Contoh PPT Seminar Proposal Teknik Informatika.pptx
Perubahan Sosoial Pada Masyarakat Bajo Wakatobi
1. 1
“Potret Perubahan Sosial Pada Masyarakat Suku Bajo di
Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara”
Oleh : Muhammad Mardhan
NIM : 17/422835/PSP/06324 / Email : ivanirman@gmail.com
A. Latar Belakang
Indonesia di mata dunia, selain sebagai negara kepulauan, juga terkenal sebagai
negara maritim. Pandangan ini tidak hanya didasarkan pada aspek sejarah yang merujuk pada
masa kejayaan kerajaan-kerajaan maritim nusantara, tetapi juga merujuk pada aspek teritorial
dimana Indonesia memiliki wilayah laut 5,8 juta km² atau sekitar (±70%) dari luas total
wilayahnya. Hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya masyarakat Indonesia yang
tinggal di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dari laut serta membentuk
kebudayaan maritim.
Salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki budaya martim yang kental, yang
melekat dalam setiap sendi kehidupannya adalah suku Bajo (Bajau). Dalam beberapa literatur
disebutkan bahwa dengan menggunakan perahu-perahunya, suku ini telah hidup bebas
mengembara di atas lautan selama berabad-abad lamanya (Kazufumi, n.d). Kehidupan Suku
Bajo yang bertumpu pada laut menjadikan suku ini dikenal sebagai pengembara laut (sea
nomads) atau dalam beberapa literatur disebut juga sebagai manusia perahu (sea gypsi).
Tradisi hidup nomaden (berpindah-pindah) yang melekat dalam kebudayaan suku
Bajo turut mempengaruhi persebaran suku ini di berbagai wilayah. Hal itu misalnya dapat
dilihat dari beberapa penemuan yang mengungkapkan jejak Suku Bajo di berbagai negara
seperti Malaysia, Filipina, dan Australia. Berdasarkan data sensus penduduk pada tahun
2000, estimasi total populasi Suku Bajo di Asia Tenggara adalah sekitar 1,077,020 jiwa, di
mana 570,857 jiwa tersebar di wilayah Filipina, 347,193 jiwa tersebar di Malaysia, dan
158,970 tersebar di wilayah Indonesia (Kazufumi,2013).
Namun seiring dengan perkembangan zaman yang terjadi di dunia saat ini, kehidupan
masyarakat dunia pada umumnya juga telah banyak berubah. Hal itu tidak terkecuali bagi
suku Bajo yang selama berabad-abad hidup secara nomaden di atas laut. Kini kebanyakan
dari suku Bajo lebih memilih tinggal menetap, terutama di wilayah pesisir pantai. Secara
umum, menurut Soekanto (2012), perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai
2. 2
nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga
kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi
sosial dan lain sebagainya.
Salah satu populasi terbesar suku Bajo yang telah menetap berada di Kabupaten
Wakatobi, Sulawesi Tenggara dengan jumlah penduduk lebih dari 10.000 jiwa (dapat dilihat
pada gambar.1). Kabupaten Wakatobi sendiri merupakan akronim dari nama 4 (empat) pulau
utamanya, yaitu Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Jika ditinjau dari segi
geografinya, daerah ini merupakan penghubung dan salapanga (persilangan) antara daerah-
daerah di sekitarnya, dan telah terintegrasi ke dalam jaringan pelayaran dan perdagangan
maritim nusantara bahkan Asia Tenggara sejak ratusan tahun silam.
Saat membangun sebuah komunitas baru, biasanya masyarakat Bajo berlabuh di satu
pantai lebih dahulu. Lama kelamaan mereka menimbun pantai dengan batu-batu dan
kemudian mulai mendirikan pancang-pancang rumah panggung untuk ditinggali. Isi sebuah
rumah suku Bajo terdiri beberapa anggota keluarga inti, dan pada umumnya menjadi sebuah
keluarga luas yang terdiri dari ipar, sepupu, dan lain-lain1
.
Gambar.1 Peta Persebaran pemukiman suku Bajo di Indonesia tahun 2000, persebaran
Suku Bajo di Kabupaten Wakatobi (Kazufumi,2013)
1
Suryanegara,dkk. Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo: Studi Kasus Di Kepulauan Wakatobi,
Sulawesi Tenggara, Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015, hlm.68.
3. 3
Seiring meningkatnya jumlah suku Bajo yang mendirikan rumah di tepian pantai dan
mulai menetap, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di perahu-perahu kayu
pun mulai berkurang. Hal ini merupakan suatu realitas baru, dimana perkembangan ini
membawa perubahan-perubahan sosiokultural pada kehidupan masyarakat Suku Bajo yang
sebelumnya tinggal dan menggantungkan hidupnya di atas laut.
Menurut Sztompka, konsep dasar perubahan sosial mencangkup tiga gagasan: (1)
perbedaan; (2) pada waktu yang berbeda; dan (3) di antara keadaan sistem sosial yang sama.2
Lebih lanjut menurut Sztompka, perubahan sosial dapat digolongkan ke beberapa jenis,
tergantung pada sudut pengamatan: baik itu dari sudut aspek, fragmen, atau dimensi sistem
sosialnya. Hal itu menurut Stompka dikarenakan keadaan sistem sosial itu tidak sederhana,
tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil
keadaan berbagai komponen seperti berikut ...
1. Unsur-unsur pokok (misalnya: jumlah dan jenis induvidu, serta tindakan mereka)
2. Hubungan antarunsur (misalnya: ikatan sosial, loyalitas, ketergantungan, hubungan
anatarinduvidu, integrasi).
3. Berfungsinya unsur-unsur dalam sistem (misalnya: peran pekerja induvidu atau
diperlukannya tindakan tertentu untuk melestarikan ketertiban sosial)
4. Pemeliharaan batas (misalnya: penentuan kriteria anggota sistem, syarat penerimaan
induvidu dalam kelompok, prisnsip rekrutmen dalam organisasi dan sebagainya).
5. Subsistem (misalnya; jumlah dan jenis seksi, segmen, atau devisi khusus yang dapat
dibedakan)
6. Lingkungan (misalnya: keadaan alam atau lokasi geopolitik)3
.
Berdasarkan penjelasan latar belakang di atas, maka penulisan paper ini bertujuan untuk
mengidentifikasi serta menginterpretasikan perubahan sosial pada aspek-aspek apa saja yang
terjadi pada kehidupan suku Bajo? Lalu, bagaimana dampak perubahan tersebut bagi
kesejahteraan masyarakat suku Bajo di Kabupaten Wakatobi.
2
Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta:Prenada,2007), hlm. 3.
3
Ibid.
4. 4
B. Pembahasan
Konsepsi Tentang Proses Perubahan Sosial
Dalam melihat perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat, sosiologi menawarkan
sebuah konsep pemikiran yang dikenal dengan istilah “proses sosial”. Mengenai hal itu,
Pitirim Sorokin (1889-1668) dalam Stompka menjelaskan bahwa “proses sosial adalah setiap
perubahan subjek tertentu dalam perjalanan waktu, entah itu perubahan tempatnya dalam
ruang, atau modifikasi kuantitatif atau kualitatifnya (1937, vol.1 :153)”.
Dalam sosiologi, khususnya pada studi perubahan sosial, proses sosial secara khusus dibagi
menjadi dua bagian: Pertama adalah perkembangan sosial yang menjelaskan tentang
perkembangan potensi yang terkandung di dalam sistem sosial. Lalu yang kedua adalah
peredaran sosial yang menempatkan proses sosial tidak lagi menuju ke arah tertentu, namun
juga tidak serampangan4
.
Lebih lanjut Sztompka (2004:18) menjelaskan hal penting yang perlu diperhatikan dalam
semua perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah kesadaran mengenai
perubahan itu sendiri di pihak orang yang terlibat, terutama kesadaran mengenai hasil yang
ditimbulkan oleh proses sosial itu. Dengan memasukkan faktor subjektif ke dalam tipologi
diatas, dapat dibedakan tiga jenis perubahan sebagai tipologi tambahan. Perbedaan ini
mengabaikan tipologi sebelumnya dan dapat diperlakukan sebagai subkategori dari proses
morphogenesis atau reproduksi atau transformasi .
1. Proses sosial itu mungkin disadari, diduga dan diharapkan. Dengan menggunakan istilah
Merton (1968:73) proses ini dapat disebut “proses yang nampak/kentara” (manifest).
2. Proses sosial itu mungkin tak disadari, tak diduga dan tak diharapkan. Dengan mengikuti
Merton, dapat disebut “proses laten”. Dalam hal ini perubahan itu sendiri dan hasilnya
muncul secara mengagetkan dan tergantung pada penerimaan atau penolakannya.
3. Orang mungkin menyadari proses sosial yang terjadi. Menduga arahnya dan
mengharapkan dampak khususnya namun semua dugaan itu ternyata keliru sama sekali.
Proses sosial yang terjadi justru berlawanan dengan harapan mereka dan menimbulkan hasil
yang sama sekali berlainan atau berlawanan dengan yang diharapkan semula.
4
Ibid., hlm.7.
5. 5
Dalam melihat fenomena yang terjadi pada masyarakat suku Bajo di Wakatobi, dapat
dikatakan terdapat perubahan signifikan dalam beberapa aspek kehidupan suku Bajo jika
dibandingkan dengan kehidupan mereka sebelumnya. Seperti yang telah dijelaskan oleh
Buckley dalam Sztompka (2004:16-17) proses sosial dapat menciptakan dan menghasilkan
perubahan mendasar. Proses morphogenesis ditemukan di semua prestasi peradaban,
teknologi, kultur dan struktur sosial kehidupan manusia mulai dari masyarakat primitif purba
hingga tingkat masyarakat industri modern.
Proses morphogenesis harus dibedakan dari proses sosial yang hanya menghasilkan
perubahan yang kurang radikal dan tanpa perubahan mendasar. Diantaranya ada yang tak
menghasilkan perubahan sama sekali; lainnya ada yang hanya menghasilkan perubahan
terbatas, perombakan ulang atau pembentukan ulang tatanan sosial yang sudah ada. Proses
yang tak menghasilkan perubahan sama sekali itu, yang dikenal pula sebagai proses
“reproduksi sederhana” (atau sebagai proses penggantian, penyesuaian, menyeimbangkan
atau melestarikan) menghasilkan penerimaan kondisi yang sudah ada, mempertahankan
statud quo serta menjaga kelangsungan hidup masyarakat dalam bentuk yang sama sekali tak
berubah (Sztompka,2004:16-17).
Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Pada Suku Bajo
Perubahan pola pemukiman dan penghidupan dari laut ke darat telah menyebabkan orang
Bajo mengalami sejumlah perubahan di berbagai aspek kehidupannya. Beberapa diantara
bentuk perubahan itu dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Perubahan Aspek Kebudayaan
Menetapnya Suku Bajo di wilayah pesisir menyebabkan terjadinya interaksi yang
lebih intensif dengan orang darat. Kehidupan di darat pada akhirnya melahirkan
pergeseran kebudayaan bagi suku Bajo. Berdasarkan unilinear theories of evolution
dalam Soekanto (2012), disebutkan bahwa manusia dan masyarakat (termasuk
kebudayaannya) mengalami perkembangan sesuai dengan tahap-tahap tertentu,
bermula dari bentuk yang sederhana, kemudian bentuk yang lebih kompleks sampai
pada tahap yang sempurna.
Berbeda dengan pandangan evolusi unilinear, Steward (1955) dalam Sztompka
berpendapat bahwa kultur masyarakat sangat berbeda-beda dan perkembangannya
tidak melalui tahap unilinear. Bagi Steward, kultur dilihat sebagai satu kesatuan yang
6. 6
mempunyai ciri-ciri berlainan yang ditemukan di berbagai lingukungan ekologis.
Dengan kata lain kultur mendapat bentuk yang berbeda karena adaptasi dengan
kondisi lingkungan yang berbeda5
.
Hal inilah yang sedang terjadi pada masyarakat Bajo yang berada di Kepulauan
Wakatobi, cara hidup tradisional budaya maritim mereka yang sederhana perlahan
mulai berubah mengikuti budaya masyarakat daratan yang lebih modern. Jika diamati,
maka kehidupan suku Bajo dalam kasus ini jelas bertolak dengan nilai-nilai kultural
yang terdapat pada masyarakat suku Bajo tradisional, dimana terdapat istilah “piddi
tikkolo‟na lamong„nggai makale le goya‟ yang berarti kehidupan suku Bajo tidak
dapat dipisahkan dengan gemuruh ombak.
b. Perubahan Kegiatan Ekomi (Mata Pencaharian)
Untuk menghidupi kebutahannya sehari-hari, dulunya suku Bajo hanya mengandalkan
keahliannya dalam berburu hasil laut. Suku Bajo dikenal sebagai penyelam ulung,
mereka mampu selama berjam-jam menyelam sedalam 10-20 meter untuk berburu
ikan dengan peralatan atau senjata tradisional. Berbeda dengan sekarang dimana
aktivitas melaut dilakukan dengan menggunakan peralatan modern yang lebih efektiv
dan efesien penggunaannya. Bentuk modernisasi sistem perikanan ini misalnya
berupa perubahan perkakas kerja dari perahu dayung/layar menjadi teknologi baru
berupa perahu motor tempel yang menggunakan mesin.
Hal ini nampaknya sejalan dengan pandangan Lewis Morgan6
dalam Sztompka yang
mengganggap bahwa perubahan teknologi akan menghasilkan perubahan ciri
masyarakat, mempengaruhi bentuk kehidupan keluarga, pola kehidupan ekonomi,
politik, nilai kultural, dan kehidupan sehari-hari7
.
Namun meskipun demikian, suku Bajo juga tetap menjaga memegang teguh kearifan
lokalnya dalam mengelola sumber daya kelautan. Mereka memiliki suatu komitmen
dalam hal penangkapan ikan, salah satunya misal, mereka hanya memilih ikan yang
usianya sudah matang untuk dikonsumsi. Dalam hal ini mereka tidak menangkap ikan
yang masih kecil agar terjaga keberlanjutannya. Suku Bajo juga paham akan musim
5
Ibid.,hlm. 135.
6
Leweis Morgan adalah salah satu tokoh evolusionisme sosiologis yang memperkenalkan gagasan tentang
evolusi materialis yang memusatkan perhatiannya pada bidang teknologi. Oleh sebabnya, ia dikenal juga
sebagai pencetus paham determinisme teknologi.
7
Sztompka, op.cit., hlm.121
7. 7
bertelur masing-masing jenis ikan sehingga ikan yang akan bertelur tidak akan
terambil. Hal ini tercermin pada motto yang dianut oleh Suku Bajo yaitu “lao
denakangku” yang berarti lautan adalah saudaraku. Suku Bajo percaya bahwa dengan
menjaga lautan, maka lautan juga akan menjaga mereka.
Selain menangkap ikan, mereka juga mencari kerang mutiara dan juga
mengumpulkan rumput laut, teripang, dan sirip ikan hiu yang memiliki harga cukup
tinggi. Hasil laut tersebut nantinya dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau
terdekat. Pola seperti ini sama sekali berbeda dengan apa yang ada pada suku Bajo
nomaden. Dulu, suku Bajo hanya memanfaatkan hasil laut untuk konsumsi rumah
tangga. Orang-orang Bajo menganggap bahwa apa yang didapat hari ini, juga
dihabiskan hari ini. Ini karena bagi mereka kehidupan penuh dengan ketidakpastian.
Bagi mereka, menyimpan sesuatu, apalagi uang, dan akan diupayakan kembali tidak
dihiraukan. Orientasi mereka bukan pada masa depan melainkan pada masa kini8
.
Kini suku Bajo tidak lagi sepenuhnya tergantung pada hasil laut, hal itu dibuktikan
dengan banyaknya dari suku Bajo yang mulai melepas pekerjaan sebagai pelaut dan
mulai beralih ke pekerjaan perkantoran, atau menjadi pedagang,dsb.
c. Perubahan Interaksi Sosial
Setelah suku Bajo menetap di darat, menyebabkan interaksi mereka terhadap
masyarakat non Bajo atau suku lainnya di daratan semakin intensif. Sebelumnya,
orang Bajo atau suku Bajo cenderung dinilai “negatif” oleh orang darat (bagai),
sehingga kadang-kadang mereka dilecehkan. Status sosial sebagai “masyarakat
terisolir” melekat pada suku Bajo.
Sebelum tinggal menetap di daratan, interaksi suku Bajo dengan orang daratan
awalnya terbilang cukup terbatas. Hubungan keduanya hanya berlangsung saat kontak
dagang dilakukan. Kontak dagang itu berupa pertukaran hasil tangkapan atau sistem
selo (barter) antara orang bajo dengan orang darat (bagai), dan interaksi itu hanya
berlangsung di tengah laut. Pada perkembangan selanjutnya, orang Bajo mulai
mengembangkan hubungan ekonomi dengan orang-orang yang berada di sekitar
tempat mereka menetap, lalu mulai menjangkau aktivitas perdagangan di pasar, baik
untuk kepentingan menjual hasil tangkapannya maupun untuk memenuhi berbagai
8
Wianti Nur, Kapitalisme Lokal Suku Bajo, (Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor :2011), hlm.70.
8. 8
kebutuhannya. Interaksi sosial juga tercermin pada ritual keagamaan anatara
masyarakat Bajo dan orang darat (bagai) di mana ketika ada acara-acara keagamaan
orang Bajo selalu mengundang orang darat begitu pula sebaliknya.
C. Kesimpulan
Perubahan sosial merupakan suatu proses terkait dengan keseluruhan dari aspek
kehidupan masyarakat dan multidimensi. Transformasi ekonomi, kultural, sosial-politik,
pendidikan, bidang teknologi, dan interaksi sosial pada masyarakat merupakan bagian-bagian
dari proses perubahan sosial. Sebagaimana yang telah di jelaskan di atas mengenai perubahan
sosial pada masyarakat suku Bajo di Wakatobi. Oleh sebab itu, dari apa yang telah dijelaskan
sebelumnya mengenai masyarakat suku Bajo dapat disimpulkan beberapa hal :
Pertama, secara umum bentuk-bentuk perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat suku
Bajo di Wakatobi mencangkup tiga aspek, yakni:
1. Perubahan sistem ekonomi (corak produksi)
2. Perubahan pada aspek kebudayaan
3. Perubahan interaksi sosial yang terjadi pada komunitas Bajo di Kepulauan Wakatobi.
Kedua, perubahan yang berlangsung pada suku Bajo di Wakatobi pada dasarnya bukan
merupakan perubahan yang terencana, namun lebih merujuk pada perubahan-perubahan
adaptatif yang datang secara mendadak akibat desakan-desakan dari luar (globalisasi) dan
iklim yang berubah (sumber daya laut yang mulai berkurang). Perubahan itu pada akhirnya
semakin nampak saat suku Bajo telah tinggal menetap di daratan dan secara perlahan
mengalami akultrasi dengan orang darat (bagai).
Terakhir, perubahan yang berlangsung pada suku Bajo juga berkaitan dengan kesejahteraan
suku Bajo itu sendiri. Hal ini tergambar jelas pada aktivitas perekonomian suku Bajo dimana
mereka tidak lagi mencari hasil laut sebatas untuk konsumsi rumah tangga, tetapi juga untuk
dijadikan komoditas yang dijual di pasar. Bahkan sebagian dari mereka telah tergolong
sukses dalam memainkan perdagangan hasil laut di pasar Wakatobi.
9. 9
Daftar Pustaka
Sztompka, Piotr. 2004, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada
Suryanegara, dkk.2015, Perubahan Sosial Pada Kehidupan Suku Bajo : Studi Kasus di
Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Majalah Globe Volume 17 No. 1Juni 2015: 067 -
078
Ritzer,Goerge dan Goodman.2004, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Bantul: Kreasi Wacana
Ritzer,Goerge.2012, Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Wianti, Isiyana.,2011 Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Nelayan Bajo Mola dan
Mantigola Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara).Desertasi IPB,Bogor.