Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang landasan filsafat dan rasional teknologi pendidikan dengan menjelaskan berbagai pandangan seperti positivisme, post-modernisme, serta empat revolusi besar yang terjadi dalam pendidikan. Dokumen tersebut juga membahas tentang peranan media dalam pembelajaran.
Karakteristik Negara Brazil, Geografi Regional Dunia
Landasan Falsafah dan Rasional TP
1. Review Perkuliahan Ke-2
Landasan Falsafah dan Rasional Teknologi Pendidikan
Landasan Filsafah tujuannya adalah untuk memperoleh pembenaraan sebagai
suatu disiplin pengetahuan terapan yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan istilah
falsafah adalah rangkaian pernyataan yang didasarkan pada keyakinan, konsepsi, dan
sikap seseorang, yang menunjukkan arah atau tujuan yang diambilnya. Rumusan ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan Ely (1980) dalam Miarso (2009), dimana
seseorang memberikan arti atas suatu gejala seobjektif mungkin. Usaha memberikan arti
atas suatu gejala seobjektif mungkin. Usaha memberikan arti dalam tulisan ini
didasarkan oleh pengalaman empirik atas sejumlah data yang diamati, jadi merupakan
generalisasi dari berbagai gagasan yang terkait dengan rujukan tertentu.
Sejumlah asumsi dijadikan dasar untuk menentukan gejala yang diamati atau
teori yang dirumuskan. Asumsi-asumsi itu adalah :
1.
Ilmu dan pengetahuan berkembang dengan pesat dengan implikasi bagi
kebanyakan orang untuk mengikuti perkembangan itu.
2.
Pertambahan penduduk akan senantiasa terjadi meskipun dengan derajat
perbandingan yang kian mengecil.
3.
Terjadinya perubahan-perubahan mendasar dan bersifat menetap di didang sosial,
politik, ekonomi, industri, kebudayaan, yang menghendaki re-duksi atau
pendidikan terus-menerus bagi semua orang.
4.
Penyebaran teknologi ke dalam kehidupan masyarakat yang makin meluas.
5.
Makin terbatasnya sumber-sumber tradisional sehingga harus diciptakan sumbersumber baru dan sementara itu memanfaatkan sumber yang makin terbatas itu
secara lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Berdasarkan tinjauan dari falsafah ilmu, setiap pengetahuan mempunyai tiga
komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang didukungnya
(Suriasumantri, 1982). Ketiga komponen tersebut adalah omtologi (apa), epistemologi
(bagaimana),
dan
aksiologi
(untuk
apa).
Selanjutnya
Suriasumantri
(1982)
mengemukakan bahwa ontologi merupakan asas dalam menetapkan ruang lingkup ujud
yang menjadi objek penelaah, serta penafsiran tentang hakikat realitas dari objek
tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai cara bagaimana materi pengetahuan
diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan. Sedangkan aksiologi
1
2. merupakan asas dalam menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun
dalam tubuh pengetahuan tersebut.
Teknologi Pembelajaran lebih merupakan seni daripada ilmu pengetahuan.
Hlynka dalam Barbara B. Seel (1994) mendeskripsikan post-modernisme sebagai “cara
berfikir yang mengagungkan keragaman, ketemporeran, dan kompleksitas di atas
pencarian modern ke arah hakekat yang universal, yang stabil, dan yang sederhana (“a
way of thinking which celebrates the multiple, the temporal, and the complex over the
modern search for the universal, the stable, and the simple”). Post-modernisme
memandang bahwa satu filosofi, atau salah satu teori itu lebih baik daripada teori yang
lain; semua ada secara bersama dan harus digunakan secara bersama. Kaum postmodernisme mengenali dan menemukan rangsangan intelektual dalam sistem penghasilpengetahuan yang kaya dan cenderung memandang sebuah definisi tunggal dalam
bidang itu sebagai cara merangsang kreativitas yang diperlukan untuk mendorng
inquiry dan praktek yang produktif.
Lebih jauh Hylnke menjelaskan bahwa banyak terdapat implikasi filsafat postmodern untuk praktek desain maupun teori desain. Orientasi ini mempromosikan
penggunaan paradigma desain baru daripada bergantung pada model desain yang
sistematis. Hal ini mencakup ketergantungan yang semakin tinggi pada paradigma
estetis dan model yang menekankan kompleksitas situasi. Terdapat penolakan
fundamental pada pendekatan yang terlalu menyederhanakan. Di samping itu, terdapat
penolakan pada pandangan yang lebih tradisional bahwa perubahan itu terjadi dalam
proses lambat laun dan kumulatif. Oleh karena penggunaan pendekatan teoritis yang
beragam disarankan, filosofi post-modern lebih menyukai aplikasi yang menghasilkan
sistem terbuka dan fleksibel dan bukannya sistem yang tertutup, terstruktur dan kaku.
Juga terdapat kepedulian pada pembelajaran yang memfokuskan pada pengetahuan
deklaratif, pembelajaran yang menyisihkan pembelajar dari lingkungan dunia “nyata”,
dan pembelajaran yang kurang mengembangkan keingintahuan pembelajar.
Di sisi lain kaum positivisme juga memberikan andil yang berarti dalam bidang
ini. Karena dalam perkembangannya, Teknologi Pembelajaran cenderung mendudukkan
dirinya sendiri sebagai ilmu pengetahuan (science) dan banyak teknolog beorientasi ke
arah positivism. Positivisme adalah salah satu aliran dalam persoalan pengetahuan yang
berpendirian bahwa kepercayaan-kepercayaan dogmatif harus digantikan dengan
2
3. pengetahuan faktawi. Apa pun yang berada di luar dunia pengalaman tidak perlu
diperhatikan. Manusia harus menaruh perhatian pada dunia ini (Fakultas Filsafat UGM:
2003, 40). Dengan kata lain bahwa pengetahuan itu pada dasarnya bersifat ilmiah.
Observasi yang obyektif dinilai dan hubungan sarana-tujuan atau sebab-akibat di antara
lingkungan itu ditelusuri. Penelitian kuantitatif eksperimental menjadi mode yang
dikehendaki. Filosofi inilah yang mendorong evaluasi berdasar penelitian.
Dalam menentukan desain pembelajaran dasar kunci pentingnya adalah
pemilihan media. Proses ini mengemban peranan sentral dalam bidang studi itu, terlepas
dari kompleksitas dan kemampuan media pembelajaran yang ada. Pada dasawarsa
1950-an dan 1960-an, Kerucut Pengalaman Dale (Dale’s Cone of Experience)
merupakan model yang mudah dipahami untuk menjelaskan model yang mudah
dipahami untuk menjelaskan level kekonkretan yang diberikan oleh berbagai kategori
media, dan kerucut itu memainkan peranan dalam pemilihan media. Secara spesifik
dinyatakan, bahwa media dapat digunakan untuk menghubungkan konsep konkret dan
abstrak untuk meningkatkan belajar. Kerucut Dale merupakan refleksi filosofis
eksperiental John Dewey mengenai pendidikan. Heinich, Molenda, dan Rusell dalam
Barbara B. Seels (1994) menghubungkan berbagai level Kerucut Pengalaman itu
dengan skema kegiatan pembelajaran Bruner — kegiatan yang dilihat bersifat abstrak,
iconis (berdasar simbol ikon), atau enactive.
Teknologi baru telah menciptakan isu etis yang lain yang tidak begitu tampak
dan kelihatannya tidak berpengaruh. Misalnya, persoalan persamaan dalam kesempatan
pendidikan dapat menjadi isu teknologi. Karena pemakaian teknologi secera efektif
dalam pendidikan menghendaki perubahan sistemik untuk memberikan akses daripada
perangkat keras dan lunak, dan proses belajar inovatif, terdapat kemungkinan
menciptakan masyarakat belajar bipolar dengan memperluas kesenjangan antara “si
kaya” dan “si miskin”. Baik secara teoritis maupun praktis hal itu merupakan dilema
tersendiri. Selain itu, otomatisasi, robot, dan inteligensi buatan merupakan masalah etik
tersendiri dalam hubungannya dengan aplikasi kemajuan itu dalam sistem pendidikan.
Perhatian etis itu bisa menjadi lebih kompleks ketika pengaruh teknologi
semakin kelihatan. Misalnya, teknologi medis bisa memberikan metode untuk
meningkatkan memori, membantu belajar, mengubah persepsi dan pemahaman
manusia. Dalam situasi ini sulitlah menentukan perilaku yang bagaimana yang
3
4. dipandang tepat dan apa yang bisa memiliki pengaruh negatif jangka panjang. Kode etik
ini memberikan arah untuk praktek sehari-hari dan menjadi dasar untuk memahami dan
menginterpretasikan implikasi etis dari bebagai isu yang mungkin menghadapi para
praktisi dewasa ini (Barbara B. Seels & Rita C. Richey, 1994).
Sudah terjadi 4 revoluasi atau perubahan-perubahan besar dalam ini pendidikan
•
Revolusi I: Pada saat orang tua menyerahkan tanggung jawab pendidikan anakanaknya kepada oran lain. Orang lain tersebut diserahi untuk melaksanakan
pendidikan anak-anaknya. Sebelumnya orang-orang melaksanakan pendidikan
anak-anaknya sendiri-sendiri atau mengajar anak-anak sendiri tidak memberikan
kepada orang lain, hampir semua keluarga mendidik anak-anaknya dalam
keluarga sendiri. Pendidikan yang dilakukan secara individual.
•
Revoluasi II : Ada suatu lembaga guru, jadi pada tahapan ini ada lembaga
pendidikan formal. Tidak seperti sebelumnya belum ada lembaga resmi yang
ada sehingga pendidikan dilaksakan orang per orang. Dalam lembaga ada
aturan-aturan yang diberlakukan, contohnya untuk masuk SR usianya 6 tahun
dan lain-lain. Dalam revoluasi ini guru dianggap sangat penting segala sesuatu
dianggap diketahui oleh guru, dan guru dipandang memiliki pengetahuan yang
lebih dari orang lain. Sehingga lembaga ini memiliki kedudukan yang tinggi di
masyarakat.
•
Revolusi III : Disebabkan oleh ditemukannya mesin cetak, cetak secara manual
dilakukan oleh Cina, dan cetak dengan menggunakan mesin cetak dilakukan
oleh Eropa (Prancis). Dengan mesin cetak maka pengetahuan tidak hanya
diperoleh dari guru tetapi dapat diperoleh dari hasil cetakan seperti: buku,
majalah, koran dan lain-lain. Pada revolusi ke-3 ini peran guru sudah mengalami
pengurangan. Revolusi ke-3 sampai dengan saat ini masih terjadi
•
Revolusi IV : Disebabkan oleh berkembangnya bidang elektronik sepeti telpon,
tv, komputer, internet dimana guru tidak dapat lagi untuk mengontrolnya. Atau
minimal peran guru berkurang, dan guru tidak dapat mengklaim dirinya sebagai.
DAFTAR PUSTAKA
4
5. Seels, Barbara B. and Rita C. Richey. 1994. Teknologi Pembelajaran : Definisi dan
Kawasannya. Terjemahan. Jakarta : IPTPI
Miarso, Yusufhadi. 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu, Sebagai Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
5
6. Seels, Barbara B. and Rita C. Richey. 1994. Teknologi Pembelajaran : Definisi dan
Kawasannya. Terjemahan. Jakarta : IPTPI
Miarso, Yusufhadi. 2009. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group
Suriasumantri, Jujun S. 1996. Filsafat Ilmu, Sebagai Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
5