SlideShare a Scribd company logo
PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA:
DESKRIPSI DAN ANALISIS YURIDIS
Muhammad Joni, SH., MH
Tim Ahli bidang Hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI)
1
I. MENGAPA PENGANGKATAN ANAK?
2
 Alternative family and care
 Perbuatan Hukum.
 Bukan sekadar isu ‘amal sholeh’
ataupun pekerjaan sosial.
 Berkaitan hak-hak anak (rights of the
child).
 Berkaitan dgn akibat hukum tertentu.
 Adanya ancaman resiko hukum pidana.
1. Kepastian hukum.
2. Perlindungan anak.
3. Perlindungan pelaksana/penyelenggara.
4. Mencegah kesimpangsiuran hukum atau
bertindak sendiri.
5. Standardisasi pelayanan
Mengapa pengangkatan anak perlu diatur?3
Idemditto dgn tujuan hukum:
1.Kepastian hukum.
2.Keadilan.
3.Kemanfaatan.
Tujuan pengaturan PA:4
Hukum pengangkatan anak efektif dijalankan:
Implementasi (implementation)
Kepatuhan (complience)
Untuk apa pengaturan hukum PA?5
Mengapa Hukum (PA) tidak efektif?
6
Antony Allot: Mengapa Hukum Tidak Efektif?
 Pertama: Problem pemancaran norma hukum, karena tidak menyebarnya hukum yang
diterbitkan. Hukum tidak bisa diadaptasi subyek sebagai pesan instruksional
(instructional messages) karena membutuhkan lawyer sebagai “special decoders” –
namun tidak bisa/mampu menyediakannya.
 Kedua: Kemungkinan konflik antara arah dan tujuan legislator dengan kebiasaan
sosiologis masyarakat (nature of society). Terjadi kesenjangan antara masyarakat
moderen (modern society) dengan masyarakat adat (customary society).
 Ketiga: kegagalan implementasi hukum itu sendiri. Seringkali tidak cukup tersedia
perangkat norma (norms), perintah (orders), institusi (institutions), atau proses
(processes) yang berkaitan dengan Undang-undang.
[Alloott, “TheEffectiveness of Law”, dalam Valparaiso University Law Review, Vol.
15, Winter1981]
II. FAKTA DAN SITUASI AKTA
7
 Pengangkatan anak (lokal ataupun intercountry) 
kompleks dgn regulasi dibandingkan isu anak lainnya,
dan prosesnya rawan penyeludupan hukum.
 Pengangkatan anak rawan terjerat resiko hukum:
 pemalsuan surat.
 perdagangan anak (child trafficking),
 penjualan anak (sale of children),
 transplantasi organ anak (transfer organ) yang tidak sah
(illegal),
 ESKA, dllsb.
Analisis atas fakta & situasi
8
 Proses terbalik atau “sungsang”. Ijin diajukan setelah
Putusan/Penetapan Pengadilan.
 Kepatuhan surat-surat atau dokumen administratif
pengangkatan anak;
 Kepatuhan kronologis proses permohonan dan pengasuhan fisik
terhadap calon anak yang akan diangkat;
 Pelaksanaan permohonan oleh yayasan atau lembaga tidak
berwenang;
 Pengangkatan anak berdasarkan adat yang relatif ‘terbuka’ dan
belum dicatatkan dengan memadai;
 Pengangkatan anak (dlm UU 23/2002) = adat?  masalah
kualifikasi hukum
Beberapa isu (resiko) Hukum.
9
1. Konsistensi tahap pengangkatan anak antar
negara (intercountry adoption) dgn 2 tahap proses
hukumnya, yakni :
(a) Ijin Menteri Sosial, dan
(b) Putusan Pengadilan berwenang;
Fakta:
 Banyak kasus, Putusan Pengadilan tanpa Ijin Meneteri
Sosial.
 Ijin Menteri Sosial diajukan setelah Putusan Pengadilan.
 Konsekwensinya, cacat hukum, dan dapat dimintakan
pembatalannya.
10
2. Permohonan Ijin Menteri Sosial, tidak dilengkapi dengan
dokumen iji menetap seperti Keterangan Ijin Tinggal
Sementara (KITAS).
Fakta: Kenyataannya secara de facto, COTA tinggal di Indonesia
lebih dari syarat waktu yang ditentukan.
3. Dokumen COTA dari negeri asal pemohon, tidak dilegalisasi
/diakseptasi pihak yang berwenang kendatipun sudah
dilegalisasi otoritas setempat, seperti halnya profesi Notaris di
Indonesia.  
11
4. Dalam beberapa kasus, ditemukan fakta & situasi mengenai
COTA (untuk dicermati):
 COTA sudah mengasuh anak sebelum ijin pengasuhan kpd Menteri
Sosial karena seakan-akan “private adoption”;
 COTA mengajukan tidak melalui Yayasan berijin sehingga mesti
menggunakan “jasa” dari lembaga/yayasan berijin.
 Adanya implikasi hukum luas apabila ijin Menteri Sosial tidak
diberikan dalam hal syarat tidak terpenuhi, misalnya tidak seagama
dengan anak, atau sudah memiliki anak, dan syarat-syarat lain.
Sementara itu, secara sosial dan ekonomi, orangtua biologis sudah
tidak sanggup dan tidak berkenan lagi, sebaliknya secara psikologis
anak sudah terlanjur dekat dan memiliki ikatan batin dengan COTA.
12
 COTA terlanjur menggunakan atau mengubah nama & identitas anak
yang baru. Hal ini memeliki implikasi hukum, karena belum ada perubahan
status hukum anak tersebut.
 COTA dalam kawin campuran (beristrikan/suami WNI yang tinggal di
Indonesia atau di luar negeri) sehingga menjadi kabur dan interpretasi
ganda apakah masuk ke dalam pengangkatan anak antar negara (intercontry
adoption).
 COTA, sudah beristrikan perempuan eks WNI (lahir dan tinggal cukup
lama di Indonesia dan memiliki kerabat di Indonesia), namun sdh WNA.
 
13
 COTA sebelumnya (dalam waktu yang cukup lama) pernah
tinggal di Indonesia, namun pada saat memohonkan
pengangkatan anak tidak lagi bertempat tinggal di Indonesia.
 Anak berasal dari Yayasan yang tidak memiliki ijin (de facto
menyerahkan langsung kepada COTA, namun menggunakan
jalur yayasan berijin. Sehingga terkesan hanya untuk
menjustifikasi proses adopsinya saja.
14
 Permohonan ke Pengadilan diajukan tidak langsung, tetapi
melalui yayasan atau lembaga. Padahal, wewenang yayasan
atau lembaga tidak termasuk litigasi permohonan di Pengadilan.
 Hal ini perlu diatur untuk menghindari konflik kepentingan dalam
proses dan tatacara pengangkatan anak.
III. UU NOMOR 23/2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
15
 Harmonisasi KHA.
 Disahkan Majelis Umum PBB dengan Resolusi 44/25pada
tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan
memaksa (entered in to force ), 2 September 1990.
 Perjanjian internasional mengenai Hak Azasi Manusia (HAM)
yang mengintegrasikan hak sipil dan politik (political and civil
rights), secara bersamaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya (economic, social and cultural rights).
 Di ratifikasi oleh paling banyak anggota PBB.
 Indonesia termasuk negara peserta yang progresif dengan
meratifikasi KHA pada tahap awal, dengan Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990.
 Sdh mendeposit Instrumen of Ratification ke PBB.
Prinsip UU No.23/2002
16
 Pasal 2 UU No.23/2002 ditegaskan Prinsip-
prinsip umum (general principles), yakni:
 A. Non diskriminasi;
 B. Kepentingan terbaik bagi anak;
 C. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan;
 D. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Asas diturunkan menjadi norma
17
 Nilai (value)
 Asas (beginsel)/prinsip (principle)
 Norma (norm)
 Sub norma.
Prinsip KHA  Prinsip UU 23/2002
18
Ad. A. Prinsip Non Diskriminasi
 Alinea pertama Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban
fundamental negara peserta (fundamental obligations of state
parties) menghormati dan menjamin (to respect and ensure)
seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak
dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam
bentuk apapun.
 Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya
pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan
(restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang
berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex),
bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau
pendapat lain (other opinion), asal usul sosial atau nasionalitas,
kemiskinan (proverty), kelahiran atau status lain.
19
Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat diperoleh
dari Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,
yang berbunyi sebagai berikut:
 “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
20
 UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2 : “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
 Pasal 28 B ayat 2 UUD 1945, tidak memasukkan hak atas
partisipasi (participation rights) sebagai hak anak,
sedangkan Konvensi Hak Anak dan UU No. 23 Tahun 2002
lebih maju dari Pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 yang
memasukkan hak partisipasi anak.
Ad. B. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak
21
 Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (the best interest of
the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip
ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary
consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik
oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik
ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun
badan legislatif.
 Pasal 3 ayat 1 KHA meminta negara dan pemerintah, serta
badan-badan publik dan privat memastikan dampak
terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, yang
tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the
child menjadi pertimbangkan utama, memberikan prioritas
yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat
yang ramah anak (child friendly-society).
22
 Prinsip the best interest of the child ini pertama kali dikemukakan pada
Declaration of the Rights of the Child pada tahun 1959.
 Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the best interest
of the child sebagai paramount consideration yang berbunyi sebagai
berikut: “The child shall enjoy special protection, and shall be given
opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to
develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of
freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best
interests of the child shall be the paramount considerations”
23
 Menurut Lord McDermont, “paramountcy means more than that the child’s
welfare is to be treated as the top item in a list of terms relevan to be matter
in question…”.[1]
 Dengan demikian, kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat
utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh
lembaga berwenang.
[1] Savitri Goonesekere, “Children, Law and Justice A South Asian
Perspective”, Unicef & Sage Publications, New Delhi, 1998, hal. 114.
Ad. C. Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan
24
 Prinsip ini dituangkan dalam norma hukum Pasal 4
UU No. 23/ 2002.
 UU No. 39/1999 juga mengatur hak hidup
merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9
UU No. 39/1999).
 Hak hidup ini, dalam wacana instrumen/konvensi
internasional merupakan hak asasi yang universal,
dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme
right).
 Sesuai dengan Psl 28B ayat (2) UUD 1945
25
 Instrumen/konvensi internasional juga sudah menjamin hak hidup sebagai
hak dasar seperti Universal Declaration of Human Rights (pasal 2),
International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR (pasal 6).
 Bahkan, dalam General Comment -nya pada tahun 1982, The Human Rights
Committee, menyebutkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diabaikan
termasuk dalam waktu darurat (rights to life … is the supreme right from
which no derogation is permitted even in time of emergency).
Ad. D. Penghargaan terhadap Pendapat Anak
26
 Mengacu kepada Pasal 12 ayat 1 KHA, diakui
bahwa anak dapat dan mampu membentuk
atau mengemukakan pendapatnya dalam
pandangannya sendiri yang merupakan hak
berekspresi secara bebas (capable of forming
his or her own views the rights to express those
views freely).
 Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan
pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti
dipertimbangkan sesuai usia dan
kematangan anak.
27
 Diperoleh fakta dalam praktek hukum, pendapat
anak ini diabaikan.
 Hampir semua kasus perceraian tidak meminta
pendapat anak.
 Kerapkali pendapat anak tidak diminta Hakim: apakah
setuju dengan perceraian, atau tidak? Bgm pandangan
anak perihal pemberian hak pemeliharaan? Mau
mengikuti siapa? Alimentasi atas kebutuhan hidupnya?
 Disisi lain, anak memiliki hak untuk bersama
(unifikasi) dengan keluarganya.
 Ketua Komnas PA, DR. Seto Mulyadi, menegaskan
pentingnya penghargaan terhadap pendapat anak,
antara lain mengatakan, ”...Anak-anak itu berhak
dimintai pendapatnya berkaitan dengan nasib
dan masa depannya. Partisipasi ini hak dasar,
harus diberikan kepada anak dalam setiap
situasi.” [Majalah TEMPO, Edisi 6-12 Maret 2006,
hal.40.]

Bentuk-bentuk hak atas untuk tumbuh kembang :
28
 Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information);

Hak untuk memperoleh pendidikan(the rights to education);
 Hak untuk bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation) ;
 Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to
participation in cultural activities);
 Hak untuk kebebasan berfikir, consience dan beragama (the rights to
thought and religion);
 Hak untuk mengembangkan kepribadian (the rights to personality
development);
 Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);
 Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik (the rights
to health and phisical development) ;
 Hak untuk didengar (pendapat) (the rights to be heard) ;
 Hak untuk/atas keluarga (the rights to
family);
Hak Untuk Berpartisipasi (Participation Rights)
29
 hak untuk berpartisipasi (participation rights) dalam Konvensi Hak Anak diantaranya diatur
dalam pasal 12, pasal 13 dan pasal 15.
 beberapa hak anak atas partisipasi yang terdiri atas ;
 Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas
pendapatnya;
 Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk berekspresi;
 Hak anak untuk berserikat, dan menjalin hubungan untuk bergabung;
 Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung dari informasi
yang tidak sehat;
 Hak anak untuk memperoleh informasi tentang Konvensi Hak Anak.
Hak & Kewajiban Anak (Pasal 4 s/d 19 UU No. 23/2002)
30
(1) Hak anak atas hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan
partisipasi secara wajar (Psl 4 UU No.23/2002)
(2) Hak atas nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan (Psl. 5 UU No.23/2002).
(3) Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan
berekspresi (Psl. 6 UU No. 23/2002).
(4) Hak untuk mengetahui orang tuanya,
dibesarkan, dan diasuh orangtua (Psl. 7
ayat 1 UU No. 23/2002).
(5) Hak untuk diasuh atau diangkat oleh
orangtua asuh atau orangtua angkat (Psl. 7
ayat 2 UU No. 23/ 2002).
31
(6) Hak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 8)
(7) Hak untuk memperoleh jaminan sosial (Pasal 8)
(8) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (Pasal 9 ayat 1)
(9) Hak memperoleh pendidikan
(10) Hak memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan
(Pasal 9 ayat 2)
(11) Hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya (Pasal 10 ).
(12) Hak menenerima, mencari, dan memberikan informasi ( Pasal 10 ).
(13) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi (Pasal 11)
(14) Bagi anak yang menyandang cacat, berhak untuk: (a) memperoleh
rehabilitasi, (b) bantuan sosial, (c) pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial
(Pasal 12).
32
15) Anak yang dalam status pengasuhan, berhak untuk dilindungi
dari:
 Diskriminasi.
 Eksploitasi (ekonomi dan seksual).
 Penelantaran.
 Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.
 Ketidakadilan.
 Perlakuan salah (lihat Pasal 13 ayat 1 UU No. 23/2002).
33
(16) Hak untuk diasuh orangtuanya sendiri (Pasal 14 UU
No.23/2002).
(17) Hak memperoleh perlindungan dari:
 Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.
 Pelibatan dalam sengketa bersenjata.
 Pelibatan dalam kerusuhan sosial.
 Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.
 Pelibatan dalam peperangan (Pasal 15 UU Nomor 23/2002).
34
(18) Hak memperoleh perlindungan dari :
 Penganiayaan;
 Penyiksaan;
 Penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 ayat 1 UU No.
23/2002).
 Ketentusan ini merupakan perlindungan anak yang mengacu
kepada Pasal 37 KHA. Namun, tidak secara lengkap
mengintegrasikan isi dari Pasal 37 KHA.
35
(19) Hak memperoleh kebebasan sesuai hukum (Pasal 16 ayat 2 UU No. 23/2002).
(20) Hak memperoleh kebebasan sesuai hukum (Pasal 16 ayat 2 UU No. 23/2002).
 Memperoleh perlakuan manusiawi.
 Penempatan dipisah dari orang dewasa.
 Memperoleh bantuan hukum.
 Memperoleh bantuan lainnya.
 Membela diri dan memperoleh keadilan di pengadilan yang objektif, tidak memihak, dan
dalam sidang tertutup untuk umum.
(21) Anak korban atau pelaku kekerasan seksual ataupun anak-anak yang berhadapan dengan
hukum, berhak dirahasiakan identitasnya (Pasal 17 ayat 2 UU No. 23/2002).
36
(22) Hak memperoleh bantuan hukum, dan bantuan lainnya, baik
korban atau pelaku tindak pidana (Pasal 18 UU No.23/2002).
 Hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sudah diatur sebelumnya
dalam UU No. 3/1997. Menurut Pasal 51 ayat 1 UU No.3/1997, setiap
anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan
bantuan hukum dari penasehat hukum.
 Namun dalam Penjelasan Pasal 18 UU No.23/2002, dijelaskan
bahwa anak berhak pula atas bantuan lainnya, seperti bantuan
medik, sosial, rehabilitas, vokasional, dan pendidikan.
37
(23) Kewajiban anak (lihat Pasal 19 UU No. 23/2002):
 Menghormati orangtua, wali dan guru.
 Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.
 Mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
 Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.
 Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
IV. KETENTUAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK
(UU NO 23/2002 & TERKAIT)
38
 Pengangkatan anak terkait dengan berbagai masalah status
hukum seorang sebagai subyek hukum.
 Norma hukum pengangkatan anak secara eksplisit diatur
dalam materi UU No.23/2002 (Psl 39-41).
 Jika merujuk ketentuan UU No.23/2002, maka pengangkatan anak :
 Diberikan hanya setelah memenuhi persyaratan yang ketat, dan eksplisit.
 Perintah UU membentuk Peraturan Pemerintah mengenai bimbingan dan
pengawasannya [vide pasal 41 ayat (2) UU No 23/2002].
39
 pengaturan pengangkatan anak terkait dengan berbagai
kepatuhan hukum dalam hal:
 Kepatuhan hukum atas syarat/ketentuan pengangkatan anak, dan
 Konsistensi dalam proses atau tata cara penyelenggaraannya.
 Menghindari resiko sanksi pidana dan denda jika dilakukan
pelanggaran prosesnya;
40
 Secara normatif, lingkup pengaturan UU No. 23/2002 berkenaan tentang :
 Pasal 39 dan 40 (mengatur tentang syarat atau norma pengangkatan
anak).
 Pasal 41 (mengatur kewajiban/tanggungjawab Pemerintah i.c. Dep.
Sosial melakukan bimbingan (counselling); pengawasan (supervision,
controlling) atas pengangkatan anak;
  
 Pasal 41 ayat (2) memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah
(PP) pengasuhan dan pengangkatan anak.
 
Norma pengangkatan anak dlm UU 23/2002
 (1) PA hanya utk kepentingan terbaik
bagi anak; dilakukan berdasar adat
kebiasaan setempat dan peraturan
perUU-an.
 (2) PA tidak memutuskan hubungan
darah antara anak dgn ortu kandungnya.
 (3) COTA hrs seagama dgn agama CAA.
 (4) PA oleh WNA sbg upaya terakhir.
 (4) Jk usal usul anak tdk diketahui agama
anak disesuaian dgn agama mayoritas
penduduk setempat
 (1) Ortu wajib memberitahukan
kpd anak angkatnya mengenai
asal usulnya & ort kandungnya.
 (2) Pemberitahuan asal usul dan
orangtua kandung dilakukan dgn
memperhatikan kesiapan anak.
41
Psl.39 UU No.23/2002 Psl.40 UU No.23/2002
Pengangkatan Anak dalam UU HAM
42
 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (Psl.57):
 (1) “Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan
dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”.
 (2) “Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan
putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu
sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua”.
 (3) “Orang tua angkat atau wali sebagimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan
kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya”.
43
 Pasal 59 UU HAM menyatakan :
 (1) “Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya
secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika
ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak”.
 (2) “Dalam keadaan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) hak anak
untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara
tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh undang-undang”.
Pengangkatan Anak alam UU No.4/1979
44
 UU No. 4 /1979 tentang Kesejahteraan Anak, (Psl. 6):
 Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan
yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi
dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
 Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga
diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan
pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.
45
 Pasal 12 UU No.4/1979:
 Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.
 Kepentingan kesejahteraan anak termaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang
dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan.
UU No.23/2002
UU No.21/2007
KUHP
UU lainnya
Berbagai ketentuan mengenai ancaman Sanksi Hukum
46
47
 Pasal 79 UU No. 23/2002. Pengangkatan anak, yang yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, jika:
Untuk kepentingan terbaik anak, dan berdasarkan perundangan
dan adat kebiasaan setempat;
Tidak memutuskan hubungan darah dengan orangtua
kandungnya;
Harus seagama dengan calon orangtua angkat;
Intercountry adoption, hanya uaya terakhir (ultimum
remidium);

CONTOHKASUS
48
 Kasus Tristan Dowse, korban penjualan anak berkedok adopsi, adalah kasus
teranyar yang menghebohkan, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di negara
asal orang tua yang mengadopsinya, Irlandia. Setelah melalui proses hukum,
akhirnya Tristan bisa kembali ke ibu kandungnya.
 Kasus Yayasan Ibu Suri di Bekasi.
 Kasus di Batam (penjualan anak/bayi via Nongsa ke Johor Baru)
Pidana dalam Pasal 79 UU No. 23/2002:
49
 “Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang
bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
Tindak Pidana Pengangkatan Anak untuk/dalam Perdagangan Anak, Jual Beli
Anak , dan Penculikan Anak.
50
 Pasal 83 UU No. 23/2002. “Setiap orang yang memperdagangkan,
menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.
60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”.
Tindak Pidana Pengangkatan Anak untuk/dalam Perdagangan Orang.
51
 Pasal 5 UU No.21/2007 berbunyi sebagai berikut:
“Setiap orang yan melakukan pengangkatan anak dengan
menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan
maksud untuk dieksploitasi, dipidana dengan pidana paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 120.0000.000,- (seratus dua
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam
ratus juta rupiah)”;
Pengiriman anak ke dalam negeri atau luar negeri.
52
 Pasal 6 UU No.21/2007 :
 “Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar
negeri dengan ara apapun yang mengakibatkan anak tersebut
tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp. 120.0000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”;
53
 Pasal 65 UU No. 39/1999.
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari
kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan,
perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya”.
Pengangkatan Anak dan Transplantasi Organ.
54
 Pasal 84 UU No 23/2002:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak
lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah).”
Jual beli & pengambilan organ tubuh/jaringan tubuh anak
 “Setiap orang yang melakukan
jual beli organ tubuh dan/atau
jaringan tubuh anak dipidana
dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan/atau
denda paling banyak
Rp300.000.000,- (tiga ratus juta
rupiah).
 “Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan pengambilan organ
tubuh dan/atau jaringan tubuh anak
tanpa memperhatikan kesehatan anak,
atau penelitian kesehatan yang
menggunakan anak sebagai objek
penelitian tanpa seizin orang tua atau
tidak mengutamakan kepentingan yang
terbaik bagi anak, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
55
Psl.85 ayat (1) UU 23/2002 Psl.85 ayat (2) UU 23/2002
Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundring) karena Perbuatan Asal/Hasil
Perdagangan Anak.
56
 UU No. 25/2003 tentang Amandemen UU No. 15/2002, kejahatan perdagangan
orang merupakan perbuatan asli yang uang hasil kejahatannya dapat
dikualifikasi sebagai bentuk kejahatan pencucian uang.
 Pasal 2 UU No. 25/2003: “Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang
diperoleh dari tindak pidana : d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan
imigran; perdagangan orang;
KUHP
57
 pengangkatan anak dapat diikuti atau berimplikasi pada perbuatan pidana:
 Memasulsukan surat (Pasal 263 ayat 1);
 Menggunakan surat palsu (Pasal 263 ayat 2);
 Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik
(Pasal 266).
 Dokter sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau
tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat (Pasal 267).
 Orang sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau
tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat (Pasal 268).
“Pengangkatan anak” Vs.
“ Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”
Kompetensi mana?58
Kompetensi & Yurisdiksi Pengangkatan Anak
59
 Pengangkatan Anak  yurisdiksi peradilan perdata.
 Permohonan pengesahannya diajukan kepada Pengadilan Negeri
(SEMA No. 6 Thn.1983).
 Permohonan (bersifat voluntair).
 Diajukan pada alamat kedudukan/domisili anak yang akan
diangkat (SEMA No.6 Thn.1983).
 Permohonan diajukan PEMOHON atau Kuasanya (SEMA No.6
Thn.1983).
“pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam” dalam UU 3/2006
60
 UU No.3/2006 tentang Perubahan atas UU No. 7/1989 tentang
Peradilan Agama, dalam perubahan atas Pasal 49 menentukan
mengenai komptensi Pengadilan Agama diantaranya
mengenai perkawinan bagi orang beragama Islam.
 Dalam Penjelasan Pasal 49 UU No. 3/2006 diterangkan bahwa
masalah perkawinan yang dimaksudkan termasuk pula
”Penetapan asal usul seseorang anak dan penetapan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”.
Hukum Acara
61
 Permohonan  gugatan voluntair. Hanya ada Pemohon, tidak
ada pihak yang digugat/dimohonkan.
 Hanya unuk kepentingan satu pihak, tanpa ada sengketa hukum
dgn hak/kepentingan orang lain.
 Beda dengan gugatan (biasa)  ada 2 pihak Penggugat &
Tergugat
62
 Putusan (bersifat):
 Declaratoir
 Condemnatoir.
 Putusan Hakim (jenis):
 Penetapan  voluntair
 Putusan  gugatan kontentiosa (adanya sengketa)
Pengadilan mana?
 Kekuasaan Keakiman
 Peradilan Umum
 Peradilan Agama,
 Peradilan Militer
 Peradilan TUN
 Kewenangan Absolut lainnya:
Arbitrase, PHI,Mahkamah
Pelayaran.
 Pengadilan mana yang berwenang
memeriksa & mengadili?
 Di domisili Tergugat  Actor
Sequitor Forum Rei (Psl.118:1 HIR).
 Di tempat tinggal salah satu
Tergugat
 Tempat benda terletak  Forum rei
sitae psl.118:3 HIR).
 Pilihan domisili
63
Kewenangan Absolut Kewenangan Relatif
Pengangkatan Anak (Psl.1 angka 2):
“perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan
kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab
atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orangtua angkat”
V. PP NO.54/2007 ttg PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK64
Prinsip Pengangkatan Anak
65
 Prinsip pengangkatan anak dilakukan dengan :
 seagama antara anak dengan orangtua angkat (Pasal 3);
 dilakukan untuk kepentigan terbaik bagi anak dan perlindungan
anak (Pasal 2);
 tidak memutuskan hubungan darah anak dengan orangtua
kandungnya (Pasal 4);
 pengangkatan anak intercountry hanya upaya terakhir (Pasal 5).
 Kewajiban orangtua angkat memberitahukan asal usul anak
(Pasal 6 ayat 1).
Jenis
66
Jenis Pengangkatan anak (Psl 7):
 antar WNI.
 antara WNI dengan WNA.
Pengangkatan anak Antar WNI (Psl 8):
 Berdasarkan adat kebiasaan dapat diajukan penetapan pengadilan.
 Berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan penetapan pengadilan.
Pengangkatan anak antara WNI dengan WNA (Psl 11 ayat 1):
 Anak WNI oleh WNA.
 Anak WNA di Indonesia oleh WNI.
 Dilakukan dengan putusan pengadilan (Psl 11 ayat 2).
Syarat-syarat Pengangkatan Anak
67
 Syarat CAA (Psl 12 ayat 1):
a. belum 18 tahun.
b. merupakan anak terlantar atau diterlantarkan.
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
Rentang usia (Psl 12 ayat 2):
a. anak < 6 tahun  prioritas utama.
b. 6 sd < 12 tahun  jika ada alasan mendesak.
c.12 sd < 18 tahun  jika anak memerlukan perlindungan khusus
Syarat-syarat COTA (Psl 13)
a. sehat jasmani & rohani.
b. umur 30 sd 55 tahun.
c. beragama sama dengan CAA.
d. berkelakuan baik dan tidak pernah
dihukum melakukan kejahatan.
e. status menikah minimal 5 tahun.
f. tidak merupakan pasangan sejenis.
g. tidak atau belum mempunyai anak atau
hanya 1 anak.
h. mampu ekonomi dan sosial.
i. memperoleh persetujuan anak dan ijin
tertulis orangtua atau wali anak.
j. membuat pernyataan tertulis bhw PA
demi kepentingan terbai anak,
kesejahteraan dan perlindungan anak.
k. adanya laporan sosial dan peksos
setempat.
l. telah mengasuh CAA minimal 6 bulan
sejak ijin pengasuhan.
m. izin Menteri dan/atau Kepala instansi
sosial.
68
(syarat material) (syarat formil)
PA antar negara (intercountry adoption)
69
 Syarat Pengangkatan anak WNI oleh WNA (Psl 14):
a. memperoleh izin Pemerintah negara asal pemohon melalui
kedutaan/perwakilan di Indonesia.
b. izin tertulis Menteri.
c. melalui lembaga pengasuhan anak.
 Jadi, menurut PP No.54/2007:
 Keabahan PA antar negara wajib dengan Ijin tertulis Mensos.
 Setelah memperoleh ijin tertulis pemerintah negara pemohon/COTA.
 Melalui lembaga pengasuhan anak.
PA antar negara, dengan 2 tahap
70
 Izin Pengasuhan
Pertimbangan TIM PIPA
 Izin tertulis Mensos
 Putusan Pengadilan
Syarat COTA intercountry adoption
 a. memperoleh izin tertulis
pemerinah negara asal pemohon.
 b. Memperoleh izin tertulis
Mensos; dan
 c. Melalui lembaga pengasuhan
anak
 Selain syarat Psl 13, wajib memenuhi
syarat:
a. Telah bertempat tinggal di Indonesia
secara sah selama 2 tahun.
b. mendapat persetujuan tertulis dari
pemerintah negara pemohon; dan
c. membuat pernyataan tertulis
melaporkan perkembangan anak kpd
Deplu RI melalui Perwakilan RI di LN.
71
Psl.14 PPNo.54/2007 Psl.17 PPNo.54/2007
Pengangkatan Anak oleh orangtua tunggal
72
 Pengangkatan anak oleh orangtua tunggal hanya dapat
dilakukan WNI, setelah ada ijin Menteri (Psl 16 ayat 1).
 Pemberian ijin Menteri atas pengangkatan anak orangtua
tunggal dapat didelegasikan ke instansi sosial di
propinsi (psl 16 ayat 2).
73
 Untuk melaksanakan lebih lanjut PP No.54/2007 mengenai SYARAT-SYARAT
PENGANGKAAN ANAK, diamanatkan membuat Peratran Menteri Sosial RI.
 Syarat-syarat PA yang akan diaur lebih lanjut yakni:
 Psl.12  syarat anak yang diangkat (CAA)
 Psl.13  syarat COTA
 Psl.14  syarat intercountry adoption
 Psl.15  syarat pengangkapan anak WNA oeh WNI
 Psl.16, dan  syarat pengangkatan anak orangtua tunggal dengan izin Mensos
 Psl.17  syarat COTA untuk intercountry adoption.
Tatacara
74
 Antar WNI  Psl 19, 20 21.
 Anak WNI oleh WNA  Psl 22, 23, 24, 25.
Psl 19  PA menurut adat kebiasaan sesuai tatacara dalam masyarakat ybs.
Psl 20 ayat 1  diajukan ke pengadian untu penetapan pengadilan.
Psl 20 ayat 2  Pengadilan menyampaikan salinan penetapan.
Psl 21 ayat 1  dapat angkat anak maksimal 2 kali, dgn jarak minimal 2 tahun.
Psl 21 ayat 2  CAA = anak kembar, dilakukan sekaligus dgn kembarannya.
Psl 22 ayat 1  anak WNI oleh WNI  dgn putusan pengadilan.
Psl 22 ayat 2  Pengadian menyampaikan salinan putusan ke instansi terkait.
Psl 23  anak WNA di Indonesia berlaku mutatis mutandis dgn Psl 22.
Psl 24  anak WNI (yang lahir di wilayah Indonesia atau luar Indonesi) diangkat
WNA yang berada di luar negeri, dilakukan dgn syarat Psl 12.
Beberapa SEMA berkaitan Pengangkatan Anak
75
 SEMA No.6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat
Edaran No.2 Tahun 1979.
 SEMANo.4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak
 SEMA No.3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak
 SEMA No.2 Tahun 2009 tentang Kewajiban Melengkapi
Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta Kelahiran.
SEMA No.6 Thn.1983 ttg Penyempurnaan SEMA No.2 Thn.1979
76
 PA antarnegara merupaka ultimum remidium.
 PA antar WNI:
 Private adoption diperbolehkan.
 Single parent adoption diperbolehkan.
 Harus dilampirkan surat izin tertulis Mensos bahwa yayasan tsb.
diizinkan dalam pengangatan anak.
 Ada izin Mensos untuk mengangkat CAA.
77
 PA antar negara (intercountry):
 Permohonan (voluntair) diajukan ke Pengadilan Negeri.
 Pada domisili anak WNI yang akan diangkat (CAA)
 Private adoption tidak dibolehkan.
 Single parent adoption tidak dibolehkan.
 Usia CAA belum 5 tahun.
 Izin Mensos untuk mengakat CAA.
Pemeriksaan Persidangan
78
 PA antar negara  Pemeriksaan Persidangan:
 Mendengar langsung:
 COTA (suami & istri);
 Orangua yang sah/wali yang sah/keluarganya;
 Badan/Yayasan sosial yang mendapatkan izin Depsos;
 Petugas/pejabat instansi sosial setempat;
 CAA (bila menurut umurnya sdh mampu diajak bicara);
 Petugas/Pejabat Imigrasi;
 Kepolisian setempat.
Putusan
79
 Putusan dalam PA:
 Permohonan pengesahan/pengangkatan anak antar WNI merupakan
PENETAPAN.
 Permohonan pengesahan/pengangkatan anak antar negara
merupakan PUTUSAN.
SEMA NO.4 Thn.1989
80
 Menegaskan agar PN mengiriman salinan putusan kepada instansi :
 Depsos,
 Depkeh,
 Dirjen Imigrasi,
 Deplu,
 Depkes,
 Kejaksaan,
 Kepolisian.
 Dengan menambahkan Mahkamah Agung.
SEMA NO.4 Thn.1989
81
 Menambahkan adaya “Surat keterangan/Laporan Sosial atas
dasar penelitian petgas/pejabat sosial setempat”.
 Dalam memeriksa dan mengadili permoonan/pengesahan
pengangkatan anak antar WNI (domestic adoption) yang diajukan
langsung ke PN (private adopion), harus disertai “Surat
keterangan/Laporan Sosial atas dasar penelitian
petugas/pejabat sosial setempat”
SEMA No.3 Thn.2005
82
 SEMA mengingatkan Hakim memperhatikan sungguh-sungguh Psl 39 UU
23/2002.
 PA hanya untuk kepentingan terbaik bagi anak.
 COTA harus seagama dengan agama CAA.
 PA antar negara hanya upaya terakhir (ultimum remidium).
 Dalam rangka pengawan oleh MA, setiap salinan Penetapan/Putusan
Pengangkatan Anak agar juga dikirimkan kepada :
 Depsos, Dephukham cq Ditjen Imigrasi, Deplu, Depkes, Kejaksaan dan Kepolisian.
SEMA No.2/2009
83
 Penetapan Adopsi Harus Disertai Akta Kelahiran Anak
[hukumonline.com, 18/4/09]
Agar hubungan si anak tidak terputus sama sekali dengan orang tua biologisnya.
 Mahkamah Agung (MA) menghimbau hakim-hakim yang akan mengeluarkan penetapan tentang
pengangkatan anak alias adopsi untuk memperhatikan kelengkapan administrasi, khususnya akta
kelahiran si anak.  
 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 2009 tentang Kewajiban Melengkapi
Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta Kelahiran, yang merujuk pada perundang-undangan
terbaru, yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan peraturan
teknisnya, Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan
Catatan Sipil.
 Pasal 87 ayat (2) Perpres tadi memang menyaratkan pencatatan pengangkatan anak dilakukan setelah
pemohon memenuhi persyaratan, termasuk kutipan akta kelahiran.
  MA melihat di lapangan masih ada pengadilan yang mengabulkan permohonan pengangkatan anak tanpa
disertai akta kelahiran. Kalau ditelusuri lebih jauh, alasan serupa juga pernah dipakai MA untuk
menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 1979 dan SEM No. 6 Tahun 1983.
VI. Analisis & Refleksi Hukum
84
1. Pengangkatan anak strictly legal compliance, karena nya:
(a) Ada implikasi hukum pidana perdagangan anak/orang.
(b) Persyaratan dan tata cara harus jelas secara materil,
administratif, dan proceduralf
85
2. Pengangkatan anak adalah peralihan “status” hukum dan
pengalihan ‘kewajiban’ dan ‘tanggungjawab’ sebagai orangtua
angkat;
 Isu hukum, bukan sekadar aspek kesejahteraan social, apalagi
hanya disederhanakan sebagai ‘belas kasihan’, ‘budi baik’;
 Pengangkatan anak adalah ‘Peristiwa Penting’ dalam UU
Adminduk;
86
3. Pengangkatan anak, khususnya intercountry
adoption, dilakukan secara akumulatif dalam dua
tahapan (a) Ijin Mensos, (b) Putusan Pengadilan;
 Tidak boleh ‘sungsang’, harus sesuai sequencies;
 Tidak boleh alternatif, tapi akumulatif;
87
4. Wewenang memberikan izin PA ada pada Mensos, selaku
eksekutif yang berwenang dalam bidang kesra, bukan
organ lain atau forum lain yang bernama Tim PIPA;
5. Tim PIPA hanya bersifat konsultatif forum, bukan
‘veto’, sehingga perlu diperjelas mekanisme forum
pengambilan keputusan. Apakah keluarannya merupakan
“keputusan” atau hanya “rekomendasi”.
88
6.Permensos hanya membatasi diri dalam urusan perizinan
pengangkatan anak saja, karenanya tidak memasuki domein
perosedur hukum acara yang merupakan domein Pengadilan;
7. Menghargai ‘Persetujuan Anak’ dan ‘Pernyataan COTA’, Akan lebih
baik jika mensyaratkannya berkoordinasi/konsultasi dengan lembaga
independen perlindungan anak (LPA).
8. Untuk memaksimalkan hasil pemeriksaan kelayakan sosial COTA, maka
perlu ada mekanisme Case Conference atas Laporan Sosial.
Beberapa Isu dalam Proses Pengangkatan Anak
89
1. Isu ‘perkawinan yang sah’.
Hal ini mesti waspadai, karena de facto dikenal adanya ‘joint family
unit’, ‘non documented married’, atau ‘kawin kontrak’, atau ‘kumpul
kebo’. Ini berkaitan dengan konsep perkawinan, konsep keluarga,
konsep absahnya perkawinan, dan jangka waktu/durasi usia
perkawinan;
2. Orangtua, bukan ‘perkawinan pasangan sejenis’. Hukum nasional
hanya mengakui perkawinan suami & istri (tidak sejenis) dalam
suatu keluarga. Bagaimana dengan ‘eks pasangan sejenis’?
90
3. Kapan dan usia berapa ‘Persetujuan Anak’ ? Jika mengacu kepada ‘sesuai
kematangan jiwa anak’, maka tidak eksplisit mengambilalih konsep ‘dewasa’
dlm KUHPerdata atau batas usia anak UU 23/2002.
4. Dalam membuat ‘Persetujuan Anak’ sebagai bentuk view of the child, mengacu
kpd hak anak & prinsip KHA. Perlu dikembangkan menjadi ‘warning system’
dan pengawasan berlapis, sehingga semestinya dikonsultasikan dan diketahui
oleh KPAI atau KPAID.
91
5. Memasang “warning” perihal intercountry adoption sebagai
perbuatan hukum yang hanya “Ultimum Remidium”
 
6. Cermat mengenai batasan anak terlantar. Apakah anak dalam pengasuhan
lembaga merupakan anak terlantar? Misalnya, anak korban perceraian atau
anak yang yatim atau piatu atau yatim piatu, tidak secara absolut merupakan
anak terlantar. Banyak anak yang orangtua bercerai berada dalam
pengasuhan (hadhonah) yang layak dan tidak terlantar.
92
7. Untuk melindungi petugas/penyelenggara PA, perlu adanya
klausula ‘Jaminan dan Pernyataan COTA’ yang menjamin dan
menyatakan seluruh dokumen adalah benar dan sesuai dengan
aslinya.
 
8. Mekanisme ‘Laporan Sosial’, dikembangkan dan diklarifikasi
pembahasannya dalam ‘Case Conference’ agar diperoleh hasil
yang cermat baik validitas administratif, data, kelengkapan data
dan informasi.
VII. PENUTUP
93
 Untuk pengangkatan anak harus dilakukan dengan dasar hukum
yang ketat, karena menangkut status hukum dan perbuatan
hukum yang berimlikasi hukum bahkan adanya resiko hukum.
Karena itu, kepatuhan hukum yang ketak merupakan keharusan.
Wasalam
94
MUHAMMAD JONI, SH., MH.
 Tim Ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia
 Managing Partner Law Office Joni & Tanamas
 Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia
 www.advokatmuhammadjoni.com
 www.jonitanamas.com
 0818 190 292

More Related Content

What's hot

Hukum pidana anak
Hukum pidana anakHukum pidana anak
Hukum pidana anak
Nakano
 
Sistem perlindungan anak di indonesia
Sistem perlindungan anak di indonesiaSistem perlindungan anak di indonesia
Sistem perlindungan anak di indonesia
Amalia Senja
 
Kpai urgensi judicial review uu adminduk terhadap uud 1945-final version
Kpai urgensi  judicial review uu adminduk terhadap uud 1945-final versionKpai urgensi  judicial review uu adminduk terhadap uud 1945-final version
Kpai urgensi judicial review uu adminduk terhadap uud 1945-final versionJONI & TANAMAS LAW OFFICE
 
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by acoPencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by acokristoforusacoindra fadlieagle
 
Uu no. 23 tahun 2002 idn journal
Uu no. 23 tahun 2002 idn journalUu no. 23 tahun 2002 idn journal
Uu no. 23 tahun 2002 idn journalIdnJournal
 
Makalah perlindungan anak (traficing child)
Makalah perlindungan anak (traficing child)Makalah perlindungan anak (traficing child)
Makalah perlindungan anak (traficing child)Andy Susanto
 
Uu perlindungan-anak
Uu perlindungan-anakUu perlindungan-anak
Uu perlindungan-anak
takalar
 
Hak Anak di Indonesia
Hak Anak di IndonesiaHak Anak di Indonesia
Hak Anak di Indonesia
Muhamad Iman Usman
 
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual AnakModul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
ECPAT Indonesia
 
Warga Negara dan Kewarganegaraan kel. 6
Warga Negara dan Kewarganegaraan kel. 6Warga Negara dan Kewarganegaraan kel. 6
Warga Negara dan Kewarganegaraan kel. 6
emmadewi
 
Skripsi hukum
Skripsi hukumSkripsi hukum
Skripsi hukummoncos123
 
Konvensi Hak Anak & KLA
Konvensi Hak Anak & KLAKonvensi Hak Anak & KLA
Konvensi Hak Anak & KLA
Zainal Asikin
 
Makalah pkn MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...
Makalah pkn  MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...Makalah pkn  MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...
Makalah pkn MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...
risyanti ALENTA
 

What's hot (17)

Hukum pidana anak
Hukum pidana anakHukum pidana anak
Hukum pidana anak
 
Sistem perlindungan anak di indonesia
Sistem perlindungan anak di indonesiaSistem perlindungan anak di indonesia
Sistem perlindungan anak di indonesia
 
Kpai urgensi judicial review uu adminduk terhadap uud 1945-final version
Kpai urgensi  judicial review uu adminduk terhadap uud 1945-final versionKpai urgensi  judicial review uu adminduk terhadap uud 1945-final version
Kpai urgensi judicial review uu adminduk terhadap uud 1945-final version
 
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by acoPencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
Pencatatan nama orang tua bagi anak yang tidak diketahui by aco
 
Uu no. 23 tahun 2002 idn journal
Uu no. 23 tahun 2002 idn journalUu no. 23 tahun 2002 idn journal
Uu no. 23 tahun 2002 idn journal
 
Pkn
PknPkn
Pkn
 
Makalah perlindungan anak (traficing child)
Makalah perlindungan anak (traficing child)Makalah perlindungan anak (traficing child)
Makalah perlindungan anak (traficing child)
 
Uu perlindungan-anak
Uu perlindungan-anakUu perlindungan-anak
Uu perlindungan-anak
 
Konvensi hak anak edit
Konvensi hak anak editKonvensi hak anak edit
Konvensi hak anak edit
 
Hak Anak di Indonesia
Hak Anak di IndonesiaHak Anak di Indonesia
Hak Anak di Indonesia
 
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual AnakModul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
Modul 3 - Aturan Hukum Ekspoitasi Seksual Anak
 
Warga Negara dan Kewarganegaraan kel. 6
Warga Negara dan Kewarganegaraan kel. 6Warga Negara dan Kewarganegaraan kel. 6
Warga Negara dan Kewarganegaraan kel. 6
 
CRC - Indonesian version
CRC - Indonesian versionCRC - Indonesian version
CRC - Indonesian version
 
Uu 23 2002
Uu 23 2002Uu 23 2002
Uu 23 2002
 
Skripsi hukum
Skripsi hukumSkripsi hukum
Skripsi hukum
 
Konvensi Hak Anak & KLA
Konvensi Hak Anak & KLAKonvensi Hak Anak & KLA
Konvensi Hak Anak & KLA
 
Makalah pkn MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...
Makalah pkn  MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...Makalah pkn  MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...
Makalah pkn MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK MENUR...
 

Similar to Pembekalan hukum pengangkatan anak a slideshare

Hukum_Perlindungan_Anak.pdf
Hukum_Perlindungan_Anak.pdfHukum_Perlindungan_Anak.pdf
Hukum_Perlindungan_Anak.pdf
itarahmawati20
 
ppt kebijakan kesehatan [Simpan Otomatis].pptx
ppt kebijakan kesehatan [Simpan Otomatis].pptxppt kebijakan kesehatan [Simpan Otomatis].pptx
ppt kebijakan kesehatan [Simpan Otomatis].pptx
ayu220303
 
Makalah adopsi (pegangkatan anak)
Makalah adopsi (pegangkatan anak)Makalah adopsi (pegangkatan anak)
Makalah adopsi (pegangkatan anak)
Rahmanzie Share
 
Naskah akademik
Naskah akademikNaskah akademik
Naskah akademikasmadibeny
 
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptxHPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
koko212591
 
Makala
MakalaMakala
Pertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdf
Pertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdfPertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdf
Pertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdf
YogiYasaWedha
 
Makalah anak berkonflik dengan hukum
Makalah anak berkonflik dengan hukumMakalah anak berkonflik dengan hukum
Makalah anak berkonflik dengan hukumSulaiman Zuhdi Manik
 
Uu no. 23 tahun 2002 idn journal
Uu no. 23 tahun 2002 idn journalUu no. 23 tahun 2002 idn journal
Uu no. 23 tahun 2002 idn journalIdnJournal
 
Sistem perilndungana anak
Sistem perilndungana anakSistem perilndungana anak
Sistem perilndungana anak
Rizal Fahmi
 
UU 23 tahun 2002 ttg PERLINDUNGANANAK.pdf
UU 23 tahun 2002 ttg PERLINDUNGANANAK.pdfUU 23 tahun 2002 ttg PERLINDUNGANANAK.pdf
UU 23 tahun 2002 ttg PERLINDUNGANANAK.pdf
Herlita5
 
Uu no23tahun2003 perlindungananak
Uu no23tahun2003 perlindungananakUu no23tahun2003 perlindungananak
Uu no23tahun2003 perlindungananak
Utjok Tamp Manalu
 
UU No. 23 tahun 2003 P erlindungan Anak
UU No. 23 tahun 2003 P erlindungan AnakUU No. 23 tahun 2003 P erlindungan Anak
UU No. 23 tahun 2003 P erlindungan Anak
Amin Herwansyah
 
Uu no23tahun2003 perlindungananak
Uu no23tahun2003 perlindungananakUu no23tahun2003 perlindungananak
Uu no23tahun2003 perlindungananakRoy Pangkey
 
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak ...
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut  Anak adalah anak ...Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut  Anak adalah anak ...
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak ...
etsthu
 
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
ECPAT Indonesia
 
Sayang anak
Sayang anakSayang anak
Sayang anak
Jurnalis
 
HAK PENGUNGSI ANAK
HAK PENGUNGSI ANAKHAK PENGUNGSI ANAK
HAK PENGUNGSI ANAK
Ai Maryati Solihah
 
Hpa oci
Hpa ociHpa oci
Hpa oci
ocisenjaya1
 

Similar to Pembekalan hukum pengangkatan anak a slideshare (20)

Hukum_Perlindungan_Anak.pdf
Hukum_Perlindungan_Anak.pdfHukum_Perlindungan_Anak.pdf
Hukum_Perlindungan_Anak.pdf
 
ppt kebijakan kesehatan [Simpan Otomatis].pptx
ppt kebijakan kesehatan [Simpan Otomatis].pptxppt kebijakan kesehatan [Simpan Otomatis].pptx
ppt kebijakan kesehatan [Simpan Otomatis].pptx
 
Makalah adopsi (pegangkatan anak)
Makalah adopsi (pegangkatan anak)Makalah adopsi (pegangkatan anak)
Makalah adopsi (pegangkatan anak)
 
Naskah akademik
Naskah akademikNaskah akademik
Naskah akademik
 
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptxHPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
HPA PERT STIH PUTRI MAHARAJA PAYAKUMBUH 4.pptx
 
Makala
MakalaMakala
Makala
 
Pertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdf
Pertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdfPertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdf
Pertemuan 1 sampai 3 PHAP.pdf
 
Makalah anak berkonflik dengan hukum
Makalah anak berkonflik dengan hukumMakalah anak berkonflik dengan hukum
Makalah anak berkonflik dengan hukum
 
Uu no. 23 tahun 2002 idn journal
Uu no. 23 tahun 2002 idn journalUu no. 23 tahun 2002 idn journal
Uu no. 23 tahun 2002 idn journal
 
Sistem perilndungana anak
Sistem perilndungana anakSistem perilndungana anak
Sistem perilndungana anak
 
UU 23 tahun 2002 ttg PERLINDUNGANANAK.pdf
UU 23 tahun 2002 ttg PERLINDUNGANANAK.pdfUU 23 tahun 2002 ttg PERLINDUNGANANAK.pdf
UU 23 tahun 2002 ttg PERLINDUNGANANAK.pdf
 
Uu no23tahun2003 perlindungananak
Uu no23tahun2003 perlindungananakUu no23tahun2003 perlindungananak
Uu no23tahun2003 perlindungananak
 
UU No. 23 tahun 2003 P erlindungan Anak
UU No. 23 tahun 2003 P erlindungan AnakUU No. 23 tahun 2003 P erlindungan Anak
UU No. 23 tahun 2003 P erlindungan Anak
 
Uu no23tahun2003 perlindungananak
Uu no23tahun2003 perlindungananakUu no23tahun2003 perlindungananak
Uu no23tahun2003 perlindungananak
 
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak ...
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut  Anak adalah anak ...Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut  Anak adalah anak ...
Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak ...
 
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
Modul 1 - Eksploitasi Seksual Anak (ECPAT)
 
Sayang anak
Sayang anakSayang anak
Sayang anak
 
HAK PENGUNGSI ANAK
HAK PENGUNGSI ANAKHAK PENGUNGSI ANAK
HAK PENGUNGSI ANAK
 
Hpa oci
Hpa ociHpa oci
Hpa oci
 
Uu 04 1979
Uu 04 1979Uu 04 1979
Uu 04 1979
 

Pembekalan hukum pengangkatan anak a slideshare

  • 1. PENGANGKATAN ANAK DI INDONESIA: DESKRIPSI DAN ANALISIS YURIDIS Muhammad Joni, SH., MH Tim Ahli bidang Hukum Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 1
  • 2. I. MENGAPA PENGANGKATAN ANAK? 2  Alternative family and care  Perbuatan Hukum.  Bukan sekadar isu ‘amal sholeh’ ataupun pekerjaan sosial.  Berkaitan hak-hak anak (rights of the child).  Berkaitan dgn akibat hukum tertentu.  Adanya ancaman resiko hukum pidana.
  • 3. 1. Kepastian hukum. 2. Perlindungan anak. 3. Perlindungan pelaksana/penyelenggara. 4. Mencegah kesimpangsiuran hukum atau bertindak sendiri. 5. Standardisasi pelayanan Mengapa pengangkatan anak perlu diatur?3
  • 4. Idemditto dgn tujuan hukum: 1.Kepastian hukum. 2.Keadilan. 3.Kemanfaatan. Tujuan pengaturan PA:4
  • 5. Hukum pengangkatan anak efektif dijalankan: Implementasi (implementation) Kepatuhan (complience) Untuk apa pengaturan hukum PA?5
  • 6. Mengapa Hukum (PA) tidak efektif? 6 Antony Allot: Mengapa Hukum Tidak Efektif?  Pertama: Problem pemancaran norma hukum, karena tidak menyebarnya hukum yang diterbitkan. Hukum tidak bisa diadaptasi subyek sebagai pesan instruksional (instructional messages) karena membutuhkan lawyer sebagai “special decoders” – namun tidak bisa/mampu menyediakannya.  Kedua: Kemungkinan konflik antara arah dan tujuan legislator dengan kebiasaan sosiologis masyarakat (nature of society). Terjadi kesenjangan antara masyarakat moderen (modern society) dengan masyarakat adat (customary society).  Ketiga: kegagalan implementasi hukum itu sendiri. Seringkali tidak cukup tersedia perangkat norma (norms), perintah (orders), institusi (institutions), atau proses (processes) yang berkaitan dengan Undang-undang. [Alloott, “TheEffectiveness of Law”, dalam Valparaiso University Law Review, Vol. 15, Winter1981]
  • 7. II. FAKTA DAN SITUASI AKTA 7  Pengangkatan anak (lokal ataupun intercountry)  kompleks dgn regulasi dibandingkan isu anak lainnya, dan prosesnya rawan penyeludupan hukum.  Pengangkatan anak rawan terjerat resiko hukum:  pemalsuan surat.  perdagangan anak (child trafficking),  penjualan anak (sale of children),  transplantasi organ anak (transfer organ) yang tidak sah (illegal),  ESKA, dllsb.
  • 8. Analisis atas fakta & situasi 8  Proses terbalik atau “sungsang”. Ijin diajukan setelah Putusan/Penetapan Pengadilan.  Kepatuhan surat-surat atau dokumen administratif pengangkatan anak;  Kepatuhan kronologis proses permohonan dan pengasuhan fisik terhadap calon anak yang akan diangkat;  Pelaksanaan permohonan oleh yayasan atau lembaga tidak berwenang;  Pengangkatan anak berdasarkan adat yang relatif ‘terbuka’ dan belum dicatatkan dengan memadai;  Pengangkatan anak (dlm UU 23/2002) = adat?  masalah kualifikasi hukum
  • 9. Beberapa isu (resiko) Hukum. 9 1. Konsistensi tahap pengangkatan anak antar negara (intercountry adoption) dgn 2 tahap proses hukumnya, yakni : (a) Ijin Menteri Sosial, dan (b) Putusan Pengadilan berwenang; Fakta:  Banyak kasus, Putusan Pengadilan tanpa Ijin Meneteri Sosial.  Ijin Menteri Sosial diajukan setelah Putusan Pengadilan.  Konsekwensinya, cacat hukum, dan dapat dimintakan pembatalannya.
  • 10. 10 2. Permohonan Ijin Menteri Sosial, tidak dilengkapi dengan dokumen iji menetap seperti Keterangan Ijin Tinggal Sementara (KITAS). Fakta: Kenyataannya secara de facto, COTA tinggal di Indonesia lebih dari syarat waktu yang ditentukan. 3. Dokumen COTA dari negeri asal pemohon, tidak dilegalisasi /diakseptasi pihak yang berwenang kendatipun sudah dilegalisasi otoritas setempat, seperti halnya profesi Notaris di Indonesia.  
  • 11. 11 4. Dalam beberapa kasus, ditemukan fakta & situasi mengenai COTA (untuk dicermati):  COTA sudah mengasuh anak sebelum ijin pengasuhan kpd Menteri Sosial karena seakan-akan “private adoption”;  COTA mengajukan tidak melalui Yayasan berijin sehingga mesti menggunakan “jasa” dari lembaga/yayasan berijin.  Adanya implikasi hukum luas apabila ijin Menteri Sosial tidak diberikan dalam hal syarat tidak terpenuhi, misalnya tidak seagama dengan anak, atau sudah memiliki anak, dan syarat-syarat lain. Sementara itu, secara sosial dan ekonomi, orangtua biologis sudah tidak sanggup dan tidak berkenan lagi, sebaliknya secara psikologis anak sudah terlanjur dekat dan memiliki ikatan batin dengan COTA.
  • 12. 12  COTA terlanjur menggunakan atau mengubah nama & identitas anak yang baru. Hal ini memeliki implikasi hukum, karena belum ada perubahan status hukum anak tersebut.  COTA dalam kawin campuran (beristrikan/suami WNI yang tinggal di Indonesia atau di luar negeri) sehingga menjadi kabur dan interpretasi ganda apakah masuk ke dalam pengangkatan anak antar negara (intercontry adoption).  COTA, sudah beristrikan perempuan eks WNI (lahir dan tinggal cukup lama di Indonesia dan memiliki kerabat di Indonesia), namun sdh WNA.  
  • 13. 13  COTA sebelumnya (dalam waktu yang cukup lama) pernah tinggal di Indonesia, namun pada saat memohonkan pengangkatan anak tidak lagi bertempat tinggal di Indonesia.  Anak berasal dari Yayasan yang tidak memiliki ijin (de facto menyerahkan langsung kepada COTA, namun menggunakan jalur yayasan berijin. Sehingga terkesan hanya untuk menjustifikasi proses adopsinya saja.
  • 14. 14  Permohonan ke Pengadilan diajukan tidak langsung, tetapi melalui yayasan atau lembaga. Padahal, wewenang yayasan atau lembaga tidak termasuk litigasi permohonan di Pengadilan.  Hal ini perlu diatur untuk menghindari konflik kepentingan dalam proses dan tatacara pengangkatan anak.
  • 15. III. UU NOMOR 23/2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK 15  Harmonisasi KHA.  Disahkan Majelis Umum PBB dengan Resolusi 44/25pada tanggal 20 November 1989, dan mulai mempunyai kekuatan memaksa (entered in to force ), 2 September 1990.  Perjanjian internasional mengenai Hak Azasi Manusia (HAM) yang mengintegrasikan hak sipil dan politik (political and civil rights), secara bersamaan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights).  Di ratifikasi oleh paling banyak anggota PBB.  Indonesia termasuk negara peserta yang progresif dengan meratifikasi KHA pada tahap awal, dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.  Sdh mendeposit Instrumen of Ratification ke PBB.
  • 16. Prinsip UU No.23/2002 16  Pasal 2 UU No.23/2002 ditegaskan Prinsip- prinsip umum (general principles), yakni:  A. Non diskriminasi;  B. Kepentingan terbaik bagi anak;  C. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;  D. Penghargaan terhadap pendapat anak.
  • 17. Asas diturunkan menjadi norma 17  Nilai (value)  Asas (beginsel)/prinsip (principle)  Norma (norm)  Sub norma.
  • 18. Prinsip KHA  Prinsip UU 23/2002 18 Ad. A. Prinsip Non Diskriminasi  Alinea pertama Pasal 2 KHA menciptakan kewajiban fundamental negara peserta (fundamental obligations of state parties) menghormati dan menjamin (to respect and ensure) seluruh hak-hak anak dalam konvensi ini kepada semua anak dalam semua jurisdiksi nasional dengan tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.  Beberapa konvensi HAM mengartikan diskriminasi sebagai adanya pembedaan (distiction), pengucilan (exclusion), pembatasan (restriction) atau pilihan/pertimbangan (preference), yang berdasarkan atas ras (race), warna kulit (colour), kelamin (sex), bahasa (language), agama (religion), politik (political) atau pendapat lain (other opinion), asal usul sosial atau nasionalitas, kemiskinan (proverty), kelahiran atau status lain.
  • 19. 19 Dalam hukum nasional, pengertian diskriminasi dapat diperoleh dari Pasal 1 butir 3 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang berbunyi sebagai berikut:  “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya”.
  • 20. 20  UUD 1945 Pasal 28 B ayat 2 : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.  Pasal 28 B ayat 2 UUD 1945, tidak memasukkan hak atas partisipasi (participation rights) sebagai hak anak, sedangkan Konvensi Hak Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 lebih maju dari Pasal 28 B ayat 2 UUD 1945 yang memasukkan hak partisipasi anak.
  • 21. Ad. B. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak 21  Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (the best interest of the child) diadopsi dari Pasal 3 ayat 1 KHA, dimana prinsip ini diletakkan sebagai pertimbangan utama (a primary consideration) dalam semua tindakan untuk anak, baik oleh institusi kesejahteraan sosial pada sektor publik ataupun privat, pengadilan, otoritas administratif, ataupun badan legislatif.  Pasal 3 ayat 1 KHA meminta negara dan pemerintah, serta badan-badan publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the child menjadi pertimbangkan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society).
  • 22. 22  Prinsip the best interest of the child ini pertama kali dikemukakan pada Declaration of the Rights of the Child pada tahun 1959.  Dalam Pasal 2 Deklarasi Hak Anak itu, dikemukakan prinsip the best interest of the child sebagai paramount consideration yang berbunyi sebagai berikut: “The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities and facilities, by law and by other means, to enable him to develop physically in a healthy and normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enacment of laws for this purpose, the best interests of the child shall be the paramount considerations”
  • 23. 23  Menurut Lord McDermont, “paramountcy means more than that the child’s welfare is to be treated as the top item in a list of terms relevan to be matter in question…”.[1]  Dengan demikian, kepentingan kesejahteraan anak adalah tujuan dan penikmat utama dalam setiap tindakan, kebijakan, dan atau hukum yang dibuat oleh lembaga berwenang. [1] Savitri Goonesekere, “Children, Law and Justice A South Asian Perspective”, Unicef & Sage Publications, New Delhi, 1998, hal. 114.
  • 24. Ad. C. Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan 24  Prinsip ini dituangkan dalam norma hukum Pasal 4 UU No. 23/ 2002.  UU No. 39/1999 juga mengatur hak hidup merupakan asas-asas dasar dalam Pasal 4 dan 9 UU No. 39/1999).  Hak hidup ini, dalam wacana instrumen/konvensi internasional merupakan hak asasi yang universal, dan dikenali sebagai hak yang utama (supreme right).  Sesuai dengan Psl 28B ayat (2) UUD 1945
  • 25. 25  Instrumen/konvensi internasional juga sudah menjamin hak hidup sebagai hak dasar seperti Universal Declaration of Human Rights (pasal 2), International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR (pasal 6).  Bahkan, dalam General Comment -nya pada tahun 1982, The Human Rights Committee, menyebutkan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat diabaikan termasuk dalam waktu darurat (rights to life … is the supreme right from which no derogation is permitted even in time of emergency).
  • 26. Ad. D. Penghargaan terhadap Pendapat Anak 26  Mengacu kepada Pasal 12 ayat 1 KHA, diakui bahwa anak dapat dan mampu membentuk atau mengemukakan pendapatnya dalam pandangannya sendiri yang merupakan hak berekspresi secara bebas (capable of forming his or her own views the rights to express those views freely).  Jaminan perlindungan atas hak mengemukakan pendapat terhadap semua hal tersebut, mesti dipertimbangkan sesuai usia dan kematangan anak.
  • 27. 27  Diperoleh fakta dalam praktek hukum, pendapat anak ini diabaikan.  Hampir semua kasus perceraian tidak meminta pendapat anak.  Kerapkali pendapat anak tidak diminta Hakim: apakah setuju dengan perceraian, atau tidak? Bgm pandangan anak perihal pemberian hak pemeliharaan? Mau mengikuti siapa? Alimentasi atas kebutuhan hidupnya?  Disisi lain, anak memiliki hak untuk bersama (unifikasi) dengan keluarganya.  Ketua Komnas PA, DR. Seto Mulyadi, menegaskan pentingnya penghargaan terhadap pendapat anak, antara lain mengatakan, ”...Anak-anak itu berhak dimintai pendapatnya berkaitan dengan nasib dan masa depannya. Partisipasi ini hak dasar, harus diberikan kepada anak dalam setiap situasi.” [Majalah TEMPO, Edisi 6-12 Maret 2006, hal.40.] 
  • 28. Bentuk-bentuk hak atas untuk tumbuh kembang : 28  Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information);  Hak untuk memperoleh pendidikan(the rights to education);  Hak untuk bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation) ;  Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to participation in cultural activities);  Hak untuk kebebasan berfikir, consience dan beragama (the rights to thought and religion);  Hak untuk mengembangkan kepribadian (the rights to personality development);  Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);  Hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan dan fisik (the rights to health and phisical development) ;  Hak untuk didengar (pendapat) (the rights to be heard) ;  Hak untuk/atas keluarga (the rights to family);
  • 29. Hak Untuk Berpartisipasi (Participation Rights) 29  hak untuk berpartisipasi (participation rights) dalam Konvensi Hak Anak diantaranya diatur dalam pasal 12, pasal 13 dan pasal 15.  beberapa hak anak atas partisipasi yang terdiri atas ;  Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya;  Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk berekspresi;  Hak anak untuk berserikat, dan menjalin hubungan untuk bergabung;  Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat;  Hak anak untuk memperoleh informasi tentang Konvensi Hak Anak.
  • 30. Hak & Kewajiban Anak (Pasal 4 s/d 19 UU No. 23/2002) 30 (1) Hak anak atas hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi secara wajar (Psl 4 UU No.23/2002) (2) Hak atas nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Psl. 5 UU No.23/2002). (3) Hak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi (Psl. 6 UU No. 23/2002). (4) Hak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh orangtua (Psl. 7 ayat 1 UU No. 23/2002). (5) Hak untuk diasuh atau diangkat oleh orangtua asuh atau orangtua angkat (Psl. 7 ayat 2 UU No. 23/ 2002).
  • 31. 31 (6) Hak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 8) (7) Hak untuk memperoleh jaminan sosial (Pasal 8) (8) Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran (Pasal 9 ayat 1) (9) Hak memperoleh pendidikan (10) Hak memperoleh pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan (Pasal 9 ayat 2) (11) Hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya (Pasal 10 ). (12) Hak menenerima, mencari, dan memberikan informasi ( Pasal 10 ). (13) Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi (Pasal 11) (14) Bagi anak yang menyandang cacat, berhak untuk: (a) memperoleh rehabilitasi, (b) bantuan sosial, (c) pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial (Pasal 12).
  • 32. 32 15) Anak yang dalam status pengasuhan, berhak untuk dilindungi dari:  Diskriminasi.  Eksploitasi (ekonomi dan seksual).  Penelantaran.  Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan.  Ketidakadilan.  Perlakuan salah (lihat Pasal 13 ayat 1 UU No. 23/2002).
  • 33. 33 (16) Hak untuk diasuh orangtuanya sendiri (Pasal 14 UU No.23/2002). (17) Hak memperoleh perlindungan dari:  Penyalahgunaan dalam kegiatan politik.  Pelibatan dalam sengketa bersenjata.  Pelibatan dalam kerusuhan sosial.  Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan.  Pelibatan dalam peperangan (Pasal 15 UU Nomor 23/2002).
  • 34. 34 (18) Hak memperoleh perlindungan dari :  Penganiayaan;  Penyiksaan;  Penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi (Pasal 16 ayat 1 UU No. 23/2002).  Ketentusan ini merupakan perlindungan anak yang mengacu kepada Pasal 37 KHA. Namun, tidak secara lengkap mengintegrasikan isi dari Pasal 37 KHA.
  • 35. 35 (19) Hak memperoleh kebebasan sesuai hukum (Pasal 16 ayat 2 UU No. 23/2002). (20) Hak memperoleh kebebasan sesuai hukum (Pasal 16 ayat 2 UU No. 23/2002).  Memperoleh perlakuan manusiawi.  Penempatan dipisah dari orang dewasa.  Memperoleh bantuan hukum.  Memperoleh bantuan lainnya.  Membela diri dan memperoleh keadilan di pengadilan yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang tertutup untuk umum. (21) Anak korban atau pelaku kekerasan seksual ataupun anak-anak yang berhadapan dengan hukum, berhak dirahasiakan identitasnya (Pasal 17 ayat 2 UU No. 23/2002).
  • 36. 36 (22) Hak memperoleh bantuan hukum, dan bantuan lainnya, baik korban atau pelaku tindak pidana (Pasal 18 UU No.23/2002).  Hak untuk mendapatkan bantuan hukum, sudah diatur sebelumnya dalam UU No. 3/1997. Menurut Pasal 51 ayat 1 UU No.3/1997, setiap anak nakal sejak saat ditangkap atau ditahan berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum.  Namun dalam Penjelasan Pasal 18 UU No.23/2002, dijelaskan bahwa anak berhak pula atas bantuan lainnya, seperti bantuan medik, sosial, rehabilitas, vokasional, dan pendidikan.
  • 37. 37 (23) Kewajiban anak (lihat Pasal 19 UU No. 23/2002):  Menghormati orangtua, wali dan guru.  Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman.  Mencintai tanah air, bangsa, dan negara.  Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.  Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
  • 38. IV. KETENTUAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK (UU NO 23/2002 & TERKAIT) 38  Pengangkatan anak terkait dengan berbagai masalah status hukum seorang sebagai subyek hukum.  Norma hukum pengangkatan anak secara eksplisit diatur dalam materi UU No.23/2002 (Psl 39-41).  Jika merujuk ketentuan UU No.23/2002, maka pengangkatan anak :  Diberikan hanya setelah memenuhi persyaratan yang ketat, dan eksplisit.  Perintah UU membentuk Peraturan Pemerintah mengenai bimbingan dan pengawasannya [vide pasal 41 ayat (2) UU No 23/2002].
  • 39. 39  pengaturan pengangkatan anak terkait dengan berbagai kepatuhan hukum dalam hal:  Kepatuhan hukum atas syarat/ketentuan pengangkatan anak, dan  Konsistensi dalam proses atau tata cara penyelenggaraannya.  Menghindari resiko sanksi pidana dan denda jika dilakukan pelanggaran prosesnya;
  • 40. 40  Secara normatif, lingkup pengaturan UU No. 23/2002 berkenaan tentang :  Pasal 39 dan 40 (mengatur tentang syarat atau norma pengangkatan anak).  Pasal 41 (mengatur kewajiban/tanggungjawab Pemerintah i.c. Dep. Sosial melakukan bimbingan (counselling); pengawasan (supervision, controlling) atas pengangkatan anak;     Pasal 41 ayat (2) memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah (PP) pengasuhan dan pengangkatan anak.  
  • 41. Norma pengangkatan anak dlm UU 23/2002  (1) PA hanya utk kepentingan terbaik bagi anak; dilakukan berdasar adat kebiasaan setempat dan peraturan perUU-an.  (2) PA tidak memutuskan hubungan darah antara anak dgn ortu kandungnya.  (3) COTA hrs seagama dgn agama CAA.  (4) PA oleh WNA sbg upaya terakhir.  (4) Jk usal usul anak tdk diketahui agama anak disesuaian dgn agama mayoritas penduduk setempat  (1) Ortu wajib memberitahukan kpd anak angkatnya mengenai asal usulnya & ort kandungnya.  (2) Pemberitahuan asal usul dan orangtua kandung dilakukan dgn memperhatikan kesiapan anak. 41 Psl.39 UU No.23/2002 Psl.40 UU No.23/2002
  • 42. Pengangkatan Anak dalam UU HAM 42  UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (Psl.57):  (1) “Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.  (2) “Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua”.  (3) “Orang tua angkat atau wali sebagimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya”.
  • 43. 43  Pasal 59 UU HAM menyatakan :  (1) “Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak”.  (2) “Dalam keadaan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh undang-undang”.
  • 44. Pengangkatan Anak alam UU No.4/1979 44  UU No. 4 /1979 tentang Kesejahteraan Anak, (Psl. 6):  Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.  Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.
  • 45. 45  Pasal 12 UU No.4/1979:  Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.  Kepentingan kesejahteraan anak termaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.  Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
  • 46. UU No.23/2002 UU No.21/2007 KUHP UU lainnya Berbagai ketentuan mengenai ancaman Sanksi Hukum 46
  • 47. 47  Pasal 79 UU No. 23/2002. Pengangkatan anak, yang yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jika: Untuk kepentingan terbaik anak, dan berdasarkan perundangan dan adat kebiasaan setempat; Tidak memutuskan hubungan darah dengan orangtua kandungnya; Harus seagama dengan calon orangtua angkat; Intercountry adoption, hanya uaya terakhir (ultimum remidium); 
  • 48. CONTOHKASUS 48  Kasus Tristan Dowse, korban penjualan anak berkedok adopsi, adalah kasus teranyar yang menghebohkan, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di negara asal orang tua yang mengadopsinya, Irlandia. Setelah melalui proses hukum, akhirnya Tristan bisa kembali ke ibu kandungnya.  Kasus Yayasan Ibu Suri di Bekasi.  Kasus di Batam (penjualan anak/bayi via Nongsa ke Johor Baru)
  • 49. Pidana dalam Pasal 79 UU No. 23/2002: 49  “Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
  • 50. Tindak Pidana Pengangkatan Anak untuk/dalam Perdagangan Anak, Jual Beli Anak , dan Penculikan Anak. 50  Pasal 83 UU No. 23/2002. “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah)”.
  • 51. Tindak Pidana Pengangkatan Anak untuk/dalam Perdagangan Orang. 51  Pasal 5 UU No.21/2007 berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yan melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi, dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.0000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”;
  • 52. Pengiriman anak ke dalam negeri atau luar negeri. 52  Pasal 6 UU No.21/2007 :  “Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan ara apapun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.0000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”;
  • 53. 53  Pasal 65 UU No. 39/1999. “Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya”.
  • 54. Pengangkatan Anak dan Transplantasi Organ. 54  Pasal 84 UU No 23/2002: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).”
  • 55. Jual beli & pengambilan organ tubuh/jaringan tubuh anak  “Setiap orang yang melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).  “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan pengambilan organ tubuh dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak, atau penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua atau tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah). 55 Psl.85 ayat (1) UU 23/2002 Psl.85 ayat (2) UU 23/2002
  • 56. Kejahatan Pencucian Uang (Money Laundring) karena Perbuatan Asal/Hasil Perdagangan Anak. 56  UU No. 25/2003 tentang Amandemen UU No. 15/2002, kejahatan perdagangan orang merupakan perbuatan asli yang uang hasil kejahatannya dapat dikualifikasi sebagai bentuk kejahatan pencucian uang.  Pasal 2 UU No. 25/2003: “Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : d. penyelundupan tenaga kerja; e. penyelundupan imigran; perdagangan orang;
  • 57. KUHP 57  pengangkatan anak dapat diikuti atau berimplikasi pada perbuatan pidana:  Memasulsukan surat (Pasal 263 ayat 1);  Menggunakan surat palsu (Pasal 263 ayat 2);  Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik (Pasal 266).  Dokter sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat (Pasal 267).  Orang sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat (Pasal 268).
  • 58. “Pengangkatan anak” Vs. “ Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam” Kompetensi mana?58
  • 59. Kompetensi & Yurisdiksi Pengangkatan Anak 59  Pengangkatan Anak  yurisdiksi peradilan perdata.  Permohonan pengesahannya diajukan kepada Pengadilan Negeri (SEMA No. 6 Thn.1983).  Permohonan (bersifat voluntair).  Diajukan pada alamat kedudukan/domisili anak yang akan diangkat (SEMA No.6 Thn.1983).  Permohonan diajukan PEMOHON atau Kuasanya (SEMA No.6 Thn.1983).
  • 60. “pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam” dalam UU 3/2006 60  UU No.3/2006 tentang Perubahan atas UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama, dalam perubahan atas Pasal 49 menentukan mengenai komptensi Pengadilan Agama diantaranya mengenai perkawinan bagi orang beragama Islam.  Dalam Penjelasan Pasal 49 UU No. 3/2006 diterangkan bahwa masalah perkawinan yang dimaksudkan termasuk pula ”Penetapan asal usul seseorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”.
  • 61. Hukum Acara 61  Permohonan  gugatan voluntair. Hanya ada Pemohon, tidak ada pihak yang digugat/dimohonkan.  Hanya unuk kepentingan satu pihak, tanpa ada sengketa hukum dgn hak/kepentingan orang lain.  Beda dengan gugatan (biasa)  ada 2 pihak Penggugat & Tergugat
  • 62. 62  Putusan (bersifat):  Declaratoir  Condemnatoir.  Putusan Hakim (jenis):  Penetapan  voluntair  Putusan  gugatan kontentiosa (adanya sengketa)
  • 63. Pengadilan mana?  Kekuasaan Keakiman  Peradilan Umum  Peradilan Agama,  Peradilan Militer  Peradilan TUN  Kewenangan Absolut lainnya: Arbitrase, PHI,Mahkamah Pelayaran.  Pengadilan mana yang berwenang memeriksa & mengadili?  Di domisili Tergugat  Actor Sequitor Forum Rei (Psl.118:1 HIR).  Di tempat tinggal salah satu Tergugat  Tempat benda terletak  Forum rei sitae psl.118:3 HIR).  Pilihan domisili 63 Kewenangan Absolut Kewenangan Relatif
  • 64. Pengangkatan Anak (Psl.1 angka 2): “perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkat” V. PP NO.54/2007 ttg PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK64
  • 65. Prinsip Pengangkatan Anak 65  Prinsip pengangkatan anak dilakukan dengan :  seagama antara anak dengan orangtua angkat (Pasal 3);  dilakukan untuk kepentigan terbaik bagi anak dan perlindungan anak (Pasal 2);  tidak memutuskan hubungan darah anak dengan orangtua kandungnya (Pasal 4);  pengangkatan anak intercountry hanya upaya terakhir (Pasal 5).  Kewajiban orangtua angkat memberitahukan asal usul anak (Pasal 6 ayat 1).
  • 66. Jenis 66 Jenis Pengangkatan anak (Psl 7):  antar WNI.  antara WNI dengan WNA. Pengangkatan anak Antar WNI (Psl 8):  Berdasarkan adat kebiasaan dapat diajukan penetapan pengadilan.  Berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan penetapan pengadilan. Pengangkatan anak antara WNI dengan WNA (Psl 11 ayat 1):  Anak WNI oleh WNA.  Anak WNA di Indonesia oleh WNI.  Dilakukan dengan putusan pengadilan (Psl 11 ayat 2).
  • 67. Syarat-syarat Pengangkatan Anak 67  Syarat CAA (Psl 12 ayat 1): a. belum 18 tahun. b. merupakan anak terlantar atau diterlantarkan. c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan; dan d. memerlukan perlindungan khusus. Rentang usia (Psl 12 ayat 2): a. anak < 6 tahun  prioritas utama. b. 6 sd < 12 tahun  jika ada alasan mendesak. c.12 sd < 18 tahun  jika anak memerlukan perlindungan khusus
  • 68. Syarat-syarat COTA (Psl 13) a. sehat jasmani & rohani. b. umur 30 sd 55 tahun. c. beragama sama dengan CAA. d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum melakukan kejahatan. e. status menikah minimal 5 tahun. f. tidak merupakan pasangan sejenis. g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya 1 anak. h. mampu ekonomi dan sosial. i. memperoleh persetujuan anak dan ijin tertulis orangtua atau wali anak. j. membuat pernyataan tertulis bhw PA demi kepentingan terbai anak, kesejahteraan dan perlindungan anak. k. adanya laporan sosial dan peksos setempat. l. telah mengasuh CAA minimal 6 bulan sejak ijin pengasuhan. m. izin Menteri dan/atau Kepala instansi sosial. 68 (syarat material) (syarat formil)
  • 69. PA antar negara (intercountry adoption) 69  Syarat Pengangkatan anak WNI oleh WNA (Psl 14): a. memperoleh izin Pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan/perwakilan di Indonesia. b. izin tertulis Menteri. c. melalui lembaga pengasuhan anak.  Jadi, menurut PP No.54/2007:  Keabahan PA antar negara wajib dengan Ijin tertulis Mensos.  Setelah memperoleh ijin tertulis pemerintah negara pemohon/COTA.  Melalui lembaga pengasuhan anak.
  • 70. PA antar negara, dengan 2 tahap 70  Izin Pengasuhan Pertimbangan TIM PIPA  Izin tertulis Mensos  Putusan Pengadilan
  • 71. Syarat COTA intercountry adoption  a. memperoleh izin tertulis pemerinah negara asal pemohon.  b. Memperoleh izin tertulis Mensos; dan  c. Melalui lembaga pengasuhan anak  Selain syarat Psl 13, wajib memenuhi syarat: a. Telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 tahun. b. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan c. membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kpd Deplu RI melalui Perwakilan RI di LN. 71 Psl.14 PPNo.54/2007 Psl.17 PPNo.54/2007
  • 72. Pengangkatan Anak oleh orangtua tunggal 72  Pengangkatan anak oleh orangtua tunggal hanya dapat dilakukan WNI, setelah ada ijin Menteri (Psl 16 ayat 1).  Pemberian ijin Menteri atas pengangkatan anak orangtua tunggal dapat didelegasikan ke instansi sosial di propinsi (psl 16 ayat 2).
  • 73. 73  Untuk melaksanakan lebih lanjut PP No.54/2007 mengenai SYARAT-SYARAT PENGANGKAAN ANAK, diamanatkan membuat Peratran Menteri Sosial RI.  Syarat-syarat PA yang akan diaur lebih lanjut yakni:  Psl.12  syarat anak yang diangkat (CAA)  Psl.13  syarat COTA  Psl.14  syarat intercountry adoption  Psl.15  syarat pengangkapan anak WNA oeh WNI  Psl.16, dan  syarat pengangkatan anak orangtua tunggal dengan izin Mensos  Psl.17  syarat COTA untuk intercountry adoption.
  • 74. Tatacara 74  Antar WNI  Psl 19, 20 21.  Anak WNI oleh WNA  Psl 22, 23, 24, 25. Psl 19  PA menurut adat kebiasaan sesuai tatacara dalam masyarakat ybs. Psl 20 ayat 1  diajukan ke pengadian untu penetapan pengadilan. Psl 20 ayat 2  Pengadilan menyampaikan salinan penetapan. Psl 21 ayat 1  dapat angkat anak maksimal 2 kali, dgn jarak minimal 2 tahun. Psl 21 ayat 2  CAA = anak kembar, dilakukan sekaligus dgn kembarannya. Psl 22 ayat 1  anak WNI oleh WNI  dgn putusan pengadilan. Psl 22 ayat 2  Pengadian menyampaikan salinan putusan ke instansi terkait. Psl 23  anak WNA di Indonesia berlaku mutatis mutandis dgn Psl 22. Psl 24  anak WNI (yang lahir di wilayah Indonesia atau luar Indonesi) diangkat WNA yang berada di luar negeri, dilakukan dgn syarat Psl 12.
  • 75. Beberapa SEMA berkaitan Pengangkatan Anak 75  SEMA No.6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran No.2 Tahun 1979.  SEMANo.4 Tahun 1989 tentang Pengangkatan Anak  SEMA No.3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak  SEMA No.2 Tahun 2009 tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta Kelahiran.
  • 76. SEMA No.6 Thn.1983 ttg Penyempurnaan SEMA No.2 Thn.1979 76  PA antarnegara merupaka ultimum remidium.  PA antar WNI:  Private adoption diperbolehkan.  Single parent adoption diperbolehkan.  Harus dilampirkan surat izin tertulis Mensos bahwa yayasan tsb. diizinkan dalam pengangatan anak.  Ada izin Mensos untuk mengangkat CAA.
  • 77. 77  PA antar negara (intercountry):  Permohonan (voluntair) diajukan ke Pengadilan Negeri.  Pada domisili anak WNI yang akan diangkat (CAA)  Private adoption tidak dibolehkan.  Single parent adoption tidak dibolehkan.  Usia CAA belum 5 tahun.  Izin Mensos untuk mengakat CAA.
  • 78. Pemeriksaan Persidangan 78  PA antar negara  Pemeriksaan Persidangan:  Mendengar langsung:  COTA (suami & istri);  Orangua yang sah/wali yang sah/keluarganya;  Badan/Yayasan sosial yang mendapatkan izin Depsos;  Petugas/pejabat instansi sosial setempat;  CAA (bila menurut umurnya sdh mampu diajak bicara);  Petugas/Pejabat Imigrasi;  Kepolisian setempat.
  • 79. Putusan 79  Putusan dalam PA:  Permohonan pengesahan/pengangkatan anak antar WNI merupakan PENETAPAN.  Permohonan pengesahan/pengangkatan anak antar negara merupakan PUTUSAN.
  • 80. SEMA NO.4 Thn.1989 80  Menegaskan agar PN mengiriman salinan putusan kepada instansi :  Depsos,  Depkeh,  Dirjen Imigrasi,  Deplu,  Depkes,  Kejaksaan,  Kepolisian.  Dengan menambahkan Mahkamah Agung.
  • 81. SEMA NO.4 Thn.1989 81  Menambahkan adaya “Surat keterangan/Laporan Sosial atas dasar penelitian petgas/pejabat sosial setempat”.  Dalam memeriksa dan mengadili permoonan/pengesahan pengangkatan anak antar WNI (domestic adoption) yang diajukan langsung ke PN (private adopion), harus disertai “Surat keterangan/Laporan Sosial atas dasar penelitian petugas/pejabat sosial setempat”
  • 82. SEMA No.3 Thn.2005 82  SEMA mengingatkan Hakim memperhatikan sungguh-sungguh Psl 39 UU 23/2002.  PA hanya untuk kepentingan terbaik bagi anak.  COTA harus seagama dengan agama CAA.  PA antar negara hanya upaya terakhir (ultimum remidium).  Dalam rangka pengawan oleh MA, setiap salinan Penetapan/Putusan Pengangkatan Anak agar juga dikirimkan kepada :  Depsos, Dephukham cq Ditjen Imigrasi, Deplu, Depkes, Kejaksaan dan Kepolisian.
  • 83. SEMA No.2/2009 83  Penetapan Adopsi Harus Disertai Akta Kelahiran Anak [hukumonline.com, 18/4/09] Agar hubungan si anak tidak terputus sama sekali dengan orang tua biologisnya.  Mahkamah Agung (MA) menghimbau hakim-hakim yang akan mengeluarkan penetapan tentang pengangkatan anak alias adopsi untuk memperhatikan kelengkapan administrasi, khususnya akta kelahiran si anak.    Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 2009 tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta Kelahiran, yang merujuk pada perundang-undangan terbaru, yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan peraturan teknisnya, Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Catatan Sipil.  Pasal 87 ayat (2) Perpres tadi memang menyaratkan pencatatan pengangkatan anak dilakukan setelah pemohon memenuhi persyaratan, termasuk kutipan akta kelahiran.   MA melihat di lapangan masih ada pengadilan yang mengabulkan permohonan pengangkatan anak tanpa disertai akta kelahiran. Kalau ditelusuri lebih jauh, alasan serupa juga pernah dipakai MA untuk menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 1979 dan SEM No. 6 Tahun 1983.
  • 84. VI. Analisis & Refleksi Hukum 84 1. Pengangkatan anak strictly legal compliance, karena nya: (a) Ada implikasi hukum pidana perdagangan anak/orang. (b) Persyaratan dan tata cara harus jelas secara materil, administratif, dan proceduralf
  • 85. 85 2. Pengangkatan anak adalah peralihan “status” hukum dan pengalihan ‘kewajiban’ dan ‘tanggungjawab’ sebagai orangtua angkat;  Isu hukum, bukan sekadar aspek kesejahteraan social, apalagi hanya disederhanakan sebagai ‘belas kasihan’, ‘budi baik’;  Pengangkatan anak adalah ‘Peristiwa Penting’ dalam UU Adminduk;
  • 86. 86 3. Pengangkatan anak, khususnya intercountry adoption, dilakukan secara akumulatif dalam dua tahapan (a) Ijin Mensos, (b) Putusan Pengadilan;  Tidak boleh ‘sungsang’, harus sesuai sequencies;  Tidak boleh alternatif, tapi akumulatif;
  • 87. 87 4. Wewenang memberikan izin PA ada pada Mensos, selaku eksekutif yang berwenang dalam bidang kesra, bukan organ lain atau forum lain yang bernama Tim PIPA; 5. Tim PIPA hanya bersifat konsultatif forum, bukan ‘veto’, sehingga perlu diperjelas mekanisme forum pengambilan keputusan. Apakah keluarannya merupakan “keputusan” atau hanya “rekomendasi”.
  • 88. 88 6.Permensos hanya membatasi diri dalam urusan perizinan pengangkatan anak saja, karenanya tidak memasuki domein perosedur hukum acara yang merupakan domein Pengadilan; 7. Menghargai ‘Persetujuan Anak’ dan ‘Pernyataan COTA’, Akan lebih baik jika mensyaratkannya berkoordinasi/konsultasi dengan lembaga independen perlindungan anak (LPA). 8. Untuk memaksimalkan hasil pemeriksaan kelayakan sosial COTA, maka perlu ada mekanisme Case Conference atas Laporan Sosial.
  • 89. Beberapa Isu dalam Proses Pengangkatan Anak 89 1. Isu ‘perkawinan yang sah’. Hal ini mesti waspadai, karena de facto dikenal adanya ‘joint family unit’, ‘non documented married’, atau ‘kawin kontrak’, atau ‘kumpul kebo’. Ini berkaitan dengan konsep perkawinan, konsep keluarga, konsep absahnya perkawinan, dan jangka waktu/durasi usia perkawinan; 2. Orangtua, bukan ‘perkawinan pasangan sejenis’. Hukum nasional hanya mengakui perkawinan suami & istri (tidak sejenis) dalam suatu keluarga. Bagaimana dengan ‘eks pasangan sejenis’?
  • 90. 90 3. Kapan dan usia berapa ‘Persetujuan Anak’ ? Jika mengacu kepada ‘sesuai kematangan jiwa anak’, maka tidak eksplisit mengambilalih konsep ‘dewasa’ dlm KUHPerdata atau batas usia anak UU 23/2002. 4. Dalam membuat ‘Persetujuan Anak’ sebagai bentuk view of the child, mengacu kpd hak anak & prinsip KHA. Perlu dikembangkan menjadi ‘warning system’ dan pengawasan berlapis, sehingga semestinya dikonsultasikan dan diketahui oleh KPAI atau KPAID.
  • 91. 91 5. Memasang “warning” perihal intercountry adoption sebagai perbuatan hukum yang hanya “Ultimum Remidium”   6. Cermat mengenai batasan anak terlantar. Apakah anak dalam pengasuhan lembaga merupakan anak terlantar? Misalnya, anak korban perceraian atau anak yang yatim atau piatu atau yatim piatu, tidak secara absolut merupakan anak terlantar. Banyak anak yang orangtua bercerai berada dalam pengasuhan (hadhonah) yang layak dan tidak terlantar.
  • 92. 92 7. Untuk melindungi petugas/penyelenggara PA, perlu adanya klausula ‘Jaminan dan Pernyataan COTA’ yang menjamin dan menyatakan seluruh dokumen adalah benar dan sesuai dengan aslinya.   8. Mekanisme ‘Laporan Sosial’, dikembangkan dan diklarifikasi pembahasannya dalam ‘Case Conference’ agar diperoleh hasil yang cermat baik validitas administratif, data, kelengkapan data dan informasi.
  • 93. VII. PENUTUP 93  Untuk pengangkatan anak harus dilakukan dengan dasar hukum yang ketat, karena menangkut status hukum dan perbuatan hukum yang berimlikasi hukum bahkan adanya resiko hukum. Karena itu, kepatuhan hukum yang ketak merupakan keharusan.
  • 94. Wasalam 94 MUHAMMAD JONI, SH., MH.  Tim Ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia  Managing Partner Law Office Joni & Tanamas  Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia  www.advokatmuhammadjoni.com  www.jonitanamas.com  0818 190 292