KUASA DARAH YESUS.PPT menyelamatkan manusia dari kuasa dosa.
UPAKARA YAJNA SLIDE.pptx
1. Setiap Upacāra (proses untuk mendekatkan diri
dengan Brahman) agama selalu disertai dengan
Upakāra (sarana yang dipakai sebagai media
pemujaan Brahman), baik dalam wujud kecil
(sederhana/kanistama), menengah (madhyama)
maupun besar (mewah/uttama), hendaknya
dibarengi dengan memahami akan tujuan
Upacāra tersebut dan memahami makna
Upakāra nya. Oleh karena itu Upacāra dan
Upakāra harus mengacu kepada sastra-sastra
agama, bukan hanya dilandasi dengan ”Gugon
Tuwon, Anak Mula Keto”
2. Banten dalam agama Hindu adalah bahasa
agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu
disampaikan kepada umat dalam berbagai
bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis
seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan
dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan
dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai
dengan bahasa tulisnya. Setelah di Indonesia
disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di
Bali disampaikan dengan bahasa Bali.
Disamping itu Veda juga disampaikan dengan
bahasa Mona. Mona artinya diam namun
banyak mengandung informasi tentang
kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah
banten.
3. Dalam Lontar Yajña Prakrti disebutkan : “
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi,
pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka
anda bhuana” artinya: semua jenis banten
(upakāra) adalah merupakan simbol diri
kita, lambang kemahakuasaan Hyang
Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung
(alam semesta) Demikian pula dalam
Lontar Tegesing Sarwa Banten,
dinyatakan: “ Banten mapiteges
pakahyunan, nga; pakahyunane sane
jangkep galang” Artinya: Banten itu adalah
buah pemikiran artinya pemikiran yang
lengkap dan bersih.
4. Untuk menjabarkan dan menyebarluaskan ajaran
Veda yang bersifa rahasia
Sebagai sarana menyeberangkan Ātma untuk
mencapai Moksha
Sebagai sarana untuk menyampaikan
permohonan kepada Hyang Widhi.
Sebagai sarana untuk menciptakan
keseimbangan (tri hita karana).
Sebagai sarana untuk menciptakan suasana
kesucian dan penebusan dosa.
Sebagai sarana pendidikan yang bersifat
praktis (Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2004:
11).
5. Setiap Yajña yang ingin
dibuat/diadakan harus memenuhi
kriteria yang terdapat dalam Veda, hal
ini dimaksudkan agar yajña tersebut
berkualitas Śāttvam, karena hanya
kualitas yajña yang Śāttvamlah yang
dapat menghantarkan orang yang
mengadakan yajña mencapai
kemanunggalan dengan Brahman,
adapun landasan yajña sesuai dengan
Manavadharmasastra, VII.10, yaitu :
6. Iksa ; tujuan yang ingin dicapai melalui yajña
tersebut harus jelas
Sakti ; harus disesuaikan dengan tingkat
kemampuan yang dimiliki, baik kualitas SDM,
maupun pendanaannya, jangan sampai meninggalkan
hutang.
Desa ; disesuaikan dengan tempat dimana yajña itu
akan dilakukan, kearifan daerah setempat
(lokal genius) harus dihargai sehingga tidak ada
kesan pemaksaan
Kala ; situasi atau keadaan wilayah, masyarakatnya
juga harus diperhatikan sehingga yajña
tersebut efektif dan efisien serta
bermanfaat positif
Tattva ; harus merujuk pada ketentuan sastra agama
baik Sruti, Smrti, maupun Nibandha.
7. Secara umum tujuan diadakanya Upacāra menyangkut empat
hal, yaitu:
Yang bersifat umum dan kepercayaan adalah: untuk melenyakan
pengaruh yang kurang baik; mengundang atau menambahkan
pengaruh-pengaruh yang baik dan memberikan kekuatan; untuk
memperoleh tujuan hidup sekala-niskala; sebagai pernyataan
umum yang dimaksud menurut tujuan Upacāra itu sendiri.
Sebagai pembinaan moral (budhi) sehingga memungkinkan
berkembangnya sifat-sifat: welas asih dan pengampunan; tahan
uji; bebas dari iri hati; meningkatnya kesucian rohani; wajar dan
tenang dalam menghadapi segala cobaan hidup; suka berderma
dan tidak rakus/lobha.
Untuk pengembangan kepribadian dari Avidya (kegelapan bati)
menuju Vidya (memiliki pengetahuan) menuju
Vijñana (bijaksana) menuju Kstrajña (kesadaran illahi).
Untuk pengembangan spiritual sehingga terbebasnya Ātma dari
belenggu samsara atau manunggaling kawulo lan gusti
8. Sebagai linggih dan
perwujudan Hyang Widhi
Sebagai sarana cetusan
angayu bagia (persembahan)
Seagai sarana permohonan
Sebagai sarana pensucian
lahir-batin
9. 1. CANANG SARI
”Canang sari inggih punika sarin
kasucian kayun bhakti ring Hyang Widhi
tunggal. Napkala ngaksara kahiwangan-
kahiwangan”.- Canang sari yaitu inti dari
pikiran dana niat yang suci sebagai
tanda bhakti/hormat kepada Hyang
Widhi ketika ada kekurangan saat
sedang menuntut ilmu
kerohanian (lontar Mpu Lutuk Alit).
10. Canang sari adalah suatu Upakāra
/banten yang selalu menyertai atau
melengkapi setiap
sesajen/persembahan, segala
Upakāra yang dipersiapkan belum
disebut lengkap kalau tidak di lengkapi
dengan canang sari, begitu pentingnya
sebuah canang sari dalam suatu
Upakāra /bebanten. Apakah sebenarnya
makna yang terkandung dalam sebuah
canang sari?. Canang sari sebagai
lambang angga sarira serta hidup dan
kehidupan.
11.
12. Canangsari berasal dari bahasa jawa kuno
yang pada berarti: “Sirih”, yang mana sirih
ini disuguhkan kepada para Tamu (Uttama)
yang dihormati. Di Bali kebiasaan bagi para
tetua dalam memakan daun sirih disebut
dengan “Pecanagan”. (Pasek
Swastika,2008:90). Canangsari merupakan
ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang
menjadi sulinggih menggantikan
Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih
Setelah Danghyang Markandeya moksah.
13. Canangsari sebagai salah satu sarana dalam
upacara keagamaan agama Hindu di Bali terdiri dari
beberapa bahan penting yang masing-masing
bahan memiliki nilai-nilai filosofis. Bahan-bahan itu
yaitu:
Canangsari memakai alas berupa
ceper, pembuatannya dilakukan dengan cara
melipat janur sehingga berbentuk segi empat.
Kemudian ditutup dengan dua potong janur yang
dijahit melintang sperti tapak dara. Bentuk segi
empat melambangkan Catur Loka Pala atau empat
arah mata angin, dan setelah ditambahnya
penututupnya akan memiliki makna delapan mata
arah angina atau “astadala”.
14. . Porosan, seperti yang telah dijelaskan
diatas bahwa Porosan itu terdiri dari janur, sirih,
kapur dan pinang. Porosan biasanya diletakkan
sebagai dasar dari Canang, adapun makna
filosofis dari porosan ini adalah lambang
pemujaan kepada Tuhan yang Maha Esa dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
Pinang lambang pemujaan pada Dewa Brahma,
kapur lambang pemujaan pada Dewa Siwa, sirih
lambang pemujaan pada Dewa Wisnu.
15. . Bunga, melambangkan ketulus iklasan dan
kesucian di saat kita melakuakan pemujaan
kepada Ida Sang Hyang Widhi. Ada beberapa hal
yang perlu diperhatiakan dalam pemakaian
bunga yaitu; bunga yang dipakai disini adalah
bunga yang masih segar dan berbau harum dan
jangan sampai memakai bunga yang sudah di
makan ulat dan terlebih lagi bunga yang
tumbuh dikuburan.
16. Tatuwesan atau Reringitan dan Plawa
Tetuwasan atau reringgitan merupakan
lambang keteguhan atau kelanggengan umat
manusia. Pada zaman modern seperti ini, banyak
sekali unsur-unsur yang dapat menggoyahkan
pikiran umat manusia. Keteguhan dan kelanggengan
pikiran hendaknya tetap dipertahankan untuk
menuju kebaikan dan kebenaran. Pikiran yang teguh
dan langgeng tetap dibutuhkan untuk menuju jalan
suci dan kebenaran Tuhan karena godaan-godaan
akan silih berganti datang menggoyahkan cita-cita
suci tersebut (Sudirga, 2005:61).
17. Urasari, bentuk urasari ini menyerupai tapak
dara atau swastikayang masih netral. Dimana bentuk
tapak dara ini merupakan ungkapan secara Vertikal dan
Horisontal dari pikiran umat manusia dalam pemujaan
kehadapan Hyang Widhi dengan berbagai
manifestasinya. Kemudian setelah dihias dengan hiasan
yang menyilang ke sudut-sudut menjadilah
bentukPadma Astadala. Padma Astadala merupakan
lambang perputaran alam yang seimbang yang
merupakan sumber kehidupan untuk menuju
kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan.
18. Padma Astadala juga merupakan simbol Dewata
Nawa Sanga. Yang dalam Lontar Dasaksara
disebutkan sebagai berikut:
1. Timur, warna putih bersthana Dewa Iswara
2. Tenggara, warna merah Muda bersthana Dewa
Mahesora
3. Selatan, warna merah bersthana Dewa Brahama
4. Barat Daya, warna orange bersthana Dewa Rudra
5. Barat, warna kuning bersthana Dewa Mahadewa
6. Barat laut, warna hijau bersthana Dewa Sangkara
7. Utara, warna hitam bersthana Dewa Wisnu
8. Timur laut, wrana Abu/biru bersthana Dewa
sambhu
9. Tengah, warna manca warna bersthana Dewa
Siwa(Swastika,2008:90).
19. Daksina merupakan tapakan dari Hyang Widhi,
dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga
merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga
merupakan buah dari yadnya.
Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang
besar, di mana kita lihat banyak sekali ada
daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang
diberikan kepada yang muput karya (Pedanda
atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut
sebagai ucapan tanda "terima kasih" baik sekala
maupun niskala.
20. ◦ Sraddha ; dilakkan dengan penuh keyakinan dan kemantapan
hati
◦ Sastra ; sesuai dengan petunjukk sastra
◦ Gita ; terdapat lagu-lagu pujian kepada Hyang Widhi
◦ Mantra ; terdapat doa-doa pujaan yang dihaturkan untuk
memeuliakan Hyang Widhi
◦ Lascarya ; dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan
hati
◦ Daksina ; pemberian penghormatan berupa rsi yajña kepada
Sang Sadhaka (pandita/pinandita)
◦ Annaseva ; menjamu dengan senang dan tulus setiap tamu
dengan makanan dan minuman yang
menyehatkan badan dan rohani
◦ Nasmita ; tidak ada unsur pamer atau jor-joran.
21. Selain fungsi di atas, daksina memiliki
kegunaan lain dalam upacara yadnya
diantaranya yaitu :
1. Daksina sebagai simbol Hyang Tunggal/
Hyang Guru:
daksina yang begitu lengkapnya sehingga
dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh
alam semesta yang ada. Maka dengan
demikian daksina diartikan sebagai satu
kesatuan dan sekaligus sebagai simbol
Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai
manifestasi dari Deva Siva sebagai
penguasa alam semesta ini
22. 2. Daksina sebagai sarana persembahan
dalam upacara Yajna
3. Daksina sebagai cetusan rasa terima
kasih
4. Daksina untuk memohon keselamatan
5. Daksina sebagai Upasaksi (Lambang
Hyang Guru)
6. Daksina sebagai banten pelengkap
7. Daksina sebagai sarana penebusan
23. 1.Bedongan
Adalah sarana upacara yang dibuat dengan daun
kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti
bakul yang dalam bahasa bali disebut wakul
daksina. Nama lainnya dalah bedongan.
2. Tapak Dara
Tapak dara merupakan simbol sebagai tanda
Swastika, yang mempunyai makna semoga baik,
juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju
Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju
arah kehidupan alam sekitar.
24. 3. Beras merupakan simbul udara sebagai cerminan
sang hyang bayu yang merupakan sumber pokok
kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih-
benih kehidupan
4. Kelapa merupakan simbul matahari atau “windu”
yakni cerminan sang hyang sadha siwa. buah
yang serba guna (seluruh bagiannya dapat
digunakan untuk kehidupan manusia) disimbulkan
sebagai bumi dan juga sebagai kepala
5. Telur merupakan simbul bulan atau “ardha
chandra” yakni cerminan Sang Hyang Siwa. Telur
yang digunakan dalam daksina diusahakan
menggunakan telur itik karena itik mampu memilih
makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik
juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat
menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga
udara.
25. Peselan ini terdiri dari lima jenis dedaunan yang
mewakili lima warna yaitu :
a. Daun mangga mewakili warna hijau-hitam
b. Daun durian mewakili warna putih,
c. Daun langsat mewakili warna kuning,
d. Daun manggis mewakili warna merah, dan
e. Daun salak mewakili warna brumbun.
26. 7. Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2
bungkus). Yang masing-masing diisi dengan
segala jenis ikan teri, bumbu (yang
melambangkan isi darat dan laut) serta biji-
bijian (5 macam) yang mempunyai warna
(hitam, putih, merah, kuning dan campuran)
sebagai cerminan adanya jiwatman (roh).
8. Pangi merupakan simbul sarwa pala
bungkah cerminan Sang Hyang Boma.
9. Tingkih merupakan simbul bintang atau “ nata“
yakni cerminan Sang Hyang Parama Siwa.
27. 10. Uang kepeng bolong merupakan simbul
“windu sunia” yakni cerminan “sangkan paran”.
11. Porosan merupakan simbul silih asih,
cerminan dari Sang Hyang Semarajaya
Semara Ratih.
12. Benang tatebus warna putih
Di atas kelapa diisi dengan benang tatebus
warna putih. Penggunaan Benang dalam
setiap pelaksanaan upcara keagamaan
memiliki makna simbolik sebagai tali
penghubung antara yang memuja dan yang
dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan
juga pada upakara-upakara tertentu benang
melambangkan usus.
28. 13. Canang payasan yang sering juga disebut
dengan pasucian/pangresikan. merupakan
simbul asta aiswarya yaitu sang hyang dewata
nawa sanga.
Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina
secara utuh dalam penggunaannya biasanya
dirangkaikan dengan jenis upakara/bebantenan
yang lain seperti : peras, ajuman, raka, dan yang
lainnya. Rangkaian banten ini biasanya disebut
dengan pejati.
29. Namun daksina juga bisa berdiri sendiri apabila
daksina tersebut berfungsi sebagai daksina
linggih.
Namun dalam daksina linggih ini ditambahkan
dengan chili yang bermakna sebagai simbol
wajah.
Ada beberapa jenis daksina yaitu : Daksina alit
(isinya tiap/jenis satu biji/butir); Daksina pekala-
kalaan (isinya dilipatkan dua kali); Daksina gede
(isinya dilipatkan empat kali); Daksina krepa
(isinya dilipatkan tiga kali); Daksina galahan (isinya
dilipatkan 5 atau 10 kali) (Putra, 2003:28).
30. Banten ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan
tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain
seperti: daksina, suci, tulung-sesayut, dan lainnya.
Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan
sedikit beras, base tampel, uang yang jumlahnya
disesuaikan dengan penggunaannya, dan benang-putih.
Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka
seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik
lekukan pada “kulit peras”, dan menaburkan beras yang
ada dibawahnya. Pada lontar Yajna-prakerti disebut
bahwa peras melambangkan Hyang Triguna-Sakti.
31. Yang menjadi unsur-unsur Peras, yaitu:
- Tamas lambang Cakra atau perputaran hidup atau
Vindu (simbol kekosongan yang murni/ananda).
- Ceper/Aledan; lambang Catur marga (Bhakti,
Karma, Jnana, Raja Marga).
- Kemudian disusun di atasnya beras (makanan
pokok – sifat rajah),
- uang kepeng/recehan (untuk mencari segala
kesenangan-sifat tamas),
- benang (kesucian dan alat pengikat-sifat
satwam) merupakan lambang bahwa untuk
mendapatkan keberhasilan diperlukan persiapan
yaitu: pikiran yang benar, ucapan yang benar,
pandangan yang benar, pendengaran yang benar,
dan tujuan yang benar.
32. Dua buah tumpeng (simbol rwa bhineda baik-
buruk);
lambang kristalisasi dari duniawi menuju rohani,
mengapa dua tumpeng karena sesungguhnya untuk
dapat menghasilkan sebuah ciptaan maka
kekuatan Purusa dan Pradhana (kejiwaan/laki-laki
dengan kebendaan/ perempuan) harus disatuakan
baru bisa berhasil (Prasidha).
Tumpeng adalah lambang keuletan orang dalam
meniadakan unsur-unsur materialis, ego dalam
hidupnya sehingga dapat sukses menuju kepada
Tuhan.
Base tampel/porosan (poros – pusat) yang
merupakan lambang tri murti.
33. Kojong Ragkat, tempat rerasmen/lauk pauk; memiliki
makna jika ingin mendapatkan keberhasilan harus
dapat memadukan semua potensi dalam diri (pikiran,
ucapan, tenaga dan hati nurani).
Diisi buah-buahan, pisang, kue secukupnya-
persembahan sebagai hasil kerja kita.
Sampyan peras; terbuat dari empat potong janur
dibentuk menyerupai parabola di atasnya, merupakan
lambang dari kesiapan diri kita dalam menerima intuisi,
inisiasi, waranugraha dari Hyang Widhi yang nantinya
akan kita pakai untuk melaksanakan Dharma.Canang
sari;inti dari segala yadnya, merupakan simbol dari Ida
Sang Hyang Widhi.
34. Sesayut atau ‘Sayut’ dalam Bahasa Kawi
(Jawa Kuno) berasal dari kata ‘asayut’ artinya
menahan, atau menguatkan Banten.
Sesayut atau Banten tatebasan kalau disimak
dari arti kata Sesayut, yang berakar dari kata
“Sayut” atau nyayut memiliki arti
mengharapkan, mendoakan, mensthanakan
dan mengembalikan.
36. Sedangkan Tatebasan yang berakar dari kata
“Tebas” yang memiliki arti sama dengan Sesayut.
Sesayut adalah banten-banten yang bertujuan untuk
menguatkan rasa bhakti sekaligus menyampaikan
permohonan kepada Sang Hyang Widhi untuk tujuan
tertentu.
Setiap upacara yang dilaksanakan oleh umat Hindu
akan memakai Banten Sesayut atau Banten
Tatebasan yang berbeda-beda sesuai dengan
harapan dan tujuan upacara yang dilaksanakan,
begitu juga dalam upacara Dewa-yadnya akan
memakai Banten Sesayut sesuai dengan Ista
Dewata yang akan di sthanakan atau di puja.
37. Bahan perlengakapan yang diperlukan untuk membuat
ajuman adalah: nasi yang disebut “penek/telompokan”,
beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk-pauk berupa
serundeng (sesaur), kacang-kacang, ikan teri,
telur/lainnya, lalab seperti trung, timun, tauge (kecai),
daun kemangi (kecarum), garam, sambel dan lainnya.
Sebagai alasnya dapat dipergunakan taledan atau yang
lain; Diatasnya diisi dua buah penek, lauk-pauk, dialasi
dengan tangkih, berbentuk segitiga, jajan, buah-buahan,
dan sebuah sampian soda (sampian ajuman) berbentuk
tangkih; kadang-kadang bagian atasnya dibuat agak
indah seperti kipas disebut “sampian-kepet kepetan”.
Dapat pula dilengkapi dengan canang genten/canang
sari/canang burat-wangi.
38. Ajuman disebut pula soda (sodaan),
dipergunakan tersendiri sebagai persembahan
ataupun melengkapi daksina, suci dan lainnya. Bila
ditujukan kehadapan para Leluhur, salah satu penek-
nya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning,
disebut “ajuman putih-kuning”. Ada pula yang disebut
“perangkat/ perayuan” yaitu jajan serta buah-
buahannya dialasi tersendiri, demikian pula lauk-
pauknya masing-masing dialasi ceper/ituk-ituk,
kemudian diatur mengelilingi sebuah penek yang
agak besar. Diatasnya diisi sebuah canang-pesucian,
canang buratwangi atau yang lain. Ada juga yang
melengkapi dengan sampian kepet-kepetan.
39. Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat
awalan “pa-”.Jati berarti sungguh-sungguh, benar-
benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi
kata benda pajati, yang menegaskan makna
melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-
sungguh.
Jadi, Banten Pejati adalah sekelompok banten yang
dipakai sarana untuk menyatakan rasa
kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan
manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara
dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar
mendapatkan keselamatan. Banten pejati
merupakan banten pokok yang senantiasa
dipergunakan dalam Pañca Yajña.
40. Banten Pejati sering juga disebut
“Banten Peras Daksina”. Ketika pertama
kali masuk dan sembahyang di sebuah
tempat suci, begitu pula jika seseorang
memohon jasa Pemangku atau Pedanda,
“meluasang” kepada seorang balian/seliran,
atau untuk melengkapi upakara, banten
pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati
dipandang sebagai banten yang utama,
maka di setiap set banten apa saja, selalu
ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di
mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
42. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad
Ripu yang telah dapat dikendalikan atau
teruntai oleh rohani
Penyeneng/Tehenan/Pabuat
adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat
ntuk nuntun, menurunkan Prabhawa Hyang
Widhi, agar Baliau berkenan hadir dalam
upacara yang diselenggarakan.
43. Pesucian terdiri dari sebuah ceper /taledan
Pada intinya pesucian merupakan alat-alat
yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara
dalam suatu upacara keagamaan.
Secara instrinsik mengandung makna
filosofis bahwa sebagai manusia harus
senantiasa menjaga kebersihan phisik dan
kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa),
karena Hyang Widhi itu maha suci maka
hanya dengan kesucian manusia dapat
mendekati dan menerima karunia Beliau.
44. Secara etimologi Segehan artinya Suguh
(menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala,
yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang
dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia
dalam kurun waktu tertentu.
Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan
menghilangkan pengaruh negatif dari libah tersebut.
Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia
dengan semua ciptaan Tuhan. Jahe, secara imiah memiliki
sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak
boleh emosional. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia
harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi
tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah
sosial (cuek).
45. Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral,
garam adalah sarana yang mujarab untuk
menetralisir berbagai energi yang merugikan
manusia (tasik pinaka panelah sahananing
ngaletehin).
Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis
alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat
efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai
kuman/bakteri yang merugikan.
Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat
kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah
agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan
yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
46. Sarana yang Lain
Daun/Plawa ; lambang kesejukan.
Bunga ; lambang cetusan perasaan
Bija ; lambang benih-benih
kesucian.
Air ; lambang pawitra, amertha
Api ; lambang saksi dan
pendetanya Yajna.
47. Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang
Catur Loka Phala, yaitu :
Daksina kepada Sanghyang Brahma
Peras kepada Sanghyang Isvara
Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva