Rilis Survei LSI
Rabu, 17 Desember 2014
Hadis sebagai narasumber:
Dodi Ambardi (Direktur Eksekutif LSI)
Ade Komarudin (Fraksi Partai Golkar)
Ramadhan Pohan (Fraksi Partai Demokrat)
Maruarar Sirait (Fraksi Partai PDI Perjuangan)
Moderator: Hendro Prasetyo
Tema: ”Kontroversi Pilkada Langsung vs Pilkada Tidak Langsung: Survei Tingkat Dukungan Publik terhadap Pemilihan Langsung”
Mayoritas rakyat Indonesia (84.1%) menginginkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Hanya 5,6% masyarakat yang beranggapan bahwa pemilihan dilakukan oleh DPRD sebagai sistem yang paling cocok, dan hanya 6,8% yang tidak mempermasalahnya dua sistem pemilihan umum yang berbeda ini.
Rilis Survei LSI
Rabu, 17 Desember 2014
Hadis sebagai narasumber:
Dodi Ambardi (Direktur Eksekutif LSI)
Ade Komarudin (Fraksi Partai Golkar)
Ramadhan Pohan (Fraksi Partai Demokrat)
Maruarar Sirait (Fraksi Partai PDI Perjuangan)
Moderator: Hendro Prasetyo
Tema: ”Kontroversi Pilkada Langsung vs Pilkada Tidak Langsung: Survei Tingkat Dukungan Publik terhadap Pemilihan Langsung”
Mayoritas rakyat Indonesia (84.1%) menginginkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Hanya 5,6% masyarakat yang beranggapan bahwa pemilihan dilakukan oleh DPRD sebagai sistem yang paling cocok, dan hanya 6,8% yang tidak mempermasalahnya dua sistem pemilihan umum yang berbeda ini.
Koalisi Merah Putih yang menguasai parlemen dan menyapu bersih pimpinan DPR maupun MPR memunculkan fenomena yang sering diistilahkan dalam ilmu politik sebagai pemerintahan terbelah “divided government”.
Koalisi Merah Putih yang menguasai parlemen dan menyapu bersih pimpinan DPR maupun MPR memunculkan fenomena yang sering diistilahkan dalam ilmu politik sebagai pemerintahan terbelah “divided government”.
Materi PKn kelas 12 tentang Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Baik ditunjuk pejabat diatasnya (presiden), dipilih oleh DPRD dan Dipilih secara langsung oleh Rakyat
Factsheet 2 "Benarkah Masyarakat Apatis Pada Pemilu"
1. 1
Benarkah Masyarakat Apatis Pada Pemilu
Pemilu Gubernur Kaltim 2013 : Mengapa dan Bagaimana Memilih?
e-disko Long Anai, 12 Juni 2013
Memasuki perempat tahun 2013, masyarakat
disibukkan dengan berita tentang verifikasi parpol
peserta pemilu serta pendaftaran calon anggota
legislative dari partai-partai yang lolos menjadi
peserta pemilu 2014.
Minat menjadi anggota legislative sepertinya tidak
menurun atau bahkan cenderung naik. Berbagai kasus
maupun persoalan yang menimpa anggota legislative
baik di tingkat daerah maupun nasional ternyata tidak
membuat keinginan untuk menjadi anggota legislative
menjadi berkurang. Animo dari anggota masyarakat
maupun partai untuk mendaftar menjadi calon
legislative tetap masih tinggi dan bahkan lebih
semarak dari pemilu-pemilu sebelumnya.
Pada sisi lain berkaca dari pemilihan kepala daerah
(Pemilu Bupati/Walikota/Gubernur) ada semacam
kecenderungan partisipasi masyarakat sebagai
pemilih semakin berkurang. Minat masyrakat untuk
memilih semakin menurun. Mengapa masyarakat
semakin apatis dan tidak peduli terhadap pemilihan
umum?. Patut diduga bahwa semua ini terkait dengan
kepercayaan masyarakat terhadap pejabat publik
yang kian hari kian menipis. Pangkal persoalannya
adalah banyak kasus yang menyeret para pejabat
publik ke depan peradilan. Kasus yang terbanyak
adalah korupsi, kolusi dan nepotisme, rendahnya
integritas dan sikap serta sifat kenegarawanan yang
kian langka.
Kebanyakan masyarakat berpikir bahwa memilih A, B
atau C sebagai kepala daerah tidak ada pengaruhnya
sama sekali untuk kehidupan mereka. Jadi entah A, B
atau C yang jadi, semua akan sama saja. Kondisi
semacam ini memprihatinkan karena kebanyakan
pemenang dalam pemilu bupati/walikota/gubernur
ternyata perolehan suara yang membuatnya keluar
sebagai pemenang masih lebih kecil dibanding dengan
jumlah suara yang tidak dipakai oleh masyarakat
(golput).
Tentu saja setiap calon yang akan bertarung dalam
pemilu akan bekerja keras untuk mendorong
partisipasi sebesarnya-besarnya dari masyarakat
dalam pemilu. Namun kepentingannya bukan pada
soal mendrong kesadaran dan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan demokrasi melainkan untuk
meraih simpati dan mendulang suara. Dan cara-cara
yang dilakukan bahkan banyak yang menciderai
demokrasi itu sendiri. Proses untuk meraih simpati
dan mendulang suara banyak diwarnai oleh ‘vote
buying’ baik yang sangat jelas maupun tersamar.
Rendahnya minat atau semangat masyarakat untuk
memilih merupakan refleksi dari buruknya kinerja
parpol sebagai lembaga politik yang wajib melakukan
pendidikan dan penyadaran politik pada masyarakat.
Hubungan antara parpol dan masyarakat selama ini
lebih bernuansa transaksional. Masyarakat
memberikan suara dan parpol (juga calon yang
diusungnya) membalas dengan apa.
2. 2
Sebagai contoh, dalam sebuah acara publik yang
dilaksanakan di GOR Segiri, tanggal 22 Juni 2013,
seorang politisi yang dikenal sebagai anggota Dewan
Perwakilan Daerah secara ekplisit mengatakan kepada
para pengunjung atau hadirin untuk memilih “Saudara
Sendiri” alias “Orang Kita”. Disebutkan olehnya bahwa
tak perlu perdulikan apa partainya, yang penting
orang itu adalah saudara kita (sesuku, senenek
moyang).
Himbauan semacam itu terus bergema dalam ruang
publik manakala ada perhelatan demokrasi bertajuk
pemilu bupati/walikota/gubernur dan legislative juga
presiden. Himbauan yang mendorong pemilih untuk
memilih sosok tertentu tanpa semangat kritis untuk
mengenali visi, misi, program dan track records calon
tertentu. Semua hal itu tak diperhitungkan karena
satu-satunya hitungan untuk memilih adalah calon itu
orang kita atau bukan. Kalau bukan maka sebaik
apapun tidak perlu dipilih. Namun sebaliknya jika sang
calon itu adalah ‘orang kita’ maka siapapun dia,
bagaimanapun kelakuan dan kemampuannya maka
wajib dipilih.
Apatisme pemilih dan pendidikan politik yang ‘tidak
baik dan tidak benar’ dari para pelaku politik
merupakan tantangan pada penyelenggaraan pemilu
termasuk pemilu kepala daerah yang sejak tahun 2005
dilakukan lewat pemilihan langsung. Sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 disebutkan bahwa
“Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam
satu pasangan calon yang dilaksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil”. Pasangan calon yang akan
berkompetisi dalam pemilu kepala daerah adalah
pasangan calon yang diajukan oleh partai politik atau
gabungan partai politik. Dengan disahkannya UU
Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum maka pemilihan kepala daerah
masuk dan menjadi bagian dari rezim Pemilu. Maka
pemilihan kepala daerah disebut sebagai Pemilu
Kepala Daerah, Pemilu Gubernur untuk provinsi dan
Pemilu Bupati/Walikota untuk Kabupaten/Kota.
Pada tahun 2008, tepatnya sesudah disahkannya UU
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, pasangan calon yang dapat mengajukan diri
untuk berkompetisi dalam pemilu kepala daerah tidak
hanya yang didukung oleh partai atau gabungan
partai, melainkan juga dari calon perseorangan atau
biasa disebut dengan calon independen.
Pilgub Kaltim 2013 dan Ancaman Golput
e-disko Long Anai, 12 Juni 2013
Dalam pemilu gubernur kaltim tahun 2008 pada
putaran kedua, angka pemilih yang tidak mengunakan
hak pilihnya mencapai 48%. Fenomena golput dalam
kajian perilaku pemilih adalah satu pilihan dari dua
pilihan yang tersedia yaitu perilaku memilih (voting
behaviour) dan perilaku tidak memilih (non voting
behaviour).
Di Indonesia, istilah Golput menjadi populer sejak
tahun 1971, yang diprakarsai oleh Arief Budiman,
Julius Usman dan Imam Malujo Sumali. Pilihan mereka
didasari atas kenyataan bahwa dalam pemilu yang
diselenggarakan oleh regim orde baru, aturan
demokrasi cenderung diinjak-injak, tidak ditegakkan.
Mantan presiden (Alm.) Abdulrahman Wahid pernah
mengatakan “Kalau nggak ada yang bisa dipercaya,
ngapain repot-repot ke kotak suara?. Daripada
kecewa”.
Golput selalu merupakan pilihan sadar, bukan
ketidakhadiran diluar kontrol. Seorang yang
menyatakan diri Golput bisa jadi tetap datang ke
kotak suara namun memberikan suara dengan cara
yang salah sehingga kartu suara rusak atau tidak sah.
Dengan demikian kaum golput adalah orang yang
secara sengaja dengan suatu maksud atau tujuan
tertentu menolak untuk memberikan suara. Maka
mereka yang tak datang ke TPS karena alasan teknis,
jarak yang jauh, tidak terdaftar, tiba-tiba sakit dan lain
sebagainya tidak bisa dikategorikan sebagai golput.
Memang tidak ada keterangan atau penelitian lebih
lanjut soal angka pemilih yang tidak menggunakan
suara dalam pemilu gubernur Kaltim 2008 pada
putaran kedua. Meski demikian secara garis besar,
pemilih yang tidak datang ke TPS untuk memberikan
suara terdiri atas :
Berhalangan karena alasan teknis tertentu,
misalnya karena ada musibah yang tiba-tiba,
tertidur, harus bekerja di tempat lain dan lain
sebagainya sehingga tidak bisa datang ke TPS.
3. 3
Berhalangan hadir karena alasan tidak
terdaftar entah karena kesalahan dirinya
sendiri maupun yang mendaftar.
Berhalangan karena tidak ada pilihan politis,
merasa bahwa yang mencalonkan diri tidak
ada yang sesuai dengan pilihannya, tidak
dipercaya dan dianggap tak akan membawa
perubahan apapun.
Berhalangan karena kepercayaan tertentu
yang tidak mempercayai mekanisme
demokrasi. Mereka merasa mengikuti
pemilihan dengan mekanisme pemilu
melanggar atau bertentangan dengan ajaran
tertentu.
Berhalangan hadir karena malas, tidak mau
pergi ke TPS tanpa maksud dan tujuan yang
jelas.
Sebuah kajian lain tentang fenomena menurunnya
minat masyarakat untuk datang ke TPS dilakukan
oleh Tauchid Dwiyanto yang melakukan studi atas
fenomena golput di Kota Semarang dalam periode
2008-2013. Hasil kajiannya menyatakan bahwa
fenomena golput terkait dengan :
1. Lemahnya sosialisasi tentang pilgub.
Pemerintah Propinsi Jateng dan Pemerintah
Kota Semarang serta KPU dinyatakan kecil
sekali peranannya dalam dalam
mensosialisasikan pengetahuan tentang
Pilgub jateng.
2. Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan
ekonomi.
Masyarakat memilih untuk bekerja
ketimbang datang ke TPS, mereka merasa
kalau datang ke TPS akan kehilangan
penghasilan sementara tuntutan ekonomi
keluarga semakin menguat.
3. Sikap apatisme terhadap pemilu gubernur.
Pelaksanaan pilgub dipandang tidak akan
membawa perubahan apapun baik bagi
daerah maupun masyarakat. Pilgub hanya
dianggap sebagai rutinitas tanpa menjanjikan
perubahan yang berarti.
Dengan demikian ada dua faktor yang menyebabkan
seseorang tidak datang ke TPS yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal lebih merujuk
pada alasan teknis dan pekerjaan, sementara faktor
eksternal adalah administratif, sosialisasi dan politis.
Kesadaran akan tingginya ancaman pemilih yang tidak
datang ke TPS untuk memberikan suara sudah
menjadi kesadaran pelaksana pemilihan umum di
Kalimantan Timur. Berbagai upaya terus dilakukan,
seperti pemasangan spanduk atau baliho terkait
pemilu di berbagai tempat strategis. Di Kutai
Kartanegara misalnya pada gedung-gedung
pemerintahan tingkat desa (kelurahan) telah
terpasang spanduk yang mengingatkan masyarakat
akan pemilu gubernur plus tanggal pelaksanaannya.
Meski begitu selalu masih terbuka ruang dalam waktu
yang tersisa untuk terus memimalisir jumlah pemilih
yang tidak datang memberikan suara ke TPS.
Tingginya angka partisipasi pemilih merupakan tolok
ukur atas besar tidak legitimasi terhadap mereka yang
terpilih atau keluar sebagai pemenang dalam pemilu.
Tingginya partisipasi masyarakat adalah cermin
tingkat kepercayaan masyarakat pada yang terpilih.
Mengapa dan Bagaimana Memilih
e-disko Mangkupalas, 13 Juni 2013
Faktor utama yang mendorong orang memilih adalah
landasan kesadaran dan pengetahuan tentang sistem
demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.
Salah satu adagium yang terkenal dalam demokrasi
adalah Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat.
Rakyat atau masyarakat adalah pemegang kedaulatan
utama dalam mengatur dan menjalankan roda
pemerintahan.
Besarnya jumlah rakyat atau warga masayrakat tidak
memungkinkan untuk semua terlibat secara langsung
oleh karena itu perlu ada sistem perwakilan, sistem
pemberian mandat pada pemimpin tertentu untuk
menjalankan kedaulatan rakyat dan sistem itu
dinamakan dengan pemilu. Melalui pemilu
masayrakat menentukan pilihan kepada siapa
mandat dan kepercayaan untuk mengatur dan
menjalankan roda pemerintahan diberikan.
Dalam sistem demokrasi, memilih adalah hak, bukan
kewajiban. Hak yang bisa digunakan maupun tidak
tergantung kepada kesadaran diri masing-masing.
Namun hak untuk memberikan suara adalah hak yang
sangat berharga, hanya diberikan sekali setiap lima
tahun sehingga sayang kalau tidak dimanfaatkan. Hak
suara itu akan menentukan bagaimana jalannya
pemerintahan dalam lima tahun ke depan.
Penggunaan hak suara yang dilandasi dengan
4. 4
pemahaman dan pengetahuan menyangkut visi, misi,
program, profil dan kompetensi calon akan
menghasilkan pilihan pemimpin yang terbaik.
e-disko Mangkupalas, 13 Juni 2013
Dengan turut memberikan suara dalam pemilihan
umum, masyarakat juga akan mempunyai hak untuk
kemudian mengawal pemimpin yang dihasilkan
melalui pemilu. Dalam rentang waktu tertentu pemilih
bisa melakukan gerakan untuk menagih janji,
mempertanyakan kinerja pemimpin terpilih sesuai
dengan visi, misi dan program yang ditawarkan
selama kampanye.
Pada pemilu gubernur Kalimantan Timur 2013, yang
rencananya akan dilaksanakan lewat pemunggutan
suara pada tanggal 10 September 2013 cara yang
akan dipakai adalah dengan mencoblos. Pemilih yang
datang ke TPS akan diberikan kertas suara untuk
dicoblos satu kali. Satu kali entah pada gambar calon,
nomor urut atau nama pasangan.
Tata cara pemilihan dengan mencoblos tentu saja
tidak sulit untuk dipelajari sehingga kertas suara sah
atau tidak rusak. Meski kelihatan sepele namun tetap
saja pemilih harus belajar agar terhindar dari
kesalahan dan suara tidak hilang sia-sia.
Pelaksana pemilu yaitu KPUD Propinsi Kaltim sudah
mulai mengumumkan calon pasangan yang lolos
untuk bertarung dalam pemilu gubernur Kaltim 2013.
Masih ada waktu lebih dari 2 bulan bagi masyarakat
untuk mengenali dan mempelajari visi, misi, program
dan profil para calon. Dan kemudian menilai serta
mengambil pilihan sehingga nanti ketika tiba saatnya
untuk memberi suara di TPS, calon yang menjadi
pilihan telah diputuskan.
Diterbitkan oleh Program Pendidikan Pemilih, Pokja 30
Jl. Danau Maninjau No. 12 Rt. 14 Samarinda, 75117