Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membawa perubahan besar bagi status hukum anak di luar nikah dengan menyatakan Pasal 43 Ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan UUD dan HAM. Putusan ini memberikan perlindungan hukum kepada anak di luar nikah untuk menuntut hak warisan, akta kelahiran, dan tanggung jawab nafkah dari ayah biologis berdasarkan bukti ilmiah. Namun, putusan
Makalah ini berisi makalah mengenai Pengangkatan anak( adopsi) berdasarkan hukum dan undang undang yang berlaku di Indonesia.
Semoga makalah ini bermanfaat, please visit my website anda share
ABSTRAK
Sebagaimana pernah dimuat di media massa tentang beberapa kasus yang dilakukan oleh anak di bawah umur serta perlakuan dari aparat penegak hukum. Sebagai contoh, pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju yang menganiaya temannya. Raju yang baru berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma pada dirinya dan pada tanggal 29 Mei 2009, penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Metro Bandara Soekarno-Hatta terhadap 10 (sepuluh) orang anak yang saat itu bermain judi dengan taruhan Rp 1.000 per anak di kawasan bandara. Contoh lain di Bandar Lampung bahwa pada tahap penyidikan, sebagian besar anak ditahan dan ditempatkan bersama-sama dengan orang dewasa dalam sel tahanan. Pemeriksaan oleh penyidik juga tidak dalam suasana kekeluargaan, dan hak untuk mendapat bantuan hukum tidak diberi tahukan kepada anak yang diperiksa oleh penyidik. Untuk itu rumusan masalah yang diajukan adalah : Apakah perundang-undangan pidana anak dalam melindungi kepentingan dari perlidungan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana ?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perundang-undangan pidana anak dalam melindungi kepentingan dari perlidungan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta untuk mengetahui dan menguraikan kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Selanjutnya dipergunakan guna memecahkan masalah dan kemudian disimpulkan.
Terdapat perbedaa pendapat sehubungan dengan pelaksanaan perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam prakteknya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (UU Perlindungan Anak) misalnya Pidananya sudak tidak dicampur adukkan. Petugas pengawas untuk dewasa dan anak-anak sudah dibedakan atau dipisahkan. Perlakuannyapun sudah berbeda. Petugas pengadilan anak tidak memakai toga, namun ada pula yang mengatakan bahwa belum sepenuhnya dilaksanakan, sebagaimana sering disaksikan di media masa tentang prktek-praktek beberapa oknum aparat keamanan dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur.
Perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana, dalam prakteknya sering menemui berbagai kandala yaitu faktor orang tua, rumah tahanan serta penjara atau sel khusus anak di Yogyakarta belum ada.
Makalah ini berisi makalah mengenai Pengangkatan anak( adopsi) berdasarkan hukum dan undang undang yang berlaku di Indonesia.
Semoga makalah ini bermanfaat, please visit my website anda share
ABSTRAK
Sebagaimana pernah dimuat di media massa tentang beberapa kasus yang dilakukan oleh anak di bawah umur serta perlakuan dari aparat penegak hukum. Sebagai contoh, pada tahun 2006 yang terangkat kepermukaan adalah kasus Raju yang menganiaya temannya. Raju yang baru berusia 8 tahun ini ditahan selama 19 hari untuk menjalani proses hukum yang menimbulkan trauma pada dirinya dan pada tanggal 29 Mei 2009, penangkapan yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Metro Bandara Soekarno-Hatta terhadap 10 (sepuluh) orang anak yang saat itu bermain judi dengan taruhan Rp 1.000 per anak di kawasan bandara. Contoh lain di Bandar Lampung bahwa pada tahap penyidikan, sebagian besar anak ditahan dan ditempatkan bersama-sama dengan orang dewasa dalam sel tahanan. Pemeriksaan oleh penyidik juga tidak dalam suasana kekeluargaan, dan hak untuk mendapat bantuan hukum tidak diberi tahukan kepada anak yang diperiksa oleh penyidik. Untuk itu rumusan masalah yang diajukan adalah : Apakah perundang-undangan pidana anak dalam melindungi kepentingan dari perlidungan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana ?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis perundang-undangan pidana anak dalam melindungi kepentingan dari perlidungan anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta untuk mengetahui dan menguraikan kendala apa yang mempengaruhi perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Selanjutnya dipergunakan guna memecahkan masalah dan kemudian disimpulkan.
Terdapat perbedaa pendapat sehubungan dengan pelaksanaan perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana. Ada pendapat yang menyatakan bahwa dalam prakteknya sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (UU Perlindungan Anak) misalnya Pidananya sudak tidak dicampur adukkan. Petugas pengawas untuk dewasa dan anak-anak sudah dibedakan atau dipisahkan. Perlakuannyapun sudah berbeda. Petugas pengadilan anak tidak memakai toga, namun ada pula yang mengatakan bahwa belum sepenuhnya dilaksanakan, sebagaimana sering disaksikan di media masa tentang prktek-praktek beberapa oknum aparat keamanan dalam menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur.
Perlindungan terhadap anak di bawah umur yang melakukan tindak pidana, dalam prakteknya sering menemui berbagai kandala yaitu faktor orang tua, rumah tahanan serta penjara atau sel khusus anak di Yogyakarta belum ada.
Eksploitasi Seksual Anak (ESA) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi anak yang mendasar yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan oleh PBB, lebih dari 150 juta anak perempuan dan 73 juta anak laki-laki mengalami pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual termasuk ESA setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak oleh komisi perlindungan anak Indonesia, dari tahun 2011 sampai dengan 2019 tercatat sebanyak 2.385 anak Indonesia menjadi korban trafficking dan eksploitasi, termasuk di dalamnya eksploitasi anak.
Anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual akan menghadapi persoalan yang kompleks di kemudian hari. Kekerasan fisik yang dialami bersamaan dengan eksploitasi seksual terhadap anak dapat mengakibatkan luka, rasa sakit dan rasa takut. Di samping itu, anak-anak juga lebih rentan terhadap infeksi menular seksual dan kemungkinan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Selain berdampak pada kesehatan secara fisik, eksploitasi seksual yang dialami oleh anak juga akan membawa masalah psikologis yang cukup serius. Eksploitasi seksual dapat menimbulkan rasa bersalah, rasa rendah diri dan depresi. Kasus yang dialami oleh korban ESA dapat menimbulkan perasaan tidak berharga, yang mengakibatkan perilaku menyakiti diri, termasuk di dalamnya overdosis, percobaan bunuh diri, dan gangguan makan.
Materi yang dibuat oleh Apong Herlina, S.H.,M.H., sebagai pembicara saat kegiatan Criminal Defense Law Forum, Jumat, 15 Agustus 2014, diLembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Membahas tentang pengertian dari warga negara, asas apa saja yang diterapkan negara negara dalam menentukan kewarganegaraan seseorang dan hak opsi & hak repudiasi
This slide shows the situation of child abduction in Indonesia.
Indonesia has assessed the need of the Hague Convention 1980. Locally, we also need this kind of regulation
Eksploitasi Seksual Anak (ESA) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi anak yang mendasar yang banyak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Diperkirakan oleh PBB, lebih dari 150 juta anak perempuan dan 73 juta anak laki-laki mengalami pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual termasuk ESA setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan anak oleh komisi perlindungan anak Indonesia, dari tahun 2011 sampai dengan 2019 tercatat sebanyak 2.385 anak Indonesia menjadi korban trafficking dan eksploitasi, termasuk di dalamnya eksploitasi anak.
Anak-anak yang menjadi korban eksploitasi seksual akan menghadapi persoalan yang kompleks di kemudian hari. Kekerasan fisik yang dialami bersamaan dengan eksploitasi seksual terhadap anak dapat mengakibatkan luka, rasa sakit dan rasa takut. Di samping itu, anak-anak juga lebih rentan terhadap infeksi menular seksual dan kemungkinan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Selain berdampak pada kesehatan secara fisik, eksploitasi seksual yang dialami oleh anak juga akan membawa masalah psikologis yang cukup serius. Eksploitasi seksual dapat menimbulkan rasa bersalah, rasa rendah diri dan depresi. Kasus yang dialami oleh korban ESA dapat menimbulkan perasaan tidak berharga, yang mengakibatkan perilaku menyakiti diri, termasuk di dalamnya overdosis, percobaan bunuh diri, dan gangguan makan.
Materi yang dibuat oleh Apong Herlina, S.H.,M.H., sebagai pembicara saat kegiatan Criminal Defense Law Forum, Jumat, 15 Agustus 2014, diLembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Membahas tentang pengertian dari warga negara, asas apa saja yang diterapkan negara negara dalam menentukan kewarganegaraan seseorang dan hak opsi & hak repudiasi
This slide shows the situation of child abduction in Indonesia.
Indonesia has assessed the need of the Hague Convention 1980. Locally, we also need this kind of regulation
Pernikahan Dini Dalam Hukum Indonesia.pptxEgi Fahroji
Menurut Pasal 7 Ayat 1 UU No. 16 Tahun 2019, mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Jadi berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini atau perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan sebelum laki-laki dan perempuan calon mempelai mencapai usia 19 tahun.
tempat terbaik bagi anak di dalam dan bersama keluarga, tanpa keluarga, maka haknya mendapatkan alternatif keluarga: itulah urgensi adopsi. agar bisa mendapatkan 2 tugas ganda orangtua: guiding and directing.
1. Berdasarkan UU No. 39 tahun 1999 ttg Hak Asasi Manusia pasal 1 ayat (3)
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan
manusia atas dasar agama, suku,ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi. hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya.
Tak ada lagi anak haram
Syarat seorang anak bisa masuk sekolah salah satunya harus memiliki akte kelahiran. Hal inilah yang sering
membuat takut perempuan yang memiliki anak di luar lembaga pernikahan. Masa depan anaknya pastilah suram
karena tidak bisa sekolah.
Namun, dengan dengan dikeluarkannya putusan uji materi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi, anak di luar nikah kini telah dilindungi secara hukum.
Seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki seusai memberikan kuliah umum di Magister
Hukum Universitas Lampung (18/02/12) bahwa putusan yang dikeluarkan tersebut merupakan bagian dari
perlindungan terhadap anak yang dilahirkan di luar pernikahan. Dengan putusan tersebut, anak di luar nikah
telah diakui memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
Pada tanggal 17-02-12 MK telah mengeluarkan putusan uji materi atas Pasal 43 Ayat 1 UU No 1/1974 tentang
Perkawinan yang diajukan pemohon Machica Mochtar, istri siri (alm) Moerdiono. Dalam putusannya, MK
menyatakan, Pasal 43 Ayat 1 UU No 1/1974 yang menyebutkan, anak di luar nikah hanya memiliki hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya bertentangan dengan UUD 1945 dan HAM.
Achmad mengakui, putusan MK ini akan memberi efek sosial dan hukum yang luar biasa besar di masyarakat.
Anak di luar nikah kini memiliki kekuatan hukum untuk menuntut hak warisan, akta kelahiran, termasuk
kewajiban pertanggungjawaban nafkah dari ayah biologisnya.
Persoalan yang terjadi sebenarnya bukan semata urusan yuridis, waris, atau sah tidaknya perkawinan orang tua.
Melainkan mengembalikan kepada prisip dasar bahwa seorang anak itu dilahirkan tanpa kesalahan apapun.
Anak tak pernah bisa memilih terlahir dalam perkawinan sah atau bukan. Maka dari itu tepatlah jika uji materi
tersebut dikabulkan.
"Ayah biologis harus bertanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan, dan dalam hal ini, MK tidak
mempersoalkan hubungan perkawinan kedua orangtuanya, namun status anak, negara mulai mengaturnya," ujar
dia.
Ia menambahkan, putusan MK terkait pengakuan hukum atas anak-anak di luar nikah itu sekaligus menjadi
peringatan bagi laki-laki agar tidak gampang selingkuh. ”Ini (putusan) menjadi upaya preventif, supaya laki-
laki tidak mudah main-main dengan perempuan. Kawin sana, kawin sono. Jadi, ke depan, kita harus tahu
risikonya. Kalau timbulkan anak, dia harus bertanggung jawab,” tutur Achmad.
Posisi anak di luar nikah, katanya, selama ini sangat lemah di mata hukum. Padahal, setiap manusia hakikinya
punya hak dan kewajiban sama di mata hukum, termasuk soal hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya.
Dengan putusan MK tersebut kini anak yang lahir di luar nikah dilindungi hukum, tidak ada lagi anak haram.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menegaskan, putusan atas uji materi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
khususnya soal status anak, justru menghindari perzinaan.
Karena, tegas Mahfud, justru dengan kondisi sekarang banyak laki-laki sembarang menggauli orang, gampang punya isteri simpanan, kawin kontrak,
tetapi laki-laki bisa dengan mudah meninggalkan dan masalah anak itu dibebankan ke ibunya.
“Itu tidak adil. Justru akan takut dengan keputusan ini. Dengan adanya ini tidak hanya dibebankan ke ibunya tapi juga bapaknya," tandasnya, usai
2. pertemuan segenap pimpinan lembaga negara di DPR, Jakarta, Senin (20/2/2012).
"Justru menghindari dari zina. Dulu bisa berzina, sekarang nggak," imbuhnya.
Jumat (17/2/2012) MK mengeluarkan putusan atas gugatan penyanyi Machica Mochtar. Dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan uji
materiil atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Mahkamah menyatakan, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah menyatakan, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
perdata anak dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain yang sah menurut hukum
ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Mahkamah menetapkan seharusnya ayat tersebut berbunyi, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan, mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya,” ujar Ketua MK Mahfud MD saat
membacakan putusan, dimuat laman Akilmochtar.
Mahfud menyatakan putusan ini berlaku sejak MK mengetok palu. Artinya, sejak Jumat pagi, 17 Februari 2012, semua anak yang lahir di luar
perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Yang dimaksud “di luar pernikahan resmi” itu termasuk kawin siri,
perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan.
Menurut Ketua MK, keputusan ini tidak bicara akta dan waris, melainkan hanya anak di luar nikah yang mempunyai hubungan darah dengan
ayahnya. Akta dan waris dengan sendirinya mengikuti.
Pakar Hukum Islam Universitas Gadjah Mada, Abdul Gofur, berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan membuat status anak di luar nikah mendekati model Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Putusan MK berimplikasi seorang anak luar nikah tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya.
Soal ini, kata Gofur, menguatkan yurisprudensi yang ada. Tahun 2006, kata Gofur, Pengadilan Agama Sleman pernah memutuskan berdasarkan asas
maslahih mursalah, seorang anak di luar nikah tetap memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. "Itu demi maslahih mursalah atau
kemaslahatan umum," kata Gofur, dalam laman Tribunnews.
Anak, kata Gofur, seperti diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, adalah yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan akibat perkawinan yang sah.
Sementara dengan putusan MK ini, anak juga bisa terjadi bukan lewat atau di luar perkawinan.
"Sehingga sekarang justru status anak di luar nikah mendekati pengaturan oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata," ujar Gofur. KUH Perdata
memungkinkan anak di luar perkawinan diakui bapaknya berdasarkan Pasal 5a.*
Seorang anak tentu tidak bisa memilih apakah dirinya dilahirkan oleh pasangan serasi dengan status sosial
tinggi melalui proses pernikahan, hasil hubungan gelap, atau dari rahim seorang perempuan korban perkosaan.
Selama ini anak yang lahir di luar hubungan pernikahan kedua orangtuanya memiliki status hukum cukup
merugikan, mereka tidak memiliki hak apapun atas ayah biologis mereka, tetapi keputusan Mahkamah
Konstitusi (MK) baru-baru ini membawa angin segar.
Dalam putusannya, MK menyatakan, Pasal 43 Ayat 1 UU No.1/1974 yang menyebutkan, anak di luar nikah
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya bertentangan dengan UUD 1945 dan hak
asasi manusia (HAM).
Terlepas dari siapa orang yang mengajukan uji materi dan tujuan pribadinya, putusan ini akan memberi efek
sosial dan hukum yang luar biasa besar di masyarakat. Anak di luar nikah kini memiliki kekuatan hukum untuk
menuntut hak warisan, akta kelahiran, termasuk kewajiban pertanggungjawaban nafkah dari ayah biologisnya.
3. “Jangan dilihat secara yuridis anak dari perkawinan sah atau tidak. Anak hakikinya terlahir suci. Dia tak pernah
bisa memilih terlahir dalam perkawinan sah atau bukan. Maka dari itu, hak mereka harus juga dilindungi,” ujar
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki baru-baru ini.
Keputusan ini merupakan bagian dari perlindungan terhadap anak yang dilahirkan di luar pernikahan. Mereka
kini diakui memiliki hubungan perdata dengan ayah biologis, keluarga ayahnya, dan juga ibunya.
Putusan MK terkait pengakuan hukum atas anak-anak di luar nikah itu sekaligus menjadi peringatan bagi laki-
laki agar tidak gampang selingkuh. Putusan menjadi upaya preventif, agar laki- laki tidak mudah main-main
dengan perempuan.
Perkembangan teknologi yang semakin canggih, salah satunya tes DNA, pembuktian terkait hubungan darah
antara seorang anak yang dilahirkan di luar pernikahan dan ayah biologisnya menjadi semakin mudah.
Tes DNA sudah sering digunakan sebagai alat bukti untuk mengetahui hubungan darah seseorang. Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyambut baik MK yang berimplikasi ayah biologis harus bertanggung
jawab atas anak di luar nikah.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni’am Sholeh menegaskan dalam kasus
tersebut tidak ada anak haram namun yang haram adalah hubungan orang tua tanpa pernikahan.
“Hubungan yang tidak sah memang dilarang karena berdampak pada kepentingan anak. Maka hubungan
pernikahan yang tidak sah melanggar prinsip perlindungan anak karena berpotensi membuat anak itu telantar,”
ujarnya.
Ni’am menjelaskan hubungan di luar pernikahan rentan terhadap penelantaran anak. Hal itu mengakibatkan
banyak orang tua yang tidak mengakui anak hasil hubungan mereka. “Bukan berarti kalau tidak sah bukan
berarti tanggung jawab ayah biologis dilepas tetapi harus dipenuhi tanggung jawabnya,” ujarnya.
Ni’am menegaskan, dalam kacamata hukum harus dibedakan hubungan hukum antar orang tua dengan
hubungan hukum orang tua dengan anak. “Hubungan suami istri yang sah dengan yang tidak sah harus
dibedakan. Terlepas anak itu dihasilkan dari hubungan yang sah atau tidak, yang namanya hak anak harus
terpenuhi,” ujarnya.
Justru Melanggar
Dosen Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Dadan Muttaqien menyatakan keputusan MK tersebut justru
melanggar asas ultra petitum partium. Sebuah asas yang menyatakan hakim tidak boleh mengambil satu
keputusan yang tidak diminta dalam petitum tuntutan. Adapun, tuntutan yang diminta pemohon adalah adanya
kepastian hukum bagi si anak.
“MK juga telah membuat hukum baru tentang sahnya perkawinan. Dan ini melampaui kewenangan DPR
bahkan Tuhan sekalipun dengan membuat syarat sahnya perkawinan,” jelas pekan lalu dalam sebuah seminar.
Dadan menambahkan keputusan MK tersebut tidak berarti sebelum ada perubahan undang-undang lain. Misal si
anak mengurus akte kelahiran yang mencantumkan nama ayahnya, tetapi tersandung persyaratan administratif,
yaitu surat nikah yang sah.
“Bagi orangtua yang beragama Islam harus ada kutipan akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA. Demikian
halnya ketika mengurus warisan dari ayah perdatanya. Harus diputuskan oleh peradilan agama dan terkena
sandungan yang sama, yaitu harus ada buku kutipan akta nikah,” terang dia.
4. Pada kesempatan yang sama, Dosen tetap FIAI, Syarif Zubaidah yang menyoroti putusan tersebut dari kacamata
Hukum Islam mengatakan pembuktian hubungan darah yang dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan
misalnya dengan tes DNA menurut hukum Islam tidak membenarkan pengakuan laki-laki sebagai ayah.
Menurut dia seorang laki-laki dianggap ayah jika anak yang dilahirkan adalah hasil pernikahan yang sah.
Pernikahan yang sah menurutnya menyebabkan lahirnya hubungan nasab (keturunan) antara anak dengan ayah.
Syarif melihat pernikahan siri yang dilakukan Machica Mochtar dan Moerdiono tidak diakui oleh hukum Islam.
Dosen Fakultas Hukum (FH) UII, Abdul Jamil mengatakan keputusan yang berkaitan dengan anak luar
perkawinan berdampak pada perubahan paradigma anak dalam sitem hukum perkawinan dan kewarisan Islam
di Indonesia. Sebab penentuan sah tidaknya anak bukan ditentukan atas dasar nasab, tetapi ditentukan
pengakuan ayah dan penetapan pengadilan. Hal ini menurutnya sangat bertentangan dengan sistem hukum
Islam yang berlaku di Indonesia.
Sementara Dosen pengampu matakuliah Psikologi Muhammad Idrus menyoroti putusan itu dari sisi psikologis
si anak. Pria yang juga mengampu di FIAI UII tersebut mengatakan kondisi keluarga sangat mempengaruhi
pembentukan karakter dan identitas anak. Sebagaimana dikutip dari beberapa peneliti anak yang diasuh tanpa
kehadiran sang ayah, tingkat stres anak cenderung lebih tinggi.
“Bahkan peneliti yang lain membuktikan orang-orang yang kehilangan kasih sayang dari ayahnya akan tumbuh
dengan kelainan perilaku, kecenderungan bunuh diri, dan menjadi kriminal yang kejam,” pungkasnya.
Seorang anak tentu tidak bisa memilih apakah dirinya dilahirkan oleh pasangan serasi dengan status sosial tinggi melalui
proses pernikahan, hasil hubungan gelap, atau dari rahim seorang perempuan korban perkosaan.