Dokumen tersebut membahas tentang ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang merupakan kerangka kerja untuk membentuk zona perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara. AFTA diluncurkan pada 1993 dengan tujuan menghapus hambatan perdagangan secara bertahap antar negara ASEAN untuk menciptakan pasar tunggal melalui penurunan tarif dan non-tarif."
2. 2
Bab . 1
Pendahuluan
Pada 8 Agustus 1967, para pemimpin lima negara di kawasan Asia
Tenggara, yakni Malaysia, Filipina, Indonesia, Singapura dan Thailand
berkumpul di Bangkok dan sepakat meluncurkan Deklarasi ASEAN guna
membentuk Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Association of South
East Asian Nations/ASEAN). Deklarasi Bangkok ini memuat kesepakatan dan
tekad bersama negara anggota ASEAN untuk menjadikan kawasan Asia
Tenggara menjadi kawasan terpadu. Untuk itu negara anggota ASEAN sepakat
untuk menjalin hubungan persahabatan, dan kerjasama melalui usaha dan
perjuangan bersama, serta dengan penuh hikmat bertekad mengantarkan
seluruh bangsa Asia Tenggara menuju kedamaian, kebebasan dan kemakmuran
bersama. Dalam deklarasi ini juga ditegaskan ASEAN terbuka bagi negara-
negara Asia Tenggara lainnya, yang ingin turut bergabung menggalang
kerjasama, sesuai dengan maksud dan tujuan pembentukan ASEAN.
Kemudian menyusul ikut bergabung beberapa negara di kawasan Asia
Tenggara lainnya, yakni Brunei Darussalam pada 8 Januari 1984, Vietnam (28
Juli 1995), Laos dan Myanmar (23 Juli 1997), dan belakangan Kamboja (30 April
1999). Dengan Dengan bergabungnya negara-negara CLMV (Kambodya, Laos,
Myanmar, dan Vietnam), sudah ada 10 negara Asia Tenggara yang bernaung
dibawah panji ASEAN, dengan jumlah penduduk 550 juta jiwa, atau 8.5% dari
total penduduk dunia.
Karakteristik, perekonomian negara-negara anggota ASEAN sangat
beragam, jika dilihat dari jumlah penduduk, tingkat pendapatan, dan struktur
ekonominya. Dilihat dari jumlah penduduk, Indonesia dengan penduduk 215
juta adalah yang terbesar dan Brunei dengan penduduk 365 ribu jiwa
merupakan yang terkecil. Dalam hal tingkat pendapatan, Singapura dengan
tingkat pendapatan tertinggi (US$. 20,515 perkapita) dan struktur perekonomian
yang didominasi sektor jasa, berada diujung depan dan tiga negara Myanmar
(US$ 140 perkapita), Kambodya (US$ 300 perkapita) dan Laos (U5$ 330
perkapita) dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor pertanian berada
diujung lainnya.
3. 3
Adapun maksud dan tujuan pembentukan ASEAN antara lain adalah :
1) Mempercepat pertumbuhan ekonomi, perkembangan sosial dan
pembangunan budaya di kawasan Asia Tengara, melalui kerjasama di
berbagai bidang dalam semangat kebersamaan dan kemitraan demi
mewujudkan masyarakat Asia Tenggara yang dama dan sejahtera,
2) Memelihara perdamaian dan stabilitas kawasan melalui pengembangan
sikap saling menghormati sistem peradilan dan peraturan perundangan
yang berlaku di setiap negara anggota sesuai dengan asas-asas Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama, negara anggota
ASEAN sepakat untuk mematuhi prinsip-prinsip dasar ASEAN yang telah
dimatangkan dan diikrarkan pada Pertemuan ASEAN I tanggal 24 Februari
1976, sebagai berikut :
1) Negara anggota harus saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan,
kesetaraan, integritas teritorial dan integritas bangsa masing-masing,
2) Negara anggota berhak penuh untuk mempertahankan eksistensi negara
masing-masing dari intervensi, subversi, atau paksaan dari pihak
manapun,
3) Negara anggota tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota
lainnya,
4) Perbedaan pendapat atau perselisihan diantara negara anggota
diselesaikan dengan cara-cara damai,
5) Negara anggota menghindarkan ancaman atau penggunaan kekuatan,
6) Kerjasama antar negara dilaksanakan secara efektif.
Setelah terbentuknya ASEAN, tiga dasawarsa kemudian, pada 15
Desember 1997 bertempat di Kuala Lumpur para petinggi negara anggota
ASEAN berkumpul dan sepakat untuk menegaskan ulang maksud dan tujuan
ASEAN, khususnya yang terkait dengan upaya mewujudkan kawasan Asia
Tenggara yang damai dan sejahtera. Dalam talian ini disepakati bahwa,
peningkatan kerjasama regional dalam semangat kesetaraan dan kemitraan,
perlu semakin digalakkan. Kerjasama regional ASEAN pun diperluas, tidak
hanya melibatkan negara Anggota ASEAN, melainkan dengan negara sahabat
lainnya melalui pengembangan hubungan dialogis dalam rangka membahas
kerjasama ekonomi yang lebih mendalam. Mitra dialog ASEAN terus bertambah
sehingga antara lain meliputi China, Jepang Korsel, India, Uni Eropa, Amerika
Serikat (AS), Kanada, Rusia, Australia dan Selandia Baru.
Selain itu ditetapkan visi masa depan ASEAN 2020 yang intinya
menyatakan: negara anggota akan selalu bersikap terbuka, hidup berdampingan
4. 4
satu sama lain dalam kedamaian, keutuhan dan kesejahteraan, serta menjalin
ikatan kemitraaan demi mewujudkan sebuah Komunitas Asia Tenggara yang
saling menghargai dan penuh saling pengertian. Asia Tenggara di masa depan
merupakan kawasan terpadu, wadah bagi bagi kepentingan setiap negara
anggota, zona damai dan berdaulat yang netral. Pada 2020, Asia Tenggara harus
sudah menjadi sebuah kawasan damai, aman dan utuh, serta terbebas dari
konflik kepentingan antar negara, dan terbebas dari berbagai bentuk
kemungkinan kekuatan senjata.
Secara organisatoris kegiatan administratif ASEAN diselenggarakan oleh
sebuah sekretariat bersama yang dikenal sebagai Sekretariat ASEAN dan
berkantor di Jakarta. Sekretariat ASEAN juga menyediakan data statistik
(ASEAN Statistical Yearbook) dan informasi lainnya menyangkut ASEAN,
yang disajikan dalam bentuk publikasi tercetak maupun dalam bentuk
multimedia CD Rom interaktif, yang semuanya dapat diperoleh di Sekretariat
ASEAN yang beralamat di Jl Sisingamangaraja No. 70A Jakarta, 12110, telepon
(6221) 7262991/7243372, fax (6221) 7398234/7243504, emai : lim@asean.or.id.
Untuk mempercepat proses integrasi ASEAN di masa depan peran Sekretariat
ASEAN tentunya perlu lebih diberdayakan dengan memberikan cakupan tugas,
kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas, tidak sekedar melaksanakan
kegiatan administrasi.
Pembentukan AFTA
Kerjasama regional dalam bidang ekonomi dikalangan negara-negara
anggota ASEAN kemudian lebih dikongkritkan dalam wujud pembentukan
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA). Embrio pembentukan AFTA ini
sebenarnya sudah muncul sejak lama, yakni sejak Oktober 1991, pada Pertemuan
Pejabat Ekonomi Senior (SEOM) ASEAN di Kuala Lumpur, dimana para menteri
ekonomi ASEAN sepakat mengamandemen usulan Thailand untuk membentuk
AFTA dan selanjut pada pertemuan AEM ke 23 di Kula Lumpur, disepakati
pembentukan sebuah kawasan perdagangan bebas regional ASEAN dalam
kurun waktu 15 tahun.
Embrio pembentukan AFTA ini kemudian dicetuskan kembali pada
konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN IV di bulan Januari 1992, yang
diselenggarakan di Singapura. Setahun kemudian, pada Januari 1993 AFTA
mulai diluncurkan. Para pemimpin ASEAN sepakat menandatangani deklarasi
pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) dan mensyahkan
perjanjian dalam Kerangka Meningkatkan Kerjasama Ekonomi ASEAN
(Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation). Dalam
hubungan ini, semua negara ASEAN sepakat untuk mengemban pelaksanaan
AFTA yang pembentukannya berlangsung selama 15 tahun. Selama kurun
5. 5
waktu tersebut, negara anggota ASEAN harus mengikuti program penurunan
tarif bea masuk semua jenis barang (dengan beberapa perkecualian), hingga
mencapai 0 – 5 % pada 1 Januari 2008.
Dalam rangka mewujudkan pembentukan zona perdagangan bebas ini,
negara ASEAN sepakat menghapus hambatan-hambatan perdagangan secara
bertahap, guna membentuk pasar yang lebih bebas diantara sesama negara
anggota. Termasuk di dalamnya penurunan tariff bea masuk atas barang-barang
yang diperdagangkan oleh anggota ASEAN, dan penghapusan kuota dan
hambatan non tariff lainnya yang dapat membatasi arus barang impor dari
sesama negara anggota ASEAN. Namun negara anggota ASEAN masih
diperkenankan untuk mengatur sendiri tariff bea masuk barang impor dari
negara-negara non ASEAN.
Secara ringkas pembentukan AFTA dapat digambarkan sebagai berikut.
Pada bulan Desember 1992, para kepala pemerintahan dari enam negara di Asia
Tenggara menandatangani ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang bertujuan
untuk menjadikan wilayah Asia Tenggara sebagai Kawasan Perdagangan Bebas
(Free Trade Area). Kesepakatan ini diwujudkan dalam implementasi skema
CEPT (Common Effective Preferential Tariff) yang mulai berlaku sejak 1 Januari
1994. Melalui skema CEPT ini, tarif bea masuk, untuk sebagian besar produk
diturunkan secara bertahap sehingga menjadi 0 - 5% pada awal Januari tahun
2008. Sesuai dengan perkembangan trend globalisasi dunia, target waktu
penurunan tariff dipercepat menjadi awal Januari 2003 sesuai dengan
kesepakatan para kepala pemerintahan ASEAN pada 1996. Sedangkan untuk
negara-negara Indochina diberikan waktu yang lebih lama, yaitu tahun 2004
untuk Vietnam, 2006 untuk Laos dan Myanmar serta 2008 untuk Kamboja,
mengingat mereka masuk menjadi anggota ASEAN belakangan. Tahap
selanjutnya, untuk menciptakan perdagangan bebas tersebut, disepakati untuk
menghapuskan seluruh tarif bea masuk pada tahun 2010 (untuk 6 anggota senior
ASEAN), 2012 untuk Vietnam, 2014 untuk Myanmar dan Laos, serta 2016 untuk
Kamboja. Dalam pelaksanaannya, ASEAN sudah menghapus tarif bea masuk
lebih dari setengah pos tarif yang berlaku pada akhir 2002.
Dari paparan diatas jelas bahwa Kawasan Perdagangan Bebas SEAN
(ASEAN Free Trade Area/AFTA) sebenarnya sudah terbentuk dan diberlakukan
sejak 2002. Namun berbagai kekhawatiran masih saja muncul kepermukaan,
sehubungan dengan implementasi AFTA ini. Eksistensi AFTA dinilai sebagai
ancaman yang bisa mendesak posisi usaha perdagangan dan industri domestik.
Implementasi AFTA berarti membuka kran impor sebesar-besarnya dan hanya
akan membuat barang impor membanjiri pasar dalam negeri. Membuka pintu
6. 6
pasar domestik menjadi pasar bebas yang ini hanya akan menguntungkan para
pelaku bisnis Singapura, Thailand dan Malaysia.
Semua ini sebenarnya terjadi hanya karena kekurang pahaman atau
kesalahan penafsiran dari pengertian, maksud, tujuan dan target dari AFTA.
Kata “bebas” dalam frasa “pasar bebas” diartikan sebagai segalanya (barang,
jasa, modal, tenaga ahli asing, dlsb), dibiarkan serba bebas menyerbu pasar
domestik. Padahal, singkatnya, AFTA hanya membuat arus perdagangan barang
di kawasan ASEAN menjadi semakin bebas dan lancar melalui pelaksanaan
program eliminasi tariff dan habatan non tariff, agar arus barang diantara negara
anggota ASEAN semakin lancar dan volumenya meningkat. Implementasi
penurunan tariff pun diberlakukan secara bertahap. Tidak drastis.
AFTA berlaku menyeluruh di semuah wilayah 10 negara anggota
ASEAN. Luas kawasan pasar bebas ini mencapai 4.495.493 kilo meter. Ini
merupakan suatu pasar kawasan yang sangat potensial, karena secara
keseluruhan memiliki populasi penduduk sekitar 500 juta jiwa dengan Produk
Domestik Bruto (PDB) lebih dari 735 miliar dolar AS dan nilai perdagangan lebih
dari 720 miliar dolar AS pertahun. Di kawasan pasar bebas Asia Tengara ini arus
barang sesama negara anggota ASEAN diupayakan bebas keluar masuk dengan
hambatan tariff maksimal hanya sekitar 5 %. Selain itu terbebas pula dari
hambatan non tariff jika barang yang diperdagangkan memenuhi syarat
kandungan ASEAN (ASEAN content) termasuk kandungan lokal (local content)
minimal 40 %, atau kandungan impor (import content) non-ASEAN tidak
melebih 60 %. Penurunan tariff ini akan terus berlangsung secara bertahap
hingga tahun 2010, dimana tarif produk impor dari negara anggota ASEAN akan
turun menjadi 0 %.
Pada awalnya implementasi AFTA direncanakan akan di mulai pada
2008. Namun pada sekitar 1994, para menteri ekonomi ASEAN bertemu di
Chiang Mai, Thailand. Kala itu negara-negara ASEAN memang tengah
menikmati laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bahkan laju pertumbuhan
ekonomi Indonesia masih bisa melebih 7 % pertahun. Kondisi ekonomi yang
baik ini membuat petinggi ekonomi ASEAN kala itu berpikir sangat optimis
tentang masa depan ASEAN, dan sepakat untuk mepercepat implementasi
AFTA menjadi 2003 dan belakangan pada pertemuan ASEAN 14 September 2001
di Hanoi para pemimpin ASEAN memajukan lagi pelaksanaan AFTA menjadi 1
Januari 2002. Maka, mulai awal tahun 2002 itu diberlakukan secara efektif tariff
pada kisaran 0 – 5 %. Penurunan tariff berlangsung secara bertahap. Pada 1993,
misalnya, tariff rata-rata ASEAN tercatat sekitar 12,76 %. Pada 1999 tarif rata-
rata ini telah diturunkan menjadi sekitar 4,77 %, pada 2000 turun menjadi 3,87
dan pada 2003 terus menurun menjadi 2,68 %.
7. 7
Dari tabel diatas, tampak bahwa negara di kawasan Asia Tenggara yang
paling liberal dalam perdagangan internasionalnya adalah Singapura dengan
rata-rata tariff selama periode pengamatan diatas, hanya 0,00 %. Jadi tidaklah
aneh jika negara ini dikenal sebagai negara dagang (trading nation) yang
pertumbuhan ekonominya banyak bergantung pada sektor perdagangan
internasionalnya. Singapura telah berkembang menjadi pusat perdagangan
internasional dan pusat distribusi barang di kawasan Asia Tenggara menuju
pasar global. Yang kedua adalah Brunei dengan tariff rata-rata menurun dari
1,35 % pada 1998, menjadi 0,87 % pada 2003. Sementara Malaysia berada pada
posisi ketiga dengan tariff rata-rata menurun dari 3,58 % pada 1998 menjadi 2,06
% pada 2003.
Liberalisasi perdagangan tidak dapat dipungkiri, memiliki dampak positif
pada pertumbuhan volume perdagangan dan ekonomi pada umumnya. Tak
heran jika negara-negara yang cenderung ke arah liberal dalam perdagangannya
seperti Singapura dan Malaysia menjadi negara yang paling maju perdagangan
dan perekonomiannya di kawasan Asia Tenggara. Yang menarik, negara
anggota yunior ASEAN, seperti Vietnam juga memiliki pergeseran paradigma
kearah “outward looking”. Sebagai negara berkembang yang belakangan
merdeka, Vietnam ternyata tidak berorientasi pada “inwardlooking” yang
berpotensi mendorong timbulnya proteksi industri dalam negeri yang bisa
menyebabkan industri domestik menjadi manja dan kehilangan daya saing, serta
membebani konsumen produk industri tersebut dengan harga tinggi akibat
“downstream effect” dari tingkat proteksi yang berlebihan.
Vietnam malah cenderung mengarah ke liberalisasi perdagangan dengan
tariff rata-rata terus menurun dari 6,06 % pada 1998 menjadi 2,02 % pada 2003.
Tak heran jika diantara 4 negara anggota yunior ASEAN, bahkan di kalangan
negara ASEAN lainnya Vietnam dikenal sebagai pendatang baru yang paling
maju pertumbuhan perdagangan dan ekonominya. Vietnam juga menjadi lokasi
investasi yang lebih aktraktif dimata investor asing ketimbang empat negara
Yunior ASEAN lainnya. Vietnam bahkan kini dipertimbangkan sebagai pesaing
Indonesia dalam menarik investasi asing dan sebagai tempat basis produksi
perusahaan manufaktur asing.
Pada tahap permulaan, AFTA baru diberlakukan pada enam anggota
senior ASEAN (ASEAN-6) yakni Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand
Brunei Darussalam. Empat anggota junior lainnya (ASEAN-4) menyusul
kemudian, dengan urutan sebagai berikut: Vietnam pada 2006, Laos dan
Myanmar pada 2008, serta Kamboja pada 2010.
Adapun tujuan dari AFTA adalah meningkatkan daya saing ASEAN
dalam memasuki pasar bebas dunia, dimana Asia Tenggara harus menadi sentra
8. 8
produksi berbasis teknologi. Untuk itu, negara anggota harus melakukan
liberalisasi perdagangan melalui penghapusan tariff bea masuk dan berbagai
hambatan non tariff atas barang-barang yang diperdagangkan di kawasan
ASEAN. Liberalisasi ini tidak mencakup perdagangan jasa. Terbatas hanya pada
perdagangan barang. Pembentukan kawasan perdagangan bebas ini memungkin
pergerakan barang di diantara sesama negara anggota ASEAN menjadi semakin
bebas dan lancar dan pada tingkat harga yang lebih ekonomis (karena dampak
penurunan bea masuk) sehingga menguntungkan konsumen di kawasan ini
yang pada gilirannya diharapkan akan lebih banyak membeli barang hasil
produksi ASEAN. Dengan demikian, diharapkan nilai dan volume perdagangan
intra ASEAN bisa semakin meningkatkan. Liberalisasi ini juga diharapkan
mendorong terwujudnya kerjasama dan pada gilirannya integrasi industri di
kawasan ASEAN yang mendorong timbulnya efesiensi dan daya saing yang
tinggi.
Dengan semakin meningkatnya perdagangan intra ASEAN,
meningkatnya efesiensi dan daya saing, yang menjadi pemicu pertumbuhan
industri regional, para pemodal di kawasan ASEAN akan melihat kawasan ini
menjadi semakin atraktif dan merasa lebih diuntungkan dan pada gilirannya
akan mendorong investor lama menambah modalnya dan bahkan menarik
investor baru dari manca negara untuk masuk menanamkan modalnya ke dalam
kawasan ASEAN. Semua ini pada gilirannya diharapkan akan dapat mendorong
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota ASEAN.
Target atau sasaran dari AFTA adalah menurunkan tarif bea masuk
barang impor dari sesama negara anggota ASEAN sampai 0 % dan berlaku
untuk semua jenis barang. Target ini sudah harus tercapai pada tahun 2010 di
kalangan 6 anggota senior ASEAN dan pada 1015 khusus bagi 4 anggota junior
ASEAN.
Implementasi AFTA diatur melalui mekanisme khusus yang bisa diterima
oleh semua negara anggota. Mekanisme ini tercakup dalam Skema Tariff
Preferensi Yang Efektif dan Berlaku Umum/Sama diantara negara anggota
ASEAN (Common Effective Prerefential Tariff/CEPT). Pemberlakuan CEPT
bersifat wajib, bukan sukarela (voluntary). Begitu suatu produk yang sudah
dipilih berdasarkan sektornya (produk manufaktur, barang modal dan produk
pertanian) dimasukkan kedalam Skema CEPT, semua negara peserta harus
mematuhinya.
Seluruh negara anggota ASEAN, sesuai perjanjian CEPT, diwajibkan
untuk menurunkan tariff bea masuk aneka barang yang diimpor dari negara
anggota, menjadi 0 – 5 % pada 2003 untuk negara anggota senior dan 2010 untuk
anggota junior. Sebelum mencapai batas waktu tersebut, masing-masing anggota
9. 9
boleh memberlakukan program penurunan tariff sesuai kondisi masing-masing
negara, sedang pemberlakuan tariff kepada negara non anggota ASEAN tetap
dipertahankan sesuai keperluan masing-masing anggota ASEAN. Disamping itu,
semua anggota juga juga harus mematuhi ketentuan program penghapusan non
tariff atas semua jenis barang yang diperdagangkan diantara sesama negara
anggota ASEAN.
Produk dalam skema CEPT dimuat didalam suatu daftar produk yang
diajukan oleh negara anggota untuk dimasukkan ke dalam skema tersebut.
Daftar ini meliputi cakupan produk yang terdiri dari 98 bab, uraian barang
berikut Kode HS (Harmonized System), yang didalamnya terdapat Daftar
Inklusif (Inclussion List/IL), Daftar Ekslusif Sementara (Temporary Exclusion
List/TEL), Daftar Sensitif (Sensitive List/SL) dan Daftar Pengecualian Umum
(General Exception/GE). Selain itu, juga dilengkapi dengan jadwal Program
Pengurangan Tariff Jalur Normal dan Jalur Cepat hingga tahun 2010. Daftar
diluar daftar Inklusif, berisi produk-produk yang tidak atau belum disertakan
dalam program penurunan tariff.
Daftar Inklusif memuat daftar produk yang sudah mengalami liberalisasi
melalui penurunan atau pembebasan tariff dan eliminasi hambatan non tariff.
Tarif barang dalam daftar ini sudah harus diturunkan maksimal 20 % pada 1998,
seterusnya menjadi 0 – 5 % pada 2003 (berlaku pada anggota senior ASEAN) .
Sedang untuk empat anggota yunior berlaku belakangan. Vietnam pada 2006,
Laos dan Myanmar pada 2008 serta Kamboja pada 2010. Penurunan tariff ini
akan terus berlangsung hingga menjadi 0 % pada tahun 2010 bagi anggota senior
ASEAN dan pada tahun 2015 bagi keempat anggota yunior ASEAN.
Produk yang masuk dalam Daftar Ekslusif Sementara (produk plastik,
kendaraan dan produk kimia), khususnya untuk negara anggota yang belum
siap menjalankan program penurunan tariff, masih terbebas dari liberalisasi
perdagangan. Indonesia, misalnya, pernah mengusulkan untuk menunda
penurunan tariff 66 produk kimia dan plastik hingga tahun 2003, sedang
Malaysia untuk kendaraan bermotor sampai 2005. Namun pada saatnya,
produk tersebut harus dimasukkan dalam program penurunan tariff menjadi 0 –
5 %. Sejak 1996, setiap tahun masing-masing negara anggota ASEAN
memasukkan 20 % dari item produk ekspor ke dalam Daftar Inklusif, baik
melalui Program Jalur Normal maupun Jalur Cepat.
Dalam skema CEPT, diakui juga jenis produk yang tergolong sensitif
(meliputi produk pertanian: beras, gula, gandum, bawang putih dan cengkeh).
Produk ini dimasukkan kedalam Daftar Produk Sensitive (Sensitive List). Untuk
produk semacam ini diberi kesempatan lebih lama sebelum dimasukkan dalam
daftar Inklusif. Penurunan tariff 0 – 5 %, penghapusan hambatan non tariff baru
10. 10
diberlakukan pada 2010 khusus untuk 6 anggota senior ASEAN dan 2018 untuk
4 anggota yunior ASEAN.
Ada produk yang secara permanen dibebaskan dari kewajiban mengikuti
program penurunan tariff. Ini meliputi produk yang dikategorikan sebagai
produk untuk melindungi keamanan nasional, moral masyarakat umum,
kehidupan dan kesehatan manusia, hewan dan tanaman, barang seni, serta
benda bersejarah dan bernilai arkeologis. Misalnya, senjata, amunisi, obat
terlarang dan benda purbakala/bersejarah. Produk-produk semacam ini
dimasukkan ke dalam Daftar Pengecualian Umum.
Sebagaimana telah diulas dimuka, target AFTA adalah penurunan tariff
secara bertahap hingga menjadi 0 % pada tahun 2010 bagi anggota senior
ASEAN dan pada tahun 2015 bagi keempat anggota yunior ASEAN. Program
penurunan tariff ini dilakukan melalui dua jalur, yakni Jalur Normal (Normal
Track) dan Jalur Cepat (Past track). Program penurunan tariff dalam dua jalur ini
dikemas dalam satu paket dengan Daftar Produk CEPT. Berikut gambaran
ringkas program pada kedua jalur tersebut :
1) Program Jalur Normal.
Produk yang dimasukkan ke dalam Program Jalur Normal mendapat
perlakuan sebagai berikut :
• Produk dengan tarif diatas 20 % tarifnya diturunkan dalam dua
tahapan. Pertama diturunkan menjadi 20 % dalam kurun waktu 5
tahun terhitung sejak bulan Januari 1993, dan selanjutnya
diturunkan menjadi 0 – 5 % dalam kurun waktu selama 5 tahun
berikutnya, sesuai dengan jadwal yang disepakati.
• Produk dengan tarif sebesar 20 % dan kurang dari 20 % diturunkan
menjadi menjadi 0 – 5 % selama kurun waktu 10 tahun (hingga 1
Januari 2003).
2) Jalur Cepat.
Produk yang dimasukkan kedalam Program Jalur Cepat tarifnya harus
diturunkan tarifnya menjadi 0 – 5 % dalam kurun waktu 10 tahun ,
dengan jadwal sebagai berikut :
• Produk yang memiliki tariff diatas 20 % diturunkan menjadi 0 – 5 %
terhitung mulai sejak tahun 1993, dalam kurun waktu 10 tahun, atau
hingga 1 Januari 2003.
11. 11
• Produk dengan tariff sebesar 20 % atau kurang dari 20 % diturunkan
menjadi 0 – 5 % dalam kurun waktu 7 tahun atau hingga 1 Januari
2000.
Produk-produk yang dimasukkan ke dalam Jalur cepat meliputi minyak
nabati, bahan kimia, pupuk, barang dari karet, kertas, perabot dari rotan
dan kayu, elektronik, batu permata dan barang perhiasan, semen, obat-
obatan, plastik, barang dari kulit, tekstil, serta barang dari keramik dan
kaca.
Perdagangan Intra ASEAN/AFTA
ASEAN sudah cukup lama terbentuk, demikian pula Kawasan
Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) juga sudah diimplementasikan. Namun
sayangnya pencapaian realisasi perdagangan diantara negara-negara anggota
ASEAN (perdagangan intra ASEAN) ternyata masih belum menunjukkan
prestasi yang cukup membanggakan, terutama jika dibandingkan dengan
capaian perdagangan intra kawasan perdagangan bebas yang ada di belahan
lain bumi lainnya, seperti Uni Eropa dan Kawasan Perdagangan Bebas Amerika
Utara (North America Free Trade Area/NAFTA). Rendahnya capaian ini
menjadi tantangan yang harus dihadapi dengan serius oleh pihak-pihak terkait
agar perdagangan intra ASEAN dapat terus meningkat.
Total perdagangan ASEAN mencapai US $ 706.7 milyar tahun 2002 atau 5.7%
dari total perdagangan dunia. Walaupun demikian, dari data Sekretariat ASEAN
terlihat bahwa pangsa total perdagangan ASEAN dalam perdagangan global
sedikit menurun dari 5.7% pada 1993 menjadi 5.5% tahun 2002. Menurunnya
pangsa ASEAN pada tahun 2002, dapat dipahami, mengingat krisis ekonomi
Asia yang terjadi pada 1997 telah membawa dampak negatif pada kinerja
perdagangan internasional negara-negara ASEAN.
Selama periode tahun 1993-2002, perdagangan intra ASEAN meningkat rata-
rata 7.3% pertahun, yaitu dari US$. 84.2 milyar tahun 1993 menjadi US$. 159.4
milyar pada tahun 2002. Laju perkembangan perdagangan intra ASEAN lebih
besar dibandingkan laju pertumbuhan perdagangan global ASEAN yang selama
periode yang sama hanya mencapai pertumbuhan 5.6% pertahun. Produk utama
yang diperdagangkan sesama negara ASEAN adalah produk elektronik, minyak
mentah dan bahan bakar, gas alam, tembakau dan rokok, karet alam, tembaga,
dan kertas. Eksportir utama dalam perdagangan intra ASEAN adalah Singapura
(38.8%), Malaysia (24.9%) dan Thailand (16.9%). Sedangkan importir utamanya
adalah adalah Singapura (42.7%), Malaysia (22.5%), dan Thailand (14.8%).
12. 12
Walaupun skema penurunan tarif dalam rangka AFTA sudah mulai berlaku
sejak tahun 1994, tetapi pangsa perdagangan intra ASEAN di dalam total
perdagangan ASEAN dengan dunia, tidak mengalami peningkatan secara
signifikan. Pada tahun 2002, pangsa perdagangan intra ASEAN hanya
mengalami peningkatan menjadi 22.6% dari 19.3% tahun 1993. Bila
dibandingkan dengan perkembangan perdagangan intra Kawasan Perdagangan
Bebas di belahan bumi lainnya, seperti Uni Eropa dan NAFTA, perkembangan
perdagangan intra ASEAN terasa sangat lambat. Sebagai perbandingan, pada
tahun 2000, perdagangan intra Uni Eropa sudah mencapai 80% dari total
perdagangan internasionalnya, perdagangan intra Kawasan Perdagangan Bebas
Amerika Utara (NAFTA) sudah mencapai 55%, dan perdagangan intra Kawasan
Amerika Selatan (MERCOSUR) telah mencapai 30% dari total perdagangan
global wilayah tersebut.
Walaupun demikian, intra trade di ASEAN masih lebih besar dibandingkan
dengan perdagangan intra regional di berbagai Kawasan Perdagangan Bebas
yang dibentuk oleh negara-negara berkembang lainnya seperti Andean Pact
(Amerika Tengah); CARICOM (Caribian Community and Common Market);
UDEAC (Union douaniere et Economique de I_frique Centrale); GCC (Gulf
Cooperation ; dan sebagainya (Schiff and Winters, 2003).
Menurut Schiff dan Winters (2003), rendahnya perkembangan perdagangan
intra kawasan dalam proses integrasi ekonomi regional yang dilakukan oleh
sesama negara berkembang, disebabkan oleh pasarnya yang kecil dan terpecah-
pecah, infrastruktur yang masih minim, kerangka hukum yang sangat miskin,
stabilitas ekonomi dan politik yang tidak stabil, dan besarnya intervensi
pemerintah di bidang ekonomi, sehingga integrasi industri secara regional gagal
dicapai.
Banyak yang mempertanyakan, mengapa perdagangan intra ASEAN tidak
mengalami peningkatan yang signifikan, walaupun skema CEPT sudah berjalan
selama 10 tahun. Diperkirakan setidaknya terdapat empat alasan yaitu :
• Semua negara negara ASEAN memiliki sumber daya alam yang relatif
seragam sehingga intra trade tidak meningkat secara signifikan. Sebagai
contoh, tiga negara ASEAN, Indonesia, Malaysia, dan Thailand, adalah
penghasil dan eksportir utama karet alam dunia. Demikian juga Malaysia
dan Indonesia adalah produsen dan eksportir utama minyak kelapa sawit.
Pada saat ini, Malaysia, Singapura dan Filipina adalah produsen dan
eksportir produk-produk elektronik terkemuka didunia.
• Walaupun tarif bea masuk sebagian besar produk telah diturunkan, tetapi
masih banyak hambatan non-tarif yang diterapkan oleh negara-negara
13. 13
ASEAN. Berbagai perbedaan standar dan prosedur kepabeanan masih
eksis dan menjadi penghambat kelancaran perdagangan intra ASEAN.
• Sarana Transportasi intra ASEAN belum memadai. Pada saat ini, armada
transportasi sebagian besar masih melalui Singapura sehingga arus
perdagangan langsung antar sesama negara di ASEAN masih sedikit.
Akan tetapi dominasi Singapura sebagai pelabuhan penghubung
tampaknya mulai berkurang dengan dibukanya Pelabuhan Tanjung
Pelepas di Malaysia dan Laem Chabang di Thailand sejak awal 2001.
Pemanfaatan kedua pelabuhan baru ini akan semakin meningkat apabila
rencana menghubungkan rel kereta api dari Saigon (Vietnam) ke Pnom
Penh (Kambodya) sudah direalisir. Segmen Saigon-Pnom Penh
merupakan jalur yang masih terputus untuk menghubungkan Trans
Kereta Api Asia-China dari Singapura sampai ke Beijing.
• Kurangnya investasi intra ASEAN. Investasi intra ASEAN masih sangat
rendah mengjngat tingkat pendapatan dan tabungan masyarakat ASEAN
yang juga masih relatif rendah. Data yang dikumpulkan Sekretariat
ASEAN mencatat bahwa investasi intra ASEAN selarna periode 1995-2001
hanya berjumlah US$. 15.2 milyar atau kurang dari sepersepuluh total
investasi asing di ASEAN yang mencapai US$. 142.3 milyar dalam
periode yang sama. Sumber utama investasi intra ASEAN adalah
Singapura (44.7%) disusul Malaysia (13,8%) dan Thailand (9.2%).
Sedangkan negara ASEAN penerima investasi intra ASEAN adalah
Thailand (25.6%), Singapura (18.5%) dan Malaysia (15.9%).
Disamping itu, sejak krisis moneter yang terjadi di Asia (1997-1998), investasi
asing yang masuk ke ASEAN mengalami kemunduran. Banyak PMA yang
hengkang dari ASEAN dan diperkirakan pindah menuju China. Data dari
UNCTAD menunjukkan investasi asing langsung (foreign direct
investment/FDI) khusus untuk sektor elektronik selama periode 1998-2001, ke
ASEAN hanya bertambah US$. 19.8 milyar atau kurang dari U5$. 5 milyar
pertahun. Sedangkan dalam periode yang sama, investasi ke China rneningkat
sebesar US $ 33.5 milyar atau rata-rata US$. 8.7 milyar pertahun.
Sesuai dengan studi yang dilakukan oleh McKenzey (2003), ternyata daya
saing ASEAN, baik dalam menarik investasi maupun dalam peningkatan ekspor,
mengalami kemunduran dibandingkan dengan China. Sebagai contoh, ekspor
produk elektronik ASEAN meningkat rata-rata 3% pertahun selama periode
tahun 1996-2001, sedangkan ekspor elektronik China meningkat rata-rata 30%
per tahun selama periode yang sama. Dalam rangka meningkatkan integrasi
ASEAN untuk meningkatkan perdagangan intra ASEAN dan untuk
meningkatkan daya saing ASEAN dalam menarik investasi asing, McKenzey
14. 14
(2003) menyarankan dua hal :
1) ASEAN perlu memprioritaskan liberalisasi dan integrasi dua sektor
utama yaitu electronic dan consumer goods. ASEAN memiliki potensi yang
besar untuk menarik investasi global dan investasi intra ASEAN yang
dapat menjadikan ASEAN sebagai production base untuk kedua sektor
tersebut. Disamping itu, konsumsi domestik ASEAN sangat besar untuk
kedua sektor diatas sehingga skala ekonominya dapat dengan mudah
terlampaui.
2) ASEAN perlu memperkuat lembaga penyelesaian sengketa
dagang/ekonomi yang terjadi diantara negara anggota ASEAN. Pada
saat ini, sengketa dagang yang terjadi dibawakan dalam Sidang Menteri-
menteri Ekonomi (AEM), dan sering diselesaikan dengan cara
kekeluargaan tanpa kepastian hukum yang tetap.
Berbagai informasi, penilaian para pakar maupun petinggi ASEAN sendiri,
serta tajuk rencana/editorial yang dimuat di berbagai media massa
mengindikasikan, implementasi kerjasama ASEAN memang masih jauh dari
efektif. Mantan PM Singapura Goh Chok Tong, misalnya, menilai, berdasarkan
masukan dari kalangan bisnis, arus perdagangan antar negara ASEAN dalam
rangka AFTA masih tetap rendah karena masih banyak masalah hambatan
perdagangan yang bersifat non tariff. Menurut Goh, sementara kita telah
melakukan kemajuan dalam penurunan tariff, ternyata kita masih jauh untuk
layak disebut sebagai pasar terintegrasi (Kompas 7-10-2003).
Ralf Emmers pengamat ASEAN dari Institute Defense and Strategic Studies
yang berkantor Singapura menyatakan, ASEAN bagus dalam retorika, namun
lemah dalam implementasi (Kompas 5-10-2003). Tajuk rencana Kompas
menyatakan “Salah satu kritik yang mencuat sekarang adalah kesungguhan para
pemimpin ASEAN untuk menjadikan kawasan ini sebagai kawasan bisnis.
Sayangnya, bukan hanya greget pelaksanaannya yang tak tampak, bahkan
keberpihakannya pun tak tampak Pemerintah negara ASEAN dikritik tidak
memiliki visi bisnis dan oleh karenanya dituntut untuk memiliki visi bisnis.
(Kompas 7-8-2003).
Ada sejumlah masalah yang diperkirakan membuat dunia usaha Indonesia
enggan berpartisipasi memanfaatkan peluang bisnis dalam kerjasama ASEAN,
misalnya masih terdapatnya banyak hambatan di dalam negeri yang
menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang pada gilirannya menghambat
kelancaran bisnis dan perdagangan di kawasan ASEAN dan menurunkan gairah
memanfaatkan peluang AFTA. Selain itu, tingkat kesadaran (awareness) dan
kepedulian dunia usaha dan masyarakat akan eksistensi kerjasama ASEAN juga
15. 15
diperkirakan masih rendah, kendati di tingkat elit politik dirasakan sudah
gegap gempita. Mereka umumnya kurang tertarik dan bahkan belum siap
menerima kenyataan diberlakukannya kerjasama ASEAN dengan segala
konsekuensinya.
Ada juga penilaian dan persepsi pesimis yang berkembang di tengah
masyarakat, bahwa pada akhirnya kerjasama ASEAN hanya akan lebih
menguntungkan Singapura dan Malaysia. Indonesia hanya akan terus menjadi
negara pelengkap penderita (supporting country). Pasar dan sumber daya
alamnya akan terus tereksploitasi untuk kemajuan negara tetangga yang sejak
dulu cenderung menganggap Indonesia sebagai hinterland tersebut.
Penyebab lainnya, akses dan keterlibatan langsung dunia usaha dalam
pembuatan kerjasama ASEAN, sejak masa pemerintahan Orde baru, sangat
terbatas. Bahkan mereka nyaris tidak dilibatkan secara formal dan langsung
dalam formulasi kerangka kerjasama bisnis ASEAN. Mereka hanya menerima
dan harus melaksanakan perjanjian kerjasama ASEAN. Padahal, sebagai
pelaksana lapangan, merekalah yang paling memahami, terlibat langsung dan
menjadi target dari kebijakan kerjasama ASEAN. Merekalah yang akan
menerima konsekuensi dari dibuatnya perjanjian kerjasama bisnis, perdagangan
dan investasi ASEAN. Dalam era reformasi dimana demokrasi ekonomi harus
semakin ditegakkan, pola pendekatan dari atas ke bawah (up to bottom), tidak
lagi dapat dipertahankan. Di di beberapa negara anggota Uni Eropa, penentuan
penggunaan mata uang Euro sebagai mata uang domestik, sekaligus mata uang
regional, misalnya, memerlukan referendum, setidaknya jajak pendapat. Ini
merupakan salah satu contoh dari demokrasi ekonomi.
Pemerintah dan dunia usaha harus saling mendengar dan saling bahu
membahu. Keterlibatan dan eksistensi formal pebisnis secara langsung dan aktif,
mulai tampak dengan dibentuknya ASEAN Business Advisorry Council
(ASEAN BAC) yang telah menyelenggarakan ASEAN Business and Investment
Summit (ASEAN BIS) pada bulan Oktober 2003 di Bali dan dihadiri oleh para
petinggi Negara ASEAN. Menurut kalangan ASEAN BAC, selama ini belum ada
akses resmi dan formal dari para pebisnis untuk dapat secara langsung
mengutarakan dan menyampaikan masukan kepada para pemimpin
pemerintahan ASEAN. Dengan dibentuknya forum ini, diharapkan peluang
terjalinnya kerjasama yang lebih substansial, mengena sasaran dan kongkrit,
diantara sesama pengusaha maupun pemerintahan ASEAN, akan semakin
terbuka luas dan transparan. Dengan demikian akan membuat implementasi
kerjasama ASEAN semakin efektif.
16. 16
Bab 2.
Mencermati Proses Integrasi ASEAN - AFTA
Pada kepala pemerintahan ASEAN menyadari lambatnya pertumbuhan intra
trade di ASEAN. Pada bulan Oktober 2003 di Bali, Kepala-kepala pemerintahan
ASEAN sepakat untuk menjadikan ASEAN sebagai kesatuan ekonomi selambat-
Iambatnya tahun 2020 sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Bali II. Pokok-
pokok kesepakatan tersebut adalah sebagai berikut :
• Menetapkan mekanisme baru untuk memperkuat pelaksanaan
kesepakatan yang sudah ditandatangani seperti ASEAN Free Trade Area
(AFTA), ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) dan ASEAN
Investment Area (AIA).
• Mempercepat integrasi ekonomi melalui pemilihan sektor prioritas
• Memfasilitasi pergerakan pebisnis, tenaga kerja terlatih dan terampil.
• Memperkuat kelembagaan ASEAN termasuk memperbaiki mekanisme
penyelesaian sengketa di ASEAN dalam rangka adanya kepastian hukum
bagi semua penyelesaian sengketa bidang ekonomi yang terjadi.
Tahap pertama, Menteri-menteri Ekonomi ASEAN memutuskan 11 sektor
produksi untuk diprioritaskan proses pengintegrasiannya sebagai langkah
strategis yang perlu dilakukan guna mempercepat integrasi ekonomi ASEAN.
Disepakati juga agar sejumlah negara ASEAN aktif menjadi kordinator
pengintegrasian 11 sektor produksi tersebut yaitu : sektor Kayu atau Wood-
based Products dan Otomotif (dengan Indonesia sebagai koordinator); Karet
atau Rubber-Based Products serta Tekstil dan produk Tekstil (Malaysia); Agro-
Based Products dan Perikanan (Myanmar); Elektonik (Philipina); e-ASEAN dan
Produk Kesehatan (Singapura); Penerbangan dan Pariwisata (Thailand).
Tahap kedua membentuk badan konsultasi atau Solvit di masing-masing
negara anggota ASEAN untuk memberikan informasi kepada dunia usaha
menyangkut masalah-masalah apa saja yang layak dibawa ke mekanisme
penyelesaian sengketa di ASEAN atau masalah-masalah yang cukup di
selesaikan secara internal.
Kebijakan yang disepakati untuk mempercepat integrasi tersebut dilakukan
dengan pendekatan yang telah direkomendasikan dalam integrasi produk
17. 17
prioritas dimaksud yaitu :
1) Menyatukan seluruh kekuatan ekonomi ASEAN demi capaian manfaat
secara regional;
2) Mempermudah dan mempromosikan investasi intra ASEAN;
3) Memberikan insentif untuk kegiatan manufaktur di kawasan ASEAN
4) Mengutamakan investasi bahan baku intra ASEAN
5) Mengembangkan dan mempromosikan produk dan jasa “Made in
ASEAN".
Sedangkan langkah-Iangkah yang dilakukan antara lain:
1) Penurunan tarif sampai nol persen di dalam ASEAN sebeJum tahun 2010;
2) Menghilangkan segera hambatan perdagangan;
3) Mempercepat pengeluaran barang dan menyederhanakan prosedur
kepabeanan
4) Harmonisasi MRA dan standard produk.
Satu hal yang menyulitkan pemerintah negara ASEAN dalam
mempercepat proses integrasi adalah kenyataan bahwa peranan pemerintah
dalam ekonomi bisnis semakin menyusut. Sebaliknya, peranan dunia usaha
semakin membesar. Dewasa ini, sebagian besar perusahaan merupakan milik
swasta domestik maupun asing. Pemerintah secara sepihak, tidak dapat
memaksakan rencana integrasi ASEAN ini, dijalankan sepenuhnya oleh dunia
usaha. Para pengusaha adalah pemodal yang selalu berpikir dan bertindak
dalam kerangka bisnis, dimana kelayakan usaha, manfaat ekonomis, untung,
rugi dan risiko menjadi pertimbangan utama dalam dunia bisnis. Apalagi dalam
era globalisasi ini, modal tanpa dapat dicegah, dapat bergerak bebas tanpa
mengenal batas-batas negara. Pemodal akan menginvestasikan modalnya di
lokasi yang paling menguntungkan, biaya rendah dan resiko rendah. Oleh
karena itu, perlu ada kerjasama yang erat antara pemerintah dan dunia Usaha
ASEAN. Kedua belah pihak harus saling mendengar dan saling mengisi dalam
memperlancar proses integrasi ekonomi ASEAN. Sejumlah pengusaha
mempertanyakan, apakah kalangan pengusaha swasta nasional sudah dilibatkan
pemerintah dalam menentukan sektor produksi yang akan dimasukkan dalam
integrasi ASEAN dan apakah permasalahan yang dihadapi pengusaha sudah
18. 18
diperhitungkan. Sebagai contoh, apakah industri kayu nasional mampu terus
bersaing dalam kondisi dimana penyelundupan bahan baku kayu terus
berlangsung secara besar-besaran.
Kendala lain sangat boleh jadi bisa datang dari perusahaan-perusahaan
multinasional. Di dunia ini pada dasarnya terdapat empat kekuatan yang
mempengaruhi roda perekonomian dunia, yakni negara-negara, organisasi
kerjasama ekonomi regional dan multilateral (WTO, Uni Eropa, NAFTA,
ASEAN, dsb), lembaga-lembaga keuangan dunia (IMF, Bank Dunia) dan
perusahaan multinasional. Yang disebut terakhir ini merupakan perusahaan
transnasional raksasa yang beroperasi, memiliki basis produksi dan jaringan
bisnis yang luas di manca negara, serta dan mempunyai loby yang kuat di
kalangan legislatif dan pemerintahan banyak negara, terlebih di negara asal
mereka.
Kita bisa lihat dari besarnya peranan perusahaan AS yang memiliki loby
yang kuat dan mampu mempengaruhi parlemen dan pemerintahan AS. Konflik
dagang AS dan China hampir meledak pada 2003, karena pemerintah AS atas
dorongan para pengusahanya, mendesak China untuk membuka pintu pasarnya
lebih luas lagi bagi masuknya produk AS serta mendesak China untuk
mengambangkan mata uang yuannya. Daya saing China disinyalir oleh para
pengusaha AS merupakan daya saing semu yang diperoleh berkat pematokan
mata uangnya terhadap dolar AS. Kita juga bisa lihat dari besarnya peranan
perusahaan multinasional Jepang pada parlemen dan pemerintahan Jepang.
Hampir semua pemberian bantuan luar negeri Jepang dikaitkan dengan
besarnya akses masuk dan dukungan pemerintah negara penerima bantuan
terhadap masuknya investasi serta kelancaran produksi dan pemasaran
perusahaan Jepang di negara tersebut. Bahkan pelaksanaan proyek-proyek
pembangunan yang didanai bantuan Jepang selalu melibatkan partisipasi
perusahaan-perusahaan Jepang.
Kehadiran perusahaan multinasional mereka di manca negara sangatlah
diharapkan, karena merekalah investor dan industrialis terbesar di dunia
internasional. Keberadaan mereka bukan hanya diharapkan mendatangkan
modal, membangun industri, menghasilkan devisa dan menciptakan lapangan
kerja, melainkan juga transfer teknologi dan pengetahuan, karena merekalah
(bukan pemerintah) pemilik teknologi canggih yang mereka bisniskan, yang
mereka peroleh lewat pelaksanaan aktivitas penelitian dan pengembangan
dengan pengorbanan biaya tinggi.
Perusahaan multinasional yang sudah bertransformasi menjadi
perusahaan global dan memiliki jargon : think globally, act locally itu,
menguasai ekonomi bisnis di banyak negara yang ditandai dengan penguasaan
19. 19
pangsa pasar yang signifikan di pasar manca negara. Sebagai contoh sederhana :
Unilever, perusahaan transnasional dari Belanda, di Indonesia menguasai
pangsa pasar yang signifikan dalam produk-produk kebutuhan rumah tangga
(consumers product). Mulai dari sabun, shampo, detergen, pembersih lantai,
pengharum ruangan, pasta gigi, sampai es krim. Jika Unilever Indonesia tidak
beroperasi, diperkirakan sepertiga rak pasarswalayan Indonesia akan kosong
dan akibatnya bisa diduga: harga kelompok produk sejenis di pasar Indonesia
akan melambung tinggi. Di Indonesia, Unilever bersama perusahaan nasional
Indofood (yang memproduksi lebih dari 500 item product) merupakan raksasa
yang menguasai sebagian besar pasar produk kebutuhan rumah tangga. Tidak
ada satupun pemilik toko, pasarswalayan, bahkan hypermarket di Indonesia
yang berani berseberangan dengan kebijakan kedua perusahaan besar ini.
Bayangkan saja, produk keduanya menguasai separuh dari rak pasarswalayan
Indonesia. Peritel Indonesia bisa terpaksa menghentikan usahanya jika tidak
mendapatkan pasokan barang dagangan dari kedua produsen gajah ini.
Sayangnya kinerja Indofood yang merajai pasar produk makanan olahan di
Indonesia itu, masih belum mengglobal.
Perusahaan transnasional umumnya memiliki strategi dan kebijakan
global di bidang produksi dan pemasaran. Dalam kerangka strategi global itu
mereka menentukan negara-negara tertentu sebagai basis produksinya dan
membuat kebijakan pemasaran yang membatasi cakupan pemasaran (market
coverage) dari unit-unit produksi tersebut. Setiap basis produksi memiliki
spesialisasi tertentu. Strategy dan global company policy dari Toyota, misalnya,
untuk daerah operasi kawasan ASEAN sudah menggariskan Indonesia sebagai
basis produksi kendaraan niaga seperti Toyota Kijang, termasuk juga kendaraan
yang masuk kategori kendaraan muti guna ukuran kecil (small multipurpose
vehicle/MPV) merek Avanza dengan market coverage meliputi pasar otomotif
kawasan Asia Tenggara. Sementara Thailand ditetapkan sebagai basis produksi
kendaraan sedan dan truck bak terbuka.
Tetsuo Kitagawa, juru bicara Toyota Jepang dalam suatu acara jumpa pers
menyatakan, kedua negara anggota ASEAN ini memiliki peran kunci dalam
strategi global Toyota untuk pasar otomotif di kawasan Asia Tengara. Kedua
negara itu dipilih untuk menjadi basis produksi dengan klasifikasi diatas karena
unit pabrikasi dan mitra lokal Toyota di kedua negara tersebut dinilai memiliki
kemampuan dan pengalaman untuk memproduksi produk otomotif dengan
spesifikasi seperti itu. Kedua negara itu dinilai memiliki keunggulan komparatif
dalam produksi kendaraan bermotor jenis tersebut.
Avanza produksi Toyota di Indonesia (bekerjasama dengan Daihatsu
yang sahamnya sudah dikuasai Toyota Jepang) di ekspor ke Thailand.
Sebaliknya, sedan Toyota hasil produksi Toyota Thailand, diekspor ke Indonesia.
20. 20
Toyota ASTRA di Indonesia tidak diperkenankan membuat sedan sendiri diluar
kebijakan global Toyota Jepang. Selain itu, unit-unit produksi Toyota yang
bertebaran di manca negara itu, tidak bisa menggenjot ekspor dan melakukan
penetrasi pasar luar negeri dengan sebebas-bebasnya, karena kuota ekspor dan
market coveragenya sudah diatur oleh Toyota Jepang yang merupakan principal
companynya. Ekspor bebas hanya akan menggangu pemasaran unit produksi
Toyota di negara lain. Sulit bagi negara manapun di dunia ini untuk merubah
strategi dan kebijakan global perusahan-perusahan multinasional, walaupun
dengan tujuan mewujudkan integrasi ekonomi di kawasan tertentu. Semua
perusahaan multinasional produsen otomotif Jepang, Korea AS, Eropa dan
negara maju lainnya, memiliki kebijakan global yang kurang lebih sama.
Perusahaan global memiliki tolok ukur ekonomis tersendiri untuk
menentukan basis produksi dan market coveragenya. Untuk menentukan lokasi
investasi basis produksinya, maka rendahnya komponen biaya lokal, rendahnya
risiko, ketersediaan infrastruktur yang memadai serta dukungan fasilitas,
insentif atau kemudahan dari pemerintah seperti insentif perpajakan, misalnya,
bisa merupakan ukuran utama. Kita bisa belajar dari kasus hengkangnya Sony
dari Indonesia. Hengkangnya Sony menarik perhatian dunia karena Sony
merupakan ikon industri elektronika dunia. Induk Sony di Jepang berdasarkan
strategi dan kebijakan globalnya, memutuskan menutup pabrik Sony di
Indonesia dan merelokasinya ke Serawak, Malaysia. Mengapa Sony
memindahkan pabriknya di Indonesia, padahal lini produksi Sony di Indonesia
tergolong lengkap, sanggup memproduksi beragam produk, dari audio video,
sampai pesawat televisi ukuran besar. Ini karena produksi Sony di Indonesia
dirasakan sudah tidak efesien lagi sehingga daya saingnya lemah. Ekonomi
biaya tinggi di Indonesia, minimnya insentif perpajakan, dan kenaikan upah
buruh (yang sering dibarengi dengan demonstrasi buruh) membuat produksi
Sony menjadi tidak efesien dan daya saing produksi Sony Indonesia menjadi
lemah. Produk Sony Indonesia sulit bersaing dengan produk elektronik murah
dari China dan serbuan barang selundupan yang dijual dengan harga dibanting.
Sialnya lagi, barang selundupan itu ternyata merupakan produk Sony dari
negara ASEAN lainnya, terutama dari Malaysia.
Pemerintah Indonesia mencoba mendekati pimpinan Sony agar tidak
hengkang dari negeri ini. Namun Sony tetap melaksanakan niatnya. Tidak ada
yang bisa menghalangi impelementasi strategi dan kebijakan global perusahaan
multinasional ini. Pabrik Sony tetap dipindahkan ke Malaysia yang dinilai
memiliki keunggulan komparatif yang tinggi dalam produksi barang elektronika
karena pemerintahnya amat mendukung pengembangan industri elektronik,
memangkas ekses birokrasi yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi,
infrastruktur memadai dan memberikan insentif perpajakan yang
menggairahkan investasi industri elektronika. Di negeri jiran ini, Sony selain
21. 21
menikmati berbagai kemudahan, juga terhindar dari ekonomi biaya tinggi, bebas
pusing dari persoalan serbuan barang selundupan, sementara kebutuhan akan
buruhnya dipenuhi dengan memanfaatkan buruh migran asal Indonesia yang
tingkat upahnya relatif rendah dan bebas dari demo dan tekanan kalangan
perburuhan. Sementara Indonesia sendiri tetap dijadikan pasar bagi produk
Sony Malaysia dengan dukungan layanan purna jual yang tidak berkurang
dibanding saat pabrik Sony masih beroperasi di Indonesia. Menggarap pasar
Indonesia merupakan persoalan mudah. Dengan memanfaatkan peluang AFTA,
pasar Indonesia menjadi sangat terbuka bagi Sony Malaysia.
Integrasi Alamiah
Proses integrasi industri atau bisnis di kalangan dunia bisnis ASEAN,
dalam kasus-kasus tertentu, sebenarnya sudah berjalan secara alamiah, tanpa
dorongan atau campur tangan kebijakan pemerintah, baik secara bilateral
maupun regional. Proses integrasi, misalnya, dapat berjalan lewat
pengambilalihan (akusisi) saham perusahaan di negara ASEAN oleh perusahaan
dari negara ASEAN lainnya, atau lewat pertukaran saham (share swap) antara
saham suatu perusahaan di negara ASEAN tertentu dengan saham perusahaan
dari negara ASEAN lainnya.
Di Indonesia, dalam kenyataannya, proses integrasi di sektor tertentu,
seperti perbankan dan telekomunikasi, sebenarnya sudah berjalan dan ini terjadi
lewat pembelian atau pengambilalihan (akuisisi) saham milik perusahaan
Indonesia oleh perusahaan dari negara ASEAN lainnya. Meningkatnya
keterbukaan pasar modal Indonesia terhadap masuknya arus investasi asing,
berlangsungnya penjualan kepemilikan saham pemerintah lewat program
privatisasi BUMN, atau perusahaan yang dibawah penguasaan BPPN, telah
membuka peluang besar terjadinya proses integrasi lewat akuisisi saham ini.
Beberapa bank di Indonesia, misalnya, sebagian sahamnya sudah diambilalih
oleh investor dari Singapura dan Malaysia.
Di sektor telekomunikasi Indonesia, peranan Singapura sangat menonjol.
Pada 2001, Singapore Telecomunication Ltd (Singtel) mengambil 22,30 % saham
perusahaan operator telepon seluler, Telkomsel, seharga 602 juta dolar AS dari
tangan pemilik lamanya, KPN, sebuah perusahaan telekomunikasi dari Belanda.
Langkah Singtel tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan terus berlanjut
dengan mengambilalih 13 % saham (senilai 429 juta dolar AS) dari tangan PT
Telkom. Tingginya nilai pengambilaihan ini karena prosesnya disertai dengan
penggabungan Telkommobile (milik Telkom) kedalam Telkomsel. Dengan
demikian, komposisi kepemilikan saham Telkomsel menjadi 65 % dikuasai PT
Telkom dan sisanya (35 %) dikuasai oleh Singtel.
22. 22
Kepanjangan tangan Singapura dalam industri telekomunikasi Indonesia
terus berlanjut dengan pengambilalihan saham Indosat. Sebagaimana diketahui,
pemerintah Indonesia mendivestasi 41 % saham PT Indosat yang merupakan
induk Satelindo (perusahaan operator telepon seluler). Singapore Technology
Telemedia (STT) kemudian berhasil keluar sebagai pemenang tender divestasi
saham Indosat senilai Rp 5,62 triliun itu. Penjualan saham Indosat ketangan
Singapura, sempat mengundang kontroversi yang hangat. Pasalnya, lewat
proses akuisisi ini, perusahaan milik negara (BUMN) Singapura, Temasek
Holding, yang merupakan induk dari Singtel dan STT, dengan berhasil
menguasai 35 % saham Telkomsel (operator telepon seluler) dan 41 % saham
Indosat (induk perusahaan operator telepon seluler Satelindo) berpotensi besar
untuk mendominasi usaha operasi telekomunikasi seluler Indonesia. Namun
kontroversi ini akhirnya sirna juga, berlalu bersama dengan waktu.
Alternatif lain dari proses integrasi adalah membuka perusahaan induk di
suatu negara ASEAN. Modus ini sebenarnya sudah berjalan sejak satu
dasawarsa terakhir ini. Perusahaan-perusahaan besar Indonesia, guna
meluaskan sayap bisnisnya ke manca negara, telah memindahkan perusahaan
induknya ke negara lain, atau membentuk perusahaan baru di negara lain yang
berperan sebagai perusahaan induknya. Selanjutnya semua perusahaannya
yang sudah lama eksis di Indonesia dijadikan anak perusahaan induk yang
bermarkas di luar negeri itu (offshore).
Perusahaan induk atau kantor pusat itu tidak selalu harus merupakan
sebuah kantor yang besar dengan jumlah pegawai yang banyak. Banyak juga
dalam bentuk kantor kecil (small office) yang sebenarnya lebih pantas berfungsi
sebagai kantor perwakilan atau kantor pemasaran di luar negeri. Cara lain yang
juga lazim ditempuh adalah membeli perusahaan tertentu di luar negeri
(utamanya yang sudah masuk bursa) dan kemudian menjadikan perusahaan
tersebut sebagai perusahaan induk. Kelompok usaha milik konglomerat Eka
Tjipta, misalnya, telah memindahkan induk perusahaannya ke Singapura yang
dikenal dengan nama Asia Pulp and Paper (APP). Semua perusahaan industri
kertas dan pulp milik Taipan Eka yang ada di Indonesia dijadikan anak
perusahaan APP yang bermarkas di Singapura.
Negara yang menjadi basis perusahaan induk di luar negeri umumnya
adalah Singapura, Hongkong dan Malaysia. Namun yang terbanyak digunakan
pengusaha Indonesia adalah Singapura. Singapura dipilih karena pajaknya
rendah, proses perizinannya sangat mudah, fasilitas dan infrastruktur penunjang
bisnis lengkap, Singapura juga merupakan pusat keuangan sehingga
memudahkan perolehan pinjaman luar negeri atau penjualan saham dan
penerbitan obligasi internasional. Selain itu, Singapura sudah sejak lama menjadi
pusat perniagaan internasional di kawasan Asia Tenggara sehingga pembukaan
23. 23
kantor pusat di Singapura akan memudahkan ekspor perusahaan Indonesia ke
manca negara. Faktor lain yang membuat Singapura menjadi aktraktif adalah
ketiadaan perjanjian ekstradisi antara pemerintah Singapura dan Indonesia
sehingga negeri jiran ini menjadi surga bagi para konglomerat hitam dan pelaku
kejahatan ekonomi lainnya. Selain itu, pemerintah Singapura juga tidak pernah
berupaya mengusut asal usul modal dan pemiliknya, yang masuk ke negeri kota
dagang ini.
Dengan membuka kantor pusat di Singapura, perusahaan dapat lebih
mudah mendapatkan pinjaman luar negeri yang suku bunganya jauh lebih
rendah ketimbang suku bunga perbankan domestik. Perusahaan juga dapat
memperoleh tambahan modal dengan meluncurkan sahamnya di pasar modal
Singapura dan menerbitkan saham tambahan (right issue). Semua anak
perusahaan di Indonesia (bagi perusahaan induk yang sudah go public) tidak
begitu saja dicatatkan sebagai anak perusahaan. Caranya, induk perusahaan
yang berbasis di Singapura itu membeli/mengakuisisi saham anak
perusahaannya di Indonesia dengan menerbitkan saham tambahan (right issue)
di Bursa Singapura. Dengan demikian, pengusaha Indonesia itu juga
memperoleh dana segar, hasil right issue, untuk mengembangkan usahanya
lebih lanjut.
Namun dengan membuka perusahaan induk di Singapura,
konsekuensinya sebagai sebuah entitas bisnis yang legal, perusahaan induk yang
tercatat di Singapura tersebut (kendati nota bene milik pengusaha Indonesia)
secara yuridis formal menjadi perusahaan Singapura, dan sebagian sahamnya
dimiliki publik Singapura. Demikian pula anak-anak perusahaannya di
Indonesia merupakan milik perusahaan Singapura tersebut. Dengan pola
alamiah ini, tanpa regulasi atau rekayasa pihak ketiga, sebenarnya telah terjadi
proses integrasi ekonomi bisnis di kawasan ASEAN.
Modus operandi pembukaan kantor pusat di Singapura memiliki alasan
lain yang kurang menggembirakan dari segi penerimaan pajak pemerintah
Indonesia. Salah satu alasan “tersembunyi” dari pengusaha Indonesia yang
membuka kantor pusat di Singapura adalah penciptaan efesiensi pajak. Menurut
mereka, kiat ini bukan merupakan penghindaran pajak, melainkan upaya
menciptakan efesiensi dalam pembayaran pajak. Adanya perjanjian pajak (tax
treaty) antar pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara sahabat yang
tidak membenarkan adanya penarikan pajak ganda, merupakan salah satu factor
pendorong pengusaha Indonesia tertentu untuk membuka kantor pusatnya di
Singapura. Ini karena pajak pendapatan badan atau perorangan di negeri jiran
ini lebih rendah dari pajak perseroan di Indonesia. Pajak pendapatan badan di
Indonesia masih 30 %, sedang Singapura dibawah itu dan akan terus diturunkan
menjadi 20 % pada 2006. Dengan membuka kantor pusat di Singapura,
24. 24
perusahaan mereka menjadi perusahaan Singapura dan mereka membayar pajak
perseroan di Singapura dengan rate yang jauh lebih rendah. Mereka tidak perlu
lagi membayar pajak perseroan di Indonesia, karena adanya perjanjian anti pajak
ganda tersebut.
Kedua, pembukaan kantor pusat di Singapura membuka peluang
dilakukannya modus operandi transfer pricing atau transfer cost untuk
mengurangi pembayaran pajak, dengan cara menciptakan beban biaya tertentu
di kantor pusat Singapura, yang dibebankan/ditransfer ke dalam pembukuan
anak-anak perusahaannya di Indonesia. Dengan adanya tambahan beban
terselubung dari kantor pusat ini, maka bagian yang kena pajak di Indonesia
menjadi menyusut. Dengan demikian pembayaran pajak menjadi “efesien”
Salah satu beban biaya yang paling besar dan banyak digunakan adalah R & D
cost (biaya penelitian dan pengembangan). Biaya ini sulit diukur dan diteliti
kebenarannya oleh petugas pajak, karena di perusahaan-perusahaan luar negeri,
komponen biaya ini memang diakui sebagai komponen biaya yang lazim
diberikan dalam porsi yang besar.
Ketiga, modus ini membuka peluang bagi perusahaan melakukan praktek
underinvoicing dalam impor bahan baku, dimana harga bahan baku (yang
diimpor oleh anak perusahaannya di Indonesia) dalam dokumen impornya
sengaja dibuat serendah mungkin, agar pembayaran bea masuk di Indonesia
menjadi rendah. Praktek semacam sudah berlangsung lama. Tak heran jika data
perdagangan luar negeri Indonesia-Singapura sulit untuk bisa menjadi akurat.
Di satu sisi, impor dari Singapura dicatat petugas pabean Indonesia lebih
rendah, sementara di sisi lain, ekspor dari Indonesia ke Singapura dicatat juga
lebih rendah oleh petugas Singapura. Ini karena petugas Singapura mengetahui
bahwa barang dari Indonesia itu hanya menjalankan proses transshipment di
Singapura, mengingat perusahaan induknya hanya menjadikan Singapura
sebagai pelabuhan transito, dimana selanjutnya barang hasil produksi anak
perusahannya di Indonesia itu diekspor ke manca negara.
Kendala Integrasi Alamiah
Namun ada beberapa kendala yang menyebabkan proses integrasi
industri dan bisnis di lingkup dunia usaha ASEAN tidak berjalan dengan cepat.
Pertama; ketiadaan “musuh” bersama. Latar belakang pembentukan integrasi
ASEAN menuju terwujudnya Masyarakat Ekonomi ASEAN, berbeda dengan
pembentukan Pasar Tunggal Eropa yang berkembang menjadi Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE) dan belakangan berhasil berintegrasi menjadi Uni Eropa
(UE). Pembentukan Uni Eropa ini dilatar belakangi adanya kesadaran di
kalangan pebisnis dan pemerintah Eropa bahwa mereka memiliki “musuh”
bersama. Pada kenyataan di lapangan, di manca negara produk-produk Eropa
25. 25
memang harus bersaing ketat dengan produk buatan Amerika Serikat, Jepang
dan Korea. Apalagi setelah produk Jepang dan Korea semakin agresif menembus
pasar Eropa.
Pembentukan Uni Eropa sebenarnya membuka peluang terbentuknya
front “pertempuran” dagang antar benua, yakni antar benua Eropa dengan
benua Asia Timur (Jepang dan Korea Selatan) dan kawasan Pasifik (Amerika
Serikat dan sekutunya dikawasan tersebut). Jika penggalangan kerjasama
kawasan Asia pasifik (APEC) jadi terbentuk menjadi satu kawasan perdagangan
bebas yang terintegrasi, dikotomi kedua front ini akan semakin jelas menjadi
kenyataan. Namun menyadari adanya lawan bersama ini membuahkan hikmah
tersendiri bagi Eropa. Para pebisnis Eropa menyatukan langkah untuk
menghadapi pesaing tangguh mereka dari Asia-Pasifik. Langkah pertama yang
menjadi prioritas adalah mengamankan potensi pasar Eropa dari gerogotan
produk pesaing dari Asia-Pasifik tersebut. Langkah ini membuat kerjasama
dikalangan pebisnis dan industri Eropa, baik dalam bidang litbang, produksi,
dan distribusi, menjadi semakin kuat. Tak heran jika capaian perdagangan intra
Eropa menjadi relatif tinggi.
Sebaliknya, kalangan pebisnis ASEAN tidak memiliki “lawan” bersama.
Semua negara, baik negara-negara barat maupun timur, Eropa, Asia atau
Amerika, dianggap sebagai mitra dagang yang harus terus menerus diupayakan
penjalinan hubungan baiknya. Ketiadaan “lawan” bersama ini menyebabkan
para pebisnis ASEAN kurang memiliki semangat menggalang persatuan dunia
bisnis ASEAN, sehingga kurang terdorong untuk berintegrasi. Selain itu, para
pebisnis ASEAN pada kenyataannya memang merupakan pesaing, karena
memiliki latar belakang sesama negara berkembang yang mengandalkan potensi
sumber daya alam. Persoalan lain yang menjadi kendala persatuan adalah latar
belakang sumber permodalan dan teknologi. Para pebisnis ASEAN tidak
memiliki penguasaan teknologi dan permodalan yang kuat, sehingga mereka
harus menggalang kerjasama dengan perusahaan negara maju. Mereka sangat
terafiliasi dengan para investor asing dan pengusaha industri dari Asia, Eropa
dan Amerika. Banyak diantara mereka tidak dapat berkiprah dengan bebas,
melainkan harus mengikuti kebijakan mitra asing atau perusahaan prinsipalnya
di luar negeri.
Di sisi lain, berbeda dengan konsumen Eropa yang memiliki kebanggaan
bahkan fanatisme terhadap produk dan merek Eropa, konsumen ASEAN
cenderung lebih menghargai produk dan merek asing ketimbang buatan ASEAN
sendiri. Mereka lebih menghargai produk dan merek negara maju, dari Amerika,
Eropa, Jepang atau Korea yang dianggap lebih berkualitas, dan bergengsi
ketimbang buatan Indonesia, Malaysia atau Thailand. Apalagi buatan Vietnam
atau Kamboja yang tidak dikenal. Konsumen ASEAN sudah terlampau lama
26. 26
dipengaruhi oleh budaya konsumsi negara-negara maju tersebut yang ditransfer
lewat penyampaian informasi, hiburan dan promosi di media massa yang
berlatar belakang gaya hidup negara-negara maju tersebut.
Untuk mengatasi kendala ini perlu ada terobosan budaya (cultural
breakthrough) dengan menggiatkan promosi produk buatan ASEAN,
mengalakkan kebanggan menggunakan buatan ASEAN, dan mengembangkan
merek buatan ASEAN sendiri. Masyarakat konsumen Eropa bangga dengan
label made in Uni Eropa. Begitu juga masyarakat ASEAN harus didorong untuk
bangga menggunakan barang made in ASEAN. Dengan kiat ini, negara-negara
ASEAN yang citra produknya belum dikenal masyarakat ASEAN, menjadi bisa
terangkat citranya dan memudahkan pemasaran internasionalnya, setidaknya di
pasar ASEAN. Namun untuk mengembangkan label merek/buatan ASEAN
perlu dibuat keseragaman standar mutu, ukuran dan labelisasi produk-produk
ASEAN. Selain itu, juga perlu dibentuk kerjasama antar lembaga pengujian
mutu ASEAN yang selain memiliki akreditasi ASEAN, juga diakui dunia
internasional.
Komunitas Ekonomi ASEAN
Sejak krisis moneter melanda kawasan Asia Tenggara, pergerakan
kerjasama ekonomi diantara negara-negara anggota ASEAN seolah mengalami
lesuh darah. Kegairahan untuk melanjutkan kerjasama regional yang sudah
dibentuk sejak tahun 1967 itu mengalami penurunan yang cukup
memperihatinkan. Negara angggota ASEAN disibukkan dengan kegiatan
internal mereka untuk dapat keluar dari dampak krisis moneter secepat
mungkin, sehingga perhatian mereka untuk mengembangkan kerjasama ASEAN
lebih lanjut, otomatis berkurang. Bahkan pada saat itu kelangsungan kerjasama
ASEAN sempat dipertanyakan banyak pihak. Mereka mempertanyakan, apakah
kerjasama ASEAN itu masih mau dilanjutkan dengan penuh semangat, apakah
masih relevan untuk diimplementasikan dalam perkembangan situasi pasar
global yang penuh ketidakpastian ? Namun kejutan terjadi. Implementasi
kerjasama ASEAN kembali bergairah setelah muncul gebrakan Bali Concord II
yang memutuskan dibentuknya Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN
Economic Community/AEC).
Setelah cukup lama terbenam dalam kelesuhan, pada 2 September 2003,
para menteri perekonomian negara anggota ASEAN bertemu di ibu kota
Kamboja, Phnom Penh. Pertemuan tersebut menelorkan rekomendasi untuk
ditindaklanjutkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke 9 di Nusa
Dua, Bali, pada 7-8 ktober 2003, guna membahas pembentukan Komunitas
Perekonomian ASEAN. Konferensi petinggi ASEAN di Nusa Dua Bali itu
akhirnya diselenggarakan dan melahirkan Deklarasi ASEAN Bali Concord II
27. 27
(Declaration of ASEAN Concord II) pada 7 Oktober 2003. Dalam konferensi ini
oleh para petinggi negara ASEAN telah disepakati dan dideklarasikan
dimulainya pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA). Komunitas
Ekonomi yang menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi perekonomian
ASEAN ini sepenuhnya baru akan terbentuk pada tahun 2020. Selain itu juga
disepakati pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security
Community/ASC) dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-
cultural Community/ASCC).
Ketiga komunitas ini bila terwujud nantinya akan membentuk Komunitas
ASEAN (ASEAN Community) dengan tiga pilar kerjasama, yakni kerjasama
ekonomi yang saling menunguntungkan, kerjasama politik dan kemanan serta
kerjasama sosial budaya. Ketiga pilar kerjasama ini harus berkaitan dan saling
menunjang dalam mencapai stabilitas, perdamaian dan kemakmuran di
kawasan Asia Tenggara. Gagasan pembentukan kerjasama di bidang keamanan,
dan sosial budaya dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan dan
menyeimbangkan kerjasama diantara negara anggota ASEAN.
Sebagaimana diketahui, salah satu penyebab menyurutnya kerjasama
ASEAN adalah karena selama ini kerjasama ASEAN lebih difokuskan pada
impelementasi kerjasama di bidang perekonomian, sehingga tatkala
perekonomian negara-negara ASEAN mengalami kemandegan akibat diterpa
badai krismon, kerjasama ASEAN tampak mengalami kelesuhan. Oleh karena
itu, perlu ditingkatkan kerjasama di bidang-bidang lain, khususnya di bidang
politik dan keamanan serta sosial dan budaya. Kerjasama di bidang keamanan
amatlah penting dan harus ditingkatkan untuk menghadapi ancaman terorisme
global. Stabilitas perekonomian membutuhkan stabilitas keamanan. Begitu pula
upaya menarik investasi asing memerlukan kondisi keamanan yang kondusif.
Pencapaian Deklarasi Bali Concord II sebenarnya telah melalui suatu
perjalanan yang panjang, mengingat embrionya sudah ada sejak dikeluarkannya
Bali Concord I yang dihasilkan pada KTT ASEAN di Bali pada tahun 1976.
Namun gagasan pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN baru muncul secara
jelas sosoknya pada KTT ASEAN tahun 2003 yang membuahkan Bali Concord II
yang monumental. Gagasan pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN ini
muncul dari Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra dan Perdana Meneri
Singapura kala itu, Goh Chok Tong. Para petinggi dari dua negara anggota
senior ASEAN ini menyadari bahwa belakangan ini ASEAN semakin jauh
tertinggal dalam kompetisi menarik dana investasi dunia. ASEAN kalah jauh
dibandingkan dengan China yang ternyata paling berhasil merebut investasi
asing di kawasan Asia. Untuk meningkatkan aliran investasi asing ke ASEAN,
maka kawasan ini harus dibuat lebih aktraktif disbanding dengan kawasan
dunia lainnya.
28. 28
Selama ini dimata investor global pasar ASEAN, sekalipun memiliki
populasi penduduk sekitar 530 juta jiwa dan sudah membentuk kawasan
perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade AREA/AFTA), namun
pasarnya masih dinilai kurang aktraktif, karena masih belum terintegrasi. Pasar
ASEAN masih terfragmentasi dalam bentuk pasar dari 10 negara yang terkotak-
kotak, dimana aliran barang, jasa dan modal belum dapat bergerak secara bebas.
China di sisi lain, jelas-jelas merupakan satu kesatuan pasar yang besar dengan
populasi penduduknya lebih dari dua kali lipat ASEAN atau sekitar 1,3 miliar
jiwa dan ekonominya pun terus bertumbuh secara dinamis. Sementara sebagian
negara anggota ASEAN masih belum pulih sepenuhnya dari dampak krisis
ekonomi yang melanda kawasan Asia pada 1997.
Maka, untuk membuat ASEAN lebih aktratif sehingga modal asing
kembali mengalir dengan deras ke kawasan ASEAN, pasar ASEAN harus
diintegrasikan dalam bentuk satu pasar tunggal (single market) yang sekaligus
berperan sebagai basis dan jaringan produksi terpadu (integrated production
network), dimana aliran barang, jasa, modal dan tenaga kerja mengalir dengan
bebas dan lancar, tanpa mengenal batas-batas negara anggotanya. Pasar
terintegrasi ini layaknya dikembangkan dalam suatu wujud Komunitas
Ekonomi ASEAN yang kompak dan terpadu.
Sejak menjabat sebagai pemimpin Thailand, Thaksin sudah menyadari
betul potensi besar ASEAN yang layak dikembangkan menjadi suatu komunitas
perekonomian regional yang berkembang secara dinamis. Thaksin yang juga
seorang pebisnis sehingga memiliki naluri bisnis, menyimpulkan, ASEAN tidak
hanya berpotensi menjadi suatu kawasan pasar bebas (free trade area/FTA),
melainkan juga kawasan komunitas ekonomi yang terintegrasi seperti
Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang belakangan berkembang menjadi Uni
Eropa. Dalam konteks Komunitas ASEAN, kawasan ini akan dikembangkan
menjadi pasar terintegrasi, sekaligus basis dan jaringan produksi, ditandai
dengan adanya pergerakan barang dan jasa termasuk tenaga kerja dan modal
investasi yang lebih bebas pada tahun 2020.
Visi Komunitas Ekonomi ASEAN bukan hanya terbatas mewujudkan
suatu pasar tunggal yang terintegrasi melainkan juga mewujudkan peningkatan
daya saing ASEAN di pasar dunia. Thaksin memaparkan, pembentukan
Komunitas Ekonomi ASEAN bukan berarti hanya meliberalisasi perdagangan
barang, jasa dan investasi, melainkan juga harus mampu meningkatkan daya
saing ASEAN. Daya saing ini akan muncul dengan semakin terpadu atau
terintegrasinya industri di kawasan ASEAN, sehingga terwujud sinerji dalam
industri (sektor-sektor dalam perekonomian ASEAN) yang merupakan kunci
peningkatan efesiensi dan daya saing. Agar implementasi perwujudan
Komunitas Ekonomi ASEAN ini berjalan dengan lancar, perlu disusun suatu
29. 29
sistem untuk memonitor implementasi perjanjian-perjanjian atau kesepakatan
kerjasama ekonomi ASEAN yang sudah dibuat dan disepakati untuk dijalankan
oleh negara anggota ASEAN
Komunitas Ekonomi ASEAN pada dasarnya, jauh lebih berarti ketimbang
kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA) yang
hanya membebaskan perdagangan barang, namun tidak mencakup pembebasan
aliran jasa, modal, dan tenaga kerja. Marilah kita simak perbandingan dibawah
ini :
Fokus dari Komunitas Ekonomi ASEAN mencakup :
a) Penurunan hambatan tariff dan non tariff
b) Penciptaan proses dan iklim bisnis yang kondusif dan bersahabat di
kawasan Asia Tenggara
c) Liberalisasi perdagangan barang dan sektor jasa
Sementara fokus dari AFTA terbatas pada :
a) Penurunan tariff
b) Masih memberi peluang bagi anggota untuk mundur dari penurunan tarif
c) Liberalisasi perdagangan barang dan belum mencakup sektor jasa, lalu
lintas modal, dan tenaga kerja.
Maksud dari pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN adalah :
1) Menciptakan kawasan ekonomi Asia Tenggara yang stabil, makmur dan
berdaya saing kuat
2) Memperlancar aliran barang dan jasa serta modal dan tenaga kerja agar
dapat bergerak lebih bebas
3) Pengembangan kondisi ekonomi yang lebih berimbang di kawasan Asia
Tenggara
4) Pengurangan kemiskinan dan perbedaan status sosial ekonomi di ASEAN
5) Memperdalam integrasi ekonomi di kawasan ASEAN
6) Meningkatkan iklim investasi sehingga menjadi kondusif
7) Memperkuat perekonomian ASEAN yang dengan demikian akan
membuat ASEAN lebih dipertimbangkan dalam forum internasional dan
menjadi kawasan yang disegani di dunia
Sedang tujuan ekonomi dari pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN adalah :
1) Menjadikan ASEAN sebagai pasar yang terintegrasi
2) Menjadikan ASEAN sebagai basis dan jaringan produksi yang terintegrasi
30. 30
3) Upaya mewujudkan kedua bentuk integrasi ini dimaksudkan untuk
mendorong peningkatan investasi sekaligus juga peningkatan
perdagangan di kawasan ASEAN
4) Memungkinkan perusahaan di ASEAN mencapai skala usaha yang
ekonomis dan efesien dengan melayani pasar yang besar berpopulasi
penduduk setengah miliar jiwa.
5) Memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen ASEAN dengan
menyediakan berbagai jenis barang dengan harga yang lebih bersaing.
Adapun cara atau proses yang akan ditempuh dalam mewujudkan
Komunitas Ekonomi ASEAN adalah :
1) Menggunakan lebih intensif berbagai skema kerjasama di bidang ekonomi
yang sudah tersedia seperti kerjasama mewujudkan kawasan
perdagangan bebas ASEAN (AFTA), ASEAN Investment Area (AIA),
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS)
2) Melanjutkan pendalaman mekanisme yang akan memperkuat integrasi
ekonomi ASEAN
3) Memperkuat kelembagaan dengan membentuk kelembagaan non politik,
seperti pembentukan mekanisme penyelesaian pertikaian bisnis, untuk
mengatasi terjadinya pertikaian diantara sesama pebisnis ASEAN
Untuk mempercepat proses integrasi ASEAN, para petinggi ASEAN
sepakat untuk mempercepat integrasi 11 sektor dalam perekonomian
ASEAN, yang akan berlangsung sampai tahun 2010, yang mencakup industri
perkayuan, otomotif, karet, tekstil dan produk tekstil (TPT), agro, perikanan,
elektronik, produk kesehatan, teknologi informasi (e-commerce), pariwisata
dan penerbangan. Pengintegrasian ke 11 sektor prioritas ini merupakan
proyek percontohan (pilot project) untuk mencapai terwujudnya Komunitas
Ekonomi ASEAN secara penuh pada 2020. Dengan demikian, sepanjang
perjalanan mencapai tahun 2010 dapat diketahui berbagai hambatan yang
ada. Dengan demikian, setelah periode itu dalam menuju tahun 2020, segala
hambatan dapat dieleminasi sehingga proses integrasi bisa berjalan lebih
baik, lebih cepat dan lebih lancar. Dalam rangka integrasi 11 sektor ini,
negara-negara ASEAN akan mengurangi berbagai bentuk hambatan tariff
dan non tariff yang mengena pada 11 jenis industri ini.
ASEAN BAC
Konferensi Nusa Dua Bali juga menyepakati keberadaan suatu lembaga
yang bertugas memberi masukan-masukan di bidang ekonomi bisnis kepada
pemerintah negara ASEAN, serta cara-cara untuk meningkatkan
pengintegrasian perekonomian ASEAN. Lembaga ini dikenal sebagai
31. 31
ASEAN Business Advisory Council (ABC). Setiap negara anggota ASEAN
yang berjumlah 10 negara itu, menempatkan tiga wakilnya dalam lembaga
ini, sehingga jumlah seluruh anggota mencapai 30 orang. Mereka mewakili
perusahaan swasta, BUMN dan usaha kecil dan menengah (UKM) dari
negara masing-masing. Selain berperan sebagai lembaga pemberi masukan,
BAC juga akan menjadi ajang kumpul dan diskusi para pengusaha ASEAN
dalam menghimpun masukan yang akan disampaikan kepada para petinggi
negara ASEAN.
BAC sendiri sebenarnya sudah dibentuk pada KTT ASEAN ke 7 di
Brunei Darussalam. Thaksin, Perdana Menteri Thailand yang juga berlatar
belakang dari kalangan pebisnis itu, berperan besar dalam mendukung
pembentukan lembaga ini. Demikian pula petinggi pemerintah Singapura.
Pemunculan BAC merupakan gagasan yang baik. Sebagaimana diketahui,
sejak berdiri pada 1967, pihak pengusaha swasta ASEAN memang tidak
memiliki wadah dan akses langsung ke dalam organisasi kerjasama regional
negara-negara di Asia Tenggara ini. Pemerintah negara ASEAN seolah
berjalan sendiri dan dunia usaha dianggap bisa dan siap menerima dan
menjalankan, apa yang telah disepakati pemerintahnya dalam forum
kerjasama ASEAN. Tetapi apa yang disepakati petinggi pemerintahan itu
belum tentu sepenuhnya cocok untuk diimplementasikan oleh dunia usaha,
sehingga mempengaruhi kecepatan dan kelancaran implementasi hasil-hasil
kesepakatan ASEAN. Oleh karena itu, diperlukan wadah formal yang
menjembatani hubungan organisasi pemerintah ASEAN dengan dunia usaha
ASEAN.
Sebelum konferensi Nua Dua, ASEAN BAC sudah mengadakan
pertemuan sebanyak empat kali di kota satelit Putrajaya, Malaysia pada akhir
september 2003. Pada rangkaian pertemuan itu, para pebisnis ASEAN
membahas rekomendasi yang akan disampaikan pada para pemimpin
negara ASEAN pada KTT 9 di Nusa Dua, Bali, untuk mempercepat integrasi
ASEAN. Mereka tempaknya bekerja relatif cepat sehingga berhasil
menelorkan masukan-masukan yang disampaikan dalam KTT Nusa Dua.
32. 32
Bab. 3.
Kerjasama Dengan Mitra Dagang Asia Lainnya
(ASEAN Plus Three)
Bab ini akan membahas kerjasama ASEAN dengan mitra dagang utama dari
kawasan Asia seperti China ,dan Jepang, yang bisa berperan sebagai lokomotif
pertumbuhan negara-negara anggota ASEAN.
Kerjasama ASEAN-China
Disamping berupaya meningkatkan perdagangan intra ASEAN, negara-
negara ASEAN juga merintis upaya memperluas kerjasama kawasan
perdagangan bebasnya (AFTA) dengan negara-negara tetangga yang menjadi
mitra dagang utamanya seperti China, India dan Jepang. Studi yang dilakukan
Scollay dan Gilbert (2002) menunjukkan bahwa GDP ASEAN akan meningkat
0.9% pertahun apabila mengadakan perjanjian perdagangan bebas (Free Trade
Arrangement/FTA) dengan China. Sedangkan pemberlakukan FTA ASEAN
dengan Jepang akan meningkatkan GDP ASEAN 1.1% pertahun. Dalam studi
yang sama dinyatakan, GDP ASEAN diperkirakan dapat meningkat 1.5%
pertahun apabila FTA ASEAN diperluas cakupannya menjadi ASEAN Plus
Three (China, Jepang dan Korea).
Potensi peningkatan GDP yang positif bagi ASEAN, apabila melakukan FTA
dengan negara-negara di Asia Timur, dapat dipahami mengingat peningkatan
volume perdagangan yang mungkin tercipta melalui upaya perluasan kerjasama
kawasan pasar bebas ASEAN dengan mitra dagang utamanya di Asia. Pasar
China yang berpenduduk 1.2 milyar dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
tanpa berhenti selama 10 tahun terakhir ini akan menjadi lokomotif
pertumbuhan ekonomi di Asia Timur. Demikian juga Jepang dengan penduduk
sekitar 120 juta jiwa dan tingkat pendapatan yang sangat tinggi, menjadi tempat
yang potensial bagi pemasaran produk-produk ekspor ASEAN.
Negara-negara ASEAN dan China sudah menjalin hubungan perdagangan
yang erat sejak berabad-abad yang silam. Tiga negara di Asean yaitu Myanmar,
Laos dan Vietnam berbatasan secara langsung dengan China. Pada awalnya,
negara-negara ASEAN mengekspor produk-produk rempah-rempah ke Cina
dan mengimpor sutera dan bahan pakaian dari China. Saat ini, pola
perdagangan mengalami perubahan, dimana ASEAN mengekspor produk-
produk elektronik, minyak mentah, minyak dan lemak nabati, karet alam, dan
sebagainya serta mengimpor produk-produk elektronik, produk kimia, textil,
33. 33
seng, dlsb, dari China.
Perdagangan ASEAN-China mengalami puncak pada tahun 2000 dengan
total US$. 61.5 milyar dan kemudian menurun menjadi US$. 42.7 milyar tahun
2002. Singapura adalah negara ASEAN yang memiliki perdagangan terbesar
dengan China diikuti dengan Malaysia dan Thailand.
Kesepakatan ASEAN-China FTA ditandatangani tahun 2002 di Kambodya
dimana disepakati untuk mewujudkan ASEAN-China FTA pada tahun 2010
untuk ASEAN-6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura
dan Thailand) dan 2015 untuk ASEAN-4 (Kamboja, Laos, Myanmar dan
Vietnam). Dalam rangka memperlancar kerjasama ASEAN-China ini, disepakati
juga implementasi Early Harvest Program (EHP) yaitu melakukan liberalisasi dini
untuk produk pertanian selambat-Iambatnya 2007 dan dimulai awal 2004.
Dalam talian ini, terdapat 478 produk dalam HS 8 digit yang masuk dalam
skema EHP dan berlaku untuk semua ASEAN-China. Akan tetapi, dilakukan
juga kesepakatan bilateral masing-masing untuk menentukan beberapa produk
sensitif yanq penurunan tarifnva hanva berlaku secara unilateral antara China
dan masing-masing negara. Khusus dengan lndonesia disepakati sebanyak 49
produk yang masuk dalam skema EHP.
ASEAN-Jepang
Secara geographis, ASEAN dan Jepang tidak memiliki perbatasan darat
karena kedua wilayah dipisahkan oleh Laut China Selatan. Perdagangan ASEAN
dan Jepang merupakan terbesar dari seluruh mitra dagang ASEAN yang sudah
menyepakati perwujudan integrasi ekonomi regional dengan ASEAN. Hal ini
disebabkan pasar Jepang sangat besar, dengan jumlah penduduk yang mencapai
sekitar 120 juta jiwa dan memiliki pendapatan per kapita yang tinggi.
Disamping itu, Jepang merupakan negara terbesar kedua yang melakukan
investasi di kawasan ASEAN setelah Amerika Serikat.
Perdagangan ASEAN - Jepang mengalami puncak pada tahun 2002,
mencapai sebesar US$. 120,3 milyar dan mengalami penurunan menjadi US$.
97.6 tahun 2002. Produk utama ekspor ASEAN ke Jepang adalah gas alam,
produk elektronik, petroleum, produk hasil laut, plywood, furniture, dan
tembaga. Sedangkan produk impor utama ASEAN dari Jepang adalah Produk
elektronik, mesin-mesin, otomotif, aluminium dan bahan bangunan. Sampai
tahun 2001, Singapura merupakan mitra dagang utama Jepang di ASEAN. Akan
tetapi pada tahun 2002, Thailand tampil menjadi negara mitra dagang utama
34. 34
Jepang di ASEAN, disusul Singapura dan Malaysia.
Rencana liberalisasi perdagangan antara ASEAN dengan Jepang juga telah
disepakati pada tahun 2003 di Bali dengan istilah ASEAN-Jepang Comprehensive
Economic Partnership (CEP). economic partnership ini mencakup liberalisasi di -
bidang barang dan jasa, invetasi dan tenaga kerja terampil, dan kerjasama di
bidang ekonomi. Target waktu pencapaian ASEAN-Jepang CEP belum
ditetapkan, tetapi disepakati untuk segera melakukan negosiasi pada awal tahun
2004 dan selesai selambat-Iambatnya akhir tahun 2005. '
Sedikit berbeda dengan pola ASEAN-China FTA dan ASEAN-India FTA,
ASEAN-Jepang CEP akan dilaksanakan secara bilateral. Hal ini disebabkan
pihak Jepang melihat tingkat kesiapan masing-masing negara anggota ASEAN
dalam melaksanakan CEP berbeda-beda. Singapura dan Jepang sudah
menandatangani bilateral FTA pada tahun 2001, atau dua tahun sebelum
disepakatinya ASEAN- Jepang CEP.
Prosedur penyelesaian bilateral FTA ini adalah melalui tahapan diskusi
intensif, studi bersama, dan negosiasi. Pada saat ini Jepang sedang melakukan
negosiasi secara bilateral dengan Thailand, Malaysia dan Philipina dalam
mencapai bilateral FTA. Sedangkan antara Jepang dengan Indonesia, status pada
saat ini belum pada tahap negosiasi masih dalam tahap diskusi intensif menuju
negosiasi pembentukan FTA.
ASEAN-India
Walaupun secara geografis, India berbatasan langsung dengan ASEAN
hanya dengan satu negara anggota ASEAN, yakni Myanmar, tetapi perdagangan
langsung antara India dengan negara anggota ASEAN lainnya sudah
berlangsung sejak berabad-abad. Sejarah dunia mencatat bahwa perdagangan
Asia dengan India dimulai dengan perdagangan rempah-rempah dan sutra yang
ditandai dengan banyaknya pedagang India yang membuka hubungan
perdagangan dan bahkan kemudian menetap dan membuka usaha dagang
diberbagai negara di kawasan Asia Tenggara.
Perdagangan ASEAN dengan India terus meningkat dari tahun ke tahun
dan mencapai puncaknya pada tahun 2002. Malaysia merupakan negara mitra
dagang utama India di ASEAN, diikuti Singapura dan Indonesia. Produk ekspor
utama ASEAN ke India adalah minyak nabati, petroleum, produk elektronik,
benang, tekstil dan tembaga. Sedangkan produk impor utama ASEAN dari India
adalah produk elektronik, makanan ternak, batu-batuan, permata dan gandum.
35. 35
Kesepakatan kerjasama ekonomi ASEAN-India ditandatangani oleh
kepala pemerintahan negara-negara ASEAN dan PM India di Bali tahun 2003,
dengan target mencapai terbentuknya perdagangan bebas pada tahun 2011
untuk ASEAN-5 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura dan
Thailand), tahun 2016 untuk Philipina dan tahun 2017 untuk ASEAN-4
(Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam). ASEAN-India sepakat untuk
membentuk ASEAN-India Trade and Investment AREA (RTIA). Tujuan RTIA
ASEAN-India adalah :
• Memperkuat dan meningkatkan kerjasama investasi, perdagangan
dan ekonomi diantara para anggotanya,
• Liberalisasi dan promosi perdagangan barang, jasa dan investasi
untuk menciptakan transparansi, liberalisasi dan fasilitasi,
• Memperluas bidang-bidang baru yang mengembangkan kebijakan
yang tepat untuk implementasi kerjasama ekonomi diantara
anggotanya,
• Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif untuk negara
anggota ASEAN baru (Myanmar, Kamboja, Laos dan Vietnam),
• Menjambatani kesenjangan pembangunan dan ekonomi diantara para
anggotanya.
Adapun tujuan jangka panjang RTIA ASEAN-India adalah mewujudkan
kawasan perdagangan bebas (Free Trade AREA/FTA) atau ASEAN-India FTA,
yang akan diperluas mencakup bidang perdagangan barang, jasa dan investasi
serta meningkatkan kerjasama ekonomi ASEAN-India secara
berkesinambungan.
Sebagaimana halnya dengan ASEAN-China FTA, dalam ASEAN-India
FTA (dalam konteks kerjasama dengan ASEAN-India) juga disepakati
penerapan Early Harvest Program (EHP) yang mencakup produk-produk yang
didahulukan penurunan tarifnya. Produk yang masuk EHP disusun dalam suatu
Common List yang terdiri dalam dua daftar produk, yakni Daftar A dan Daftar
B. Dalam daftar A terdapat 105 produk dalam HS 6 digit, yang berlaku untuk
India dan ASEAN-6. Sedangkan dalam daftar B terdapat 111 produk HS 6 digit
yang hanya berlaku untuk India dan negara-negara CLMV (Cambodya, Laos,
Myanmar dan Vietnam).
36. 36
Rentang waktu pelaksanaan EHP telah disepakati, yakni mulai 1
November 2004 hingga 31 Oktober 2007. Sedang rentang waktu untuk
penurunan tarif pada produk-produk yang masuk ke dalam Normal Track (jalur
normal) disetujui mulai 1 Januari 2006 sampai dengan 2011 bagi ASEAN 5,
sedang untuk Filipina berlaku sampai 20016. Khusus untuk negara ASEAN
yunior seperti Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam, disetujui rentang waktu
pelaksanaan EHP dari 1 Januari 2006 – 2016, namun dengan awal tingkat tariff
yang lebih tinggi.
Didalam konsep ASEAN-India FTA juga dikenakan Ketentuan Asal
Barang (Rules of Origin/ROO). Barang-barang ASEAN-India yang dapat
memanfaatkan fasilitas FTA ini adalah barang buatan ASEAN-India dengan
ketentuan (menurut versi ASEAN) memiliki kandungan local ASEAN
setidaknya 40 %. Sedang India menghendaki lebih besar dari 40 %. Perbedaan ini
menyebabkan implementasi kesepakatan ASEAN-India FTA masih menungguh
tercapainya kesepakatan khusus mengenai besaran ROO ini, yang harus
disetujui kedua belah pihak. ASEAN sendiri, dalam konteks AFTA
mensyaratkan adanya kandungan ASEAN setidaknya harus 40 %, barulah
produk negara anggota ASEAN tersebut dapat memanfaatkan fasilitas
penurunan tarif dalam rangka AFTA. Oleh karena itu, ASEAN juga
berkeinginan menggunakan besaran ROO yang sama dalam konteks ASEAN-
India FTA.
Selain membentuk FTA, ASEAN-India juga berencana untuk
mengembangkan kerjasama ekonomi dengan cakupan luas meliputi bidang-
bidang berikut :
1. Kejasama dalam rangka fasilitasi perdagangan antara lain meliputi
penuntasan prosedur akreditasi dan pengaturan teknik standar,
penyesuaian kebijakan non tariff, kerjasama kepabeanan, serta fasilitas
travel dan visa bisnis.
2. Kerjasama sektoral antara lain meliputi kerjasama di bidang pertanian,
perikanan dan kehutanan; jasa media dan hiburan; kesehatan, perbankan,
pariwisata, konstruksi, pertambangan dan enerji, penyedian tenaga
pembangkit, ilmu pengetahuan dan teknologi, informasi dan komunikasi,
e-commerce, bioteknologi, lingkungan dan transportasi.
3. Kerjasama bidang industri antara lain mencakup; industri otomotif,
farmasi, tekstil dan pakaian jadi, pengolahan makanan, barang dari kulit,
elektornika, perhiasan dan permata. Bidang sumberdaya manusia
37. 37
meliputi; pelatihan untuk para pebisnis, pengembangan usaha kecil dan
menengah serta program alih tenologi.
4. Kerjasama promosi dan investasi mencakup pelaksanaan kegiatan
pameran, pembuatan situs internet AEAN-India, dan pengembangan
dialog antar pebisnis ASEAN-India.
38. 38
Bab. 4.
Dilema Hubungan dengan Australia dan Myanmar
Kerjasama pembentukan FTA ASEAN dengan negara Asia Timur (China,
Jepang dan Korsel) telah mengalami kemajuan pesat. Hanya yang patut
disayangkan, mengapa pengembangan kerjasama FTA dengan Australia belum
sepesat kerjasama ASEAN dengan ketiga lokomotif Asia itu, padahal Australai
merupakan tetangga terdekat. Keinginan untuk memperluas zona perdagangan
bebas dengan Australia sebenarnya ada dan kembali ditegaskan pada pertemuan
para menteri ekonomi ASEAN dengan Australia dan Selandia Baru pada bulan
Oktober 2004. Kedua belah pihak sepakat untuk melanjutkan pembahasan teknis
pelaksanaan zona perdagangan bebas ASEAN dengan Australia dan Selandia
Baru di KTT ASEAN ke 10. Diharapkan kesepakatan zona perdagangan bebas
dengan Australia ini akan tercapai pada 2007, khususnya dengan enam anggota
senior ASEAN (Singapura, Malaysia, Thailand, Brune, Indonesia dan Filipina).
Sedang untuk empat anggota ASEAN lainnya (Vietnam, Laos, Kamboja,
Myanmar) akan dimulai tahun 2012. Jadwal palaksanaan yang berbeda ini
karena kesiapan dua kelompok anggota ASEAN ini relatif berbeda, dimana
anggota senior ASEAN itu lebih maju tingkat perekonomiannya dibanding
dengan anggota yunior ASEAN tersebut, sehingga siap lebih dahulu
mengimplementasikan zona perdagangan bebas dengan Australia dan Selandia
Baru.
Namun banyak kalangan masih sangat meragukan itikad dan
kesungguhan Australia dalam menjalin kerjasama ekonomi dengan ASEAN.
Apalagi membentuk sebuah zona perdagangan bebas. Australia sendiri
tampaknya masih tetap bersemangat untuk mengembangkan kerjasama dengan
ASEAN. Dalam sambutannya dalam peringatan 30 tahun hubungan ASEAN-
Australia di Parliament Houses, Canberra, 15 April 2004, Menlu Australia,
Alexander Downer menyatakan, sebagai negara mitra ASEAN yang pertama,
pada 1974, Australia telah memberikan banyak dan masih siap berbuat banyak
bagi ASEAN. ASEAN yang padat penduduk dan Australia yang padat modal
bisa saling melengkapi. Dalam pada itu, sumber di Kementerian Luar Negeri
Australia menyatakan, Australia berharap sebaiknya kerjasama ASEAN Plus
Tiga (Plus China, Jepang dan Korsel) dikembangkan menjadi ASEAN Plus Lima
(ditambah Australia dan Selandia Baru). Australia siap bergabung, menunggu
ajakan ASEAN dan semua ini bergantung pada ASEAN. Persoalannya, mengapa
ASEAN cenderung mengembangkan kerjasama ASEAN Plus Tiga ketimbang
Plus Lima ?
39. 39
Mari kita simak apa yang terjadi di dalam Konferensi Tingkat Tinggi
(KTT) 10 ASEAN yang diselenggarakan pararel dengan KTT ASEAN Plus Tiga
(China, Jepang dan Korsel), di Vientiane, Laos pada bulan November 2004. KTT
ini telah menghasilkan kesepakatan yang cukup mengejutkan. Pertama
disepakati percepatan pembentukan zona perdagangan bebas ASEAN-China
menjadi tahun 2010. Kesepakatan ini menyebabkan Jepang dan Korsel juga
terdorong untuk mempercepat pembentukan zona perdagangan bebas dengan
ASEAN. Dengan Korsel disepakati pembentukan FTA pada tahun 2009. sedang
dengan Jepang dipastikan akan dibentuk sepenuhnya pada 2012. Bila negara
Asia Timur menunjukkan reaksi yang cepat dengan semangat dan antuasias
yang besar untuk mewujudkan zona perdagangan bebas dengan ASEAN, dalam
KTT itu sikap Australia malah terkesan masih lamban, tidak sesigap pesaingnya
dari Asia Timur.
Selain itu, dalam KTT ASEAN di Laos juga disepakati penyelenggaraan
KTT Asia Timur (East Asian Summit/EAS) yang pertama pada tahun 2005
bertempat di Kuala Lumpur, Malaysia. Yang paling bersemangat untuk
mewujudkan Komunitas Ekonomi Asia Timur tampaknya Malaysia dan
Singapura. Selepas KTT Laos, di Kuala Lumpur pada bulan Desember 2004
diselenggarakan pertemuan para tokoh Asia dalam rangka membahas lebih
lanjut rencana pelaksanaan KTT Asia Timur 2005 di Kuala Lumpur. Hadir dalam
pertemuan itu antara lain PM Malaysia, Badawi, mantan petinggi Malaysia
Mahathir Mohamad dan mantan Presiden Korsel, Kim Dae Jung. Pada
kesempatan itu, Mahathir menyatakan KTT Asia Timur harus segera berjalan
yang melibatkan pihak China, Korsel dan Jepang. Namun Australia dan Selandia
Baru tidak perlu diikutkan, karena menurut Mahathir, kedua negara itu secara
etnis bukan Asia, melainkan keturunan Eropa, dan tidak mau melepaskan sikap
hostile pada Asia. Kendati sudah lengser dari jabatan Perdana Menteri
Malaysia, Mahathir masih memiliki pengaruh politik yang kuat di
pemerintahan Malaysia, sehingga dapat mempengaruhi haluan politik luar
negeri negara jiran ini dan melalui poros ini mempengaruhi institusi ASEAN.
Selama ini Mahathir memang terkesan mengambil posisi berseberangan dengan
Australia dan AS. Apalagi Mahathir memiliki obsesi merangkul Timur (Asia)
ketimbang Barat.
Sejarah terbentuknya Australia sebagai suatu negara berdaulat diawali
oleh pendaratan Armada Pertama Inggris yang terdiri dari 11 kapal dan 1.500
pasukan, dibawah pimpinan Kapten Arthur Phillips, Botani Bay (kini bernama
Sydney Harbor) pada 26 Januari 1778. Tanggal pendaratan Kapten Phillips ini
kemudian dijadikan Hari Nasional Australia. Pada masa itu benua Australia
dihuni sekitar 300.000 orang Aborigin, suku asli Australia dan orang-orang dari
pulau-pulau di sekitar Selat Torres. Perang kemerdekaan Amerika Serikat pada
1775 membuat Inggris, atas saran Sir Joseph Banks dan Kapten James Cook yang
40. 40
pernah berlayar ke Australia, menjadikan benua temuan baru itu sebagai tempat
penampungan orang hukuman. Setelah itu, selama kurun waktu 80 tahun
tercatat sekitar 160.000 orang hukuman dibuang ke Australia. Bersamaan dengan
itu terjadi migrasi dari bangsa Inggris (termasuk Irlandia) ke Australia sekitar
50.000 orang pertahun, yang tertarik dengan demam usaha tambang emas,
sehingga pada 1940an jumlah pendatang dari Barat itu mencapai sekitar 7 juta
orang. Ekspansi bangsa Barat ini telah mendesak esksitensi penduduk asli
Aborigin dan bahkan mengambilalih milik mereka. Usai PD II sekitar 6 juta
imigran dari berbagai negara masuk dan bermukim di Australia. Berdasarkan
sensus 2001, penduduk Australia berjumlah 18.769.791 jiwa. Komposisinya
terdiri dari penduduk asal Inggris sebanyak 1. 036.437 jiwa (5,5 %), menyusul
Selandia baru sebanyak 355.684 jiwa ( 1,9 %), Italia 218.754 jiwa (1,2 %), Vietnam
154.831 jiwa (0,8 %), China 142.717 jiwa (0,8 %), Yunani 116.531 jiwa (0,6 %),
Jerman 108.238 jiwa (0,6 %), Filipina 103.989 jiwa (0,6 %), India 95.456 jiwa (0,5
%), dan Belanda 83.249 (0,4 %). Sisanya terdiri dari berbagai bangsa pendatang
lainnya.
Dari segi kedekatan jarak geografisnya, Australia memang tetangga
terdekat ASEAN. Bahkan dengan Indonesia merupakan tetangga langsung.
Namun sering terjadi kesalahpahaman dalam hubungan bilateral Australia
dengan Indonesia dan negara ASEAN lainnya. Negara tetangga yang mayoritas
penduduknya berkulit putih ini sering dilihat sebagai bagian dari negara barat,
ketimbang bagian dari kawasan Asia. Tradisi Australia yang sangat ke-Inggris-
an, termasuk sistem politiknya, kebebasan demokrasi dan pers ala Barat,
memang membuat Australia tampak sangat ke-Barat-baratan bagi negara
tetangganya di Asia Tenggara. Selain itu, Australia sering dianggap Barat karena
negara itu secara simbolis masih berada dibawah kekuasaan Inggris. Australia
masih menganggap Ratu Elizabeth II sebagai kepala negara yang keberadaannya
di kawasan Timur jauh ini diwakili oleh seorang Gubernur Jenderal yang
berkedudukan di negeri Kanguru ini. Sedang Perdana Menteri Australia hanya
berperan sebagai kepala pemerintahan saja. Wacana untuk membentuk
Republik Australia sebenarnya pernah muncul pada dekade 1960an dan gagasan
ini kemudian diperjuangkan dalam kanca politik oleh mantan PM Australia Paul
Keating pada 1993, namun ternyata gagal. Kendati demikian, gagasan untuk
membentuk Republik Australia belum hilang sepenuhnya dari atmosfir
kehidupan bernegara di Australia.
Sikap politik Australia dinilai terlampau memihak ke Barat ketimbang ke
Timur (Asia). Australia bersama Selandia Baru memang memiliki kelengketan
dengan Amerika Serikat karena terikat pada pakta pertahanan bersama yang
dikenal dengan nama Pakta ANZUS yang ditandatangani pada 1951 dan
diperbaharui dalam deklarasi Sydney pada 1996. Pasukan Australia terlibat
bersama AS di Perang Korea, Vietnam, Perang Teluk dan Somalia. Tak heran