1. 1
URGENSI KETERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN NTT 2014
Oleh
Sipri Jemalur & Evy Mazmur
(Peserta Sekolah Demokrasi Manggarai Barat)
Keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal di Indonesia sampai saat ini
masih sangat rendah. Pemilu pertama yang diselenggarakan pada tahun 1955 yang diklaim oleh
berbagai pihak sebagai pemilu yang paling demokratis ternyata tingkat keterwakilan politik
perempuan adalah yang paling kecil dalam sejarah politik dan pemilu di Indonesia baik di DPR
maupun di Badan Konstiutante. Dari total 289 anggota DPR, jumlah perempuan hanya 17 orang
atau sekitar 6,3%. Demikian pun pada Badan Konstituante. Dari total 513 anggota, keterwakilan
perempuan hanya 25 orang. Peralihan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru pun tidak mengalami
perubahan secara significant. Dari total 5 kali pemilihan Umum selama Orde Baru, tingkat
keterwakilan perempuan dalam parlemen, tingkat keterwakilan perempuan dalam politik tidak
pernah menembus angka 15%. Angka tertinggi hanya sampai pada 13% yaitu pada Pemilu 1987-
1992. Dari total jumlah anggota DPR 565 orang, jumlah anggota parlemen perempuan hanya 65
orang. Peralihan dari rezim Orde Baru menuju era demokratisasi pun, representasi politik
perempuan di bidang politik tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pada pemilu 2004-
2009, dari total 560 orang anggota DPR, jumlah anggota DPR perempuan hanya 11,03 % atau
hanya 61 orang. Pada periode 2009-2014, representasi politik perempuan mengalami perubahan
sedikit yaitu dari total jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang, 101 anggotanya adalah anggota
perempuan. Dari berbagai data ini menunjukkan bahwa tingkat keterwakilan politik perempuan
di tingkat pusat dari rezim ke rezim konsisten sangat rendah.
Keterwakilan politik perempuan di tingkat pusat tidak berbeda jauh dengan keterwakilan
politik perempuan di tingkat daerah baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten hamper
di seluruh Indonesia . Dari total jumlah anggota DPRD di seluruh Indonesia yang berjumlah 10.
250 orang, anggota DPR perempuan hanya 350 orang atau sekitar 3,4 %. Proses transisi rezim
dari rezim totaliter ke era demokrasi pada tahun 1998 ternyata belum berdampak secara positif
dengan tingkat keterwakilan politik perempuan di daerah. Lahirnya UU No 32/2004 tentang
Otonomi Daerah yang diharapkan member ruang yang terbuka bagi demokratisasi di tingkat
lokal, justru partisipasi dan keterwakilan politik perempuan semakin terpinggirkan baik di sector
2. 2
eksekutif maupun di legislative. Fenomena seperti itu tidak berbeda jauh dengan kondisi kita di
NTT. Di level eksekutif misalnya, sampai saat ini tak ada satu pun keterwakilan perempuan
dalam jabatan politis sebagai bupati dan wakil bupati dari 21 kabupaten/ kota di NTT. Hal
serupa tidak berbeda jauh pada lembaga legislative. Dari total 525 anggota DPRD
Kabupaten/kota di NTT, Hanya ada 49 orang perempuan atau sekitar 9,3 %. Lebih menyedihkan
lagi bahwa pada beberapa kabupaten, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sama sekali
tidak ada atau 0%. Fakta yang sama pun kita jumpai di tingkat propinsi. Sejak NTT ditetapkan
sebagai propinsi pada 1958 sampai dengan Pilgub saat ini, representasi perempuan sama sekali
nihil. Di sector legislative, dari total 55 jumlah anggota DPRD, hanya ada 7, 02% (4) perempuan
. Fakta ini menunjukkan bahwa semua sector strategis politis di NTT sesungguhnya dikuasai
oleh laki-laki baik di eksekutif maupun legislative
Urgensi Keterwakilan Perempuan
Rendahnya keterwakilan dan komposisi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan di
lembaga politik formal berdampak pada dua hal. Pertama, Persoalan-persoalan mendasar dan
mendesak yang dialami oleh perempuan belum tentu menjadi prioritas program kebijakan politik
yang dibuat oleh lembaga eksekutif maupun legislative. Di tingkat lokal, Bupati dan wakil
Bupati serta anggota DPRD adalah lembaga yang merancang dan membentuk kebijakan politik
di tingkat kabupaten. Dengan minimnya keterwakilan politik perempuan di dua lemabaga
tersebut, maka konsekuensinya adalah kepentingan dan persoalan perempuan semakin
terpinggirkan dalam kebijakan politik pemerintah lokal. Kedua, konsekuensi lanjut dari
minimnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik adalah munculnya ketidakadilan dan
diskriminasi baik dalam proses maupun menikmati hasil pembangunan bagi kaum perempuan
hamper dalam berbagai bidang kehidupan baik pada bidang pendidikan, kesehatan, politik,
ekonomi maupun produk hukum di tingkat lokal. Hasil kajian dan analisis berbagai data terutama
Data Badan Pusat Statistik (BPS) maupun data hasil kajian berbagai lembaga penelitian
menunjukkan bahwa hamper sampai saat ini pemabngunan di NTT sesungguhnya bersifat
diskriminatif dan tidak adil terhadap perempuan.
Pembangunan yang diskriminatif dan tidak adil ini termanifestasikan dalam berbgai
bentuk. Dalam bidang kesehatan misalnya, tingkat kematian ibu di NTT masih sangat tinggi
3. 3
hamper di semua kabupaten. Dalam bidang social ekonomi misalnya, para remaja putri NTT
yang bekerja di sector informal seringkali diekploitasi tenaganya baik oleh warga NTT sendiri
yang mempekerjakan mereka maupun oleh orang lain di luar NTT karena tingkat pendidikan dan
ketrampilan mereka yang sangat rendah. Lebih dari itu, begitu banyak perempuan NTT yang
seringkali menjadi korban tindakan perdagangan manusia baik yang terjadi di Indonesia maupun
di Malaysia. Persoalan-persoalan ini tentu hanyalah sepenggal dari tumpukan persoalan dan
penderitaan yang dialami oleh perempuan NTT.
Meskipun persoalan structural politik buka satu-satunya alasan munculnya persoalan di
atas, tetapi kebijakan pembangunan yang meminggirkan perempuan merupakan salah satu faktor
yang paling krusial dan dominan menjadi akar persoalan perempuan di NTT. Berdasar pada
logika ini, maka kita dapat mengatakan bahwa semakin tinggi keterwakilan politik perempuan
baik di tingkat eksekutif, maka kebjakan publik dalam daerah tersebut semakin berpihak pada
perempuan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat keterwakilan perempuan, maka kebijakan publik
dalam daerah tersebut semakin meminggirkan persoalan-persoalan perempuan.
Kebijakan pembangunan yang diskriminatif dan tidak adil yang dihasilkan oleh lembaga
eksekutif dan legislative baik di tingkat kabupaten maupun propinsi hedaknya menjadi
perjuangan dan kesadaran kolektif perempuan di NTT terutama yang akan bertarung pada tahun
2014 yang akan datang. Peluang politik yang begitu baik ini hendaknya dimanfaatkan oleh para
Caleg perempuan baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat propinsi. Peluang itu sangat
potensial karena dilandasi oleh dua hal. Pertama, dukungan konstituensi. Dari segi komposisi
penduduk NTT, perempuan seharusnya memiliki keterwakilan yang seimbang karena data BPS
2011 menunjukkan bahwa dari total jumlah penduduk NTT sekitar sekitar 4.776.485, jumlah
penduduk perempuan sebesar 2.403.972 sedangkan jumlah penduduk laki-laki sebesar
2.372.513. Dari segi jumlah wajib pilih pun, jumlah pemilih perempuan lebih besar yaitu 51.
45% sedangkan jumlah pemilih laki-laki sebesar. 49.55%. Komposisi jumlah penduduk yang
seimbang ini tidak berbeda jauh dengan komposisi di tingkat kabupaten seluruh NTT. Kedua,
transparansi politik yang relative baik. Meskipun praktek manipulasi dan jual beli suara sering
terjadi, hal itu dapat diminimalisir dengan hadirnya berbagai lembaga seperti pers, lembaga-
lembaga independent pemantau semakin banyak. Hemat kami, sudah saatnya perempuan NTT
untuk mewakili perempuan yang selama ini disingkirkan dan dimarginalkan oleh dominasi laki-
laki.