Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar antigen, disebabkan oleh aktivasi sel T yang telah tersensitasi. Sel T yang teraktivasi melepaskan limfokin yang mengaktifkan sel efektor seperti makrofag untuk merusak sel target yang mengandung antigen. Reaksi ini dapat ditimbulkan oleh berbagai mikroorganisme dan merupakan mekanisme yang terlibat pada penyakit
Sistem imun tersusun atas sel-sel dan jaringan yang membentuk Imunitas, yaitu kekebalan tubuh terhadap infeksi atau penyakit.
Organisme penyebab penyakit (patogen) dapat masuk ke dalam tubuh dan memasuki jaringan atau sel-sel dalam tubuh. Jika kekebalan tubuh kita dapat dikalahkan oleh patogen, berarti tubuh kita mengalami sutu penyakit.
Power Point BIOLOGI bab "Sistem Imun"
Disusun oleh :
Eva Rahma Indriyani
Aini Ulin NA'mah
Asyharudin Hanif
Ilham Fajar SIdqi
MArtha Eka Dzulliyanti
SMA 2 KUDUS
Sistem imun tersusun atas sel-sel dan jaringan yang membentuk Imunitas, yaitu kekebalan tubuh terhadap infeksi atau penyakit.
Organisme penyebab penyakit (patogen) dapat masuk ke dalam tubuh dan memasuki jaringan atau sel-sel dalam tubuh. Jika kekebalan tubuh kita dapat dikalahkan oleh patogen, berarti tubuh kita mengalami sutu penyakit.
Power Point BIOLOGI bab "Sistem Imun"
Disusun oleh :
Eva Rahma Indriyani
Aini Ulin NA'mah
Asyharudin Hanif
Ilham Fajar SIdqi
MArtha Eka Dzulliyanti
SMA 2 KUDUS
Presentasi ini merupakan rangkuman dari Bab Sistem Imun dari buku The Human Body in Health and Illness 2nd Editiion yang ditulis oleh Barbara Herlihy, PhD, RN dan Nancy K. Maebius, PhD, RN
HOTOGEL - Situs Bandar Togel Terpercaya dan Toto Togel Hadiah Terbesar.pdfHOTOGEL
HOTOGEL merupakan situs bandar togel online resmi terpercaya yang mampu menyediakan bergam jenis pasaran togel terlengkap serta toto togel hadiah terbesar di Indonesia saat ini.
“tahap setelah analisa dari siklus pengembangan sistem yakni berupa pendefin...amallia7
“tahap setelah analisa dari siklus pengembangan sistem yakni berupa pendefinisian dari kebutuhan fungsional dan persiapan untuk rancang bangun implementasi, dan menggambarkan bagaimana suatu sistem dibentuk
1. II.4 Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI),
Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam
setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi
tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang
sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi
menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di
permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi
allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang
dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu,
bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam
tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini
menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau
jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman
(tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis,
histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis). Antigen ini mungkin
berhubungan atau telah diolah oleh sel makrofag dan bereaksi dengan reseptor di permukaan sel
limfosit yang pernah berkontak dengan antigen yang sama dan beredar sebagai sel memori.
Setelah berkontak dengan antigen, sel itu berubah menjadi blast cell dan mengalami mitosis
sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:
a. Macrophage inhibition factor (MIF)
Zat ini dapat mengalami migrasi sel makrofag in vitro serta mengubah morfologi dan sifat
sel itu menjadi sangat aktif. Zat ayng menyebabkan perubahan ini adalah Macrophage
Activation Factor (MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi lebih efektif untuk
mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa terjadi pada sel tumor
dimana sel makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakan Spesific Macrophage Arming
Factor (SMAF).
2. b. Monocyte chemotactic factor
Sel monosit akan bergerak ke arah dimana terdapat konsentrasi tinggi dari zat itu.
c. Skin reactive factor
Meninggikan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan eksudasi sel leukosit.
d. Faktor lain
Terdapat pula faktor yang merangsang mitosis pada sel limfosit netral yang bersifat sitotoksik
terhadap beberapa sel.
Untuk tipe IV diperlukan masa sensitasi selama 1 – 2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah
klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan terlebih
dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan rentetan reaksi yang menimbulkan
kelainan khas dari CMI.
II.4.1 Gambaran Histologi
Hipersensitivitas Tipe IV tidak dapat dipindahkan ke orang lain dengan menyuntikkan serum
yang mengandung antibodi. Yang diperlukan untuk pemindahan pasif adalah sel limfosit.
Suntikan intradermal suatu antigen kepada binatang atau orang yang sudah disensitasi tidak
menimbulkan reaksi sebelum 18 – 24 jam. Sekitar 18 – 24 jam, mulai terlihat eritem dan indurasi
(paling jelas terlihat 24 – 48 jam). Indurasi ini dapat dibedakan dari edem (yang berisikan cairan)
dan tidak menunjukkan pitting pada tekanan. Bila reaksi tersebut berat dapat terjadi nekrosis.
Biopsi menunjukkan adanya infiltrasi sel terutama sel mononuklier – makrofag dengan beberapa
limfosit. Kemudian terlihat gambaran yang lebih kompleks, sel B mulai nampak dan terbentuk
glanuloma (akumulasi makrofag). Indurasi yang keras disebabkan oleh penimbunan fibrin.
II.4.2 Mekanisme CMI
3. Mula-mula antigen dipresentasikan oleh APC tertentu kepada sel T4. IL-1 yang dilepas sel APC
akan mengaktifkan sel T. Sel T kemudian
II.4.3 Konsekuensi dari CMI
Seperti yang telah diketahui, banyak fungsi CMI dilakukan oleh makrofag yang diaktifkan. Pada
keadaan yang paling menguntungkan CMI
II.4.4 Mekanisme-mekanisme Efektor
a. Faktor penghambat migrasi makrofag (Macrophage Migration Inhibition Factor = MIF)
Migrasi aktif makrofaga-makrofaga dari suatu pembuluh kapiler dihambat bila MIF
terdapat cairan biakan jaringan. Sangat mungkin pada tingkat ini antigen atau ada atau tidak,
tetapi antigen spesifik terhadap MIF juga ditemukan meningkatkan kemungkinan spekulasi
yang diijinkan, ini merupakan reseptor sel-T spesifik yang dilepaskan akibat rangsangan
antigen dan kemudian dapat bekerja sama pada induksi sel- B. Agaknya situasi yang serupa
timbul jika sel-sel- T bereaksi dengan sel tumor pada sel-sel-T yang telah peka dan
melepaskan suatu faktor (faktor pada pembentukan makrofaga spesifik = specific macrophage
arming factor = SMAF) yang dapat menyokong makrofaga dengan daya seleksi pembunuh
tumor, masih belum diketahui. Selain itu, limfokin tertentu, faktor pengaktif makrofaga
(macrophage activating factor = MAF) menghasilkan perubahan morfologi yang jelas pada
makrofaga-makrofaga dan mengakibatkan metabolisme yang sangat aktif (angry), lebih giat
mematikan dan mencernakan bakteri.
b. Faktor Kemotaktik Monosit (Monocyte Chemotactic Factor = MCF)
Monosit-monosit akan bergerak melewati selaput-selaput Millipore ke arah faktor dengan
konsentrasi yang lebih tinggi.
c. Faktor penyebab reaksi kulit (Skin Reactive Factor)
Ini akan memulai eksudasi sel-sel jika disuntikkan dan dapat juga meningkatkan
permeabilitas kapiler.
4. d. Lain-lain aktivitas biologic (Other biological activities)
Faktor-faktor juga akan terlihat akan merangsang mitosis pada limfosit-limfosit bebas
(berhubungan dengan kerja sama sel-T) dan bersifat sitotoksik, atau sedikitnya menimbulkan
hambatan atau biakan sel tertentu. Keadaan sebelumnya menunjukkan adanya penggumpalan
trombosit dan adanya interferon (suatu perangsangan produksi interferon oleh makrofaga).
II.4.5 Sel-sel T-Sitotoksik
Suatu cangkokan dari suatu anggota species yang sama dengan genetic berbeda
(cangkokan alogenik) dapat menimbulkan satu populasi sel-sel-T pembunuh yang bersifat
sitotoksik untuk sel-sel target yang mengandung antigen-antigen donor yang sangat tidak sesuai
secara histologik. Tahap pertama dalam interaksi ini yang dapat diikuti invitro adalah
persenyawaan antara efektor dengan sel target melalui kemampuan mengenal antigen-antigen
cangkokan oleh reseptor-reseptor permukaan, tahap ini lepas dari pengaruh C++ dan peka
terhadap sitokalasin B. Dalam beberapa menit, suatu perubahan timbul pada sel target yang
mengarah pada sitolisa yang menetap, tahap ini dipengaruhi C++ dan tidak peka terhadap
sitokalasin B. Jadi dengan cara menggabungkan mereka tanpa C++ kemudian membiarkan proses
sitolisa terjadi dengan menambahkan C++ dan sitokalasin (yang menghambat pergerakan sel dan
mencegah ikatan dengan sel-sel target selanjutnya), secara teori setiap sel target hanya dapat
menghancurkan satu sel target. Sedemikian besar jumlah sel yang ikut pada spesifisitas
histokompabilitas utama memberikan kesan dan secara tidak langsung menyatakan bahwa ada
satu hubungan khusus antara sel-T dengan antigen-antigen tertentu. Dalam hubungan ini harus
diingat bahwa penyerangan yang efektif hanya terjadi bila sel-sel T telah peka terhadap antigen-
antigen histokompabilitas utama atau suatu determinan (penentu) misalnya virus yang dikenal
dalam hubungan dengan antigen-antigen ini.
II.4.6 Hubungan dengan Produksi Antibodi
Dulu seringkali sensisitivitas lambat dianggap sebagai suatu tahap penting dalam proses
pembentukan antibodi. Sekarang kita ketahui bahwa hal tersebut tidaklah betul-betul demikian.
Polisakarida pneumokokus pada tikus merangsang pembentukan antibodi tetapi bukan CMI.
Penyuntikan antigen-antigen tertentu dalam bentuk larutan diikuti antigen dalam adjuvan Freund
5. secara efektif akan sedikit lebih lebih menekan kekebalan selular bila dibandingkan dengan
penekanan terhadap kekebalan humoralm (penyimpangan kekebalan).
Terakhir, orang-orang yang tidak punya sel-T tetap dapat membentuk antibodi meskipun kadang-
kadang kurang efektif. Jelas ada hubungannya, tetapi walaupun demikian, dalam kerjasama
antara sel-B dan sel-T, dan jika ada sebagian sel-T lain dapat member reaksi CMI dan penolong-
T terangsang oleh antigen yang diberikan maka dengan demikian tidak akan diperlukan lagi
produksi antibodi melalui sel-T dalam hubungannya dengan reaksi CMI tadi. Jadi penemuan
mengenai hipersensitivitas perantara sel pada penderita-penderita alergi atopik mungkin
menggambarkan fakta bahwa antibodi IgE terhadap serbuk sari tumbuh-tumbuhan dan lain-lain
alergen hanya akan terbentuk jika jumlah sel-T yang sesuai dan peka mencukupi untuk kerja
sama. Peningkatan produksi antibodi terhadap antigen-antigen protein yang tercampur dengan
adjuvan Freund lengkap sebagian disebabkan oleh efek antigen yang terkumpul, tetapi juga
sebagai akibat dari rangsangan sel-T yang kuat yang akan menaikkan baik kerjasama sel-T dan
perkembangan hipersensitivitas tipe lambat.
II.4.7 Jenis-jenis Reaksi Hipersensitivitas tipe IV
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:
1. Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya
ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap
siklofosfamid.
Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH) merupakan bentuk CMI yang
tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal yang
berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa
indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil.
Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui.
6. Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang berat di tempat tungau
menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang farmakologik aktif dari granulanya
yang dapat mematikan dan melepaskan tungau tersebut.
Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan allergen seperti poison
ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas
menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan dalam penyakit hipersensitivitas.
2. Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak
Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat
kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi
epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada
reaksi ini.
Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi
sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang
dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru.
Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka
karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil klorida dan
kromat.
Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T yang mampu mengenal antigen
tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain
yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini
menimbulkan dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.
3. Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan
terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier
(50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah
besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam
7. beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan. Dilain hal
terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI.
Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh karena
CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4. Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila
keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan
sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
Dalam inflamasi kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting sebagai
berikut:
1. Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.
2. Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin.
3. Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin.
Gambaran morfologis dari respon tersebut dapat berupa pembentukan granuloma (agregat
fagosit mononuklier yang dikelilingi limfosit dan sel plasma). Fagosit terdiri atas monosit
yang baru dikerahkan serta sedikit dari makrofag yang sudah ada dalam jaringan.
Reaksi granulomata merupakan reaksi tipe IV yang paling penting karena menimbulkan
banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam
makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau
kompleks imun yang menetap, misalnya pada alveolitis alergik.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten
dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkolin merupakan respon imun seluler yang terbatas.
Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi oleh antigen mikroorganisme yang sama,
8. misalnya M. Tuberculosis dan M. Leprae. Granuloma juga terjadi pada hipersensitivitas
terhadap zarkonium, sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak
(talkum). Dalam hal-hal tersebut makrofag tidak dapat memusnahkan benda anorganik.
Granuloma non-immunologic dapat dibedakan dari yang immunologic, karena yang pertama
tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga
berasal dari sel-sel makrofag dan sel datia Langhans (jangan dikaburkan dengan sel
Langerhans yang telah dibicarakan).
Granuloma immunologic ditandai dengan inti yang terdiri atas sel epiteloid dan makrofag.
Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau timbunan serat kolagen yang terjadi akibat
proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen.