2. Biografi Penulis Trancendent Unity of Religion
Dikenal Sebagai
Seorang guru spiritual, filsuf, dan ahli
metafisika yang diilhami oleh filsafat Hindu
Advaita Vedanta dan Sufisme, Pelukis dan
penyair
Terpengaruhi
René Guénon (Pelopor Filsafat
Abadi) , Adi Shankara , Plato ,
Meister Eckhart , Ibn Arabi , Ahmad
al-Alawi , Thomas Yellowtail
Lahir
di Basel, Swiss, pada 18 Juni 1907
أحمد ّيندالـ نور ٰعيسی
Frithjof Schuon
Dalam pandangan Schuon, Islam lebih baik dari Hindu karena
agama ini memuat bentuk terakhir dari Sanatana Dharma. Ajaran
Islam, menurutnya, tidak hanya memuat aspek esoterisme (mencakup
aspek metafisis dan dimensi internal agama), tetapi juga aspek
eksoterisme (mencakup aspek eksternal, dogmatis, ritual, etika, dan
moral suatu agama). Sementara ajaran Hindu hanya
mengedepankan salah satu aspek tersebut.
Tahun 1965, Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia
menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu
bercerai dengan suaminya terdahulu. Perkawinan ini
dijuluki sebagai “perkawinan vertikal” atau
“perkawinan spiritual”
3. Kritik Terhadap Faham
Trancendent Unity of Religion
Fritjhof Schuon Mengatakan Semua agama sama dalam esensinya dan
berbeda hanya didalam bentuknya
Esoterik (batiniyah) di dalam pandangan Schuon adalah term yang
digunakan untuk menyebut esensi yang berada di dimensi spiritual-metafisis,
yang memiliki nilai kebeneran universal
Eksoterik (lahiriyah) adalah term yang digunakan untuk menyebut aksidensi
sistem formal dari agama-agama. Eksoterik, menurut Schuon memilki batas
batasan eksklusivitas yang terbentuk sesuai dengan peristiwa dan
pengalaman sejarah dari masing-masing agama.
Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai Tuhan, teologi, ajaran yg
berbeda. Namun pd tingkat esoterik agama-agama itu menyatu dan memiliki
Tuhan yang sama yang abstrak dan tak terbatas
Secara eksoteris agama bersifat abadi tunggal dan mutlak, pada dimensi
eksoteris terjadi titik temu atau kesatuan agama-agama
Schuon condong menyebut Tuhan sebagai The Transcendent Truth atau Essence
atau The Ultimate. Berdasarkan paradigma ini pula, Schuon menyimpulkan
bahwa Tuhan di dalam dimensi eksoteris menampilkan dirinya di dalam
berbagai macam bentuk (form/accident), dan tidak satupun darinya absolut.
4. Kritik Terhadap Faham
Trancendent Unity of Religion
Schuon memandang agama sebagai sebuah wacana kajian yang relatif dan dikotomis.
Relatif, di mana Schuon berpendapat bahwa iman terhadap Tuhan tergantung
terhadap bagaimana tingkat pengalaman spritual seorang pemeluk agama. Sekilas
tampak benar Sekilas ini merupakan wacana yang masuk akal, sebagaimana yang
banyak dialami oleh para sufi. Namun selanjutnya Schuon menyatakan, “The doctrinal
expressions of wich clearly illustrate the dimensional indefinitude of theoretical
conceptions.”
Jadi, dalam pandangan Schuon Tuhan yang disembah bukan hanya Allah dalam
agama Islam, namun juga tuhan-tuhan lain dalam konsep agama yang berseberangan.
Konsep kesatuan transenden agama-agama milik Schuon masih problematis, karena
secara konseptual mustahil agama disampaikan secara murni intelek tanpa
berlandaskan wahyu.
Legitimasi sufi yang digunakan Schuon, dalam pandangan filsafat perennial secara
umum justru menjelaskan bagaimana lemahnya konsep kesatuan transenden agama-
agama.
5. Kritik Terhadap Faham
Trancendent Unity of Religion
Terdapat pluralisme agama, Mereka menolak “klaim kebenaran” dari
masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama justru
menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama
melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah
menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham
kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru
anti-pluralisme?
Logikanya, jika mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham,
seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama
yang meyakini kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi,
anehnya, kita banyak menjumpai berbagai kecaman terhadap orang-orang
yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme.
Sebenarnya, teori TUR, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama,
atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah
sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai
mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak
semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada
yang busuk dan beracun.
6. Kritik Terhadap Faham
Trancendent Unity of Religion
Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu
pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog
dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level
transenden pun ada Iblis yang kafir.
Teori TUR juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan
diri-Nya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni
Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak
perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Menurut penganut TUR, nama
apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja. Kata mereka, yang penting Tuhan.
7. Kritik Terhadap Faham
Trancendent Unity of Religion
Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham TUR, bahwa aspek
esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang
Muslim — yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu
tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana
cara menyembah Tuhan Yang Satu, Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan
contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan
imajinasi dan kreativitasnya masing-masing.Jika semuanya dikatakan sah
dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus?
Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah aspek eksoterisnya. Sedangkan
aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam
tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris
direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan
merusak agama itu sendiri.
8. Kritik Terhadap Faham
Trancendent Unity of Religion
1. Beriman saja tidak cukup
2. Fatwa MUI : Sesat
3. Paus Benedictus XVI pun menolak Pluralisme
4. Nabi Muhammad Saw mengirim surat dakwah kepada Kaisar Heraklius, Raja
Romawi yg beragama Nasrani, al-Najasyi raja Abesenia yg beragama
Nasrani dan Kisra Persia yg beragama Majusi, untuk masuk ke dalam Islam
(Riwayat Ibn Sa’d dlm al-Thabaqah al-Kubra dan Imam al-Bukhari dlm Shahih-
al-Bukhari.
9. IBNU ARABBI
Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan Trancendent’ mengutip tiga bait puisi Ibn
Arabi dalam karya kontroversialnya, , yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka
bentuk dan rupa; ia meruTarjuman al-Asywaqpakan padang rumput bagi menjangan, biara
bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat,
dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana
pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”
Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan
bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same
summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118).
Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang
ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin
asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6).
Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi
Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31,
“Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! –
niscaya Allah akan mencintai kalian.”
Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa
cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah Rasul-Nya saw
(al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah
Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du
coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu.
10. IBNU ARABBI
Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam
konteks sejarah masing-masing — yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. muncul.
Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan
Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami
kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan
suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa
minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat,
bab 36).
Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang
masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang
mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab 495, fi
Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa
kafir”).