1. Istighfar merupakan kunci utama untuk mendapatkan berkah dan kemudahan dalam kehidupan, termasuk rezeki yang melimpah. Teladan Nabi Muhammad SAW dan sahabat mencontohkan pentingnya istighfar.
2. Banyak manusia mengumpulkan harta dengan cara yang tidak benar tanpa istighfar dan mengundang murka Allah. Istighfar yang tulus dapat menyelesaikan masalah dan membuka jalan baru untuk rezeki.
3
1. 1
Istighfâr, Kunci Rizki Yang Terlupakan
Tak satu pun manusia yang tidak suka terhadap harta. Tiada
seorang pun manusia yang tidak senang jika rizkinya melimpah. Tiada
seorang insan pun yang tidak gembira bila kekayaannya semakin bertambah.
Allâh Yang Maha Mengetahui telah menguraikan jati diri makhluk yang
bernama manusia dalam firman-Nya:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” [QS al-
Fajr/89: 20]
Cinta harta dan dunia adalah sifat dasar manusia, dan yang menjadi
pembeda adalah keimanan dan ketakwaan yang tersimpan dalam dada;
seberapa jauh bisa mengendalikan diri dalam mencarinya; seberapa kuat bisa
memimpin diri dalam memerolehnya.
Ironisnya, banyak manusia mengadu nasib demi mengumpulkan
harta sebanyak-banyaknya dengan cara semaunya, tanpa peduli apakah cara
itu mengundang ghadhab (murka) Allah ‘Azza wa Jalla atau tidak?! Bahkan
tanpa berpikir: “apakah hal itu akan memancing adzâb (siksa)-Nya”. Tidak
sedikit kaum Muslimin yang meminta harta kepada selain Allah, dengan
cara – misalnya – meminta-minta kepada penunggu pohon, gung dan lautan
luas yang dianggap bertuah. Tidak sedikit manusia yang mengaku Muslim
mengumpulkan kekayaan dengan memuja dan berdoa kepada benda-benda
pusaka yang dianggap keramat, tanpa berpikir bahwa itu adalan perbuatan
syirik. Na'ûdzubillâh min dzâlik.
Di sisi lain banyak juga kaum muslimin berbaju Islam, tapi prinsip
hidupnya adalah selaras dengn ‘ideologi kapitalis’, yaitu berkeyakinan bahwa
“tujuan menghalalkan segala cara,” yang penting adalah: “menghasilkan
banyak uang”, cara apa pun boleh dan pasti akan ditempuh, meskipun harus
dengan cara menghisap darah saudaranya dengan berbagai praktik riba,
‘renten dan beternak uang’. Mereka menari-nari di atas penderitaan orang
lain, bahkan gembira berenang dalam sungai darah makhluk sejenisnya.
Demi Allâh, harta yang diperoleh dengan cara-cara tersebut tidak
akan pernah diberkahi, bahkan tidak akan bisa memberikan kebahagian
hakiki bagi pemiliknya di dunia, sampai di akherat. Sebaliknya, harta-harta
itu justru sangat berpotensi mendatangkan siksa dan petaka yang tiada
terperikan. Semoga kita senantiasa dalam penjagaan Allah ‘Azza wa Jalla.
Di waktu yang sama, ternyata Allâh, Ar-Razzâq (Dzat Maha
2. 2
Pemberi Rizki) segenap makhluk-Nya, telah memberikan kunci pengundang
rizki. Kunci ini banyak dilalaikan manusia. Jangankan oleh orang yang tidak
mengetahuinya, orang yang mengetahuinya pun kadang meremehkannya.
Cara dan kunci yang teramat mudah dengan keampuhan tiada tara, melalui
lisan Nabi-Nya Nuh ‘alaihis salâm kepada kaumnya, diabadikan dalam
firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘mohonlah ampun kepada Rabb kalian, karena
sesungguhnya Dia adalah Sang Maha Pengampun! Niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepada kalian dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian,
dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun, serta mengadakan (pula di dalamnya)
untuk kalian sungai-sungai.” [QS Nûh/71:10-12]
Generasi sahabat memberikan teladan dalam pengamalan ayat yang
mulia ini. Mutharrif meriwayatkan dari asy-Sya'biy, bahwa Umar bin al-
Khaththab radhiyâllahu ‘anhu pernah memimpin kaum Muslimin melakukan
istisqâ' (minta hujan). Anehnya, beliau radhiyâllahu ‘anhu tidak banyak
meminta kecuali memerbanyak istighfâr sampai beliau radhiyâllahu ‘anhu
pulang. Seseorang bertanya kepadanya, ”Kami tidak mendengar anda
meminta hujan?!” Beliau radhiyâllahu ‘anhu menjawab:
“Sungguh aku telah meminta hujan menggunakan kunci-kunci pengendali langit,
yang dengan akan diturunkan hujan.” (Hadits Mauquf Riwayat Ibnu Abi
Syaibah dari ِAsy-Sya’bi, Mushannaf ibni Abî Syaibah, juz X, hal. 311, hadits
no. 30099)
Kemudian beliau membaca firman-Nya (yang artinya), ”Maka aku
katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, karena
sesungguhnya Dia adalah Sang Maha Pengampun-!’ Niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan
anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun, serta mengadakan
(pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai.” (QS Nûh/71: 10-12). Riwayat
ini disebutkan oleh al-Qurthubi, dalam kitab tafsirnya, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qurân, juz XVIII, hal. 302) dan Ibnu Katsir, dalam Tafsîr al-Qurân al-‘Azhîm,
3. 3
juz VIII, hal. 233).
Generasi tabi'in pun memberikan teladan dalam pengamalan ayat
yang mulia ini. Dikisahkan bahwa al-Imam al-Hasan al-Bashri, ketika beliau
rahimahullâh didatangi oleh seorang lelaki dan mengeluhkan paceklik serta
kemarau yang panjang. Kemudian beliau rahimahullah menasihatkan agar
beristighfâr dan memohon ampunan atas dosa-dosanya. Kemudian datang
lagi orang lain seraya mengeluhkan kefakiran serta kemiskinannya. Lalu
beliau pun menasihatkan agar beristighfâr dan memohon ampunan atas dosa-
dosanya. Pernah datang orang yang lain pula seraya mengeluh karena belum
dikaruniai anak dan keturunan, maka beliau pun menasihatkan agar
beristighfâr dan memohon ampunan atas dosa-dosanya. Juga datang orang
yang lain seraya mengeluhkan kegagalan pertaniannya, beliau pun
menasihatkan agar beristighfar dan memohon ampunan atas dosa-dosanya.
Akhirnya, beliau pun ditanya, “Mengapa setiap orang yang kepada anda
mengeluhkan keadaannya, selalu anda menasihati mereka agar
memerbanyak istighfâr?” Beliau menjawab:
“Tidak sedikit pun yang aku katakan itu yang bersumber dari diriku,
sesungguhnya Allâh berfirman dalam surat Nuh”, (yang artinya), “Maka aku
katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabb kalian, karena
sesungguhnya Dia adalah Sang Maha Pengampun-!’ Niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan
anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun, serta mengadakan
(pula di dalamnya) untuk kalian sungai-sungai.” [QS Nûh/71: 10-12] (Lihat: Al-
Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân, juz XVIII, hal. 302)
Jika demikian, kehebatan istighfâr, serta begitu besar dan luas
pengaruhnya dalam kehidupan manusia, maka tampak bagi kita, bahwa
tidak seorang pun yang tidak membutuhkan istighfâr, bahkan Rasûlullâh
shallallâhu ‘alaihi wa sallam -- yang mulia -- setiap harinya beristighfâr lebih
daripada 70 kali, sebagaimana Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam jelaskan
dalam sabda beliau:
“Demi Allâh, sesungguhnya aku beristighfâr dan bertaubat kepada Allâh lebih
daripada 70 kali dalam sehari.” [Hadits Riwayat al-Bukhâri dari Abu Hurairah
radhiyallâhu ‘anhu, Al-Jâmi’ ash-Shahîh, juz VIII, hal 83, hadits no. 6307]
Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga,
4. 4
dosa-dosanya yang terdahulu maupun yang akan datang sudah dijamin
untuk diampuni, termasuk makhluk yang paling dicintai Allah ‘Azza wa Jalla,
ternyata sedemikian banyak dalam keseharian beliau shallallâhu ‘alaihi wa
sallam memohon ampunan atas dosa-dosanya. Kita sebagai umat
Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang ‘tidak dijamin’ masuk surga,
tidak dijamin diampuni dosa-dosa kita, tentunya kita lebih butuh untuk
beristighfâr dan memerbanyaknya.
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memberikan motivasi:
“Barangsiapa memerbanyak istighfâr, niscaya Allâh merubah setiap kesedihannya
menjadi kegembiraan; Allah Azza wa Jalla memberikan solusi dari setiap
kesempitannya (kesulitannya), dan Allâh anugerahkan rizki dari jalur yang tiada
disangka-sangka.” [Hadits Riwayat al-Hakim, Al-Mustadrak, juz IV, hal. 291,
hadits no. 7677 dan Al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, juz II, hal. 150, hal. 636, dari
Abdullah bin Abbas]
Dengan demikian, apa pun kesulitan kita, apa pun kesedihan yang
kita rasakan, apa pun kegundahan yang menghantui kita, maka solusinya
adalah memerbanyak istighfâr. Bahkan dalam urusan dunia, kemiskinan dan
belum adanya keturunan, maka jalan keluarnya adalah memerbanyak
permohonan ampun kepada Allah ‘Azza wa Jalla atas dosa-dosa kita.
Semoga kita dijadikan oleh Allâh sebagai hamba-hamba-Nya yang
bisa mengisi dan memenuhi detik-detik sisa hidup kita dengan memerbanyak
istighfâr dan memohon ampunan atas semua kesalahan dan dosa, baik yang
disengaja maupun yang tidak disengaja.
Berkaitan dengan istighfâr, ada tiga jenis manusia yang rugi:
Pertama, ‘sungguh rugi’, manusia yang tidak membasahi lisannya
dengan istighfâr.
Kedua, ‘sungguh rugi’, manusia yang tidak sibuk menggugurkan
dosa-dosanya dengan istighfâr.
Ketiga, ‘sungguh rugi’, manusia yang tidak berusaha meninggikan
derajatnya dengan istighfâr.
Sementara, waktu terus bergulir, zaman terus berganti, yang pergi
5. 5
tidak akan pernah kembali. Umur terus bertambah, pertanda ajal semakin
dekat, sampai akhirnya pintu taubat ditutup rapat.
Istighfâr adalah solusi dari semua masalah yang kita hadapi, bahkan
menjadi salah satu sumber kebahagiaan yang kita idamkan. Akan tetapi
perlu diingat, tidak semua istighfâr bermanfaat bagi pelakunya. Istighfâr yang
bermanfaat, yaitu: “istighfâr”, permohonan ampun yang jujur yang keluar
dari lubuk hati yang paling dalam, yang benar-benar dilakukan dalam
ranngka menyesali perbuatan dosa. Istighfâr dengan lisan, lalu disetujui
oleh sanubari, seraya bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan dosa,
serta dibuktikan dengan anggota badan dengan berhenti dari segala
kemaksiatan. Istighfâr model inilah yang ‘bakal’ bisa menjadi sebab bebasnya
diri kita dari segala kesedihan dan kesempitan, bahkan ‘bisa’ diharapkan
mengundang rizki dari Allah ‘Azza wa Jalla melalui jalur yang tiada kita
sangka-sangka.
Semoga kita dianugerahi oleh Allâh “hidayah, taufiq dan kekuatan
untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang pandai memerbanyak istighfâr
dengan penuh kejujuran”, sehingga kebahagiaan dan kenikmatan senantiasa
meliputi diri kita di dunia dan di akherat.
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
[Disalin dan diselaraskan dari majalah As-Sunnah, Edisi 08/Tahun XV/1433
H./2012 M.. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-
Purwodadi Km. 8, Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-858197,
Fax 0271-858196]