(Sindonews.com) Opini hukum-politik Koran Sindo 7 Juni 2014-5 Juli 2014
Rita Slide.pptx
1. KEBIJAKAN KUOTA 30% KETERWAKILAN
PEREMPUAN DI LEGISLATIF
Disusun Oleh :
RITA SURYANI- 02013682328008
PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU
HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG,
2. LATAR
BELAKANG
Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 hingga undang-
undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
perjuangan kaum perempuan untuk
mendapatkan hak di bidang politik telah
tercapai
permasalahan kekaburan norma yang terjadi dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu khususnya
terkait saksi atau implikasi hukum dari khususnya Pasal 173 ayat
(2) huruf e, menyatakan : “Menyertakan paling sedikit 30%
keterwakilan perempuan pada kepengurusan pusat”. Artinya hanya
mengatur kewajiban kuota 30% perempuan pada kepengurusan,
hanya pada tingkat pusat, tampa disertai kewajiban bagi Parpol di
tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ketentuan ini, tidak disertai
sanksi hukum dan tidak diatur rentang waktu keharusan dalam
kepengurusan yang mengharuskan 30% perempuan.
Realisasinya pada tiap pemilu mengalami
pasang surut. Pemilu tahun 2019 kuota 30%
keterwakilan perempuan di parlemen hanya
20,5% atau hanya 220 orang dari 575 orang
yang terpilih sebagai anggota legislatif.
Sementara pada pemilu tahun 2019, semua
Parpol sudah memenuhi kuota 30%
keterwakilan perempuan sebagai prasyarat
untuk melaju dalam pesta demokrasi
3. PEMBAHASA
N
A. Implikasi Hukum Tidak
Terpenuhinya Kuota 30%
Perempuan Berdasarkan Hasil
Pemil
u
Sistem Pencalonan perempuan minimal 30% selama ini
bagi Parpol hanya untuk memenuhi syarat administratif
yang harus dipenuhi agar bisa ikut berkontestasi pada
pesta demokrasi. Parpol yang tidak mampu memenuhi
kuota 30% perempuan pada daftar pencalonan, maka
Parpol tersebut tidak akan bisa menjadi peserta Pemilu,
sebagaimana ketentuan Pasal 245 dan 248 UU Pemilu
Selain itu sanksi bagi Parpol yang tidak
memenuhi 30% Bakal Calon Anggota Dewan
(BCAD) dalam pendaftaran tidak serta merta
sanski diberlakukan, karena Parpol diberikan
ruang/waktu untuk memperbaiki daftar
pencalonan
1. Bagaimanakah implikasi tidak
terpenuhinya kuota 30%
perempuan berdasarkan hasil
Pemilu?
2. Bagaimanakah peran partai
politik untuk mendukung
terwujudnya kebijakan kuota
30% keterwakilan perempuan di
legislatif ?
RUMUSAN
MASALAH
4. Fenomena ini menjadikan keberadaan Caleg/politisi perempuan sebagai elemen yang penting
hanya untuk momentum saja, momentum sebagai syarat pelengkap administrasi. Selanjutnya para
caleg perempuan tidaklah mendapatkan perlakuan politik yang terlihat istimewa, dilihat dari
penempatan nomor urut dan hasil Pemilu, bahwa angka 30% hanya berada pada tataran syarat
pencalonannya saja. Hal itu dikarenakan undang-undang tidak mengatur apakah sanksi atau
implikasi hukum dari Parpol yang tidak bisa mengantarkan 30% Caleg perempuan di legislatif.
Kenyataan ini menjadikan Parpol tidak ada atau akan kurang melaksanakan mekanisme
rekruitmen, kaderisasi, dan pendidikan politik yang serius untuk mendukung dan menjadikan
politisi dan caleg perempuan yang memiliki kualitas dan kapabalitas, dan karena hampir
semua peraturan terkait keterwakilan perempuan tampa disertai sanksi/implikasi hukum,
sehingga ada ruang bagi Parpol dan elit partai, untuk tidak sungguh-sungguh untuk
melaksankan ketentuan afirmasi ini. dalam undang-undang tidak ada diatur kewajiban
Parpol untuk memenangkan Caleg perempuan sesuai dengan batas kuota yang diberikan,
dengan tidak adanya kewajiban, maka para elite partai tidak menjadikan kuota 30% sebagai
hal yang prioritas untuk diwujudkan. Hal itu dikarenakan tidak ada implikasi hukum bagi
Parpol.
5. 3. Menghadirkan kuota dengan
sistem “Reserved Seat”,
menyisihkan sejumlah kursi
tertentu untuk perempuan
diantara perwakilan di lembaga
legislatif yang diatur secara khusus
baik dalam konstitusi maupun
undang-undang yang bersifat wajib
serta memiliki sanksi bagi partai
yang tidak mengikuti sistem tersebut
4. Meningkatkan
representasi
perempuan di
legislatif perlu
dilakukan
pembenahan
cara berpikir
5.
Menempatkan
calon legislatif
perempuan di
nomor urut 1
(satu).
1. Pengaturan Perlindungan Hukum Bagi Justice
Collaborator Dalam Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia
B. Peran Partai Politik Untuk Mendukung Terwujudnya Kebijakan Kuota 30% Keterwakilan
Perempuan di Legislatif
Partai politik masih kurang mengangkat isu perempuan baik dalam platform maupun program
partai. Hal ini menunjukan kurangnya pemahaman Parpol tentang pentingnya keterwakilan
perempuan
2. Partai politik tidak proaktif melakukan
pendekatan kepada perempuan yang
dinilai memilki potensi untuk direkrut
6. KESIMPULA
N
Tidak terpenuhinya keterwakilan kuota 30% perempuan pada partai politik untuk duduk di
parlemen menyebabkan partai politik tersebut tidak bisa mengikuti sebagai peserta
pemilu. Kurangnya kuota Perempuan 30% membuat partai politik kurang selektif untuk
mendapat calon yang akan diusung untuk mengikuti pemilihan umum. Padahal untuk
keterwakilan Perempuan haruslah mempunyai kompetensi yang baik dalam berorganisasi
dan berpolitik. Tidak terdapat implikasi hukum bagi Parpol yang tidak memenuhi kuota
30% perempuan berdasarkan hasil Pemilu, karena dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilu, tidak ada diatur secara khusus terkait sanksi ataupun implikasi
hukum. Selain itu, partai politik tidak memiliki peran yang signifikan dalam mewujudkan
implementasi kuota 30% keterwakilan perempuan. Hal ini dapat dilihat dari penempatan politisi
perempuan pada jabatan strategis partai sangat kecil dan penempatan nomor urut caleg perempuan
yang tidak berada di nomor urut strategis.
7. KESIMPULAN
Peran partai politik untuk mendukung terwujudnya kebijakan kuota 30% keterwakilan
perempuan di Parlemen sangat berpengaruh untuk penguatan kebijakan partai politik.
Strategi pemenuhan kuota 30% perlu dilakukan dengan cara peningkatan pengkaderan
Perempuan di setiap partai politik, sinergitas dan komitmen yang kuat antara pemerintah,
partai politik, dan Perempuan yang terpilih sebagai anggota yang duduk di Parlemen.
Salah satu cara adalah dengan menempatkan perempuan pada posisi tertinggi di masing-
masing partai.
Misalnya komitmen parpol khususnya pada daerah pemilihan (dapil) agar
menempatkan calon legislatif perempuan di nomor urut 1 (satu). Selain itu, sesungguhnya
upaya meningkatkan keterwakilan perempuan tidak mudah. Perlu sinergitas serta
komitmen yang kuat dari pemerintah, parpol, maupun dari perempuan itu sendiri agar
mau terus berusaha menjadi perempuan berdaya
saing.
8. SARA
N
Pemerintah perlu terus mendorong upaya peningkatan keterwakilan perempuan di dalam pada
tahun 2024. Hal itu mengingat bahwa faktanya, sejak pemilihan umum (pemilu) 2004 lalu, jumlah
keterwakilan perempuan di parlemen terutama DPR RI masih belum mencapai 30%. Data Inter
Parliamentary Union, keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen berada pada peringkat keenam
dibanding negara-negara Asean. Sedangkan, pada tingkat dunia, posisi Indonesia di peringkat ke-89
dari 168 negara di bawah Afganistan, Vietnam, Timor Leste, dan Pakistan. Untuk mewujudkan
ketertinggalan dan pencapaian target tersebut, pemerintah perlu merefleksikan agenda pembangunan
global yang menekankan pentingnya kesetaraan gender. Yaitu dengan memberi kesempatan yang
sama untuk kepemimpinan perempuan di setiap tingkat pengambilan keputusan, khususnya di
bidang politik pada tingkat daerah maupun nasional dengan menginisiasi grand design roadmap
30% keterwakilan. Dalam hal ini tentu saja penting dituntut peranan partai politik (parpol) di
dalam upaya peningkatan keterwakilan perempuan di Parlemen 2024. selain itu, ke depan
pengaturan 30% keterwakilan Perempuan perlu dievaluasi kembali, agar peluang perempuan untuk
duduk di parlemen lebih besar