1. Dokumen membahas bukti ilmiah terbelahnya bulan seperti yang disebutkan dalam Al-Quran dan hadis, serta catatan dari manuskrip kuno dan raja India.
2. Islam pertama kali masuk ke India melalui Raja Cheraman Perumal yang memeluk Islam setelah melihat mukjizat bulan terbelah, lalu membangun masjid pertama di India.
3. Syariat dan hakikat memiliki hubungan erat dimana syariat merupakan aturan luar sedangkan hak
1. Islam
Bukti Ilmiah “Bulan Terbelah” dari Manuskrip Kuno, Raja India, dan Ilmuwan NASA
Share on facebook Share on twitter Share on email Share on print More Sharing Services 253
fadly – Kamis, 28 Jumadil Akhir 1434 H / 9 Mei 2013 21:17 WIB
Berita Terkait
Fakta Buktikan Sabda Nabi Muhammad SAW : Akhir Zaman, Tanah Arab Kembali
dipenuhi Tumbuhan dan Banyak Sungai
Dan Bumi yang Memiliki Retak….
Fakta Fakta Ilmiah Al Quran Terbukti !
Kesedihan Dapat Menghancurkan Badan
Jika Sperma Berumur 42 Malam…?
Oleh Kairul Amri
2. Terdapat bayak Mukjizat-mukjizat yang diingkari oleh kaum musyrik disebabkan kedengkian
mereka terhadap islam, Di antaranya adalah Mukjizat Peristiwa terbelahnya Bulan yang
disebutkan dalam Al-Quran di Zaman Rasulullah Saw atau 14 Abad yang lalu:
َو واُبَّذَكَو * ٌّرِمَتْسُم ٌرْحِس واُلوُقَيَو واُض ِرْعُي ًةَيَآ ا ْوَرَي ْنِإ َو * ُرَمَقْلا ََّقشْنا َو َُةعاَّسال ِتَبَرَتْقاٌّرِقَتْسُم رْمََ ُّ ُكَو ََُْْْا َوََْْ واُعَبَّتا
“Telah dekat datangnya Hari Kiamat dan Bulan telah terbelah * Dan jika mereka (orang-orang
musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: “(Ini adalah) sihir yang
terus menerus” * Dan mereka mendutakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka, sedang
tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya” [:رمقلا 1-3]
ا ُُّ وُسَر َُّ اَقَف ِنْيَتَّقِشِب ْوسل عليه هللا صلى ِ َّاَّلل ُِّ وُسَر ِدْهَع ىَلَع ُرَمَقْلا ََّقشْنا َُّ اَق ،ِ َّاَّلل ِدْبَع َْنعْوسل عليه هللا صلى ِ ََّّلل”ُوادَهْشا”
“Dari Abdullah Berkata bahwa Bulan terbelah menjadi dua bagian di zaman Rasulullah,
kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Saksikanlah” (HR. Muslim: 7249)
Dalam diriwayat lain dijelaskan bahwa Ketika kaum Kafir Makkah meminta Rasulullah untuk
memperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah serta menguji kebenaran Risalah baginda
Rasulullah dengan memintanya Membelah Bulan, maka Allah Swt mengabulkan Doa beliau
hingga pada malam hari tampaklah bulan terbelah menjadi Dua bagian, di mana bagian lainnya
berada di sisi Gunung Safa dan bagian lainya di sisi Gunung Qaikaan dan terlihat di antaranya
bukit Hira , tapi mereka Kafir Makkah malah mengingkari Mukjizat tersebut dan berkata:
“Muhammad telah Menyihir Kita”, kemudian sebagiannya berkata: “ jika benar kita tersihir dia
tidak akan bisa menyihir semua manusia Maka tunggulah sampai datang berita dari Orang-orang
yang melakukan perjalanan jauh, ketika mereka (para Musafir) tiba mereka pun mengatakan
bahwa mereka menyaksikan hal yang serupa. Tetapi Kaum Kafir Makkah tetap mengingkari
Mukjizat tersebut dan berkata : “…(Ini adalah) sihir yang terus menerus”.
Beranjak Dari berbagai Riwayat yang serupa, kita dapat meyimpulkan bahwa kejadian itu tidak
hanya disaksikan oleh kaum Kafir Makkah saja tetapi Manusia yang berada di tempat selain
Makkah pun pada waktu itu dapat menyaksikan peristiwa itu seperti yang dilakukan oleh Abu
Jahal bahwa dia pernah menunggu para pedagang yang berdatangan dari berbagai Negeri jauh
(seperti Syam) untuk menanyakan Peristiwa tersebut, maka mereka juga menyaksikan hal
tersebut.
Bagaimana Islam masuk ke India ?
3. Masjid Malik Cheraman
Terdapat sebuah wawancara dengan Raja Valiyathampuram (87 tahun) dari Kodungallur di
Central Kerala, beliau adalah keturunan dari Raja Cheraman Perumal (India pertama yang
memeluk Islam pada awal abad ke-7), jika berbicara dengannya seakan berbicara mengenai
sejarah, Dalam wawancaranya bersama AU Asif (Pewawancara) tersebut beliau sempat ditanya:
apakah benar Islam masuk ke india melalui Mukjizat pembelahan Bulan yang dilakukan Oleh
Nabi Muhammad atau islam masuk ke india tidak dengan Pedang ?
Beliau menanggapi pertanyaan itu dengan menjelaskan bahwa: awal masuknya Islam ke India
disebabkan peristiwa Bulan terbelah yang pada suatu malam, saat sang Raja bersama Istrinya
berada di atas Istana tiba-tiba mereka menyaksikan Bulan yang terbelah menjadi dua bagian.
Lewat para pengembara dan pedangang dari berbagai Negeri asing sang Raja pun akhirnya tahu
bahwa kejadian itu merupakan Mukjizat Nabi Muhammad yang berada di Jazirah Arab.
Maka Sang Raja pun pergi menemui Rasulullah Saw setelah membagi-bagikan harta
kerajaannya dan menunjuk putranya menjadi Gubernur serta membagikan tanahnya kepada
para pemimpin Lokal untuk menjamin kesejateraan kehidupan Kerajaannya.
Beliau masuk Islam di tangan Rasulullah Saw yang disaksikan oleh Abu Bakar Radiallahu Anhu
dan mengganti namanya menjadi Tajuddin, Sang Raja meninggal dalam perjalanan kembali ke
India dan dimakamkan di jalan di tepi Laut Arab. Dikatakan bahwa sang Raja Muslim ini telah
mengirim Surat kepada para menteri lokal kerajaannya lewat Malik bin Dinar sahabat Nabi.
Dalam suratnya Beliau berwasiat bahwa si pembawa surat ini harus mendapat perhatian ekstra,
penjamuan dan memuliakannya serta mengizinkannya untuk membangun mesjid di Negeri India
pada saat itu. Karena menghormati Raja Cheraman, Penguasa Kerala membagun Mesjid
(dibangun pada awal abad ke-7) di Kodungallur yang dikenal sebagai Masjid Malik Cheraman.
Sampai sekarang mesjid tersebut masih ada, seperti yang dijelaskan oleh Raja Valiyathampuram
bahwa mesjid itu adalah mesjid tertua di India yang namanya diambil dari Cheraman Perumal
dan Malik Ibn Dinar, dan digabungkan menjadi `Masjid Malik Cheraman`. Pemimpin pada waktu
itu memudahkan urusan Malik Bin Dinar R.a untuk menyebarkan Islam di India degan kebenaran
Mukjizat terbelahnya Bulan.
Seperti yang diceritakan bahwa Malik Bin Dinar wafat di Kasaragod yang kini bernama
Karnataka. Raja Cheraman dan Malik Bin Dinar keduanya dikuburkan sisi Laut Arab di mana
satunya di Saalala di Oman dan satunya lagi ada di Kasaragod di India. Dengan kata lain,
kuburan mereka terhubung dengan air laut.
Manuskrip Kuno
Juga hal yang sama dialami oleh bangsa dan kebudayaan-kebudayaan lain sebagian dari
mereka mencatat keajaiban peristiwa itu , seperti yang terdapat dalam manuskrip Madrid dan
Manuskrip Bangsa Maya kuno dalam Ilmu perbintangan.
4. Saya seringkali dapat pertanyaan lewat email tentang hubungan antara syariat dan hakikat. Pada
kesempatan ini saya ingin sedikit membahas hubungan yang sangat erat antara keduanya.
Syariat bisa diibaratkan sebagai jasmani/badan tempat ruh berada sementara hakikat ibarat ruh
yang menggerakkan badan, keduanya sangat berhubungan erat dan tidak bisa dipisahkan.
Badan memerlukan ruh untuk hidup sementara ruh memerlukan badan agar memiliki wadah.
Saidi Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi guru Mursyid dari Ayahanda Prof. Dr. Saidi Syekh
Kadirun Yahya MA. M.Sc mengibaratkan syariat laksana baju sedangkan hakikat ibarat badan.
Dalam beberapa pantun yang Beliau ciptakan tersirat pesan-pesan tentang pentingnya merawat
tubuh sebagai perhatian utama sedangkan merawat baju juga tidak boleh dilupakan.
Imam Malik mengatakan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang mengamalkan syariat
dan hakikat secara bersamaan tanpa meninggalkan salah satunya. Ada adagium cukup terkenal,
“Hakikat tanpa syariat adalah kepalsuan, sedang syariat tanpa hakikat adalah sia-sia.” Imam
Malik berkata, “Barangsiapa bersyariat tanpa berhakikat, niscaya ia akan menjadi fasik. Sedang
yang berhakikat tanpa bersyariat, niscaya ia akan menjadi zindik.Barangsiapa menghimpun
keduanya [syariat dan hakikat], ia benar-benar telah berhakikat.”
Syariat adalah hukum-hukum atau aturan-aturan dari Allah yang disampaikan oleh Nabi untuk
dijadikan pedoman kepada manusia, baik aturan ibadah maupun yang lainnya. Apa yang tertulis
dalam Al-Qur’an hanya berupa pokok ajaran dan bersifat universal, karenanya Nabi yang
merupakan orang paling dekat dengan Allah dan paling memahami Al-Qur’an menjelaskan
aturan pokok tersebut lewat ucapan dan tindakan Beliau, para sahabat menjadikan sebagai
pedoman kedua yang dikenal sebagai hadist. Ucapan Nabi bernilai tinggi dan masih sarat
dengan simbol-simbol yang memerlukan keahlian untuk menafsirkannya.
Para sahabat sebagai orang-orang pilihan yang dekat dengan nabi merupakan orang yang paling
memahami nabi, mereka paling mengerti akan ucapan Nabi karena memang hidup sezaman
dengan nabi. Penafsiran dari para sahabat itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum-
hukum oleh generasi selanjutnya. Para ulama sebagai pewaris ilmu Nabi melakukan ijtihad,
menggali sumber utama hukum Islam kemudian menterjemahkan sesuai dengan perkembangan
zaman saat itu, maka lahirlah cabang-cabang ilmu yang digunakan sampai generasi sekarang.
Sumber hukum Islam itu kemudian dikenal memiliki 4 pilar yaitu : Al-Qur’an, Hadist, Ijmak dan
Qiyas, itulah yang kita kenal dengan syariat Islam.
Untuk melaksanakan Syariat Islam terutama bidang ibadah harus dengan metode yang tepat
sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilakukan Rasulullah SAW sehingga
hasilnya akan sama. Sebagai contoh sederhana, Allah memerintahkan kita untuk shalat,
kemudian Nabi melaksanakannya, para sahabat mengikuti. Nabi mengatakan, “Shalatlah kalian
seperti aku shalat”. Tata cara shalat Nabi yang disaksikan oleh sahabat dan juga dilaksanakan
oleh sahabat kemudian dijadikan aturan oleh Ulama, maka kita kenal sebagai rukun shalat yang
13 perkara. Kalau hanya sekedar shalat maka aturan 13 itu bisa menjadi pedoman untuk seluruh
ummat Islam agar shalatnya standar sesuai dengan shalat Nabi. Akan tetapi, dalam rukun shalat
5. tidak diajarkan cara supaya khusyuk dan supaya bisa mencapai tahap makrifat dimana hamba
bisa memandang wajah Allah SWT.
Ketika memulai shalat dengan “Wajjahtu waj-hiya lillaa-dzii fatharas-samaawaati wal-ardho
haniifam-muslimaw- wamaa ana minal-musy-rikiin..” Kuhadapkan wajahku kepada wajah-Nya
Zat yang menciptakan langit dan bumi, dengan keadaan lurus dan berserah diri, dan
tidaklah aku termasuk orang-orang yang musyrik. Seharusnya seorang hamba sudah
menemukan chanel atau gelombang kepada Tuhan, menemukan wajahnya yang Maha Agung,
sehingga kita tidak termasuk orang musyrik menyekutukan Tuhan. Kita dengan mudah menuduh
musyrik kepada orang lain, tanpa sadar kita hanya mengenal nama Tuhan saja sementara yang
hadir dalam shalat wajah-wajah lain selain Dia. Kalau wajah-Nya sudah ditemukan di awal shalat
maka ketika sampai kepada bacaan Al-Fatihah, disana benar-benar terjadi dialog yang sangat
akrab antara hamba dengan Tuhannya.
Syariat tidak mengajarkan hal-hal seperti itu karena syariat hanya berupa hukum atau aturan.
Untuk bisa melaksanakan syariat dengan benar, ruh ibadah itu hidup, diperlukan metodologi
pelaksanaan teknisnya yang dikenal dengan Tariqatullah jalan kepada Allah yang kemudian
disebut dengan Tarekat. Jadi Tarekat itu pada awalnya bukan perkumpulan orang-orang
mengamalkan zikir. Nama Tarekat diambil dari sebuah istilah di zaman Nabi yaitu Tariqatussiriah
yang bermakna Jalan Rahasia atau Amalan Rahasia untuk mencapai kesempurnaan ibadah.
Munculnya perkumpulan Tarekat dikemudian hari adalah untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman agar orang-orang dalam ibadah lebih teratur, tertib dan terorganisir seperti
nasehat Syaidina Ali bin Abi Thalib kw, “Kejahatan yang terorganisir akan bisa mengalahkan
kebaikan yang tidak terorganisir”.
Kalau ajaran-ajaran agama yang kita kenal dengan syariat itu tidak dilaksanakan dengan metode
yang benar (Thariqatullah) maka ibadah akan menjadi kosong hanya sekedar memenuhi
kewajiban agama saja. Shalat hanya mengikuti rukun-rukun dengan gerak kosong belaka, badan
bergerak mengikuti gerakan shalat namun hati berkelana kemana-mana. Sepanjang shalat akan
muncul berjuta khayalan karena ruh masih di alam dunia belum sampai ke alam Rabbani.
Ibadah haji yang merupakan puncak ibadah, diundang oleh Maha Raja Dunia Akhirat,
seharusnya disana berjumpa dengan yang mengundang yaitu Pemilik Ka’bah, pemilik dunia
akhirat, Tuhan seru sekalian alam, tapi yang terjadi yang dijumpai disana hanya berupa dinding
dinding batu yang ditutupi kain hitam. Pada saat wukuf di arafah itu adalah proses menunggu,
menunggu Dia yang dirindui oleh sekalian hamba untuk hadir dalam kekosongan jiwa manusia,
namun yang ditunggu tak pernah muncul.
Disini sebenarnya letak kesilapan kaum muslim diseluruh dunia, terlalu disibukkan aturan syariat
dan lupa akan ilmu untuk melaksanakan syariat itu dengan benar yaitu Tarekat. Ketika ilmu
tarekat dilupakan bahkan sebagian orang bodoh menganggap ilmu warisan nabi ini sebagai
bid’ah maka pelaksanaan ibadah menjadi kacau balau. Badan seolah-olah khusuk beribadah
sementara hatinya lalai, menari-nari di alam duniawi dan yang didapat dari shalat itu bukan
pahala tapi ancaman Neraka Wail. Harus di ingat bawah “Lalai” yang di maksud disana bukan
sekedar tidak tepat waktu tapi hati sepanjang ibadah tidak mengingat Allah. Bagaimana mungkin
dalam shalat bisa mengingat Allah kalau diluar shalat tidak di latih ber-Dzikir (mengingat) Allah?
6. dan bagaimana mungkin seorang bisa berdzikir kalau jiwanya belum disucikan? Urutan
latihannya sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al ‘Ala, “Beruntunglah orang yang telah
disucikan jiwanya/ruhnya, kemudian dia berdzikir menyebut nama Tuhan dan kemudian
menegakkan shalat”.
Kesimpulan dari tulisan singkat ini bahwa sebenarnya tidak ada pemisahan antara ke empat ilmu
yaitu Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat, ke empatnya adalah SATU. Iman dan Islam bisa
dijelaskan dengan ilmu syariat sedangkan maqam Ihsan hanya bisa ditempuh lewat ilmu Tarekat.
Ketika kita telah mencapai tahap Makrifat maka dari sana kita bisa memandang dengan jelas
bahwa ke empat ilmu tersebut tidak terpisah tapi SATU.
Tulisan ini saya tulis dalam perjalanan ziarah ke Maqam Guru saya tercinta, teringat pesan-
pesan Beliau akan pentingnya ilmu Tarekat sebagai penyempurnaan Syariat agar mencapai
Hakikat dan Makrifat. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi renungan dan memberikan
manfaat untuk kita semua. Amin!
Terbitnya matahari dari arah barat termasuk salah satu tanda hari kiamat besar yang telah tetap
berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Beberapa Dalil yang Menjadi Dasar Terjadinya Peristiwa Tersebut
1. Dalil dari Al-Qur’an.
Allah ta’ala berfirman :
اَميِإ يِف ْتَبَسَك ْوَأ ُلْبَق ْنِم َْتنَمآ ْنُكَت ْمَل اَهُناَميِإ اًسْفَن ُعَفْنَي ال َِّكِبَر ِتاَيآ ُضْعَب يِتْأَي َم ْوَياًْريَخ اَهِن
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang
bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan
dalam masa imannya” [QS. Al-An’am : 158].
Beberapa hadits shahih menunjukkan bahwasannya yang dimaksudkan dengan ‘sebagian tanda-
tanda (ayat)’ yang disebutkan dalam ayat di atas adalah terbitnya matahari dari arah barat. Hal
itu merupakan perkataan kebanyakan mufassiriin (ahli tafsir).1[1]
Telah berkata Ath-Thabariy – setelah menyebutkan perkataan mufassiriin tentang ayat ini - :
م الشمس تطلع حين ذلك : قال أنه وسلم عليه هللا صلى هللا رسول عن األخبار به تظاهرت ما ذلك في بالصواب األقوال وأولىمغربها ن
7. “Perkataan yang lebih mendekati kebenaran tentang perkara itu adalah apa yang datang
dengannya khabar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda :
‘Hal itu terjadi ketika matahari terbit dari arah barat”.2[2]
Asy-Syaukaniy berkata :
به األخذ مَّتمح ،التقديم واجب فهو ،فيه قادح ال صحيح وجه من النبوي التفسير هذا رفع ثبت فإذا
“Apabila telah tetap akan marfu’-nya tafsir nabawiy ini dari jalan yang shahih tanpa ada cacat di
dalamnya, maka wajib untuk mendahulukan dan mengambil/menerimanya”.3[3]
2. Dalil dari As-Sunnah Ash-Shahiihah
Hadits-hadits yang menunjukkan terbitnya matahari dari arah barat sangat banyak, diantaranya :
a. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ال فرآها ،طلعت فإذا ،مغربها من الشمس تطلع حتى الساعة تقوم التك لم هاُنإيما اًسنف ينفع ال حين فذاك ،أجمعون آمنوا ناس؛قبل من آمنت ن
اًخير إيمانها في كسبت أو
“Tidaklah tegak hari kiamat hingga matahari terbit dari arah barat. Apabila ia telah terbit (dari
arah barat) dan manusia melihatnya, maka berimanlah mereka semua. Pada hari itu tidaklah
bermanfaat keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum hari itu atau belum mengusahakan
kebaikan di masa imannya”.4[4]
b. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
آمنو الناس؛ فرآها ،طلعت فإذا ،مغربها من الشمس تطلع حتى ) : وفيه ،الحديث فئتان...(فذكر تقتتل حتى الساعة تقوم الفذاك ،أجمعون ا
اًخير إيمانها في كسبت أو قبل من آمنت تكن لم هاُنإيما اًسنف ينفع ال حين
“Tidaklah tegak hari kiamat hingga berperang dua kelompok besar kaum manusia….. (yang
kemudian di dalamnya disebutkan : ) hingga terbitnya matahari dari arah barat. Apabila ia telah
terbit (dari arah barat) dan manusia melihatnya, maka berimanlah mereka semua. Pada hari itu
8. tidaklah bermanfaat keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum hari itu atau belum
mengusahakan kebaikan di masa imannya”. 5[5]
c. Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah
shallalaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
مغربها من الشمس طلوع : اًّتس باألعمال رواِدبا
“Bersegeralah melakukan amal-amal ketaatan sebelum datangnya enam perkara : terbitnya
matahari dari arah barat”.6[6]
d. Muslim meriwayatkan dari Hudzafah bin Usaid radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
ص مريم ابن عيسى ونزول ،مغربها من الشمس وطلوع ،والدابة ،والدجال ،الدخان فذكر ."آيات عشر قبلها ترون حتى تقوم لن إنهاهللا لى
....وسلم عليه
“Tidaklah tegak hari kiamat hingga kalian melihat sepuluh tanda-tanda sebelumnya, yaitu : Ad-
Dajjaal, kabut (ad-dukhaan), ad-daabbah, terbitnya matahari dari arah barat, turunnya ‘Isa bin
Maryam shallallaahu ‘alaihi wa sallam….”.7[7]
e. Al-Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma, ia
berkata :
اآليات أول إن : يقول وسلم عليه هللا صلى هللا رسول ُسمعت ،بعد أنسه لم اًثحدي وسلم عليه هللا صلى هللا رسول من ُحفظتُعطلو اًجخرو
مغربها من الشمس
“Aku menghapal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebuah hadits yang aku tidak lupa
setelahnya. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
‘Sesungguhnya tanda-tanda (besar hari kiamat) pertama yang akan muncul adalah terbitnya
matahari dari arah barat”.8[8]
f. Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda pada suatu hari :
9. س ُّفتخر ،العرش تحت هاِِّمستقر إلى تنتهي حتى تجري هذه إن : قال .أعلم ورسوله هللا : قالوا .؟ الشمس هذه تذهب أين أتدرونفال ،ًةاجد
ارت : لها يقال حتى ،كذلك تزالم إلى تنتهي حتى تجري ثم ،مطلعها من طالعة فتصبح فترجع ،جئت حيث من ارجعي ،فعيتحت ستقرها
ت ثم ،مطلعها من طالعة فتصبح فترجع ،جئت حيث من ارجعي ارتفعي : لها يقال حتى كذلك تزال وال ،ساجدة ُّفتخر ،العرشال جري
تحت ذاك مستقرها إلى تنتهي حتى ،اًئشي منها الناس يستنكرفت ،مغربك من طالعة أصبحي ،ارتفعي : لها فيقال ،العرشمن طالعة صبح
ك أو قبل من آمنت تكن لم هاُنإيما اََ ًنفس ينفع ال حين ذاك .؟ ذاكم متى أتدرون : وسلم عليه هللا صلى هللا رسول فقال .مغربهافي سبت
.اًخير إيمانها
“Apakah kalian mengetahui kemana perginya matahari ?”. Mereka (para shahabat) menjawab :
“Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau melanjutkan : “Sesungguhnya matahari terus
berjalan hingga berhenti di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu tunduk bersujud (kepada
Allah). Maka terus-menerus ia melakukan hal itu hingga dikatakan kepadanya : ‘Bangkitlah, dan
kembalilah dari tempat kamu datang (yaitu arah timur)’. Maka ia pun kembali, dan muncul dari
tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan hingga berhenti di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy,
lalu tunduk bersujud (kepada Allah). Maka terus-menerus ia melakukan hal itu hingga dikatakan
kepadanya : ‘Bangkitlah, dan kembalilah dari tempat kamu datang (yaitu arah timur)’. Maka ia
pun kembali, dan muncul dari tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan dimana manusia tidak
mengingkarinya sedikitpun. Hingga ia berhenti di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy. Dikatakan
kepadanya : ‘Bangunlah, dan terbitlah dari arah tenggelammu (arah barat)’. Maka ia pun muncul
dari tempat tenggelamnya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya :
“Apakah kalian mengetahui kapan hal itu terjadi ? Hal itu terjadi ketika keimanan seseorang yang
tidak beriman sebelum hari itu atau belum mengusahakan kebaikan di masa imannya”.9[9]
Bantahan kepada Rasyiid Ridlaa atas Penolakannya terhadap Hadits Abu Dzarr tentang
Sujudnya Matahari
Rasyiid Ridlaa membawakan hadits Abu Dzarr di atas, dan mengomentarinya bahwa matan
hadits tersebut mengandung kemusykilan. Ia berkata ketika mengomentari sanadnya :
إبر عن طرق من الشيخان رواه الحديث هذاوهو ،ذر أبي عن التيمي شريك بن يزيد بن اهيم-سِِّلمد له الجماعة توثيق على-ق ؛اإلمام ال
ي (لم : المديني ابن قال وكما .)زمانهما أدرك وال ،عائشة من وال ،حفصة من يسمع (لم : الدارقطني قال كما .)ذر أبا يلق (لم : أحمدسمع
ا تهذيب في ذلك ذكر .)عباس ابن وال ،علي من.لتهذيب
.ثقة غير عنهم َّثهدح نَم يكون أن فيحتمل ،بالعنعنة هؤالء عن هذا غير َيِوُر وقد
10. ال فما ،بالمعنى النقل وخطأ ،اإلسرائيليات دخول احتمال وراء ،العلل هذه مثل والسنن الصحيحين روايات بعض في كان فإذاتركه فيما قول
.!؟ السنن أصحاب تركه وما الشيخان
“Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim melalui banyak jalan dari Ibrahim bin Yaziid
bin Syariik At-Taimiy, dari Abu Dzarr. Dan ia (Ibrahim) adalah seorang yang ditetapkan oleh para
ulama sebagai seorang mudallis. Al-Imam Ahmad berkata : “Ia tidak pernah bertemu dengan Abu
Dzarr”. Sebagaimana dikatakan juga oleh Ad-Daaruquthni : “Ibrahim tidak mendengar hadits dari
Hafshah dan ‘Aisyah. Ia tidak menemui jaman mereka berdua”. Ibnu Madini berkata : “Ibrahim
tidak mendengar hadits dari ‘Aliy, dan tidak pula dari Ibnu ‘Abbas”. Ini semua tertera dalam
Tahdziibut-Tahdziib.
Dan telah diriwayatkan selain hadits ini dari mereka dengan ‘an’anah. Oleh karena itu
dimungkinkan orang yang menceritakan hadits kepadanya dari mereka adalah orang yang tidak
tsiqah. Apabila dalam sebagian riwayat Ash-Shahihain dan Sunan keadaannya seperti ‘ilal
(cacat) ini, maka dimungkinkan masuknya kisah Israailiyyaat dan salahnya penukilan yang
dibawakan dengan makna. Lantas, bagaimana keadaannya dengan hadits-hadits yang tidak
diriwayatkan oleh Asy-Syaikhain dan Ashhaabus-Sunan ?”.10[10]
Inilah yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad Rasyiid Ridla !!
Apa yang dikatakannya itu adalah perkataan yang sangat membahayakan, dan merupakan satu
bentuk celaan terhadap hadits-hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta
meragukan keshahihannya. Khususnya yang termuat dalam Shahihain dimana umat telah
sepakat menerimanya.
Alangkah baiknya apabila beliau bersikap teliti terhadap sanad hadits ini dan menyelamatkan
matannya dan isykaal yang beliau dakwakan. Juga, mengikuti apa yang telah dikatakan para
ulama sebelum beliau yang mengimani apa-apa yang telah tetap (tsabit) dari
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan tidak memperberat diri dengan apa-apa yang
mereka tidak punya pengetahuan tentangnya. Bahkan, menerima sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam dengan makna shahih yang dapat dipahami dengan segera dari hadits tersebut.
Telah berkata Abu Sulaiman Al-Khaththaabiy ketika mengomentari sabda beliau : “di tempat
menetapnya di bawah ‘Arsy” :
11. ألن ،ِّفهِينك وال ،به نكذب فال ،غيب عن أخبرنا وإنما ،نشاهده وال ،ندركه ال حيث من ،عرش تحت استقرار لها يكون أن ننكر الال علمنا
.به يحيط
“Kami tidak mengingkari bahwasannya matahari mempunyai tempat menetap di bawah ‘Arsy,
yang tidak kita temui dan saksikan. Beliau hanya mengkhabarkan kepada kita perkara ghaib. Kita
tidak mendustakannya dan tidak pula menanyakan bagaimana, karena ilmu kita tidak dapat
menggapainya”.
Kemudian Al-Khaththabiy berkata juga mengenai sujudnya matahari di bawah ‘Arsy :
ل سخرت لما والتصرف ،مسيرها في العرش محاذاتها عند ذلك يكون أن ينكر فال ،العرش تحت الشمس سجود عن إخبار هذا وفيوأما ،ه
: [الكهف )ٍَِةَئِمَح َِ ٍْنيَع ْيِف ُبُرْغَت َدَج َو ِسْمَّشال َب ِرْغَم َغَلَب اَذِإ ىَّتَح( : وجل عز قوله٦٨البصر مدرك نهاية فهو ]؛،الغروب حالة إياها
.الغروب بعد هو إنما للسجود العرش تحت ومصيرها
“Dalam riwayat ini, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan sujudnya matahari di
bawah ‘Arsy; maka hal ini tidak mustahil ketika dalam perjalanannya itu berada di tempat yang
lurus dengan ‘Arsy, dan melaksanakan apa yang diciptakan untuknya. Adapun firman Allah ‘azza
wa jalla : “Hinga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari
terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam” (QS. Al-Kahfi : 86). Maka ini hanyalah batas
terakhir kemampuan pandangan mata terhadapnya pada waktu tenggelam. Sedangkan
keberadaannya di bawah ‘Arsy untuk bersujud setelah ia terbenam”.11[11]
An-Nawawiy berkata :
فيها تعالى هللا يخلقه وإدراك بتمييز فهو الشمس؛ سجود وأما
“Adapun sujudnya matahari adalah menurut pengetahuan yang diciptakan Allah untuknya”.12[12]
Ibnu Katsir berkata :
به ُّيختص مما ٍشيء كل وسجود ،اًهوكر اًعطو ٍشيء كل لعظمته يسجد
“Segala sesuatu sujud untuk mengagungkan Allah dalam keadaan taat dan benci/terpaksa. Dan
sujudnya segala sesuatu termasuk satu kekhususan”.13[13]
12. Ibnu Hajar berkata :
بال عنه المعبر .الدائم المسير االستقرار ومقابل ،سجودها عند وليلة يوم كل في وقوعه باالستقرار المراد أن الحديث وظاهروهللا ،جري
.أعلم
“Menurut dhahir hadits ini bahwasannya yang maksud menetap adalah terhentinya setiap hari
dan setiap malam ketika bersujud. Dan kebalikan dari menetap adalah berjalan terus-menerus.
Wallaahu a’lam”.14[14]
Pembicaraan kita di sini bukanlah mengenai menetapnya matahari dan tidak pula tentang
sujudnya. Namun, saya (Yusuf Al-Wabiil) hendak menjelaskan Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu
bahwasannya tidak ada isykal dalam matannya sebagaimana diduga oleh Rasyid Ridla
rahimahullah. Para ulama telah menerima hadits ini dan sekaligus menerangkan maknanya.
Adapun anggapan adanya cacat dalam sanad hadits ini, maka beliau (Rasyid Ridla) telah keliru,
karena hadits ini adalah muttashil (bersambung) sanadnya dengan riwayat dari perawi tsiqah.
Perkataan beliau tentang tadlis Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy yang dikatakan tidak bertemu
dengan Abu Dzarr, Hafshah, dan ‘Aisyah, serta bahwasannya ia tidak mendapati jaman Hafshah
dan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma ; maka dijawab sebagai berikut:
1. Bahwasannya sanad hadits itu bukan berasal dari riwayat Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy dari Abu
Dzarr, namun – sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim – dari riwayat
Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy, dari bapaknya, dari Abu Dzarr.
Bapaknya Ibrahim adalah Yaziid bin Syariik At-Taimiy. Ia meriwayatkan dari ‘Umar, ‘Aliy, Abu
Dzarr, Ibnu Mas’ud, dan selainnya dari kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum. Dan yang
meriwayatkan hadits dari adalah anaknya – Ibrahim - , Ibrahim An-Nakha’iy, dan yang selain
keduanya. Ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Hajar. Al-Jama’ah
meriwayatkan hadits darinya. Berkata Abu Musa Al-Madiniy : “Dikatakan bahwa ia menemui
masa Jahiliyyah”.15[15]
2. Bahwasannya Ibrahim bin Yaziid telah menjelaskan sima’ (pendengaran)-nya dari bapaknya,
Yazid, sebagaimana ada dalam riwayat Muslim. Ia (Muslim) berkata : “Telah menceritakan
13. kepada kami Yunus, dari Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy, ia mendengar – sebatas yang aku ketahui
– dari bapaknya, dari Abu Dzarr”.16[16]
Orang yang tsiqah apabila ia menjelaskan penyimakannya, maka diterima riwayatnya
sebagaimana ditetapkan dalam Mushthalahul-Hadiits.17[17]
Tidak Diterimanya Iman dan Taubat Setelah Matahari Terbit dari Arah Barat
Apabila matahari terbit dari arah barat, maka saat itu tidak diterima keimanan seseorang yang
belum beriman sebelumnya, sebagaimana juga tidak diterima taubatnya orang-orang yang
berbuat maksiat. Hal itu dikarenakan terbitnya matahari dari arah barat merupakan satu tanda
(hari kiamat) yang sangat besar, yang dapat dilihat oleh seluruh manusia di waktu itu. Maka
tersingkaplah semua hakekat bagi mereka, dan mereka menyaksikan berbagai hal mengerikan
yang menjadikan leher mereka tunduk membenarkan ayat-ayat Allah. Hukum mereka pada
waktu itu adalah seperti hukum orang yang tertimpa adzab Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya
‘azza wa jalla :
ُعَفْنَي ُكَي ْمَلَف * َينِك ِرْشُم ِهِب اَّنُك اَمِب َانْرَفَك َو ُهَدْح َو ِ َّاَّللِب اَّنَمآ واُلاَق َانَسْأَب ا ْوَأَر اَّمَلَفِ َّاَّلل َةَّنُس َانَسْأَب ا ْوَأَر اَّمَل ْمُهُناَميِإ ْمُهْدَق يِتَّلاَرِسَخ َو ِهِداَبِع يِف ْتَلَخ
َونُرِفاَكْلا َكِلَانُه
“Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata: "Kami beriman hanya kepada Allah
saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.
Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah
sunah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-
orang kafir” [QS. Al-Mukmin : 84-85].
Telah berkata Al-Qurthubi :
وإنما : العلماء قالمن شهوة كل معه تخمد ما الفزع من قلوبهم إلى خلص ألنه مغربها من الشمس طلوع عند هاُنإيما اًسنف ينفع الشهوات
كلهم الناس فيصير ،البدن قوى من قوة كل وتفتر ،النفس-القيامة بذنو إليقانهم-ا انقطاع في الموت؛ حضره نَم حال فيإلى لدواعي
وبطالنه ،عنهم المعاصي أنواعالموت حضره نَم توبة تقبل ال كما توبته؛ تقبل لم الحال؛ هذه مثل في تاب فمن ،أبدانهم من ا
“Para ulama berkata : Keimanan seseorang tidaklah bermanfaat ketika matahari telah terbit dari
arah barat (bagi orang yang belum beriman sebelumnya), karena pada satu itu perasaan takut
14. menghunjam sangat dalam pada hati sehingga mematikan segala syahwat jiwa, serta seluruh
kekuataan tubuh menjadi lemah. Seluruh manusia saat itu menjadi – karena yakin kiamat telah
dekat – seperti keadaan orang yang datang kematian (sakaratul-maut) padanya dalam hal
terputusnya segala ajakan untuk berbuat maksiat dan sia-sianya apa yang ada pada tubuh/diri
mereka. Barangsiapa yang bertaubat dalam keadaan seperti ini (ketika matahari terbit dari arah
barat), maka tidak diterima taubatnya sebagaimana tidak diterimanya taubat orang yang
sakaratul-maut”.18[18]
Ibnu Katsir berkata :
مخ كان وإن ،عظيم بخير فهو عمله؛ في اًحمصل كان فإن ذلك؛ قبل اًنمؤم كان نَم فأما ،منه يقبل ال يومئذ اًنإيما الكافر أنشأ إذافأحدث اًطل
توبة منه تقبل لم حينئذ توبة؛
“Apabila orang kafir baru mulai beriman pada hari itu, maka tidak diterima. Adapun orang-orang
yang telah beriman sebelumnya, apabila ia melakukan amal shalih, maka ia berada dalam
kebaikan yang sangat besar. Adapun jika ia seorang yang senang bergelimang dengan
kemaksiatan, dan baru bertaubat setelah itu; maka taubatnya tidak diterima”.19[19]
Dan inilah penjelasan yang datang dari Al-Qur’an Al-Kariim dan hadits-hadits yang shahih. Allah
ta’ala berfirman :
اًسْفَن ُعَفْنَي ال َِّكِبَر ِتاَيآ ُضْعَب يِتْأَي َم ْوَياًْريَخ اَهِناَميِإ يِف ْتَبَسَك ْوَأ ُلْبَق ْنِم َْتنَمآ ْنُكَت ْمَل اَهُناَميِإ
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang
bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan
dalam masa imannya” [QS. Al-An’am : 158].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
قلب كل على َعِبُط طلعت؛ فإذا ،المغرب من الشمس تطلع حتى مقبولة التوبة تزال وال ،التوبة تقبلت ما الهجرة تنقطع الوكفي ،فيه بما
العمل الناس
“Hijrah tidak terputus selama taubat masih diterima. Dan taubat akan senantiasa diterima hingga
terbitnya matahari dari arah barat. Apabila telah terbit (dari arah barat), ditutuplah setiap hati
15. dengan apa yang ada di dalamnya, dan cukuplah manusia amal (yang telah
dilakukannya)”.20[20]
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
ت هللا قول وذلك ،قبله من الشمس تطلع حتى يغلق ال ،للتوبة اًمعا سبعين مسيرة عرضه ًاببا المغرب جعل وجل عز هللا إن: لىَعوت بارك
َهُناَميِإ اًسْفَن ُعَفْنَي ال َِّكِبَر ِتاَيآ ُضْعَب يِتْأَي َم ْوَي()َْتنَمآ ْنُكَت ْمَل ا
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menjadikan arah barat sebagai satu pintu yang luasnya
seperti perjalanan tujuh puluh tahun untuk bertaubat. Ia tidak akan tertutup hingga matahari terbit
dari arahnya. Dan itulah makna firman Allah tabaaraka wa ta’ala : ‘Pada hari datangnya sebagian
tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum
beriman”.21[21]
Sebagian ulama22[22] berpendapat bahwa yang tidak diterima taubatnya adalah orang-orang
kafir yang hidup pada saat matahari terbit dari arah barat. Adapun ketika jaman telah berganti,
dan lalailah/lupalah manusia akan hal itu, maka iman orang yang kafir dan taubat orang yang
berbuat maksiat diterima.
Al-Qurthubi menjelaskan :
ير الذي المعاينة وقت وذلك ،حلقه رأس روحه تبلغ : أي يغرغر)؛ لم ما العبد توبة يقبل هللا (إن : وسلم عليه هللا صلى قالمن مقعده فيه ى
ينبغي هذا وعلى ،مثله مغربها من الشمس لطلوع فالمشاهد ،النار من ومقعده الجنةكالشا كان أو ذلك شاهد نَم كل توبة تكون أنله هد
ينس أن إلى الدنيا أيام امتدت فإن ،ضرورة صار قد وبوعده وسلم عليه هللا صلى ونبيه تعالى باهلل علمه ألن عاش؛ ما ًةمردودمن الناس ى
ا وينقطع ،اِّصخا الخبرعنه فيصير ، ًقليال إال عنه يتحدثون وال ،كان ما العظيم األمر هذاالو ذلك في أسلم فمن ،عنه لتواترَلِبُق ،تاب أو قت
.أعلم وهللا ،منه
“Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah akan menerima
taubat seorang hamba selama nyawa ada di kerongkongannya”.23[23] Yaitu pada waktu yang
sangat menentukan ketika seseorang melihat tempat yang kelak akan dihuninya yang berupa
surga atau neraka. Maka orang yang menyaksikan terbitnya matahari dari barat adalah seperti
16. orang yang sedang menghadapi sakaratul-maut. Karena itu taubat orang yang menyaksikan
matahari terbit dari barat atau orang yang keadaannya seperti itu adalah tertolak, kalau toh ia
masih hidup. Karena pengetahuan akan Allah, Nabi-Nya, janji, serta ancaman-Nya pada waktu
itu merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Tetapi apabila hari-hari kehidupan masih
terus berlangsung hingga manusia melupakan peristiwa besar itu dan sudah tidak membicarakan
lagi melainkan hanya sedikit saja, dan berita mengenai masalah ini sudah menjadi berita khusus,
tidak menjadi bahasan umum; maka pada waktu itu orang yang masuk Islam atau bertaubat
masih diterima”.24[24]
Hal itu dikuatkan lagi dengan riwayat :
ويغربان الناس على يطلعان ثم ،والنور الضوء ذلك بعد يكسيان والقمر الشمس إن
“Sesungguhnya matahari dan bulan akan bersinar lagi setelah itu, dan kemudian terbit dan
terbenam pada manusia seperti biasanya”.
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
سنة ومئة عشرين مغربها من الشمس طلوع بعد الناس يبقى
“Manusia tinggal di bumi setelah terbitnya matahari dari arah barat selama 120 tahun”.
Diriwayatkan dari ‘Imraan bin Hushain bahwa ia berkata :
تق لم ،هلك ثم الوقت ذلك في تاب أو أسلم نَمف ،الناس من كثير فيها فيهلك صيحة؛ تكون حتى الطلوع وقت تقبل لم إنماتاب ومن ،توبته بل
توبته قبلت ،ذلك بعد
“Sesungguhnya tidaklah diterima taubat pada saat terbitnya matahari hingga ada suara yang
keras. Lalu banyak orang yang mati. Barangsiapa yang masuk Islam atau bertaubat pada waktu
tersebut kemudian ia mati; maka tidak diterima tobatnya darinya. Namun barangsiapa yang
bertaubat setelah waktu itu, diterima taubatnya”.25[25]
Jawaban dari beberapa hal tersebut di atas adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya nash-nash menunjukkan bahwa taubat itu tidak diterima lagi setelah terbitnya
matahari dari arah barat. Orang-orang kafir yang baru berikrar masuk Islam setelah itu juga tidak
17. diterima ikrarnya. Nash-nash tersebut juga tidak membedakan antara orang yang menyaksikan
tanda-tanda hari kiamat (terbitnya matahari dari barat) dan yang tidak menyaksikannya.
Pendapat ini diperkuat dengan dengan riwayat Ath-Thabariy dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia
berkata :
األعمال على األجسام وشهدت ،الحفظة ستِبُحو ،األقالم حت ِرُط اآليات؛ أول خرج إذا
“Apabila telah keluar tanda-tanda hari kiamat yang pertama, maka pena-pena (pencatat amal)
dilemparkan, para (malaikat) penjaga ditahan, dan jasad manusia dijadikan saksi atas segala
amalnya”.26[26]
Dan yang dimaksud dengan tanda-tanda (hari kiamat) yang pertama di sini adalah terbitnya
matahari dari arah barat. Adapun tanda-tanda yang muncul sebelum terbitnya matahari dari arah
barat, maka hadits-hadits menunjukkan masih diterimanya taubat dan ikrar keislaman pada
waktu itu.
Ibnu Jarir Ath-Thabariy juga meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata :
مغرب من الشمس تطلع لم ما ٌةمبسوط التوبةها
“Taubat itu masih dibentangkan selama matahari belum terbit dari arah barat”.27[27]
Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
مسيء ليتوب بالليل يده يبسط هللا إنمغربها من الشمس تطلع حتى ،الليل مسيء ليتوب بالنهار يده ويبسط ،النهار
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk mengampuni orang-
orang yang bersalah di waktu siang, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang untuk
mengampuni orang-orang yang bersalah di waktu malam; hingga terbitnya matahari dari arah
barat”.28[28]
18. Menurut hadits tersebut Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan batas akhir
diterimanya taubat itu adalah ketika matahari terbit dari arah barat.
Ibnu Hajar menyebutkan banyak atsar dan hadits yang menunjukkan terus ditutupnya pintu
taubat (setelah terbitnya matahari dari arah barat) hingga hari kiamat, yang kemudian berkata :
باب أغلق المغرب؛ من طلعت إذا الشمس أن على متفقة اًضبع بعضها يشد آثار فهذهال ذلك وأن ،ذلك بعد يفتح ولم ،التوبةبيوم يختص
القيامة يوم إلى ُّديمت بل ،الطلوع
“Atsar-atsar ini saling menguatkan satu dengan yang lainnya yang secara kesepakatan
menyatakan bahwa matahari apabila telah terbit dari arah barat, maka tertutup pintu taubat dan
tidak akan terbuka setelah itu. Hal itu tidak dikhususkan dengan hanya pada hari terbitnya saja,
melainkan terus berlanjut hingga hari kiamat”.29[29]
Adapun pendalilan Al-Qurthubiy dapat dijawab sebagai berikut :
Tentang hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata : “Tidak tsabit riwayat ini secara
marfu’”.
Sedangkan hadits ‘Imraan bin Hushain, tidak ada asalnya (laa ashla lahu).30[30]
Hadits : “Sesungguhnya matahari dan bulan akan bersinar lagi…” ; maka Al-Qurthubiy tidak
menyebutkan sanadnya. Kalaupun toh dianggap shahih, maka kembalinya matahari dan bulan
seperti semua tidak menunjukkan bahwa pintu taubat dibuka kembali untuk kali yang lain.
Al-Haafidh menyebutkan bahwa ia tetap berpegang pada nash yang jelas dalam perbedaan
pendapat ini, yaitu hadits ‘Abdullah bin ‘Amr yang menyebutkan terbitnya matahari dari barat,
yang di dalamnya terdapat ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
.)....اآلية ُلْبَق ْنِم َْتنَمآ ْنُكَت ْمَل اَهُناَميِإ اًسْفَن ُعَفْنَي (ال القيامة يوم إلى يومئذ فمن
“Maka sejak hari itu hingga hari kiamat : ‘tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya
sendiri yang belum beriman sebelum itu’”.31[31]
19. Syeh subakir
Syekh Subakir, sangat berjasa dalam menumbali tanah Jawa, ”Dalam legenda yang beredar di
Pulau Jawa dikisahkan, Sudah beberapa kali utusan dari Negeri Arab, untuk menyebarkan
Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya tapi telah gagal secara
makro. Disebabkan orang-orang Jawa pada waktu itu masih kokoh memegang kepercayaan
lama. Dengan tokoh-tokoh gaibnya masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar P Jawa.
Para ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan yang sangat
berat, meskipun berkembang tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa berkembang
secara luas. Secara makro dapat dikatakan gagal. Maka diutuslah Syekh Subakir untuk
menyebarkan agama Islam dengan membawa batu hitam yang dipasang oleh Syekh Subakir di
seantero Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya yaitu di gunung Tidar .
Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam menimbulkan gejolak,
mengamuklah para mahluk : Jin, setan dan mahluk halus lainnya. Syekh Subakir lah yang
mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan berkata: “
Walaupun kamu sudah mampu meredam amukan kami, kamu dapat mengembangkan agama
Islam di tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku, ingat itu wahai Syeh
Subakir.” “Apa itu?” kata Syekh Subakir. Kata Jin, “Aku masih dibolehkan untuk menggoda
manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah”. Syekh Subakir berasal dari
Iran ( dalam riwayat lain Syekh Subakir berasal dari Rum). Syekh Subakir diutus ke Tanah Jawa
bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh Sultan Muhammad I dari
Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404, Syekh Subakir berasal dari
Iran ( dalam riwayat lain Syekh Subakir berasal dari Rum, Baghdad). Syekh Subakir diutus ke
Tanah Jawa bersama-sama dengan Wali Songo Periode Pertama, yang diutus oleh Sultan
Muhammad I dari Istambul, Turkey, untuk berdakwah di pulau Jawa pada tahun 1404, mereka
diantaranya: Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara. Maulana Ishaq,
berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari
Mesir. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko. Maulana Malik Isro’il, dari Turki,
ahli mengatur negara. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
Maulana Hasanudin, dari Palestina. Maulana Aliyudin, dari Palestina. Syekh Subakir, dari Iran,
Ahli menumbali daerah yang angker yang dihuni jin jahat. Dalam legenda yang beredar di Pulau
Jawa dikisahkan, bahwa sudah beberapa kali utusan dari Arab didatangkan untuk menyebarkan
Agama Islam di tanah Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya, tapi selalu gagal secara
makro. Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang Jawa pada waktu itu masih kokoh
memegang kepercayaan lama. Masyarakat masih senang menyembah barang-barang bertuah
dan ruh-ruh yang diyakininya dapat membimbing, memberi ilham dan menolong mereka. Dengan
tokoh-tokoh gaibnya, para tokoh masyarakat masih sangat menguasai bumi dan laut di sekitar
Pulau Jawa. Para ulama yang dikirim untuk menyebarkan Agama Islam mendapat halangan
yang sangat berat. Meskipun berkembang, tetapi hanya dalam lingkungan yang kecil, tidak bisa
berkembang secara luas. Artinya, secara makro dapat dikatakan gagal. Karena itu, maka
diutuslah Syeh Subakir yang dikenal memang sakti mandraguna. Beliau diutus secara khusus
menangani masalah-masalah yang terkait magic dan spiritual yang dinilai telah menjadi
penghalang diterimanya Islam oleh masyarakat yang masih demen ilmu-ilmu mistik. Untuk
menyebarkan agama Islam, menurut cerita yang berkembang, Syekh Subakir membawa batu
hitam yang dipasang di seantero Nusantara, untuk tanah Jawa diletakkan di tengah-tengahnya
20. yaitu di gunung Tidar . Efek dari kekuatan gaib suci yang dimunculkan oleh batu hitam
menimbulkan gejolak, mengamuklah para mahluk: Jin, setan dan mahluk halus lainnya. Syeh
Subakir lah yang mampu meredam amukan dari mereka. Akan tetapi mereka sesumbar dengan
berkata: “Ya Syekh, walaupun kamu sudah mampu meredam amukan kami dan kamu dapat
mengembangkan agama Islam di tanah Jawa, tetapi Kodratullah tetap masih berlaku atas ku,
ingat itu wahai Syeh Subakir.” “Apa itu?” kata Syeh Subakir. Kata Jin, “Aku masih dibolehkan
untuk menggoda manusia, termasuk orang-orang Islam yang imannya masih lemah”. Tidak salah
bila kemudian, gunung Tidar dikenal dengan Paku Tanah Jawa. Gunung Tidar tak terpisahkan
dengan pendidikan militer. Gunung yang dalam legenda dikenal sebagai "Pakunya tanah Jawa"
itu terletak di tengah Kota Magelang. Berada pada ketinggian 503 meter dari permukaan laut,
Gunung Tidar memiliki sejarah dalam perjuangan bangsa. Di Lembah Tidar itulah Akademi
Militer sebagai kawah candradimuka yang mencetak perwira pejuang Sapta Marga berdiri pada
11 November 1957. Di puncak Gunung Tidar ada lapangan yang cukup luas. Di tengah lapangan
tersebut terdapat sebuah Tugu dengan simbol huruf Sa (dibaca seperti pada kata Solok) dalam
tulisan Jawa pada tiga sisinya. Menurut penuturan juru kunci, itu bermakna Sapa Salah Seleh
(Siapa Salah Ketahuan Salahnya). Tugu inilah yang dipercaya sebagian orang sebagai Pakunya
Tanah Jawa, yang membuat tanah Jawa tetap tenang dan aman. Gunung Tidar tidak hanya
terkenal sebagai ikon atau identitas Kota Magelang. Bagi sebagian orang yang memang nglakoni
lelaku spiritual , Gunung Tidar merupakan salah satu obyek yang menjadi tempat tujuan mereka
untuk mendekatkan diri kepada Gusti Allah. Dahulu, Gunung Tidar terkenal akan ke-angker-
annya dan menjadi rumah bagi para Jin dan Makhluk Halus. Jalmo Moro Jalmo Mati, setiap
orang yang datang ke Gunung Tidar bisa dipastikan kalau tidak mati ya modar (dan mungkin hal
ini yang menjadi asal usul nama Tidar). Berdasarkan penuturan Juru Kunci Gunung Tidar, di
Gunung Tidar terdapat 2 buah makam yaitu Makam Kyai Sepanjang dan Makam Sang Hyang
Ismoyo (atau yang lebih dikenal sebagai Kyai Semar). Sedangkan tempat yang selama ini
dikenal sebagai Makam Syekh Subakir sebenarnya hanyalah petilasan beliau. Jadi, beliau
dikenal sebagai wali Allah yang menaklukkan Jin dan Makhluk Halus di Gunung Tidar sehingga
para makhluk halus tersebut ‘mengungsi’ ke Pantai Selatan, tempat Nyai Roro Kidul. Setelah
berhasil menaklukkan Jin dan Makhluk Halus, Syekh Subakir kembali ke tanah asalnya di Rom
(Baghdad). Di petilasan Syekh Subakir ini tersedia mushola kecil dan pendopo. Petilasan Syekh
Subakir sebelumnya ditandai dengan adanya kijing yang terbuat dari kayu. Setelah dipugar,
kijing tersebut diletakkan di pendopo dan diganti dengan batu fosil yang berasal dari Tulung
Agung serta dikelilingi pagar tembok yang berbentuk lingkaran dan tanpa atap. Pada tahap
berikutnya, kedudukan Syekh Subakir, Sang Babad Tanah Jawa sebagai salah satu Wali Songo,
digantikan oleh Sunan Kalijaga yang banyak disebut-sebut pimpinan para wali di Tanah Jawa
karena kekeramatannya yang begitu melegenda. ADA satu kisah menarik dalam petilan “Babad
Tanah Jawa”. Meskipun kisah ini merupakan petilan. Namun intisari yang tertanam di dalamnya,
ternyata tetap masih aktual di saat ini sekali pun. Ketika itu, datanglah para ulama dari “Sebrang
Lautan” (Mesir) ke Tanah Jawa. Tujuan para ulama utusan Sultan Mesir itu adalah untuk
menyebarkan agama Islam, yang menurut laporan masih banyak penduduk Jawa yang kafir.
Para ulama itu dipimpin seorang Syeh yang bernama Syech Subakir Sebelum Syech Subakir
datang, telah beberapa kali ulama pendahulunya menginjakan kakinya di Tanah Jawa. Namun,
setiap kali mereka datang, selalu gagal menyebarkan agama Islam. Mengapa? Pertanyaan itulah
yang berada di benak Syech Subakir. Dan tidak berapa lama setelah sampai ke Tanah Jawa,
Syech asal Persia (Iran) itu berhasil mendapatkan jawaban dari pertanyaannya tersebut.
Ternyata, seluruh Tanah Jawa dari ujung Timur sampai ke Barat di jaga oleh bangsa jin yang
21. dipimpin Sabdo Palon. Kegagalan para ulama sebelumnya adalah karena ulah mereka, para jin
kafir yang tidak mau masuk Islam dan menentang Islam berkembang di Tanah Jawa. Untungnya,
Syech Subakir menguasai ilmu tentang makhluk halus, sehingga dia dan para ulama yang
dipimpinnya berhasil mengetahui keberadaan para jin tersebut. Dalam wujud kasarnya, para
mahluk halus itu ada yang berujud ombak yang besar yang mampu menenggelamkan kapal
berikut penumpangnya. Juga angin puting beliung, dan sebagainya yang mampu memporak-
porandakan apa saja yang ada dihadapannya, termasuk menjelma menjadi hewan buas,
harimau, ular dan sebangsanya. Perubahan bentuk dan ujud itulah yang selama ini diduga
mencelakakan para ulama yang bermaksud menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Maka kemudian
terjadilah pertempuran yang dasyat antara para jin pimpinan Sabdo Palon dengan pasukan
ulama pimpinan Syech Subakir. Konon, pertempuran itu terjadi selama berhasi- hari, tanpa
ketahuan siapa yang bakal memenangkannya. Karena melihat situasi yang tidak
menguntungkan, maka Sabdo Palon mengajukan usulan gencatan senjata. Syech Subakir yang
melihat itu sebuah peluang, menerima ajakan Sabdo Palon. Maka terjadilah kesepakatan antara
keduanya. Isi kesepakatan antara lain, Sabdo Palon memberi kesempatan kepada Syech
Subakir beserta para ulama untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa, tetapi tidak boleh dengan
cara paksaan atau memaksa. Kemudian Sabdo Palon juga memberi kesempatan kepada orang
Islam untuk berkuasa di Tanah Jawa—Raja-raja Islam—namun dengan catatan. Para Raja Islam
itu silahkan berkuasa, namun jangan sampai meninggalkan adapt istiadat dan budaya yang ada.
Silahkan kembangkan ajaran Islam sesuai dengan kitab yang dakuinya, tetapi biarlah adapt dan
budaya berkembang sedemikian rupa. Dan yang terpenting, jadi pemimpin janganlah terlalu
lurus, namun juga jangan terlampau bengkok. Hal ini sempat dipertanyakan Syech Subakir
kepada Sabdo Palon, mengapa seorang pemimpin tidak boleh benar-benar lurus. Dijawab Sabdo
Palon, karena pemimpin itu menjadi pimpinan semua orang. Dan orang tidak semuanya lurus,
pasti banyak pula yang bengkok. Lha, orang yang bengkok-bengkok itu akan ikut siapa, bila
pemimpinnya lurus? Legenda Gunung Tidar Magelang Keberadaan daerah Magelang
terbungkus oleh berbagai legenda. Salah satu dongeng yang hidup dikalangan rakyat
mengisahkan --sebagaimana dikisahkan M. Bambang Pranowo (2002)-- bahwa pada zaman
dahulu kala, ketika Pulau Jawa baru saja diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dalam bentuk
tanah yang terapung-apung di lautan luas; tanah tersebut senantiasa bergerak kesana kemari.
Seorang dewa kemudian diutus turun dari kahyangan untuk memaku tanah tersebut agar
berhenti bergerak. Kepala dari paku yang digunakan untuk memaku Pulau Jawa tersebut
akhirnya menjadi sebuah gunung yang kemudian dikenal sebagai Gunung Tidar. Gunung yang
terletak di pinggir selatan kota Magelang yang kebetulan berada tepat dibagian tengah Pulau
Jawa tersebut memang berbentuk kepala paku; karena itu gunung Tidar dikenal luas sebagai
“pakuning tanah jawa”. Dongeng lain yang tentunya diciptakan setelah masuknya Islam
mengisahkan bahwa pada zaman dahulu daerah ini merupakan kerajaan jin yang diperintah oleh
dua raksasa. Syekh Subakir, seorang penyebar agama Islam, datang ke daerah ini untuk
berdakwah. Tidak rela atas kedatangan Syekh tersebut terjadilah perkelahian antara raja Jin
melawan sang Syekh. Ternyata Raja Jin dapat dikalahkan oleh Syekh Subakir. Raja Jin dan
istrinya kemudian melarikan diri ke Laut Selatan bergabung dengan Nyai Rara Kidul yang
merajai laut Selatan. Sebelum lari Raja Jin bersumpah akan kembali ke Gunung Tidar kecuali
rakyat didaerah ini rela menjadi pengikut Syekh Subakir. Legenda ini sangat melekat bagi
masyarakat tradisional Jawa, tidak sekedar di Magelang, tapi juga ke daerah-daerah lain di
Jawa, bahkan sampai di Lampung dan mancanegara (Suriname). Hal ini karena telah disebutkan
dalam jangka Joyoboyo dan mengalir secara tutur tinular menjadi kepercayaan masyarakat.
22. Apalagi pemerintah kota Magelang menjadikan Tidar sebagai simbol atau maskot daerah dengan
menempatkan gunung Tidar yang dilambangkan dengan gambar paku di dalam logo
pemerintahan. Di samping itu nama-nama tempat begitu banyak menggunakan nama Tidar,
seperti nama Rumah Sakit Umum Daerah, nama perguruan tinggi, nama terminal dll. Yang
semuanya menguatkan gunung Tidar menjadi legenda abadi.
Syeh siti jenar
SEJARAH SYEH SITI JENAR
Oleh: KH.Shohibul Faroji Al-Robbani
Nama asli Syekh Siti Jenar adalah Sayyid Hasan ’Ali Al-Husaini, dilahirkan di Persia, Iran.
Kemudian setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil. Dan ketika datang untuk
berdakwah ke Caruban, sebelah tenggara Cirebon. Dia mendapat gelar Syaikh Siti Jenar atau
Syaikh Lemah Abang atau Syaikh Lemah Brit.
Syaikh Siti Jenar adalah seorang sayyid atau habib keturunan dari Rasulullah Saw. Nasab
lengkapnya adalah Syekh Siti Jenar [Sayyid Hasan ’Ali] bin Sayyid Shalih bin Sayyid ’Isa ’Alawi
bin Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin bin Sayyid ’Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat
Khan bin Sayyid 'Alwi 'Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shohib Mirbath bin Sayyid 'Ali Khali
Qasam bin Sayyid 'Alwi Shohib Baiti Jubair bin Sayyid Muhammad Maula Ash-Shaouma'ah bin
Sayyid 'Alwi al-Mubtakir bin Sayyid 'Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid 'Isa An-
Naqib bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid 'Ali Al-'Uraidhi bin Imam Ja'far Ash-Shadiq bin
Imam Muhammad al-Baqir bin Imam 'Ali Zainal 'Abidin bin Imam Husain Asy-Syahid bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Saw.
Syaikh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1404 M di Persia, Iran. Sejak kecil ia berguru kepada
ayahnya Sayyid Shalih dibidang Al-Qur’an dan Tafsirnya. Dan Syaikh Siti Jenar kecil berhasil
menghafal Al-Qur’an usia 12 tahun.
Kemudian ketika Syaikh Siti Jenar berusia 17 tahun, maka ia bersama ayahnya berdakwah dan
berdagang ke Malaka. Tiba di Malaka ayahnya, yaitu Sayyid Shalih, diangkat menjadi Mufti
Malaka oleh Kesultanan Malaka dibawah pimpinan Sultan Muhammad Iskandar Syah. Saat itu.
KesultananMalaka adalah di bawah komando Khalifah Muhammad 1, Kekhalifahan Turki
Utsmani. Akhirnya Syaikh Siti Jenar dan ayahnya bermukim di Malaka.
Kemudian pada tahun 1424 M, Ada perpindahan kekuasaan antara Sultan Muhammad Iskandar
Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sekaligus pergantian mufti baru dari Sayyid Sholih [ayah
Siti Jenar] kepada Syaikh Syamsuddin Ahmad.
Pada akhir tahun 1425 M. Sayyid Shalih beserta anak dan istrinya pindah ke Cirebon. Di Cirebon
Sayyid Shalih menemui sepupunya yaitu Sayyid Kahfi bin Sayyid Ahmad.
Posisi Sayyid Kahfi di Cirebon adalah sebagai Mursyid Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dari
sanad Utsman bin ’Affan. Sekaligus Penasehat Agama Islam Kesultanan Cirebon. Sayyid Kahfi
23. kemudian mengajarkan ilmu Ma’rifatullah kepada Siti Jenar yang pada waktu itu berusia 20
tahun. Pada saat itu Mursyid Al-Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyah ada 4 orang, yaitu:
1. Maulana Malik Ibrahim, sebagai Mursyid Thariqah al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, dari sanad
sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, untuk wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku, dan sekitarnya
2. Sayyid Ahmad Faruqi Sirhindi, dari sanad Sayyidina ’Umar bin Khattab, untuk wilayah Turki,
Afrika Selatan, Mesir dan sekitarnya,
3. Sayyid Kahfi, dari sanad Sayyidina Utsman bin ’Affan, untuk wilayah Jawa Barat, Banten,
Sumatera, Champa, dan Asia tenggara
4. Sayyid Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Ja’far al-Bilali, dari sanad Imam ’Ali bin Abi Thalib,
untuk wilayah Makkah, Madinah, Persia, Iraq, Pakistan, India, Yaman.
Kitab-Kitab yang dipelajari oleh Siti Jenar muda kepada Sayyid Kahfi adalah Kitab Fusus Al-
Hikam karya Ibnu ’Arabi, Kitab Insan Kamil karya Abdul Karim al-Jilli, Ihya’ Ulumuddin karya Al-
Ghazali, Risalah Qushairiyah karya Imam al-Qushairi, Tafsir Ma’rifatullah karya Ruzbihan Baqli,
Kitab At-Thawasin karya Al-Hallaj, Kitab At-Tajalli karya Abu Yazid Al-Busthamiy. Dan Quth al-
Qulub karya Abu Thalib al-Makkiy.
Sedangkan dalam ilmu Fiqih Islam, Siti Jenar muda berguru kepada Sunan Ampel selama 8
tahun. Dan belajar ilmu ushuluddin kepada Sunan Gunung Jati selama 2 tahun.
Setelah wafatnya Sayyid Kahfi, Siti Jenar diberi amanat untuk menggantikannya sebagai Mursyid
Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Ahadiyyah dengan sanad Utsman bin ’Affan. Di antara murid-murid
Syaikh Siti Jenar adalah: Muhammad Abdullah Burhanpuri, Ali Fansuri, Hamzah Fansuri,
Syamsuddin Pasai, Abdul Ra’uf Sinkiliy, dan lain-lain.
KESALAHAN SEJARAH TENTANG SYAIKH SITI JENAR YANG MENJADI FITNAH adalah:
1. Menganggap bahwa Syaikh Siti Jenar berasal dari cacing. Sejarah ini bertentangan dengan
akal sehat manusia dan Syari’at Islam. Tidak ada bukti referensi yang kuat bahwa Syaikh Siti
Jenar berasal dari cacing. Ini adalah sejarah bohong. Dalam sebuah naskah klasik, Serat
Candhakipun Riwayat jati ; Alih aksara; Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, hlm.
1, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, “Wondene kacariyos yen
Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah
alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti
Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia yang akrab dengan
rakyat jelata, bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
2. “Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti” yang diidentikkan kepada Syaikh Siti Jenar oleh
beberapa penulis sejarah Syaikh Siti Jenar adalah bohong, tidak berdasar alias ngawur. Istilah
itu berasal dari Kitab-kitab Primbon Jawa. Padahal dalam Suluk Syaikh Siti Jenar, beliau
menggunakan kalimat “Fana’ wal Baqa’. Fana’ Wal Baqa’ sangat berbeda penafsirannya dengan
Manunggaling Kawulo Gusti. Istilah Fana’ Wal Baqa’ merupakan ajaran tauhid, yang merujuk
pada Firman Allah: ”Kullu syai’in Haalikun Illa Wajhahu”, artinya “Segala sesuatu itu akan rusak
24. dan binasa kecuali Dzat Allah”. Syaikh Siti Jenar adalah penganut ajaran Tauhid Sejati, Tauhid
Fana’ wal Baqa’, Tauhid Qur’ani dan Tauhid Syar’iy.
3. Dalam beberapa buku diceritakan bahwa Syaikh Siti Jenar meninggalkan Sholat, Puasa
Ramadhan, Sholat Jum’at, Haji dsb. Syaikh Burhanpuri dalam Risalah Burhanpuri halaman 19
membantahnya, ia berkata, “Saya berguru kepada Syaikh Siti Jenar selama 9 tahun, saya
melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa dia adalah pengamal Syari’at Islam Sejati,
bahkan sholat sunnah yang dilakukan Syaikh Siti Jenar adalah lebih banyak dari pada manusia
biasa. Tidak pernah bibirnya berhenti berdzikir “Allah..Allah..Allah” dan membaca Shalawat nabi,
tidak pernah ia putus puasa Daud, Senin-Kamis, puasa Yaumul Bidh, dan tidak pernah saya
melihat dia meninggalkan sholat Jum’at”.
4. Beberapa penulis telah menulis bahwa kematian Syaikh Siti Jenar, dibunuh oleh Wali Songo,
dan mayatnya berubah menjadi anjing. Bantahan saya: “Ini suatu penghinaan kepada seorang
Waliyullah, seorang cucu Rasulullah. Sungguh amat keji dan biadab, seseorang yang menyebut
Syaikh Siti Jenar lahir dari cacing dan meninggal jadi anjing. Jika ada penulis menuliskan seperti
itu. Berarti dia tidak bisa berfikir jernih. Dalam teori Antropologi atau Biologi Quantum
sekalipun.Manusia lahir dari manusia dan akan wafat sebagai manusia. Maka saya meluruskan
riwayat ini berdasarkan riwayat para habaib, ulama’, kyai dan ajengan yang terpercaya
kewara’annya. Mereka berkata bahwa Syaikh Siti Jenar meninggal dalam kondisi sedang
bersujud di Pengimaman Masjid Agung Cirebon. Setelah sholat Tahajjud. Dan para santri baru
mengetahuinya saat akan melaksanakan sholat shubuh.“
5. Cerita bahwa Syaikh Siti Jenar dibunuh oleh Sembilan Wali adalah bohong. Tidak memiliki
literatur primer. Cerita itu hanyalah cerita fiktif yang ditambah-tambahi, agar kelihatan dahsyat,
dan laku bila dijadikan film atau sinetron. Bantahan saya: “Wali Songo adalah penegak Syari’at
Islam di tanah Jawa. Padahal dalam Maqaashidus syarii’ah diajarkan bahwa Islam itu
memelihara kehidupan [Hifzhun Nasal wal Hayaah]. Tidak boleh membunuh seorang jiwa yang
mukmin yang di dalam hatinya ada Iman kepada Allah. Tidaklah mungkin 9 waliyullah yang suci
dari keturunan Nabi Muhammad akan membunuh waliyullah dari keturunan yang sama. Tidak
bisa diterima akal sehat.”
Penghancuran sejarah ini, menurut ahli Sejarah Islam Indonesia (Azyumardi Azra) adalah ulah
Penjajah Belanda, untuk memecah belah umat Islam agar selalu bertikai antara Sunni dengan
Syi’ah, antara Ulama’ Syari’at dengan Ulama’ Hakikat. Bahkan Penjajah Belanda telah
mengklasifikasikan umat Islam Indonesia dengan Politik Devide et Empera [Politik Pecah Belah]
dengan 3 kelas:
1) Kelas Santri [diidentikkan dengan 9 Wali]
2) Kelas Priyayi [diidentikkan dengan Raden Fattah, Sultan Demak]
3) Kelas Abangan [diidentikkan dengan Syaikh Siti Jenar]
Wahai kaum muslimin melihat fenomena seperti ini, maka kita harus waspada terhadap upaya
para kolonialist, imprealis, zionis, freemasonry yang berkedok orientalis terhadap penulisan
sejarah Islam. Hati-hati jangan mau kita diadu dengan sesama umat Islam. Jangan mau umat
Islam ini pecah. Ulama’nya pecah. Mari kita bersatu dalam naungan Islam untuk kejayaan Islam
dan umat Islam.
25. Shalat lima waktu menurut Syekh Siti Jenar دهشأ نأ ال هلا الا هللا و دهشأ نأ ادمحم لوسر هللا TIGA
PULUH TUJUH �Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan dalam hati
menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala
keberanian yang dimiliki.� (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu hanyalah bentuk tata
krama dan bukan merupakan shalat yang sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana
memasrahkan diri secara total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam
tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang lima waktu dan ibadah
sejenisnya, bukanlah esensi dari agama. Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting
untuk menjadi perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja masing-masing
orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri. TIGA PULUH DELAPAN �Pada waktu saya
shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati
kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan Zat
Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat Maulana yang nyata, yang
tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.� (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya,
Pupuh III Dandanggula, 37). Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam
formal Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model dan materi
dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan pernyataan-
pernyataan pada point 37 diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari�at yang
tanpa spiritualitas di bawah. Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan
shalat, sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu keheningan dan
kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah. Sifat khusyu�nya shalat sebenarnya adalah
letak aplikasi pesan shalat dalam kehidupan keseharian. Sehingga dalam al-Qur�an, orang
yang melaksanakan shalat namun tetap memiliki sifat riya� dan enggan mewujudkan pesan
kemanusiaan disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab ia
melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma�un/107;4-7). Sedang dalam Qs.Al-
Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang mendapatkan keuntungan adalah orang yang
shalatnya khusyu�. Dan shalat yang khusyu� itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut
: (1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna, juga tidak menyia-siakan
waktu serta tempat dan setiap kesempatan; (2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga
kehormatan diri dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5) menjaga
makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah yang disebutkan akan mewarisi
tempat tinggal abadi; kemanunggalan. Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi?
Orang muslim yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika
melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran yang liar diperlihara dan
digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu�
tersebut. Khusyu� itu adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah eksperimen
manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam, penyerahan diri . Sehingga doktrin
manunggal bukanlah masalah paham qadariyah atau jabariyah, fana� atau ittihad. Namun itu
adalah inti kehidupan. Khusyu� bukanlah latihan konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi
dan meditasi hanya salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti Jenar
menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan dan menyebut shalat yang
diajarkan para Wali adalah model shalatnya para pencuri. Puasa Zakat dan Haji TIGA PULUH
26. SEMBILAN �Syahadat, shalat dan puasa itu, sesuatu yang tidak diinginkan, jadi tidak perlu.
Adapun zakat dan naik haji ke Mekah, itu semua omong kosong (palson kabeh). Itu seluruhnya
kedurjanaan budi, penipuan terhadap sesama manusia. Orang-orang dungu yg menuruti aulia,
karena diberi harapan surga di kelak kemudian hari, itu sesungguhnya keduanya orang yang
tidak tahu. Lain halnya dengan saya, Siti Jenar. Tiada pernah saya menuruti perintah budi,
bersujud-sujud di mesjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi
tebal, kepala berbelulang. Sesungguhnya hal ini tidak masuk akal! Di dunia ini semua manusia
adalah sama. Mereka semua mengalami suka-duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada
beda satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal saja,
yaitu Gusti Zat Maulana.� . Syekh Siti jenar menyebutkan bahwa syariat yang diajarkan para
wali adalah �omong kosong belaka�, atau �wes palson kabeh�(sudah tidak ada yang asli).
Tentu istilah ini sangat amat berbeda dengan anggapan orang selama ini, yang menyatakan
bahwa Syekh Siti Jenar menolak syari�at Islam. Yang ditolak adalah reduksi atas syari�at
tersebut. Syekh Siti Jenar menggunakan istilah �iku wes palson kabeh�, yg artinya �itu sudah
dipalsukan atau dibuat palsu semua.� Tentu ini berbeda pengertiannya dengan kata �iku palsu
kabeh� atau �itu palsu semua.� Jadi yang dikehendaki Syekh Siti Jenar adalah penekanan
bahwa syari�at Islam pada masa Walisanga telah mengalami perubahan dan pergeseran
makna dalam pengertian syari�at itu. Semuanya hanya menjadi formalitas belaka. Sehingga
manfaat melaksanakan syariat menjadi hilang. Bahkan menjadi mudharat karena pertentangan
yang muncul dari aplikasi formal syariat tsb. Bagi Syekh Siti Jenar, syariat bukan hanya
pengakuan dan pelaksanaan, namun berupa penyaksian atau kesaksian. Ini berarti dalam
pelaksanaan syariat harus ada unsur pengalaman spiritual. Nah, bila suatu ibadah telah menjadi
palsu, tidak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semuanya
merupakan keburukan di bumi. Apalagi sudah tidak menjadi sarana bagi kesejahteraan hidup
manusia. Ditambah lagi, justru syariat hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan (seperti sekarang
ini juga).Yang mengajarkan syari�at juga tidak lagi memahami makna dan manfaat syari�at itu,
dan tidak memiliki kemampuan mengajarkan aplikasi syari�at yg hidup dan berdaya guna.
Sehingga syari�at menjadi hampa makna dan menambah gersangnya kehidupan rohani
manusia. Nah, yg dikritik Syekh Siti Jenar adalah shalat yg sudah kehilangan makna dan
tujuannya itu. Shalat haruslah merupakan praktek nyata bagi kehidupan. Yakni shalat sebagai
bentuk ibadah yg sesuai dgn bentuk profesi kehidupannya. Orang yg melakukan profesinya
secara benar, karena Allah, maka hakikatnya ia telah melaksanakan shalat sejati, shalat yg
sebenarnya. Orientasi kepada yang Maha Benar dan selalu berupaya mewujudkan
Manunggaling Kawula Gusti, termasuk dalam karya, karsa-cipta itulah shalat yg sesungguhnya.
Itulah pula yang menjadi rangkaian antara iman, Islam, dan Ihsan. Lalu bagaimana posisi shalat
lima waktu? Shalat lima waktu dalam hal ini menjadi tata krama syari�at atau shalat nominal.
Makna Ihsan EMPAT PULUH �Itulah yang dianggap Syekh Siti Jenar Hyang Widi. Ia berbuat
baik dan menyembah atas kehendak-NYA. Tekad lahiriahnya dihapus. Tingkah lakunya mirip
dengan pendapat yg ia lahirkan. Ia berketetapan hati untuk berkiblat dan setia, teguh dalam
pendiriannya, kukuh menyucikan diri dari segala yg kotor, untuk sampai menemui ajalnya tidak
menyembah kepada budi dan cipta. Syekh Siti Jenar berpendapat dan menggangap dirinya
bersifat Muhammad, yaitu sifat rasul yg sejati, sifat Muhammad yg kudus.� EMPAT PULUH
SATU �Gusti Zat Maulana. Dialah yg luhur dan sangat sakti, yg berkuasa maha besar, lagipula
memiliki dua puluh sifat, kuasa atas kehendak-NYA. Dialah yg maha kuasa, pangkal mula segala
ilmu, maha mulia, maha indah, maha sempurna, maha kuasa, rupa warna-NYA tanpa cacat
seperti hamba-NYA. Di dalam raga manusia Ia tiada nampak. Ia sangat sakti menguasai segala
27. yg terjadi dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngidraloka�. Dua kutipan di atas adalah
aplikasi dari teologi Ihsan menurut Syekh Siti Jenar, bahwa sifatullah merupakan sifatun-nafs.
Ihsan sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam salah satu hadistnya (Sahih Bukhari, I;6),
beribadah karena Allah dgn kondisi si �Abid dalam keadaan menyaksikan (melihat langsung)
langsung adanya si Ma�bud. Hanya sikap inilah yg akan mampu membentuk kepribadian yg
kokoh-kuat, istiqamah, sabar dan tidak mudah menyerah dalam menyerukan kebenaran. Sebab
Syekh Siti Jenar merasa, hanya Sang Wujud yg mendapatkan haq untuk dilayani, bukan selain-
NYA. Sehingga, dgn kata lain, Ihsan dalam aplikasinya atas pernyataan Rasulullah adalah
membumikan sifatullah dan sifatu-Muhammad menjadi sifat pribadi. Dengan memiliki sifat
Muhammad itulah, ia akan mampu berdiri kokoh menyerukan ajarannya dan memaklumkan
pengalamannya dalam �menyaksikan langsung� ada-NYA Allah. �Persaksian langsung�
itulah terjadi dalam proses manunggal. EMPAT PULUH DUA �Bonang, kamu mengundang
saya datang di Demak. Saya malas untuk Datang, sebab saya merasa tidak di bawah atau
diperintah oleh siapapun, kecuali oleh hati saya. Perintah hati itu yang saya turutinya, selain itu
tidak ada yang saya patuhi perintahnya. Bukankah kita sesama mayat? Mengapa seseorang
memerintah orang lain? Manusia itu sama satu dengan yang lain, sama-sama tidak mengetahui
siapa Hyang Sukma itu. Yang disembah itu hanya nama-Nya saja. Meskipun demikian ia
bersikap sombong, dan merasa berkuasa memerintah sesama bangkai.� . Ihsan berasal dari
kondisi hati yg bersih. Dan hati yg bersih adalah pangkal serta cermin seluruh eksistensi manusia
di bumi. Keihsanan melahirkan ketegasan sikap dan menentang ketundukan membabi-buta
kepada makhluk. Ukuran ketundukan hati adalah Allah atau Sang Pribadi. Oleh karena itu,
sesama manusia dan makhluk saling memiliki kemerdekaan dan kebebasan diri. Dan kebebasan
serta kemerdekaan itu sifatnya pasti membawa kepada kemajuan dan peradaban manusia, serta
tatanan masyarakat yg baik, sebab diletakkan atas landasan Ke-Ilahian manusia. Penjajahan
atas eksistensi manusia lain hakikatnya adalah bentuk dari ketidaktahuan manusia akan Hyang
Widhi�Allah (seperti Rosul sering sekali mengatakan bahwa �Sesungguhnya mereka tidak
mengerti�). Karena buta terhadap Allah Yang Maha Hadir bagi manusia itulah, maka manusia
sering membabi-buta merampas kemanusiaan orang lain. Dan hal ini sangat ditentang oleh
Syekh Siti Jenar. Termasuk upaya sakralisasi kekuasaan Kerajaan Demak dan Sultannya, bagi
Syekh Siti Jenar harus ditentang, sebab akan menjadi akibat tergerusnya ke-Ilahian ke dalam
kedzaliman manusia yang mengatasnamakan hamba Allah yg shalih dan mengatasnamakan
demi penegakan syari
�at Islam. EMPAT PULUH TIGA
�Hyang Widi, wujud yg tak nampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai
wujud, seperti penampakan raga yg tiada tampak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi
tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus-menerus, menggambarkan kenyataan tiada berdusta,
ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yg meniadakan permulaan, karena asal dari diri
pribadi.
� Pribadi adalah pancaran roh, sebagai tajalli atau pengejawantahan Tuhan. Dan itu hanya
terwujud dengan proses wujudiyah, Manuggaling Kawula-Gusti, sebagai puncak dan substansi
tauhid. Maka manusia merupakan wujud dari sifat dan dzat Hyang Widi itu sendiri. Dengan
manusia yg manunggal itulah maka akan menjadikan keselamatan yg nyata bukan keselamatan
dan ketentraman atau kesejahteraan yg dibuat oleh rekayasa manusia, berdasarkan ukurannya
sendiri. Namun keselamatan itu adalah efek bagi terejawantah-NYA Allah melalui kehadiran
manusia. Sehingga proses terjadinya keselamatan dan kesejahteraan manusia berlangsung
secara natural (sunnatullah), bukan karena hasil sublimasi manusia, baik melalui kebijakan
28. ekonomi, politik, rekayasa sosial dan semacamnya sebagaimana selama ini terjadi. Maka dapat
diketahui bahwa teologi Manuggaling Kawula Gusti adalah teologi bumi yg lahir dengan
sendirinya sebagai sunnatullah. Sehingga ketika manusia mengaplikasikannya, akan
menghasilkan manfaat yg natural juga dan tentu pelecehan serta perbudakan kemanusiaan tidak
akan terjadi, sifat merasa ingin menguasai, sifat ingin mencari kekuasaan, memperebutkan
sesama manusia tidak akan terjadi. Dan tentu saja pertentangan antar manusia sebagai akibat
perbedaan paham keagamaan, perbedaan agama dan sejenisnya juga pasti tidak akan terjadi.
EMPAT PULUH EMPAT �Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang
sinembah Allah, kang murba amisesa.� . Pernyataan Syekh Siti Jenar di atas sengaja penulis
nukilkan dalam bahasa aslinya, dikarenakan multi-interpretasi yang dapat muncul dari mutiara
ucapan tersebut. Secara garis besar maknanya adalah, �Pernyataan roh, yang bertemu-
hadapan dengan Allah, yang menyembah Allah, yang disembah Allah, yang meliputi segala
sesuatu.� Inilah adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yang
maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam (pembicaraan dan
ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh batin manusia tersedia cermin yang disebut
mir�ah al-haya� (cermin yang memalukan). Bagi orang yang sudah bisa mengendalikan hawa
nafsunya serta mencapai fana� cermin tersebut akan muncul, yang menampakkan kediriannya
dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka tirai-tirai rohani juga akan
tersingkap, sehingga kesejatian dirinya beradu-satu (adhep-idhep), �aku ini kau, tapi kau aku�.
Maka jadilah dia yang menyembah sekaligus yang disembah, sehingga dirinya sebagai kawula-
Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan apapun tentang dirinya, menyatu
iradah dan kodrat kawula-Gusti.
EMPAT PULUH LIMA �Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang,
sungsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya? Biarpun bersembahyang
seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya
menjadi debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat
membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan tidak akan
membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru, dalilnya layabtakiru
hilamuhdil yang artinya tidak membuat sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta
sesudah dia membuat dunia.� . Dari pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut, nampak bahwa
Syekh Siti Jenar memandang alam semesta sebagai makrokosmos sama dengan mikrokosmos
(manusia). Sekurangnya kedua hal itu merupakan barang baru ciptaan Tuhan yang sama-sama
akan mengalami kerusakan, tidak kekal dan tidak abadi. Pada sisi yang lain, pernyataan Syekh
Siti Jenar tersebut juga memiliki muatan makna pernyataan sufistik, �Barangsiapa mengnal
dirinya, maka ia pasti mengenal Tuhannya.� Sebab bagi Syekh Siti Jenar, manusia yang utuh
dalam jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk wahana penyanda alam
semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab manusia. Maka,
mikrokosmos manusia tidak lain adalah blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk
semesta. Bagi Syekh Siti Jenar, manusia terdiri dari jiwa dan raga yang intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar dari jiwa yang
dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti daging, otot, darah dan tulang. Semua
aspek keragaan atau ketubuhan adalah barang pinjaman yang suatu saat setelah manusia
terlepas dari pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yang menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian dengan Allah.
Manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af�al Allah. Tentu ke-Esa-an bukan sekedar af�al,
sebab af�al digerakkan oleh dzat. Sehingga af�al yang menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-
29. an dzat, ke mana af�al itu dipancarkan. EMPAT PULUH LIMA �Segala sesuatu yang terjadi di
alam semesta ini pada hakikatnya adalah af�al (perbuatan) Allah. Berbagai hal yang dinilai baik
maupun buruk pada hakikatnya adalah dari Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yang
mengatakan bahwa yang baik dari Allah dan yang buruk selain Allah.� ��Af�al Allah harus
dipahami dari dalam dan luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya, di situlah terjadi
perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yakni
kemampuan kodrati gerak pena. Di situlah berlaku dalil Wa Allahu khalaqakum wa ma ta�malun
(QS. Ash-Shaffat:96), yang maknanya Allah yang menciptakan engkau dan segala apa yang
engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan yang terlahir dari itu disebut
al-tawallud. Misalnya saya melempar batu. Batu yang terlempar dari tangan saya itu adalah
berdasar kemampuan kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil Wa ma ramaitaidz ramaita
walakinna Allaha rama (QS. Al-Anfal:17), maksudnya bukanlah engkau yang melempar,
melainkan Allah jua yang melempar ketika engkau melempar. Namun pada hakikatnya antara
mubasyarah dan al-tawallud hakikatnya satu, yakni af�al Allah sehingga berlaku dalil la haula
wa la quwwata illa bi Allahi al-�aliyi al-adzimi. Rasulullah bersabda la tataharraku dzarratun illa
bi idzni Allahi, yang maksudnya tidak bergerak satu dzarah pun melainkan atas izin Allah.� .
EMPAT PULUH DELAPAN Menurut Syekh Siti Jenar, bahwa al-Fatihah adalah termasuk salah
satu kunci sahnya orang yang menjalani laku manunggal (ngibadah). Maka seseorang wajib
mengetahui makna mistik surat al-Fatihah. Sebab menurut Syekh Siti Jenar, lafal al-Fatihah
disebut lafal yang paling tua dari seluruh sabda-Sukma. Inilah tafsir mistik al-Fatihah Syekh Siti
Jenar. . Bis...................kedudukannya.......ubun-ubun. Millah................kedudukannya.......rasa.
Al-Rahman-al-Rahim....kedudukannya.......penglihatan (lahir batin). Al-
hamdu..............kedudukannya.......hidupmu (manusia).
Lillahi...............kedudukannya.......cahaya. Rabbil-�alamin........kedudukannya.......nyawa dan
napas. Al-Rahman al-Rahim....kedudukannya.......leher dan jakun.
Maliki................kedudukannya.......dada. Yaumiddin.............kedudukannya.......jantung (hati).
Iyyaka................kedudukannya.......hidung. Na�budu...............kedudukannya.......perut.
Waiyyaka nasta�in.....kedudukannya.......dua bahu. Ihdinash..............kedudukannya.......sentil
(pita suara). Shiratal..............kedudukannya.......idah.
Mustaqim..............kedudukannya.......tulang punggung (ula-ula).
Shiratalladzina.......kedudukannya.......dua ketiak. An�amta...............kedudukannya.......budi
manusia. �alaihim..............kedudukannya.......tiangnya (pancering) hati.
Ghairil...............kedudukannya.......bungkusnya nurani.
Maghdlubi.............kedudukannya.......rempela/empedu. �alaihim..............kedudukannya.......dua
betis. Waladhdhallin.........kedudukannya.......mulut dan perut (panedha).
Amin..................kedudukannya.......penerima. Tafsir mistik Syekh Siti Jenar tetap mengacu
kepada Manunggaling Kawula-Gusti, sehingga baik badan wadag manusia sampai kedalaman
rohaninya dilambangkan sebagai tempat masing-masing dari lafal surat al-Fatihah. Tentu saja
pemahaman itu disertai dengan penghayatan fungsi tubuh seharusnya masing-masing, dikaitkan
dengan makna surahi dalam masing-masing lafadz, maka akan ditemukan kebenaran tafsir
tersebut, apalagi kalau sudah disertai dengan pengalaman rohani/spiritual yang sering dialami.
Konteks pemahaman yang diajukan Syekh Siti Jenar adalah, bahwa al-Qur�an merupakan
�kalam� yang berarti pembicaraan. Jadi sifatnya adalah hidup dan aktif. Maka taksir mistik
Syekh Siti Jenar bukan semata harfiyah, namun di samping tafsir kalimat, Syekh Siti Jenar
menghadirkan tafsir mistik yang bercorak menggali makna di balik simbol yang ada (dalam hal ini
30. huruf, kalimat dan makna historis).
tanya jawab Murid dan Guru
Ajaran Syekh Siti Jenar dikenal sebagai ajaran ilmu kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan
aspek kejiwaan dari pada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah konsep tujuan hidup. Titik
akhir dari ajaran Siti Jenar ialah tercapainya manunggaling kawula-Gusti. Yaitu bersatunya
antara roh manusia dengan Dzat Allah. Paham inilah yang hampir sama dengan ajaran para
zuhud, wali dan orang-orang khowash. Zuhud banyak dijumpai dalam dunia tasawuf. Mereka
merupakan orang-orang atau kelompok yang menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan
duniawi. Sebab mereka mempunyai tujuan hidup yang lebih utama, yakni ingin mencapai
kesucian jiwa atau roh.
Inti ajaran Syeh Siti Jenar adalah pencapaian spiritualitas yang tinggi dalam penyatuan
antara makhluk dengan Dzat Pencipta, yang lebih populer disebut sebagai manunggaling
kawula-Gusti. Bagian-bagian dari ajaran itu adalah meliputi penguasaan hidup, pengetahuan
tentang pintu kehidupan, tentang kematian, tempat kelak sesudah ajal, hidup kekal tak berakhir,
dan tentang kedudukan Yang Mahaluhur. Paham yang hampir senada dengan falsafah Jawa
kuno.
Suatu ketika Syeh Siti Jenar mengajarkan ilmu kepada para murid-muridnya. Syeh Siti
Jenar berkata,”Manusia harus berpegang pada akal, meyakini pula dua puluh sifat yang dimiliki
Allah”. Antara lain yakni; wujud, tak berawal, tak berakhir, berlainan dengan barang baru,
berkuasa, berkehendak, berpengetahuan, memiliki ilmu secara hakikat dan sebagainya. Para
santri mengajukan pertanyaan- pertanyaan sebagai berikut;
Tentang Ketuhanan
M (murid) ; Apakah wujud dari Tuhan itu dapat dimiliki oleh manusia ?”
S (Syeh Jenar) ; Memang, sifat wujud itu bisa dimiliki manusia dan itulah inti dari ajaran ini.
Selama manusia mampu menjernihkan kalbunya, maka ia akan mempunyai sifat-
sifat itu. Sifat tersebut pun sudah kumiliki. Kalian bisa melakukannya dengan
mengamalkan apa yang hendak kuajarkan. Allah adalah satu-satunya yang wajib
disembah. Dia tidak tampak dan tidak berbentuk. Tidak terlihat oleh mata.
Sedangkan alam dan segala isinya merupakan cerminan dari wujud Allah yang
tampak. Seseorang bisa meyakini adanya Allah karena ia melihat pancaran
wujudNya melalui jagad raya ini. Allah tidak berawal dan berakhir, memiliki sifat
langgeng, tak mengalami perubahan sedikitpun. Allah berada di mana-mana,
bukan ini dan bukan itu. Dia berbeda dengan segala wujud barang baru yang ada
di dunia.
M ; Wahai Kanjeng Syeh, jelaskan kepada kami tentang hakikat kodrat !”
S ; Kodrat adalah kekuasaan pribadi Tuhan. Tak ada yang menyamainya. KekuatanNya
tanpa sarana. kehadiranNya berasal dari ketiadaan, luar dan dalam tiada berbeda.
Tak dapat ditafsirkan. Jika engkau menghendaki sesuatu maka pasti kalian
rencanakan matang-matang dan pasti pikirkan berulang-ulang. Itupun masih sering
meleset. Namun Allah tidak demikian, bila menghendaki sesuatu tak perlu
dipersoalkan terlebih dahulu.
31. M ; Kalau begitu Allah tidak memerlukan sesuatu ?
S ; Benar Allah tidak memerlukan sesuatu. Karena itu jika kalian hidup tanpa memerlukan
sesuatu, tanpa butuh harta benda, tanpa butuh jabatan, tanpa butuh pujian, maka
kalian akan merasakan hidup yang sesungguhnya. Kalian akan memiliki sifat Allah
tersebut.
M ; Kalau manusia menghindari sesuatu dan merasa tidak memerlukan apapun, apakah
akhirnya dapat disamakan dengan Allah ?
S ; Tidak ! walaupun manusia hidup tanpa bergantung sama sekali kepada duniawi, namun
ia tetap berbeda dengan Allah. Tidak bisa disamakan dengan Tuhan. Allah adalah
pencipta dan kalian adalah yang diciptakan. Allah berdiri sendiri, tanpa memerlukan
bantuan. Hidupnya tanpa roh, tidak merasa sakit dan kesedihan, Allah muncul
sekehendaknya.
M ; Jika Allah berkehendak, maka apakah kehendak seseorang itu karena kemauan Allah ?
S ; Untuk sampai pada jawaban itu, kita harus membedakan seseorang mana. Manusia itu
dibedakan menjadi beberapa tingkatan. Ada yang awam, ada yang khowash.
Orang awam hanya beribadah secara syariat, tanpa dapat memelihara kalbu, maka
ia masih jauh bisa berhubungan dengan Allah. Sedangkan orang-orang khowash,
termasuk para nabi, rasul, dan waliyullah, mereka beribadah secara utuh. Bahkan
sampai pula pada tingkatan hakikat. Kalau kalbunya sudah bersih dari duniawi dan
menyatu dengan cahaya Ilahi, maka kehendak dan kemauannya itu berasal dari
Allah. Perbuatannya adalah perbuatan Allah. Maka jangan heran jika ada orang
yang diberi karomah sehingga segala ucapannya menjadi bertuah.
M ; Kalau begitu, ibadahnya orang yang sudah khowash itu merupakan kehendak Allah ?
S ; Benar ! mereka mempunyai kejernihan akal budi. Memiliki kebersihan jiwa dan ilmu.
Shalat lima waktu dan berzikir merupakan kehendak yang sangat dalam. Bukan
kehendak nafsunya, namun kehendak Allah. Semangatnya sedemikian besar.
Mereka shalat tidak mengharapkan pahala, tetapi merupakan suatu kewajiban (diri)
dan pengabdian. Badan haluslah yang mendorong untuk menjalankan.
M ; Banyak orang melakukan shalat tetapi tidak menyentuh kepada Yang Disembah.
Ini bagaimana ?
S ; Memang banyak orang yang secara lahiriah tampak khusuk shalatnya. Bibirnya sibuk
mengucapkan zikir dan doa-doa, namun hatinya ramai oleh urusan duniawi
mereka. Islam yang demikian ini ibarat kelapa, mereka hanya makan serabutnya.
Padahal yang paling nikmat adalah buah/daging kelapa dan air kelapanya. Mereka
sembahyang lima waktu sebatas lahiriah saja. Tidak berpengaruh sama sekali
kepada akal budinya. Padahal sembahyang itu diharapkan dapat mencegah keji
dan munkar namun mereka tak mampu melakukannya dalam kehidupan sehari-
hari. Kalaupun hakikat shalatnya itu membekas pada budinya itupun hanya sedikit.
Buat apa sembahyang lima kali jika perangainya buruk ? masih suka mencuri dan
berbohong. Untuk apa bibir lelah berzikir menyebut asma Allah, jika masih
berwatak suka mengingkari asma. Kadang-kadang pula mereka berharap pahala.