Ketimpangan gender di Indonesia masih tinggi berdasarkan data Human Development Report 2013. Indonesia menempati peringkat 121 dari 187 negara. Ketimpangan terjadi dalam pendidikan, ketenagakerjaan, politik, dan sektor lainnya. Hal ini disebabkan faktor internal seperti persepsi sosial dan eksternal seperti kurangnya anggaran untuk pemberdayaan perempuan. Upaya perlu dilakukan untuk menghapus stereotip gender dan meningkatkan partisipasi perempuan.
1. Ketimpangan Gender di Rumah Sakit (Aku nemu kasusnya di Kemenkes Fir..)
Ketimpangan gender adalah kondisi dimana terdapat ketidaksetaraan antara laki-laki dan
perempuan dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat , berbangsa dan bernegara. Di
berbagai sektor kehidupan banyak indikator menunjukan perempuan tertinggal dibandingkan
laki-laki dalam hal memperoleh kesempatan, peluang dan hasil-hasil pembangunan. Tingkat
ketimpangan gender di Indonesia masih tinggi, posisi Indonesia berada pada urutan 121 dari
187 negara dengan ketimpangan gender yang tinggi. Ketimpangan gender juga terjadi di 55
kabupaten/ kota di Kalimantan. Penanganan ketimpangan dapat dilakukan dengan
memberikan penyuluhan terhadap penduduk secara langsung disesuaikan dengan wilayah di
tiap kabupaten/ kota di Kalimantan. Pembentukan wilayah penyuluhan dapat dilakukan
dengan membentuk wilayah konsentrasi berdasarkan beberapa variabel yang mempengaruhi
ketimpangan. Dalam melakukan pembentukan wilayah konsentrasi diperlukan metode yang
dapat digunakan untuk mengelompokkan wilayah konsentrasi berdasarkan kesamaan
karakteristik dari variabel-variabel yang mempengaruhi ketimpangan di tiap kabupaten/kota
di Kalimantan. Salah satu metode statistika multivariat tersebut adalah analisis klaster.
Dalam konteks persepsi perempuan terhadap ketimpangan gender, sulit untuk memisahkan
pengaruh faktor internal dan eksternal. Hal ini berkaitan dengan konsep ketimpangan gender
sebagai suatu hasil konstruksi sosial. Menurut Abdullah (1996) manusia memberi arti dan
interpretasi terhadap perbedaan biologis laki-laki dan perempuan yang kemudian melahirkan
suatu struktur sosial dengan pembagian pembagian hak dan kewajiban secara seksual. Hal ini
kemud¬ian menjadi realitas objektif yang memiliki daya paksa terhadap manusia yang semula
menciptakannya. Demikian pula kemudian, kata Berger (1991) dalam Abdullah (1996), setiap
orang diperkenalkan pada makna-makna budaya, belajar ikut serta dalam tugas-tugas yang
sudah ditetapkan dan menerima peran-peran selain menerima identitas-identitas yang
membentuk struktur sosialnya.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa proses objek¬tivikasi tersebut dapat menjadi suatu
faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu. Dengan demikian menurut Astuti (1997)
banyak kaum perempuan yang menerima ketida¬kadilan jender tersebut dengan wajar karena
merupakan suatu takdir.
Sebagai akibat dari sikap yang menerima keadaan ini, struktur sosial yang timpang ini akhirnya
tidak hanya terus menerus dimitoskan oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan. Hal tersebut
2. juga berlaku pada kaum perempuan yang memiliki akses kekuasaan yang lebih tinggi. Menurut
Astuti (1997), kelompok perempuan ini sering menempatkan perempuan sebagai subordinat.
Dapat dilihat dari pernya¬taan seorang pengusaha perempuan sebagaimana yang dikutip
Hariadi (1997) yang mengemukakan bahwa berdasarkan penga¬lamannya memiliki pekerja
perempuan itu lebih menguntung¬kan. Karena mereka rajin, telaten, tidak banyak tuntutan dan
mempunyai loyalitas tinggi. Lebih lanjut dia mengemu¬kakan bahwa secara psikologis sikap itu
memang pembawaan dari sifat-sifat kaum perempuan.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapus ketim¬pangan gender tersebut. Di samping
upaya-upaya pergerakan perempuan yang menuntut persamaan hak, juga telah diatur dalam
berbagai konvensi dan perundang-undangan. Pada tahun 1976, PBB telah mengeluarkan
Deklarasi mengenai penghapu¬san diskriminasi terhadap perempuan. Pada tanggal 18
Desember 1979 Majelis Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut. Selanjutnya karena
konvensi tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, maka sejak tahun 1984
dengan UU RI No. 7 tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Namun demikian upaya tersebut tidak akan berhasil dengan baik jika tidak diikuti oleh
perubahan dalam kon¬struksi sosial. Raharjo (1996) mengemukakan harus diadakan
dekonstruksi hubungan gender dan reorientasi pemahaman seksualitas. Dekonstruksi sosial
pada tahap awal akan berdampak pada perubahan persepsi masyarakat baik laki-laki maupun
perempuan terhadap hubungan gender tersebut. Pada tahap selanjutnya, hal tersebut sekaligus
juga akan dapat memp¬erbaiki ketimpangan gender yang terjadi.
Sumber : http://prudentschool.sch.id/home/index.php?view=article&id=169%3Akajian-teoritis-
mengenai-ketimpangan-gender&option=com_content&Itemid=114
Tingkat ketimpangan gender di Indonesia masih tinggi. Fakta ini didasarkan data
'Human Development Report' pada 2013. Menurut Koordinator Masyarakat Peduli Pelayanan
Publik (MP3), Fransisca Fitri, Posisi Indonesia berada pada urutan 121 dari 187 negara dengan
ketimpangan gender yang tinggi. Organisasi MP3 merupakan gabungan sejumlah lembaga
seperti Forum Indonesia untuk. Transparansi Anggaran (FITRA), Indonesia Corruption Watch
(ICW), dan LBH Jakarta. Indikatornya didasarkan pada sejumlah aspek.
3. Misalnya, partisipasi politik perempuan yang rendah sebesar 18,2 persen. Indikator
lainnya yakni partisipasi pendidikan untuk perempuan sebesar 36,2 persen, partisipasi kerja
perempuan sebesar 51,2 persen dan tingginya angka kematian ibu (AKI) 220 per 100.000
kelahiran.
Fitri mengungkapkan, anggaran-anggaran khusus untuk isu gender dan pemberdayaan
perempuan juga minim. Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) misalnya
hanya satu dari enam program di Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Formal dan Informal yang
memberikan perhatian kepada perempuan.
Di Kementerian Kesehatan (Kemenkes), kata Fitri, anggaran juga kurang memadai. Hal
ini misalnya pada program bina gizi dan kesehatan ibu dan anak atau ibu hamil dan kesehatan
reproduksi yang alokasinya hanya sekitar 6,56 persen dari anggaran Kemenkes.
Hal yang sama juga dialami di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(Kementerian PP dan PA). Kementerian itu hanya mendapat Rp 214,7 miliar (0,01 persen)
untuk tiga program yakni manajemen pelaksanaan tugas teknis, kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, dan program perlindungan anak.
Lebih lanjut, Fitri mengungkap, anggaran untuk Komnas Perempuan tidak disebutkan
secara khusus. Anggarannya hanya menjadi bagian Komnas HAM sebesar Rp 68,6 miliar.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/12/23/my8fxj-ketimpangan-gender-
indonesia-masih-tinggi
KETIMPANGAN GENDER PADA BEBERAPA BIDANG PEMBANGUNAN
Di bidang pendidikan. ketimpangan gender masih cukup menonjol terutama pada
jenjang pendidikan SMU ke atas. Sementara itu untuk pendidikan SD –SLTP, secara umum,
sudah mulai seimbang. Hal itu dimungkinkan karena kesempatan untuk mengikuti pendidikan
bagi anak perempuan sudah terbuka melalui program wajib belajar 9 tahun. Kondisi itu tampak
dari semakin kecilnya perbedaan persentase anak laki-laki dan perempuan yang tamat SD dan
SLTP pada tahun 2000, yaitu : 29,2% : 29.4% dan 13,8% : 13,1%. Semakin tinggi jenjang
pendidikan, perbedaan persentase perempuan yang tamat lebih kecil dibandingkan dengan
prosentase laki-laki. Pada jenjang pendidikan SMU ke atas, persentase laki-laki dan perempuan
yang tamat, yaitu: 32,1% : 21,0%. ( Halif dan Arjani, 2001). Yang lebih menyedihkan lagi adalah
penduduk perempuan yang tidak pernah bersekolah dan buta huruf jumlahnya lebih dua kali
lipat daripada penduduk laki-laki ( 7,3 : 2,4%). Hal itu merupakan indikasi bahwa tingkat buta
huruf di kalangan penduduk perempuan di Bali masih cukup tinggi dan ini sekaligus
4. menggambarkan bahwa kualitas sumberdaya manusia, khususnya perempuan masih relatif
rendah. Ketimpangan gender di bidang pendidikan seperti ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain, pertama; adanya sistem budaya patrilineal yang memunculkan stereotipi jender
bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya anak perempuan akan
diambil oleh orang lain dan akan bertugas di dapur, Kedua, semakin tinggi tingkat pendidikan
semakin terbatas jumlah sarana pendidikan yang tersedia. Sarana pendidikan SLTA/PT,
umumnya, masih terkonsentrasi di kota kabupaten/provinsi. Oleh karena itu, seringkali orang
tua enggan untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah yang jauh dari desanya. Ketiga, semakin
tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula biaya yang diperlukan. Oleh karena itu, bagi
keluarga yang tingkat ekonominya terbatas akan lebih memprioritaskan biaya pendidikan bagi
anak laki-lakinya.
Di bidang ketenagakerjaan, ketimpangan gender masih tampak dengan jelas, baik
secara kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas terlihat pada status pekerjaan dan jenis
pekerjaan dari laki-laki dan perempuan, sedangkan dari sudut kuantitas terutama tampak dari
tingkat partisipasi angkatan kerja wanita (TPAK). Hal itu pada dasarnya merupakan ukuran
kegiatan penduduk secara ekonomis. Data statistik tahun 2000 menunjukkan bahwa persentase
tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Bali jauh lebih rendah dibandingkan dengan
persentase laki-laki, yaitu 59,0% : 75,9%. Ketidakadilan lain yang masih terlihat dalam bidang
ketenagakerjaan adalah adanya perbedaan pemberian upah pada tenaga kerja perempuan
dalam jenis pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Hal itu terjadi karena adanya anggapan
bahwa fisik laki-laki lebih kuat, sehingga dianggap berhak atas upah yang lebih tinggi. Bahkan
sering terjadi tidak adanya pengakuan terhadap pekerjaan perempuan, terutama di sektor
pertanian karena pekerjaan pertanian dianggap sebagai pekerjaan laki-laki. Oleh karena itu,
seberat apapun perempuan bekerja di pertanian tetap dianggap sebagai pembantu suami
(kepala keluarga). Sementara itu, dalam pemberian tunjangan di perusahaan, seringkali pekerja
perempuan tetap dianggap sebagai lajang, Hal itu disebabkan oleh adanya anggapan bahwa
perempuan adalah pencari nafkah kedua dalam rumah tangga. Demikian juga dalam promosi
jabatan, seringkali perempuan memperoleh akses yang relatif lebih terbatas dibandingkan
dengan laki-laki.
Di bidang politik terjadi ketimpangan gender yang masih sangat menjolok. Hal itu
tercermin dari eksistensi perempuan di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, baik di tingkat
pusat maupun di daerah, khususnya Daerah Bali. Untuk DPRD Tk I Bali saat ini hanya ada satu
orang anggota legislatife perempuan dan itupun hanya pengganti antar waktu. Untuk di
5. beberapa kabupaten/kota ada 1-2 orang perempuan yang menjadi anggota dewan seperti di
Kabupaten Badung, Gianyar, dan Kelungkung masingmasing dua orang, Karangasem dan
Buleleng masing-masing satu orang. Padahal, kalau dilihat dari partisipasi perempuan dalam
pemilihan umum tahun 1997 jumlah pemilih perempuan lebih besar daripada jumlah pemilih
laki-laki, yaitu 50,88% : 49,12%. Di samping itu, pada jajaran eksekutif jumlah perempuan yang
menduduki jabatan pimpinan struktural, terutama pegawai negeri sipil (PNS), pada jenjang
eselon I – III secara umum di Indonesia masih sangat kecil, yaitu hanya 7,20% : 92,80% (Profil
Wanita Indonesia, 1998). Kondisi umum seperti itu tampaknya tidak jauh berbeda dengan
kondisi di Provinsi Bali (untuk Provinsi Bali data mengenai jumlah perempuan dalam bidang
eksekutif, terutama yang menduduki jabatan eselon I –III, belum terekam secara pasti.
Namun, dari pengamatan secara umum sudah dapat dipastikan bahwa perempuan yang
menduduki jabatan pimpinan di pemerintahan masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
laki-laki. Perempuan yang menduduki jabatan eselon II di Tingkat Provinsi hanya ada 4 orang.
Sementara itu, di bidang yudikatif peranserta perempuan juga sangat kecil. Hal itu terlihat dari
jumlah perempuan penegak hukum yang hanya berkisar 16%. Kurangnya keterlibatan
perempuan di bidang eksekutif, legislatife, dan yudikatif berarti akses perempuan dalam
pengambilan keputusan, perumus kebijakan, dan perencanaan akan menjadi terbatas. Oleh
karena itu, seringkali aspirasi perempuan kurang diperhitungkan dalam menyusun kebijakan
pembangunan, sehingga pada gilirannya program pembangunan yang ada kurang berperspektif
gender.
Selain pada sector-sektor seperti tersebut di atas, ketimpangan gender masih terjadi di
sektor lainnya seperti di sektor kesehatan/KB, komunikasi dan informasi, serta pertahanan dan
keamanan. Ketidakadilan gender yang terjadi di berbagai sektor pembangunan, seperti tersebut
di atas, pada dasarnya disebabkan oleh dua faktor penting, yaitu faktor ekternal, dan internal.
Faktor ekternal, antara lain, adanya nilai sosial budaya di masyarakat yang kurang mendukung
kemajuan perempuan, sistem budaya yang bersifat paternalistik yang memunculkan budaya
patriarkhi. Sementara itu faktor internal datang dari dalam diri perempuan itu sendiri, antara lain,
karena kurang percaya diri, merasa tidak pantas, tidak mau maju karena alasan-alasan tertentu,
dan lainlain.
Untuk mengatasi ketimpangan gender yang terjadi, seperti tersebut di atas, upaya yang
perlu dilakukan, antara lain, adalah peningkatan kualitas sumberdaya perempuan melalui
peningkatan pendidikan dan keterampilan. Untuk hal ini, pemerintah melalui kementrian
6. pemberdayaan perempuan telah menyusun Rencana Induk Pembangunan Nasional
Pemberdayaan Perempuan Tahun 2000 – 2004. Dalam merealisasikan programprogram yang
dicanangkan dalam RIPNAS. PP telah dikeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang
pengarusutamaan jender di berbagai sektor pembangunan.
Sumber : Jurnal KETIMPANGAN GENDER DIBEBERAPA BIDANG PEMBANGUNAN DI BALI
Oleh : Ni Luh Arjani. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=13335&val=929
7. pemberdayaan perempuan telah menyusun Rencana Induk Pembangunan Nasional
Pemberdayaan Perempuan Tahun 2000 – 2004. Dalam merealisasikan programprogram yang
dicanangkan dalam RIPNAS. PP telah dikeluarkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang
pengarusutamaan jender di berbagai sektor pembangunan.
Sumber : Jurnal KETIMPANGAN GENDER DIBEBERAPA BIDANG PEMBANGUNAN DI BALI
Oleh : Ni Luh Arjani. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=13335&val=929