1. Sejarah Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari
bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap
satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-
beda. Kata neka dalam bahasa Jawa Kuna berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata
"aneka" dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara
harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun
berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan
ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku
bangsa, agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin
Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin
ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha.
Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena
parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana
dharma mangrwa.
Terjemahan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda,
tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa dilontarkan secara lebih nyata
masa Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran
Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya, karenanya Nararyya
Wisnuwarddhana didharmmakan pada dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi
Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota Krtanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan
sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra. Inilah fakta bahwa Singhasari
merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majhapahit.
Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder) tiada lain kerabat sekaligus menantu
Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari terakhir).
Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular
pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan
dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah
memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan,
telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah
Bhinneka Tunggal Ika - Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang
diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila. Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta),
pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga
anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit.
Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak
terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan
2. juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara
nusa) dalam kesatuan nusaantara raya. Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal - ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu.
Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU,
satu bangsa dan negara Republik Indonesia. Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951,
pada tanggal 17 Oktober diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang
Negara. Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majhapahit maupun
pemerintahan NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu semangat rasa persatuan,
kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam menegakkan negara.
Sementara semboyan “Tan Hana Darmma Mangrwa” digunakan sebagai motto
Lambang Pertahanan Nasional (Lem Ham Nas). Makna kalimat ini adalah “Tidak ada
kenenaran yang bermuka dua” kemudian oleh LemHaNas semboyan kalimat tersebut diberi
pengertian ringkas dan praktis yakni “Bertahan karena benar” “Tidak ada kebenaran yang
bermuka dua” sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia
senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu. Bhinneka tunggal ika tan
hana dharmma mangrwa adalah ungkapan yang memaknai keberadaan aneka unsur
kepercayaan pada masa Majhapahit. Tidak hanya Siwa dan Buddha tetapi juga sejumlah
aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota masyarakat
Majhapahit yang bersifat majemuk.
Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singhasari yakni pada masa
Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng ring Jajaghu (Candi Jago), maka baik semboyan
bhinneka tunggal ika maupun bangunan Candi Jago kemudian disempurnakan pada masa
Majhapahit. Oleh sebab itu kedua simbol (wijaksara maupun dan bangunan) tersebut lebih
dikenal sebagai hasil peradaban era Majhapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil
proses perjalanan sejarah sejak awal. Dari segi agama dan kepercayaan Majhapahit
merupakan masyarakat majemuk. Di samping mengesankan adanya beberapa aliran agama
dan kepercayaan yang berdiri sendiri, juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara
Siwa-Budha dan pemujaan roh nenek moyang, namun kepercayaan Pribumi asli tetap
bertahan, bahkan mengambil peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas
masyarakat. Ketika itu masyarakat Majapahit terbagi:
• Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di
Majhapahit;
• Golongan kedua, orang-orang Cina kebanyakan dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou
(terletak di Fukien) yang menyingkir dan bermukim di sini. Banyak dari mereka yang masuk
agama Islam dan bahkan menyiarkan agama tersebut;
• Golongan ketiga, penduduk pribumi yang bila berjalan tanpa alas kaki, rambutnya
disanggul di atas kepala. Mereka percaya sepenuh-nya kepada roh-roh leluhur
Butir ketiga inilah yang bersesuaian dengan kebiasaan menyeru roh roh leluhur
disamping dewa-dewa Hindu dan dicantumkan dalam prasasti-prasasti. Hakekatnya
merupakan tradisi terus berlanjut, dimulai sejak kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Tengah,
Mataram kuno Jawa Tengah yang didirikan (the founder) oleh Rakai Mataram Sang Ratu
Sanjaya - tiada lain adalah Rahiyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh yang berpusat di Ciamis
Tatar Sunda. Roh leluhur tersebut diharapkan dan dimohon pertolongannya men-jaga dan
menjadi saksi serta merestui kutukan bagi mereka yang berani melanggar surat keputusan
raja. Tercatat dalam Nagarakertagama (16:2-4) pemeluk Budha dari kalangan rakyat biasa
3. terbatas, para bhujangga dan pendeta Budha bertugas ke daerah-daerah mengumpulkan upeti-
upeti sangat dilarang berkunjung dan menyiarkan agama ke bagian barat Majhapahit. Karena
di daerah tersebut agama Budha tidak memiliki pengikut. Pendeta Budha hanya
diperbolehkan menyebarkan agamanya ke timur Majapahit terutama Bali dan Gurun
(Lombok?). Sedangkan para pendeta Hindu-Saiwa bebas berkunjung dan menyiarkan
agamanya dimana saja di dalam wilayah kekuasaan Majhapahit.
Kalangan rakyat Kerajaan Majhapahit ada yang menganut Hindu tapi penganut agama
Budha terbatas, dan yang terbanyak di samping adalah penganut religi asli yakni kepercayaan
yang pokok pemujaannya adalah mengagungkan Roh Leluhur. Masa Majhapahit adalah masa
menandai kebangkitan kembali kepercayaan roh nenek moyang yang telah hidup dari masa
sebelumnya terutama sejak periode Jawa Tengah telah terdesak ke pinggir dengan kehadiran
inovasi luar asing. Kebangkitan tersebut tidak hanya terjadi di kalangan bawah (rakyat) tetapi
adanya gejala perubahan pada berbagai aspek secara global dalam terutama dalam bidang
kesenian keagamaan. Pola halaman dan orientasi bangunan suci kerajaan berubah mengikuti
pola dan tatanan gunung yang disusun mundur ke belakang dan kian ke atas kian tinggi yang
diakhiri pada suatu punden sebagai unsur paling suci, sebagaimana pola bangunan suci Candi
Jago, Candi Panataran dan mayoritas umumnya bangunan-bangunan suci di Jawa Timur.
Inilah bukti, sekaligus fakta gejala kebangkitan kepercayaan Asli merasuk dan menjangkau
secara formal ke kalangan atas (bangsawan).
Posted by naru daruisama on Thursday, January 30, 2014 - Rating: 4.5
Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa
Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti "beraneka ragam" atau berbeda-beda.
Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka"
dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Secara harfiah
Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-
beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini
digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa,
agama dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma,
karangan Mpu Tantular semasa kerajaanMajapahit sekitar abad ke-14.
Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan
umat Buddha.[1]