES Presentation
 
Nemathelminthes
NemathelminthesNemathelminthes
Nemathelminthes
 
Filum platyhelminthes
Filum platyhelminthesFilum platyhelminthes
Filum platyhelminthes
 
Bahan ajar2 nemathelminthes
Bahan ajar2 nemathelminthesBahan ajar2 nemathelminthes
Bahan ajar2 nemathelminthes
 
Kelas crustaceae klpk 10
Kelas crustaceae klpk 10Kelas crustaceae klpk 10
Kelas crustaceae klpk 10
 

Similar to Penelitian platyhelmintes

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1Awe Wardani
 
Kelompok 4 nematoda xmia2
Kelompok 4 nematoda xmia2Kelompok 4 nematoda xmia2
Kelompok 4 nematoda xmia2tyvaniaRsashi
 
Klasifikasi makhluk hidup
Klasifikasi makhluk hidupKlasifikasi makhluk hidup
Klasifikasi makhluk hidupNita Mardiana
 
PENEMPELAN MUSIMAN PARASIT BOPYRID PADA UDANG LUMPUR, Nihonotrypaea japonica ...
PENEMPELAN MUSIMAN PARASIT BOPYRID PADA UDANG LUMPUR, Nihonotrypaea japonica ...PENEMPELAN MUSIMAN PARASIT BOPYRID PADA UDANG LUMPUR, Nihonotrypaea japonica ...
PENEMPELAN MUSIMAN PARASIT BOPYRID PADA UDANG LUMPUR, Nihonotrypaea japonica ...Repository Ipb
 
Yanto p baba 1 2 3
Yanto p baba 1 2 3Yanto p baba 1 2 3
Yanto p baba 1 2 3yantohalid
 
Filum platyhelminthes
Filum platyhelminthesFilum platyhelminthes
Filum platyhelminthesOnic Agustina
 
Power Point nemathelminthes
Power Point nemathelminthesPower Point nemathelminthes
Power Point nemathelminthesImawaty Yulia
 
1996. studi pendahuluan ekologi dua kadal simpatrik.
1996. studi pendahuluan ekologi dua kadal simpatrik.1996. studi pendahuluan ekologi dua kadal simpatrik.
1996. studi pendahuluan ekologi dua kadal simpatrik.Algebra Iostream Khaeron
 
Power Point Platyhelminthes
Power Point PlatyhelminthesPower Point Platyhelminthes
Power Point PlatyhelminthesImawaty Yulia
 
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perahEfektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perahBBPP_Batu
 
Diktat ipa biologi sd pra osn 2016
Diktat ipa biologi sd pra osn 2016Diktat ipa biologi sd pra osn 2016
Diktat ipa biologi sd pra osn 2016Yayu Sri Rahayu
 
Biologi Umum_6_invertebrata, chotdata,vertebrata.pptx
Biologi Umum_6_invertebrata, chotdata,vertebrata.pptxBiologi Umum_6_invertebrata, chotdata,vertebrata.pptx
Biologi Umum_6_invertebrata, chotdata,vertebrata.pptxrifazahidalistiani
 
Bioekologi dan morfologi 1
Bioekologi dan morfologi 1Bioekologi dan morfologi 1
Bioekologi dan morfologi 1Semiani Satsuki
 
pembuatan insektarium dan preparat basah
pembuatan insektarium dan preparat basahpembuatan insektarium dan preparat basah
pembuatan insektarium dan preparat basahSitti Nur Fadillah
 
MATERI Vermes KELAS X SMA
MATERI Vermes KELAS X SMAMATERI Vermes KELAS X SMA
MATERI Vermes KELAS X SMAZona Bebas
 
Hewan Avertebrata atau Hewan Tidak Bertulang Belakang
Hewan Avertebrata atau Hewan Tidak Bertulang BelakangHewan Avertebrata atau Hewan Tidak Bertulang Belakang
Hewan Avertebrata atau Hewan Tidak Bertulang Belakangtaufan123
 

Similar to Penelitian platyhelmintes (20)

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI DASAR 1
 
Aicis mataram2013
Aicis mataram2013Aicis mataram2013
Aicis mataram2013
 
Kelompok 4 nematoda xmia2
Kelompok 4 nematoda xmia2Kelompok 4 nematoda xmia2
Kelompok 4 nematoda xmia2
 
Klasifikasi makhluk hidup
Klasifikasi makhluk hidupKlasifikasi makhluk hidup
Klasifikasi makhluk hidup
 
PENEMPELAN MUSIMAN PARASIT BOPYRID PADA UDANG LUMPUR, Nihonotrypaea japonica ...
PENEMPELAN MUSIMAN PARASIT BOPYRID PADA UDANG LUMPUR, Nihonotrypaea japonica ...PENEMPELAN MUSIMAN PARASIT BOPYRID PADA UDANG LUMPUR, Nihonotrypaea japonica ...
PENEMPELAN MUSIMAN PARASIT BOPYRID PADA UDANG LUMPUR, Nihonotrypaea japonica ...
 
Yanto p baba 1 2 3
Yanto p baba 1 2 3Yanto p baba 1 2 3
Yanto p baba 1 2 3
 
Filum platyhelminthes
Filum platyhelminthesFilum platyhelminthes
Filum platyhelminthes
 
Mammae (Mammalia)
Mammae (Mammalia)Mammae (Mammalia)
Mammae (Mammalia)
 
Power Point nemathelminthes
Power Point nemathelminthesPower Point nemathelminthes
Power Point nemathelminthes
 
1996. studi pendahuluan ekologi dua kadal simpatrik.
1996. studi pendahuluan ekologi dua kadal simpatrik.1996. studi pendahuluan ekologi dua kadal simpatrik.
1996. studi pendahuluan ekologi dua kadal simpatrik.
 
Vermes fix
Vermes fixVermes fix
Vermes fix
 
Power Point Platyhelminthes
Power Point PlatyhelminthesPower Point Platyhelminthes
Power Point Platyhelminthes
 
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perahEfektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
Efektivitas albendazole terhadap infestasi cacing pada pedet sapi perah
 
Diktat ipa biologi sd pra osn 2016
Diktat ipa biologi sd pra osn 2016Diktat ipa biologi sd pra osn 2016
Diktat ipa biologi sd pra osn 2016
 
Biologi Umum_6_invertebrata, chotdata,vertebrata.pptx
Biologi Umum_6_invertebrata, chotdata,vertebrata.pptxBiologi Umum_6_invertebrata, chotdata,vertebrata.pptx
Biologi Umum_6_invertebrata, chotdata,vertebrata.pptx
 
Bioekologi dan morfologi 1
Bioekologi dan morfologi 1Bioekologi dan morfologi 1
Bioekologi dan morfologi 1
 
pembuatan insektarium dan preparat basah
pembuatan insektarium dan preparat basahpembuatan insektarium dan preparat basah
pembuatan insektarium dan preparat basah
 
MATERI Vermes KELAS X SMA
MATERI Vermes KELAS X SMAMATERI Vermes KELAS X SMA
MATERI Vermes KELAS X SMA
 
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3Makalah budidaya-dan-farming-system-3
Makalah budidaya-dan-farming-system-3
 
Hewan Avertebrata atau Hewan Tidak Bertulang Belakang
Hewan Avertebrata atau Hewan Tidak Bertulang BelakangHewan Avertebrata atau Hewan Tidak Bertulang Belakang
Hewan Avertebrata atau Hewan Tidak Bertulang Belakang
 

More from Yuga Rahmat S (20)

2.powert point
2.powert point2.powert point
2.powert point
 
2. power point
2. power point2. power point
2. power point
 
2. power point
2. power point2. power point
2. power point
 
2. power point
2. power point2. power point
2. power point
 
2. power point
2. power point2. power point
2. power point
 
2. power point
2. power point2. power point
2. power point
 
2. power point
2. power point2. power point
2. power point
 
2. power point
2. power point2. power point
2. power point
 
Echinodermata
EchinodermataEchinodermata
Echinodermata
 
2010 pengamatan invertebratadibama
2010 pengamatan invertebratadibama2010 pengamatan invertebratadibama
2010 pengamatan invertebratadibama
 
3. silabus
3. silabus3. silabus
3. silabus
 
1.bahan ajar
1.bahan ajar1.bahan ajar
1.bahan ajar
 
Artikel kel. 8
Artikel kel. 8Artikel kel. 8
Artikel kel. 8
 
Rayap
RayapRayap
Rayap
 
3. silabus
3. silabus3. silabus
3. silabus
 
1.bahan ajar
1.bahan ajar1.bahan ajar
1.bahan ajar
 
Artikel fhylum mollusca
Artikel fhylum molluscaArtikel fhylum mollusca
Artikel fhylum mollusca
 
Artikel fhylum mollusca
Artikel fhylum molluscaArtikel fhylum mollusca
Artikel fhylum mollusca
 
64 reproduksi perkembangan larva
64 reproduksi perkembangan larva64 reproduksi perkembangan larva
64 reproduksi perkembangan larva
 
3. silabus
3. silabus3. silabus
3. silabus
 

Penelitian platyhelmintes

  • 1. IDENTIFIKASI CACING EURYTREMA SP. PADA TERNAK SAPI BERDASARKAN CIRI-CIRI MORFOLOGIS (Identification of Eurytrema Sp. in Cattle Based on Morphological Characteristics) Keywords : Identification, Eurytrema sp ., morphology, cattle ABSTRACT The study was conducted to identify the Eurytrema sp. morphologically . The specimens of Eurytrema sp . were obtained from the pancreatic duct of cattle slaughtered in Makassar, Yogyakarta and Aceh. The flukes were fixated in 70% ethanol for morphological examination. The morphological examination was conducted by using at least 3 flukes of each sample. The parameter which were measured included the body size, oral and ventral succer, pharynx, testis, ovary and eggs. The measurement was conducted after staining. Based on the morphological features it was found that there were 3 species, i.e. Eurytrema pancreaticum, Eurytrema dajii and Eurytrema spp. PENDAHULUAN Penelitian tentang infeksi cacing pada ternak domba pernah dilakukan oleh DORNY et al. (1996) di Sumatra Utara. Di sana terdapat 13 spesies cacing yang menginfeksi domba diantaranya 8 spesies nematoda, 1 spesies cestoda dan 4 spesies trematoda . Semua domba mengalami infeksi campuran lebih dari 1 spesies cacing . Di antara 4 spesies trematoda salah satunya ialah Eurytrema pancreaticum dengan tingkat infeksi mencapai 23,3%. Kejadian E. pancreaticum juga pernah dilaporkan di Jawa Timur pada sapi dan kambing (WIRORENO et al ., 1987) dan di Sumatera Utara pada domba (ARASU et al., 1991). Genus Eurytrema sering juga disebut dengan cacing pankreas yang ditemukan di dalam pankreas dan saluran empedu sapi, kerbau air, domba, kambing, man-nut, babi, unta, monyet dan manusia (TANG, 1950).Kejadiannya pada manusia yang kedua kalinya dilaporkan oleh ISHII et al. (1983) . Infeksi pada induk semang definitif terjadi karena termakannya belalang yang terinfeksi oleh sporosista (GATENBY et al., 1992). Cacing pankreas termasuk dalam kelas Trematoda sub kelas Digenea, famili Dicrocoelfdae. Genus Eurytrema terdiri dari 6 spesies masing-masing : E. pancreaticum, E. coelomaticum, E. parvum, E. rebelle, E. dajii, dan E. ovis . Secara morfologis, panjang dan lebar tubuh E. pancreaticum lebih besar daripada Eurytrema sp. lainnya. Batil isap mulut lebih besar daripada batil isap perut. Eurytrema coelomaticum identik dengan E. pancreaticum, perbedaannya dijumpai pada perbandingan antara diameter batil isap perut dengan batil isap mulut. Eurytrema coelomaticum mempunyai diameter batil isap mulut yang sama dengan batil isap perut. Eurytrema rebelle mempunyai batil isap perut yang lebih besar daripada batil isap mulut, serta testisnya asimetris dan terletak lebih di bawah batil isap perut. Eurytrema dajii mempunyai batil isap perut lebih besar daripada batil isap mulut dan testisnya berlobus . Eurytrema ovis lebih mirip dengan E. pancreaticum dan E. coelomaticum, namun ukuran tubuhnya lebih kecil daripada E. coelomaticum, dan ukuran batil isap mulut hampir sama dengan batil isap perut (NEVEU- LEMAIRE, 1936). Perbedaan antara satu spesies dengan spesies lainnya didasarkan atas ciri-ciri morfologisnya seperti ukuran tubuh, telur, dan perbandingan ukuran batil isap perut dengan batil isap mulut (NEVEU-LEMAIRE, 1936) . Cacing pankreas mempunyai dua induk semang perantara yaitu siput tanah (TANG, 1950) dan belalang (BASCH, 1965). Induk semang perantara pertama adalah dua jenis siput tanah yaitu Bradybaena similaris dan Cathaica ravida sieboldtiana yang termasuk ke dalam famili Fruiticoidolidae (TANG, 1950). Induk semang perantara kedua adalah belalang Conocephalus chinensis (CHINONE et al., 1984; GU et al ., 1990). Belalang ini merupakan famili Tettigoniidae (METCALF dan FLINT, 1979). Pengklasifikasian Eurytrema sp . sampai saat ini masih tetap kontroversial (MORIYAMA, 1982). Informasi tentang ciri-ciri morfologis cacing tersebut di Indonesia sangat minim, sehingga sampai saat ini belum diketahui dengan jelas spesies yang terdapat di Indonesia . Oleh karena itu, dirasakan perlu untuk dilakukan penelitian tentang identifikasi Eurytrema sp. pada sampel yang berasal dari daerah
  • 2. berbeda sehingga diperoleh informasi tentang spesies cacing tersebut di Indonesia . Penelitian ini berukuan untuk mengetahui spesies serata ciri-ciri morfologi cacing Eurytrema sp. yang berasal dari ternak ruminansia di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. TEMPAT DAN WAKTU -acetic dengan Koleksi bahan cacing Eurytrema sp. dewasa dilaksanakan di tiga lokasi yaitu Makassar, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Daerah Istimewa Aceh (DIA) yang pelaksanaannya dilakukan pada bulan Agustus 2000 sampai dengan April 2001 . Pemeriksaan morfologi dilaksanakan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada. Bahan dan alat Penelitian ini menggunakan cacing Eurytrema sp. dewasa yang diperoleh dari 13 buah pankreas sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) Makassar (kode M), RPH Ngampilan, DIY (kode J) dan RPH Keudah, DI Aceh (kode A). Sampel dari Makassar diperoleh dari 3 buah pankreas yang berasal dari sapiBali, dari DIY 5 buah pankreas dari sapi cross breed, dan dari DI Aceh 5 buah pankreas dari sapi lokal (sapi Aceh). Sapi yang digunakan berumur di atas 1 tahun. Pemeriksaan morfologi Prosedur penyiapan dan fiksasi sampel mengikuti metode CABLE (1961). Seratus individu cacing dewasa yang diperoleh dari pankreas yang terinfeksi dicuci dengan aquades, diletakkan di atas gelas nako yang berukuran 15 x 10 x 0,5 cm, ditutup dengan gelas nako lainnya dan di atasnya diberi beban _+ 0,5 kg selama 15 menit. Sampel cacing yang telah pipih difiksasi dalam larutan etanol 70%. Pemeriksaan morfologi hanya dilakukan terhadap 3-9 individu cacing yang telah diwarnai dari masingmasing sampel pankreas yang terinfeksi. Parameter yang diukur meliputi ; ukuran tubuh, batil isap mulut dan perut, farinks, testis, ovarium, telur dan jarak percabangan sekum ke ujung anterior tubuh. Pengukuran ukuran tubuh dilakukan dengan menggunakan penggaris sedangkan ukuran batil isap mulut dan perut, farinks, testis, ovarium, telur danjarak percabangan sekum ke ujung anterior tubuh menggunakan mikrometer. Identifikasi cacing berdasarkan ciri morfologis mengacu pada metode standar menurut CABLE (1961). Cacing yang akan diwarnai diletakkan di antara 2 gelas obyek sedemikian rupa agar tidak mengkerut dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi larutan fiksatif AFA (alcoholformolkonsentrasi formalin 10 bagian, alkohol 95% 50 bagian,asam asetat 2 bagian dan air 40 bagian) dan dibiarkan selama _+24 jam. Cacing yang telah difiksasi dicuci dengan air selama 15 menit dan dimasukkan ke dalam larutan alkohol bertingkat 30%, 50% dan 70% masingmasing selama 15 menit. Cacing diwarnai dengan Semichon's carmin selama 1 jam, kemudian dicuci dengan larutan alkohol 70% selama 15 menit. Cacing dicuci dengan larutan HCl-alkohol 1 % selama 30 menit, dimasukkan dalam larutan alkohol 70%, 80%, 95%, 100% masing-masing selama 15 menit. Cacing dipindahkan ke dalam larutan xylol 2 kali masingmasing selama 15 menit, diletakkan di atas gelas obyek dengan bagian ventral menghadap ke atas dan ditutup dengan entellan. ANALISIS DATA Ukuran morfologi cacing yang meliputi ukuran tubuh, ukuran batil isap mulut dan perut, ukuran testis, ukuran ovarium, ukuran farinks dan ukuran telur dianalisis secara statistik . HASIL DAN PEMBAHASAN Rata-rata jumlah cacing per pankreas dari sampel DI Aceh adalah 326 (224-425) . Secara morfologi cacing yang didapat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Batil isap mulut lebih besar dari batil isap perut, testes berlobus, ovarium tidak berlobus dan ada juga yang berlobus, follikel vitellaria berkelompok yang jelas batasannya. Sesuai dengan pendapat NEVEU-LEMAIRE (1936), LAPAGE (1959), MORIYAMA (1982), dan INOUE et al. (1986) cacing tersebut termasuk E. pancreaticum (Gambar 1) . Selain itu juga ditemukan Eurytrema dengan ciri-ciri sebagai berikut : Batil isap mulut lebih kecil dari batil isap perut, testes berlobus, ovarium tidak berlobus dan ada juga yang berlobus dan follikel vitellaria berkelompok. Sesuai dengan pendapat Neveu- LEMAIRE (1936), cacing tersebut tergolong E. dajii (Gambar 2). Rata-rata jumlah cacing per pankreas dari sampel DIY adalah 1351 (134 - 2407). Secara morfologi cacing tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Batil isap mulut lebih kecil dari batil isap perut, testes
  • 3. berlobus, ovarium tidak berlobus dan ada juga yang berlobus dan follikel vitellaria berkelompok yang jelas batasannya. Sesuai dengan pendapat NEVEU-LEMAIRE (1936),cacing tersebut tergolong E. dajii . Rata-rata jumlah cacing per pankreas dari sampel Makassar tidak dihitung karena sampel cacing yang dikoleksi dari masing-masing pankreas hanya diambil sebagian . Sampel cacing tersebut mempunyai ciri- ciri sebagai berikut : Batil isap mulut lebih kecil dari batil isap perut, testes berlobus, ovarium tidak berlobus dan ada juga yang berlobus dan follikel vitellaria berkelompok yang jelas batasannya. Sesuai dengan pendapat NEVEU-LEMAIRE (1936), cacing tersebut termasuk E. dajii . Selain itu juga ditemukan Eurytrema dengan ciri-ciri sebagai berikut : Batil isap mulut lebih kecil dari batil isap perut, testes dan ovarium kurang berlobus dan follikel vitellaria berkelompok yang tidak jelas batasannya . Eurytrema ini belum diperoleh kunci identifikasinya sehingga spesies ini diduga sebagai spesies baru dan di beri nama Eurytrema spp. (Gambar 3) . Sampel cacing yang berasal dari DI Aceh, DIY dan Makassar mempunyai ukuran morfologi seperti tercantum pada Tabel 1 . Perbandingan ciri morfologis dari masing- masing spesies seperti tercantum pada Tabel 2 . Ukuran tubuh E. pancreaticum lebih besar dari E. dajii dan Eurytrema spp, E. dajii lebih besar dari Eurytrema spp. Meskipun rata-rata ukuran tubuh E. pancreaticum lebih besar dari E. dajii namun E. dajii ada juga yang berukuran besar sehingga untuk membedakannya hanya berdasarkan ukuran tubuh saja kurang tepat . Eurytrema pancreaticum mempunyai batil isap mulut yang lebih besar daripada batil isap perut, hal ini sesuai dengan yang dilaporkan NEVEU-LEMAIRE (1936), LAPAGE (1959), MORIYAMA (1982), dan INOUE et al. (1986). Batil isap perut E. dajii lebih besar daripada batil isap mulut, sesuai dengan yang dilaporkan oleh NEVEU-LEMAIRE (1936). Eurytrema spp. juga mempunyai batil isap perut yang lebih besar daripada batil isap mulut. NOSAKA et al. Sit. CHINONE et al. (1984) melaporkan bahwa perbandingan batil isap mulut dengan batil isap perut merupakan salah satu ciri yang bermanfaat untuk identifikasi spesies . Perbandingan diameter batil isap perut dan batil isap mulut E. pancreaticum dan E. dajii yang diperoleh dari penelitian ini (Tabel 2) sesuai dengan laporan terdahulu (NEVEU-LEMAIRE, 1936) (Tabel 3) . Tabel 1 . Rata-rata ukuran morfologis Eurytrema sp . sampel asal DI Aceh, DIY dan Makassar Ciri-ciri # tubuh Panjang (mm) Lebar (mm) Diameter BIM (mm) Diameter BIP (mm) Diameter BIM/BIP # faring Panjang (mm) Lebar (mm) # Testes kiri Panjang Lebar #testes kanan Panjang Lebar # ovarium Panjang Lebar # telur
  • 4. Panjang Lebar Cab. sekum ke UAT (mm) KETERANGAN : BIM = batil isap mulut BIP = batil isap perut UAT = ujung anterior tubuh Ed = Eurytrema dajii E.p = Eurytrema pancreaticum E.spp = Eurytrema new spesies Bentuk testis E. pancreaticum dan E. dajii lebih berlobus daripada Eurytrema spp, demikian juga bentuk ovariumnya . Lobulasi testis ini merupakan sifat yang menciri untuk E. pancreaticum (CHINONE et al., 1984) dan E. dajii (NEVEu- LEMAIRE, 1936). Kelompok folikel vitellaria E. pancreaticum dan E. dajii jelas batasannya sedangkan pada Eurytrema spp. tidak jelas. Secara morfologis E. pancreaticum lebih mirip dengan E. dajii, perbedaan yang menciri dijumpai pada perbandingan antara diameter batil isap mulut dengan batil isap perut (Tabel 2) . Perbedaan antara Eurytrema spp. dengan E. pancreaticum dan E. dajii dijumpai pada semua parameter morfologis, kecuali pada ukuran telur. Ukuran telur dari masing-masing spesies relatif sama, hal ini berbeda dengan laporan sebelumnya yang mengatakan bahwa ukuran telur E. pancreaticum lebih besar dari telur E. dajii (NEVEU-LEMAIRE, 1936) . Ciri morfologis yang sama antara Eurytrema spp. dan E. dajii adalah pada perbandingan antara batil isap mulut dengan batil isap perut. Secara umum ukuran morfologi E. dajii sampel asal DI Aceh lebih besar daripada E. dajii sampel asal DIY dan Makassar, namun ukuran testes kiri dan ovarium lebih besar pada sampel asal DIY. Tabel 2. Rata-rata ciri morfologis Eurytrema sp. Keterangan: UAT= ujung anterior tubuh BIM= batil isap mulut BIP= batil isap perut pt= panjang tubuh *= rerata ukuran tubuh setelah diwamai Tabel 3. Ciri-ciri morfologis spesies Eurytrema
  • 5. Keterangan : ND = tidak ada data * =diameter (NEVEU-LEMAIRE, 1936) Sampel asal Makassar dan D .I. Aceh dijumpai 2spesies cacing yang berbeda sedangkan sampel asal DIY hanya 1 spesies pada 1 induk semang yang sama. Hal ini berbeda dengan laporan sebelumnya yang menyebutkan bahwa spesies yang berbeda mungkin tidak hidup bersama pada induk semang definitif yang sama (MORIYAMA, 1982). Tidak dijumpainya E. pancreaticum di DIY dan Makassar serta Eurytrema spp. di DI Aceh dan DIY diduga karena faktor lingkungan dan induk semang definitif yang berbeda dan juga mungkin karena waktu pengambilan sampel yang relatif singkat yaitu lebih kurang 1 minggu. Untuk penelitian selanjutnya dirasakan perlu untuk mempertimbangkan faktor tersebut di atas sehingga dapat memberikan gambaran tentang spesies Eurytrema yang ada di Indonesia . KESIMPULAN DAN SARAN Hasil identifikasi menunjukkan bahwa secara morfologis genus Eurytrema yang berasal dari DI. Aceh, Yogyakarta dan Makassar ada 3 spesies yaitu E. pancreaticum, E. dajii dan Eurytrema spp. Eurytrema pancreaticum hanya dijumpai pada sampel asal DI. Aceh, E. dajii pada semua sampel dan Eurytrema spp . hanya dijumpai pada sampel asal Makassar. Induk semang definitif dapat terinfeksi lebih dari satu spesies Eurytrema. Penelitian yang sama perlu dilakukan lebih lanjut terutama di daerah lainnya, dengan demikian akan diperoleh tambahan informasi tentang spesies Eurytrema yang ada di Indonesia .
  • 6. EKINOKOKOSIS/HIDATIDOSIS, SUATU ZOONOSIS PARASIT CESTODA PENTING TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT TARMUDJI Balai Penelitian Veteriner Jl. R.E. Martadinata No. 30, P.O. Box 151, Bogor 16114 ABSTRAK Ekinokokosis/hidatidosis adalah suatu penyakit zoonosis cestoda yang disebabkan oleh infeksi stadium larva Echinococcosis granulosus. Parasit cacing pita ini berukuran kecil (panjangnya < 1 cm) dan mempunyai tiga segmen. Untuk melengkapi siklus hidupnya, E. granulosus memerlukan dua mamalia sebagai inangnya. Cacing dewasanya hidup di dalam usus kecil hewan carnivora, terutama anjing (induk semang definitif) dan menghasilkan telur yang mengandung larva infektif. Sedangkan stadium larva, metacestode berkembang di dalam organ internal hewan ungulata, misalnya, domba, sapi, babi dan onta (induk semang antara). Secara asidental E. granulosus dapat menginfeksi manusia (bila tertelan telur infektif) dan dalam perkembangan stadium larva (hidatid) dapat membentuk kista pada organ tubuh inangnya (terutama hati dan paru-paru). Penyebaran penyakit hidatid secara kosmopolitan, terutama di daerah yang mempunyai populasi domba dan sapi yang sangat banyak. Penyakit ini merupakan problem utama di daerah Timur Tengah, Afrika utara dan sub sahara serta di Amerika Utara. E. granulosus kurang patogen pada anjing, tetapi bersifat patogen pada manusia dan menyebabkan hidatidosis (cystic hydatidosis). Penyakit ini, pada stadium awal tidak memperlihatkan gejala klinik (aymptomatic). Gejala klinis dapat terjadi setelah masa inkubasi yang cukup lama (diperkirakan beberapa bulan hingga tahunan). Dan, tergantung dari jumlah, besar dan lokasi kista, perkembangannya (aktif/inaktif) serta terjadinya penekanan kista terhadap jaringan di sekitarnya. Ukuran kista pada organ tubuh manusia sangat bervariasi, biasanya sekitar 1-15 cm, tetapi bisa juga lebih besar (diameter > 15 cm). Kista pada hati dapat menimbulkan rasa nyeri perut di bagian atas, hepatomegali dan berbagai macam gejala yang lain. Batuk kronik, sesak nafas dan hemoptysis dapat disebabkan oleh kista pada paru-paru. Pada induk semang antara, diagnosa tergantung ada/tidaknya kista pada organ, terutama pada hati dan paru-paru. Diagnosis pada anjing dengan ditemukannya cacing (dewasa) E. granulosus. Sedang pada manusia diagnosis ekinokokosis didasarkan pada gejala klinik, ultrasonografi dan pemeriksaan dengan sinar X (X-Ray) dan metode lain yang dapat mendukung diagnosis yaitu dengan deteksi serum spesifik antibodi/uji imunodiagnostik. Di Indonesia, secara serologi pernah ditemukan pada penduduk di sekitar danau Lindu, Sulawesi Tengah, namun pada anjing tidak ditemukan cacing E. granulosus. Kata kunci : Ekinokokosis/hidatidosis, E. granulosus, zoonosis, anjing, hewan ungulata, manusia PENDAHULUAN Beberapa parasit cestoda pada hewan ada yang bersifat zoonosis dan salah satu diantaranya adalah genus Echinococcus (SOULSBY, 1965). Echinococcus sp. adalah cacing kecil (panjang <1cm) yang daur hidupnya melibatkan dua mamalia (ECKERT et al., 1982). Cacing dewasanya hidup di dalam usus kecil (intestine) hewan carnivora, terutama anjing sebagai induk semang definitive/ISD (Definitive Host), sedangkan stadium larvanya (hidatid) hidup di dalam tubuh hewan ungulata (misalnya, domba, sapi, babi, kuda, onta, dsb) sebagai induk semang antara/ISA (Intermediate Host). Di dalam usus, Echinococcus sp. memproduksi telur yang dikeluarkan bersama feses anjing, sehingga dapat mencemari lingkungan. Bila telur tersebut termakan oleh ISA, akan berkembang dan membentuk kista yang menyerupai tumor di dalam organ tubuh inangnya, terutama pada organ hati dan paru-paru. Manusia dapat terinfeksi parasit tersebut secara asidental, bila ia tertelan oleh telur cacing infektif melalui jari tangannya atau makanan yang terkontaminasi feses anjing tersebut (FAO, 1957; ECKERT et al., 1982). Dua bentuk larva Echinococcus yang merupakan masalah penting bagi kesehatan masyarakat yaitu, Echinococcus granulosus yang menyebabkan Cystic Echinococcosis (CE) dan E. multilocularis yang menyebabkan
  • 7. Alveolar Echinococcosis (AE). CE dan AE merupakan problem utama di wilayah peternakan domba intensif dengan transmisi anjing-domba-anjing (LEECH et al., 1988). Masih ada dua spesies lagi yaitu E. vogeli dan E.oligarthrus yang dapat menyebabkan Polycystic Echinococcosis, namun tidak begitu penting karena frekuensi kejadiannya sangat rendah. (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Meskipun secara geografis CE dan AE penyebarannya luas dan berdampak terhadap ekonomi dan kesehatan masyarakat, namun CE yang paling penting diantara keduanya. Karena penyebaran CE sangat luas, paling sedikit sudah dilaporkan terdapat di 100 negara dan variasi inangnya juga banyak (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). E. granulosus bersifat kosmopolitan dan mampu beradaptasi dengan berbagai jenis inangnya pada hewan-hewan di Eropa dan di belahan bumi lainnya. Di sebagian besar negara-negara Mediterranean yang paling timur, infeksinya hiper-endemik pada domba, onta, kambing dan keledai. E. granulosus juga dilaporkan di sebagian besar negara Asia, termasuk China, Kampuchea, Vietnam, Philipina, Taiwan dan Indonesia dan daerah yang prevalensinya tertinggi adalah Iran, India, Nepal dan Pakistan. (ECKERT et al., 1982). E. granulosus ini kurang patogen terhadap anjing, tetapi patogenitasnya cukup tinggi pada manusia dan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan (di daerah endemik), yang disebut penyakit hidatid (Hydatid Disease/ Hidatidosis) atau Ekinokokosis (THOMPSON dan ROBERTSON, 2003). Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ekinokokosis/ hidatidosis yang disebabkan oleh infeksi E. granulosus dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. EKINOKOKOSIS/HIDATIDOSIS Ekinokokosis dan hidatidosis merupakan suatu istilah yang biasa digunakan untuk menyatakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing dewasa dan stadium larva (metacestoda) dari genus Echinococcus (Family: Taeniidae). Istilah hidatidosis terbatas untuk infeksi metacestoda, sedang ekinokokosis untuk keduanya (infeksi cacing dewasa maupun larvanya) (ECKERT et al., 1982). Penyebaran geografis E. granulosus Phenotipe dan varietas dari spesies E. granulosus telah diisolasi dan diidentifikasi, ada beberapa strain E. granulosus yang terdapat pada hewan piaraan/ternak (ISD – ISA) yang berpotensi dapat menginfeksi manusia. Penyebaran E. granulosus secara geografis pada berbagai jenis hewan antara lain sbb: 1. Anjing – Domba (strain domba/common sheep strain): di Eropa, Timur Tengah, Afrika, Iran, India, Nepal, China, Rusia, Australia, Tasmania, New Zeland, USA dan Amerika Selatan. 2. Anjing – Sapi (strain sapi/cattle strain): di Eropa, Afrika Selatan, India, Nepal, Sri Lanka, Rusia, Amerika Selatan. 3. Anjing – Babi (strain babi/pig strain): di Polandia, Slowakia, Ukraina, Rusia dan Argentina. 4. Anjing – Onta (strain onta/camel strain): Timur Tengah, Iran, Afrika, China, Nepal dan Argentina. 5. Anjing – Rusa (strain rusa/deer strain): di Norwegia, Swedia dan Alaska. Selain itu, ada strain E. granulosus yang lainnya yang infektivitasnya pada manusia masih dipertanyakan/belum diketahui secara pasti yaitu, strain kerbau/bufallo strain (di Asia), strain kuda/horse strain (di Timur Tengah, Eropa dan Afrika Selatan) dan Lion strain (di Polandia dan Afrika) (OIE, 2000; ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Morfologi dan Daur Hidup E. granulosus E. granulosus adalah cacing cestoda kecil, panjangnya 3-8,5 mm. Terdiri dari kepala (scolex), leher (neck) dan proglottid (3-4 segmen). Scolex mempunyai empat alat penghisap (oral suckers), dan mempunyai dua deret kait (hooks). Segmen terakhir (gravid proglottid), panjangnya lebih dari setengah dari panjang total cacing dewasa dan mengandung sekitar 5000 butir telur. Setiap telur berbentuk ovoid dengan diameter 30 – 40 mikron. Di dalam telur terdapat hexacanth embrio, yaitu embrio yang memiliki tiga pasang kait (Oncosphere) (MULLER, 1975). Selanjutnya oncosphere di lokasi akhir (organ tubuh ISA) akan berkembang menjadi metacestoda (larva hidatid) selama beberapa bulan dan menghasilkan protoscolices (metcestoda fertile) atau tidak menghasilkan protoscolices (metcestoda steril) (ECKERT et al., 1982). Metacestoda fertile inilah yang akan menjadi cacing dewasa bila berada dalam tubuh ISD. E. granulosus dewasa, hidupnya menempel pada usus kecil anjing atau carnivora lainnya (wolf, dingo,
  • 8. jackal) sebagai ISD. Proglottid (gravid) yang mengandung telur-telur infektif dikeluarkan bersama feses. Apabila telur infektif E. granulosus termakan/tertelan oleh ISA (domba, sapi, babi, kuda, onta dsb) atau manusia, maka telur tersebut akan menetas menjadi larva di dalam duodenum inangnya. Kemudian oncosphere, dengan bantuan kait yang dimilikinya menembus mukosa usus, menuju pembuluh darah portal dan mengikuti aliran darah ke berbagai organ tubuh. Dalam perkembangannya metacestoda ini membentuk kista hidatid pada organ sasaran (hati, paruparu dan organ lainnya) (EDINGTON dan GILLES, 1976). Perkembangan kista sangat lambat, tetapi pasti dan makin lama makin membesar. Ukurannya baru mencapai 1mm setelah satu bulan dan setelah lima bulan ukurannya bertambah besar, menjadi 10-55 mm dan mulai membentuk gelembung berbentuk kapsula yang berisi cairan bening dan steril. Cairan tersebut mengandung garam, enzim,sedikit protein dan substansi toksik (MULLER, 1975). Kasus hidatidosis pada manusia terjadi secara asidental, bila telur cacing yang infektif tertelan olehnya dan selanjutnya akan berkembang menjadi metacestoda di organ tubuhnya. Sedangkan metacestoda fertile dengan protoscolices (scolex pada metacestoda) merupakan stadium larva yang infektif. Siklus hidup cacing E. granulosus akan sempurna, apabila metacestoda fertile (pada organ domba atau hewan lain) tersebut dimakan oleh anjing atau carnivora lainnya yang peka dan larva tersebut akan menjadi dewasa di dalam usus anjing (Gambar 1) (ECKERT et al., 1982). Untuk kelangsungan hidup E. granulosus, maka domba merupakan ISA yang penting dan menjadi sumber utama untuk transmisi kista hidatid, karena metacestoda ini daya fertilitasnya tinggi. (1) Cacing dewasa di dalam usus halus anjing atau Canidae lain. (2) Proglottid dengan telurtelurnya dikeluarkan bersama feses, (3) Telur, (4) ISA - domba. Metacestoda (kista hidatid ) berkembang dalam hati, paru-paru dan organ viscera lainnya. (4a) Infeksi secara asidental pada manusia (5) Hati yang terinfeksi metacestoda (5a) Metacestoda fertile dengan protoscolex. Ini merupakan stadium infectif. Siklus hidup lengkap, bila metacestoda fertile dimakan oleh carnivora yang peka. Ekinokokosis pada hewan dan manusia Adanya kista hidatid pada organ tubuh ternak dapat menimbulkan problem ekonomi, karena sebagian produk ternaknya tidak layak dikonsumsi dan harus diafkir. Ditinjau dari segi kesehatan masyarakat, adanya kista hidatid pada manusia yang terus membesar, meskipun dalam waktu yang lama, dapat menimbulkan penyakit kronik. Bagi penderitanya hal ini menjadi beban karena untuk pengobatannya maupun operasi (pembedahan) memerlukan biaya yang tidak sedikit. Pada Hewan Di Algeria, siklus anjing-domba-anjing biasanya merupakan sumber utama penularan pada manusia. Namun, kapan strain E. granulosus tersebut terlibat dalam kontaminasi dan peranan hewan lainnya, tidak/belum diketahui (BARDONNET et al., 2003). Di Australia, E. granulosus (sheep strain) sudah lama terjadi, yaitu semasa kolonisasi bangsa Eropa di sana. Ternyata siklus anjing-dombaanjing ini berkembang di daerah peternakan (banyak anjing yang diberi makan jerohan domba) dan kejadian ini terus meluas dan menimbulkan masalah kesehatan di daerah perkotaan (urban area). Kista hidatid juga diketemukan pada kanguru (THOMPSON dan ROBERTSON, 2003). Studi ekinokokosis di Iran bagian Barat, selama tiga tahun (1997-2000) yang meliputi lima propinsi dapat ditemukan pada ISD dan kista hidatid pada ISA. Pada ISD, 19,1% dari 115 ekor anjing yang positip E. granulosus. Demikian pula pada jackal (2,3% dari 86) dan fox (5% dari 60) juga positip E. granulosus. Sedangkan kista hidatid dapat dijumpai pada domba (19,1% dari 32.898), kambing (6,3% dari 10.691), sapi (16,4% dari 15.799) dan kerbau (12,4% dari 659). Kista (pada hati dan paru-paru) pada domba lebih fertile disbanding dengan kista dari hewan lainnya (DALIMI et al., 2002). Hal ini menunjukkan bahwa, anjing berpotensi dalam penularan penyakit hidatid ke hewan lain dan semua ruminansia berisiko terserang penyakit hidatid ini, terutama domba. Meskipun kista hidatid dapat terbentuk pada hewan ungulata, namun metacestoda fertile tidak berkembang pada semua hewan, adakalanya steril dan perkembangan stadium fertile (terbentuk protoscolices) yang terbaik hanya pada domba (EUZEBY, 1974). Karena kista hidatid pada domba lebih
  • 9. fertile (90% fertile) dibanding dengan kista pada sapi (90% steril) atau babi (80% steril) (JUBB dan KENNEDY, 1970). Di Brosov, kerbau berisiko tinggi terinfeksi ekinokokosis, hal ini ditunjukkan dengan tingginya kasus tersebut. Dari hasil survai mencapai 86% (37 dari 43 ekor) kerbau betina positip ekinokokosis. Sebagian besar kista E. granulosus ditemukan di paru-paru dan hati, dengan diameter kista 1-5,1 cm (COMAN et al., 2001). Kasus yang sama juga pernah dilaporkan di Punjab. Empat dari tujuh ekor kerbau betina (7-9 tahun) menderita ekinokokosis paru-paru (pulmonary echinococcosis). Selain di paru-paru, kista juga ditemukan pada organ hati. Pada pemeriksaan post mortem, ditemukan sejumlah kista hidatid dengan ukuran bervariasi, dari sebesar buah anggur sampai sebesar bola yang memenuhi rongga thorax. Kista hidatid juga ditemukan pada organ hati (PANDEY et al., 1978). Pada manusia Hidatidosis yang disebabkan oleh stadium larva E. ganulosus ini menjadi penting karena dapat menginfeksi manusia. Satu atau lebih kista besar dapat menimbulkan lesi kronik (ANDERSON, 1986). Menurut MAEINTYRE dan DIXON (2001), protoscolices dapat menyebabkan reaksi local dan menginduksi mitosis sel-sel B dan se-sel T yang berpotensi terjadinya proliferasi dan deplesi sel-sel tersebut di sekitar lokasi kista. Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan kista membentuk protoscolices tidak diketahui, tetapi diperkirakan lebih dari 10 bulan post infeksi (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Bahkan mungkin tahunan, seperti yang dikatakan oleh MULLER (1975) bahwa, periode inkubasi biasanya paling sedikit lima tahun, kecuali kista pada otak atau kelopak mata. Kista primer dapat berkembang di berbagai organ tubuh, tetapi kista sekunder (metastasis dari serpihan kista besar yang rupture akibat trauma) dapat terjadi di ruang abdomen. Kista yang kecil (dari metastasis tersebut) terus berkembang dan tumbuh menjadi besar (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Prevalensi hidatidosis pada manusia di setiap negara bervariasi. ECKERT et al. (1982) menyebutkan bahwa, prevalensi kasus per 100.000 populasi/penduduk per tahun di beberapa negara adalah sbb : Di Uruguay 20,7 kasus per 100.000, selanjutnya terjadi 12,9 kasus di Cyprus, 7,8 di Chili, 7,5-8,3 di Greece, 5,1-6,1 di Algeria dan 3,7 di Yugoslavia. Kasus Ekinokokosis pada manusia ini, di daerah endemik E. granulosus cukup banyak dan merupakan masalah yang serius. Di daerah urban di Brazil (dekat perbatasan Argentina-Uruguay), ekinokokosis ini menimbulkan problema kesehatan masyarakat yang serius (HOFFMANN et al., 2001). Sementara itu, di Spanyol, selama kurun waktu 15 tahun (1981-1996), pernah didiagnosa adanya 575 kasus hidatidosis pada manusia di salah satu rumah sakit di sana dan 321 pasien diantaranya dilakukan terapi dengan operasi/ pembedahan (CAMPOS-BUENO et al., 2000). Dan, pada penelitian selanjutnya mereka menyimpulkan bahwa, faktor resiko terjadinya penyakit ini, berkaitan dengan lingkungan keluarga (lingkungan peternakan, tempat tinggal di kota kecil dan sering kontak dengan anjing). Resiko mereka untuk terkena ekinokokosis secara asidental lebih besar dibanding pekerja pada peternakan itu sendiri. Karena mereka sering bergaul dengan anjing dan kurang menjaga kebersihan diri maupun lingkungannya agar terbebas dari pencemaran kotoran anjing tersebut (FAO, 1957). Sementara itu, REINECKE (1983) mengatakan bahwa, penyakit ini dapat ditularkan ke manusia (orang yang selalu kontak dengan anjing) melalui embriophore yang menempel pada rambut dan cakar anjing. Kista hidatid pada manusia dapat terjadi di berbagai lokasi organ tubuh, namun yang terbanyak pada organ hati. Ukuran kista pada tubuh manusia sangat bervariasi dengan diameter 1-15cm, tetapi bisa juga lebih besar (>15 cm atau lebih), tergantung dari umur dan perkembangan kista (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Dilaporkannya bahwa, di rumah sakit di Mediterranean, didapatkan adanya 459 kasus hidatidosis. Kista hidatid secara tunggal (single site), paling banyak dijumpai pada organ hati (68,8 %) dan paru-paru (17,2 %). Selebihnya terjadi pada organ ginjal (3,7 %), limpa (3,3%), otot dan kulit (2,2%), rongga abdominal dan rongga pelvis (2,0%), jantung (1,1%), otak (0,9%), tulang (0,6%) dan ovarium (0,2%). Demikian pula di China, kasus hidatidosis pada pasien bedah (15.289 kasus), ditemukan kista pada berbagai organ yang bersifat tunggal (single) dan ganda (multiple), sebanyak 75,2% dijumpai pada organ hati, 22,4% pada paruparu dan selebihnya pada organ lainnya (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Banyaknya kista pada organ hati ini, disebabkan pada tahap awalnya larva yang masuk vena portal tersaring dan tidak mampu melewati filter kapiler hati. Sedangkan larva yang dapat lolos dari filter di
  • 10. kapiler hati akan masuk ke sirkulasi darah secara sistemik masuk paruparu dan atau organ tubuh lainnya (EDINGTON dan GILLES, 1976). EKINOKOKOSIS DI INDONESIA Kejadian ekinokokosis di Indonesia belum banyak diketahui. Kemungkinan tidak ada kasus atau sedikit kejadiannya, sehingga kurang menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian penyakit tersebut. Penyakit ini bukanlah penyakit zoonosis yang diprioritaskan untuk diteliti di Indonesia, baik pada hewan maupun pada manusia. Meskipun di daerah endemik di beberapa negara lain telah banyak dilakukan penelitian penyakit ini, karena ekinokokosis merupakan salah satu zoonosis penting yang berdampak terhadap kesehatan masyarakat. ECKERT et al. (1982) memang pernah melaporkan adanya E. granulosus di Indonesia. Sementara itu, PALMIERI et al (1984) dalam laporannya menyebutkan bahwa, secara serologis serum darah dari penduduk asli (berumur lebih dari 10 tahun) di sekitar danau Lindu Sulawesi Tengah, ditemukan reaksi positip mengandung antibodi Echinococcus. Namun di lokasi yang sama, pada pemeriksaan material intestin dari anjing tidak ditemukan adanya cacing E. granulosus. Material intestin ini diperoleh setelah anjing (63 ekor) diberi purgative arecoline hydrobromida (1,5%) melalui oral. Yang ditemukan adalah endoparasit lain selain E. granulosus, antara lain Toxocara sp. dan Diphyllobotrium sp. Sementara itu, secara serologis (dengan metoda indirect hemagglutination test), ditemukan 17 dari 903 (1,8%) sera yang bereaksi positip mengandung antibodi echinococcus (titer: 1: 64 sampai 1: 512) (PALMIERI et al., 1984). Hal ini menunjukkan bahwa, orang-orang tersebut diperkirakan pernah terpapar oleh larva echinococcus, namun belum cukup untuk menimbulkan gejala klinik, mengingat timbulnya gejala klinik cukup lama. Gejala klinik dan patologik Manifestasi klinik sangat tergantung dari banyaknya kista hidatid dan di mana kista tersebut berada. Kista biasanya ditemukan secara tunggal dan 50% menginfeksi orang dewasa pada organ hati, di lobus kanan. Sedang pada anak-anak lebih sering dijumpai pada paru-parunya daripada di hati (MULLER, 1975). Pada phase awal infeksi primer, tidak memperlihatkan gejala klinik (asymptomatic), karena bentuk kistanya masih kecil dan dilindungi kapsula sehingga tidak menimbulkan reaksi tubuh dan tidak menunjukkan gejala klinik. Namun dalam perkembangan selanjutnya, untuk dapat menimbulkan gejala klinik tergantung dari jumlah, besar dan perkembangan kista (aktif atau inaktif), organ yang terlibat (lokasi kista), tekanan kista terhadap jaringan di sekitarnya dan mekanisme pertahanan tubuh dari inangnya (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Kista ekinikokosis terlihat sebagai gelembung-gelembung yang terdiri dari dinding parasit dan isinya yaitu cairan bening. Membran ekinokokosis terdiri dari kutikula yang strukturnya berlapis-lapis (terdapat di sebelah luar). Sedang lapisan parenkim terletak di sebelah dalam, terdiri dari serabut-serabut otot dan endapan-endapan kapur. Lapisan parenkim menjadi scolices di dalam gelambung-gelembung fertile. Scolices tidak terbentuk di dalam gelambung-gelembung steril (RESSANG, 1984). Efek patologi dari kista hidatid berupa tekanan pada organ yang dapat menyebabkan nekrosis pada hati atau organ lainnya.. Reaksi allergi (pruritis dan urticaria) dapat terjadi bila kista hidatid secara spontan robek (ruptur) akibat trauma atau pembedahan (operasi). Serpihan antigen hidatid menimbulkan reaksi dengan gejala-gejala dyspnoe, sianosis (MULLER, 1975; ANDERSON, 1985). Kista pada hati dapat menyebabkan rasa sakit di bagian atas abdomen, gangguan pencernaan, hepatomegali, cholestasis, sirosis dan berbagai manifestasi klinik lainnya. Sedang kista pada paru-paru yang ruptur ke dalam ruang peritoneum dapat menyebabkan batuk kronis, sesak nafas, hemoptysis, pleuritis dan abses paru-paru dan kista di otak dapat menyebabkan gangguan syaraf (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Teknologi Diagnosis Tehnik dan prosedur diagnosis yang digunakan untuk identifikasi E. granulosus tergantung infeksinya (secara alami), inangnya (ISD & ISA) yang akan diperiksa. Diagnosis juga untuk menentukan stadia larva
  • 11. hidatid dalam tubuh manusia (WOODS, 1986). Menurut MULLER (1975), diagnosis dapat dilakukan sbb: 1. secara klinik dan parsitologi, bila ditemukan adanya protoscolices dalam sputum penderita akibat kista paru-paru yang ruptur, 2. secara radiology, dengan sinar X (Xray), 3.secara imunologi (Uji Casoni, uji Haemaglutinasi, uji Complement Fixation Test/CFT). DOGANAY et al. (2003) menambahkan bahwa dengan uji Indirect Flourescent Antibody Technique (IFAT) dapat untuk diagnosis ekinokokosis pada manusia dan domba. Sementara BARDONNET et al. (2003) mengatakan bahwa, untuk mengetahui peranan inang lain (terutama sapi) yang dapat menjadi transmisi (reservoar) ke manusia dapat dilakukan analisis DNA dengan PCR. DIAGNOSIS HIDATIDOSIS PADA ISA Diagnosis ini dapat dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH). Kista hidatid dari E. granulosus pada berbagai organ (domba dan sapi) dapat diobservasi secara palpasi dan insisi. Tetapi pada babi dan kambing, kadang kadang sulit dilakukan, karena dapat dikelirukan dengan infeksi cacing pita yang lain (Taenia hydatigena ), bila kedua parasit tersebut menginfeksi organ hati yang sama. Namun dengan pemeriksaan histopatologi dari potongan organ tersebut, dengan pewarnaan Periodic-acid Schiff (PAS), dapat diketahui perbedaannya, yakni terdapat protoscolex dengan brood capsule atau “hydatid sand” yang merupakan ciri khas E. granulosus (OIE, 2000). DIAGNOSIS E. GRANULOSUS PADA ANJING Diagnosis dengan mengidentifikasi telur E. granulosus dari feses anjing secara mikroskopis sulit dilakukan, karena tidak mudah untuk membedakan antara telur E. granulosus dan telur Taenia sp. (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Namun dengan nekropsi anjing, dapat dilakukan identifikasi cacing dewasanya dengan bantuan mikroskup stereo, biasanya E. granulosus dapat dijumpai pada sepertiga bagian usus kecil anjing (OIE, 2000). Menurut HOFFMANN et al. (2001), ada tiga cara untuk diagnosis ekinokokosis yaitu, pertama, purgasi dengan arecoline bromida untuk verifikasi adanya parasit. Kedua, Uji ELISA untuk mendeteksi coproantigen dan ketiga dengan indirect immunosorbent antibody test untuk mendeteksi adanya antibody terhadap E. granulosus. Diagnosis hidatidosis pada manusia Diagnosis larva hidatid pada manusia didasarkan pada pemeriksaan sinar X (XRAY), ultrasonography dan metode lainnya dan didukung dengandeteksi antibody terhadap antigen echinococcus. Kemudian dikonfirmasi dengan adanya parasit tersebut. Diagnosis secara serologis dapat dilakukan secara imunodiagnostik yakni, mendeteksi serum antibody spesifik dengan metode ELISA (Enzyme Linked immunosorbent Assay) dengan Crude Antigen EgCF (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). Sementara itu, DOGANAY et al. (2003) menyatakan bahwa, diagnosis kejadian awal hidatidosis yang dilakukan dengan metoda IFAT dapat memberikan tingkat specifisitas dan sensitivitas masing-masing pada manusia 80 dan 90% dan pada domba keduanya 90%. PENCEGAHAN DAN KONTROL Di daerah endemik, perlu dilakukan pencegahan dan kontrol terhadap kemungkinan penularan parasit lebih lanjut. Yaitu, memutus siklus hidup parasit dengan mencegah anjinganjing di wilayah tersebut memperoleh kemudahan/mendapatkan ases makanan atau makan visceral domba (yang berasal dari RPH). Karena organ visceral tersebut diperkirakan ada yang mengandung kista hidatid fertile, sehingga dapat merupakan sumber penularan. Memberi makan anjing dengan visceral domba yang telah dimasak terlebih dulu, agar parasitnya mati (WOODS, 1986). Infeksi telur cacing E.granulosus pada domba sulit dicegah, namun hal ini dapat diatasi dengan vaksinasi domba dengan vaksin rekombinan antigen oncosphere yang dapat memproteksi hewan itu terhadap parasit tersebut (OIE, 2000). Pada manusia,
  • 12. harus membiasakan diri dengan menjaga kebersihan, terutama harus mencuci tangan sebelum makan dan minum bagi mereka sering kontak dengan anjing. Penyuluhan kepada masyarakat akan bahayanya penyakit hidatidosis ini (WOODS, 1986). Sementara pasien penderita hidatidosis dapat dilakukan pembedahan (operasi) untuk membuang kistanya dan dilakukan pengobatan /khemoterapi dengan Benzimedazole (Albendazole atau Mebendazole) (ECKERT dan DEPLAZES, 2004). KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. E. granulosus, cacing cestoda kecil (< 1cm), hidup di dalam usus kecil anjing atau carnivora lainnya (ISD). Sedangkan stadium larvanya (metacestoda) berkembang di dalam tubuh ISA (domba, sapi, babi, kuda, onta dsb). Di dalam organ tubuh (terutama hati atau paru-paru), terbentuk kista yang mempunyai protoscolices (metacestoda fertile). Daur hidup menjadi lengkap, bila metacestoda fertile pada organ tubuh ISA tersebut dimakan oleh anjing atau carnivora lainnya. 2. Kasus hidatidosis pada manusia terjadi secara asidental, bila ia tertelan/termakan telur E. granulosus infektif. Kejadian semacam ini sering terjadi di daerah endemic parasit tersebut, terutama bagi mereka yang sering kontak dengan anjing dan tidak menjaga kebersihan diri dan lingkungannya. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh hidatidosis tergantung stadium larva, lokasi dan besarnya kista di dalam organ tubuh inangnya. 3. Pada anjing, ekinokokosis kurang pathogen terhadap inangnya, tetapi pada ternak/ISA dapat menimbulkan masalah ekonomi akibat sebagian produknya banyak yang harus diafkir dan menimbulkan problem kesehatan masyarakat terhadap penduduk di daerah endemik parasit tersebut.
  • 13. Analisis Faktor-Faktor Resiko Infeksi Cacing Pita pada Ayam Ras Petelur Komersial di Bogor (RISK FACTORS ANALYSIS OF CESTODES INFECTION OF COMMERCIAL CAGED LAYER CHICKENS IN BOGOR) Elok Budi Retnani*, Fadjar Satrija, Upik Kesumawati Hadi, Singgih Harsoyo Sigit Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Jl Agatis, Dramaga, Bogor. Telpon 0251-627272, Email: elokbeer@yahoo.com ABSTRACT A cross-sectional study was conducted in Bogor Region, West Java for two months from June to July 2006. The aim of this research was to identify the risk factors of cestode infection in commercial caged layer chickens. A total of 202 chicken samples were collected from ten commercial caged layer chicken farms. The risk factors assumption included host factors, farm environment and management characteristic. Logistic regression model showed that cestode infection risk association (P<0,01) to host age, (P<0,05) to dry climate condition and open house farm management characteristic. This suggests that >50 months have higher risk (OR=5.6) than <20 months host age, dry climate condition have higher risk (OR=3.75) than wet, and open house farm management have higher risk (OR=27.24) than close house on the cestodes infection. Key words: Cestodes, caged layer chickens, infection risk factors, Oods-Ratio, Bogor PENDAHULUAN Kejadian infeksi cestoda atau Cestodosis pada ternak ayam buras cukup tinggi karena pemeliharaannya dilakukan secara tradisional (Poulsen et al., 2000) . Prevalensi yang dilaporkan selama tiga dekade terakhir di wilayah Indonesia mencapai 60% hingga 100% pada ayam buras (Kusumamiharja, 1973; Sasmita, 1980; Ketaren dan Ari, 1988; He et al., 1991; Siahaan, 1993). Prevalensi yang tinggi pada ayam buras tersebut berpotensi sebagai sumber infeksi bagi ternak ayam ras dengan manajemen modern yang seharusnya rendah infeksinya (Eckman, 2001). Sebagai contohnya adalah pemeliharaan ayam ras petelur komersial dengan sistem baterei memiliki beberapa keuntungan, yaitu ruang gerak terbatas, hemat tempat per unit area, dan biaya pakan yang rendah sehingga lebih ekonomis dan praktis. Selain itu pemantauan mudah, berisiko kecil terhadap predator, pengaruh luar seperti dingin, panas, angin atau kelembaban, yang besar pengaruhnya terhadap kesehatan ternak. Faktor pakan yang selektif juga mengurangi peluang terjadinya penyakit yang ditularkan secara oral seperti kecacingan, baik penularan langsung mau pun melalui inang antara seperti cacing pita. Namun, masalah kecacingan pada ayam ras petelur justru secara signifikan menyebabkan kerugian cukup besar. Hal tersebut merupakan topik yang banyak dibahas dalam majalah-majalah ilmiah populer bidang peternakan maupun media massa lainnya oleh para praktisi baik peternak, konsultan kesehatan ternak termasuk dokter hewan. Mereka mengatakan bahwa infestasi cacing yang sering menggerogoti ayam petelur adalah cestoda. Ayam-ayam tersebut mendadak lesu, diare, radang usus disertai diare yang meluas jika terinfeksi berat, sehingga produksi menurun di bawah rata- rata, termasuk berat badan, laju pertumbuhan turun, produksi daging mau pun telur. Menurut mereka telah banyak dilakukan kajian berkelanjutan tentang upaya melenyapkan kecacingan tetapi tidak membuahkan hasil. Pemberantasan lalat dan kumbang di sekitar kandang merupakan prioritas utama yang disarankan selain pemberian anthelmintika tetapi cestodosis tetap terjadi. Berdasarkan bukti-bukti di atas kiranya perlu kajian secara ilmiah yang sampai saat ini masih sangat kurang dilakukan, baik melalui survei lapangan mau pun eksperimental di laboratorium untuk menganalisis kejadian
  • 14. cestodosis khususnya pada ayam ras. Laporan terbaru kasus cestodosis ini ditemukan pada beberapa peternakan ayam ras petelur di wilayah sentra peternakan ayam petelur komersial di Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Zalizar, 2006) dengan prevalensi 24,75% (Retnani et al., 2007) dan rataan derajat infeksi 0,273±0,905 hingga 17,913±53,954 ekor cacing per ekor ayam. Tiga genus cestoda yang ditemukan pada pengamatan tersebut adalah Raillietina, Choanotaenia, dan Hymenolepis. Hasil pengamatan tersebut merupakan informasi awal yang penting walau pun belum cukup sebagai landasan pengetahuan untuk pengendalian cestodosis, mengingat adanya faktor-faktor terkait lingkungan serta manajemen peternakan secara umum yang mungkin memiliki kontribusi terhadap cestodosis. Penelitian ini bertujuan untuk menduga faktor-faktor risiko infeksi cestoda dengan menghitung nilai Odds-Ratio (OR) terhadap setiap faktor yang terkait lingkungan dan manajemen peternakan. Telaah tentang berbagai faktor yang dapat menghambat tindakan pengendalian cestodosis di lingkungan peternakan ayam ras petelur di Indonesia sampai saat ini belum ada laporan ilmiahnya. Hasil penelitian yang diperoleh disertai dengan kajian ilmiah tentang faktor-faktor yang berkaitan dengan transmisinya merupakan informasi sangat penting untuk merancang strategi pengendalian khususnya bagi kondisi peternakan dan budaya beternak di Indonesia. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan selama bulan Juni- Juli 2006 dengan metode Cross-sectional. Sebanyak 202 ekor sampel ayam asal 10 peternakan ayam ras di Kabupaten Bogor dikumpulkan secara acak sederhana menurut rumus ukuran sampel oleh Thrushfield (1995) Pencatatan data beberapa dugaan faktor risiko terjadinya infeksi cestoda dikelompokkan berdasarkan faktor ayam (berat badan, umur, ras, adanya kutuk, dan populasi), lingkungan (tipe iklim dan pembuangan manur), dan manajemen (kandang, struktur kandang, dan pemberian anthelmintika). Saluran pencernaan ayam dikeluarkan untuk mengumpulkan cestoda. Jumlah ayam yang terinfeksi serta jumlah cacing pada setiap individu yang terinfeksi dihitung. Untuk melihat ada atau tidak adanya pengaruh faktor-faktor risiko terhadap tingkat kejadian (prevalensi) infeksi dianalisis dengan Chi-square (Steel dan Torrie, 1999). Sedangkan besarnya pengaruh dari faktor- faktor tersebut dianalisis dengan Uji Korelasi Non-Parametrik dan Regresi Logistik. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Faktor-Faktor Ayam, Lingkungan, dan Manajemen terhadap Prevalensi Cestodosis Sampel ayam yang terkumpul dari 10 peternakan berasal dari berbagai variasi umur, populasi, dan ras ayam serta adanya pemeliharaan kutuk (anak ayam) pada peternakan yang sama. Berdasarkan faktor lingkungan dan manajemen yang bervariasi kondisi tipe iklimnya, periodisasi pembuangan limbah manur, serta manajemen kandang dan pemberian anthelmintika. Infeksi cestoda ditemukan pada sebagian besar peternakan yaitu pada 8 peternakan selain peternakan Gung dan Gundur. Satu di antara dua peternakan yang tidak terinfeksi pada penelitian ini adalah peternakan dengan sistem kandang tertutup (close house) yaitu Gundur. Prevalensi cestodosis dihitung berdasarkan berbagai faktor risiko terjadinya infeksi. Tidak semua faktor yang diamati berpengaruh secara nyata terhadap terjadinya infeksi. Tingkat prevalensi berdasarkan faktor inang, lingkungan serta manajemen peternakan disajikan pada Tabel 1. Pada penelitian ini umur dan populasi ayam (P<0,01), tipe iklim lokasi peternakan (P<0,05), serta manajemen kandang (P<0,01) secara nyata mempengaruhi tingginya tingkat kejadian cestodosis. Ayam yang lebih banyak terinfeksi (37%) berumur di atas 50 minggu, sedangkan yang berumur di bawah 20 minggu dan 20-50 minggu hanya terinfeksi sebanyak 10,34% dan 15,91%. Kejadian infeksi lebih tinggi (31,20%) terdapat pada kelompok peternakan yang populasi ternak ayamnya >65 ribu ekor. Prevalensi tinggi (29,41%) juga terjadi pada peternakan yang terletak di daerah bertipe iklim kering dari pada yang beriklim basah (15,15%). Pengaruh yang nyata juga ditunjukkan oleh peternakan dengan sistem kandang terbuka. Manajemen kandang dengan sistem tersebut ternyata menyebabkan kejadian infeksi yang sangat tinggi (49%) dibandingkan dengan sistem tertutup yang hanya 1%. Faktor-faktor lain yaitu ras ayam, adanya
  • 15. pemeliharaan kutuk, periodisasi pembuangan limbah manur, serta manajemen pemberian anthelmintika tidak terbukti secara nyata dapat mempengaruhi prevalensi cestodosis pada penelitian ini. Faktor-Faktor Risiko yang Diduga Mempengaruhi Tingkat Kejadian Cestodosis Besarnya pengaruh faktor risiko terhadap kejadian infeksi cestoda pada penelitian ini dapat diduga dari nilai Oods-Ratio (OR) yang disajikan pada Tabel 2, 3, 4, dan 5. Secara umum faktor yang berpengaruh besar terhadap peluang terjadinya cestodosis pada penelitian ini adalah umur inang yaitu ayam yang berumur di atas 50 minggu berisiko infeksi 5,09:1,00 dibandingkan dengan yang berumur di bawah 20 minggu (P<0,01). Peternakan yang populasi ayamnya >65 ribu ekor memiliki risiko terinfeksi lebih besar 2,72:1,00 dibandingkan yang populasinya di bawah 65 ekor (P<0,01). Demikian pula dengan faktor iklim dan manajemen kandang. Pada area peternakan yang bertipe iklim kering berisiko infeksi 2,33 kali lipat dari iklim basah (P<0,05). Manajemen kandang dengan sistem kandang terbuka jauh lebih besar risiko infeksinya yaitu 13,07:1,00 dibandingkan yang tertutup (P<0,05). Selain dengan nilai crude OR, nilai adjusted OR dari faktor-faktor yang memiliki nilai korelasi nyata bahkan sangat nyata (Uji Korelasi NonParametrik) terhadap kejadian infeksi cestoda disajikan pada Tabel 6 dan 7. Hasil penghitungan (Tabel 6) menunjukkan bahwa ayam berumur >50 minggu memiliki risiko terinfeksi lebih tinggi 5,58 kali jika dibandingkan dengan yang berumur <20 minggu, sedangkan dengan umur 20-50 minggu walau pun lebih tinggi risikonya namun tidak nyata. Tabel 7 adalah hasil analisis dengan menambahkan faktor anthelmintika walau pun faktor tersebut tidak menunjukkan korelasi yang nyata terhadap kejadian infeksi. Nilai adjusted OR pada Tabel 7 menggambarkan pengaruh yang hampir sama dengan nilai crude OR. Perubahan nilai OR pada adjusted OR terjadi karena perubahan keterkaitan atau variasi faktor-faktor risiko yang dianalisis secara bersama-sama (Tabel 2, 3, 4, dan 5 dibandingkan dengan Tabel 6 dan 7). Jenis-jenis cestoda yang ditemukan di lokasi peternakan tertentu berhubungan dengan keberadaan serangga yang berpotensi sebagai inang antaranya. Pesatnya perkembangan peternakan ayam meningkatkan pula kuantitas limbah yang dihasilkan oleh aktifitas peternakan tersebut. Salah satu limbahnya adalah manur. Manur adalah material organic sebagai media yang ideal tempat perkembangbiakan serangga tertentu yang mungkin sebagai pengganggu atau pembawa agen penyakit termasuk telur cacing. Jika tinja ayam dalam manur mengandung telur cestoda kemudian tertelan oleh inang antara yang cocok selanjutnya berkembang menjadi sistiserkoid sebagai larva infektif bagi ayam. Keberadaan dan jumlah sistiserkoid dalam tubuh inang antara menggambarkan tingkat kejadian cestodosis pada ayam di tempat dan waktu tertentu (Mond et al., 2001). Beragamnya kondisi fisik peternakan termasuk manajemen maupun sanitasi secara umum menunjukkan pula gambaran prevalensi cestodosis yang beragam pada setiap peternakan. Kejadian terendah terjadi di peternakan tertutup. Pada system tersebut kadangnya berupa bangunan permanen dengan distribusi pakan dan minum dengan nipple secara otomatis sehingga tumpahanpakan mau pun air minum diminimalisir Pemanenan telur juga menggunakan roda berjalan dari dalam kandang selanjutnya diseleksi di luar kandang. Kedalaman pitfall untuk penampungan tinja tidak terlalu tinggi namun pembuangan tinja disapu ke luar kandang secara elektrik dan diatur otomatis. manajemen yang demikian tidak member peluang untuk perkembangbiakan serangga sebagai inang antara yang potensial. Pada kondisi yang demikian seharusnya tidak terjadi cestodosis karena tidak ada peluang transmisi. Peternakan tersebut membeli ayam pulet dari perusahaan. Terjadinya infeksi diduga ketika sebelum ternak dimasukkan ke dalam kandang baterei yaitu pada masa kutuk hingga pulet. Menurut pengamatan Siahaan (1993), Ueta dan Avancini (1994) infeksi sestoda pada ayam buras yang diumbar dapat terjadi sejak sebelum pulet. Dua peternakan yang angka kejadiannya 0% salah satunya adalah peternakan tertutup dengan sistem kandang bongkar-pasang (knockdown) dan memelihara sendiri ayam petelur sejak kutuk. Satu-satunya peternakan terbuka yang angka cestodosisnya 0% juga memelihara kutuk, sanitasi sekitar kandang relatif kering, jarak antar flock maupun antara kandang baterei dengan permukaan tanah relatif jauh. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal pemberian anthelmintika secara periodik teratur dengan anthelmintika berspektrum luas. Faktor risiko infeksi parasit adalah semua faktor yang secara nyata meningkatkan peluang terjadinya transmisi (stadium infektif) parasit sehingga menyebabkan inang sakit. Secara alami, berbagai faktor tersebut tidak saling bebas dalam mendukung terjadinya penyakit baik berkaitan sangat erat mau pun
  • 16. secara longgar. Hubungan tersebut dapat dilihat dari hasil analisis sehingga memperoleh nilai crude OR dan adjusted OR. Pada Tabel 2 ditunjukkan bahwa faktor risiko yang berpengaruh nyata terhadap terjadinya infeksi hanya faktor umur ayam yang berumur di atas 50 minggu. Selain pengaruh kepekaan ayam terhadap infeksi cestoda adalah sepanjang umur produktif (Ueta dan Avancini, 1994), kemungkinan karena manajemen pemberian anthelmintika yang diaplikasikan oleh setiap peternak. Dalam hal aplikasi anthelmintika ternyata peternakan dengan prevalensi cestodosis paling tinggi pemberiaannya tidak teratur. Walaupun menggunakan jenis obat yang berbeda secara selang-seling ternyata satu diantaranya sama sekali tidak efektif untuk eliminasi cestoda. Manajemen peternakan (Retnani et al., 2001), periode pengangkatan manur, serta manajemen pemberian anthelmintika yang sangat beragam menunjukkan perbedaan dalam peluang transmisi cestoda. Walau pun hasil analisis faktor pemberian anthelmintika dan pambuangan manur tidak menunjukkan pengaruh yang nyata, namun nilai korelasinya mendekati nyata. Dengan demikian perlu dipertimbangkan nilai ekonomisnya. Banyak faktor yang dapat meningkatkan keterpaparan terhadap parasit saluran pencernaan antara lain manajemen yang buruk (Ashenafi dan Eshetu, 2004). Peternakan dengan sistem kandang terbuka memiliki peluang terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan tertutup. Pemilihan sistem kandang yang digunakan harus diimbangi dengan memperhatikan faktor risiko yang lain karena secara alami faktor-faktor risiko tersebut tidak berdiri sendiri. Faktor agroekolologi seperti faktor perbedaan klimat juga mempengaruhi infeksi cestoda (Retnani et al., 2000; Mond et al., 2001). Di daerah dataran tinggi dengan suhu lebih rendah, peluang terinfeksi lebih rendah (Eshetu et al., 2001) mungkin disebabkan terhambatnya perkembangan stadium awal larva infektif. Kepadatan populasi inang serta sumber infeksi antar peternakan pasti berbeda, maka secara umum dapat dikatakan bahwa faktor-faktor biotik mau pun abiotik yang meliputi inang, parasit, lingkungan, serta apa pun yang mendukung terjadinya transmisi sangat berpengaruh terhadap prevalensi. Sistem peternakan modern telah dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menekan frekuensi infeksi endoparasit. Namun endoparasitosis masih terjadi pada sistem lantai/ liter yaitu pada breeder dan broiler. Dari sudut pandang manajemen sistem baterei, jumlah mau pun prevalensi cestodosis yang ditemukan pada penelitian ini sulit dipahami. Perlu telaah lebih lanjut tentang waktu dan tempat terjadinya transmisi yang menyebabkan tingginya prevalensi pada peternakan ayam ras petelur dalam kandang baterei. Perlu kajian mendalam untuk menjawab pertanyaan bagaimana prevalensi yang tinggi dapat terjadi padahal peluang terjadinya infeksi rendah. Oleh karena itu, kompleksitas masalah endoparasitosis di peternakan dengan manajemen tertentu harus dipecahkan dengan strategi pengendalian terpadu. Tidak cukup hanya dengan eliminasi parasit secara periodik, perbaikan manajemen yang dapat menekan terjadinya transmisi endoparasit perlu dilakukan termasuk menekan populasi serangga yang berperan sebagai inang antara. Hasil analisis risiko infeksi pada penelitian ini besar kemungkinan berlaku spesifik pada peternakan tertentu dengan berbagai ragam manajemennya. Perlu memperbanyak jumlah dan waktu pengamatan untuk dapat memperoleh standar rekomendasi pengendalian yang mendekati baku, walau pun kenyataannya tidak sedikit kendala-kendala yang ditemukan di lapangan sehingga tidak sesuai dengan rancangan pengamatan yang telah disusun sebelumnya. Kiranya nilai-nilai Oods-Ratio hasil penelitian ini merupakan pengetahuan yang perlu dipertimbangkan dalam praktek peternakan pada ayam ras petelur komersial. Informasi standar manajemen pemeliharaan ternak merupakan salah satu hal yang menunjang perkembangan peternakan melalui pengembangan teknologi pengendalian penyakit secara terpadu dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak (Talib et al., 2007). SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa faktor inang yang berisiko terinfeksi sestoda lebih tinggi (OR=5,06) adalah ayam yang berumur >50 minggu dibandingkan dengan umur <20 minggu. Sedangkan faktor lingkungan dan manajemen yang berisiko terinfeksi cestoda lebih tinggi adalah area bertipe iklim kering (OR=3,75) dan peternakan dengan sistem kandang terbuka (OR=27,24). Manajemen pemberian anthelmintik pada peternakan yang diamati tidak menunjukkan risiko yang nyata terhadap terjadinya infeksi cestoda. Besarnya peluang risiko infeksi dapat berubah dengan berubahnya variasi berbagai faktor-faktor terkait.
  • 17. ANALISA INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA IKAN KAKAP PUTIH DARI PERAIRAN PANTAI DEMAK
  • 18.
  • 19.
  • 20.
  • 21.
  • 22.
  • 23.
  • 24.
  • 25.
  • 26. TAENIASIS DAN SISTISERKOSIS MERUPAKAN PENYAKIT ZOONOSIS PARASITER SARWITRI ENDAH ESTUNINGSIH Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 (Makalah diterima 5 Pebruari 2009 – Revisi 22 Mei 2009) ABSTRAK Taeniasis adalah penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pita dari genus Taenia dan infeksi oleh larvanya disebut Sistiserkosis. Beberapa spesies Taenia bersifat zoonosis dan manusia sebagai induk semang definitif, induk semang perantara atau keduanya. Manusia adalah induk semang definitif untuk Taenia solium, T. saginata dan T. asiatica, akan tetapi untuk Taenia solium dan T. asiatica, manusia berperan sebagai induk semang perantara. Hewan, seperti babi adalah induk semang perantara untuk T. solium dan T. asiatica, dan sapi sebagai induk semang perantara untuk T. saginata. Manusia dapat terinfeksi Taeniasis dengan memakan daging sapi atau daging babi yang mengandung larva (sistiserkus). Penularan sistiserkosis dapat melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing Taenia spp. Penularan juga bisa terjadi secara autoinfeksi akibat kurangnya kebersihan. Diagnosis taeniasis berdasarkan penemuan telur cacing atau proglotid dalam feses manusia. Diagnosis pada hewan hidup dapat dilakukan dengan palpasi pada lidah untuk menemukan adanya kista atau benjolan. Uji serologik bisa juga membantu dalam mendiagnosis sistiserkosis pada manusia ataupun hewan. Cacing pita dewasa di dalam usus dapat dibunuh dengan pemberian obat cacing dan pencegahannya dengan menghindari daging mentah atau daging yang kurang matang, baik daging babi untuk T. solium dan T. asiatica, dan daging sapi untuk T. saginata. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi Taenia solium, T. saginata atau T. asiatica, ternak babi ataupun sapi dijauhkan dari tempat pembuangan feses manusia. Kata kunci: Taeniasis, sistiserkosis, zoonosis, babi, sapi PENDAHULUAN Taenia spp. adalah cacing pita (tapeworm) yang panjang dan tubuhnya terdiri dari rangkaian segmensegmen yang masing-masing disebut proglotid. Kepala cacing pita disebut skoleks dan memiliki alat isap (sucker) yang mempunyai kait (rostelum). Cacing pita ini termasuk famili Taeniidae, subklas Cestode dan genus Taenia. Beberapa spesies cacing Taenia antara lain, Taenia solium, T. saginata, T. crassiceps, T. ovis, T. taeniaeformis atau T. hydatigena, T. serialis, T. brauni dan T. asiatica. Larva dari cacing Taenia disebut metasestoda, menyebabkan penyakit sistiserkosis pada hewan dan manusia. Sedangkan, cacing dewasa yang hidup di dalam usus halus induk semang definitive (carnivora) seperti manusia, anjing dan sejenisnya, penyakitnya disebut Taeniasis. Berdasarkan laporan dari OIE (2005), T. asiatica merupakan spesies baru yang ditemukan di Asia yang semula dikenal dengan nama T. taewanensis. T. asiatica hanya ditemukan di beberapa negara di Asia seperti Taiwan, Korea, China (beberapa propinsi), Indonesia (di Sumatera Utara Papua dan Bali) dan Vietnam (EOM et al., 2002; ITO et al., 2003). T. saginata adalah cacing pita pada sapi dan T. solium adalah cacing pita pada babi, merupakan penyebab taeniasis pada manusia. Manusia adalah induk semang definitif dari T. solium dan T. saginata, dan juga sebagai induk semang definitif dari T. asiatica (OIE, 2005). Sedangkan, hewan seperti anjing dan kucing merupakan induk semang definitif dari T. ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Pada T. solium dan T. asiatica, manusia juga bisa berperan sebagai induk semang perantara. Selain manusia, induk semang perantara untuk T. solium adalah babi, sedangkan induk semang perantara T. saginata adalah sapi. T. solium yang terdapat pada daging babi menyebabkan penyakit Taeniasis, dimana cacing tersebut dapat menyebabkan infeksi saluran pencernaan oleh cacing dewasa, dan bentuk larvanya dapat menyebabkan penyakit sistiserkosis. Cacing T. saginata pada daging sapi hanya menyebabkan infeksi pada pencernaan manusia oleh cacing dewasa. Penyakit Taeniasis tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai dimana orang-orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging sapi atau daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Selain itu, pada kondisi kebersihan lingkungan yang jelek, makanan sapi dan babi bisa tercemar feses manusia yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit tersebut. Kejadian penyakit Taeniasis paling tinggi di Negara Afrika,
  • 27. Asia Tenggara dan negara-negara di Eropa Timur. Di Indonesia terdapat tiga provinsi yang berstatus endemi penyakit Taeniasis/sistiserkosis yaitu: Sumatera Utara, Papua dan Bali (ITO et al., 2002a; b; 2003; 2004; MARGONO et al., 2001; SIMANJUNTAK et al., 1997). Kasus Taeniasis juga pernah terjadi di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, NTT dan Kalimantan Barat. Berdasarkan laporan dari SIMANJUNTAK et al. (1997) dan MARGONO et al. (2000) prevalensi sistiserkosis di Indonesia bervariasi antara 2% di Bali dan 48% di Papua. Selanjutnya, MARGONO et al. (2003) melaporkan bahwa ada sekitar 8,6% (5/58) dari penduduk lokal di kota Wamena terinfeksi cacing dewasa T. solium. Sedangkan, prevalensi Taeniasis (T. saginata) di daerah urban sekitar Denpasar, Bali selama tahun 2002 – 2004 adalah 14,1% (56/398) (WANDRA et al., 2006). Jumlah kasus tertinggi ditemukan pada laki-laki yang berumur antara 30 – 40 tahun. Hal ini disebabkan karena di desa-desa laki-laki sering menikmati/memakan daging mentah bersama sambil minum tuak. Selanjutnya, berdasarkan laporan dari Direktorat Kesehatan Hewan, prevalensi sistiserkosis pada sapi di 4 kabupaten di Bali (Badung, Gianjar, Klungkung dan Tabanan) tahun 1977 masing-masing adalah 3,3, 16,9, 1,2 dan 8,3% (SUROSO et al., 2006). Sistiserkosis pada sapi di Bali menurut laporan yang ada hanya terjadi pada tahun 1977 – 1980 dan 1988, prevalensinya masing-masing adalah 0,31% (100/32.199), 0,30% (102/33.842), 1,51% (476/31.586), 2,39% (844/35.288) dan 1,93% (674/34.887). Infeksi sistiserkosis pada babi yang tertinggi juga terjadi di Bali dan Papua. Di Papua dilaporkan 70,4% (50/71) babi positif T. solium secara serologi (seropositif), dan dinyatakan bahwa babi tersebut telah terinfeksi oleh metasestoda dari T. solium (SUBAHAR et al., 2001), demikian juga 10,9% (7/64) anjing local dinyatakan seropositif terhadap sistiserkus dari T. solium (SUROSO et al., 2006). Pada umumnya, T. solium jarang ditemukan di daerah yang berpenduduk muslim karena tidak memakan daging babi. Akan tetapi, di beberapa daerah seperti Papua dan Timor merupakan problem kesehatan masyarakat, karena penduduknya masih mengkonsumsi daging babi yang tercemar sistiserkus. Penyakit Taeniasis dan sistiserkosis sangat berkaitan erat dengan faktor sosio-kultural, seperti cara pemeliharaan ternak yang tidak dikandangkan dan kebiasaan pengolahan makanan yang kurang matang serta kebiasaan makan yang kurang sehat dan masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan. Untuk itu, pada tulisan ini akan disampaikan tentang beberapa jenis cacing Taenia, cara penularan, metode diagnosis yang dilakukan serta upaya pencegahan dan pengobatan penyakit Taeniasis/ sistiserkosis baik pada hewan maupun pada manusia. BEBERAPA JENIS CACING TAENIA Genus cacing pita yang paling penting adalah Taenia. Cacing dewasa dan stadium larva dari beberapa spesies cacing Taenia merupakan bagian yang sangat penting terhadap kesehatan manusia dan veteriner. Induk semang definitif, induk semang perantara dan bentuk larvanya. Cacing Taenia yang bersifat zoonosis T. solium Pada umumnya cacing dewasa T. solium berada di dalam usus halus manusia, panjangnya bisa mencapai 3 – 5 meter dan dapat hidup selama 25 tahu (SOULSBY, 1982). Manusia sebagai induk semang definitif, sedangkan, induk semang perantara adalah babi domestik dan babi liar. Larva dari T. solium kadang- kadang juga bisa ditemukan pada induk semang perantara lainnya termasuk domba, anjing, kucing, rusa, unta dan manusia (OIE, 2005). Larva T. solium disebut Cysticercus cellulose. Sistiserkus T. solium biasanya ditemukan pada otot daging, sangat jarang ditemukan di organ visceral dari babi dan kera (FAN et al., 1987; FAN, 1988). T. saginata Manusia sebagai induk semang definitif, cacing dewasa berada dalam usus halus dan panjangnya bisa mencapai 3 – 8 meter dan bisa hidup selama 5 – 20 tahun (SOULSBY, 1982). Induk semang perantaranya adalah sapi, kerbau, ilamas dan ruminansia liar lainnya termasuk jerapah. Bentuk larva T. saginata disebut Cysticercus bovis. Pada umumnya, sistiserkus T. saginata ditemukan pada otot daging dan sangat jarang ditemukan pada organ visceral, otak dan hati sapi (FAN et al., 1987), kemungkinan karena otot daging merupakan tempat yang memperoleh sirkulasi darah paling banyak. Akan tetapi, menurut laporan
  • 28. dari DHARMAWAN et al. (1996) berdasarkan hasil penelitiannya disebutkan bahwa babi yang diinfeksi telur T. saginata ternyata menghasilkan pertumbuhan sistiserkus pada organ hati babi yang pertumbuhannya mirip dengan pola pertumbuhan sistiserkus T. saginata taiwanensis (T. asiatica) yaitu pada organ hati. Oleh karena tempat pertumbuhan sistiserkus hanya ditemukan pada organ hati babi, maka diduga bahwa T. saginata (strain Bali) dan T. saginata taiwanensis berasal dari spesies yang sama. Selanjutnya, dimungkinkan bahwa babi Bali bisa bertindak sebagai induk semang perantara T. saginata (strain Bali). T. asiatica Cacing pita T. asiatica dewasa mirip dengan T. saginata dewasa yang terdapat pada usus manusia. Cacing ini panjangnya mencapai 341 cm, dengan lebar maksimum 9,5 mm (EOM dan RUM, 1993). Adapun, induk semang perantara T. asiatica adalah babi domestik dan babi liar, kadang-kadang juga sapi, kambing atau kera (OIE, 2005). Bentuk larva T. asiatica disebut Cysticercus vicerotropika (EOM et al., 2002). Cacing Taenia pada anjing dan kucing T. hydatigena Induk semang definitif T. hydatigena adalah anjing, serigala, anjing hutan dan jarang ditemukan pada kucing. Cacing dewasanya mempunyai panjang antara 75 – 500 cm (SOULSBY, 1982). Sedangkan, induk semang perantaranya adalah domba, kambing, sapi, babi, rusa kutub dan hewan domestik lainnya. Kelinci dan manusia jarang terinfeksi oleh T. hydatigena. Larva T. hydatigena sangat besar berdiameter 8 cm dan disebut sebagai Cysticercus tenuicollis (URQUHART et al., 1996). Biasanya C. tenuicollis ditemukan pada domba pada saat pemeriksaan daging pada saat pemotongan. T. multiceps Panjang cacing dewasa mencapai 100 cm dan hidupnya dalam usus anjing dan serigala sebagai induk semang definitif. Sedangkan, induk semang perantara adalah domba, sapi dan kuda. Larva dari cacing ini bisa mencapai otak yang disebut Coenurus cerebralis (URQUHART et al., 1996), memerlukan waktu selama 8 bulan untuk menjadi matang dan akan menimbulkan gejala klinis seperti hyperaesthesia atau paraplegia pada induk semang perantara (ruminansia). T. ovis T. ovis merupakan cacing pita pada anjing dan panjang cacing dewasanya mencapai 200 cm. Larva dari T. ovis disebut Cysticercus ovis yang bisa ditemukan pada daging domba dan kambing, sebagai induk semang perantara (URQUHART et al., 1996). Bentuk larvanya bisa menyebabkan muscular cysticercosis pada domba dan kambing di beberapa negara (GAAFAR, 1985). Oleh karena bentuk kistanya yang kecil dan biasanya sudah mati/mengalami kalsifikasi, sehingga mudah dideteksi pada karkas saat pemotongan. Kista yang mengalami kalsifikasi, kapsulnya tampak mengeras tanpa cairan dan ditemukan adanya pengapuran (DHARMAWAN et al., 1993). T. taeniaeformis Cacing pita ini disebut juga Hydatigena taeniaeformis. Cacing dewasanya hidup di dalam usus halus kucing dan mempunyai panjang 60 cm (SOULSBY, 1982). Induk semang definitif selain kucing adalah anjing, serigala dan hewan sejenis kucing dan anjing lainnya. Infeksi pada kucing adalah lebih sering ditemukan daripada infeksi pada anjing. Hewan rodensia termasuk tikus dan mencit adalah sebagai induk semang perantara dari T. taeniaeformis, dan larvanya disebut Cysticercus fasciolaris yang sering dijumpai di parenkim hati. Manusia sangat jarang terinfeksi oleh cacing ini. Dari beberapa spesies cacing Taenia tersebut di atas yang paling penting sampai saat ini adalah T. solium, T. saginata dan T. asiatica karena sifatnya yang zoonosis. CARA PENULARAN DAN SIKLUS HIDUP CACING Taenia spp. Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk semang yaitu induk semang definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi untuk T. saginata dan babi untuk T. solium). T. saginata tidak secara langsung ditularkan dari manusia ke manusia, akan tetapi untuk T. solium
  • 29. dimungkinkan bisa ditularkan secara langsung antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang terinfeksi langsung ke mulut penderita sendiri atau orang lain. Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi onkoster (telur yang mengandung larva). Larva onkoster menembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis (larva cacing T. saginata). Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang disebut sistiserkus. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa yang tubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi. Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi larva onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti di atas. Siklus hidup T. solium pada dasarnya sama dengan siklus hidup T. saginata, akan tetapi induk semang perantaranya adalah babi dan manusia akan terinfeksi apabila memakan daging babi yang mengandung kista dan kurang matang/tidak sempurna memasaknya atau tertelan telur cacing. T. saginata menjadi dewasa dalam waktu10 – 12 minggu dan T. solium dewasa dalam waktu 5 – 12 minggu (OIE, 2005). Telur T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan (tidak tergantung suhu dan kelembaban) sampai beberapa minggu bahkan bisa bertahan sampai beberapa bulan. Proglotid T. saginata biasanya lebih aktif (motile) daripada T. solium, dan bisa bergerak keluar dari feses menuju ke rumput. Telur T. saginata dapat bertahan hidup dalam air dan atau pada rumput selama beberapa minggu/bulan. Pada hewan, Taeniasis disebabkan oleh T. ovis, T. taeniaeformis, T. hydatigena, T. multiceps, T. serialis dan T. brauni. Ini terjadi karena hewan memakan daging dari induk semang perantara termasuk ruminansia, kelinci dan tikus. Pada sapi (C. bovis) mulai mati dalam waktu beberapa minggu, dan setelah 9 bulan akan mengalami kalsifikasi. Sedangkan, sistiserkus dari spesies lain bisa bertahan hidup sampai beberapa tahun. T. solium pada babi, sistiserkus bisa ditemukan pada jaringan/otot jantung, hati dan otak. Pada babi, sistiserkus juga bisa ditemukan pada daging bagian leher, bahu, lidah, jantung dan otak (KUMAR dan GAUR, 1994). Pada manusia, sistiserkus ini sering ditemukan di jaringan bawah kulit, otot skeletal, mata dan otak. Pada kasusyang serius disebabkan oleh adanya sistiserkus pada jaringan otak bisa menyebabkan neurocysticercosis dan bisa menyebabkan kejang-kejang pada manusia. Sistiserkus T. saginata pada sapi dan sistiserkus T. ovis pada kambing ditemukan pada jaringan otot (muscles). Sistiserkus T. asiatica dan sistiserkus T. taeniaeformis biasanya ditemukan pada hati, sedangkan sistiserkus T. hydatigena ditemukan dalam peritoneum. METODE DIAGNOSIS YANG DILAKUKAN Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya Untuk diagnosis sistiserkosis sangat sulit dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil, diagnosis dilakukan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya kista yang sudah mengalami kalsifikasi, sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan secara post mortem dengan melakukan pemeriksaan daging. Sistiserkus kadangkadang dapat dideteksi pada lidah babi atau sapi dengan melakukan palpasi akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau intramuskular. Palpasi adalah merupakan satu-satunya cara deteksi ante mortem pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di daerah endemis pada negara yang berkembang (GONZALEZ et al., 2001). Meskipun diagnosis sistiserkosis bisa dilakukan dengan cara palpasi pada lidah hewan dan telah dilaporkan sangat spesifik, tetapi sensitivitasnya sedang, terutama pada hewan yang infeksinya ringan (GONZALEZ et al., 1990). Berdasarkan hasil penelitian SATO et al. (2003), 34% (17/50) babi yang dinyatakan negatif dengan
  • 30. pemeriksaan palpasi lidah, tetapi dengan uji ELISA (Enzyme-linked Immunoabsorbent Assay) dinyatakan seropositif. Dalam hal ini uji serologi lebih dapat dipercaya untuk deteksi infeksi T. solium daripada pemeriksaan palpasi lidah. Pada manusia, diagnosis Taeniasis dilakukan selain dengan menemukan telur cacing atau proglotid dalam feses, juga bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan serologi yaitu dengan ELISA, Enzymelinked Immunoelectro Transfer Blot (EITB), Complement fixation dan haemagglutination dan PCR (Polymerase Chain Reaction) (OIE, 2005). Sedangkan, diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan pemeriksaan Computed Tomography (CT) Scan dan MRI untuk mengidentifikasi adanya sistiserkus dalam otak. Kista yang sudah mati atau mengalami kalsifikasi dalam daging/jaringan bisa terdeteksi dengan pemeriksaan X-Ray. Biopsi juga bisa dilakukan untuk memeriksa adanya benjolan/kista di bawah jaringan kulit. Diagnosis secara serologi digunakan juga untuk mendeteksi sistiserkosis pada ternak dan ELISA merupakan uji yang paling banyak digunakan (CHO et al., 1992; YONG et al., 1993). DHARMAWAN (1995) melaporkan bahwa dari 420 sampel serum babi yang diperiksa dengan ELISA, 47 ekor babi (11,2%) menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis dan dari 210 sampel serum sapi, 11 ekor sapi (5,23%) menunjukkan seropositif terhadap sistiserkosis. Uji ELISA sangat spesifik untuk mendeteksi antibody sistiserkosis pada manusia dan babi (ITO et al., 1999). Selanjutnya, ITO et al. (2002b) melaporkan bahwa sistiserkosis pada anjing dapat juga terdeteksi secara serologi, tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya masih perlu dievaluasi. Sedangkan, kista yang ditemukan di anjing tersebut berdasarkan pemeriksaan morfologinya adalah T. solium. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN PENYAKIT Penyakit sistiserkosis pada hewan dapat ditekan dengan cara mengobati induk semang definitif yang menderita Taeniasis. Anjing yang sering berkeliaran dan bergabung dengan hewan ternak lain harus dihindarkan dan dicegah supaya tidak memakan bangkai hewan yang terinfeksi Taenia. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi dengan T. solium, T. saginata dan T. asiatica, hewan ternak dilarang kontak langsung dengan feses manusia. Taeniasis pada kucing dan anjing dapat ditekan dengan melarang hewan tersebut memakan hewan pengerat (rodent) atau induk semang perantara lainnya dan dihindarkan dari memakan daging mentah. Untuk mencegah Taeniasis pada manusia, dapat dilakukan dengan menghindari memakan daging yang kurang matang, baik daging babi (untuk T. solium) maupun daging sapi (untuk T. saginata). Daging yang terkontaminasi harus dimasak dahulu dengan suhu di atas 56 Selain itu, C. dengan membekukan daging terlebih dahulu, dapat mengurangi risiko penularan penyakit. Menurut FLISSER et al. (1986), daging yang direbus dan dibekukan pada suhu -20 dapat membunuh C sistiserkus. Sistiserkus akan mati pada suhu -20 tetapi pada suhu 0 – 20 akan tetap hidup selama 2 C, C bulan, dan pada suhu ruang akan tahan selama 26 hari (BROWN dan BELDING, 1964). Pengobatan Taeniasis pada hewan bisa dilakukan dengan pemberian obat cacing praziquantel, epsiprantel, mebendazole, febantel dan fenbendazole. Demikian juga untuk pengobatan Taeniasis pada manusia, pemberian obat cacing praziquantel, niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh cacing dewasa dalam usus. Adapun sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan melakukan tindakan operasi (bedah). Berdasarkan laporan dari OIE (2005), hanya sedikit sekali informasi tentang penggunaan obat cacing terhadap penyakit sistiserkosis pada hewan. OIE (2008) melaporkan bahwa pengobatan dengan albendazole dan oxfendazole pada sapi dan babi yang terinfeksi T. saginata dan T. solium kistanya mengalami degenerasi. KESIMPULAN Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taenia dewasa, sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesies cacing Taenia. Induk semang definitif dari T. saginata, T. solium dan T. asiatica hanya manusia, kecuali T. solium dan T. asiatica manusia juga berperan sebagai induk semang perantara. Sedangkan, babi adalah induk semang perantara untuk T. solium dan sapi adalah induk semang perantara untuk T. saginata. Adapun induk semang definitif dari cacing Taenia selain ketiga spesies tersebut adalah hewan carnivora
  • 31. (anjing/ kucing). Penularan Taeniasis melalui makanan yaitu memakan daging yang mengandung larva, baik yang terdapat pada daging sapi (C. bovis) ataupun daging babi (C. cellulose atau C. vicerotropika). Sedangkan, penularan sistiserkosis pada manusia melalui makanan atau minuman yang tercemar telur cacing T. solium atau T. asiatica. Telur T. saginata tidak menimbulkan sistiserkosis pada manusia. Diagnosis dapat dilakukan dengan palpasi pada hewan terutama di daerah endemis. Palpasi dilakukan untuk melihat adanya benjolan/kista di jaringan bawah kulit atau intra muskular. Pemeriksaan feses dilakukan untuk menemukan adanya telur cacing atau proglotid pada penderita Taeniasis terutama pada manusia. Diagnosis secara serologik dengan ELISA juga bisa diterapkan untuk hewan maupun manusia. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita Taeniasis dan menghilangkan kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentah. Pemeriksaan daging oleh dokter hewan atau mantra hewan di Rumah Potong Hewan (RPH) perlu dilakukan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat. Selain itu, ternak sapi atau babi dipelihara pada tempat yang tidak tercemar atau dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran.