2. Konflik dan kekerasan di Maluku
Penyelesaian dan pendekatan pengelolaan Pengantar Konflik kekerasan di Maluku yang
sebagian besar terkonsentrasi di Ambon, adalah salah satu konflik yang paling dahsyat yang pecah setelah
kejatuhan rezim Soeharto. Konflik tersebut merenggut hampir 5.000 nyawa dari tahun 1999 sampai 2002 dan
mengungsikan sepertiga dari penduduk Maluku dan Maluku Utara.16 Sebelum pecahnya konflik komunal agama
di kota Ambon, ada beberapa pertempuran antar-agama di beberapa daerah lain di Indonesia.
Pada November 1998, kerusuhan pecah di Ketapang, Jakarta Utara, antara preman Ambon Kristen, dan Muslim.
Dilaporkan setelah kerusuhan, hampir 200 preman Ambon dikirim kembali ke Maluku oleh TNI AL Indonesia.
Menurut para saksi di Ambon, preman tersebut bertindak sebagai provokator pada pecahnya kekerasan untuk
pertama kalinya.17 Pada Desember 1998, di beberapa daerah di Ambon, perkelahian dan serangan pembakaran.
3. GEJALA DI INTEGRASI
Konflik di Maluku sering digambarkan sebagai permusuhan lama antara umat Muslim dan
Kristen, walaupun kenyataannya lebih kompleks. Akibat keterlibatan Eropa dalam perdagangan
rempah pada abad ke-16, hampir sekitar setengah dari penduduk Maluku sekarang adalah orang
Kristen (50.2 persen menurut sensus tahun 2000); dibandingkan wilayah lain di Indonesia di mana 88
persen penduduknya adalah muslim.
Terjadi antara desa Kristen dan Muslim, seringkali dipicu oleh TNI. Pada 14 Januari 1999,
terjadi kerusuhan antara umat Kristen dan Muslim di Dobo di tenggara Maluku. Hal yang paling sering
disebut sebagai pemicu konflik di Ambon adalah peristiwa pada 19 Januari 1999 selama liburan hari
raya Muslim, Idul Fitri. Sebuah perselisihan kecil terjadi antara seorang pemuda Kristen dari Mardika,
kabupaten di kota Ambon, dengan seorang pemuda Muslim dari Batumerah, sebuah desa di sebelah
Mardika. Desas – desus yang memperburuk perpecahan yang sudah ada antara komunitas Kristen
dan Muslim dimulai, mempengaruhi desa – desa disekelilingnya ke dalam kekerasan.
4. LANJUUUUUUTAAAAAANN........
Pada awalnya, perkelahian hanya terjadi antara orang Kristen
Ambon dan pendatang Muslim dari Sulawesi Selatan (Bugis, Buton dan
Makassar), dengan masing – masing meluncurkan serangan mendadak
terhadap yang lain.18 Pendorong konflik Konflik di Maluku sering digambarkan
sebagai permusuhan lama antara umat Muslim dan Kristen, walaupun
kenyataannya lebih kompleks. Akibat keterlibatan Eropa dalam perdagangan
rempah pada abad ke-16, hampir sekitar setengah dari penduduk Maluku
sekarang adalah orang Kristen (50.2 persen menurut sensus tahun 2000);
dibandingkan wilayah lain di Indonesia di mana 88 persen pendudukan.
5. PUNCAK KONFLIK
Lebih dari 300 tahun penjajahan Belanda membagi masyarakat Maluku menurut garis agama, secara geografis dan
sosial.19 Praktek – praktek tradisional diperkirakan telah meredam ketegangan antara pihak Kristen dan Muslim dalam kondisi
yang stabil sampai pada1970-an.20 ‘Pela – Gandong’, sebuah sistem aliansi desa yang unik di Maluku Pusat, mengikat desa –
desa Kristen dan Muslim bersama – sama dan memainkan peran penting dalam hubungan sosial tradisional dan pengalaman
identitas budaya. Maluku mengalami banyak perubahan sosial selama kepemerintahan Soeharto. Hubungan damai antara
Kristen dan Muslim yang terlihat hanyalah lapisan luarnya saja. Penjajahan Belanda mengakibatkan orang Kristen diberi akses
yang lebih besar dalam pendidikan dan posisi politik, sedangkan Muslim menjadi mayoritas pedagang dan pebisnis.
Ketidakmampuan pemerintah untuk menangani konflik menyebabkan kebangkitan Front Kedaulatan Maluku (FKM) pada
2000, sebuah gerakan yang mengangkat warisan Republik Rakyat Maluku (RMS). RMS dibentuk 1950 dan mengadvokasi kaum
separatis dari negara yang didominasi Muslim.25 RMS kemudian dianggap sebagai gerakan Kristen yang memperburuk
dinamika konflik antar agama.
6. AKIBAT DARI PERMASALAHAN KASUS
Pada fase awal konflik, target kekerasan adalah pendatang Muslim dari Bugis, Buton
dan Makassar, sebuah kelompok yang posisinya yang dominan dalam pasar kerja dan
sektor tenaga kerja informal (contohnya pedagang pasar) menimbulkan kebencian.
Setelah eksodus besar – besaran dari para pendatang, konflik menyebar ke wilayah lain
Maluku dan menjadi lebih jelas mengenai keagamaan. Konflik yang pecah diperparah
oleh desas – desus sekitar simbol keagamaan seperti serangan terhadap mesjid dan
gereja.
Perempuan dan anak – anak juga terlibat dalam kekerasan, dengan cepat belajar
membuat tombak, parang, panah dan bom 21.
7. PENYELESAIAN KONFLIK
Sebelum kedatangan bantuan darurat dari pemerintah pusat dan badan – badan internasional ke Ambon,
masyarakat lokal sangat bergantung kepada lembaga – lembaga keagamaan untuk mendapat bantuan. Seperti
yang dikatakan oleh seorang penduduk Warigin di kota Ambon: “Kami menolong dan mendukung satu sama
lain dengan membagi persediaan makanan dan kebutuhan pokok lainnya, dan menerima pengungsi di rumah
kami. Tidak ada seorangpun yang menolong kami untuk waktu yang lama. Kami bertahan hidup sendiri sampai
bantuan darurat datang.”42 Di antara masyarakat Kristen, gereja – gereja berfungsi sebagai pusat distribusi
untuk bantuan darurat.43 Bantuan dalam masyarakat Muslim kurang teratur, dengan mesjid – mesjid yang
hanya berfungsi sebagai tempat penampungan bagi umat Muslim.
Pada fase konflik ini, ‘damai’ dianggap sebagai kata yang tabu dalam banyak komunitas. Mereka yang
berbicara tentang ‘damai’ seringkali diperlakukan sebagai musuh, membatasi kemampuan mereka untuk
memulai proses perdamaian.