SlideShare a Scribd company logo
1 of 47
Setiap Upacāra (proses untuk mendekatkan diri
dengan Brahman) agama selalu disertai dengan
Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media
pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil
(sederhana/kanistama), menengah (madhyama)
maupun besar (mewah/uttama), hendaknya
dibarengi dengan memahami akan tujuan
Upacāra tersebut dan memahami makna
Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra dan
Upakāra harus mengacu kepada sastra-sastra
agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon
Tuwon, Anak Mula Keto”
Banten dalam agama Hindu adalah bahasa
agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu
disampaikan kepada umat dalam berbagai
bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis
seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan
dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan
dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai
dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia
disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di
Bali disampaikan dengan bahasa Bali.
Disamping itu Veda juga disampaikan dengan
bahasa Mona. Mona artinya diam namun
banyak mengandung informasi tentang
kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah
banten.
Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan : “
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi,
pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka
anda bhuana” artinya: semua jenis banten
(upakāra) adalah merupakan simbol diri
kita, lambang kemahakuasaan Hyang
Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung
(alam semesta) Demikian pula dalam
Lontar Tegesing Sarwa Banten,
dinyatakan: “ Banten mapiteges
pakahyunan, nga; pakahyunane sane
jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah
buah pemikiran artinya pemikiran yang
lengkap dan bersih.
 Untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran
Veda yang bersifa rahasia
 Sebagai sarana menyeberangkan Ātma untuk
mencapai Moksha
 Sebagai sarana untuk menyampaikan
permohonan kepada Hyang Widhi.
 Sebagai sarana untuk menciptakan
keseimbangan (tri hita karana).
 Sebagai sarana untuk menciptakan suasana
kesucian dan penebusan dosa.
 Sebagai sarana pendidikan yang bersifat
praktis (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004:
11).
Setiap Yajña yang ingin
dibuat/diadakan harus memenuhi
kriteria yang terdapat dalam Veda, hal
ini dimaksudkan agar yajña tersebut
berkualitas Śāttvam, karena hanya
kualitas yajña yang Śāttvamlah yang
dapat menghantarkan orang yang
mengadakan yajña mencapai
kemanunggalan dengan Brahman,
adapun landasan yajña sesuai dengan
Manavadharmasastra, VII.10, yaitu :
 Iksa ; tujuan yang ingin dicapai melalui yajña
tersebut harus jelas
 Sakti ; harus disesuaikan dengan tingkat
kemampuan yang dimiliki, baik kualitas SDM,
maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan
hutang.
 Desa ; disesuaikan dengan tempat dimana yajña itu
akan dilakukan, kearifan daerah setempat
(lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada
kesan pemaksaan
 Kala ; situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya
juga harus diperhatikan sehingga yajña
tersebut efektif dan efisien serta
bermanfaat positif
 Tattva ; harus merujuk pada ketentuan sastra agama
baik Sruti, Smrti, maupun Nibandha.
 Secara umum tujuan diadakanya Upacāra menyangkut empat
hal, yaitu:
 Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyakan
pengaruh yang kurang baik; mengundang atau menambahkan
pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk
memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan
umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra itu sendiri.
 Sebagai pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan
berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan
uji; bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan
tenang dalam menghadapi segala cobaan hidup; suka berderma
dan tidak rakus/lobha.
 Untuk pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan bati)
menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju
Vijñana (bijaksana) menuju Kstrajña (kesadaran illahi).
 Untuk pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari
belenggu samsara atau manunggaling kawulo lan gusti
 Sebagai linggih dan
perwujudan Hyang Widhi
 Sebagai sarana cetusan
angayu bagia (persembahan)
 Seagai sarana permohonan
 Sebagai sarana pensucian
lahir-batin
1. CANANG SARI
”Canang sari inggih punika sarin
kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi
tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-
kahiwangan”.- Canang sari yaitu inti dari
pikiran dana niat yang suci sebagai
tanda bhakti/hormat kepada Hyang
Widhi ketika ada kekurangan saat
sedang menuntut ilmu
kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit).
Canang sari adalah suatu Upakāra
/banten yang selalu menyertai atau
melengkapi setiap
sesajen/persembahan, segala
Upakāra yang dipersiapkan belum
disebut lengkap kalau tidak di lengkapi
dengan canang sari, begitu pentingnya
sebuah canang sari dalam suatu
Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya
makna yang terkandung dalam sebuah
canang sari?. Canang sari sebagai
lambang angga sarira serta hidup dan
kehidupan.
Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno
yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih
ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama)
yang dihormati. Di Bali kebiasaan bagi para
tetua dalam memakan daun sirih disebut
dengan “Pecanagan”. (Pasek
Swastika,2008:90). Canangsari merupakan
ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang
menjadi sulinggih menggantikan
Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih
Setelah Danghyang Markandeya moksah.
Canangsari sebagai salah satu sarana dalam
upacara keagamaan agama Hindu di Bali terdiri dari
beberapa bahan penting yang masing-masing
bahan memiliki nilai-nilai filosofis. Bahan-bahan itu
yaitu:
Canangsari memakai alas berupa
ceper, pembuatannya dilakukan dengan cara
melipat janur sehingga berbentuk segi empat.
Kemudian ditutup dengan dua potong janur yang
dijahit melintang sperti tapak dara. Bentuk segi
empat melambangkan Catur Loka Pala atau empat
arah mata angin, dan setelah ditambahnya
penututupnya akan memiliki makna delapan mata
arah angina atau “astadala”.
. Porosan, seperti yang telah dijelaskan
diatas bahwa Porosan itu terdiri dari janur, sirih,
kapur dan pinang. Porosan biasanya diletakkan
sebagai dasar dari Canang, adapun makna
filosofis dari porosan ini adalah lambang
pemujaan kepada Tuhan yang Maha Esa dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
Pinang lambang pemujaan pada Dewa Brahma,
kapur lambang pemujaan pada Dewa Siwa, sirih
lambang pemujaan pada Dewa Wisnu.
. Bunga, melambangkan ketulus iklasan dan
kesucian di saat kita melakuakan pemujaan
kepada Ida Sang Hyang Widhi. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatiakan dalam pemakaian
bunga yaitu; bunga yang dipakai disini adalah
bunga yang masih segar dan berbau harum dan
jangan sampai memakai bunga yang sudah di
makan ulat dan terlebih lagi bunga yang
tumbuh dikuburan.
Tatuwesan atau Reringitan dan Plawa
Tetuwasan atau reringgitan merupakan
lambang keteguhan atau kelanggengan umat
manusia. Pada zaman modern seperti ini, banyak
sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan
pikiran umat manusia. Keteguhan dan kelanggengan
pikiran hendaknya tetap dipertahankan untuk
menuju kebaikan dan kebenaran. Pikiran yang teguh
dan langgeng tetap dibutuhkan untuk menuju jalan
suci dan kebenaran Tuhan karena godaan-godaan
akan silih berganti datang menggoyahkan cita-cita
suci tersebut (Sudirga, 2005:61).
Urasari, bentuk urasari ini menyerupai tapak
dara atau swastikayang masih netral. Dimana bentuk
tapak dara ini merupakan ungkapan secara Vertikal dan
Horisontal dari pikiran umat manusia dalam pemujaan
kehadapan Hyang Widhi dengan berbagai
manifestasinya. Kemudian setelah dihias dengan hiasan
yang menyilang ke sudut-sudut menjadilah
bentukPadma Astadala. Padma Astadala merupakan
lambang perputaran alam yang seimbang yang
merupakan sumber kehidupan untuk menuju
kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
Padma Astadala juga merupakan simbol Dewata
Nawa Sanga. Yang dalam Lontar Dasaksara
disebutkan sebagai berikut:
1. Timur, warna putih bersthana Dewa Iswara
2. Tenggara, warna merah Muda bersthana Dewa
Mahesora
3. Selatan, warna merah bersthana Dewa Brahama
4. Barat Daya, warna orange bersthana Dewa Rudra
5. Barat, warna kuning bersthana Dewa Mahadewa
6. Barat laut, warna hijau bersthana Dewa Sangkara
7. Utara, warna hitam bersthana Dewa Wisnu
8. Timur laut, wrana Abu/biru bersthana Dewa
sambhu
9. Tengah, warna manca warna bersthana Dewa
Siwa(Swastika,2008:90).
Daksina merupakan tapakan dari Hyang Widhi,
dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga
merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga
merupakan buah dari yadnya.
Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang
besar, di mana kita lihat banyak sekali ada
daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang
diberikan kepada yang muput karya (Pedanda
atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut
sebagai ucapan tanda "terima kasih" baik sekala
maupun niskala.
◦ Sraddha ; dilakkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan
hati
◦ Sastra ; sesuai dengan petunjukk sastra
◦ Gita ; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi
◦ Mantra ; terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk
memeuliakan Hyang Widhi
◦ Lascarya ; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan
hati
◦ Daksina ; pemberian penghormatan berupa rsi yajña kepada
Sang Sadhaka (pandita/pinandita)
◦ Annaseva ; menjamu dengan senang dan tulus setiap tamu
dengan makanan dan minuman yang
menyehatkan badan dan rohani
◦ Nasmita ; tidak ada unsur pamer atau jor-joran.
Selain fungsi di atas, daksina memiliki
kegunaan lain dalam upacara yadnya
diantaranya yaitu :
1. Daksina sebagai simbol Hyang Tunggal/
Hyang Guru:
daksina yang begitu lengkapnya sehingga
dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh
alam semesta yang ada. Maka dengan
demikian daksina diartikan sebagai satu
kesatuan dan sekaligus sebagai simbol
Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai
manifestasi dari Deva Siva sebagai
penguasa alam semesta ini
2. Daksina sebagai sarana persembahan
dalam upacara Yajna
3. Daksina sebagai cetusan rasa terima
kasih
4. Daksina untuk memohon keselamatan
5. Daksina sebagai Upasaksi (Lambang
Hyang Guru)
6. Daksina sebagai banten pelengkap
7. Daksina sebagai sarana penebusan
1.Bedongan
Adalah sarana upacara yang dibuat dengan daun
kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti
bakul yang dalam bahasa bali disebut wakul
daksina. Nama lainnya dalah bedongan.
2. Tapak Dara
Tapak dara merupakan simbol sebagai tanda
Swastika, yang mempunyai makna semoga baik,
juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju
Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju
arah kehidupan alam sekitar.
3. Beras merupakan simbul udara sebagai cerminan
sang hyang bayu yang merupakan sumber pokok
kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih-
benih kehidupan
4. Kelapa merupakan simbul matahari atau “windu”
yakni cerminan sang hyang sadha siwa. buah
yang serba guna (seluruh bagiannya dapat
digunakan untuk kehidupan manusia) disimbulkan
sebagai bumi dan juga sebagai kepala
5. Telur merupakan simbul bulan atau “ardha
chandra” yakni cerminan Sang Hyang Siwa. Telur
yang digunakan dalam daksina diusahakan
menggunakan telur itik karena itik mampu memilih
makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik
juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat
menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga
udara.
Peselan ini terdiri dari lima jenis dedaunan yang
mewakili lima warna yaitu :
a. Daun mangga mewakili warna hijau-hitam
b. Daun durian mewakili warna putih,
c. Daun langsat mewakili warna kuning,
d. Daun manggis mewakili warna merah, dan
e. Daun salak mewakili warna brumbun.
7. Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2
bungkus). Yang masing-masing diisi dengan
segala jenis ikan teri, bumbu (yang
melambangkan isi darat dan laut) serta biji-
bijian (5 macam) yang mempunyai warna
(hitam, putih, merah, kuning dan campuran)
sebagai cerminan adanya jiwatman (roh).
8. Pangi merupakan simbul sarwa pala
bungkah cerminan Sang Hyang Boma.
9. Tingkih merupakan simbul bintang atau “ nata“
yakni cerminan Sang Hyang Parama Siwa.
10. Uang kepeng bolong merupakan simbul
“windu sunia” yakni cerminan “sangkan paran”.
11. Porosan merupakan simbul silih asih,
cerminan dari Sang Hyang Semarajaya
Semara Ratih.
12. Benang tatebus warna putih
Di atas kelapa diisi dengan benang tatebus
warna putih. Penggunaan Benang dalam
setiap pelaksanaan upcara keagamaan
memiliki makna simbolik sebagai tali
penghubung antara yang memuja dan yang
dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan
juga pada upakara-upakara tertentu benang
melambangkan usus.
13. Canang payasan yang sering juga disebut
dengan pasucian/pangresikan. merupakan
simbul asta aiswarya yaitu sang hyang dewata
nawa sanga.
Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina
secara utuh dalam penggunaannya biasanya
dirangkaikan dengan jenis upakara/bebantenan
yang lain seperti : peras, ajuman, raka, dan yang
lainnya. Rangkaian banten ini biasanya disebut
dengan pejati.
Namun daksina juga bisa berdiri sendiri apabila
daksina tersebut berfungsi sebagai daksina
linggih.
Namun dalam daksina linggih ini ditambahkan
dengan chili yang bermakna sebagai simbol
wajah.
Ada beberapa jenis daksina yaitu : Daksina alit
(isinya tiap/jenis satu biji/butir); Daksina pekala-
kalaan (isinya dilipatkan dua kali); Daksina gede
(isinya dilipatkan empat kali); Daksina krepa
(isinya dilipatkan tiga kali); Daksina galahan (isinya
dilipatkan 5 atau 10 kali) (Putra, 2003:28).
Banten ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan
tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain
seperti: daksina, suci, tulung-sesayut, dan lainnya.
Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan
sedikit beras, base tampel, uang yang jumlahnya
disesuaikan dengan penggunaannya, dan benang-putih.
Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka
seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik
lekukan pada “kulit peras”, dan menaburkan beras yang
ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut
bahwa peras melambangkan Hyang Triguna-Sakti.
 Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:
- Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau
Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda).
- Ceper/Aledan; lambang Catur marga (Bhakti,
Karma, Jnana, Raja Marga).
- Kemudian disusun di atasnya beras (makanan
pokok – sifat rajah),
- uang kepeng/recehan (untuk mencari segala
kesenangan-sifat tamas),
- benang (kesucian dan alat pengikat-sifat
satwam) merupakan lambang bahwa untuk
mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan
yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar,
pandangan yang benar, pendengaran yang benar,
dan tujuan yang benar.
Dua buah tumpeng (simbol rwa bhineda baik-
buruk);
lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani,
mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk
dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka
kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki
dengan kebendaan/ perempuan) harus disatuakan
baru bisa berhasil (Prasidha).
Tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam
meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam
hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada
Tuhan.
Base tampel/porosan (poros – pusat) yang
merupakan lambang tri murti.
Kojong Ragkat, tempat rerasmen/lauk pauk; memiliki
makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus
dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran,
ucapan, tenaga dan hati nurani).
Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya-
persembahan sebagai hasil kerja kita.
Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur
dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan
lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi,
inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya
akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma.Canang
sari;inti dari segala yadnya, merupakan simbol dari Ida
Sang Hyang Widhi.
Sesayut atau ‘Sayut’ dalam Bahasa Kawi
(Jawa Kuno) berasal dari kata ‘asayut’ artinya
menahan, atau menguatkan Banten.
Sesayut atau Banten tatebasan kalau disimak
dari arti kata Sesayut, yang berakar dari kata
“Sayut” atau nyayut memiliki arti
mengharapkan, mendoakan, mensthanakan
dan mengembalikan.
 Sesayut Payascita Luwih
 Sesayut Saraswati
 Sesayut Mertha Dewa
 Sesayut Sida Karya
 Sesayut Pasupati
 Sesayut Langgeng Amukti Sakti
 Sesayut Sida Purna
Sedangkan Tatebasan yang berakar dari kata
“Tebas” yang memiliki arti sama dengan Sesayut.
Sesayut adalah banten-banten yang bertujuan untuk
menguatkan rasa bhakti sekaligus menyampaikan
permohonan kepada Sang Hyang Widhi untuk tujuan
tertentu.
Setiap upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu
akan memakai Banten Sesayut atau Banten
Tatebasan yang berbeda-beda sesuai dengan
harapan dan tujuan upacara yang dilaksanakan,
begitu juga dalam upacara Dewa-yadnya akan
memakai Banten Sesayut sesuai dengan Ista
Dewata yang akan di sthanakan atau di puja.
Bahan perlengakapan yang diperlukan untuk membuat
ajuman adalah: nasi yang disebut “penek/telompokan”,
beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk-pauk berupa
serundeng (sesaur), kacang-kacang, ikan teri,
telur/lainnya, lalab seperti trung, timun, tauge (kecai),
daun kemangi (kecarum), garam, sambel dan lainnya.
Sebagai alasnya dapat dipergunakan taledan atau yang
lain; Diatasnya diisi dua buah penek, lauk-pauk, dialasi
dengan tangkih, berbentuk segitiga, jajan, buah-buahan,
dan sebuah sampian soda (sampian ajuman) berbentuk
tangkih; kadang-kadang bagian atasnya dibuat agak
indah seperti kipas disebut “sampian-kepet kepetan”.
Dapat pula dilengkapi dengan canang genten/canang
sari/canang burat-wangi.
Ajuman disebut pula soda (sodaan),
dipergunakan tersendiri sebagai persembahan
ataupun melengkapi daksina, suci dan lainnya. Bila
ditujukan kehadapan para Leluhur, salah satu penek-
nya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning,
disebut “ajuman putih-kuning”. Ada pula yang disebut
“perangkat/ perayuan” yaitu jajan serta buah-
buahannya dialasi tersendiri, demikian pula lauk-
pauknya masing-masing dialasi ceper/ituk-ituk,
kemudian diatur mengelilingi sebuah penek yang
agak besar. Diatasnya diisi sebuah canang-pesucian,
canang buratwangi atau yang lain. Ada juga yang
melengkapi dengan sampian kepet-kepetan.
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat
awalan “pa-”.Jati berarti sungguh-sungguh, benar-
benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi
kata benda pajati, yang menegaskan makna
melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-
sungguh.
Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang
dipakai sarana untuk menyatakan rasa
kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan
manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara
dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar
mendapatkan keselamatan. Banten pejati
merupakan banten pokok yang senantiasa
dipergunakan dalam Pañca Yajña.
Banten Pejati sering juga disebut
“Banten Peras Daksina”. Ketika pertama
kali masuk dan sembahyang di sebuah
tempat suci, begitu pula jika seseorang
memohon jasa Pemangku atau Pedanda,
“meluasang” kepada seorang balian/seliran,
atau untuk melengkapi upakara, banten
pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati
dipandang sebagai banten yang utama,
maka di setiap set banten apa saja, selalu
ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di
mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu :
 Daksina
 Banten Peras,
 Banten Ajuman Rayunan/Sodaan
 Ketupat Kelanan
 Penyeneng/Tehenan/Pabuat
 Pesucian
 Segehan alit
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad
Ripu yang telah dapat dikendalikan atau
teruntai oleh rohani
Penyeneng/Tehenan/Pabuat
adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat
ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang
Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam
upacara yang diselenggarakan.
Pesucian terdiri dari sebuah ceper /taledan
Pada intinya pesucian merupakan alat-alat
yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara
dalam suatu upacara keagamaan.
Secara instrinsik mengandung makna
filosofis bahwa sebagai manusia harus
senantiasa menjaga kebersihan phisik dan
kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa),
karena Hyang Widhi itu maha suci maka
hanya dengan kesucian manusia dapat
mendekati dan menerima karunia Beliau.
Secara etimologi Segehan artinya Suguh
(menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala,
yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang
dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia
dalam kurun waktu tertentu.
Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan
menghilangkan pengaruh negatif dari libah tersebut.
Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia
dengan semua ciptaan Tuhan. Jahe, secara imiah memiliki
sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak
boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia
harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi
tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah
sosial (cuek).
Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral,
garam adalah sarana yang mujarab untuk
menetralisir berbagai energi yang merugikan
manusia (tasik pinaka panelah sahananing
ngaletehin).
Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis
alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat
efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai
kuman/bakteri yang merugikan.
Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat
kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah
agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan
yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
Sarana yang Lain
 Daun/Plawa ; lambang kesejukan.
 Bunga ; lambang cetusan perasaan
 Bija ; lambang benih-benih
kesucian.
 Air ; lambang pawitra, amertha
 Api ; lambang saksi dan
pendetanya Yajna.
Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang
Catur Loka Phala, yaitu :
 Daksina kepada Sanghyang Brahma
 Peras kepada Sanghyang Isvara
 Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
 Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

More Related Content

What's hot

Bank reconciliation 24 oct 2012 (1)
Bank reconciliation 24 oct 2012 (1)Bank reconciliation 24 oct 2012 (1)
Bank reconciliation 24 oct 2012 (1)
BSTAI
 
Financial reporting presentation_1
Financial reporting presentation_1Financial reporting presentation_1
Financial reporting presentation_1
Raj Kumar Singh
 
Bank reconciliation v4
Bank reconciliation v4Bank reconciliation v4
Bank reconciliation v4
Serene_lim
 
Banker and Customer Relationship
Banker and Customer RelationshipBanker and Customer Relationship
Banker and Customer Relationship
Visakhapatnam
 

What's hot (20)

Financial statement of non - profit organisation
Financial statement of non - profit organisationFinancial statement of non - profit organisation
Financial statement of non - profit organisation
 
clubs & societies : final accounts of non - profit organisations
clubs & societies : final accounts of non - profit organisationsclubs & societies : final accounts of non - profit organisations
clubs & societies : final accounts of non - profit organisations
 
CIBIL
CIBILCIBIL
CIBIL
 
Banking operations
Banking operationsBanking operations
Banking operations
 
Accounting Payable Concept for SAP
Accounting Payable Concept for SAPAccounting Payable Concept for SAP
Accounting Payable Concept for SAP
 
Introduction to Bank Reconciliation
Introduction to Bank ReconciliationIntroduction to Bank Reconciliation
Introduction to Bank Reconciliation
 
Credit Reporting
Credit ReportingCredit Reporting
Credit Reporting
 
Bank reconciliation 24 oct 2012 (1)
Bank reconciliation 24 oct 2012 (1)Bank reconciliation 24 oct 2012 (1)
Bank reconciliation 24 oct 2012 (1)
 
Control accounts
Control accountsControl accounts
Control accounts
 
Financial reporting presentation_1
Financial reporting presentation_1Financial reporting presentation_1
Financial reporting presentation_1
 
Debt collection strategies
Debt collection strategiesDebt collection strategies
Debt collection strategies
 
Impact of microfinance on the indian economy
Impact of microfinance on the indian economyImpact of microfinance on the indian economy
Impact of microfinance on the indian economy
 
EARNING PER SHARE IAS-33
EARNING PER SHARE IAS-33EARNING PER SHARE IAS-33
EARNING PER SHARE IAS-33
 
Banking history types services Revolution by bhushank
Banking history types services Revolution by bhushankBanking history types services Revolution by bhushank
Banking history types services Revolution by bhushank
 
Clearing
ClearingClearing
Clearing
 
Bank reconciliation v4
Bank reconciliation v4Bank reconciliation v4
Bank reconciliation v4
 
Banker and Customer Relationship
Banker and Customer RelationshipBanker and Customer Relationship
Banker and Customer Relationship
 
Chapter 3---Adjusting the Accounts.pdf
Chapter 3---Adjusting the Accounts.pdfChapter 3---Adjusting the Accounts.pdf
Chapter 3---Adjusting the Accounts.pdf
 
Fixed Deposit Accounts
Fixed Deposit AccountsFixed Deposit Accounts
Fixed Deposit Accounts
 
Bank reconciliation.ppt.bose
Bank reconciliation.ppt.boseBank reconciliation.ppt.bose
Bank reconciliation.ppt.bose
 

Similar to UPAKARA YAJNA SLIDE.pptx

Sejarah bhinneka tunggal ika
Sejarah bhinneka tunggal ikaSejarah bhinneka tunggal ika
Sejarah bhinneka tunggal ika
Khadirr Khadirr
 
Sejarah bhinneka tunggal ika
Sejarah bhinneka tunggal ikaSejarah bhinneka tunggal ika
Sejarah bhinneka tunggal ika
Khadirr Khadirr
 
Wujud perjumpaan agama dan kebudayaan di indonesia
Wujud perjumpaan agama dan kebudayaan di indonesiaWujud perjumpaan agama dan kebudayaan di indonesia
Wujud perjumpaan agama dan kebudayaan di indonesia
Zainuri Ahmad
 
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
Putu Ajus
 
Makalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembahMakalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembah
mangtrie
 

Similar to UPAKARA YAJNA SLIDE.pptx (20)

PENGENALAN BUDAYA LOKAL.pptx
PENGENALAN BUDAYA LOKAL.pptxPENGENALAN BUDAYA LOKAL.pptx
PENGENALAN BUDAYA LOKAL.pptx
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter i
 
Lahirnya agama hindu buddha
Lahirnya agama hindu buddhaLahirnya agama hindu buddha
Lahirnya agama hindu buddha
 
Sejarah bhinneka tunggal ika
Sejarah bhinneka tunggal ikaSejarah bhinneka tunggal ika
Sejarah bhinneka tunggal ika
 
Sejarah bhinneka tunggal ika
Sejarah bhinneka tunggal ikaSejarah bhinneka tunggal ika
Sejarah bhinneka tunggal ika
 
Berdialog dengan Agama dan Kepercayaan Lain (Agama Hindu)
Berdialog dengan Agama dan Kepercayaan Lain (Agama Hindu)Berdialog dengan Agama dan Kepercayaan Lain (Agama Hindu)
Berdialog dengan Agama dan Kepercayaan Lain (Agama Hindu)
 
Memandang fenomena blood moon dari perspectif theologis hindu bali
Memandang fenomena blood moon dari perspectif theologis hindu baliMemandang fenomena blood moon dari perspectif theologis hindu bali
Memandang fenomena blood moon dari perspectif theologis hindu bali
 
Sunda wiwitan
Sunda wiwitanSunda wiwitan
Sunda wiwitan
 
Wawancara iv
Wawancara ivWawancara iv
Wawancara iv
 
Bhuta yadnya
Bhuta yadnyaBhuta yadnya
Bhuta yadnya
 
Materi agama hindu
Materi agama hinduMateri agama hindu
Materi agama hindu
 
Agama Hindu
Agama HinduAgama Hindu
Agama Hindu
 
Bagaimana Penerapan Nilai pancasila yang pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) Di...
Bagaimana Penerapan Nilai pancasila yang pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) Di...Bagaimana Penerapan Nilai pancasila yang pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) Di...
Bagaimana Penerapan Nilai pancasila yang pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) Di...
 
Konsep Agama Hindu
Konsep Agama HinduKonsep Agama Hindu
Konsep Agama Hindu
 
Wujud perjumpaan agama dan kebudayaan di indonesia
Wujud perjumpaan agama dan kebudayaan di indonesiaWujud perjumpaan agama dan kebudayaan di indonesia
Wujud perjumpaan agama dan kebudayaan di indonesia
 
PPT PEMBUATAN DAN MAKNA CANANG SARI.pptx
PPT PEMBUATAN DAN MAKNA CANANG SARI.pptxPPT PEMBUATAN DAN MAKNA CANANG SARI.pptx
PPT PEMBUATAN DAN MAKNA CANANG SARI.pptx
 
Penjelasan tentang Agama Hindu
Penjelasan tentang Agama HinduPenjelasan tentang Agama Hindu
Penjelasan tentang Agama Hindu
 
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
Konsep realita ketuhanan (sl sh1)
 
Makalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembahMakalah kramaning sembah
Makalah kramaning sembah
 
Lembar CDI - 23
Lembar CDI - 23Lembar CDI - 23
Lembar CDI - 23
 

Recently uploaded

Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Adam Hiola
 
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syaratIhsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
puji239858
 
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Ustadz Habib
 
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
MeidarLamskingBoangm
 

Recently uploaded (8)

Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
Sekolah Sabat - Triwulan 2 2024 - Pelajaran 6
 
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
Panduan Liturgi untuk sekolah minggu 2024
 
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga BahagiaSEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
SEMINAR - Marriage and Family - Tips Rumah Tangga Bahagia
 
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
Teks Doa Untuk Rosario Peristiwa Terang.
 
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syaratIhsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
Ihsanul amal, beramal dalam Islam ada 2 syarat
 
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
Asmak Sunge Rajeh WA +62 819 3171 8989 .
 
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
Pelajaran Masa Lalu (Sekolah Sabat Dewasa, 10 Mac 2024)
 
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
 

UPAKARA YAJNA SLIDE.pptx

  • 1. Setiap Upacāra (proses untuk mendekatkan diri dengan Brahman) agama selalu disertai dengan Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil (sederhana/kanistama), menengah (madhyama) maupun besar (mewah/uttama), hendaknya dibarengi dengan memahami akan tujuan Upacāra tersebut dan memahami makna Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra dan Upakāra harus mengacu kepada sastra-sastra agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon Tuwon, Anak Mula Keto”
  • 2. Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten.
  • 3. Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan : “ sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana” artinya: semua jenis banten (upakāra) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta) Demikian pula dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan: “ Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.
  • 4.  Untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran Veda yang bersifa rahasia  Sebagai sarana menyeberangkan Ātma untuk mencapai Moksha  Sebagai sarana untuk menyampaikan permohonan kepada Hyang Widhi.  Sebagai sarana untuk menciptakan keseimbangan (tri hita karana).  Sebagai sarana untuk menciptakan suasana kesucian dan penebusan dosa.  Sebagai sarana pendidikan yang bersifat praktis (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004: 11).
  • 5. Setiap Yajña yang ingin dibuat/diadakan harus memenuhi kriteria yang terdapat dalam Veda, hal ini dimaksudkan agar yajña tersebut berkualitas Śāttvam, karena hanya kualitas yajña yang Śāttvamlah yang dapat menghantarkan orang yang mengadakan yajña mencapai kemanunggalan dengan Brahman, adapun landasan yajña sesuai dengan Manavadharmasastra, VII.10, yaitu :
  • 6.  Iksa ; tujuan yang ingin dicapai melalui yajña tersebut harus jelas  Sakti ; harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang dimiliki, baik kualitas SDM, maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan hutang.  Desa ; disesuaikan dengan tempat dimana yajña itu akan dilakukan, kearifan daerah setempat (lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada kesan pemaksaan  Kala ; situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya juga harus diperhatikan sehingga yajña tersebut efektif dan efisien serta bermanfaat positif  Tattva ; harus merujuk pada ketentuan sastra agama baik Sruti, Smrti, maupun Nibandha.
  • 7.  Secara umum tujuan diadakanya Upacāra menyangkut empat hal, yaitu:  Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyakan pengaruh yang kurang baik; mengundang atau menambahkan pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra itu sendiri.  Sebagai pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan uji; bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan tenang dalam menghadapi segala cobaan hidup; suka berderma dan tidak rakus/lobha.  Untuk pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan bati) menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju Vijñana (bijaksana) menuju Kstrajña (kesadaran illahi).  Untuk pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari belenggu samsara atau manunggaling kawulo lan gusti
  • 8.  Sebagai linggih dan perwujudan Hyang Widhi  Sebagai sarana cetusan angayu bagia (persembahan)  Seagai sarana permohonan  Sebagai sarana pensucian lahir-batin
  • 9. 1. CANANG SARI ”Canang sari inggih punika sarin kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan- kahiwangan”.- Canang sari yaitu inti dari pikiran dana niat yang suci sebagai tanda bhakti/hormat kepada Hyang Widhi ketika ada kekurangan saat sedang menuntut ilmu kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit).
  • 10. Canang sari adalah suatu Upakāra /banten yang selalu menyertai atau melengkapi setiap sesajen/persembahan, segala Upakāra yang dipersiapkan belum disebut lengkap kalau tidak di lengkapi dengan canang sari, begitu pentingnya sebuah canang sari dalam suatu Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya makna yang terkandung dalam sebuah canang sari?. Canang sari sebagai lambang angga sarira serta hidup dan kehidupan.
  • 11.
  • 12. Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama) yang dihormati. Di Bali kebiasaan bagi para tetua dalam memakan daun sirih disebut dengan “Pecanagan”. (Pasek Swastika,2008:90). Canangsari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih Setelah Danghyang Markandeya moksah.
  • 13. Canangsari sebagai salah satu sarana dalam upacara keagamaan agama Hindu di Bali terdiri dari beberapa bahan penting yang masing-masing bahan memiliki nilai-nilai filosofis. Bahan-bahan itu yaitu: Canangsari memakai alas berupa ceper, pembuatannya dilakukan dengan cara melipat janur sehingga berbentuk segi empat. Kemudian ditutup dengan dua potong janur yang dijahit melintang sperti tapak dara. Bentuk segi empat melambangkan Catur Loka Pala atau empat arah mata angin, dan setelah ditambahnya penututupnya akan memiliki makna delapan mata arah angina atau “astadala”.
  • 14. . Porosan, seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa Porosan itu terdiri dari janur, sirih, kapur dan pinang. Porosan biasanya diletakkan sebagai dasar dari Canang, adapun makna filosofis dari porosan ini adalah lambang pemujaan kepada Tuhan yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan pada Dewa Brahma, kapur lambang pemujaan pada Dewa Siwa, sirih lambang pemujaan pada Dewa Wisnu.
  • 15. . Bunga, melambangkan ketulus iklasan dan kesucian di saat kita melakuakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatiakan dalam pemakaian bunga yaitu; bunga yang dipakai disini adalah bunga yang masih segar dan berbau harum dan jangan sampai memakai bunga yang sudah di makan ulat dan terlebih lagi bunga yang tumbuh dikuburan.
  • 16. Tatuwesan atau Reringitan dan Plawa Tetuwasan atau reringgitan merupakan lambang keteguhan atau kelanggengan umat manusia. Pada zaman modern seperti ini, banyak sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan pikiran umat manusia. Keteguhan dan kelanggengan pikiran hendaknya tetap dipertahankan untuk menuju kebaikan dan kebenaran. Pikiran yang teguh dan langgeng tetap dibutuhkan untuk menuju jalan suci dan kebenaran Tuhan karena godaan-godaan akan silih berganti datang menggoyahkan cita-cita suci tersebut (Sudirga, 2005:61).
  • 17. Urasari, bentuk urasari ini menyerupai tapak dara atau swastikayang masih netral. Dimana bentuk tapak dara ini merupakan ungkapan secara Vertikal dan Horisontal dari pikiran umat manusia dalam pemujaan kehadapan Hyang Widhi dengan berbagai manifestasinya. Kemudian setelah dihias dengan hiasan yang menyilang ke sudut-sudut menjadilah bentukPadma Astadala. Padma Astadala merupakan lambang perputaran alam yang seimbang yang merupakan sumber kehidupan untuk menuju kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
  • 18. Padma Astadala juga merupakan simbol Dewata Nawa Sanga. Yang dalam Lontar Dasaksara disebutkan sebagai berikut: 1. Timur, warna putih bersthana Dewa Iswara 2. Tenggara, warna merah Muda bersthana Dewa Mahesora 3. Selatan, warna merah bersthana Dewa Brahama 4. Barat Daya, warna orange bersthana Dewa Rudra 5. Barat, warna kuning bersthana Dewa Mahadewa 6. Barat laut, warna hijau bersthana Dewa Sangkara 7. Utara, warna hitam bersthana Dewa Wisnu 8. Timur laut, wrana Abu/biru bersthana Dewa sambhu 9. Tengah, warna manca warna bersthana Dewa Siwa(Swastika,2008:90).
  • 19. Daksina merupakan tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah dari yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda "terima kasih" baik sekala maupun niskala.
  • 20. ◦ Sraddha ; dilakkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan hati ◦ Sastra ; sesuai dengan petunjukk sastra ◦ Gita ; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi ◦ Mantra ; terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk memeuliakan Hyang Widhi ◦ Lascarya ; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan hati ◦ Daksina ; pemberian penghormatan berupa rsi yajña kepada Sang Sadhaka (pandita/pinandita) ◦ Annaseva ; menjamu dengan senang dan tulus setiap tamu dengan makanan dan minuman yang menyehatkan badan dan rohani ◦ Nasmita ; tidak ada unsur pamer atau jor-joran.
  • 21. Selain fungsi di atas, daksina memiliki kegunaan lain dalam upacara yadnya diantaranya yaitu : 1. Daksina sebagai simbol Hyang Tunggal/ Hyang Guru: daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian daksina diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai penguasa alam semesta ini
  • 22. 2. Daksina sebagai sarana persembahan dalam upacara Yajna 3. Daksina sebagai cetusan rasa terima kasih 4. Daksina untuk memohon keselamatan 5. Daksina sebagai Upasaksi (Lambang Hyang Guru) 6. Daksina sebagai banten pelengkap 7. Daksina sebagai sarana penebusan
  • 23. 1.Bedongan Adalah sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali disebut wakul daksina. Nama lainnya dalah bedongan. 2. Tapak Dara Tapak dara merupakan simbol sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar.
  • 24. 3. Beras merupakan simbul udara sebagai cerminan sang hyang bayu yang merupakan sumber pokok kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih- benih kehidupan 4. Kelapa merupakan simbul matahari atau “windu” yakni cerminan sang hyang sadha siwa. buah yang serba guna (seluruh bagiannya dapat digunakan untuk kehidupan manusia) disimbulkan sebagai bumi dan juga sebagai kepala 5. Telur merupakan simbul bulan atau “ardha chandra” yakni cerminan Sang Hyang Siwa. Telur yang digunakan dalam daksina diusahakan menggunakan telur itik karena itik mampu memilih makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga udara.
  • 25. Peselan ini terdiri dari lima jenis dedaunan yang mewakili lima warna yaitu : a. Daun mangga mewakili warna hijau-hitam b. Daun durian mewakili warna putih, c. Daun langsat mewakili warna kuning, d. Daun manggis mewakili warna merah, dan e. Daun salak mewakili warna brumbun.
  • 26. 7. Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2 bungkus). Yang masing-masing diisi dengan segala jenis ikan teri, bumbu (yang melambangkan isi darat dan laut) serta biji- bijian (5 macam) yang mempunyai warna (hitam, putih, merah, kuning dan campuran) sebagai cerminan adanya jiwatman (roh). 8. Pangi merupakan simbul sarwa pala bungkah cerminan Sang Hyang Boma. 9. Tingkih merupakan simbul bintang atau “ nata“ yakni cerminan Sang Hyang Parama Siwa.
  • 27. 10. Uang kepeng bolong merupakan simbul “windu sunia” yakni cerminan “sangkan paran”. 11. Porosan merupakan simbul silih asih, cerminan dari Sang Hyang Semarajaya Semara Ratih. 12. Benang tatebus warna putih Di atas kelapa diisi dengan benang tatebus warna putih. Penggunaan Benang dalam setiap pelaksanaan upcara keagamaan memiliki makna simbolik sebagai tali penghubung antara yang memuja dan yang dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan juga pada upakara-upakara tertentu benang melambangkan usus.
  • 28. 13. Canang payasan yang sering juga disebut dengan pasucian/pangresikan. merupakan simbul asta aiswarya yaitu sang hyang dewata nawa sanga. Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina secara utuh dalam penggunaannya biasanya dirangkaikan dengan jenis upakara/bebantenan yang lain seperti : peras, ajuman, raka, dan yang lainnya. Rangkaian banten ini biasanya disebut dengan pejati.
  • 29. Namun daksina juga bisa berdiri sendiri apabila daksina tersebut berfungsi sebagai daksina linggih. Namun dalam daksina linggih ini ditambahkan dengan chili yang bermakna sebagai simbol wajah. Ada beberapa jenis daksina yaitu : Daksina alit (isinya tiap/jenis satu biji/butir); Daksina pekala- kalaan (isinya dilipatkan dua kali); Daksina gede (isinya dilipatkan empat kali); Daksina krepa (isinya dilipatkan tiga kali); Daksina galahan (isinya dilipatkan 5 atau 10 kali) (Putra, 2003:28).
  • 30. Banten ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulung-sesayut, dan lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras, base tampel, uang yang jumlahnya disesuaikan dengan penggunaannya, dan benang-putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit peras”, dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Triguna-Sakti.
  • 31.  Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu: - Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda). - Ceper/Aledan; lambang Catur marga (Bhakti, Karma, Jnana, Raja Marga). - Kemudian disusun di atasnya beras (makanan pokok – sifat rajah), - uang kepeng/recehan (untuk mencari segala kesenangan-sifat tamas), - benang (kesucian dan alat pengikat-sifat satwam) merupakan lambang bahwa untuk mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar, pandangan yang benar, pendengaran yang benar, dan tujuan yang benar.
  • 32. Dua buah tumpeng (simbol rwa bhineda baik- buruk); lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani, mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki dengan kebendaan/ perempuan) harus disatuakan baru bisa berhasil (Prasidha). Tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada Tuhan. Base tampel/porosan (poros – pusat) yang merupakan lambang tri murti.
  • 33. Kojong Ragkat, tempat rerasmen/lauk pauk; memiliki makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran, ucapan, tenaga dan hati nurani). Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya- persembahan sebagai hasil kerja kita. Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi, inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma.Canang sari;inti dari segala yadnya, merupakan simbol dari Ida Sang Hyang Widhi.
  • 34. Sesayut atau ‘Sayut’ dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno) berasal dari kata ‘asayut’ artinya menahan, atau menguatkan Banten. Sesayut atau Banten tatebasan kalau disimak dari arti kata Sesayut, yang berakar dari kata “Sayut” atau nyayut memiliki arti mengharapkan, mendoakan, mensthanakan dan mengembalikan.
  • 35.  Sesayut Payascita Luwih  Sesayut Saraswati  Sesayut Mertha Dewa  Sesayut Sida Karya  Sesayut Pasupati  Sesayut Langgeng Amukti Sakti  Sesayut Sida Purna
  • 36. Sedangkan Tatebasan yang berakar dari kata “Tebas” yang memiliki arti sama dengan Sesayut. Sesayut adalah banten-banten yang bertujuan untuk menguatkan rasa bhakti sekaligus menyampaikan permohonan kepada Sang Hyang Widhi untuk tujuan tertentu. Setiap upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu akan memakai Banten Sesayut atau Banten Tatebasan yang berbeda-beda sesuai dengan harapan dan tujuan upacara yang dilaksanakan, begitu juga dalam upacara Dewa-yadnya akan memakai Banten Sesayut sesuai dengan Ista Dewata yang akan di sthanakan atau di puja.
  • 37. Bahan perlengakapan yang diperlukan untuk membuat ajuman adalah: nasi yang disebut “penek/telompokan”, beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk-pauk berupa serundeng (sesaur), kacang-kacang, ikan teri, telur/lainnya, lalab seperti trung, timun, tauge (kecai), daun kemangi (kecarum), garam, sambel dan lainnya. Sebagai alasnya dapat dipergunakan taledan atau yang lain; Diatasnya diisi dua buah penek, lauk-pauk, dialasi dengan tangkih, berbentuk segitiga, jajan, buah-buahan, dan sebuah sampian soda (sampian ajuman) berbentuk tangkih; kadang-kadang bagian atasnya dibuat agak indah seperti kipas disebut “sampian-kepet kepetan”. Dapat pula dilengkapi dengan canang genten/canang sari/canang burat-wangi.
  • 38. Ajuman disebut pula soda (sodaan), dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina, suci dan lainnya. Bila ditujukan kehadapan para Leluhur, salah satu penek- nya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “ajuman putih-kuning”. Ada pula yang disebut “perangkat/ perayuan” yaitu jajan serta buah- buahannya dialasi tersendiri, demikian pula lauk- pauknya masing-masing dialasi ceper/ituk-ituk, kemudian diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Diatasnya diisi sebuah canang-pesucian, canang buratwangi atau yang lain. Ada juga yang melengkapi dengan sampian kepet-kepetan.
  • 39. Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-”.Jati berarti sungguh-sungguh, benar- benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh- sungguh. Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.
  • 40. Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
  • 41. Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu :  Daksina  Banten Peras,  Banten Ajuman Rayunan/Sodaan  Ketupat Kelanan  Penyeneng/Tehenan/Pabuat  Pesucian  Segehan alit
  • 42. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani Penyeneng/Tehenan/Pabuat adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam upacara yang diselenggarakan.
  • 43. Pesucian terdiri dari sebuah ceper /taledan Pada intinya pesucian merupakan alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makna filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau.
  • 44. Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatif dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan. Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek).
  • 45. Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin). Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
  • 46. Sarana yang Lain  Daun/Plawa ; lambang kesejukan.  Bunga ; lambang cetusan perasaan  Bija ; lambang benih-benih kesucian.  Air ; lambang pawitra, amertha  Api ; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
  • 47. Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu :  Daksina kepada Sanghyang Brahma  Peras kepada Sanghyang Isvara  Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu  Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva