Makalah ini membahas tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit miastenia gravis, meliputi definisi penyakit, etiologi, manifestasi klinis, klasifikasi, patofisiologi, dan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis penyakit tersebut.
FAKTOR LINGKUNGAN YANG DAPAT MENINGKATKAN RISIKO PENYAKIT LUPUS ERITEMATOSUS ...
Sle jadi
1. TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT MIASTENIA
GRAVIS
Dosen : Dewi Baririet Baroroh S.Kep., Ns.
OLEH :
KELOMPOK IV
PSIK VII C
PROGRAM STUDI ILMUKEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012
TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT MIASTENIA
GRAVIS
2. Dosen : Dewi Baririet Baroroh, S. Kep., Ns.
OLEH :
1. Maulana Hendrawan (09060135)
2. Rahmayatun Najah (09060155)
3. Imam Abdul Nasir (09060171)
PROGRAM STUDI ILMUKEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga makalah Keperawatan Medika Bedah III dengan
judul Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Miastenia Gravis, dapat terselesaikan
dengan baik.
3. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Teman-teman kelompok yang telah
memberikan dukungan dari awal hingga akhir pembuatan makalah ini, Ibu Dewi Baririet
Baroroh, S.Kep.,Ns. selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III yang telah
membimbing dan memberi arahan kepada kami, serta seluruh pihak yang turut membantu
penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak terdapat kesalahan dalam makalah ini, karena itu
kritik dan saran yang mendukung sangat kami harapkan demi perbaikan dalam penulisan
makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Malang, 5 Oktober 2012
Penulis
4. BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus
Indonesia). Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 – 400 orang
per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu
seperti bangsa Afrika – Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.
Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1
kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000
(Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai
prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada
orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per
100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand,
prevalensi penyakit ini pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya
14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006).
Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan
sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus
Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo
Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati
urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Setiap tahun
ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit
yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat,
penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE.
Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan
keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh
karena itu penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk
penyakit SLE terhadap kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat
untuk penderita maupun keluarganya
5. 1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari penyakit SLE?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit SLE?
3. Bagaimana manifestasi klinik dari SLE?
4. Bagaimana patofisiologi penyakit SLE?
5. Apakah factor-faktor penunjang pemeriksaan pasien SLE?
6. Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium pada pasien miastenia gravis
7. Apakah komlikasi yang disebabkan oleh penyakit SLE?
8. Bgaimana Pengobatan pada klien dengan penyakit SLE?
9. Bagaimana Diagnosa keperawatan, NIC dan NOC pada pasien SLE?
1.3. Tujuan
Tujuan umum :
1) Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien yang tepat dengan SLE
Tujuan Khusus :
a) Untuk mengetahui definisi dari penyakit SLE
b) Untuk mengetahui etiologi dari penyakit SLE
c) Untuk mengetahui manifestasi klinik dari SLE
d) Untuk mengetahui patofisiologi penyakit SLE
e) Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang SLE
f) Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium pada pasien SLE
g) Untuk mengetahui komplikasi yang disebabkan oleh penyakit SLE
h) Untuk mengetahui Pengobatan pada klien dengan penyakit SLE
i) Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan dari kasus
6. BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi SLE
(Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang
sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan
atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi
dalam tubuh.
SLE adalah penyakit radang multisistem yang penyebabnya belum diketahui,
dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibody dalam tubuh. SLE
merupakan prototype penyakit autoimun multisistem yang ditandai oleh munculnya
sekumpulan reaksi imun abnormal yang menghasilkan beragam manifestasi klinik
Sytemic lupus erythematosis (SLE) adalah suatu penyakit inflamasi outoimun pada
jaringan penyambungbyang dapat mencakup ruam kulit,nyeri sendi dan keletihan.(
Elizabeth J.C ,Jakarta : EGC,2009)
SLE adalah suatu penyakit autoimun pada jaringan ikat yang menunjukkan berbagai
manifestasi paling sering berupa artritis,dapat juga timbul manisfestasi dikulit,ginjal dan
neurologis. (Amanda dkk ,2009)
SLE adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang melewati tiga bentuk dasar
lupus discoid yang menyerang kulit lupus disebabkan oleh bahan kimia/obat – obatan dan
sistemik lupus eritemotosus yang menyerang system organ besar (Diane C.B, Joann C.H,
,2000)
SLE adalah penyakit autoimun sistemik ditandai oleh produksi autobantibodi dan
keragaman manifestasi klinis (Cyntnia, Betty Diamond Meggan MackayMM, 2009)
B. Etiologi SLE
Menurut Buku saku patofisiologi, Elizabeth J .Corwin ,Jakarta : EGC,2009
,Sampai saat ini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal
belum diketahui. Ada kemungkinan
7. - faktor genetic
Penelitian menunjukkan bahwa banyak Gen yang berperan terutama yang
mengkode system Imun seperti Gen yang mengkode reseptor sel T,
Imunoglobulin dan sitokin.
- sinar ultraviolet.
- obat-obatan tertentu memainkan peranan.
- Hormonal
C. Manifestasi Klinis SLE
No Tempat Gejala
1 muskuloskel berupa artritis,
etal atralgia, dan
mialgia
sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki
(Delafuente, 2002).
2 Mukokutan ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema
yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi.
vaskulitis eritema periungual,
livido retikularis,
alopesia,
ulserasi, dan
fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
3 jantung gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk
gejala endokarditis Libman-Sachs
perikarditis,
miokarditis,
8. 4 Paru - paru pleuritis dan
efusi pleura Pneumonitis lupus
5 abdomen mual,
diare,
dispepsia
vaskulitis,
perforasi usus,
pankreatitis, dan
hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
6 saraf neuropati perifer
disfungsi kognitif,
psikosis,
depresi,
kejang, dan
stroke (Delafuente, 2002).
7 ginjal lupus nefritis
tingginya serum kreatinin
adanya proteinuria
D. Klasifikasi Miastenia Gravis
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus
erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
9. Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi,
skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga,
wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena
lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya
apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein,
1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
(Herfindal et al., 2000).
E. Patofisiologi SLE
Lembar berikutnya
F. pemeriksaan Penunjang SLE
Menurut Robin Graham-Brown. Jakarta : Erlangga, 2005, Pemeriksaan untuk menentukan
adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:
1. Pemeriksaan darah
Antinuclear antibody (ANA) yang juga disebut antinuclear factor (ANF), dan antibodi
DNA ditemukan pada sebagian besar pasien SLE. Antibodi-antibodi terhadap DNA
untai-ganda ini merupakan hal yang karakteristik. Sejumlah autoantibodi yang lain bisa
juga ditemukan, seperti anti-Ro dan anti-La, antibodi limfosititoksik, antibodi
10. antiplatelet, dan antikoagulan lupus. Dapat juga ditemukan adanya faktor reumatoid
positif dan tes serologis terhadap sifilis secara biologis bisa positif palsu.
2. Pemeriksaan histologis dari biopsi yang dilakukan pada kulit yang secara klinis terkena,
memberikan gambaran khusus, sedangkan pemeriksaan dengan imunofluresensi langsung
menunjukkan adanya deposisi linier dari imunoglobulin G (IgG) atau imunoglobulin M
(IgM) dan C3 pada pertemuan dermis-epidermis.(brown. R.g, 2005)
3. Pemeriksaan darah untuk mengukur kadar komplemen (protein yang berperan dalam
sistem kekebalan) dan untuk menemukan antibodi lainnya, mungkin perlu dilakukan
untuk memperkirakan aktivitas dan lamanya penyakit.
4. Ruam kulit atau lesi yang khas
5. Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis
6. Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura atau
jantung
7. Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein
8. Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah
9. Biopsi ginjal
10. Pemeriksaan saraf
11. Pemeriksaan Laboratorium meliputi
Uji laboratorium yang penting untuk mendiagnosa Lupus
Untuk menegakkan diagnosis SLE, diperlukan beberapa jenis uji diagnostik (pemeriksaan
laboratoium) terutama bila gejala-gejala kurang jelas. Tidak ada uji diagnostik tunggal
untuk Lupus. Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang sering dipakai untuk
menegakkan diagnosis SLE, yaitu:
a. Antinuclear Antibody (ANA)
Disebut juga sebagai Anti Nuclear Factor (ANF) adalah suatu antibodi yang
menyerang atau mengikat inti sel yang merupakan pusat perintah sel. Tes darah ANA
merupakan tes yang sangat sensitif untuk Lupus. Ketika ada tiga atau lebih ciri khas
Lupus seperti keterlibatan kulit, sendi, ginjal, paru-paru, jantung, darah, atau sistem
saraf, maka tes ANA yang positif merupakan konfirmasi adanya Lupus. Namun, hasil
tes ANA positif tidak selalu berati memilki Lupus. ANA dapat menjadi positif pada
orang denga penyakit lain, atau positif pada orang yang tidak sakit. ANA juga bisa
11. berubah dari positif ke negatif, atau negatif ke positif pada orang yang sama. Namun,
Antibodi antinuclear biasanya ditemukan (97%) dalam darah penderit Lupus.
b. Antibodi terhadap fosfolipid (aPLs)
Antibodi ini dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah, pembekuan darah di
kaki atau paru-paru, stroke, serangan jantung, atau keguguran. Yang paling sering
aPLs diukur adalah antikoagulan Lupus, antibodi anticadiolipin, dan anti-Beta2
glikoprotein. Hampir 30% orang dengan Lupus akan mendapatkan hasil tes positif
untuk antibodi antifosfolipid.
Catatan : Fosfolipid selain ditemukan pada Lupus juga ditemukan pada penyakit
Syphilis, jadi hasil positif untuk tes sifilis tidak berarti bahwa telah atau pernah
menderita Syphilis karena sekitar 20% dari penderita Lupus akan memiliki hasil tes
Syphilis positif palsu.
c. Antibodi terhadap protein Sm dalam inti sel (Anti Sm)
Antibodi Sm ditemukan pada 30-40% orang dengan Lupus, keberadaan antibodi ini
hampir selalu dapat diartikan bahwa seseorang mengidap Lupus.
d. Antibodi untuk Ro/SS-A dan La/SS-B
Antibodi untuk Ro/SS-A dan La/SS-B (Ro dan La adalah nama-nama protein lain
dalam inti sel). Ati-Ro terutama ditemukan pada Lupus bentuk kutan (kulit), suatu
bentuk Lupus yang menyebabkan ruam yang sangat sensitif terhadap sinar matahari.
Pada wanita hamil, antibodi Ro dan La dapat melewati plasenta dan dapat
menyebabkan Lupus Neonatal pada bayi. Lupus Neonatal jarang terjadi dan biasanya
tidak berbahaya, tetapi bisa serius dalam beberapa kasus Komplemen (Complement)
C3 dan C4 yang rendah. Komplemen adalah sekelompok protein yang berfungsi
membantu kerja sistem kekebalan tubuh dan berperan dalam proses peradangan. Ada
9 macam komplemen yang bergerak bebas di dalam aliran darah yaitu C1 sampai C9.
Komplemen yang penting dalan diagnosis SLE adalah C3 dan C4. Level normal C3
dan C4 dalam darah untuk perempuan 13-75 mg/dL dan untuk laki-laki 12-72 mg/dL.
Pada SLE aktif, biasanya C3 dan C4 turun dibawah level normal.
12. e. Antibodi untuk DNA untai ganda (anti-dsDNA)
Antibodi ini menyerang DNA (suatu material genetik di dalam inti sel). Anti-dsDNA
ditemukan pada 50% penderita Lupus, tetapi kadang antibodi ini tidak terdeteksi pada
penderita Lupus.
G. Komplikasi
komplikasi SLE meliputi :
1. infeksi, gagal jantung,
2. kerusakan saraf permanen dan
3. kematian. gang. ginjal,
4. rentan infeksi,
5. gang pembuluh darah
6. jantung, paru,
7. keguguran berulang
8. Dll
H. Penatalaksanaan
Dalam garis besarnya penatalaksanaan SLE dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu:
1. Konseling dan tindakan suportif
Penderita perlu diberi penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan
penyakit, komplikasi, prognosis dan sebagainya) sehingga diharapkan penderita dapat
bersikap positif terhadap penanggulangan penyakitnya.
Istirahat diperlukan sampai gejala akut penyakitnya hilang. Aktivitas normal dapat
dimulai kembali secara bertahap, kecuali jika timbul kelelahan penderita boleh kembali
ke aktivitas semula. Kebersihan tubuh dan gizi yang baik juga diperlukan.
Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindari, karena sinar ultra violet
dapat merusak dan merubah membran lisosom dan DNA sel-sel kulit, sehingga dapat
memacu eksaserbasi penyakitnya. Dapat dipakai lotion tertentu (sun screener lotion)
untuk mengurangi kontak langsung dengan sinar matahari.
13. Beberapa hal yang juga perlu diperhatikan dan dihindarkan dari penderita SLE adalah
stress psikis, kerusakan jaringan baik karena trauma maupun operasi, infeksi dan
pemakaian obat-obatan, antara lain sulfonamid, prokainamid, antikonvulsi, isoniazid,
klorpromazin, klortalidon, metildopa, propiltiourasil, metiltiourasil, klonidin dan
penghambat beta.
Kontrasepsi oral yang mengandung estrogen sebaiknya hanya diberikan dengan takaran
minimal pada penderita yang telah terkendali dengan baik. Vaksinasi juga sebaiknya
dihindari.
2. Obat-obatan
a. Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)
Kelainan muskuloskeletal sering dijumpai pada penserita SLE. Artralgia, artritis dan
mialgia serta kelainan sistemik lainnya seperti demam dan serositis ringan dapat
diatasi dengan obat anti inflamasi non steroid.
b. Obat Anti Malaria
Obat anti malaria mula-mula diperkenalkan sebagai obat untuk artritis reumatoid,
setelah melalui beberapa percobaan, ternyata juga berguna untuk mengatasi kelainan
kulit dan artritis pada SLE.
Pemakaian obat ini dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan efek samping
terutama pada mata, berupa infiltrasi kornea yang bersifat reversibel dengan
diberhentikanya pengobatan, dan retinopati, yang mungkin bersifat irreversibel
disertai dengan kebutaan. Oleh karena itu pemakaian obat ini harus disertai dengan
pemeriksaan mata secara teratur setiap 3 bulan.
c. Kortikosteroid
yaitu penderita SLE dengan kelainan kulit yang memburuk dan tak responsif
terhadap pengobatan konservatif, dalam keadaan ini biasanya diperlukan takaran
rendah sampai sedang, keadaan lain dimana diperlukan kortikosteroid ialah adanya
gejala gangguan saraf pusat, perikarditis, miokarditis, pleuritis, pneumonitis, hepatitis
dan demam yang tinggi.
14. Pemakaian kortikosteroid dalam jangka panjang dapat menimbulkan beberapa efek
samping, antara lain osteoporosis, gangguan toleransi glukosa, sampai timbul
diabetes, kenaikan tekanan intrakranial, pengecilan otot, terutama pada paha, bahu
dan pinggul, gangguan psikologis, hipertensi, nekrosis tulang aseptik, memudahkan
terjadinya infeksi, miopati, hipokalemia, katarak dan glaukoma. Selain itu juga ada
efek samping akibat penghentian pemakaiannya secara mendadak atau tiba-tiba, yaitu
berupa hipoglikemia, hipotensi, gangguan elektrolit dan syok.
d. Obat Imunosupresif/Sitotoksis
Indikasi utama penggunaannya adalah ubtuk nefritis lupus dengan gambaran
histologis proliferatif difus. Biasanya obat ini diberikan bersama dengan
kortikosteroid. Namun penggunaan obat ini masih diperdebatkan untuk penderita
SLE. Karena akan timbul efek samping yang berat karena pemakaian kortikosteroid
tersebut, juga pada penderita yang ada kontaindikasi untuk mendapatkan
kortikosteroid, dan pada penderita yang sudah tidak responsif lagi terhadap
pemakaian kortikosteroid.
Efek samping dari obat imunosupresif/sitotoksis adalah penekanan sumsum tulang,
kegagalan gonad yang irreversibel, hepatotoksik dan sistitis hemoragi serta
peningkatan kemungkinan timbulnya keganasan.
e. Terapi hormonal
Keterlibatan faktor hormonal pada SLE ditemukan dalam penelitian pada manusia
dan binatang. Dilaporkan adanya metabolisme estrogen yang abnormal pada
penderita pria maupun wanita. Tetapi belum diketahui secara pasti bagaimana
mekanisme pengaruh hormon terhadap respon imun. Tampaknya estrogen
memperbesar respon imunitas humoral dan menekan imunitas seluler, sedangkan
androgen dapat mengurangi autoimunitas.
f. Stimulasi Imunologik
Karena ditemukannya kelainan pada populasi sel T pada penderita SLE, maka
15. kemudian dicoba obat-obatan yang tampaknya dapat berperan pada diferensiasi sel T.
Levamisol termasuk dalam golongan obat tersebut (immune modulation).
g. Plasmaferesis
Plasmaferesis dilakukan dalam penatalaksanaan berbagai kelainan imunologis.
Diperkenalkan pertma kali penggunaannya untuk penderita SLE pada tahun 1974.
Plasmaferesis menunjukkan keberhasilan dalam mengatasi beberapa gejala SLE pada
eksaserbasi yang berat dan kehamilan.
Dengan plasmaferesis, secara sentrifugasi plasma penderita SLE yang mengandung
kompleks imun dipisahkan dari darah, sel-sel darahnya kemudian dikembalikan lagi
ke dalam tubuh bersama dengan pengganti plasma berupa albumin atau plasma segar.
Mula-mula 1,5 – 3,0 liter plasma diganti setiap hari, setelah penyakitnya terkendali,
penggantian tersebut dapat dijarangkan setiap beberap minggu atau bulan.
3. Pengobatan terhadap komplikasi
Komplikasi yang sering timbul pada penderita SLE adalah infeksi sekunder, antibiotik
dengan daya jangkau luas perlu diberikan lebih dulu sebelm adanya hasil uji kepekaan
kuman terhadap antibiotik.
Pada sistem kardiopulmoner mungkin dapat timbul efusi pleura, efusi perikard sampai
temponade jantung yang memerlukan tindakan invasif seperti perikardiektomi.
Obat antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang pada penderita SLE dengan
gangguan susunan saraf pusat. Sedang pada kelainan muskuloskeletal mungkin
diperlukan fisioterapi dan tindakan rehabilitasi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
pada sendi dan ototnya serta untuk mempertahankan kemampuan mobilisasi yang masih
ada.
Kelainan ginjal dapat berupa kegagalan fungsi ginjal yang ringan sampai berat. Dalam
keadaan ini dipertimbangkan pemberian diuretik, obat anti hipertensi, dan mungkin juga
dialisis.
Antikoagulasi oral dapat diberikan untuk mencegah trombosis vena yang berulang dan
tromboflebitis. Obat ini juga diberikan pada pebderita SLE dengan sindrom nefrotik yang
berat, dimana biasanya disertai dengan keadaan hiperkoagulasi dan trombosis vena
16. rebalis atau trombosis vena-vena kecil dalam ginjal. Heparin diberikan dalam takaran
antikoagulasi, kemudian dilanjutkan dengan takaran pemeliharaan 250mg/hari subkutan.
Untuk penderita SLE dengan trombosis arteri dapat diberikan obat anti platelet, yaitu
asam asetilsalisilat (ASA) takaran rendah (100mg/hari).
17. I. Asuhan Keperawatan SLE
KASUS SLE
Nn. Y, 26 tahun, belum menikah, masuk puskesmas Sidowaras tanggal 5 Juli 2012 dengan
keluhan pegel linu, dan dirujuk ke RSU Kepanjen pada tanggal 8 Juli 2012, pasien mengeluh
nyeri di persendian kedua kaki, oedem kedua kaki dan demam (39 C). Pasien didiagnosa SLE
setelah dilakukan berbagai macam pemeriksaan diagnostik. Ketika pengkajian didapatkan
data bahwa nyeri hilang timbul, dan meningkat ketika bergerak, skala 7 sehingga
mengganggu tidurnya. Tidur pasien hanya 5 jam sehari dan sering bangun di malam hari.
Hasil lab didapatkan kadar Hb = 9 g/dl, trombosit = 90.000/ µl, penurunan faktor prmbekuan
darah. Selain itu pasien juga merasa malu karena ada ruam di wajah dan terus bertanya
kepada perawat apakah ruam tersebut bisa hilang kalau penyakitnya sembuh.
1. Analisis data
Nama : Nn. Y
Umur : 26 Tahun
MRS : puskesmas Sidowaras 5 Juli 2012
Dirujuk : ke RSU Kepanjen pada tanggal 8 Juli 2012
No Data Etiologi Masalah
1 Ds: Gangguan rasa nyeri Gangguan Pola
- Pasien mengatakan tidur 134
tidurnya kurang puas
- Pasien mengatakan sering
terbangun di malam hari
Do :
- Tidur pasien kurang (5
jam)
18. - pasien terganggu dengan
nyerinya
Ds: Nyeri Hambatan
- pasien mengeluh nyeri di Mobilitas Fisik 143
persendian kedua kaki
Do:
- Keterbatasan kiemampuan
untuk melakukan
ketrampilan motorik kasar
- Keterbatasan rentang
pergerakan sendi
- Nyeri meningkat ketika
bergerak menjadi skala 7
Ds : Imobilisasi (nyeri di Intoleransi Aktifitas
- Pasien mengatakan dirinya persendian)
seperti tidak punya daya,
letih , lesu
Do:
- Respon kadar hemoglobin
9 g/dl
- nyeri di persendian
meningkat setelah
melakukan pergerakan
Ds : Agen Nyeri Akut 410
- pasien mengeluh nyeri di cedera(biologis)
persendian kedua kaki
Do:
- nyeri hilang timbul, dan
19. meningkat ketika bergerak
- skala nyeri 7
- klien menolak perawat
yang akan memegang
sendinya
Ds: Penyakit SLE Hipertermi
- pasien mengeluh dingin
dan menggigil
Do:
- suhu pasien tinggi (39
derajar celcius)
- kulit pasien terawa hangat
- kulit pasien tampak
kemerahan
` Ds :- Gangguan Kelebihan volume
Do: mekanisme regulasi cairan
- Odema di kedua kaki
pasien
- Adanya penurunan hb(
9g/dl)
- Perubahan berat jenis urin
Ds: Koagulopati Resiko Perdarahan
Do: inkoherensi
- kadar Hb = 9 g/dl (trombositopenia)
(normalnya 12g/dl),
- trombosit = 90.000/ µl
(normalnya 200.000 µl –
500.000 µl
- penurunan faktor
prmbekuan darah
20. 2. Prioritas diagnose
a. Kelebihan volume cairan b/d Gangguan mekanisme regulasi
b. Nyeri Akut b/d Agen cedera(biologis)
c. Hipertermi b/d infeksi penyakit SLE
21. DAFTAR PUSTAKA
.(Buku saku patofisiologi, Elizabeth J .Corwin ,Jakarta : EGC,2009)
(Panduan pemeriksaan antenatal, Amanda Sullivan,lucy kean,Alison cryer,Jakarta : EGC ,2009)
(Keperawatan medical bedah ,Diane C. Baughman, Joann C.Hackley, Jakarta : EGC,2000)
Obstetri & ginekologi : panduan praktik , Geri Morgan ,Carole Hamilton, Jakarta 2009
HYPERLINK "http://doktersehat.com/lupus-apa-itu-penyakit-lupus/"
http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%207/3-Fredy.pdf
http://doktersehat.com/lupus-apa-itu-penyakit-lupus/
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000435.htm
http://buletinsehat.com/obat/sistemik-lupus-eritematosus-sle/