1. Maulid Nabi Muhammad saw dapat dilaksanakan menurut sebagian ulama dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat, seperti ikhtilath antara laki-laki dan perempuan. 2. Ada pendapat bahwa maulid termasuk bid'ah hasanah jika dilakukan untuk mengagungkan Nabi saw dan menampilkan kegembiraan, tanpa unsur-unsur yang dilarang. 3. Maulid dapat dilaksanakan pada bulan Rabī' al-A

1. 1
MAULID NABI MUHAMMAD B
Oleh: Fathi Syamsuddin Ramadhan
Bagaimana pandangan syariat Islam terhadap penyelenggaraan Maulid Nabi saw? Bagaimana
sikap seorang muslim terhadap hal ini?
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum menyelenggarakan maulid Nabi saw. Kelompok
pertama berpendapat bahwasanya hukum menyelenggarakan maulid Nabi saw adalah jawaaz (boleh),
bahkan sebagian mereka me-mustahab-kan (menyunnahkan), dengan syarat perayaan maulid tersebut
terbebas dari kemaksiyatan; seperti ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, dan aktivitas-aktivitas haram
lainnya. Sebagian ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Nashiruddin al-Dimasyqiy, Imam
Ibnu al-Jazariy, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Imam al-Hafidz Suyuthiy, dan lain sebagainya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy berkata:
‫حماسن‬ ‫على‬ ‫اشتملت‬ ‫ذلك‬ ‫مع‬ ‫لكنها‬‫و‬ ،‫الثالثة‬ ‫القرون‬ ‫من‬ ‫الصاحل‬ ‫السلف‬ ‫من‬ ‫أحد‬ ‫عن‬ ‫تنقل‬ ‫مل‬ ‫بدعة‬ ‫لد‬‫و‬‫امل‬ ‫عمل‬ ‫أصل‬
‫ضدىا‬ ‫وجتنب‬ ‫احملاسن‬ ‫عملها‬ ‫يف‬ ‫حترى‬ ‫فمن‬ ،‫وضدىا‬‫أصل‬ ‫على‬ ‫خترجيها‬ ‫يل‬ ‫ظهر‬ ‫وقد‬ :‫قال‬ ،‫فال‬ ‫وإال‬ ‫حسنة‬ ‫بدعة‬ ‫كان‬
‫فسأهلم‬ ‫اء‬‫ر‬‫عاشو‬ ‫يوم‬ ‫يصومون‬ ‫اليهود‬ ‫فوجد‬ ‫املدينة‬ ‫قدم‬ ‫وسلم‬ ‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫النيب‬ ّ‫ن‬‫أ‬ ‫من‬ ‫الصحيحني‬ ‫يف‬ ‫ثابت‬ ‫وىو‬ ‫ثابت‬
‫الشك‬ ‫فعل‬ ‫منو‬ ‫فيستفاد‬ ،‫تعاىل‬ ‫هلل‬ ً‫ا‬‫ر‬‫شك‬ ‫نصومو‬ ‫فنحن‬ ‫موسى‬ ‫ى‬ّ‫وجن‬ ‫فرعون‬ ‫اهلل‬ ‫أغرق‬ ‫يوم‬ ‫ىذا‬ :‫ا‬‫و‬‫فقال‬‫يف‬ ‫بو‬ ّ‫من‬ ‫ما‬ ‫على‬ ‫هلل‬ ‫ر‬
‫كالسجود‬‫العبادة‬ ‫اع‬‫و‬‫بأن‬ ‫حيصل‬ ‫هلل‬ ‫الشكر‬‫و‬ ‫سنة‬ ‫كل‬‫من‬ ‫اليوم‬ ‫نظري‬ ‫يف‬ ‫ذلك‬ ‫ويعاد‬ ،‫نقمة‬ ‫دفع‬ ‫أو‬ ‫نعمة‬ ‫إسداء‬ ‫من‬ ‫معني‬ ‫يوم‬
‫يتحرى‬ ‫أن‬ ‫فينبغي‬ ‫ىذا‬ ‫وعلى‬ ‫اليوم‬ ‫ذلك‬ ‫يف‬ ‫الرمحة‬ ‫نيب‬ ‫النيب‬ ‫ىذا‬ ‫بربوز‬ ‫النعمة‬ ‫من‬ ‫أعظم‬ ‫نعمة‬ ‫أي‬‫و‬ ‫التالوة‬‫و‬ ‫الصدقة‬‫و‬ ‫الصيام‬‫و‬
‫بعين‬ ‫اليوم‬‫بل‬ ‫الشهر‬ ‫من‬ ‫يوم‬ ‫أي‬ ‫يف‬ ‫لد‬‫و‬‫امل‬ ‫بعمل‬ ‫يبايل‬ ‫ال‬ ‫ذلك‬ ‫يالحظ‬ ‫مل‬ ‫ومن‬ ،‫اء‬‫ر‬‫عاشو‬ ‫يوم‬ ‫يف‬ ‫موسى‬ ‫قصة‬ ‫يطابق‬ ‫حىت‬ ‫و‬
()‫عملو‬ ‫بأصل‬ ‫يتعلق‬ ‫ما‬ ‫فهذا‬ ،‫فيو‬ ‫ما‬ ‫وفيو‬ ‫السنة‬ ‫من‬ ‫يوم‬ ‫أي‬ ‫إىل‬ ‫فنقلوه‬ ‫قوم‬ ‫توسع‬1)
“Asal aktivitas maulid adalah bid‟ah yang tidak dinukil dari seorang pun salafush sholeh dari kurun
ketiga. Akan tetapi, aktivitas maulid Nabi saw mengandung perkara-perkara yang baik dan juga
kebalikannya. Barangsiapa, dalam aktivitas maulid tersebut, melaksanakan aktivitas-aktivitas kebaikan,
dan menjauhi semua yang bertentangan dengan kebaikan, maka hal itu termasuk bid‟ah hasanah (bid‟ah
yang baik); dan jika tidak seperti itu, maka tidak. Beliau berkata, “Tampak jelas bagi saya, penetapannya
berdasarkan ashl tsaabit, yakni, ditetapkan berdasarkan riwayat dalam Shahih Bukhari dan muslim,
bahwasanya Nabi saw datang ke Madinah dan mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
„Asyura. Lalu Nabi bertanya kepada mereka, dan mereka menjawab, “Ini adalah hari Allah SWT
menenggelamkan Fir‟aun dan menyelamatkan Nabi Musa as; maka, kami berpuasa sebagai rasa syukur
(terima kasih) kepada Allah SWT”. Diambil faedah dari riwayat ini, perbuatan syukur kepada Allah SWT
atas apa yang dianugerahkan Allah pada hari tertentu karena mendapatkan nikmat atau dihindarkan dari
bencana. Lantas, nikmat apa yang lebih besar dibandingkan nikmat dilahirkannya Nabi ini, Nabi penuh
rahmat, pada hari itu (hari kelahiran Nabi saw). Atas dasar itu, hendaknya dicari hari (pada saat Nabi saw
lahir) hingga sejalan dengan kisah Nabi Musa as pada Hari „Asyura. Barangsiapa tidak bisa mencari hari
tersebut, maka tidak mengapa melaksanakan maulid pada hari apapun di bulan itu (Rabi‟ul Awwal).
Bahkan ada kaum yang memperluasnya; mereka menuturkannya bahwa hari apapun di sepanjang tahun
(boleh dilaksanakan maulid Nabi saw). Ini berkaitan dengan asal aktivitas maulid Nabi saw”. (Al-Hafidz
al-Suyuthiy, al-Haawiy lil-Fatawaa, Juz 1/188)
Di dalam Kitab I’aanat al-Thâlibîn disebutkan:

2. 2
‫حكمو‬ ‫ما‬ ‫االول‬ ‫بيع‬‫ر‬ ‫شهر‬ ‫يف‬ ‫النبوي‬ ‫لد‬‫و‬‫امل‬ ‫عمل‬ ‫عن‬ )‫(سئل‬ ‫الوليمة‬ ‫باب‬ ‫يف‬ ‫السيوطي‬ ‫احلافظ‬ ‫فتاوى‬ ‫يف‬ )‫(فائدة‬‫حيث‬ ‫من‬
‫الذي‬ ‫لد‬‫و‬‫امل‬ ‫عمل‬ ‫أصل‬ ‫أن‬ ‫عندي‬ )‫اب‬‫و‬‫اجل‬‫و‬( :‫قال‬ ‫؟‬ ‫ال‬ ‫أو‬ ‫فاعلو‬ ‫يثاب‬ ‫وىل‬ ‫؟‬ ‫مذموم‬ ‫أو‬ ‫حممود‬ ‫ىو‬ ‫وىل‬ ‫؟‬ ‫ع‬‫الشر‬‫ىو‬
‫ديد‬ ‫مث‬ ‫اآليات‬ ‫من‬ ‫لده‬‫و‬‫م‬ ‫يف‬ ‫وقع‬ ‫وما‬ )‫(ص‬ ‫النيب‬ ‫أمر‬ ‫مبدأ‬ ‫يف‬ ‫اردة‬‫و‬‫ال‬ ‫االخبار‬ ‫اية‬‫و‬‫ور‬ ‫القرآن‬ ‫من‬ ‫تيسر‬ ‫ما‬ ‫اءة‬‫ر‬‫وق‬ ‫الناس‬ ‫اجتماع‬
‫من‬ ‫وينصرفون‬ ‫يأكلونو‬ ‫مساط‬ ‫هلم‬‫النيب‬ ‫قدر‬ ‫تعظيم‬ ‫من‬ ‫فيو‬ ‫ملا‬ ‫صاحبها‬ ‫عليها‬ ‫اليت‬ ‫احلسنة‬ ‫البدع‬ ‫من‬ ‫ذلك‬ ‫على‬ ‫يادة‬‫ز‬ ‫غري‬
.‫يف.اه‬‫ر‬‫الش‬ ‫لده‬‫و‬‫مب‬ ‫االستبشار‬‫و‬ ‫ح‬‫الفر‬ ‫وإظهار‬ )‫(ص‬
“(Faedah) di dalam Fatawaay al-Hafidz al-Suyuthiy (Fatwa-fatwa al-Haafidz al-Suyuthiy) pada bab
walimah, (beliau ditanya) tentang aktivitas maulid Nabi saw pada bulan Rabi‟ul Awwal, apa hukumnya
dari sisi syariat? Apakah ia terpuji atau tercela? Apakah pelakunya diberi pahala, ataukah tidak? Beliau
menjawab (jawab),”Menurutku, asal dari aktivitas maulid --yakni berkumpulnya manusia, membaca apa
yang paling mudah dari Al-Quran, dan membaca riwayat-riwayat yang bercerita tentang awal urusan Nabi
saw, dan ayat-ayat yang berkaitan dengan apa yang terjadi pada saat kelahirannya, kemudian dihidangkan
makanan untuk mereka, lalu mereka menyantapnya; dan setelah itu mereka kembali, tanpa ada tambahan
selain ini--, termasuk bid‟ah hasanah yang mana pelakunya melakukan itu untuk mengagungkan
kedudukan Nabi saw, menampakkan kebanggaan dan kegembiraan atas kelahirannya yang mulia,”
(Syaikh Abu Bakar Ibnu Said Muhammad Syathay al-Dimyathiy, I’aanat al-Thâlibîn, Juz 3/365)
Imam Nashiruddin al-Dimasyqiy dalam Kitab Mawrid al-Shaadiy fi Maulid al-Haadiy menyatakan:
‫ا‬ً‫سرور‬ ‫أعتقها‬ ‫عمو‬ ‫هلب‬ ‫أيب‬ ‫موالة‬ ‫وىي‬ ‫أمو‬ ‫بعد‬ ‫وسلم‬ ‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫النيب‬ ‫أرضعت‬ ‫من‬ ‫أول‬ ‫ثويبة‬‫فلهذا‬ ‫الثقلني‬ ‫خري‬ ‫مبيالد‬
‫اجلحيم‬ ‫يف‬ ‫يداه‬ ‫وتبت‬ ‫ذمو‬ ‫جاء‬ ‫ا‬ً‫كافر‬ ‫ىذا‬ ‫كان‬ ‫أنشد:إذا‬ ‫مث‬ ‫االثنني‬ ‫يوم‬ ‫مثل‬ ‫يف‬ ‫النار‬ ‫عذاب‬ ‫عنو‬ ‫خيفف‬ ‫و‬ّ‫ن‬‫أ‬ ‫صح‬
‫ومات‬ ‫ا‬ً‫مسرور‬ ‫بأمحد‬ ‫عمره‬ ‫كان‬ ‫الذي‬ ‫بالعبد‬ ‫الظن‬ ‫بأمحدا...فما‬ ‫للسرور‬ ‫عنو‬ ‫خيفف‬ ‫ا‬ً‫دائم‬ ‫االثنني‬ ‫يوم‬ ‫يف‬ ‫أنو‬ ‫خملدا...أتى‬
‫موحدا‬
“Tsuwaibah adalah orang pertama yang menyusui Nabi saw setelah ibundanya. Tsuwaibah adalah budak
perempuan Abu Lahab, paman Nabi saw. Lalu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah karena gembira
atas kelahiran Nabi Muhammad saw (khair al-tsaqalain). Oleh karena itu, benarlah, Abu Lahab
diringankan dari siksa api neraka pada setiap hari Senin”. Lalu Imam Nashiruddin al-Dimasyqiy
bersenandung, “…Jika orang kafir ini (Abu Lahab), tersebut (keterangan dalam al-Quran) celaan atas
dirinya, dan kedua tangannya binasa di neraka selama-lamanya…dan telah datang berita bahwa setiap
hari Senin ia selalu diringankan siksanya karena kegembiraannya atas kelahiran Nabi
Muhammad…Lantas bagaimana keadaan orang yang sepanjang umurnya gembira atas kelahiran Nabi
Muhammad dan mati dalam keadaan beriman..”(Imam Nashiruddin al-Dimasyqiy, Mawrid al-Shaadiy fi
Maulid al-Haadiy, hal. 14).
Imam al-Hafidz Suyuthiy, di dalam Kitab al-Haawiy menyatakan:
‫ع‬ ‫وسلم‬ ‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫النيب‬ ّ‫ن‬‫"أ‬ ‫عنو‬ ‫اهلل‬ ‫رضي‬ ‫أنس‬ ‫عن‬ ‫البيهقي‬ ‫أخرجو‬ ‫ما‬ ‫وىو‬ ‫آخر‬ ‫أصل‬ ‫على‬ ‫خترجيو‬ ‫يل‬ ‫ظهر‬ ‫وقد‬‫عن‬ ‫ق‬
‫ذلك‬ ‫فيحمل‬ ‫ثانية‬ ‫مرة‬ ‫تعاد‬ ‫ال‬ ‫العقيقة‬‫و‬ ‫والدتو‬ ‫سابع‬ ‫يف‬ ‫عنو‬ ‫عق‬ ‫املطلب‬ ‫عبد‬ ‫ه‬ّ‫د‬‫ج‬ ‫أن‬ ‫ورد‬ ‫قد‬ ‫و‬ّ‫ن‬‫أ‬ ‫مع‬ " ‫النبوة‬ ‫بعد‬ ‫نفسو‬
‫كان‬ ‫كما‬ ‫ألمتو‬ ‫يع‬‫ر‬‫وتش‬ ،‫للعاملني‬ ‫رمحة‬ ‫إياه‬ ‫اهلل‬ ‫إجياد‬ ‫على‬ ‫للشكر‬ ‫إظهار‬ ‫وسلم‬ ‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫النيب‬ ‫فعلو‬ ‫الذي‬ ‫أن‬ ‫على‬
‫لنا‬ ‫فيستحب‬ ‫لذلك‬ .‫نفسو‬ ‫على‬ ‫يصلي‬‫بات‬‫ر‬‫الق‬ ‫وجوه‬ ‫من‬ ‫ذلك‬ ‫وحنو‬ ‫الطعام‬ ‫وإطعام‬ ‫باالجتماع‬ ‫لده‬‫و‬‫مب‬ ‫للشكر‬ ‫ا‬ً‫إظهار‬ ‫ا‬ً‫أيض‬
‫ات‬‫ر‬‫املس‬ ‫وإظهار‬

3. 3
“Telah tampak jelas kepadaku riwayat lain yang menetapkan asal maulid, yakni riwayat yang dituturkan
oleh Imam Baihaqiy dari Anas ra, bahwasanya Nabi saw telah meng‟aqiqahi dirinya sendiri setelah
kenabian. Padahal, telah dituturkan bahwasanya kakeknya, Abdul al-Muthalib telah meng‟aqiqahi beliau
saw pada hari ketujuh kelahirannya. Sedangkan „aqiqah tidak diulangi dua kali. Hal ini bisa dibawa ke arah
pengertian bahwa apa yang dilakukan Nabi saw merupakan penampakan rasa syukur atas penetapan
Allah SWT atas dirinya sebagai rahmat bagi seluruh penjuru alam, dan merupakan pensyariatan bagi
umatnya, seperti halnya beliau saw bersholawat atas dirinya sendiri. Atas dasar itu, disunnahkan bagi kita
juga untuk menampakkan rasa syukur atas kelahiran Nabi saw dengan cara berkumpul, memberikan
makanan, dan perbuatan-perbuatan lain yang termasuk dalam taqarrub dan menampakkan kegembiraan.”
(Imam al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Hâwiy lil-Fatawâ, Juz 1/188)
Di dalam Kitab I’ânat al-Thâlibîn; disebutkan:
‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫مولده‬ ‫ليوم‬ ‫افق‬‫و‬‫امل‬ ‫اليوم‬ ‫يف‬ ‫عام‬ ‫كل‬ ‫يفعل‬ ‫ما‬ ‫زماننا‬ ‫يف‬ ‫ابتدع‬ ‫ما‬ ‫أحسن‬ ‫ومن‬ ‫النووي‬ ‫شيخ‬ ‫شامة‬ ‫أبو‬ ‫اإلمام‬ ‫قال‬
‫النيب‬ ‫مبحبة‬ ‫مشعر‬ ‫اء‬‫ر‬‫للفق‬ ‫اإلحسان‬ ‫من‬ ‫فيو‬ ‫ما‬ ‫مع‬ ‫ذلك‬ ‫فإن‬ ‫السرور‬‫و‬ ‫ينة‬‫ز‬‫ال‬ ‫وإظهار‬ ‫املعروف‬‫و‬ ‫الصدقات‬ ‫من‬ ‫وسلم‬ ‫عليو‬
‫فاعل‬ ‫قلب‬ ‫يف‬ ‫وتعظيمو‬ ‫وسلم‬ ‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫اهلل‬ ‫رسول‬ ‫إجياد‬ ‫من‬ ‫بو‬ ‫من‬ ‫ما‬ ‫على‬ ‫تعاىل‬ ‫اهلل‬ ‫وشكر‬ ‫ذلك‬
‫للعاملني‬ ‫رمحة‬ ‫أرسلو‬ ‫الذي‬ ‫وسلم‬
Imam Abu Syamah, Guru Imam Nawawiy, menyatakan, “Diantara sebaik-baik perkara baru yang
diadakan di masa kita adalah apa yang dikerjakan setiap tahun pada hari bertepatan dengan kelahiran
Nabi saw, mulai dari sedekah-sedekah yang makruf, menampakkan perhiasan dan kegembiraan.
Sesungguhnya hal itu, di samping ada hal-hal yang baik bagi orang-orang fakir, juga menumbuhkan
perasaan cinta kepada Nabi saw, mengagungkannya di dalam hati orang yang mengerjakan itu, dan
bersyukur kepada Allah SWT atas diciptakannya Nabi saw sebagai rahmat bagi seluruh penjuru alam.”
(Syaikh Abu Bakar Ibnu Said Muhammad Syathay al-Dimyathiy, I‟aanat al-Thaalibiin, Juz 3/365).
Masih di dalam Kitab I‟anat al-Thaalibiin disebutkan:
‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫النيب‬ ‫أن‬ ‫الصحيحني‬ ‫يف‬ ‫ما‬ ‫وىو‬ ‫السنة‬ ‫يف‬ ‫ثابت‬ ‫أصل‬ ‫على‬ ‫املولد‬ ‫عمل‬ ‫يج‬‫ر‬‫خت‬ ‫حجر‬ ‫ابن‬ ‫احلافظ‬ ‫استنبط‬‫و‬
‫نصومو‬ ‫وحنن‬ ‫موسى‬ ‫وجنى‬ ‫فرعون‬ ‫فيو‬ ‫اهلل‬ ‫أغرق‬ ‫يوم‬ ‫ىو‬ ‫ا‬‫و‬‫فقال‬ ‫فسأهلم‬ ‫اء‬‫ر‬‫عاشو‬ ‫يوم‬ ‫يصومون‬ ‫اليهود‬ ‫فوجد‬ ‫املدينة‬ ‫قدم‬ ‫وسلم‬
‫تو‬‫ر‬‫بش‬ ‫ملا‬ ‫ثويبة‬ ‫إعتاقو‬ ‫بسبب‬ ‫اإلثنني‬ ‫يوم‬ ‫عنو‬ ‫العذاب‬ ‫بتخفيف‬ ‫هلب‬ ‫أبو‬ ‫جوزي‬ ‫وقد‬ ‫منكم‬ ‫مبوسى‬ ‫أوىل‬ ‫حنن‬ ‫فقال‬ ‫ا‬‫ر‬‫شك‬
‫هلب‬ ‫أبا‬ ‫فيو‬ ‫أى‬‫ر‬ ‫منام‬ ‫يف‬ ‫العباس‬ ‫بذلك‬ ‫أخرب‬ ‫كما‬‫بو‬‫ر‬‫يش‬ ‫ماء‬ ‫إصبعيو‬ ‫بني‬ ‫من‬ ‫لو‬ ‫ج‬‫خير‬ ‫أنو‬‫و‬ ‫وسلم‬ ‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫بوالدتو‬
Al-Hafidz Ibnu Hajar beristinbath dengan sebuah riwayat, bahwasanya melaksanakan maulid memiliki
asal penetapan di dalam sunnah, yakni riwayat yang terdapat di dalam Shahih Bukhari dan Muslim,
bahwasanya Nabi saw datang ke Madinah, dan beliau saw mendapati orang-orang Yahudi berpuasa hari
„Asyura‟. Lalu beliau saw bertanya kepada mereka. Mereka menjawab, “Ini adalah hari Allah SWT
menenggelamkan Fir‟aun dan menyelamatkan Musa as, dan kami berpuasa sebagai wujud syukur. Maka
Nabi saw menjawab, “Kami lebih berhak atas Musa as dibandingkan kalian”. Abu Lahab diberi keringanan
siksaan setiap hari Senin, karena ia membebaskan Tsuwaibah, ketika wanita itu menyampaikan
kepadanya kabar gembira atas kelahiran Nabi saw. Dan sesungguhnya Nabi saw mengeluarkan air di
antara ujung-ujung jarinya , yang kemudian Abu Lahab meminum air tersebut, seperti yang diceritakan
oleh al-„Abbas ra ketika melihat Abu Lahab di dalam mimpinya.” (Syaikh Abu Bakar Ibnu Said
Muhammad Syathay al-Dimyathiy, I‟aanat al-Thaalibiin, Juz 3/365)
Kelompok kedua; berpendapat bahwa perayaan maulid Nabi saw adalah bid‟ah, baik di dalamnya
ada kemungkaran maupun tidak. Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Taimiyyah, Ibnu Haaj,
al-Fakihaniy, dan lain-lain.

4. 4
Al-Fakihaniy berkata:
‫ينقل‬ ‫وال‬ ‫سنة‬ ‫وال‬ ‫كتاب‬‫يف‬ ً‫ال‬‫أص‬ ‫لد‬‫و‬‫امل‬ ‫هلذا‬ ‫أعلم‬ ‫ال‬‫املتمسكون‬ ‫الدين‬ ‫يف‬ ‫القدوة‬ ‫ىم‬ ‫الذين‬ ‫األمة‬ ‫علماء‬ ‫من‬ ‫أحد‬ ‫عن‬ ‫عملو‬
‫البطالون‬ ‫أحدثها‬ ‫بدعة‬ ‫ىو‬ ‫بل‬ ،‫املتقدمني‬ ‫بآثار‬
“Saya tidak mengetahui untuk maulid ini asal-usul di dalam Kitabullah dan Sunnah, dan aktivitas maulid
tidak pernah dinukilkan dari seorang pun ulama umat yang mereka menjadi teladan dalam agama, dan
orang yang paling berpegang teguh kepada atsar-atsar orang-orang terdahulu. Bahkan maulid adalah
bid‟ah yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan…”(Al-Fakihaniy, al-Hâwiy li al-
Fataway, Juz 1/190191).
Ibnu Taimiyyah berkata:
‫السالم‬ ‫عليو‬ ‫عيسى‬ ‫ميالد‬ ‫يف‬ ‫للنصارى‬ ‫مضاىاة‬ ‫إما‬ ‫ا‬ً‫عيد‬ ‫وسلم‬ ‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫النيب‬ ‫لد‬‫و‬‫م‬ ‫اختاذ‬ ‫من‬ ‫الناس‬ ‫بعض‬ ‫حيدثو‬ ‫ما‬
،‫منو‬ ‫املانع‬ ‫وعدم‬ ،‫لو‬ ‫املقتضى‬ ‫قيام‬ ‫مع‬ ‫السلف‬ ‫يفعلو‬ ‫مل‬ ‫ىذا‬ ّ‫ن‬‫أل‬ ‫بدعة‬ ‫ا‬ً‫وتعظيم‬ ‫وسلم‬ ‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫للنيب‬ ‫حمبة‬ ‫وإما‬‫ولو‬
‫عليو‬ ‫اهلل‬ ‫صلى‬ ‫اهلل‬ ‫لرسول‬ ‫حمبة‬ ‫أشد‬ ‫ا‬‫و‬‫كان‬‫فإهنم‬ ‫ا‬ّ‫ن‬‫م‬ ‫بو‬ ‫أحق‬ ‫عنهم‬ ‫اهلل‬ ‫رضي‬ ‫السلف‬ ‫لكان‬ ،‫ا‬ً‫اجح‬‫ر‬ ‫أو‬ ،‫ا‬ً‫حمض‬ ‫ا‬ً‫خري‬ ‫ىذا‬ ‫كان‬
‫منا‬ ‫لو‬ ‫وسلم‬
“Apa yang dibuat-buat oleh sebagian orang dengan menjadikan maulid Nabi saw sebagai Hari Raya, baik
untuk menyamai orang Nashraniy dalam (merayakan) kelahiran Isa as, atau untuk mencintai Nabi saw
dan menganggungkannya, adalah bid‟ah. Sebab, hal ini tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf,
walaupun mereka sanggup melaksanakannya dan tidak ada halangan. Seandainya maulid adalah kebaikan
atau kuat (dalilnya), niscaya generasi salaf lebih berhak melaksanakannya daripada kita. Sebab, mereka
adalah orang yang lebih kuat mencintai Rasulullah saw dibandingkan kita….” (Lihat Ibnu Taimiyyah,
Iqtidla’ al-Shiraath al-Mustaqiim, hal. 254-295)
Inilah pandangan ulama kaum muslimin terhadap aktivitas maulid Nabi saw. Masalah ini, pada
batas-batas tertentu telah didiskusikan oleh para ulama, dan mereka berselisih pendapat di dalamnya.
Dalam keadaan seperti ini, seorang muslim tidak boleh berlebih-lebihan dengan menjadikan persoalan ini
sebagai ajang permusuhan dan pertikaian. Seorang muslim juga tidak boleh disibukkan dalam persoalan-
persoalan khilafiyyah, seperti maulid Nabi saw, seraya mengabaikan persoalan-persoalan yang lebih
penting, yakni menegakkan kembali syariat dan Khilafah. Wallahu a’lam bish shawab.