SlideShare a Scribd company logo
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
i
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
ii
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:
1.	 Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu
ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1.	 Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2.	 Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
iii
Memasak
Nasi Goreng
tanpa Nasi:
Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
Bandung Mawardi
Endiq Anang P.
Ita Siregar
M. Irfan Zamzami
Martin Suryajaya
Sulaiman Djaya
Sunlie Thomas Alexander
Penyunting:
Dini Andarnuswari
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
iv
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI
Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
© Bandung Mawardi • Endiq Anang P. • Ita Siregar • M. Irfan Zamzami • Martin Suryajaya •
Sulaiman Djaya • Sunlie Thomas Alexander
Cetakan Pertama, Desember 2014
Penyunting
Dini Andarnuswari
Proofreader
Kurnia Midiasih
Perancang Sampul
Riosadja
Penata Letak
Heru Firdaus
ISBN
978-979-1219-04-4
Dewan Kesenian Jakarta
Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta 10330
Telp. 021.31937639 • www.dkj.or.id
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
v
DAFTAR ISI
Daftar Isi	 	 v
Kata Pengantar	 vii
Esai
Antara Pascamodernitas dan Pramodernitas:
Telaah Intrinsik atas Novel Bilangan Fu
	 1
Membedah Kaki Kelima Nirwan
(Membongkar Ideologi Nirwan Dewanto dalam Buli-Buli Lima Kaki)
	 27
Polarisasi Barat dan Timur dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori,
Sebuah Perspektif Poskolonialisme
	 61
Novel dan Referensi Sastra
	 83
Puisi Meng­­amanatkan Sejarah	
	 117
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
vi
Narasi Kuliner dan Problem Identitas:
Membaca Konde Penyair Han
	 145
Perempuan yang Dihapus Namanya oleh Avianti Armand
	 170
Dari Isidora ke Jalan Lain ke Belinyu, Meneroka Arsitektur Kisah
“Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai” Karya Raudal Tanjung
Banua
	 193
Biodata
Bandung Mawardi 	 234
Endhiq Anang P.	 235
Ita Siregar	 236
Martin Suryajaya 	 237
M. Irfan Zamzami 	 238
Sulaiman Djaya 	 239
Sunlie Thomas Alexander	 240
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
vii
KATA PENGANTAR
HAMPIR setahun yang lalu, pada 17 Desember 2013,
saya, AS Laksana, Zen Hae, Eka Kurniawan dan Yusi
Avianto Pareanom diundang oleh sebuah majalah di
Jakarta untuk mendiskusikan perkembangan sastra
Indonesia kontemporer dalam 10 tahun terakhir.
Kami menyambut gembira undangan itu, karena
kami jarang sekali dapat bertemu dan berbincang di
sebuah kesempatan dengan topik yang sering kami
pikirkan selama ini.
Kami sepakat menganggap perkembangannya
cukup menarik. Hal itu ternyata tidak lepas dari peran
industri perbukuan dalam negeri yang mengalami
masa cerahnya pasca krisis moneter dan berakhirnya
pemerintahan Suharto. Industri pasti membutuhkan
barang untuk diproduksi. Peran internet pun
tidak dapat dipungkiri. Media internet yang para
penggunanya dulu terbatas pada orang-orang bisnis
atau kalangan aktivis untuk menggalang solidaritas
perlawanan lintas negara di masa pemerintahan
Suharto yang otoriter, kini dapat menjadi sarana
alternatif bagi siapa saja atau para penulis untuk
menerbitkan karya-karya mereka. Teknologi
internet pula yang mendukung terbentuknya
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
viii
komunitas pengguna media sosial dan menjadikannya ajang
untuk berkomunikasi serta bertukar informasi. Akses terhadap
pengetahuan dari dunia luar menjadi terbuka lebar. Saya dapat
membaca gratis suratkabar Financial Times atau memperoleh
buku-buku yang ditulis sejarawan ataupun sastrawan dari luar
Indonesia secara online. Kesenjangan akibat kendala geografi
sebagian besar teratasi oleh teknologi abad ini. Kebebasan media
dan keterbukaan politik telah mendukung tersedianya ruang
berekspresi dengan skala luas. Kalau ditinjau dari segi kesempatan
dan bahan, dinamika tersebut sudah seharusnya mendukung
penciptaan karya-karya sastra.
Dunia prosa memang makin ramai kemudian, begitu pula
puisi. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa atau “periferi” yang di
masa Suharto jarang terjangkau oleh proyek “pembangunan”,
sekarang mengenalkan para penulisnya kepada kita. Nama-nama
baru dan masih segar muncul. Komunitas-komunitas penulis
ikut lahir dan bertumbuh di berbagai tempat di negeri ini ketika
kebebasan berkumpul dan berorganisasi tidak dihambat lagi.
Sejumlah karya mereka ada yang dimuat di media nasional bertiras
besar dan jarang sekali di antara mereka yang tidak memiliki blog
atau situs sendiri sebagai etalase produk kreatifnya.
Apakah keberuntungan itu sejalan dengan penciptaan
karya-karya bermutu dalam konteks sastra Indonesia kontemporer?
Dalam diskusi itu, kami berlima justru pesimistis.
Kami sepakat bahwa penyebab kegagalan utama menyelaraskan
iklim keterbukaan sekarang dengan memproduksi karya bermutu
adalah tidak adanya kritik sastra yang baik. Kita tidak hanya
memerlukan jurnal sastra, tetapi juga membutuhkan orang-
orang yang penuh dedikasi untuk menjaga serta memperhatikan
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
ix
kesusastraan sebagai penulisnya. Namun, ketersediaan media dan
sikap berbakti saja tidak cukup. Selain membaca banyak buku,
penulisnya harus melakukan riset dan memahami teori dengan
baik. Pendek kata, kritik sastra adalah karya tersendiri. Saking
awamnya pemahaman orang terhadap kritik sastra, banyak
yang menganggap feedback (komentar atau pujian atau cercaan
pembaca setelah usai menyimak buku tertentu dan sah-sah saja
sebagai bentuk apresiasi) sebagai kritik sastra.
Antologi esai para pemenang sayembara kritik sastra
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga tidak luput mencerminkan
kelucuan (atau keluguan) semacam itu. Salah satu esai secara
serius membahas daftar pustaka sang penulis novel hanya untuk
menegaskan kepada kita bahwa tokoh-tokoh dalam novel tersebut
suka membaca buku sastra.
Ketiadaan kritik sastra yang baik dan bertanggung jawab
membuat daftar penanggung musibahnya bertambah panjang.
Para pendidik atau guru-guru di sekolah yang mengenalkan buku-
buku kepada siswa mereka (mengingat pengenalan terhadap karya
sastra perlu dilakukan sejak usia dini) tanpa mengetahui dengan
tepat dan jelas macam apa buku-buku itu, ibarat menganjurkan
orang untuk doyan makan tanpa menjelaskan apa manfaat dan
bahaya dari makanan tersebut akibat tidak memiliki pengetahuan
yang cukup tentang dampaknya bagi kelangsungan jiwa
seseorang. Padahal karya bermutu seperti makanan bergizi, yang
menyehatkan dan menguatkan tubuh serta mencerdaskan otak.
Kritik sastra yang baik akan memandu pembaca untuk memilih
karya-karya bermutu sebagai bahan bacaan mereka dan membuat
para penulis kemudian terpacu menciptakan karya-karya bermutu
untuk pembacanya yang kritis. Pada titik ini, seorang kritikus
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
x
dengan kriteria tersebut akan membawa kita kepada peradaban
manusia yang lebih tinggi dan bermartabat.
Bagaimana dengan kritik sastra yang bertumpu pada
penelitian para akademisi di fakultas-fakultas sastra? Tanpa
bermaksud mengabaikan peran mereka yang benar-benar
berjasa, saya memahami keterbatasan waktu mereka untuk
dapat berkonsentrasi di bidang ini (mengingat kritik sastra adalah
disiplin tersendiri) dan dampaknya. Seorang novelis bercerita
kepada saya bahwa ia menertawai kritik terhadap novelnya yang
dimuat di sebuah suratkabar. Penulis kritik itu seorang dosen yang
menyatakan bahwa hanya Tuhan dan penulis novel itu sendiri yang
dapat memahami novelnya. Profesi seseorang rupanya tidak dapat
menjadi satu-satunya jaminan bagi kebenaran, melainkan sikap
kritis yang didukung kekayaan pengetahuan, pengalaman dan
wawasan seseorang yang layak kita percaya.
Sejumlah esai pemenang sayembara kritik sastra yang
diselenggarakan DKJ ini menunjukkan masalah-masalah
paling mendasar dalam karya-karya para penulis kita, termasuk
mereka yang terlanjur populer dan sudah dianggap penulis,
yaitu terbatasnya pengetahuan dan wawasan tentang tema yang
digarap, dan kurangnya kecakapan menulis.
Namun, tiga esai terbaik antologi ini memaparkan
bahwa selain masalah-masalah tadi, ada masalah lain yang tidak
kalah penting dan mengkhawatirkan. Karya-karya tersebut
memperlihatkan adanya kerancuan dan bias pada cara pandang
para penulisnya ketika membicarakan relasi antar manusia dalam
tarik-menarik antara modernitas dan tradisionalitas, posisi diri
sebagai sang terjajah dan yang akhirnya dibebaskan, dan konteks
sosial-budayanya.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
xi
Akhir kata, mudah-mudahan antologi ini dapat bermanfaat
terhadap siapa pun yang peduli terhadap sastra.
Jakarta, 6 Desember 2014
Linda Christanty
Anggota Komite Sastra
Dewan Kesenian Jakarta
periode 2013 - 2015
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
xii
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
1
Pemenang Pertama
MARTIN SURYAJAYA
Antara Pascamodernitas
dan Pramodernitas:
Telaah Intrinsik atas Novel
Bilangan Fu
1
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
2
Antara
Pascamodernitas
dan
Pramodernitas:
Telaah Intrinsik
atas Novel
Bilangan Fu
oleh Martin Suryajaya
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
3
DALAM karya klasiknya, The Rise of the Novel:
Studies in Defoe, Richardson and Fielding, Ian Watt
memperlihatkan bahwa novel merupakan jenis
kesusastraan yang secara khas bersifat modern.
Bentuk novel itu sendiri bermula dari Robinson Crusoe
karya Daniel Defoe yang dicirikan oleh rasionalisme
dan individualisme yang tipikal dalam filsafat
modern awal. Maka dari itu, Watt melihat adanya
keterkaitan erat antara kemunculan filsafat modern,
atau modernisme dalam dunia pemikiran sejak
abad ke-17, dengan kemunculan novel sebagai jenis
kesusastraan.1
Dalam arti ini, sungguh menggelitik
bahwa Bilangan Fu karya Ayu Utami yang agaknya
tepat dipandang sebagai suatu ‘manifesto kritis
melawan modernisme’ mesti dituliskan dalam bentuk
novel. Bilangan Fu dipenuhi dengan beragam kritik,
baik eksplisit maupun implisit, atas pola pikir modernis
yang menempatkan rasionalitas dan pembuktian pada
puncak paradigma dalam memandang kenyataan.
1) “The greatness of Descartes was primarily one of method, of the thoroughness
of his determination to accept nothing on trust; and his Discourse on Method
(1637) and his Meditations did much to bring about the modern assumption
whereby the pursuit of truth is conceived of as a wholly individual matter,
logically independent of the tradition of past thought, and indeed as more likely
to be arrived at by a departure from it. The novel is the form of literature which
most fully reflects this individualist and innovating reorientation. Previous literary
forms had reflected the general tendency of their cultures to make conformity to
traditional practice the major test of truth: the plots of classical and renaissance
epic, for example, were based on past history or fable, and the merits of the
author’s treatment were judged largely according to a view of literary decorum
derived from the accepted models in the genre. This literary traditionalism was
first and most fully challenged by the novel, whose primary criterion was truth
to individual experience – individual experience which is always unique and
therefore new.” (Watt 2005: 465)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
4
Sebagai gantinya, Ayu menawarkan ‘postmodernisme’ yang
menunda segala perdebatan tentang kebenaran sebagai jalan
keluar. Dan teks sepanjang 531 halaman yang memuat rentetan
kritik atas modernisme dan promosi ‘postmodernisme’ itu sendiri
diwujudkan dalam rupa novel yang tak lain merupakan bentuk
par excellence dari kesusastraan modern. Lebih lagi, Bilangan
Fu dituturkan dari sudut pandang orang pertama, persis seperti
cara Defoe menghadirkan petualangan Crusoe. Ironi semacam
ini tentunya membuat kita bertanya-tanya lebih lanjut tentang
apakah yang sebenarnya dibayangkan sebagai modernisme dan
‘postmodernisme’ dalam novel tersebut.
Dalam makalah ini, penulis akan menelaah imajinasi tentang
modernitas dan pascamodernitas dalam novel Bilangan Fu. Kita
akan melihat bahwa novel tersebut, alih-alih menaja paradigma
pascamodernis dalam kebudayaan, sejatinya justru berkubang
dalam modernisme yang mengimpikan suatu pramodernitas
ideal. Kecenderungan inilah yang membuat gagasan tentang
‘spiritualisme kritis’ yang secara eksplisit diakui Ayu sebagai nafas
Bilangan Fu justru terjerembab ke dalam sejenis orientalisme
dan sikap anti-kritik. Namun, sebelum itu, kita perlu meninjau
aspek intrinsik yang paling dasariah dari Bilangan Fu sebagai
novel, khususnya dengan memeriksa genre novel tersebut dan
perwatakan tokoh-tokohnya.
Novel Didaktis atau Novel-Diktat?
BILANGAN Fu adalah buku yang semakin dibaca semakin
terkesan seperti suatu ‘novel ilmiah’ atau setidaknya novel didaktis
(didactic novel). Sebagai suatu genre, novel didaktis dicirikan oleh
semangat untuk mengajarkan dan menginternalkan nilai-nilai
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
5
moral tertentu ke lubuk hati pembaca. Memang betul bahwa
sastra didaktis menuai kritik, antara lain dari Edgar Allan Poe.
Dalam esainya, “The Poetic Principle,” Poe menampik gagasan
bahwa karya sastra sebaiknya memberikan penerangan moral dan
karenanya ia mengusung ide bahwa karya sastra mesti ditulis demi
karya sastra itu sendiri (Habib, 2005: 464). Visi tentang otonomi
seni ini digugat dalam karya klasik I.A. Richards, Principles of
Literary Criticism. Di sana Richards menunjukkan bahwa kekhasan
karya sastra kerapkali justru mengemuka persis karena nilai-nilai
yang memotorinya.2
Artinya, tak ada yang secara pokok keliru
dengan novel didaktis.
Akan tetapi, Ayu Utami rupanya melangkah lebih jauh
dengan Bilangan Fu. Novel tersebut mengisahkan persahabatan
antara sepasang kekasih, Yuda dan Marja, dengan seorang
pemuda penghayat kebatinan bernama Parang Jati. Berangkat
dari perkawanan dalam kegiatan panjat tebing, cerita bergulir
ke pergulatan batin Parang Jati yang dituturkan dari sudut
pandang Yuda. Pergulatan itu utamanya berkenaan dengan
kritik atas sikap-sikap dogmatis dalam berpikir, beragama dan
berpolitik—sikap-sikap yang ditangkap dengan tiga konsep
besar: modernisme, monoteisme dan militerisme. Laku kritik ini
dilandasi oleh pengalaman mistik tentang bilangan fu, yaitu suatu
bilangan yang nol sekaligus satu. Bilangan itulah yang mendasari
pengertian spiritualis-kritis tentang ketuhanan—penghayatan
tentang Tuhan yang nol sekaligus satu, kosong sekaligus isi.
2) “A more serious defect in aesthetics is the avoidance of consider-ations as to value. It is true that
an ill-judged introduction of value considerations usually leads to disaster, as in Tolstoy’s case. But
the fact that some of the experiences to which the arts give rise are valuable and take the form they do
because of their value is not irrelevant.” (Richards, 2001: 7)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
6
Puncaknya adalah ketika Parang Jati mesti berhadapan dengan
kelompok fundamentalis yang disewa oleh pengusaha tambang—
sebuah konfrontasi yang akan menghabiskan nyawanya sendiri.
Muatan konseptual semacam itu mau tidak mau akan membuat
Bilangan Fu dipenuhi penjabaran atas konsep-konsep yang
menjadi nadi narasinya.
Novel tersebut memanggul beban teoretis yang cukup
berat. Beban ini dapat kita timbang dengan memeriksa daftar
isinya. Ada tiga bagian besar yang menyusun keseluruhan novel,
yakni “Modernisme”, “Monoteisme”, dan “Militerisme”. Ke­tiganya
adalah tema-tema besar dalam kajian filsafat, teologi, dan ilmu
sosial. Kecenderungan teoretis inilah yang juga dicermati oleh
Seno dalam komentarnya terhadap Bilangan Fu pada waktu novel
tersebut dimenangkan dalam sayembara Khatulistiwa Literary
Award tahun 2008, “Ia berani tidak populer dengan cara menulis
seperti ini. Banyak orang menganggap bahwa sebuah novel
semestinya merupakan suatu bacaan ringan, tetapi Ayu berani
membuat orang mengerutkan dahinya ketika membaca Bilangan
Fu”.3
Tentu membutuhkan dua atau tiga lapis kerut di dahi untuk
memahami ungkapan Nietzsche bahwa “Tuhan sudah mati” dan
frase Descartes “cogito ergo sum” (Utami, 2008: 474), khususnya
bagi pembaca yang awam terhadap filsafat. Apalagi ketika konsep-
konsep semacam itu dicuplik tanpa dijelaskan di dalam novel.4
3) “’She is brave enough to be unpopular in this way of writing. Many people think a novel should
be a light read but Ayu dares to make people wrinkle their brows when they read Bilangan Fu,’ said
Seno.” (Hermawan & Messakh 2008)
4) Agaknya Ayu betul-betul mengandaikan bahwa para pembaca paham apa maksudnya ketika
ia menulis—meminjam pena Parang Jati—bahwa “Akal budi melepaskan manusia dari ketakutan.
Tuhan sudah mati, kata Nietzsche.” (Utami 2008: 474). Mengapa “Tuhan sudah mati”? Apa
hubungannya dengan lenyapnya ketakutan akibat kekuatan akal budi manusia? Di sini ada semacam
lompatan penjelasan yang hanya mungkin terjembatani oleh prakonsepsi pembaca tentang filsafat
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
7
Kecenderungan teoretis yang digambarkan di muka makin
kentara apabila kita menemukan bahwa menjelang penghabisan
dari ketiga bagian besar novel, kita berhadapan dengan paparan
yang nyaris seperti makalah kuliah filsafat. Misalnya, sub-bagian
“Kritik atas Modernisme” dalam bagian “Modernisme” (Utami
2008: 184-187), sub-bagian “Kritik Hu atas Monoteisme” dalam
bagian “Monoteisme” (Utami, 2008: 320-332) dan—yang paling
parah—sub-bagian “Tiga Musuh Dunia Postmodern” dalam bagian
“Militerisme” (Utami, 2008: 474-480). Sub-bagian pertama
berbicara tentang Marxisme, eksploitasi oleh pemilik modal dan
modernisme sebagai tangan kanan kapitalisme. Sub-bagian
kedua berbicara tentang konsep bilangan satu dan nol, perbedaan
antara bilangan riil, rasional, irasional, dan operasional, serta
sejarah kemunculan konsep monoteisme dalam Alkitab Perjanjian
Lama. Sementara sub-bagian ketiga mengulas panjang-lebar
tentang ‘postmodernisme’, aufklärung, serta keterkaitan antara
modernisme, monoteisme, dan militerisme. Beban teoretis seberat
itulah yang dapat memunculkan kesan pada pembaca bahwa
novel ini melampaui didaktisisme sastrawi dan cenderung lebih
menyerupai suatu ‘novel-diktat’, yakni novel yang narasi puitiknya
berulang kali dipotong oleh paparan à la diktat kuliah. Ini adalah
bentuk ekstrem dari sastra didaktis.
Serba-Serbi Kejanggalan: Kata Serapan dan Penokohan
BERATNYA beban teoretis tersebut diperparah dengan
penggunaan kata-kata serapan tak baku dan struktur kalimat
yang janggal di sana-sini. Misalnya, ketika Ayu menguraikan
Nietzsche—suatu prakonsepsi yang belum lazim dimiliki para pembaca umum di Indonesia. Hal
yang serupa juga terjadi dengan paparan tentang cogito ergo sum (Utami, 2008: 474).
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
8
tentang konsep bilangan satu, ia menulis, “Satu yang dirumuskan
tanpa konsep nol adalah satu yang sekaligus memiliki properti
nol” (Utami, 2008: 325). Pembaca yang memiliki pemahaman
yang baik akan bahasa Indonesia tentu terkejut membaca kalimat
tersebut. Sebab apabila kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI, 2005: 898), kata “properti” didefinisikan sebagai “harta
berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanah dan/atau
bangunan yang dimaksudkan”. Apa hubungan antara konsep
bilangan dan persoalan barang modal tak bergerak seperti lahan
dan bangunan? Keterkejutan ini baru sirna ketika kita menyadari
bahwa kata yang digunakan Ayu adalah serapan dari kata property
dalam bahasa Inggris yang sebenarnya sudah ada terjemahan
bakunya, yakni ‘sifat’. Tentu akan lebih jernih maknanya jika
dikatakan bahwa “Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol adalah
satu yang sekaligus memiliki sifat nol”. Namun mengapa Ayu
memilih untuk mempertahankan kata serapan tak baku seperti
“properti”? Mengapa mempersulit paparan yang sudah rumit?
Contoh serapan tak baku yang lain adalah kata
“postmodernisme”. Kita tak perlu bersusah-payah mencari kata
tersebut di KBBI sebab kata itu memang tidak ada. Yang ada ialah
“pascamodernisme” (KBBI, 2005: 834). Bahasa Indonesia tidak
mengenal bentuk terikat “post-“ sebab itu hanya kita temukan
dalam bahasa Inggris. Dalam percakapan intelektual di Indonesia,
kata “postmodernisme” memang telah terlanjur digunakan tanpa
mengindahkan terjemahan yang lebih baku atas postmodernism.
Kata ini beredar beberapa kali di lingkaran pengkaji filsafat.5
5) Antara lain, buku Dr. Bambang Sugiharto berjudul “Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat”
(Sugiharto, 1996).
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
9
Namun sebagai seorang sastrawan, apalagi dengan pretensi
ultra-didaktis, Ayu semestinya lebih peka terhadap penggunaan
tak baku semacam itu dan bukannya malah melanjutkan tradisi
penerjemahan yang keliru.
Masalah terkait lain adalah proses penyuntingan yang
kurang ketat. Ini terlihat semenjak pembukaan novel: “Taruhan.
Kau pasti enggan percaya jika kubilang padaku ada sebuah
stoples selai berisi sepotong ruas kelingking” (Utami, 2008: 4).6
Pernyataan semacam itu di awal novel bisa saja menerbitkan
keraguan pembaca terhadap kemampuan berbahasa Indonesia
sang novelis. Bagian-bagian lain juga menunjukkan suntingan
yang masih keruh, walau tak separah contoh pertama tadi.
Misalnya: “Agar tak menganggu yang lemah dan anak-anak”
(Utami, 2008: 436). Sekali lagi: “Bagi orang-orang yang telah
berpikir tapi lebih menyukai agama langit ketimbang agama
bumi, maka inilah tawarkan saya: ‘laku-kritik’, ‘spiritualisme-kritis’”
(Utami, 2008: 454).
Aspek intrinsik lain yang dapat dipertanyakan dalam
Bilangan Fu adalah penokohannya. Sebagian besar isi Bilangan
Fu dituturkan dari sudut pandang protagonisnya, Sandi Yuda,
seorang pemanjat tebing yang dikisahkan secara dramatik sebagai
sosok skeptis dengan gaya yang kasar dan keras bak militer.
Namun ajaibnya, apabila kita cermati narasi sebagian besar novel
yang dituturkan dari dalam hati Yuda, kita justru dimanjakan
oleh ungkapan-ungkapan puitik yang menandai kepekaan dan
6) Eka Kurniawan mempersoalkan hal yang sama dalam komentarnya: “Semalam dari peluncuran
novel Ayu Utami, Bilangan Fu. Saya sudah beli bukunya sejak dua mingguan lalu, tapi baru baca
satu halaman. Kalimat keduanya membuat saya sejenak bertanya-tanya: “Kau pasti enggan percaya
jika kubilang padaku ada sebuah stoples selai [...].” (cetak tebal dari saya), selebihnya saya harus
kembali ke pekerjaan”. (Kurniawan, 2008)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
10
kelembutan batin. Yuda adalah sosok maskulin yang gemar “cari
bahaya” (Utami, 2008: 29). Tetapi, di sisi lain, ia piawai menyerap
suasana dengan kepekaan yang rinci: “Aku mengenang upacara
kecil itu dengan agak syahdu. Malam. Bintang waluku. Tebing
menjulang sebagai bayangan gelap. Angin. Bau alam bercampur
unggun yang meletik-retas” (Utami, 2008: 7). Ia seorang yang
rasional dan tak percaya takhayul serta gemar mencibir keluguan
orang desa yang gandrung klenik (Utami, 2008: 448). Tetapi,
dalam deskripsinya atas pengalaman masa kecil Parang Jati,
Yuda seolah menjelma jadi orang-orang desa yang dikritiknya.
Ini terlihat dari penggambarannya tentang badai malam hari di
padepokan Suhubudi:
“Malam ini sesungguhnya lapis-lapis hujan pun menyembunyikan
sesuatu, bagai laut menyembunyikan bangkai. Adalah angin yang
mengembalikan jasad itu ke permukaan agar kau temui. Maka
kali ini pun datanglah dia dari balik tirai-tirai air, dengan langkah
yang lama tenggelam sebab tubuhnya telah hitam dan kalis. Dia
yang cedera, sehingga terlalu besar sebagai seorang wanita. Buah
dadanya menggantung busuk pepaya. Rautnya segala tulah. Ia
datang dari arah pemakaman, setelah tadi menabalkan diri dalam
ruwatan bumi. Dan barangkali mulutnya masih mengeluarkan
anyir mayat. Bau yang membuat mual perutmu. Hawa tubuh
Durga dari Setragandamayit.” (Utami, 2008: 286)
Ambivalensi psikologis semacam ini terasa janggal terutama
ketika Yuda dimaksudkan sebagai “seorang pemanjat tebing dan
petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat,” seperti tertuang
di sampul belakang novel. Bagaimana mungkin orang yang gemar
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
11
“melecehkan nilai-nilai masyarakat” tampil pada saat bebarengan
sebagai sosok yang menuturkan nyaris segalanya dalam bingkai
cerita mistik masyarakat pedesaan dengan penuh kekhidmatan?
Ilustrasi lain dari kekhidmatan pada mistik lokal yang tentu
bertabrakan dengan watak skeptis Yuda adalah narasinya berikut
ini: “Aku percaya ada hidup setelah mati. Aku percaya arwah
orang yang baru meninggal masih berkitar-kitar di bumi sampai
40 hari” (Utami, 2008: 101). Ini adalah Yuda yang sama yang
berkata bahwa “Aku punya persoalan dengan orang-orang desa
ini sejak awal, seperti aku punya persoalan dengan televisi. Apa
yang membuat mereka takut, tidak membuat aku takut. Apa
yang menakutkan aku, tidak menakutkan mereka. Bulu remangku
tidak tersirap oleh kabar gaib perihal makam yang ditinggalkan
jenazah. Atau oleh perempuan yang histeris dan pingsan karena
suaminya kabur dari kubur” (Utami, 2008: 448). Masalahnya,
tidak ada keterangan bahwa Yuda ini mengidap skizofrenia, atau
setidaknya bipolar.
Kejanggalan dalam perwatakan mengemuka kembali dalam
narasi tentang masa kecil Parang Jati dan Kupukupu. Parang Jati
adalah seorang pemuda desa terdidik serta terbiasa menempa diri
dalam laku mistik berkat bimbingan ayah angkatnya, Suhubudi.
Sementara Kupukupu, adiknya, adalah lelaki yang kelak akan
jadi Farisi, sang pemeluk agama fanatik. Ada yang demikian
janggal dalam kisah perdebatan mereka di sekolah menengah.
Latarnya adalah pedesaan di lereng pegunungan kapur di selatan
Jawa pada tahun 1991.7
Di sana dikisahkan secara panjang-
7) Penulis dapat memastikan bahwa yang dimaksud adalah tahun 1991 karena di sana dinyatakan
“Parang Jati berumur enambelas tahun” (Utami, 2008: 306), sementara pada bagian lain
dinyatakan bahwa ia berumur duapuluh tahun pada tahun 1995 (Utami, 2008: 184).
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
12
lebar sayembara debat yang diikuti keduanya di sekolah dengan
tajuk “Nyi Ratu Kidul dan Pandangan-Pandangan Keagamaan”.
Kupukupu tampil mewakili suara puritan dalam keagamaan yang
memandang penyembahan atas Ratu Kidul sebagai perbuatan
musyrik, sementara Parang Jati tampil menyuarakan ajakan untuk
bersikap toleran terhadap alam kepercayaan tradisional. Mari kita
perhatikan debat antara keduanya, mulai dari uraian Parang Jati:
“’Iskandar Agung adalah penyembah berhala! Toh ia dikenang
dengan hormat dalam tradisi Islam. Demikian. Dan kamu mau
bilang bahwa Islam tidak bisa menghargai segala hal yang
datang dari tradisi yang lain? Tradisi Yunani? Atau tradisi Jawa?’
Kupukupu tergagap sedikit. Tapi ia cukup tangkas. ‘Bisa saja. Asal
tradisi itu tidak diteruskan. Artinya, berhala itu memang praktik
yang ada sebelum Islam. Islam bisa menghargai. Bisa. Asal,
setelah Islam datang, praktik itu tidak boleh diteruskan lagi, dong.
[...] Kalau kita bayar pajak pada pemerintah, itu kan tidak berarti
kita menyembah pemerintah. Apa pula mempersekutukannya
dengan Tuhan. Pandangan ini berlebihan. Bayar pajak ya biasa-
biasa aja, deh... Jangan semuanya jadi ideologis gitu!’” (Utami,
2008: 314 & 317)
Secara prima facie, kejanggalan segera menampar kita.
Simaklah jawaban Kupukupu yang waktu itu berumur sekitar
14 tahun di tahun 1991. Dua pertanyaan sontak menyeruak.
Pertama, bagaimana menjelaskan penggunaan ungkapan bahasa
gaul Jakarta seperti ‘dong’ dan ‘deh’ oleh seorang anak desa di
pegunungan selatan Jawa pada suatu masa ketika infotainment
dan sinetron belum ada, bahkan ketika televisi masih amat langka
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
13
dan internet samasekali absen? Kedua, bagaimana menjelaskan
kemampuan anak desa berumur 14 tahun untuk mengklasifikasi
mana yang ideologis dan mana yang non-ideologis, apalagi
pada masa ketika politik massa mengambang yang membuat
masyarakat acuh tak acuh pada politik sedang gencar-gencarnya
dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru? Ungkapan “jangan
semuanya jadi ideologis” lebih menyerupai pernyataan seorang
aktivis LSM ketimbang seorang anak desa terpencil berusia 14
tahun.
Stereotipe Modernisme
KITA akan beranjak ke aspek intrinsik lain dari Bilangan Fu, yakni
mula-mula dengan mempersoalkan apa yang sejatinya dimaksud
sebagai ‘modernisme’ dalam novel tersebut. Dari berbagai uraian
terkait di sekujur teks, kita dapat menjaring sejumput imajinasi
tentang modernisme:
•	 Modernisme adalah tangan kanan kapitalisme8
•	 Modernisme adalah alat kekuasaan9
•	 Modernisme memuja kepastian seperti layaknya monoteisme10
8) “Yang terjadi: institusi modern menggantikan institusi tradisional dalam menghisap kelas yang
tak mendapatkan keuntungan dari kesadaran modern. Contoh: 1) pemilik modal, dalam hal ini
perusahaan penambangan batu, ikut membiayai ritual Sajenan demi mendapat ‘izin spiritual’ untuk
eksploitasi” (Utami, 2008: 185).
9) “Penguasa memainkan dongeng hantu cekik untuk membikin ketakutan dan kebingungan dalam
massa-rakyat, agar massa-rakyat mudah dipecah belah dan dikuasai. Dengan demikian, kekuasaan
mereka dilanggengkan. Kesimpulannya: kesadaran modern bukanlah pembebasan. Kesadaran
modern adalah alat.” (Utami, 2008: 186).
10) “’Ilmu pasti itu sangat penting. Demikian juga iman. Kedua-duanya bersifat pasti,’ lelaki yang
lebih tua mengambil alih lagi. Dia, yang berjanggut pendek dan berdahi hitam. ‘Bersifat apa,
anak-anak, bapak dan ibu? Bersifat pas...?’ ‘Pasti.’ Hadirin menyambut seperti harus memenuhi
kekosongan. Bersifat pasti. ‘Benar. Tuhan itu bersifat pasti. Iman itu pasti. Demikian pula, bangsa ini
membutuhkan pemuda-pemuda yang mempelajari ilmu pasti, teknologi, sains, untuk membangun
negeri.” (Utami, 2008: 308)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
14
•	 Modernisme menuntut segalanya dapat dibuktikan11
•	 Modernisme bertopang pada fungsionalisme12
•	 Modernisme yang menampik tradisi adalah fasisme13
Sehimpun imaji tentang modernitas ini memperlihatkan
betapa goyahnya konsepsi, dan tak memadainya riset yang
dilakukan, pengarang terhadap tema narasinya. Hal ini menjadi
semakin parah mengingat bahwa novel ini memuat intensi ultra-
didaktis. Berikut kita akan memperlihatkan betapa senjangnya
gagasan tentang modernisme sebagai semangat pemikiran yang
timbul sejak abad ke-17 dengan gagasan yang tertuang dalam
novel.
Gagasan tentang modernitas tidak dapat dilepaskan
dari manifestasi puncaknya pada Zaman Pencerahan, suatu
era yang membentang sepanjang abad ke-18. Dalam esai
tanggapannya terhadap Moses Mendelssohn berjudul “Menjawab
Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?” (Beantwortung der Frage:
Was ist Aufklärung?), filsuf Immanuel Kant menyatakan bahwa
pencerahan adalah “keberanian untuk berpikir sendiri” (sapere
aude) lepas dari dogma-dogma yang mengungkung pikiran.
11) “Kacamata modernis adalah cara pandang rasional yang congkak dan menganggap segala yang
tak bisa dibuktikan sebagai isapan jempol. Dengan teropong semacam ini, dongeng menjadi olok-
olok, sekadar kisah fantasi yang hanya cocok bagi anak-anak dan orang desa nan takhayuli.” (Utami,
2008: 369)
12) “Salah satu ciri kerangka pikir modern adalah azas manfaat [...]. Fungsionalitas, istilah lainnya.
Dalam kerangka pikir modern, segala sesuatu harus berfungsi untuk tujuan tertentu. Dan tujuan
tertentu itu adalah keuntungan. Sebab, segala hal itu baik jika menguntungkan.” (Utami, 2008: 133)
13) “Bagiku, sajen selalu merupakan keborosan sia-sia. Sikapku ini dikritik Parang Jati sebagai
‘modernis’, sedikit di bawah ‘modernis fasis’ yang mau meniadakan segala upacara sajen karena
alasan keborosan.” (Utami, 2008: 138; bdk. 519)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
15
“Pencerahan adalah jalan keluar manusia dari ketakdewasaan yang
diakibatkannya sendiri. Ketakdewasaan adalah ketakmampuan
menggunakan pemahaman secara mandiri tanpa bimbingan yang
lain. [...] Sapere aude! Beranilah menggunakan pemahamanmu
sendiri—itulah motto pencerahan.” (Kant, 1996: 58)
Inilah ungkapan yang merangkum intisari dari “pemikiran
modern”, dari “modernisme”. Dengan cara apakah keberanian
untuk berpikir sendiri itu mesti diawali? Sedari mula masa modern,
Descartes telah menunjukkan jawabnya: dengan meragukan
segala yang masih belum dapat dibuktikan.14
Inilah yang dikenal
sebagai skeptisisme metodis. Dengan tidak menerima mentah-
mentah segala informasi yang masuk ke dalam pikiran, dengan
merenungkan dan mengujinya secara telaten, pemikiran modern
telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan pembentukan tatanan sosial yang
mendobrak kerangkeng feodal.
Gambaran modernisme ini diringkus dalam Bilangan Fu
menjadi karikatur tentang kecongkakan manusia dalam menguasai
alam dan sesamanya. Ada empat aspek yang paling menonjol
dari kekurang-cermatan pengarang dalam meriset topik narasinya.
Pertama, semestinya dibedakan antara modernisme dalam
pengertian yang digagas para perumusnya dan varian turunan
dari modernisme, penerapannya, yang disalahgunakan demi
kepentingan kapitalis untuk mengeksploitasi. Memperkarakan
14) “I realized that it was necessary, once in the course of my life, to demolish everything completely
and start again right from the foundations if I wanted to establish anything at all in the sciences that
was stable and likely to last. [...] to accomplish this, it will not be necessary for me to show that all
my opinions are false [...] it will be enough if I find in each of them at least some reason for doubt.”
(Descartes, 2005: 12)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
16
kapitalisme tidak mengandaikan kita harus memperkarakan
modernisme itu sendiri, sama seperti menumpas tatanan patriarkis
tidak berarti menumpas semua lelaki. Kedua, semestinya dibe­dakan
antara modernisme dan penerapannya yang dimonopoli demi
kepentingan politik kekuasaan. Pengetahuan memang merupakan
dasar dari kekuasaan yang tiranis, tetapi menumbangkan
kekuasaan yang tiranis bukan berarti menghapuskan
pengetahuan samasekali. Ketiga, modernisme tidak memuja
kepastian selayaknya monoteisme. Alih-alih memuja kepastian,
modernisme justru diawali oleh Descartes dengan pentingnya
sikap berjarak dan menyangsikan apa yang seolah terlihat pasti.
Keempat, modernisme tak semestinya dicampuradukkan dengan
fasisme. Nazi Hitler memang menggunakan sains modern untuk
merealisasikan mimpi fasistiknya tentang Jerman, tetapi tidak betul
bila lalu disimpulkan bahwa sains modern tidak lain dan tidak
bukan adalah fasisme itu sendiri.
Dalam arti itu, sang pengarang tampak seperti terbawa
euforia pascamodern yang melanda sebagian budayawan negeri
ini. Ia tak cukup kritis terhadap kritiknya sendiri atas modernisme.
Kurang ada kehati-hatian dalam mencerna gagasan yang hendak
ia sampaikan panjang-lebar pada publik pembacanya. Karenanya,
yang nampak kemudian adalah bahwa sang pengarang seolah mau
menggurui pembaca atas nama suatu gagasan yang tak terlalu jelas
juga baginya sendiri. Hal ini makin kentara ketika kita meninjau
tema terkait dalam narasinya, yakni wacana tentang religiusitas.
Pengantar Menuju Mistik Utilitarianisme
WACANA tentang religiusitas merupakan benang merah
dari keseluruhan narasi Bilangan Fu. Wacana ini nyaris selalu
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
17
disuarakan dari mulut Parang Jati, sebagaimana kritik atas
modernisme. Pewacanaan tentang keberimanan yang toleran
berkejaran dengan kritik atas nalar utilitarian-fungsional kaum
modernis. Parang Jati mewartakan: “Salah satu ciri kerangka pikir
modern adalah azas manfaat [...]. Fungsionalitas, istilah lainnya.
Dalam kerangka pikir modern, segala sesuatu harus berfungsi
untuk tujuan tertentu. Dan tujuan tertentu itu adalah keuntungan.
Sebab, segala hal itu baik jika menguntungkan” (Utami, 2008:
133). Namun dari sosok Parang Jati pulalah meluncur argumen
utilitarian-fungsional à la modernis tentang agama.
Dalam pembelaannya atas tradisi melawan pandangan
religius yang puritan, Parang Jati berargumen:
“Jika dalam sebuah tradisi, kepercayaan tentang siluman dan
roh-roh penguasa alam itu ternyata berfungsi untuk membuat
masyarakat menjaga hutan dan air, apa yang jahat dengan
kepercayaan demikian? Tidakkah ia setara dengan perintah untuk
memelihara pohon?” (Utami, 2008: 316)
Artinya, Parang Jati memandang bahwa kepercayaan
mistik tradisional berhak hidup karena kepercayaan itu berguna:
mewujudkan sikap yang melestarikan alam. Lanjut lagi, ketika ia
menarik hubungan analogis antara memberi sesajen bagi jin dan
siluman dan membayar pajak pada pemerintah:
“Kita di masa modern ini pun membayar bea jika mau masuk
wilayah negara lain. [...] Apa bedanya? Kalaupun jin dan siluman
itu memang ada, apa salahnya membayar sejenis pajak kepada
mereka ketika kita memasuki wilayah mereka? Sejauh pajak itu
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
18
cuma sesajen bunga-bungaan, buah-buahan, sejumput makanan,
apa salahnya? Apalagi yang diracik dengan indah sebagai canang
saji. Ia menjadi seni.” (Utami, 2008: 316)
Di sini pun argumen yang senafas mengemuka:
memberikan sesajen semestinya diperbolehkan karena kebiasaan
itu bermanfaat (dapat mencipta barang seni dan berperan
ibarat pajak pada pemerintah demi perlindungan warganya).
Logika utilitarian-fungsional ini mengemuka lagi ketika Parang
Jati berkata: “Tuhan esa. Oke. Penunggu ya penunggu. Seperti
penjaga hutan yang dikasih sogokan atas pekerjaannya menguasai
hutan. Begitu saja” (Utami, 2008: 317). Demikian pula ketika
Parang Jati menggugat balik kritik modernis terhadap takhayul
mistik tradisional: “Jika buahnya baik, maka baiklah dia, meskipun
pohonnya khayalan belaka” (Utami, 2008: 187).
Melalui rentetan kutipan di muka, dapat kita amati bahwa
sebenarnya gagasan Parang Jati tentang religiusitas alternatif
yang ia tawarkan justru ia bangun melalui argumentasi modern
tentang fungsionalitas dan utilitas agama. Visi religiusitas kritis
yang digadang-gadang Parang Jati dan menjadi ruh utama
Bilangan Fu nyatanya bertopang pada modernisme yang hendak
dikritiknya sendiri. Apa yang mengemuka, kemudian, adalah suatu
gambaran paradoksal yang tak dikehendaki oleh pengarangnya
sendiri, yakni suatu ajaran mistik Timur yang berintikan filsafat
utilitarianisme. Celakanya lagi, utilitarianisme adalah salah satu
sendi konseptual dari kapitalisme yang dikritik Parang Jati ketika
ia hendak mengkritik modernisme. Di sini terlihat bahwa sang
pengarang tak betul-betul menguasai bahan yang ditulisnya. Ia
seperti tak menyadari bahwa segala bumbu teori yang diraciknya
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
19
punya sejarah perdebatannya sendiri dan tak bisa secara asal
dicampur tanpa membuat hidangan yang tersaji membikin para
penyantapnya pusing tujuh keliling.
Orientalisme dalam Bungkus Kritik Pascakolonial
DALAM narasi Bilangan Fu, modernisme dan monoteisme
dipandang sebagai gelombang kultural yang menginvasi dari
Barat, baik itu Eropa maupun Timur Tengah. Gelombang itu
mewujud dalam bentangan realitas Indonesia pascakolonial. Dan
tawaran alternatif yang diajukan sang pengarang adalah suatu
religiusitas Timur, suatu ‘agama bumi’. Inilah yang dilukiskan oleh
Parang Jati:
“’Tidakkah cantik agama Timur itu, yang suka melepaskan
hewan kembali ke alam pada hari-hari perayaan?’ tiba-tiba ia
berkata, sambil seperti melamun. Tidakkah cantik konsep yang
melingkar itu. Melingkar seperti mata rantai kehidupan. Setiap
makhluk memberi dan menjadi makanan bagi yang lain dalam
jumlah secukupnya. Tidakkah cantik bilangan yang melingkar itu.
Bilangan sunya, bilangan ananta, bilangan purna. Yin dan Yang.
Harmoni yang menghargai kontras. Hitam putih. Pria wanita.
Dalam sebuah ikatan bulat yang kuat. Di mana dalam yang satu
selalu ada yang lain.” (Utami, 2008: 378)
Tak pelak lagi, ini merupakan idealisasi tentang agama
Timur. Menariknya, dalam novel yang mengagung-agungkan
sikap kritis terhadap pengalaman spiritual ini, tak ada satu
pertanyaan kritis pun yang diajukan terhadap ’agama-agama
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
20
bumi’. Akibatnya, terkesan ada sebersit semangat orientalis dalam
memandang spiritualitas Timur.
Untuk menangkap jiwa orientalis dari pernyataan Parang
Jati di muka, kita dapat menyandingkannya dengan ungkapan-
ungkapan orientalis dari berbagai fase sejarah. Tacitus, seorang
sejarawan Romawi, menuliskan kesan-kesannya tentang suku-suku
Jerman kuno yang tak beradab dengan penuh puja-puji: memiliki
sifat-sifat alami yang tidak serakah, berani dan tulus, serta mampu
membina harmoni antar sesama dan dengan alam (Tacitus, 1942:
710-712). Ribuan tahun sesudahnya, nada yang sama dilantunkan
oleh Claude Lévi-Strauss dalam Tristes Tropiques:
“Saya telah pergi ke ujung dunia demi menyaksikan apa yang
disebut Rousseau sebagai ‘tahapan awal manusia yang nyaris
tak terlihat’. Di balik tabir hukum-hukum rumit Caduveo dan
Bororo, saya terus mencari suatu kondisi yang—seperti dibilang
Rousseau—‘tak lagi ada, barangkali tak pernah ada dan mungkin
tak akan pernah ada’ [...] Saya yakin bahwa saya lebih beruntung
ketimbang Rousseau, bahwa saya telah menemukan kondisi
macam itu dalam sebuah masyarakat yang sekarat. [...] Saya
telah mencari-cari masyarakat yang terciutkan pada ungkapannya
yang paling sederhana. Nambikwara adalah yang betul-betul
sederhana demikian rupa sehingga apa yang dapat saya temukan
di dalamnya adalah individu manusia.” (Lévi-Strauss, 1976: 416)
Tinggal di dalam masyarakat Indian Nambikwara membuat
Strauss terpukau. Ia catat bagaimana mereka memancarkan
“kebaikan yang demikian mendalam”, sesuatu yang menyembul
sebagai “ungkapan yang paling jujur dan menggetarkan dari cinta
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
21
manusia” (Lévi-Strauss, 1976: 384). Inilah cara Barat meringkus
Timur: dengan menjadikannya manekin eksotis yang tak bernoda.15
Dengan cara itu, Timur dijinakkan dan dipelihara agar tetap bodoh,
agar tetap setia pada takhayul dan akhirnya mudah ditaklukkan.
Orientalisme macam inilah yang kita jumpai dalam stereotipe
‘agama bumi’ yang secara tidak kritis direproduksi oleh Ayu Utami
dalam tuturan Parang Jati.
Spiritualisme Kritis atau Obskurantisme Antikritik?
PADA akhirnya, Bilangan Fu hendak mempromosikan apa
yang disebut sebagai ‘spiritualisme kritis’ (Utami, 2008: 454).
Namun seberapa kritiskah spiritualisme yang dimaksud? Telah
kita saksikan bahwa penekanan berulang pada sikap kritis dan
“laku-kritik” di sekujur novel nyatanya tak berjumbuh dengan
pandangan hitam-putihnya atas pergulatan antara modernisme
versus pascamodernisme, maupun antara monoteisme versus
‘agama bumi’. Bilangan Fu gagal melancarkan kritik atas “musuh-
musuh postmodernisme” tanpa mengerdilkan ‘musuh-musuh’
tersebut menjadi sekadar karikatur. Padahal tidak semua kaum
15) Tentu tampilan orientalis atas Timur tak selalu mengemuka sebagai sesuatu yang indah, damai
dan jinak. Tampilan itu bisa juga liar dan menyeramkan. Tetapi yang jadi benang merahnya adalah
bahwa Timur dihadirkan secara surealistik ketimbang realistik, secara hiperbolis, dilebih-lebihkan,
ketimbang apa yang secara faktual terjadi. Mengenai tampilan yang liar dan seram dari Timur, dapat
kita baca deskripsi klasik Joseph Conrad atas rimba raya Congo dalam Heart of Darkness: “We
penetrated deeper and deeper into the heart of darkness. It was very quiet there. At night sometimes
the roll of drums behind the curtain of trees would run up the river and remain sustained faintly, as
if hovering in the air high over our heads, till the first break of day. Whether it meant war, peace,
or prayer we could not tell. [...] We were wanderers on prehistoric earth, on an earth that wore the
aspect of an unknown planet. [...] The prehistoric man was cursing us, praying to us, welcoming
us—who could tell? We were cut off from the comprehension of our surroundings; we glided past like
phantoms, wondering and secretly appalled, as sane men would be before an enthusiastic outbreak
in a madhouse. We could not understand because we were too far and could not remember, because
we were traveling in the night of first ages, of those ages that are gone, leaving hardly a sign—and no
memories.” (Conrad, 1990: 31-32)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
22
modernis identik dengan fasis atau kapitalis, tidak semua kaum
monoteis identik dengan fundamentalis, dan tidak semua
penganut ‘agama bumi’ identik dengan pertapa lugu yang serba
murni bak Parang Jati.
Spritualisme kritis digambarkan sebagai sebuah sikap
yang menunda pembicaraan tentang kebenaran—“memanggul
kebenaran,” kata Parang Jati—demi membuka ruang bagi wacana
tentang kebaikan, sebab bila kebenaran tak ditunda maka ia akan
menjelma jadi kekuasaan (Utami, 2008: 437). Dalam kosakata
filsafat, apa yang dikehendaki sang pengarang di sini adalah
pengutamaan atas etika di atas epistemologi, pengutamaan
atas persoalan baik-buruk di atas persoalan benar-salah. Di
sinilah kerancuan teoretis Bilangan Fu mencapai puncaknya.
Bagaimana mungkin kritik yang masuk akal bisa dilancarkan bila
pembicaraan tentang kebenaran ditunda selamanya? Tidakkah
penundaan atas kebenaran akan membawa kita ke arah debat
kusir di sepanjang jalan ‘politik identitas’? Sebab bukankah
ketika upaya untuk merumuskan kebenaran secara diskursif dan
kolektif dikesampingkan, apa yang tersisa adalah soal selera etis
yang berbeda-beda dan tak seukur satu sama lain? Dengan kata
lain, apa yang kita peroleh ialah pengerasan identitas kultural
lengkap dengan nilai-nilai moral masing-masing kelompok.
Inilah yang nampak dalam pandangan reduktif Parang Jati atas
modernisme dan monoteisme, serta dalam sikapnya yang secara
tak kritis meluhurkan ‘agama bumi’ yang telah sedemikian rupa
disterilkan dari interogasi rasional. Apakah ini jika bukannya suatu
obskurantisme yang antikritik?
Jika kritik penulis ini benar, maka Bilangan Fu tak ubahnya
seperti novel-novel religi pada umumnya yang mempromosikan
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
23
nilai-nilai etiko-religius masing-masing. Alih-alih menanggapi
secara kritis politik identitas dalam rupa fundamentalisme religius
sebagaimana yang dikehendaki sedari mula, Bilangan Fu justru
melestarikan politik identitas yang sebangun. Visi alternatifnya
tentang kebijaksanaan Timur nyatanya pekat dengan semangat
orientalisme dan mistik utilitarian yang sejatinya berciri modernis.
Konstruksinya atas identitas pascakolonial Indonesia justru rentan
digunakan untuk membenarkan obskurantisme yang antikritik.
Gejala reaksi pascakolonial yang serupa pernah terjadi di India
dengan maraknya ‘nasionalisme Hindu’. Para eksponennya
membenarkan keberadaan sistem kasta karena hal itu dianggap
memiliki rasionalitasnya sendiri yang tak bisa direduksi pada
rasionalitas Barat yang modernis. Inilah yang dikritik Meera
Nanda sebagai suatu ‘hiper-modernisme yang agresif’.16
Alih-alih
mengartikulasikan ideal pascamodern, apa yang mengemuka
adalah modernisme yang digunakan untuk membenarkan struktur
sosial pramodern yang eksploitatif.
PERSOALAN paling dasar dari Bilangan Fu adalah kurangnya
penelitian pengarang atas literatur yang relevan terhadap
tema utama yang dikisahkannya. Pertama, pengarang gagal
mengetengahkan gambaran modernisme dan monoteisme
16) “The champions of Hindu nationalism pretend to set themselves apart from their Islamic and
Christian counterparts by claiming to be enlightened champions of democracy, secularism, science,
all of which they claim to find in the perennial wisdom of the Vedas, Vedanta, and in the original,
uncorrupted Vedic institution of four varnas or castes. When they use the modern word ‘secular,’ they
mean the traditional hierarchical tolerance of the relativity of truths that prevailed in a caste society.
When they use the word ‘science,’ they mean an enchanted, supernatural science based upon the
idealistic metaphysics of classical Hinduism that treats the divine as constitutive of all of nature. In
both cases, the modern is simply subsumed under the traditional by declaring both to be equivalentin
function and rationality.” (Nanda, 2003: 38)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
24
yang tak karikatural. Kedua, pengarang tak menguasai seluk-
beluk logika dari modernisme sehingga ia tercebur dalam cara
pandang modernis yang hendak ia kritik. Ketiga, karena tak
berhasil memposisikan modernisme dan monoteisme secara
proporsional, pengarang lantas tenggelam ke dalam visi alternatif
yang orientalistik dan obskurantis. Apabila masalah-masalah
ini dikaitkan dengan problem intrinsik lain yang telah dikupas
di awal, maka akar masalahnya tetap serupa: kurangnya
penelitian. Penggunaan kata-kata tak baku seperti ‘properti’ dan
‘postmodernisme’ menunjukkan bahwa pengarang kurang akrab
dengan KBBI. Sementara perwatakan serta penggunaan latar yang
janggal mencerminkan kurangnya gerak turun ke lapangan untuk
melihat alam batin masyarakat desa. Pada akhirnya, seluruh kritik
ini dapat diringkas ke dalam sebaris kalimat: menulis sastra didaktis
tanpa riset yang memadai adalah seperti memasak nasi goreng
tanpa nasi.
Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Conrad, Joseph. 1990. Heart of Darkness. New York: Dover Publications.
Descartes, René. 2005. “Meditations on First Philosophy”. Dalam
John Cottingham, dkk, ed. 2005. The Philosophical Writings of
Descartes, Volume II, h. 1-62. Cambridge: Cambridge University
Press.
Habib, M.A.R. 2005. A History of Literary Criticism: From Plato to
Present. Oxford: Blackwell Publishing.
Hermawan, Ary dan Matheos Messakh. 2008. “Ayu Utami, Nirwan
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
25
Dewanto win Khatulistiwa literary prize”. http://www.
thejakartapost.com/news/2008/11/15/ayu-utami-nirwan-
dewanto-win-khatulistiwa-literary-prize.html. Diakses tanggal 26
September 2013.
Kant, Immanuel. 1996. “An Answer to the Question: What Is
Enlightenment?” Dalam James Schmidt. 1996. What Is
Enlightenment: Eighteenth-Century Answers and Twentieth-
Century Questions, h. 58-64. Berkeley: University of California
Press.
Kurniawan, Eka. 2008. “Peluncuran Bilangan Fu”. http://ekakurniawan.
net/blog/peluncuran-bilangan-fu-320.php. Diakses tanggal 26
September 2013.
Lévi-Strauss, Claude. 1976. Tristes Tropiques diterjemahkan oleh John
Weightman dan Doreen Weightman. Harmondsworth: Penguin
Books.
Nanda, Meera. 2003. Prophets Facing Backward: Postmodern Critique
of Science and Hindu Nationalism in India. New Jersey: Rutgers
University Press.
Richards, I.A. 2001. Principles of Literary Criticism. London: Routledge.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Tacitus. 1942. “Germania”. Dalam Complete Works of Tacitus,
diterjemahkan oleh Alfred John Church. New York: The Modern
Library.
Utami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Watt, Ian. 2005. “The Rise of Novel”. Dalam Dorothy J. Hale. 2005.
The Novel: An Anthology of Criticism and Theory, 1900-2000, h.
462-480. Oxford: Blackwell Publishing.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
26
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
27
Pemenang Kedua
ENDIQ ANANG P.
Membedah
Kaki Kelima Nirwan
(Membongkar Ideologi
Nirwan Dewanto dalam
Buli-Buli Lima Kaki)
2
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
28
Membedah
Kaki Kelima
Nirwan
(Membongkar
Ideologi Nirwan
Dewanto dalam
Buli-Buli Lima
Kaki)
oleh Endiq Anang P.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
29
“Bukanlah kondisi manusia yang menentukan kesadaran
sosial masyarakat, tetapi sebaliknya, kondisi sosial
masyarakatlah yang menentukan kesadaran.”
(Karl Marx—A Contribution to the Critique of
Political Economy)
Sarang Sang Penyair
MANUSIA urban hidup dalam lanskap yang tidak
hitam-putih, melainkan abu-abu. Ia berada di dataran
antara modernisme dan irasionalitas. Oleh karena
itu, golongan ini tidak dapat didekati dengan dogma,
melainkan metafora. Camus dalam La Peste (2004),
memberikan penanda untuk bisa memahami gejolak
zaman manusia urban. Menurut Camus, tanda
tersebut bisa dikenali dengan melihat bagaimana
mereka makan (mengonsumsi), bercinta, dan mati.
Ketiga tanda itu bergerak bersama dan sekaligus,
membentuk aliran rutinitas yang terus-menerus
sampai ajal menjemput, serupa Sisifus yang dihukum
mendorong batu.
Selera penting bagi manusia urban. Mereka
membedakan dirinya dengan yang lain berdasarkan
selera yang dipilih. Namun, menurut Bourdieu (1979),
selera itu bukan pilihan bebas yang terjadi secara
alamiah, melainkan hasil konstruksi dari masyarakat
di mana manusia urban menghirup napasnya.
Sebagai pembukti, dalam penelitiannya yang banyak
menggunakan foto, Bourdieu memperlihatkan tangan
seorang perempuan tua yang bagian kepalanya telah
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
30
dihilangkan. Ia bertanya kepada para responden dari kelas buruh,
kelas menengah, dan kelas borjuis. Dan, jawaban yang diperoleh
Bourdieu berbeda-beda, sesuai selera masing-masing kelas sosial.
Dari penelitian tersebut, Bourdieu memberikan semacam
garis bawah bahwa di balik pilihan jenis makanan, gaya
berbusana, selera musik, bacaan, tempat-tempat wisata yang
dikunjungi, selera seni dan budaya, hobi hingga pilihan politik,
ada makna yang merujuk pada selera yang dipilih, yang kemudian
dihubungkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat.
Bourdieu berpendapat bahwa tingkat pendidikan dan pengasuhan
akan memberikan pengaruh yang signifikan dalam menentukan
selera seseorang. Lebih tegasnya lagi, dalam pandangan Bourdieu,
selera yang dipilih berada di bawah kendali kesadaran dan bahasa
melalui relasi antara habitus, kapital, dan field.
Habitus dalam kajian Bourdieu merupakan seperangkat
deposisi yang akan melahirkan praktik dan persepsi. Adapun
kapital yang dimaksud bukan sebatas kapital dalam perspektif
Marx yang membatasi diri pada corak produksi ekonomi
masyarakat; bagi Bourdieu kapital lebih luas daripada itu, yakni
mencakup kapital budaya (pendidikan, gaya berpakaian), kapital
sosial (ruang lingkup pergaulan) dan kapital simbolik (gelar,
penghargaan). Sementara itu, yang dimaksud field oleh Bourdieu
merupkan lingkungan sosial di mana posisi seseorang tumbuh
dan berkembang. Dialektika antara habitus, kapital, dan field inilah
yang kemudian menentukan selera manusia urban.
Merujuk pada nubuat Barthes yang sudah populer,
pengarang mati setelah karya tercipta. Namun, hal sebaliknya
justru terjadi pada habitus, kapital, dan field ala Bourdieu;
ketiganya tidak akan mati, akan terus bergulir membentuk
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
31
kesadaran penulis yang kemudian dimuntahkan dalam karya.
Maka, berdasarkan pemikiran Bourdieu tersebut, akan dapat
diuraikan apakah puisi Nirwan Dewanto yang terkumpul dalam
Buli-Buli Lima Kaki hanya sebatas permainan kata-kata belaka—
yang menempatkan bahasa dalam posisi netral—atau adakah
seperangkat selera yang ingin diwabahkan di sana.
Nirwan yang hidup di sarang masyarakat urban (Jakarta)
sering melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dan Eropa, dan
bergerak dalam sebuah komunitas kebudayaan urban yang disebut
Komunitas Utan Kayu (KUK), yang tentu saja mempunyai selera
sesuai lingkungan sosialnya. Dari situlah kode-kode dalam puisi
Nirwan akan dibedah guna mengetahui habitus, kapital, dan field
apa yang memengaruhi selera Nirwan, yang kemudian ingin
disemburkan kepada pembaca.
Perempuan yang Dijebak Nirwan dalam Labirin
YUNANI sangat kaya dengan mitologi. Salah satunya sosok
Minotaur—banteng bertanduk dengan badan manusia. Konon,
makhluk itu lahir karena kutukan Dewa Poseidon. Kisahnya
berawal ketika Poseidon meminta persembahan seekor banteng
jantan kepada Minos, Raja Kreta. Namun, sang raja justru
menyembuyikan banteng itu. Poseidon marah dan mengutuk
Pasifae, istri Minos, sehingga dibuat jatuh cinta pada banteng itu.
Atas pertolongan Daidalos, Pasifae berhasil mendapatkan banteng
betina tiruan. Ia pun masuk ke dalamnya dan bercinta dengan si
banteng jantan. Dari persetubuhan inilah lahir Minotaur.
Minotaur ditempatkan di tengah labirin yang rumit; sebuah
ruangan yang membingungkan buatan Daidalos. Setiap tahun,
penduduk Athena memberikan persembahan kepada Minotaur
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
32
berupa tujuh orang perawan dan tujuh orang perjaka sebagai
korban agar Kreta aman dari serangannya. Minotaur begitu
mengerikan. Tak ada yang sanggup mengalahkannya sampai
akhirnya muncul Theseus. Dengan dibantu Ariadne, putri Raja
Kreta, Theseus masuk ke dalam labirin berbekal gulungan benang
dan pedang pemberian sang putri. Benang itu kelak digunakan
oleh Theseus untuk menyusuri jejaknya kembali setelah berhasil
mengalahkan Minotaur demi keluar dari labirin. Dengan pedang
pemberian Ariadne, akhirnya Minotaur berhasil dibunuh. Theseus
muncul sebagai pahlawan.
Minotaur kemudian dioper oleh manusia modern. Dunia
modern yang terantuk perang, pembantaian, kemajuan mesin,
keinginan untuk damai, dan masalah kemanusian lain menjelma
tak ubahnya labirin ciptaan Daidalos yang seakan tanpa ujung-
pangkal. Manusia mencari pusat labirin itu. Berputar-putar.
Bertabrakan. Bersisihan. Saling menjegal. Di dalam labirin
tersebut, segala upaya seakan berakhir pada kesia-siaan. Seperti
yang dituliskan Jorge Luis Borges dalam Ibn Hakkan al Bokhari,
Dead in His Labyrinth: manusia pada pangkalnya mati dalam
labirinnya sendiri.
Sementara itu, Camus (2010) menggambarkan manusia-
manusia modern yang kesepian serupa mereka yang hidup di
tengah labirin padang pasir. Mereka membutuhkan lautan—
sebentuk fatamorgana asa—demi membangun imaji akan sebuah
dunia lain yang lebih luas. Kota-kota di Eropa seperti Paris,
Florence, Wina hingga Amsterdam telah menjadi begitu gemerlap,
tapi justru kegemerlapan itulah yang membuat manusia terasing.
Dengan petunjuk benang Ariadne, manusia-manusia modern
yang kesepian tersebut pergi menuju dermaga yang diyakini
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
33
sebagai gerbang menuju dunia baru. Namun, pada kenyataanya
orang-orang itu hanya berputar-berputar di dalam labirin mereka
sampai benang tersebut menjerat diri masing-masing. Pada
akhirnya, menurut Camus, di ujung kelelahannya manusia berhenti
berkeliaran dan membiarkan Minotaur memangsanya. Dengan
kata lain, Minotaur, walaupun jahat dan jelek wujudnya, selalu
dirindukan karena mampu membawa manusia ke dalam suasana
yang ambigu.
Begitu pun, perempuan dalam puisi “Sapi Lada Hitam”
yang hidup di dunia urban. Ia takut pada Minotaur, tapi selalu
merindukan buli-bulinya1
(kelaminnya) yang perkasa. Mungkin
perempuan itu adalah Ariadne yang meminta kepada Theseus agar
membunuh Minotaur; seorang perempuan yang tanpa sadar telah
jatuh cinta pada buli-buli Minotaur yang digambarkannya “dengan
lukisan warna emas dalam mimpimu, agar ia lekas memasukimu
dari celahmu yang mana saja”, walau ia jijik dengan “wujudnya
yang biasa menggiriskanmu.” Maka, diajukannya permintaan
kepada si lelaki untuk membinasakan Minotaur dengan satu
syarat: jangan sampai merusak buli-bulinya. Dan lelaki itu berhasil:
“Tenanglah. Ia sudah kulumpuhkan dan kubawa hanya untukmu”
[…]
“Buli-buli yang menegang selalu di antara
kedua pahanya akan kutanam untuk diriku sendiri, untuk terus
mendatangkan serbuk jantan bagiku.”
(Sajak “Sapi Lada Hitam”)
1) Buli-buli = botol/guci kecil. Dalam puisi Nirwan dipakai untuk menggambarkan penis.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
34
Kini laki-laki itu sah menggantikan Minotaur. Ia memiliki
keperkasaan serupa Minotaur, tapi tanpa tanduk sebab “telah
kulepas tanduknya” sehingga si perempuan tidak perlu merasa
takut lagi. Sekarang, sambil menyiapkan menu sapi lada hitam,
mereka bisa bercinta dengan leluasa karena si perempuan sudah
menanggalkan perasaan ngerinya:
“Jangan memandang ke arahku, aku hanya
akan memelukmu dari belakang. Dan mendesakkan buli-buli
emas yang selalu kauimpikan itu ke celahmu yang terbaik tanpa
kau tahu.”
(Sajak “Sapi Lada Hitam”)
Lantas, apa hubungan puisi “Sapi Lada Hitam” dengan
manusia urban?
Ketika perputaran dunia telah tiba pada era posmodern,
perempuan dalam puisi Nirwan masih belum beranjak jauh dari era
yang oleh Engels (2004) disebut sebagai zaman barbarisme tahap
tertinggi; suatu tahapan ketika busur dan anak panah ditemukan.
Dengan alat-alat tersebut, binatang liar telah menjadi makanan
harian dan para lelaki menjadi pemburu. Nirwan mengawetkan
pandangan tentang domestifikasi perempuan dalam puisinya,
di mana tempat perempuan semestinya berada di dalam rumah
seraya menunggu sang lelaki pulang berburu. Dengan begitu,
perempuan diharuskan setia di dalam labirin, sementara laki-laki
bebas mengembara sesuka hati dengan senjata yang ia miliki.
Pandangan Nirwan segaris dengan pandangan kaum laki-laki
zaman batu yang diwariskan, bahkan dikekalkan, hingga sekarang.
Menurut Bhasin (1996), pandangan kuno itu melegalkan dominasi
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
35
laki-laki atas perempuan berdasarkan pengandaian bahwa
aktivitas berburu membuat laki-laki mempunyai fisik yang lebih
kuat daripada lawan jenisnya. Menjadi pemburu berarti laki-laki
mencari nafkah—ini pula yang mengukuhkannya sebagai kstaria—
sementara karena perempuan lemah maka ia butuh dilindungi dari
ancaman (Minotaur) oleh kaum laki-laki. Dengan demikian, meski
berada di dalam rumah, perempuan juga perlu “[meng]enakan
gaunmu yang paling putih. Sembunyikan rambut mayangmu di
bawah kerudung putih” agar ia tidak dikenali sebagai perempuan
sebab jika sampai hal tersebut terjadi maka ia bisa saja diincar oleh
kaum pemangsa lain ketika pasangannya sedang berburu (di luar
rumah). Artinya, perempuan wajib selalu menjaga diri “agar aku
lupa kau seorang betina”. Dan, setelah hewan buruan (Minotaur)
ditangkap, barulah giliran perempuan yang berperan untuk
mengolahnya:
“Pilihlah bagian tubuhnya yang terbaik dengan pisaumu,
pisau paling tajam di dunia ini. Mungkin sedikit di atas
paha dan di bawah pusarnya, bagian yang mengandung
gegurat putih-perak yang menyilaukan mata. Sayat pelan-
pelan, agak dalam di bawah kulit, agar arus darah tak meledak
lepas ke udara.”
[…]
“Lalu letakkan sayatan terbaik itu
pada nampan logam panas yang telah kusiapkan. Jangan beri
terlalu banyak garam, bawang dan paprika. Abaikan semua
resep, nasihat maupun doa. Tapi siapkan bubuk lada hitam agak
berlimpah. Taburkan pelan-pelan, sesuai isyarat api tungku.”
(Sajak “Sapi Lada Hitam”)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
36
Tidak ada pergeseran. Perempuan dengan pisaunya tetap
diberi tugas memasak. Dalam hal ini, adakah bedanya antara
Minotaur dan si lelaki pembunuh? Jawabannya adalah tidak ada.
Keduanya sama-sama menempatkan perempuan dalam sekapan
domestifikasi. Mereka hanya beda wajah, tapi berkarakter sama.
Kemasanlah yang membedakan keduanya. Budaya urban sangat
mahir membunuh yang tradisonal—mitologi Minotaur bertanduk—
sebelum kemudian menggantinya dengan wajah lain yang lebih
ramah dan menarik (walaupun sama jahatnya) sehingga mampu
memikat hati Ariadne-Ariadne lain; para perempuan yang sudi
diperam dalam labirin patriarki demi menunggu kepulangan
seorang laki-laki, pemangsanya. Pada zaman yang berbeda,
perempuan dalam “Sapi Lada Hitam” hanya berputar-putar dalam
labirin yang telah menjebaknya.
Entah laki-laki itu bernama Minotaur, Theseus, atau Nirwan,
misalnya, ia akan sama saja: mengandalkan buli-buli demi
memikat perempuan. Begitu pentingnya buli-buli maka benda ini
perlu dirawat agar selalu perkasa sehingga patukannya mematikan.
Ramuan perlu dikonsumsi. Obat-obatan wajib diminum. Maka,
menjamurlah toko-toko yang menjual kebutuhan semacam itu.
Salah satu yang terkenal adalah toko yang menjual “Kobra”:2
“Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur
daripada taringku.” Harapan para konsumen setelah menelan
obat-obatan itu adalah si buli-buli bisa “menari tanpa henti, untuk
memikat bakal kekasih, yang tak mampu lagi melihat lukisan gaya
baru pada kulitku.” Tapi, adakah taring yang paling manjur dijual
di sana? Si penjual—sebagaimana penjual obat kebayakan—tidak
2) Sajak “Kobra”.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
37
bisa memberikan kepastian: “Namun kau tak mampu menjawab
ketika seorang pelanggan bertanya, ‘Mana yang paling baik untuk
mematikan seekor kuda hitam?”’ Ironisnya, si penjual sendiri
ternyata tidak mampu memberikan “kepuasan” sehingga istrinya
dibawa oleh sewujud cerpelai3
yang menunggang kuda hitam:4
“Siang tadi kulihat sang cerpelai berbelanja ke tokomu, ia
bersepatu dan berpakaian rapi, dan ia memborong banyak
sekali taring, bisa dan kulit berwarna hijau lumut, dan di ujung
jalan ia mengambil seekor kuda hitam dari tambatan, yang di
pelananya sudah duduklah istrimu, sungguh, aku tak berdusta.”
(Sajak “Kobra”)
Masyarakat urban dan mitos memang tidak bisa disapih.
Walaupun revolusi industri telah memumbulkan peradaban
hingga menyentuh langit-langit pencapaian yang belum pernah
dikenal sebelumnya (memukul lebur struktur agraris dan feodal,
membuka jalan tol bagi industrialisasi, membuat rasionalisme
berjingkrakan), manusia-manusianya ternyata tidak sanggup
melepaskan diri dari budaya nenek moyang mereka, yaitu mitos.
Mitos, yang selalu berayun dalam kesamaran, misteri, dan tak
terpediksi oleh rumus-rumus ilmiah, masih terasa memikat bagi
manusia modern yang hidup dalam dunia yang nyaris monoton
dan serba pasti, di mana rasionalitas adalah segalanya. Mitos
3) Cerpelai = garangan; binatang yang suka mencuri ayam peliharaan. Dalam konteks ini, cerpelai
merupakan laki-laki yang mencuri istri orang.
4) Dalam dongeng-dongeng dikisahkan bahwa penyelamat sang putri adalah tokoh pangeran yang
datang dengan naik kuda putih. Namun, dalam puisi “Kobra”, laki-laki yang menunggang kuda
hitam merupakan personifikasi dari laki-laki pencuri dan kudanya. Dengan berkuda hitam (gelap)
maka diharapkan ia tak akan terlihat saat sedang beraksi (apalagi ketika hari tidak lagi terang).
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
38
memang ambivalen, dianggap benar dan tidak. Sifat ambivalen
inilah yang menempatkan mitos bertautan dengan metafora dan
alegori. Boleh saja manusia-manusia urban itu mengaku telah
menanggalkan budaya kampung seraya sangat rajin menenteng
smart phone ke mana-mana, tapi pada kenyataannya mereka
ternyata masih dihantui mitos seputar daya tahan seksual
sehingga rela berburu serbuk kadal Mesir, Mak Erot, sampai kobra
hanya karena semua itu dianggap ampuh membuat kejantanan
kaum laki-laki tak kenal lunglai dalam pertarungan “menaklukkan”
perempuan. Karena kedigdayaan “buli-buli” merupakan sarana
untuk mengekalkan dominasi terhadap perempuan, maka
benda spesial yang satu ini pun perlu dijaga dan dipertahankan
kebugarannya agar mampu bertarung kapan saja dan di mana
saja. Tak pelak lagi, darah dan empedu kobra yang kabarnya bisa
“memaksaku berdiri tegak” itu mesti dicari.
Tak dapat dielakkan, perempuan dalam puisi Nirwan tetap
menjadi objek—lagi-lagi terjebak dalam labirin. Maka, buli-buli
pun berubah menjadi taji—“tapi lebih sering lagi kauasah mulutmu
dengan tajiku”5
—atau berubah menjadi gading—“yakni gading
yang suka menggalimu di balik gaun”6
—atau menjelma serupa
belalai—“belalai yang mahir membidikmu”7
—atau mewujud lebih
ganas lagi: linggis—“linggis beliung kaku kelu”8
. Hingga semakin
benderanglah gagasan yang ada di balik ragam pilihan kata
Nirwan atas nama buli-buli, yaitu alat untuk menaklukkan sang
5) Sajak “Museum Birahi Suci”.
6) ibid
7) ibid
8) Sajak “Virgo”.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
39
objek [perempuan]: taji, gading, belalai, linggis, hingga pisau. Sila
dibayangkan bagaimana lingga perempuan di-taji, di-linggis, atau
ditikam dengan pisau oleh si pemangsa, seraya ia menyanyikan
kidung pujian demi menutupi maksud hati sebenarnya; “benar aku
suka menggerakkanmu seperti boneka bunraku.”9
Dan, memang
benar! Perempuan dalam sajak Nirwan tak ubahnya boneka yang
pasrah diapakan saja, tanpa mampu melawan atau memberontak.
Dan sebagaimana kita tahu, boneka bunraku merupakan sejenis
boneka yang dipakai dalam pertunjukan sandiwara untuk
bangsawan-bangsawan (kelas atas) Jepang. Begitulah perempuan
dalam perspektif Nirwan yang mesti berlaku serba sempurna,
anggun, dan indah karena ia akan tampil di depan bangsawan
(sang tuan; laki-laki).
Lantas, bagaimana nasib perempuan yang dijebak dalam
labirin itu? Yang telah di-taji, di-linggis? Sebagai manusia, tentu
saja sang Puan10
tidak bahagia karena menjadi objek semata. Ia
hidup dalam dukacita, tapi tak mau menampakkannya. Maka
dipakainya “gaun kembang biru muda”11
ketika “pergi berkeliling
kota”12
demi menyamarkan kedukaan itu. Sembari mengusir
dukanya, si Puan:
“Duduk-duduk di taman
Menikmati matahari
Memandang bocah-bocah kecil
9) op.cit.
10) Sajak “Puan”.
11) ibid
12) ibid
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
40
Dan siswa-siswa pembolos sekolah
Dan ibu-ibu pembosan rumah.”
(Sajak “Puan”)
Ia ingat semasa bocah ketika masih bebas ke sana-kemari
dan berbuat apa saja. Ia teringat pula masa sekolah ketika
impian masih seluas bentangan langit dengan cinta platonis yang
dianggap abadi. Semua itu tentu tidak pernah dirasakan lagi oleh
si Puan karena ia diperangkap dalam labirin. Namun, kenang-
kenangan itu rupanya belum dirasa cukup sehingga si Puan:
“…singgah di toko buku
Menyigi betapa berlimpah
Kitab pengobatan hati
Kitab penyelamat
Kitab sup ayam bagi jiwa.”
(Sajak “Puan”)
Rupanya, si Puan ingin mencari obat bagi kedukaannya dari
kitab-kitab itu. Bacaan serupa ini memang tengah menjamur di
rak-rak toko buku. Tukang-tukang motivator sudah sejajar dengan
para kiai. Televisi menayangkan khotbah-khotbahnya dan penerbit
menghimpun kata-kata sucinya dalam wujud buku bersampul
tebal. Si Puan memang sedang hidup di zaman New Age
(zaman pencerahan jilid II), sebagaimana yang dimaklumatkan
John Naisbitt dan Patricia Aburdane dalam Megatrend 2000:
Spiritualiy Yes!; Organized Religion, No! Seperti yang diuraikan
Camus (2010) bahwa, ketika kesepian marak menyeruak di
tengah modernisme dan agama “resmi” tidak mampu memberikan
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
41
jawaban, maka manusia mencari obat baru. Kegersangan gurun
pasir dunia Utara telah memacu orang untuk mempelajari lagi
ajaran-ajaran arkaik dari Hinduisme, Budhisme, sampai ajaran
China hingga petuah Tao sebagai pelepas dahaga. Ini terjadi
ketika, menurut Nietzsche, Tuhan telah mati dan gereja sebagai
tempat menyimpan jasadnya, pun dogma agama, tidak lebih
daripada sekadar kata-kata yang membosankan. Kencenderungan
humanisme modern yang menempatkan manusia sebagai
sosok utama—sementara pada sisi lain memperkosa alam habis-
habisan—justru membuat manusia itu sendiri terkurung dalam
labirin gersang gurun pasir. Maka, agama pun dioplos dengan
ajaran-ajaran lain hingga menjadi sebentuk spiritual baru yang
memarakkan era New Age ini. Dan rupanya, si Puan mencoba
mencari jawaban atas kedukaannya dari kitab-kitab hasil oplosan
tersebut. Apakah ia menemukannya di sana?
“Sang dukacita tercengang-cengang
Begitu keliru para pengarang itu
Memahami dirinya.”
(Sajak “Puan”)
Mungkin benar sarkasme yang beredar akhir-akhir ini:
“Hidup tak semudah cocot Mario Teguh.” Tidak heran, si Puan
gagal menemukan apa yang dicarinya. Luka yang disandangnya
akibat lama disekap dalam labirin itu bukan luka luar:
“Kau yang pernah mengira
Tubuh sang dukacita penuh
Bilur lebam dan bekas luka
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
42
Akan kecewa bila tahu
Di spa, ketika ia telanjang sepenuhnya
Betapa si pemijat terpana-pana
Akan tubuh selicin itu.”
(Sajak “Puan”)
Luka itu memang tidak tampak di atas kulit licinnya yang
rutin diolesi reramuan seperti yang diiklankan lewat televisi
dan ditawarkan di mal-mal papan atas, serta selalu dirawat
di sanggar kecantikan. Luka perempuan urban bukan luka
perempuan golongan “bawah” yang timbul akibat pukulan atau
sundutan rokok suami yang pemabuk. Luka itu tiada lain adalah
keterasingan yang tidak akan bisa dilihat oleh mata. Apa yang
dialami si Puan serupa yang dikatakan Driyarkara (2006), yakni
sebentuk “Sayap yang Berluka”. Manusia modern memiliki
kebebasan, tidak dikekang lagi oleh agama dan tetek-bengek
adat serta norma seperti pada Zaman Kegelapan, tapi di satu
titik justru membuat paradoks pada dirinya sendiri. Mesin-mesin
buatan zaman industri telah mampu menciptakan apa saja yang
dibutuhkan manusia, tubuh bisa dirias-rias sebagus-bagusnya,
tapi seperti kata Driyarkara, manusia tak berkutik. Inilah yang
membuat si Puan terasing. Ia tampil sempurna untuk menutupi
sayapnya yang terluka.
Mungkin Karl Marx lebih tajam dalam mengurai
mengapa manusia bisa merasa terasing (alienasi). Menurut Marx
sebagaimana disitir Fromm (2004), alienasi bukan hanya terjadi
ketika manusia tidak bisa memahami dirinya saat menguasai
dunia, tapi lebih daripada itu, yakni ketika manusia juga terasing
dari dunianya—alam, benda-benda, dan sesamanya. Pemikiran
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
43
Marx sejajar dengan apa yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Lama,
yaitu ketika manusia berubah menjadi syirik. Makna syirik bukan
sekadar manusia menyembah banyak Tuhan, melainkan lebih
gawat daripada itu; ketika manusia justru menyembah dan memuja
berhala ciptaannya sendiri. Akibatnya, manusia tergantung pada
berhala dan tidak mampu menjadi dirinya sendiri. Tepat sindirian
Democritus, filsuf Yunani: ia berjalan-jalan di pasar membawa obor
di siang bolong. Ketika ditanya apa yang dicarinya, ia menjawab,
“Manusia!” Itulah yang tengah dialami si Puan. Oleh karena itu,
untuk menyembuhkan dukacitanya, semestinya si Puan menemui
Marx, bukan berpaling pada “kitab sup ayam” atau “kitab pengobat
hati”. Dengan begitu, diharapkan ia akan memberontak dan kabur
dari labirinnya. Sayangnya, si Puan mesti tunduk pada Nirwan
yang jelas bukan Kiri. Bagi Nirwan, Kiri sudah dimangsa “Hiu”
(kapitalisme) ketika orang-orang Kiri dibantai dan di penjara setelah
peristiwa Oktober 1965.13
Nirwan memberi kesaksian:
“di masa kanakku
Pernah kulihat di perut hiu yang dibelah
Sepotong kain merah alangkah merah
Pakaian siapakah melanglang sejauh itu
Pakaian orang kiri yang diburu serdadu?”
(Sajak “Hiu”)
Nirwan memang tidak percaya pada ideologi Kiri ciptaan
Marx. Dalam puisinya “Palu”, ia berhujah: ”[…] kami pernah
13) Nirwan lahir tahun 1961 sehingga ketika pecah tragedi 1965 umurnya sekitar empat tahun.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
44
membantingmu ke arah Revolusi; si sabit menyandingimu tapi
kami tak percaya akan warna merah darah yang mengalasi kau
berdua.” Palu-Arit14
(simbol komunisme) dengan warna merah
sebagai latar benderanya tidak dipercayai Nirwan. Revolusi
komunis setelah peristiwa di Soviet dan China, bagi Nirwan, tidak
ada lagi karena telah dimangsa oleh kapitalisme (hiu). Dengan
begitu, tidak ada pilihan bagi si Puan untuk memilih Kiri, hingga
terpaksalah ia:
“…menjelma menjadi siapa saja
Sambil berkliling-kliling kota
Menghangatkan aneka pasar dan plaza.”
(Sajak “Puan”)
Lantas, ia pun menghilang: “sang puan dukacita tak terlihat
lagi”. Mungkin saja, ia kembali diperangkap dalam labirin agar
“taji”, “gading”, “belalai” dan “linggis” Nirwan tak kehilangan
taklukan. Sesekali, si Puan memang muncul sebagi istri orang
yang berselingkuh dengan si aku di sebuah hotel di Bali. Mereka
sedang ber-“Bulan Madu”15
sambil “membuat film pendek yang
tanpa alur”16
. Kita tentu tahu “film pendek tanpa alur” adalah
film porno. Dengan kata lain, si aku tengah men-taji, me-linggis
si perempuan tanpa melibatkan perasaan. Bukankah dalam film
porno tidak dibutuhkan perasaan, selain bagaimana caranya
agar birahi bisa dituntaskan dalam berbagai varian jurus yang
14) “Arit” dalam puisi Nirwan disebut “sabit”
15) Sajak “Bulan Madu”.
16) ibid
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
45
menghebohkan? Jangan harap ada drama dan melankoli di
sana. Namun, sebagaimana paradoks manusia urban, sebelum
berpisah keduanya tetap “larut dalam haru”17
. Untungnya, mereka
segera diingatkan bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah
sebatas membuat film pendek tanpa alur; setelah permainan
cinta usai maka selesailah hubungan. Selepas ini, si perempuan
memulai lagi rutinitasnya “mengiris daun bawang untuk telur
dadar sarapannya sendiri”18
di dapur dan waktu melakukan itu ia
“terluka telunjuk kirinya oleh pisau”19
. Si perempuan telah kembali
dalam kesendirian dan keterlukaannya. Sementara itu, suami si
perempuan dengan “kasar membanting pintu kamar”20
, tidak
mempedulikannya lagi. Oke, film pendek sudah usai. Tapi, tunggu
dulu, si perempuan ternyata muncul lagi dalam “Virgo”:
“Kau mengembang ketika
Ujungku menggorokkan luka
Penuh jarum benang sari
Lebih terang dari surya.”
(Sajak “Virgo”)
Apa sebenarnya Virgo ini?:
“Segi tiga sama sisi
Bercelah dan bergigi—
Permisi-permisi—
17) ibid
18) ibid
19) ibid
20) ibid
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
46
Izinkan aku masuk.”
(Sajak “Virgo”)
Virgo tiada lain adalah arsitektur vagina, dengan celah dan
giginya, tempat dimana ujungku akan dimasukkan. Virgo kembali
menjadi objek dari “linggis beliung kaku kelu” yang digunakan
untuk “menggorokkan luka” sembari menyemprotkan “jarum
benang sari”[sperma]. Sebenarnya, siapakah pemilik Virgo? Ketika
berada di “Hotel Felix Culpa”,21
setelah si lelaki “mencelupkan
telunjukku ke mulutmu/Lalu berusaha memasukimu dua kali,
mungkin tiga kali”22
, pemilik Virgo meminta kepastian kepada
lelaki itu untuk memilih: “antara jantung hati dan puting susu”23
.
Dan, si lelaki akhirnya memilih jantung hati: takluk.
Nosferatu: Coca Cola, Kentang Prancis, dan Sepatu
Manolo Blahnik
TERNYATA, pemilik Virgo itu tiada lain adalah “Nosferatu”. Si dia
ini mungkin akan membuat kita terkaget-kaget karena habitus
Nirwan akan tampak semakin bugil. Seperti apa identitas Nosferatu
yang bisa membuat Nirwan bertekuk lutut?:
“Sungguh kau semacam dewi, meski
Tanganmu berbulu dan tungkaimu
Terlalu panjang dan mulutmu
Selalu menghembuskan bau keju.”
21) Sajak “Hotel Felix Culpa”.
22) ibid
23) ibid
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
47
(Sajak “Nosferatu”)
Rupanya, Nosferatu bukan perempuan Indonesia karena
mulutnya selalu “menghembuskan bau keju”. Dan, bila menengok
tempat tinggalnya: “Di luar salju turun, dan aku/Tak tahu
bagaimana pulang”. Keju dan salju sudah pasti bukan ciri khas
Indonesia. Mungkin tempat itu berada nun di benua Eropa atau
Amerika. Yang jelas, Nirwan merasa dirinya berasal dari negeri
budak ketika berada di tempat Nosferatu:
“Ia mestinya belajar ilmu jiwa
Kepada aku, budak sebuah negeri
Di mana setiap pejantan bahagia
Tak serong di bawah matahari.”
(Sajak “Nosferatu”)
Ciri negeri budak (Indonesia) adalah pejantannya (laki-
lakinya) tidak serong pada siang hari—di bawah matahari; tidak
perlu sembunyi-sembunyi. Untuk apa seorang lelaki dari negeri
budak bersetubuh dengan perempuan berbau keju?:
“Lalu lidahku mencari lidahmu
Agar esok aku berani mengunyah
Brokoli mentah dan keping salami
Dan tak akan berdosa lagi aku.
Jika dalam badai salju menantang
Sang iblis Oaxaca. Sebab lidahku
Sudah serupa miliknya. Lidah api
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
48
Mahir mencuri jantung hatimu.”
(Sajak “Nosferatu”)
Ternyata tujuan si lelaki adalah agar ia bisa sekasta dengan
si perempuan yang tangannya berbulu itu; naik kelas dari lelaki
negeri budak menjadi lelaki dari negeri tuan. Setelah persetubuhan
tersebut, si lelaki sudah merasa sama dengan lelaki yang berasal
dari negara “dunia pertama”, si iblis Oaxaca: “Sebab lidahku/
Sudah serupa miliknya”. Dengan demikian, sah-lah ia menikahi
Nosferatu (budaya keju beriklim salju/Utara) dan tidak perlu
cemburu lagi. Pandangan Nirwan dalam “Nosferatu” rupanya
masih digandoli pandangan kolonialis. Orang-orang yang berasal
dari bekas negeri jajahan umumnya selalu berusaha menyejajarkan
diri dengan penduduk negeri penjajah dengan cara mengikuti pola
hidup sang penjajah demi dianggap beradab dan modern. “Lidah”
tentu saja bukan sekadar sarana mengecap makanan, tapi lebih
daripada itu, yakni alat untuk berbicara, menggetarkan kata-kata.
Maka, si lelaki perlu “mencari lidahmu” agar bisa berbahasa dalam
bahasa sang Nosferatu.
Dalam menganalisis penjajahan Inggris di India, Spivak
(2001) memberikan penjabaran tentang bagaimana akar
kolonialisme itu bisa tetap menjangkar, yakni salah satunya
lewat “kekerasan epestemik”. Orang-orang India “dipaksa”
mempelajari bahasa Inggris, selain sebagai alat komunikasi,
juga untuk memahami kesusastraan Inggris. Lewat karya sastra
kolonial itulah dicangkokkan pola pikir si penjajah ke dalam
kepala rakyat jajahannya. Cara ini dilakukan dengan sedemikian
halus hingga tidak disadari oleh masyarakat terjajah, sebaliknya
malah menimbulkan anggapan bahwa apa yang mereka baca
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
49
adalah milik mereka sendiri. Namun, apa yang dialami Nirwan
jelaslah bukan sejenis “kekerasan epistimik” ala Spivak karena
ia melakukannya dengan sadar dan penuh kepasrahan. Dengan
terang-terangan, ia ingin menjadi “londo hitam” agar “lidahku/
Sudah serupa miliknya”.
Betul! Nosferatu merupakan film klasik tentang vampir
yang terinspirasi novel Bram Stoker, Dracula. Agar bisa sebangsa
dengan vampir, seseorang manusia harus rela digigit lehernya
dan diisap darahnya. Setelah itu, ia pun sah diakui sebagai bagian
dari bangsa vampir (pengisap; negara “dunia pertama” sering
digambarkan sebagai pengisap negara Selatan sejak era kolonial
sampai sekarang). Tidak heran, Nirwan pasrah saja ketika lehernya
hendak diisap oleh Nosferatu: Maka lekaslah tutupkan mataku/
Dan ulurkan taringmu ke leherku.” Harapannya, usai itu ia akan
merasa satu dengan Nosferatu:
“Lalu coklat sawo dan putih roti
Atau gelap manggis dan pucat lili
Berkelindan di depan perapian
Mana sanggup berpisah lagi.”
(Sajak “Nosferatu”)
Cokelat dan putih tak sanggup berpisah; Nirwan merasa
tak sanggup diceraikan dari negeri vampir. Setelah diisap
darahnya, ia ingin abadi di sana sebagaimana abadinya bangsa
vampir. Namun, rupanya masih ada hal lain yang mengganggu
transformasi Nirwan. Apakah itu? Kulit. Nirwan membenci kulit
cokelatnya:
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
50
“Dengan dua sloki wiski Kentucky
Jadilah aku batang terendam
Bangkitkanlah sampai kau sabar
Meniti kulit coklat jahanamku.”
(Sajak “Nosferatu”)
Saking inginnya berkulit putih serupa Nosferatu, sang
vampir, Nirwan menjahanamkan kulit coklatnya. Mungkin baginya
hal tersebut adalah sebuah kutukan bagi manusia yang dilahirkan
oleh matahari khatulistiwa. Tak pelak lagi, walaupun lidahnya
sudah disamakan dengan Nosfaratu, dan lehernya telah diisap
darahnya, warna kulit cokelatnya tidak bisa diubah; kecuali ia
melakukan operasi plastik meniru Michael Jackson, misalnya. Pada
akhirnya, putih tetap dianggap lebih tinggi dibandingkan cokelat.
Gegar kulit yang dialami Nirwan sebetulnya diderita pula oleh
manusia urban lain, yang rajin memutihkan kulitnya; sebab yang
putih adalah yang paling unggul dan memesona. Obat pemutih
dan operasi pencerah kulit pun rela dikejar bahkan sampai ke
luar negeri—tentu saja makna luar negeri di sini bukan Suriah,
Afghanistan, Maroko atau Kenya, tapi minimal Singapura, dan
tentu saja Eropa atau Amerika. Lagi-lagi, keinginan agar dianggap
setara dengan negara “dunia pertama” menjadi penting. Tidak
hanya soal kulit, nama ternyata juga dipandang sebagai sumber
keminderan. Nirwan rupanya agak kikuk jika berada di “Pelabuhan
Udara” di negeri Utara karena namanya tidak sepelafalan dengan
nama orang-orang dari negeri Nosferatu:
“Ketika petugas keamanan bertanya siapa nama
keluargaku, kusorongkan beberapa, misalnya saja Kiarostami,
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
51
Natalegawa, Ologoundou, Rabearivelo, atau Guayasamin.”
(Sajak “Pelabuhan Udara”)
Nama tentu saja menunjukkan identitas si pemilik pada
KTP atau paspor. Sebagai lelaki kelahiran Surabaya, Nirwan tidak
punya nama keluarga sebagaimana Nosferatu. Karena merasa
minder dikenali sebagai seseorang yang berasal dari negeri yang
“belum tertera dalam peta”24
oleh petugas bandara, ia lekas-lekas
berkata: “Pilih mana saja, Tuan, yang membuat pencatat sidik
jarimu lekas menganggukkan kepala,”25
sambil melafalkan nama-
nama yang seolah-olah tak berbau Indonesia. Rupanya, ia takut
kombinasi nama dan warna kulitnya bisa menimbulkan kecurigaan
sehingga si petugas tak lekas meloloskannya dari pintu imigrasi. Ia
takut ditampik.
Sebetulnya, dengan terbang Nirwan ingin mencabutkan diri
dari akarnya yang berasal dari ayah kelahiran Tiwanaku dan ibu
kelahiran Bayuwangi. Namun, akar itu ternyata sulit dihilangkan
walaupun tubuhnya sudah dibawa terbang melintasi samudera
dan benua. Maka, digugatlah ayah-bundanya:
“Ayah, kenapa
kau hendak tertanam lagi di kampung halaman kami? Bunda,
kenapa akar-akar kami membelit lehermu?”
(Sajak “Pelabuhan Udara”)
24) Sajak “Pelabuhan Udara”
25) ibid.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
52
Nirwan ternyata mengalami krisis identitas itu; terombang-
ambing antara akar ayah dan bunda yang hendak dicerabutnya
demi menancap di negeri Nosferatu. Dalam kajian Spivak
sebagaimana disitir Marton (2008) ketika menelaah novel Jane
Eyre, posisi termarjinalkan Jane terselamatkan ketika ia diadopsi
keluarga River (sang tuan/negara penjajah). Pun, Nirwan yang
merasa minder karena kulit cokelatnya dan namanya yang tanpa
nama keluarga merasa terselamatkan ketika diposisikan sejajar
oleh negara Nosferatu dengan mendapat fasilitas penumpang
(warga) kelas satu (walaupun hanya) di pesawat. Ketika ia tertegun
memikirkan akar lamanya yang sulit dikibaskan, muncullah suara
penyelamat: “Lekaslah, hai penumpang kelas satu.”;26
ia sudah
mengalami transformasi kelas.
Kini, (ia merasa) kelasnya sudah menjadi kelas satu. Dan
sebagai warga kelas satu, tak bisa tidak minuman dan makanan
yang masuk ke dalam mulut pun perlu disesuaikan. Jangan heran,
untuk menghilangkan “Dahaga”, ia tidak bisa asal minum:
“Kau mencuri dari lidahku
Merah muda belia
Atau putih semenjana
Untuk melunakkan coklatmu”
(Sajak “Dahaga”)
Minuman yang berhasil mencuri lidah “merah muda belia
atau putih semenjana” Nirwan adalah Coca Cola—salah satu jenis
minuman yang berlabel minuman ringan (soft drink). Minuman
26) ibid.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
53
yang terbuat dari campuran sirup karamel ini pertama kali
diperkenalkan oleh John Styth Pemberton, seorang ahli farmasi
dari Altanta, pada 8 Mei 1886. Sang teman, Frank M. Robinson,
menyarankan agar hasil minuman itu diberi nama Coca Cola
dengan alasan bahwa huruf “C” lebih mudah dikenali. Dan, benar
saja! Logo Coca Cola sekarang sudah tenar di seluruh dunia,
bahkan sangat rutin menghiasi papan iklan dan layar kaca. Bagi
masyarakat urban, Coca Cola bermakna lebih daripada sekadar
minuman.
Menurut Baudrillard (1996), dalam kultur urban,
mengonsumsi bukan semata-mata memasukkan makanan ke
dalam perut, melainkan sebuah proses manipulasi tanda. Apa
yang dikosumsi bukan lagi objek-objek melainkan sistem objek-
objek. Dengan kata lain, meminum Coca Cola merupakan proses
pencarian idetintas; ia bukan semata sarana untuk menghilangkan
dahaga, melainkan yang lebih penting adalah tanda dari kultur
modern. Maka Nirwan pun menyandingkan Coca Cola dengan
tanda yang sepadan: “[…]Untuk menyelamatkan aku/ Dari
kentang goreng Prancis/Pencengkeram urat leherku.”27
Coca Cola
disandingkan dengan kentang goreng Prancis bukan dengan ketela
goreng, misalnya. Dan, yang penting, meminum Coca Cola berarti
mencabuti akar/identitas lama yang masih tersisa:
“Kau rajin mencabuti akarku
Supaya aku membubung tinggi.”
(Sajak “Dahaga”)
27) Sajak “Dahaga”.
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
54
Sebagaimana telaah Baudrillard, mengonsumsi juga
dipandang sarana untuk menunjukkan gengsi, kemakmuran,
erotisme, modernisme dan tanda-tanda keurbanan lain. Tidak heran,
ketika meminum Coca Cola, si peneguk merasa mem­bubung gengsi
dan citranya sebagai manusia modern. Tapi, apakah proses “imitasi”
demikian berjalan mulus? Ternyata masih ada kekagokan di sana:
“Kau hidup berkalang es
Untuk menyelamatkan aku
Dari kentang goreng Prancis
Pencengkeram urat leherku”
(Sajak “Dahaga”)
Ketika menggabungkan Coca Cola dengan kentang
goreng Prancis, Nirwan merasa belum terbiasa sehingga lehernya
tercengkeram. Pun, ketika menyandingkan Coca Cola dengan
bistik Argentina:
“Betapa daging bakar Argentina
Gagal (lagi) berjodoh denganmu.”
(Sajak “Dahaga”)
Pencarian identitas itu terus-menerus dilakukan agar sesuai
dengan budaya Nosferatu. Semuanya dicoba demi mencari yang
pas. Sampai akhirnya:
“Tapi bakmi keriting Shanghai
Bisa masuk dalam perangkapmu.”
(Sajak “Dahaga”)
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
55
Dengan begitu, Nirwan sudah merayakan dekolonialisasi
modern (kalangan aktivis Kiri menyebutnya neoliberalisme) sambil
menenggak Cola Cola. Tidak ada perlawanan di sana. Nirwan
bersedia mengorbankan apa saja demi menjadi sekasta dengan
Nosferatu. Sehingga apa yang diharapkan Spivak (2001) untuk
melawan alienasi kultural guna menjadi dirinya sendiri dengan
“menunda persetujuan” (a willing suspension of disbelief) tidak
akan kita temukan dalam puisi Nirwan. Artinya, keurbanan
dirayakan dengan suka cita mulai dari sepatu Manolo Blahnik, gaun
rancangan Tuan Lawata, majalah Femina, kentang goreng Prancis,
daging bakar Argentina, wiski Kentucky, sampai Coca Cola.
Nirwan pelan-pelan sudah semakin jauh dari akarnya. Ia
sudah mulai bosan dengan cakrawala tempat ia dulu dilahirkan.
Pun, ia bosan dengan hujan—sebuah berkah dari daerah tropis.
Mengapa ia bosan?
Penyair yang Bosan dengan Hujan
TIDAK seperti nenek moyangnya yang bertungkus lumus
membalik-balik tanah di sawah yang selalu merindu hujan dan
berduka ketika hujan datang terlambat, Nirwan justru tidak bisa
mencintai hujan:
“Aku tidak mencintaimu sebab dalam puisimu jarum-
jarum hujan sekadar jatuh tegak lurus dengan muka bumi.”
(Sajak “Belaka”)
Puisi “Belaka” diperuntukkan Nirwan kepada Sapardi
Djoko Darmono. Nirwan menampakkan kebosanannya dengan
hujan: “Kau hanya mencintai hujan yang jatuh dari langit, terutama
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
56
langit bulan Juni… Kau tak mendengarkanku, dan terus saja
kau mengumpulkan hujan yang itu-itu juga dalam puisimu.”28
Bahkan hujan itu sedemikan memuakkan bagi Nirwan sehingga
diumpakan: “seperti pegawai di kantor walikota.”29
Dengan kata
lain, Nirwan menggugat Sapardi, yang kenapa hanya menulis puisi
tentang hujan yang membuatnya bosan.
Dibosankan oleh hujan, Nirwan enggan menulis tentang
hujan. Hujan sudah menjadi masa lalu baginya. Ia pun lebih
suka menulis tentang keju dan salju, Coca Cola, dan kentang
goreng Prancis. Sebagaimana yang ia akui sendiri bahwa setelah
meminum Coca Cola maka akarnya tercabuti, lidahnya sudah
mulai terbiasa dengan brokoli mentah, dan hatinya lebih mencintai
Nosferatu dibandingkan si Puan. Ia tidak rindu lagi pada hujan
(yang hanya mengingatkannya pada tanah becek kampung
halaman) karena yang dirindukannya adalah tempat-tempat nun
di Utara—di mana hujan tidak turun seperti di tanah khatulistiwa.
Maka, tidak salah jika ia memanjatkan “Doa Musim Gugur” bukan
Doa Musim Hujan karena tempat yang diimpikannya adalah:
“Hutan mapel yang menutup semenanjung dan mengekalkan
diri ke arah observatorium, atau titik di mana kau biasa mencekat
lautan kembang api Empat Juli.”
(Sajak “Doa Musim Gugur”)
Jika Indonesia memiliki “Tujuhbelas Agustus” maka
Amerika memiliki “Empat Juli”. Amerika adalah negara tempat di
28) Sajak “Belaka”.
29) ibid
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
57
mana Nirwan sering melabuhkan mimpi-mimpinya. Ia memang
berbeda dari Sapardi yang telah berurat-akar di negara tropis ini
sehingga tidak heran jika puisi Sapardi berkisah tentang hujan
melulu—“Percakapan Malam Hujan” dan “Hujan Bulan Juli”.
Sebaliknya, Nirwan lebih suka menulis tentang salju sebagaimana
yang terpanjat dalam doanya:
“Ketika aku menggunakan bebuliran untuk menyebut salju yang
terlalu tergesa menghampiri puluhan tomat yang belum selesai
dipetik di Eagle Heights—“
(Sajak “Doa Musim Gugur”)
Bahkan, tomat yang diinginkan Nirwan pun mesti dipetik
jauh-jauh di Eagle Heights—salah satu perkebunan tomat di
Amerika Serikat—bukan di Batu atau daerah Puncak, misalnya;
karena tomat di tempat itu tidak dibasuh oleh hujan, melainkan
salju. Mungkin saja banjir besar di Jakarta akibat hujan adalah
salah satu alasan mengapa Nirwan hendak menjauh dari hujan.
Yang pasti, Nirwan lagi-lagi memilih ber-“Doa Musim Semi”
daripada ber-Doa Musim Hujan karena ia selalu teringat waktu:
“…sarapan pagiku, aku menyantap roti putih Italia yang keras
kepala meskipun lelidah salju tak lagi mampu menyaingi putih
piringku, dan pisauku enggan berkilat di permukaan margarina
yang cepat melunak di bawah tatapanku.”
(Sajak “Doa Musim Semi”)
Tentu saja, Nirwan tidak merindukan hujan seperti nenek
moyangnya dulu, yang menonton hujan di serambi sembari
Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013
58
menyantap ubi bakar bersanding kopi pahit dan rokok klobot.
Rindu Nirwan hanya mau menjangkar pada roti Italia yang
disantapnya ketika musim semi. Ia tak merindu pula pada burung
emprit kaji yang bersembunyi di antara dedaunan ketika hujan
menderas, sebaliknya yang dirindukannya:
“…pasukan belibis berleher hijau, pemecah selimut es di
danau dekat rumahku, ketika pepohonan birch mulai menekuk
lutut dan membanggakan lagi putih kulit mereka yang tua.”
(Sajak “Doa Musim Semi”)
Kalaupun terpaksa menulis hujan, maka Nirwan memilih
menulis “Hujan di Monona”—salah satu kota di Amerika Serikat.
Sebab, hujan di sana sudah jelas berbeda:
“Tertinggal di ranting mapel, rambut hujan.
Mengulum tampuk poeni, mulut hujan.
Terlipat di pinggir danau, jubah hujan.”
(Sajak “Hujan di Monona”)
Ia tentu lebih akrab dengan hujan di Monona ketimbang
hujan di Lereng Merapi, misalnya, lebih akrab dengan mapel
dibandingkan waru, karena akarnya sudah tercerabut dari tanah
tempat tali pusarnya di kuburkan. Dengan begitu, tidak heran jika
Nirwan menjadi penyair yang konsisten menyuarakan kosakata
negara-negara Utara. Ia memang menulis dengan bahasa
Indonesia, tapi lebih suka bercerita tentang mapel, poeni, roti atau
salju daripada hujan. Guna menarik garis pembeda bahwa dirinya
adalah penyair yang lain daripada yang lain, Nirwan menggunakan
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013
MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013

More Related Content

What's hot

Agama : Hakikat Manusia Menurut Islam
Agama : Hakikat Manusia Menurut IslamAgama : Hakikat Manusia Menurut Islam
Agama : Hakikat Manusia Menurut Islam
Wachidatin N C
 
CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
 CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
Akhmad Muhibudin
 
Makalah euthanasia
Makalah euthanasiaMakalah euthanasia
Makalah euthanasia
Shinta Ari Herdiana
 
PENULISAN KARYA ILMIAH - Konsep Dasar, Pengertian, Kegunaan, Jenis
PENULISAN KARYA ILMIAH - Konsep Dasar, Pengertian, Kegunaan, JenisPENULISAN KARYA ILMIAH - Konsep Dasar, Pengertian, Kegunaan, Jenis
PENULISAN KARYA ILMIAH - Konsep Dasar, Pengertian, Kegunaan, Jenis
Diana Amelia Bagti
 
Hakikat Ilmu Pengetahuan
Hakikat Ilmu PengetahuanHakikat Ilmu Pengetahuan
Hakikat Ilmu Pengetahuan
Nurmahmudah M.Phil.
 
Tantangan dan masa depan ilmu
Tantangan dan masa depan ilmuTantangan dan masa depan ilmu
Tantangan dan masa depan ilmuayu Naoman
 
Hubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agamaHubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agamaBuyung Iskandar
 
Makalah kerusakan lingkungan hidup akibat populasi manusia
Makalah kerusakan lingkungan hidup akibat populasi manusiaMakalah kerusakan lingkungan hidup akibat populasi manusia
Makalah kerusakan lingkungan hidup akibat populasi manusia
Sevent Saja
 
Format penulisan laporan
Format penulisan laporanFormat penulisan laporan
Format penulisan laporan
Yuliana
 
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuanObyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuanOperator Warnet Vast Raha
 
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
Nico Prakasa
 
Bab v harmoni kewajiban dan hak negara ddan warga negara
Bab v harmoni kewajiban dan hak negara ddan warga negaraBab v harmoni kewajiban dan hak negara ddan warga negara
Bab v harmoni kewajiban dan hak negara ddan warga negara
Syaiful Ahdan
 
PPT kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
PPT kedudukan dan Fungsi Bahasa IndonesiaPPT kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
PPT kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Chusnul Khotimah
 
Laporan hasil wawancara kelompok 4
Laporan hasil wawancara   kelompok 4Laporan hasil wawancara   kelompok 4
Laporan hasil wawancara kelompok 4
Wahyuda5
 
Soal dan jawaban filsafat ilmu dari semua materi.docx alwi
Soal dan jawaban filsafat ilmu dari semua materi.docx alwiSoal dan jawaban filsafat ilmu dari semua materi.docx alwi
Soal dan jawaban filsafat ilmu dari semua materi.docx alwi
AlwiAssegaf
 
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
chikaa22
 
Hubungan ilmu, agama dn filsafat
Hubungan ilmu, agama dn filsafatHubungan ilmu, agama dn filsafat
Hubungan ilmu, agama dn filsafatSusi Yanti
 
KARYA ILMIAH PEMBUSUKAN TOMAT
KARYA ILMIAH PEMBUSUKAN TOMAT KARYA ILMIAH PEMBUSUKAN TOMAT
KARYA ILMIAH PEMBUSUKAN TOMAT Siti Jum'atun
 

What's hot (20)

Agama : Hakikat Manusia Menurut Islam
Agama : Hakikat Manusia Menurut IslamAgama : Hakikat Manusia Menurut Islam
Agama : Hakikat Manusia Menurut Islam
 
CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
 CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
CONTOH BIODATA PENULIS DAN MOTTO DALAM SKRIPSI
 
Makalah euthanasia
Makalah euthanasiaMakalah euthanasia
Makalah euthanasia
 
Kerusakan lingkungan
Kerusakan lingkunganKerusakan lingkungan
Kerusakan lingkungan
 
PENULISAN KARYA ILMIAH - Konsep Dasar, Pengertian, Kegunaan, Jenis
PENULISAN KARYA ILMIAH - Konsep Dasar, Pengertian, Kegunaan, JenisPENULISAN KARYA ILMIAH - Konsep Dasar, Pengertian, Kegunaan, Jenis
PENULISAN KARYA ILMIAH - Konsep Dasar, Pengertian, Kegunaan, Jenis
 
Hakikat Ilmu Pengetahuan
Hakikat Ilmu PengetahuanHakikat Ilmu Pengetahuan
Hakikat Ilmu Pengetahuan
 
Tantangan dan masa depan ilmu
Tantangan dan masa depan ilmuTantangan dan masa depan ilmu
Tantangan dan masa depan ilmu
 
Hubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agamaHubungan filsafat dan agama
Hubungan filsafat dan agama
 
Makalah kerusakan lingkungan hidup akibat populasi manusia
Makalah kerusakan lingkungan hidup akibat populasi manusiaMakalah kerusakan lingkungan hidup akibat populasi manusia
Makalah kerusakan lingkungan hidup akibat populasi manusia
 
Format penulisan laporan
Format penulisan laporanFormat penulisan laporan
Format penulisan laporan
 
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuanObyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
Obyek material dan obyek formal ilmu pengetahuan
 
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
 
Bab v harmoni kewajiban dan hak negara ddan warga negara
Bab v harmoni kewajiban dan hak negara ddan warga negaraBab v harmoni kewajiban dan hak negara ddan warga negara
Bab v harmoni kewajiban dan hak negara ddan warga negara
 
PPT kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
PPT kedudukan dan Fungsi Bahasa IndonesiaPPT kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
PPT kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
 
Laporan hasil wawancara kelompok 4
Laporan hasil wawancara   kelompok 4Laporan hasil wawancara   kelompok 4
Laporan hasil wawancara kelompok 4
 
Soal dan jawaban filsafat ilmu dari semua materi.docx alwi
Soal dan jawaban filsafat ilmu dari semua materi.docx alwiSoal dan jawaban filsafat ilmu dari semua materi.docx alwi
Soal dan jawaban filsafat ilmu dari semua materi.docx alwi
 
Contoh jurnal
Contoh jurnalContoh jurnal
Contoh jurnal
 
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
Ra'yu dengan ijtihad (Tugas Agama)
 
Hubungan ilmu, agama dn filsafat
Hubungan ilmu, agama dn filsafatHubungan ilmu, agama dn filsafat
Hubungan ilmu, agama dn filsafat
 
KARYA ILMIAH PEMBUSUKAN TOMAT
KARYA ILMIAH PEMBUSUKAN TOMAT KARYA ILMIAH PEMBUSUKAN TOMAT
KARYA ILMIAH PEMBUSUKAN TOMAT
 

Similar to MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013

Tugas kritik sastra
Tugas kritik sastraTugas kritik sastra
Tugas kritik sastra
SMK Negeri 2 Denpasar, Bali
 
Makalah sosiologi sastra
Makalah sosiologi sastraMakalah sosiologi sastra
Makalah sosiologi sastra
rentalaka
 
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Vanny Andriani Huang
 
Tulisan2 Masyarakat Madani
Tulisan2 Masyarakat MadaniTulisan2 Masyarakat Madani
Tulisan2 Masyarakat MadaniYusni Sinaga
 
Seminar proposal salman
Seminar proposal salmanSeminar proposal salman
Seminar proposal salman
Fery Zahuri
 
Makalah tentangsastra
Makalah tentangsastraMakalah tentangsastra
Makalah tentangsastra
Mustain Doang
 
Kritik satra
Kritik satraKritik satra
Kritik satra
Via Nugraha
 
Kritik sastra
Kritik sastraKritik sastra
KRITIK SASTRA.pptx
KRITIK SASTRA.pptxKRITIK SASTRA.pptx
KRITIK SASTRA.pptx
RhimaIntan
 
Makalah senrup2
Makalah senrup2Makalah senrup2
Makalah senrup2
Dani Ibrahim
 
ppt_kelompok3_teorisastra_A.pptx
ppt_kelompok3_teorisastra_A.pptxppt_kelompok3_teorisastra_A.pptx
ppt_kelompok3_teorisastra_A.pptx
LilaOktavia
 
Analisis Novel Perempuan Kembang Jepun
Analisis Novel Perempuan Kembang JepunAnalisis Novel Perempuan Kembang Jepun
Analisis Novel Perempuan Kembang JepunChurifiani Eva
 
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesiaManfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesiaMujahid Vanquisher
 
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
Coral Reef
 
Makalah sejarah sastra 2
Makalah sejarah sastra 2Makalah sejarah sastra 2
Makalah sejarah sastra 2
romi firdaus
 
1.Paradigma_Teori_Kritis.pdf dr. Ambo Upe
1.Paradigma_Teori_Kritis.pdf dr. Ambo Upe1.Paradigma_Teori_Kritis.pdf dr. Ambo Upe
1.Paradigma_Teori_Kritis.pdf dr. Ambo Upe
ninolato75
 
Macam-Macam Karya Ilmiah Populer
Macam-Macam Karya Ilmiah PopulerMacam-Macam Karya Ilmiah Populer
Macam-Macam Karya Ilmiah Populer
Adellia Putri
 
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
aureliagao
 
SOSIOSASTRA.ppt
SOSIOSASTRA.pptSOSIOSASTRA.ppt
SOSIOSASTRA.ppt
TadrisBahasaIndonesi
 

Similar to MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013 (20)

Tugas kritik sastra
Tugas kritik sastraTugas kritik sastra
Tugas kritik sastra
 
Makalah sosiologi sastra
Makalah sosiologi sastraMakalah sosiologi sastra
Makalah sosiologi sastra
 
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
Permasalahan Sosial dalam Cerpen Air Karya Ras Siregar (Tinjauan Sosiologi Sa...
 
Kritik sastra
Kritik sastraKritik sastra
Kritik sastra
 
Tulisan2 Masyarakat Madani
Tulisan2 Masyarakat MadaniTulisan2 Masyarakat Madani
Tulisan2 Masyarakat Madani
 
Seminar proposal salman
Seminar proposal salmanSeminar proposal salman
Seminar proposal salman
 
Makalah tentangsastra
Makalah tentangsastraMakalah tentangsastra
Makalah tentangsastra
 
Kritik satra
Kritik satraKritik satra
Kritik satra
 
Kritik sastra
Kritik sastraKritik sastra
Kritik sastra
 
KRITIK SASTRA.pptx
KRITIK SASTRA.pptxKRITIK SASTRA.pptx
KRITIK SASTRA.pptx
 
Makalah senrup2
Makalah senrup2Makalah senrup2
Makalah senrup2
 
ppt_kelompok3_teorisastra_A.pptx
ppt_kelompok3_teorisastra_A.pptxppt_kelompok3_teorisastra_A.pptx
ppt_kelompok3_teorisastra_A.pptx
 
Analisis Novel Perempuan Kembang Jepun
Analisis Novel Perempuan Kembang JepunAnalisis Novel Perempuan Kembang Jepun
Analisis Novel Perempuan Kembang Jepun
 
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesiaManfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
Manfaat sosiologi bagi bidang keilmuan sastra indonesia
 
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
6. teori kritik sastra indonesia modern pada periode kritik sastra akademik
 
Makalah sejarah sastra 2
Makalah sejarah sastra 2Makalah sejarah sastra 2
Makalah sejarah sastra 2
 
1.Paradigma_Teori_Kritis.pdf dr. Ambo Upe
1.Paradigma_Teori_Kritis.pdf dr. Ambo Upe1.Paradigma_Teori_Kritis.pdf dr. Ambo Upe
1.Paradigma_Teori_Kritis.pdf dr. Ambo Upe
 
Macam-Macam Karya Ilmiah Populer
Macam-Macam Karya Ilmiah PopulerMacam-Macam Karya Ilmiah Populer
Macam-Macam Karya Ilmiah Populer
 
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
6 buku HEGEMONI gramsci.pdf
 
SOSIOSASTRA.ppt
SOSIOSASTRA.pptSOSIOSASTRA.ppt
SOSIOSASTRA.ppt
 

More from primagraphology consulting

pengantar-daras-filsafat.pdf
pengantar-daras-filsafat.pdfpengantar-daras-filsafat.pdf
pengantar-daras-filsafat.pdf
primagraphology consulting
 
Teologi pembebasan dalam Islam.pdf
Teologi pembebasan dalam Islam.pdfTeologi pembebasan dalam Islam.pdf
Teologi pembebasan dalam Islam.pdf
primagraphology consulting
 
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdfKeagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
primagraphology consulting
 
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdfMengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
primagraphology consulting
 
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONE...
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONE...BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONE...
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONE...
primagraphology consulting
 
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKHSEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
primagraphology consulting
 
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISIMEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
primagraphology consulting
 
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
primagraphology consulting
 
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
primagraphology consulting
 
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIBPEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
primagraphology consulting
 
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
primagraphology consulting
 
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
primagraphology consulting
 
MENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIA
MENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIAMENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIA
MENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIA
primagraphology consulting
 
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITIONMAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
primagraphology consulting
 
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
primagraphology consulting
 
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIBBADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
primagraphology consulting
 
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABITENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
primagraphology consulting
 
DEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIB
DEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIBDEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIB
DEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIB
primagraphology consulting
 
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALASEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
primagraphology consulting
 
TRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COM
TRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COMTRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COM
TRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COM
primagraphology consulting
 

More from primagraphology consulting (20)

pengantar-daras-filsafat.pdf
pengantar-daras-filsafat.pdfpengantar-daras-filsafat.pdf
pengantar-daras-filsafat.pdf
 
Teologi pembebasan dalam Islam.pdf
Teologi pembebasan dalam Islam.pdfTeologi pembebasan dalam Islam.pdf
Teologi pembebasan dalam Islam.pdf
 
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdfKeagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
 
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdfMengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
 
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONE...
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONE...BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONE...
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONE...
 
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKHSEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
 
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISIMEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
 
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
 
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
 
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIBPEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
 
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
 
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
 
MENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIA
MENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIAMENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIA
MENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIA
 
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITIONMAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
 
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
 
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIBBADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
 
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABITENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
 
DEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIB
DEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIBDEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIB
DEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIB
 
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALASEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
 
TRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COM
TRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COMTRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COM
TRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COM
 

Recently uploaded

Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum MerdekaModul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
 
Tabel 1. 7 Ruang Lingkup Terintegrasi dalam Mata Pelajaran dalam CASEL PSE.pdf
Tabel 1. 7 Ruang Lingkup Terintegrasi dalam Mata Pelajaran dalam CASEL PSE.pdfTabel 1. 7 Ruang Lingkup Terintegrasi dalam Mata Pelajaran dalam CASEL PSE.pdf
Tabel 1. 7 Ruang Lingkup Terintegrasi dalam Mata Pelajaran dalam CASEL PSE.pdf
ppgpriyosetiawan43
 
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptxMateri 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
ahyani72
 
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptxPenjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
GuneriHollyIrda
 
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
arianferdana
 
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakatPPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
jodikurniawan341
 
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratPendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Eldi Mardiansyah
 
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docxKisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
irawan1978
 
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
mohfedri24
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
Kanaidi ken
 
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdfRHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
asyi1
 
EVIDENCE BASED DALAM PELAYANAN KB DAN KONTRASEPSI.pdf
EVIDENCE BASED DALAM PELAYANAN KB DAN KONTRASEPSI.pdfEVIDENCE BASED DALAM PELAYANAN KB DAN KONTRASEPSI.pdf
EVIDENCE BASED DALAM PELAYANAN KB DAN KONTRASEPSI.pdf
Rismawati408268
 
Annisa Qatrunnada Mardiah_2021 A_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Annisa Qatrunnada Mardiah_2021 A_Analisis Kritis Jurnal.pdfAnnisa Qatrunnada Mardiah_2021 A_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Annisa Qatrunnada Mardiah_2021 A_Analisis Kritis Jurnal.pdf
annisaqatrunnadam5
 
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
agusmulyadi08
 
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptxObservasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
akram124738
 
PERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptx
PERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptxPERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptx
PERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptx
TeukuEriSyahputra
 
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagjaPi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
agusmulyadi08
 
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdfPPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
SdyokoSusanto1
 
Visi Misi SDN 2 Krenceng dalam Observasi Kepala Sekolah
Visi Misi SDN 2 Krenceng dalam Observasi Kepala SekolahVisi Misi SDN 2 Krenceng dalam Observasi Kepala Sekolah
Visi Misi SDN 2 Krenceng dalam Observasi Kepala Sekolah
kusnen59
 
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docxSOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
MuhammadBagusAprilia1
 

Recently uploaded (20)

Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum MerdekaModul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 5 Fase C Kurikulum Merdeka
 
Tabel 1. 7 Ruang Lingkup Terintegrasi dalam Mata Pelajaran dalam CASEL PSE.pdf
Tabel 1. 7 Ruang Lingkup Terintegrasi dalam Mata Pelajaran dalam CASEL PSE.pdfTabel 1. 7 Ruang Lingkup Terintegrasi dalam Mata Pelajaran dalam CASEL PSE.pdf
Tabel 1. 7 Ruang Lingkup Terintegrasi dalam Mata Pelajaran dalam CASEL PSE.pdf
 
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptxMateri 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
 
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptxPenjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
Penjelasan tentang Tahapan Sinkro PMM.pptx
 
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
2. Kerangka Kompetensi Literasi Guru SD_Rev.pptx
 
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakatPPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
 
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa BaratPendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
Pendampingan Individu 2 Modul 1 PGP 10 Kab. Sukabumi Jawa Barat
 
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docxKisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
Kisi-kisi soal pai kelas 7 genap 2024.docx
 
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
ppt materi aliran aliran pendidikan pai 9
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan_ PENGAWASAN P3DN & TKDN_ pd PENGADAAN Ba...
 
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdfRHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
RHK Jabatan Kep Sekolah dan Bukti Dukung.pdf
 
EVIDENCE BASED DALAM PELAYANAN KB DAN KONTRASEPSI.pdf
EVIDENCE BASED DALAM PELAYANAN KB DAN KONTRASEPSI.pdfEVIDENCE BASED DALAM PELAYANAN KB DAN KONTRASEPSI.pdf
EVIDENCE BASED DALAM PELAYANAN KB DAN KONTRASEPSI.pdf
 
Annisa Qatrunnada Mardiah_2021 A_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Annisa Qatrunnada Mardiah_2021 A_Analisis Kritis Jurnal.pdfAnnisa Qatrunnada Mardiah_2021 A_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Annisa Qatrunnada Mardiah_2021 A_Analisis Kritis Jurnal.pdf
 
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
 
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptxObservasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
Observasi-Kelas-oleh-Kepala-Sekolah.pptx
 
PERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptx
PERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptxPERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptx
PERSENTASI AKSI NYATA MODUL 1.4 BUDAYA POSITIF.pptx
 
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagjaPi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
 
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdfPPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
PPT ELABORASI PEMAHAMAN MODUL 1.4. budaya positfpdf
 
Visi Misi SDN 2 Krenceng dalam Observasi Kepala Sekolah
Visi Misi SDN 2 Krenceng dalam Observasi Kepala SekolahVisi Misi SDN 2 Krenceng dalam Observasi Kepala Sekolah
Visi Misi SDN 2 Krenceng dalam Observasi Kepala Sekolah
 
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docxSOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
 

MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI : ANTOLOGI ESAI PEMENANG SAYEMBARA KRITIK SASTRA DKJ 2013

  • 1.
  • 2.
  • 3. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 i
  • 4. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 ii Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 2: 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Pidana Pasal 72: 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • 5. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 iii Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 Bandung Mawardi Endiq Anang P. Ita Siregar M. Irfan Zamzami Martin Suryajaya Sulaiman Djaya Sunlie Thomas Alexander Penyunting: Dini Andarnuswari
  • 6. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 iv MEMASAK NASI GORENG TANPA NASI Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 © Bandung Mawardi • Endiq Anang P. • Ita Siregar • M. Irfan Zamzami • Martin Suryajaya • Sulaiman Djaya • Sunlie Thomas Alexander Cetakan Pertama, Desember 2014 Penyunting Dini Andarnuswari Proofreader Kurnia Midiasih Perancang Sampul Riosadja Penata Letak Heru Firdaus ISBN 978-979-1219-04-4 Dewan Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya No. 73, Jakarta 10330 Telp. 021.31937639 • www.dkj.or.id
  • 7. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 v DAFTAR ISI Daftar Isi v Kata Pengantar vii Esai Antara Pascamodernitas dan Pramodernitas: Telaah Intrinsik atas Novel Bilangan Fu 1 Membedah Kaki Kelima Nirwan (Membongkar Ideologi Nirwan Dewanto dalam Buli-Buli Lima Kaki) 27 Polarisasi Barat dan Timur dalam Novel Pulang Karya Leila S. Chudori, Sebuah Perspektif Poskolonialisme 61 Novel dan Referensi Sastra 83 Puisi Meng­­amanatkan Sejarah 117
  • 8. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 vi Narasi Kuliner dan Problem Identitas: Membaca Konde Penyair Han 145 Perempuan yang Dihapus Namanya oleh Avianti Armand 170 Dari Isidora ke Jalan Lain ke Belinyu, Meneroka Arsitektur Kisah “Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai” Karya Raudal Tanjung Banua 193 Biodata Bandung Mawardi 234 Endhiq Anang P. 235 Ita Siregar 236 Martin Suryajaya 237 M. Irfan Zamzami 238 Sulaiman Djaya 239 Sunlie Thomas Alexander 240
  • 9. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 vii KATA PENGANTAR HAMPIR setahun yang lalu, pada 17 Desember 2013, saya, AS Laksana, Zen Hae, Eka Kurniawan dan Yusi Avianto Pareanom diundang oleh sebuah majalah di Jakarta untuk mendiskusikan perkembangan sastra Indonesia kontemporer dalam 10 tahun terakhir. Kami menyambut gembira undangan itu, karena kami jarang sekali dapat bertemu dan berbincang di sebuah kesempatan dengan topik yang sering kami pikirkan selama ini. Kami sepakat menganggap perkembangannya cukup menarik. Hal itu ternyata tidak lepas dari peran industri perbukuan dalam negeri yang mengalami masa cerahnya pasca krisis moneter dan berakhirnya pemerintahan Suharto. Industri pasti membutuhkan barang untuk diproduksi. Peran internet pun tidak dapat dipungkiri. Media internet yang para penggunanya dulu terbatas pada orang-orang bisnis atau kalangan aktivis untuk menggalang solidaritas perlawanan lintas negara di masa pemerintahan Suharto yang otoriter, kini dapat menjadi sarana alternatif bagi siapa saja atau para penulis untuk menerbitkan karya-karya mereka. Teknologi internet pula yang mendukung terbentuknya
  • 10. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 viii komunitas pengguna media sosial dan menjadikannya ajang untuk berkomunikasi serta bertukar informasi. Akses terhadap pengetahuan dari dunia luar menjadi terbuka lebar. Saya dapat membaca gratis suratkabar Financial Times atau memperoleh buku-buku yang ditulis sejarawan ataupun sastrawan dari luar Indonesia secara online. Kesenjangan akibat kendala geografi sebagian besar teratasi oleh teknologi abad ini. Kebebasan media dan keterbukaan politik telah mendukung tersedianya ruang berekspresi dengan skala luas. Kalau ditinjau dari segi kesempatan dan bahan, dinamika tersebut sudah seharusnya mendukung penciptaan karya-karya sastra. Dunia prosa memang makin ramai kemudian, begitu pula puisi. Daerah-daerah di luar Pulau Jawa atau “periferi” yang di masa Suharto jarang terjangkau oleh proyek “pembangunan”, sekarang mengenalkan para penulisnya kepada kita. Nama-nama baru dan masih segar muncul. Komunitas-komunitas penulis ikut lahir dan bertumbuh di berbagai tempat di negeri ini ketika kebebasan berkumpul dan berorganisasi tidak dihambat lagi. Sejumlah karya mereka ada yang dimuat di media nasional bertiras besar dan jarang sekali di antara mereka yang tidak memiliki blog atau situs sendiri sebagai etalase produk kreatifnya. Apakah keberuntungan itu sejalan dengan penciptaan karya-karya bermutu dalam konteks sastra Indonesia kontemporer? Dalam diskusi itu, kami berlima justru pesimistis. Kami sepakat bahwa penyebab kegagalan utama menyelaraskan iklim keterbukaan sekarang dengan memproduksi karya bermutu adalah tidak adanya kritik sastra yang baik. Kita tidak hanya memerlukan jurnal sastra, tetapi juga membutuhkan orang- orang yang penuh dedikasi untuk menjaga serta memperhatikan
  • 11. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 ix kesusastraan sebagai penulisnya. Namun, ketersediaan media dan sikap berbakti saja tidak cukup. Selain membaca banyak buku, penulisnya harus melakukan riset dan memahami teori dengan baik. Pendek kata, kritik sastra adalah karya tersendiri. Saking awamnya pemahaman orang terhadap kritik sastra, banyak yang menganggap feedback (komentar atau pujian atau cercaan pembaca setelah usai menyimak buku tertentu dan sah-sah saja sebagai bentuk apresiasi) sebagai kritik sastra. Antologi esai para pemenang sayembara kritik sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) ini juga tidak luput mencerminkan kelucuan (atau keluguan) semacam itu. Salah satu esai secara serius membahas daftar pustaka sang penulis novel hanya untuk menegaskan kepada kita bahwa tokoh-tokoh dalam novel tersebut suka membaca buku sastra. Ketiadaan kritik sastra yang baik dan bertanggung jawab membuat daftar penanggung musibahnya bertambah panjang. Para pendidik atau guru-guru di sekolah yang mengenalkan buku- buku kepada siswa mereka (mengingat pengenalan terhadap karya sastra perlu dilakukan sejak usia dini) tanpa mengetahui dengan tepat dan jelas macam apa buku-buku itu, ibarat menganjurkan orang untuk doyan makan tanpa menjelaskan apa manfaat dan bahaya dari makanan tersebut akibat tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dampaknya bagi kelangsungan jiwa seseorang. Padahal karya bermutu seperti makanan bergizi, yang menyehatkan dan menguatkan tubuh serta mencerdaskan otak. Kritik sastra yang baik akan memandu pembaca untuk memilih karya-karya bermutu sebagai bahan bacaan mereka dan membuat para penulis kemudian terpacu menciptakan karya-karya bermutu untuk pembacanya yang kritis. Pada titik ini, seorang kritikus
  • 12. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 x dengan kriteria tersebut akan membawa kita kepada peradaban manusia yang lebih tinggi dan bermartabat. Bagaimana dengan kritik sastra yang bertumpu pada penelitian para akademisi di fakultas-fakultas sastra? Tanpa bermaksud mengabaikan peran mereka yang benar-benar berjasa, saya memahami keterbatasan waktu mereka untuk dapat berkonsentrasi di bidang ini (mengingat kritik sastra adalah disiplin tersendiri) dan dampaknya. Seorang novelis bercerita kepada saya bahwa ia menertawai kritik terhadap novelnya yang dimuat di sebuah suratkabar. Penulis kritik itu seorang dosen yang menyatakan bahwa hanya Tuhan dan penulis novel itu sendiri yang dapat memahami novelnya. Profesi seseorang rupanya tidak dapat menjadi satu-satunya jaminan bagi kebenaran, melainkan sikap kritis yang didukung kekayaan pengetahuan, pengalaman dan wawasan seseorang yang layak kita percaya. Sejumlah esai pemenang sayembara kritik sastra yang diselenggarakan DKJ ini menunjukkan masalah-masalah paling mendasar dalam karya-karya para penulis kita, termasuk mereka yang terlanjur populer dan sudah dianggap penulis, yaitu terbatasnya pengetahuan dan wawasan tentang tema yang digarap, dan kurangnya kecakapan menulis. Namun, tiga esai terbaik antologi ini memaparkan bahwa selain masalah-masalah tadi, ada masalah lain yang tidak kalah penting dan mengkhawatirkan. Karya-karya tersebut memperlihatkan adanya kerancuan dan bias pada cara pandang para penulisnya ketika membicarakan relasi antar manusia dalam tarik-menarik antara modernitas dan tradisionalitas, posisi diri sebagai sang terjajah dan yang akhirnya dibebaskan, dan konteks sosial-budayanya.
  • 13. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 xi Akhir kata, mudah-mudahan antologi ini dapat bermanfaat terhadap siapa pun yang peduli terhadap sastra. Jakarta, 6 Desember 2014 Linda Christanty Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta periode 2013 - 2015
  • 14. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 xii
  • 15. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 1 Pemenang Pertama MARTIN SURYAJAYA Antara Pascamodernitas dan Pramodernitas: Telaah Intrinsik atas Novel Bilangan Fu 1
  • 16. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 2 Antara Pascamodernitas dan Pramodernitas: Telaah Intrinsik atas Novel Bilangan Fu oleh Martin Suryajaya
  • 17. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 3 DALAM karya klasiknya, The Rise of the Novel: Studies in Defoe, Richardson and Fielding, Ian Watt memperlihatkan bahwa novel merupakan jenis kesusastraan yang secara khas bersifat modern. Bentuk novel itu sendiri bermula dari Robinson Crusoe karya Daniel Defoe yang dicirikan oleh rasionalisme dan individualisme yang tipikal dalam filsafat modern awal. Maka dari itu, Watt melihat adanya keterkaitan erat antara kemunculan filsafat modern, atau modernisme dalam dunia pemikiran sejak abad ke-17, dengan kemunculan novel sebagai jenis kesusastraan.1 Dalam arti ini, sungguh menggelitik bahwa Bilangan Fu karya Ayu Utami yang agaknya tepat dipandang sebagai suatu ‘manifesto kritis melawan modernisme’ mesti dituliskan dalam bentuk novel. Bilangan Fu dipenuhi dengan beragam kritik, baik eksplisit maupun implisit, atas pola pikir modernis yang menempatkan rasionalitas dan pembuktian pada puncak paradigma dalam memandang kenyataan. 1) “The greatness of Descartes was primarily one of method, of the thoroughness of his determination to accept nothing on trust; and his Discourse on Method (1637) and his Meditations did much to bring about the modern assumption whereby the pursuit of truth is conceived of as a wholly individual matter, logically independent of the tradition of past thought, and indeed as more likely to be arrived at by a departure from it. The novel is the form of literature which most fully reflects this individualist and innovating reorientation. Previous literary forms had reflected the general tendency of their cultures to make conformity to traditional practice the major test of truth: the plots of classical and renaissance epic, for example, were based on past history or fable, and the merits of the author’s treatment were judged largely according to a view of literary decorum derived from the accepted models in the genre. This literary traditionalism was first and most fully challenged by the novel, whose primary criterion was truth to individual experience – individual experience which is always unique and therefore new.” (Watt 2005: 465)
  • 18. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 4 Sebagai gantinya, Ayu menawarkan ‘postmodernisme’ yang menunda segala perdebatan tentang kebenaran sebagai jalan keluar. Dan teks sepanjang 531 halaman yang memuat rentetan kritik atas modernisme dan promosi ‘postmodernisme’ itu sendiri diwujudkan dalam rupa novel yang tak lain merupakan bentuk par excellence dari kesusastraan modern. Lebih lagi, Bilangan Fu dituturkan dari sudut pandang orang pertama, persis seperti cara Defoe menghadirkan petualangan Crusoe. Ironi semacam ini tentunya membuat kita bertanya-tanya lebih lanjut tentang apakah yang sebenarnya dibayangkan sebagai modernisme dan ‘postmodernisme’ dalam novel tersebut. Dalam makalah ini, penulis akan menelaah imajinasi tentang modernitas dan pascamodernitas dalam novel Bilangan Fu. Kita akan melihat bahwa novel tersebut, alih-alih menaja paradigma pascamodernis dalam kebudayaan, sejatinya justru berkubang dalam modernisme yang mengimpikan suatu pramodernitas ideal. Kecenderungan inilah yang membuat gagasan tentang ‘spiritualisme kritis’ yang secara eksplisit diakui Ayu sebagai nafas Bilangan Fu justru terjerembab ke dalam sejenis orientalisme dan sikap anti-kritik. Namun, sebelum itu, kita perlu meninjau aspek intrinsik yang paling dasariah dari Bilangan Fu sebagai novel, khususnya dengan memeriksa genre novel tersebut dan perwatakan tokoh-tokohnya. Novel Didaktis atau Novel-Diktat? BILANGAN Fu adalah buku yang semakin dibaca semakin terkesan seperti suatu ‘novel ilmiah’ atau setidaknya novel didaktis (didactic novel). Sebagai suatu genre, novel didaktis dicirikan oleh semangat untuk mengajarkan dan menginternalkan nilai-nilai
  • 19. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 5 moral tertentu ke lubuk hati pembaca. Memang betul bahwa sastra didaktis menuai kritik, antara lain dari Edgar Allan Poe. Dalam esainya, “The Poetic Principle,” Poe menampik gagasan bahwa karya sastra sebaiknya memberikan penerangan moral dan karenanya ia mengusung ide bahwa karya sastra mesti ditulis demi karya sastra itu sendiri (Habib, 2005: 464). Visi tentang otonomi seni ini digugat dalam karya klasik I.A. Richards, Principles of Literary Criticism. Di sana Richards menunjukkan bahwa kekhasan karya sastra kerapkali justru mengemuka persis karena nilai-nilai yang memotorinya.2 Artinya, tak ada yang secara pokok keliru dengan novel didaktis. Akan tetapi, Ayu Utami rupanya melangkah lebih jauh dengan Bilangan Fu. Novel tersebut mengisahkan persahabatan antara sepasang kekasih, Yuda dan Marja, dengan seorang pemuda penghayat kebatinan bernama Parang Jati. Berangkat dari perkawanan dalam kegiatan panjat tebing, cerita bergulir ke pergulatan batin Parang Jati yang dituturkan dari sudut pandang Yuda. Pergulatan itu utamanya berkenaan dengan kritik atas sikap-sikap dogmatis dalam berpikir, beragama dan berpolitik—sikap-sikap yang ditangkap dengan tiga konsep besar: modernisme, monoteisme dan militerisme. Laku kritik ini dilandasi oleh pengalaman mistik tentang bilangan fu, yaitu suatu bilangan yang nol sekaligus satu. Bilangan itulah yang mendasari pengertian spiritualis-kritis tentang ketuhanan—penghayatan tentang Tuhan yang nol sekaligus satu, kosong sekaligus isi. 2) “A more serious defect in aesthetics is the avoidance of consider-ations as to value. It is true that an ill-judged introduction of value considerations usually leads to disaster, as in Tolstoy’s case. But the fact that some of the experiences to which the arts give rise are valuable and take the form they do because of their value is not irrelevant.” (Richards, 2001: 7)
  • 20. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 6 Puncaknya adalah ketika Parang Jati mesti berhadapan dengan kelompok fundamentalis yang disewa oleh pengusaha tambang— sebuah konfrontasi yang akan menghabiskan nyawanya sendiri. Muatan konseptual semacam itu mau tidak mau akan membuat Bilangan Fu dipenuhi penjabaran atas konsep-konsep yang menjadi nadi narasinya. Novel tersebut memanggul beban teoretis yang cukup berat. Beban ini dapat kita timbang dengan memeriksa daftar isinya. Ada tiga bagian besar yang menyusun keseluruhan novel, yakni “Modernisme”, “Monoteisme”, dan “Militerisme”. Ke­tiganya adalah tema-tema besar dalam kajian filsafat, teologi, dan ilmu sosial. Kecenderungan teoretis inilah yang juga dicermati oleh Seno dalam komentarnya terhadap Bilangan Fu pada waktu novel tersebut dimenangkan dalam sayembara Khatulistiwa Literary Award tahun 2008, “Ia berani tidak populer dengan cara menulis seperti ini. Banyak orang menganggap bahwa sebuah novel semestinya merupakan suatu bacaan ringan, tetapi Ayu berani membuat orang mengerutkan dahinya ketika membaca Bilangan Fu”.3 Tentu membutuhkan dua atau tiga lapis kerut di dahi untuk memahami ungkapan Nietzsche bahwa “Tuhan sudah mati” dan frase Descartes “cogito ergo sum” (Utami, 2008: 474), khususnya bagi pembaca yang awam terhadap filsafat. Apalagi ketika konsep- konsep semacam itu dicuplik tanpa dijelaskan di dalam novel.4 3) “’She is brave enough to be unpopular in this way of writing. Many people think a novel should be a light read but Ayu dares to make people wrinkle their brows when they read Bilangan Fu,’ said Seno.” (Hermawan & Messakh 2008) 4) Agaknya Ayu betul-betul mengandaikan bahwa para pembaca paham apa maksudnya ketika ia menulis—meminjam pena Parang Jati—bahwa “Akal budi melepaskan manusia dari ketakutan. Tuhan sudah mati, kata Nietzsche.” (Utami 2008: 474). Mengapa “Tuhan sudah mati”? Apa hubungannya dengan lenyapnya ketakutan akibat kekuatan akal budi manusia? Di sini ada semacam lompatan penjelasan yang hanya mungkin terjembatani oleh prakonsepsi pembaca tentang filsafat
  • 21. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 7 Kecenderungan teoretis yang digambarkan di muka makin kentara apabila kita menemukan bahwa menjelang penghabisan dari ketiga bagian besar novel, kita berhadapan dengan paparan yang nyaris seperti makalah kuliah filsafat. Misalnya, sub-bagian “Kritik atas Modernisme” dalam bagian “Modernisme” (Utami 2008: 184-187), sub-bagian “Kritik Hu atas Monoteisme” dalam bagian “Monoteisme” (Utami, 2008: 320-332) dan—yang paling parah—sub-bagian “Tiga Musuh Dunia Postmodern” dalam bagian “Militerisme” (Utami, 2008: 474-480). Sub-bagian pertama berbicara tentang Marxisme, eksploitasi oleh pemilik modal dan modernisme sebagai tangan kanan kapitalisme. Sub-bagian kedua berbicara tentang konsep bilangan satu dan nol, perbedaan antara bilangan riil, rasional, irasional, dan operasional, serta sejarah kemunculan konsep monoteisme dalam Alkitab Perjanjian Lama. Sementara sub-bagian ketiga mengulas panjang-lebar tentang ‘postmodernisme’, aufklärung, serta keterkaitan antara modernisme, monoteisme, dan militerisme. Beban teoretis seberat itulah yang dapat memunculkan kesan pada pembaca bahwa novel ini melampaui didaktisisme sastrawi dan cenderung lebih menyerupai suatu ‘novel-diktat’, yakni novel yang narasi puitiknya berulang kali dipotong oleh paparan à la diktat kuliah. Ini adalah bentuk ekstrem dari sastra didaktis. Serba-Serbi Kejanggalan: Kata Serapan dan Penokohan BERATNYA beban teoretis tersebut diperparah dengan penggunaan kata-kata serapan tak baku dan struktur kalimat yang janggal di sana-sini. Misalnya, ketika Ayu menguraikan Nietzsche—suatu prakonsepsi yang belum lazim dimiliki para pembaca umum di Indonesia. Hal yang serupa juga terjadi dengan paparan tentang cogito ergo sum (Utami, 2008: 474).
  • 22. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 8 tentang konsep bilangan satu, ia menulis, “Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol adalah satu yang sekaligus memiliki properti nol” (Utami, 2008: 325). Pembaca yang memiliki pemahaman yang baik akan bahasa Indonesia tentu terkejut membaca kalimat tersebut. Sebab apabila kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005: 898), kata “properti” didefinisikan sebagai “harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanah dan/atau bangunan yang dimaksudkan”. Apa hubungan antara konsep bilangan dan persoalan barang modal tak bergerak seperti lahan dan bangunan? Keterkejutan ini baru sirna ketika kita menyadari bahwa kata yang digunakan Ayu adalah serapan dari kata property dalam bahasa Inggris yang sebenarnya sudah ada terjemahan bakunya, yakni ‘sifat’. Tentu akan lebih jernih maknanya jika dikatakan bahwa “Satu yang dirumuskan tanpa konsep nol adalah satu yang sekaligus memiliki sifat nol”. Namun mengapa Ayu memilih untuk mempertahankan kata serapan tak baku seperti “properti”? Mengapa mempersulit paparan yang sudah rumit? Contoh serapan tak baku yang lain adalah kata “postmodernisme”. Kita tak perlu bersusah-payah mencari kata tersebut di KBBI sebab kata itu memang tidak ada. Yang ada ialah “pascamodernisme” (KBBI, 2005: 834). Bahasa Indonesia tidak mengenal bentuk terikat “post-“ sebab itu hanya kita temukan dalam bahasa Inggris. Dalam percakapan intelektual di Indonesia, kata “postmodernisme” memang telah terlanjur digunakan tanpa mengindahkan terjemahan yang lebih baku atas postmodernism. Kata ini beredar beberapa kali di lingkaran pengkaji filsafat.5 5) Antara lain, buku Dr. Bambang Sugiharto berjudul “Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat” (Sugiharto, 1996).
  • 23. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 9 Namun sebagai seorang sastrawan, apalagi dengan pretensi ultra-didaktis, Ayu semestinya lebih peka terhadap penggunaan tak baku semacam itu dan bukannya malah melanjutkan tradisi penerjemahan yang keliru. Masalah terkait lain adalah proses penyuntingan yang kurang ketat. Ini terlihat semenjak pembukaan novel: “Taruhan. Kau pasti enggan percaya jika kubilang padaku ada sebuah stoples selai berisi sepotong ruas kelingking” (Utami, 2008: 4).6 Pernyataan semacam itu di awal novel bisa saja menerbitkan keraguan pembaca terhadap kemampuan berbahasa Indonesia sang novelis. Bagian-bagian lain juga menunjukkan suntingan yang masih keruh, walau tak separah contoh pertama tadi. Misalnya: “Agar tak menganggu yang lemah dan anak-anak” (Utami, 2008: 436). Sekali lagi: “Bagi orang-orang yang telah berpikir tapi lebih menyukai agama langit ketimbang agama bumi, maka inilah tawarkan saya: ‘laku-kritik’, ‘spiritualisme-kritis’” (Utami, 2008: 454). Aspek intrinsik lain yang dapat dipertanyakan dalam Bilangan Fu adalah penokohannya. Sebagian besar isi Bilangan Fu dituturkan dari sudut pandang protagonisnya, Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang dikisahkan secara dramatik sebagai sosok skeptis dengan gaya yang kasar dan keras bak militer. Namun ajaibnya, apabila kita cermati narasi sebagian besar novel yang dituturkan dari dalam hati Yuda, kita justru dimanjakan oleh ungkapan-ungkapan puitik yang menandai kepekaan dan 6) Eka Kurniawan mempersoalkan hal yang sama dalam komentarnya: “Semalam dari peluncuran novel Ayu Utami, Bilangan Fu. Saya sudah beli bukunya sejak dua mingguan lalu, tapi baru baca satu halaman. Kalimat keduanya membuat saya sejenak bertanya-tanya: “Kau pasti enggan percaya jika kubilang padaku ada sebuah stoples selai [...].” (cetak tebal dari saya), selebihnya saya harus kembali ke pekerjaan”. (Kurniawan, 2008)
  • 24. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 10 kelembutan batin. Yuda adalah sosok maskulin yang gemar “cari bahaya” (Utami, 2008: 29). Tetapi, di sisi lain, ia piawai menyerap suasana dengan kepekaan yang rinci: “Aku mengenang upacara kecil itu dengan agak syahdu. Malam. Bintang waluku. Tebing menjulang sebagai bayangan gelap. Angin. Bau alam bercampur unggun yang meletik-retas” (Utami, 2008: 7). Ia seorang yang rasional dan tak percaya takhayul serta gemar mencibir keluguan orang desa yang gandrung klenik (Utami, 2008: 448). Tetapi, dalam deskripsinya atas pengalaman masa kecil Parang Jati, Yuda seolah menjelma jadi orang-orang desa yang dikritiknya. Ini terlihat dari penggambarannya tentang badai malam hari di padepokan Suhubudi: “Malam ini sesungguhnya lapis-lapis hujan pun menyembunyikan sesuatu, bagai laut menyembunyikan bangkai. Adalah angin yang mengembalikan jasad itu ke permukaan agar kau temui. Maka kali ini pun datanglah dia dari balik tirai-tirai air, dengan langkah yang lama tenggelam sebab tubuhnya telah hitam dan kalis. Dia yang cedera, sehingga terlalu besar sebagai seorang wanita. Buah dadanya menggantung busuk pepaya. Rautnya segala tulah. Ia datang dari arah pemakaman, setelah tadi menabalkan diri dalam ruwatan bumi. Dan barangkali mulutnya masih mengeluarkan anyir mayat. Bau yang membuat mual perutmu. Hawa tubuh Durga dari Setragandamayit.” (Utami, 2008: 286) Ambivalensi psikologis semacam ini terasa janggal terutama ketika Yuda dimaksudkan sebagai “seorang pemanjat tebing dan petaruh yang melecehkan nilai-nilai masyarakat,” seperti tertuang di sampul belakang novel. Bagaimana mungkin orang yang gemar
  • 25. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 11 “melecehkan nilai-nilai masyarakat” tampil pada saat bebarengan sebagai sosok yang menuturkan nyaris segalanya dalam bingkai cerita mistik masyarakat pedesaan dengan penuh kekhidmatan? Ilustrasi lain dari kekhidmatan pada mistik lokal yang tentu bertabrakan dengan watak skeptis Yuda adalah narasinya berikut ini: “Aku percaya ada hidup setelah mati. Aku percaya arwah orang yang baru meninggal masih berkitar-kitar di bumi sampai 40 hari” (Utami, 2008: 101). Ini adalah Yuda yang sama yang berkata bahwa “Aku punya persoalan dengan orang-orang desa ini sejak awal, seperti aku punya persoalan dengan televisi. Apa yang membuat mereka takut, tidak membuat aku takut. Apa yang menakutkan aku, tidak menakutkan mereka. Bulu remangku tidak tersirap oleh kabar gaib perihal makam yang ditinggalkan jenazah. Atau oleh perempuan yang histeris dan pingsan karena suaminya kabur dari kubur” (Utami, 2008: 448). Masalahnya, tidak ada keterangan bahwa Yuda ini mengidap skizofrenia, atau setidaknya bipolar. Kejanggalan dalam perwatakan mengemuka kembali dalam narasi tentang masa kecil Parang Jati dan Kupukupu. Parang Jati adalah seorang pemuda desa terdidik serta terbiasa menempa diri dalam laku mistik berkat bimbingan ayah angkatnya, Suhubudi. Sementara Kupukupu, adiknya, adalah lelaki yang kelak akan jadi Farisi, sang pemeluk agama fanatik. Ada yang demikian janggal dalam kisah perdebatan mereka di sekolah menengah. Latarnya adalah pedesaan di lereng pegunungan kapur di selatan Jawa pada tahun 1991.7 Di sana dikisahkan secara panjang- 7) Penulis dapat memastikan bahwa yang dimaksud adalah tahun 1991 karena di sana dinyatakan “Parang Jati berumur enambelas tahun” (Utami, 2008: 306), sementara pada bagian lain dinyatakan bahwa ia berumur duapuluh tahun pada tahun 1995 (Utami, 2008: 184).
  • 26. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 12 lebar sayembara debat yang diikuti keduanya di sekolah dengan tajuk “Nyi Ratu Kidul dan Pandangan-Pandangan Keagamaan”. Kupukupu tampil mewakili suara puritan dalam keagamaan yang memandang penyembahan atas Ratu Kidul sebagai perbuatan musyrik, sementara Parang Jati tampil menyuarakan ajakan untuk bersikap toleran terhadap alam kepercayaan tradisional. Mari kita perhatikan debat antara keduanya, mulai dari uraian Parang Jati: “’Iskandar Agung adalah penyembah berhala! Toh ia dikenang dengan hormat dalam tradisi Islam. Demikian. Dan kamu mau bilang bahwa Islam tidak bisa menghargai segala hal yang datang dari tradisi yang lain? Tradisi Yunani? Atau tradisi Jawa?’ Kupukupu tergagap sedikit. Tapi ia cukup tangkas. ‘Bisa saja. Asal tradisi itu tidak diteruskan. Artinya, berhala itu memang praktik yang ada sebelum Islam. Islam bisa menghargai. Bisa. Asal, setelah Islam datang, praktik itu tidak boleh diteruskan lagi, dong. [...] Kalau kita bayar pajak pada pemerintah, itu kan tidak berarti kita menyembah pemerintah. Apa pula mempersekutukannya dengan Tuhan. Pandangan ini berlebihan. Bayar pajak ya biasa- biasa aja, deh... Jangan semuanya jadi ideologis gitu!’” (Utami, 2008: 314 & 317) Secara prima facie, kejanggalan segera menampar kita. Simaklah jawaban Kupukupu yang waktu itu berumur sekitar 14 tahun di tahun 1991. Dua pertanyaan sontak menyeruak. Pertama, bagaimana menjelaskan penggunaan ungkapan bahasa gaul Jakarta seperti ‘dong’ dan ‘deh’ oleh seorang anak desa di pegunungan selatan Jawa pada suatu masa ketika infotainment dan sinetron belum ada, bahkan ketika televisi masih amat langka
  • 27. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 13 dan internet samasekali absen? Kedua, bagaimana menjelaskan kemampuan anak desa berumur 14 tahun untuk mengklasifikasi mana yang ideologis dan mana yang non-ideologis, apalagi pada masa ketika politik massa mengambang yang membuat masyarakat acuh tak acuh pada politik sedang gencar-gencarnya dicanangkan oleh pemerintahan Orde Baru? Ungkapan “jangan semuanya jadi ideologis” lebih menyerupai pernyataan seorang aktivis LSM ketimbang seorang anak desa terpencil berusia 14 tahun. Stereotipe Modernisme KITA akan beranjak ke aspek intrinsik lain dari Bilangan Fu, yakni mula-mula dengan mempersoalkan apa yang sejatinya dimaksud sebagai ‘modernisme’ dalam novel tersebut. Dari berbagai uraian terkait di sekujur teks, kita dapat menjaring sejumput imajinasi tentang modernisme: • Modernisme adalah tangan kanan kapitalisme8 • Modernisme adalah alat kekuasaan9 • Modernisme memuja kepastian seperti layaknya monoteisme10 8) “Yang terjadi: institusi modern menggantikan institusi tradisional dalam menghisap kelas yang tak mendapatkan keuntungan dari kesadaran modern. Contoh: 1) pemilik modal, dalam hal ini perusahaan penambangan batu, ikut membiayai ritual Sajenan demi mendapat ‘izin spiritual’ untuk eksploitasi” (Utami, 2008: 185). 9) “Penguasa memainkan dongeng hantu cekik untuk membikin ketakutan dan kebingungan dalam massa-rakyat, agar massa-rakyat mudah dipecah belah dan dikuasai. Dengan demikian, kekuasaan mereka dilanggengkan. Kesimpulannya: kesadaran modern bukanlah pembebasan. Kesadaran modern adalah alat.” (Utami, 2008: 186). 10) “’Ilmu pasti itu sangat penting. Demikian juga iman. Kedua-duanya bersifat pasti,’ lelaki yang lebih tua mengambil alih lagi. Dia, yang berjanggut pendek dan berdahi hitam. ‘Bersifat apa, anak-anak, bapak dan ibu? Bersifat pas...?’ ‘Pasti.’ Hadirin menyambut seperti harus memenuhi kekosongan. Bersifat pasti. ‘Benar. Tuhan itu bersifat pasti. Iman itu pasti. Demikian pula, bangsa ini membutuhkan pemuda-pemuda yang mempelajari ilmu pasti, teknologi, sains, untuk membangun negeri.” (Utami, 2008: 308)
  • 28. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 14 • Modernisme menuntut segalanya dapat dibuktikan11 • Modernisme bertopang pada fungsionalisme12 • Modernisme yang menampik tradisi adalah fasisme13 Sehimpun imaji tentang modernitas ini memperlihatkan betapa goyahnya konsepsi, dan tak memadainya riset yang dilakukan, pengarang terhadap tema narasinya. Hal ini menjadi semakin parah mengingat bahwa novel ini memuat intensi ultra- didaktis. Berikut kita akan memperlihatkan betapa senjangnya gagasan tentang modernisme sebagai semangat pemikiran yang timbul sejak abad ke-17 dengan gagasan yang tertuang dalam novel. Gagasan tentang modernitas tidak dapat dilepaskan dari manifestasi puncaknya pada Zaman Pencerahan, suatu era yang membentang sepanjang abad ke-18. Dalam esai tanggapannya terhadap Moses Mendelssohn berjudul “Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?” (Beantwortung der Frage: Was ist Aufklärung?), filsuf Immanuel Kant menyatakan bahwa pencerahan adalah “keberanian untuk berpikir sendiri” (sapere aude) lepas dari dogma-dogma yang mengungkung pikiran. 11) “Kacamata modernis adalah cara pandang rasional yang congkak dan menganggap segala yang tak bisa dibuktikan sebagai isapan jempol. Dengan teropong semacam ini, dongeng menjadi olok- olok, sekadar kisah fantasi yang hanya cocok bagi anak-anak dan orang desa nan takhayuli.” (Utami, 2008: 369) 12) “Salah satu ciri kerangka pikir modern adalah azas manfaat [...]. Fungsionalitas, istilah lainnya. Dalam kerangka pikir modern, segala sesuatu harus berfungsi untuk tujuan tertentu. Dan tujuan tertentu itu adalah keuntungan. Sebab, segala hal itu baik jika menguntungkan.” (Utami, 2008: 133) 13) “Bagiku, sajen selalu merupakan keborosan sia-sia. Sikapku ini dikritik Parang Jati sebagai ‘modernis’, sedikit di bawah ‘modernis fasis’ yang mau meniadakan segala upacara sajen karena alasan keborosan.” (Utami, 2008: 138; bdk. 519)
  • 29. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 15 “Pencerahan adalah jalan keluar manusia dari ketakdewasaan yang diakibatkannya sendiri. Ketakdewasaan adalah ketakmampuan menggunakan pemahaman secara mandiri tanpa bimbingan yang lain. [...] Sapere aude! Beranilah menggunakan pemahamanmu sendiri—itulah motto pencerahan.” (Kant, 1996: 58) Inilah ungkapan yang merangkum intisari dari “pemikiran modern”, dari “modernisme”. Dengan cara apakah keberanian untuk berpikir sendiri itu mesti diawali? Sedari mula masa modern, Descartes telah menunjukkan jawabnya: dengan meragukan segala yang masih belum dapat dibuktikan.14 Inilah yang dikenal sebagai skeptisisme metodis. Dengan tidak menerima mentah- mentah segala informasi yang masuk ke dalam pikiran, dengan merenungkan dan mengujinya secara telaten, pemikiran modern telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan pembentukan tatanan sosial yang mendobrak kerangkeng feodal. Gambaran modernisme ini diringkus dalam Bilangan Fu menjadi karikatur tentang kecongkakan manusia dalam menguasai alam dan sesamanya. Ada empat aspek yang paling menonjol dari kekurang-cermatan pengarang dalam meriset topik narasinya. Pertama, semestinya dibedakan antara modernisme dalam pengertian yang digagas para perumusnya dan varian turunan dari modernisme, penerapannya, yang disalahgunakan demi kepentingan kapitalis untuk mengeksploitasi. Memperkarakan 14) “I realized that it was necessary, once in the course of my life, to demolish everything completely and start again right from the foundations if I wanted to establish anything at all in the sciences that was stable and likely to last. [...] to accomplish this, it will not be necessary for me to show that all my opinions are false [...] it will be enough if I find in each of them at least some reason for doubt.” (Descartes, 2005: 12)
  • 30. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 16 kapitalisme tidak mengandaikan kita harus memperkarakan modernisme itu sendiri, sama seperti menumpas tatanan patriarkis tidak berarti menumpas semua lelaki. Kedua, semestinya dibe­dakan antara modernisme dan penerapannya yang dimonopoli demi kepentingan politik kekuasaan. Pengetahuan memang merupakan dasar dari kekuasaan yang tiranis, tetapi menumbangkan kekuasaan yang tiranis bukan berarti menghapuskan pengetahuan samasekali. Ketiga, modernisme tidak memuja kepastian selayaknya monoteisme. Alih-alih memuja kepastian, modernisme justru diawali oleh Descartes dengan pentingnya sikap berjarak dan menyangsikan apa yang seolah terlihat pasti. Keempat, modernisme tak semestinya dicampuradukkan dengan fasisme. Nazi Hitler memang menggunakan sains modern untuk merealisasikan mimpi fasistiknya tentang Jerman, tetapi tidak betul bila lalu disimpulkan bahwa sains modern tidak lain dan tidak bukan adalah fasisme itu sendiri. Dalam arti itu, sang pengarang tampak seperti terbawa euforia pascamodern yang melanda sebagian budayawan negeri ini. Ia tak cukup kritis terhadap kritiknya sendiri atas modernisme. Kurang ada kehati-hatian dalam mencerna gagasan yang hendak ia sampaikan panjang-lebar pada publik pembacanya. Karenanya, yang nampak kemudian adalah bahwa sang pengarang seolah mau menggurui pembaca atas nama suatu gagasan yang tak terlalu jelas juga baginya sendiri. Hal ini makin kentara ketika kita meninjau tema terkait dalam narasinya, yakni wacana tentang religiusitas. Pengantar Menuju Mistik Utilitarianisme WACANA tentang religiusitas merupakan benang merah dari keseluruhan narasi Bilangan Fu. Wacana ini nyaris selalu
  • 31. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 17 disuarakan dari mulut Parang Jati, sebagaimana kritik atas modernisme. Pewacanaan tentang keberimanan yang toleran berkejaran dengan kritik atas nalar utilitarian-fungsional kaum modernis. Parang Jati mewartakan: “Salah satu ciri kerangka pikir modern adalah azas manfaat [...]. Fungsionalitas, istilah lainnya. Dalam kerangka pikir modern, segala sesuatu harus berfungsi untuk tujuan tertentu. Dan tujuan tertentu itu adalah keuntungan. Sebab, segala hal itu baik jika menguntungkan” (Utami, 2008: 133). Namun dari sosok Parang Jati pulalah meluncur argumen utilitarian-fungsional à la modernis tentang agama. Dalam pembelaannya atas tradisi melawan pandangan religius yang puritan, Parang Jati berargumen: “Jika dalam sebuah tradisi, kepercayaan tentang siluman dan roh-roh penguasa alam itu ternyata berfungsi untuk membuat masyarakat menjaga hutan dan air, apa yang jahat dengan kepercayaan demikian? Tidakkah ia setara dengan perintah untuk memelihara pohon?” (Utami, 2008: 316) Artinya, Parang Jati memandang bahwa kepercayaan mistik tradisional berhak hidup karena kepercayaan itu berguna: mewujudkan sikap yang melestarikan alam. Lanjut lagi, ketika ia menarik hubungan analogis antara memberi sesajen bagi jin dan siluman dan membayar pajak pada pemerintah: “Kita di masa modern ini pun membayar bea jika mau masuk wilayah negara lain. [...] Apa bedanya? Kalaupun jin dan siluman itu memang ada, apa salahnya membayar sejenis pajak kepada mereka ketika kita memasuki wilayah mereka? Sejauh pajak itu
  • 32. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 18 cuma sesajen bunga-bungaan, buah-buahan, sejumput makanan, apa salahnya? Apalagi yang diracik dengan indah sebagai canang saji. Ia menjadi seni.” (Utami, 2008: 316) Di sini pun argumen yang senafas mengemuka: memberikan sesajen semestinya diperbolehkan karena kebiasaan itu bermanfaat (dapat mencipta barang seni dan berperan ibarat pajak pada pemerintah demi perlindungan warganya). Logika utilitarian-fungsional ini mengemuka lagi ketika Parang Jati berkata: “Tuhan esa. Oke. Penunggu ya penunggu. Seperti penjaga hutan yang dikasih sogokan atas pekerjaannya menguasai hutan. Begitu saja” (Utami, 2008: 317). Demikian pula ketika Parang Jati menggugat balik kritik modernis terhadap takhayul mistik tradisional: “Jika buahnya baik, maka baiklah dia, meskipun pohonnya khayalan belaka” (Utami, 2008: 187). Melalui rentetan kutipan di muka, dapat kita amati bahwa sebenarnya gagasan Parang Jati tentang religiusitas alternatif yang ia tawarkan justru ia bangun melalui argumentasi modern tentang fungsionalitas dan utilitas agama. Visi religiusitas kritis yang digadang-gadang Parang Jati dan menjadi ruh utama Bilangan Fu nyatanya bertopang pada modernisme yang hendak dikritiknya sendiri. Apa yang mengemuka, kemudian, adalah suatu gambaran paradoksal yang tak dikehendaki oleh pengarangnya sendiri, yakni suatu ajaran mistik Timur yang berintikan filsafat utilitarianisme. Celakanya lagi, utilitarianisme adalah salah satu sendi konseptual dari kapitalisme yang dikritik Parang Jati ketika ia hendak mengkritik modernisme. Di sini terlihat bahwa sang pengarang tak betul-betul menguasai bahan yang ditulisnya. Ia seperti tak menyadari bahwa segala bumbu teori yang diraciknya
  • 33. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 19 punya sejarah perdebatannya sendiri dan tak bisa secara asal dicampur tanpa membuat hidangan yang tersaji membikin para penyantapnya pusing tujuh keliling. Orientalisme dalam Bungkus Kritik Pascakolonial DALAM narasi Bilangan Fu, modernisme dan monoteisme dipandang sebagai gelombang kultural yang menginvasi dari Barat, baik itu Eropa maupun Timur Tengah. Gelombang itu mewujud dalam bentangan realitas Indonesia pascakolonial. Dan tawaran alternatif yang diajukan sang pengarang adalah suatu religiusitas Timur, suatu ‘agama bumi’. Inilah yang dilukiskan oleh Parang Jati: “’Tidakkah cantik agama Timur itu, yang suka melepaskan hewan kembali ke alam pada hari-hari perayaan?’ tiba-tiba ia berkata, sambil seperti melamun. Tidakkah cantik konsep yang melingkar itu. Melingkar seperti mata rantai kehidupan. Setiap makhluk memberi dan menjadi makanan bagi yang lain dalam jumlah secukupnya. Tidakkah cantik bilangan yang melingkar itu. Bilangan sunya, bilangan ananta, bilangan purna. Yin dan Yang. Harmoni yang menghargai kontras. Hitam putih. Pria wanita. Dalam sebuah ikatan bulat yang kuat. Di mana dalam yang satu selalu ada yang lain.” (Utami, 2008: 378) Tak pelak lagi, ini merupakan idealisasi tentang agama Timur. Menariknya, dalam novel yang mengagung-agungkan sikap kritis terhadap pengalaman spiritual ini, tak ada satu pertanyaan kritis pun yang diajukan terhadap ’agama-agama
  • 34. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 20 bumi’. Akibatnya, terkesan ada sebersit semangat orientalis dalam memandang spiritualitas Timur. Untuk menangkap jiwa orientalis dari pernyataan Parang Jati di muka, kita dapat menyandingkannya dengan ungkapan- ungkapan orientalis dari berbagai fase sejarah. Tacitus, seorang sejarawan Romawi, menuliskan kesan-kesannya tentang suku-suku Jerman kuno yang tak beradab dengan penuh puja-puji: memiliki sifat-sifat alami yang tidak serakah, berani dan tulus, serta mampu membina harmoni antar sesama dan dengan alam (Tacitus, 1942: 710-712). Ribuan tahun sesudahnya, nada yang sama dilantunkan oleh Claude Lévi-Strauss dalam Tristes Tropiques: “Saya telah pergi ke ujung dunia demi menyaksikan apa yang disebut Rousseau sebagai ‘tahapan awal manusia yang nyaris tak terlihat’. Di balik tabir hukum-hukum rumit Caduveo dan Bororo, saya terus mencari suatu kondisi yang—seperti dibilang Rousseau—‘tak lagi ada, barangkali tak pernah ada dan mungkin tak akan pernah ada’ [...] Saya yakin bahwa saya lebih beruntung ketimbang Rousseau, bahwa saya telah menemukan kondisi macam itu dalam sebuah masyarakat yang sekarat. [...] Saya telah mencari-cari masyarakat yang terciutkan pada ungkapannya yang paling sederhana. Nambikwara adalah yang betul-betul sederhana demikian rupa sehingga apa yang dapat saya temukan di dalamnya adalah individu manusia.” (Lévi-Strauss, 1976: 416) Tinggal di dalam masyarakat Indian Nambikwara membuat Strauss terpukau. Ia catat bagaimana mereka memancarkan “kebaikan yang demikian mendalam”, sesuatu yang menyembul sebagai “ungkapan yang paling jujur dan menggetarkan dari cinta
  • 35. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 21 manusia” (Lévi-Strauss, 1976: 384). Inilah cara Barat meringkus Timur: dengan menjadikannya manekin eksotis yang tak bernoda.15 Dengan cara itu, Timur dijinakkan dan dipelihara agar tetap bodoh, agar tetap setia pada takhayul dan akhirnya mudah ditaklukkan. Orientalisme macam inilah yang kita jumpai dalam stereotipe ‘agama bumi’ yang secara tidak kritis direproduksi oleh Ayu Utami dalam tuturan Parang Jati. Spiritualisme Kritis atau Obskurantisme Antikritik? PADA akhirnya, Bilangan Fu hendak mempromosikan apa yang disebut sebagai ‘spiritualisme kritis’ (Utami, 2008: 454). Namun seberapa kritiskah spiritualisme yang dimaksud? Telah kita saksikan bahwa penekanan berulang pada sikap kritis dan “laku-kritik” di sekujur novel nyatanya tak berjumbuh dengan pandangan hitam-putihnya atas pergulatan antara modernisme versus pascamodernisme, maupun antara monoteisme versus ‘agama bumi’. Bilangan Fu gagal melancarkan kritik atas “musuh- musuh postmodernisme” tanpa mengerdilkan ‘musuh-musuh’ tersebut menjadi sekadar karikatur. Padahal tidak semua kaum 15) Tentu tampilan orientalis atas Timur tak selalu mengemuka sebagai sesuatu yang indah, damai dan jinak. Tampilan itu bisa juga liar dan menyeramkan. Tetapi yang jadi benang merahnya adalah bahwa Timur dihadirkan secara surealistik ketimbang realistik, secara hiperbolis, dilebih-lebihkan, ketimbang apa yang secara faktual terjadi. Mengenai tampilan yang liar dan seram dari Timur, dapat kita baca deskripsi klasik Joseph Conrad atas rimba raya Congo dalam Heart of Darkness: “We penetrated deeper and deeper into the heart of darkness. It was very quiet there. At night sometimes the roll of drums behind the curtain of trees would run up the river and remain sustained faintly, as if hovering in the air high over our heads, till the first break of day. Whether it meant war, peace, or prayer we could not tell. [...] We were wanderers on prehistoric earth, on an earth that wore the aspect of an unknown planet. [...] The prehistoric man was cursing us, praying to us, welcoming us—who could tell? We were cut off from the comprehension of our surroundings; we glided past like phantoms, wondering and secretly appalled, as sane men would be before an enthusiastic outbreak in a madhouse. We could not understand because we were too far and could not remember, because we were traveling in the night of first ages, of those ages that are gone, leaving hardly a sign—and no memories.” (Conrad, 1990: 31-32)
  • 36. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 22 modernis identik dengan fasis atau kapitalis, tidak semua kaum monoteis identik dengan fundamentalis, dan tidak semua penganut ‘agama bumi’ identik dengan pertapa lugu yang serba murni bak Parang Jati. Spritualisme kritis digambarkan sebagai sebuah sikap yang menunda pembicaraan tentang kebenaran—“memanggul kebenaran,” kata Parang Jati—demi membuka ruang bagi wacana tentang kebaikan, sebab bila kebenaran tak ditunda maka ia akan menjelma jadi kekuasaan (Utami, 2008: 437). Dalam kosakata filsafat, apa yang dikehendaki sang pengarang di sini adalah pengutamaan atas etika di atas epistemologi, pengutamaan atas persoalan baik-buruk di atas persoalan benar-salah. Di sinilah kerancuan teoretis Bilangan Fu mencapai puncaknya. Bagaimana mungkin kritik yang masuk akal bisa dilancarkan bila pembicaraan tentang kebenaran ditunda selamanya? Tidakkah penundaan atas kebenaran akan membawa kita ke arah debat kusir di sepanjang jalan ‘politik identitas’? Sebab bukankah ketika upaya untuk merumuskan kebenaran secara diskursif dan kolektif dikesampingkan, apa yang tersisa adalah soal selera etis yang berbeda-beda dan tak seukur satu sama lain? Dengan kata lain, apa yang kita peroleh ialah pengerasan identitas kultural lengkap dengan nilai-nilai moral masing-masing kelompok. Inilah yang nampak dalam pandangan reduktif Parang Jati atas modernisme dan monoteisme, serta dalam sikapnya yang secara tak kritis meluhurkan ‘agama bumi’ yang telah sedemikian rupa disterilkan dari interogasi rasional. Apakah ini jika bukannya suatu obskurantisme yang antikritik? Jika kritik penulis ini benar, maka Bilangan Fu tak ubahnya seperti novel-novel religi pada umumnya yang mempromosikan
  • 37. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 23 nilai-nilai etiko-religius masing-masing. Alih-alih menanggapi secara kritis politik identitas dalam rupa fundamentalisme religius sebagaimana yang dikehendaki sedari mula, Bilangan Fu justru melestarikan politik identitas yang sebangun. Visi alternatifnya tentang kebijaksanaan Timur nyatanya pekat dengan semangat orientalisme dan mistik utilitarian yang sejatinya berciri modernis. Konstruksinya atas identitas pascakolonial Indonesia justru rentan digunakan untuk membenarkan obskurantisme yang antikritik. Gejala reaksi pascakolonial yang serupa pernah terjadi di India dengan maraknya ‘nasionalisme Hindu’. Para eksponennya membenarkan keberadaan sistem kasta karena hal itu dianggap memiliki rasionalitasnya sendiri yang tak bisa direduksi pada rasionalitas Barat yang modernis. Inilah yang dikritik Meera Nanda sebagai suatu ‘hiper-modernisme yang agresif’.16 Alih-alih mengartikulasikan ideal pascamodern, apa yang mengemuka adalah modernisme yang digunakan untuk membenarkan struktur sosial pramodern yang eksploitatif. PERSOALAN paling dasar dari Bilangan Fu adalah kurangnya penelitian pengarang atas literatur yang relevan terhadap tema utama yang dikisahkannya. Pertama, pengarang gagal mengetengahkan gambaran modernisme dan monoteisme 16) “The champions of Hindu nationalism pretend to set themselves apart from their Islamic and Christian counterparts by claiming to be enlightened champions of democracy, secularism, science, all of which they claim to find in the perennial wisdom of the Vedas, Vedanta, and in the original, uncorrupted Vedic institution of four varnas or castes. When they use the modern word ‘secular,’ they mean the traditional hierarchical tolerance of the relativity of truths that prevailed in a caste society. When they use the word ‘science,’ they mean an enchanted, supernatural science based upon the idealistic metaphysics of classical Hinduism that treats the divine as constitutive of all of nature. In both cases, the modern is simply subsumed under the traditional by declaring both to be equivalentin function and rationality.” (Nanda, 2003: 38)
  • 38. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 24 yang tak karikatural. Kedua, pengarang tak menguasai seluk- beluk logika dari modernisme sehingga ia tercebur dalam cara pandang modernis yang hendak ia kritik. Ketiga, karena tak berhasil memposisikan modernisme dan monoteisme secara proporsional, pengarang lantas tenggelam ke dalam visi alternatif yang orientalistik dan obskurantis. Apabila masalah-masalah ini dikaitkan dengan problem intrinsik lain yang telah dikupas di awal, maka akar masalahnya tetap serupa: kurangnya penelitian. Penggunaan kata-kata tak baku seperti ‘properti’ dan ‘postmodernisme’ menunjukkan bahwa pengarang kurang akrab dengan KBBI. Sementara perwatakan serta penggunaan latar yang janggal mencerminkan kurangnya gerak turun ke lapangan untuk melihat alam batin masyarakat desa. Pada akhirnya, seluruh kritik ini dapat diringkas ke dalam sebaris kalimat: menulis sastra didaktis tanpa riset yang memadai adalah seperti memasak nasi goreng tanpa nasi. Daftar Pustaka Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Conrad, Joseph. 1990. Heart of Darkness. New York: Dover Publications. Descartes, René. 2005. “Meditations on First Philosophy”. Dalam John Cottingham, dkk, ed. 2005. The Philosophical Writings of Descartes, Volume II, h. 1-62. Cambridge: Cambridge University Press. Habib, M.A.R. 2005. A History of Literary Criticism: From Plato to Present. Oxford: Blackwell Publishing. Hermawan, Ary dan Matheos Messakh. 2008. “Ayu Utami, Nirwan
  • 39. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 25 Dewanto win Khatulistiwa literary prize”. http://www. thejakartapost.com/news/2008/11/15/ayu-utami-nirwan- dewanto-win-khatulistiwa-literary-prize.html. Diakses tanggal 26 September 2013. Kant, Immanuel. 1996. “An Answer to the Question: What Is Enlightenment?” Dalam James Schmidt. 1996. What Is Enlightenment: Eighteenth-Century Answers and Twentieth- Century Questions, h. 58-64. Berkeley: University of California Press. Kurniawan, Eka. 2008. “Peluncuran Bilangan Fu”. http://ekakurniawan. net/blog/peluncuran-bilangan-fu-320.php. Diakses tanggal 26 September 2013. Lévi-Strauss, Claude. 1976. Tristes Tropiques diterjemahkan oleh John Weightman dan Doreen Weightman. Harmondsworth: Penguin Books. Nanda, Meera. 2003. Prophets Facing Backward: Postmodern Critique of Science and Hindu Nationalism in India. New Jersey: Rutgers University Press. Richards, I.A. 2001. Principles of Literary Criticism. London: Routledge. Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Tacitus. 1942. “Germania”. Dalam Complete Works of Tacitus, diterjemahkan oleh Alfred John Church. New York: The Modern Library. Utami, Ayu. 2008. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Watt, Ian. 2005. “The Rise of Novel”. Dalam Dorothy J. Hale. 2005. The Novel: An Anthology of Criticism and Theory, 1900-2000, h. 462-480. Oxford: Blackwell Publishing.
  • 40. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 26
  • 41. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 27 Pemenang Kedua ENDIQ ANANG P. Membedah Kaki Kelima Nirwan (Membongkar Ideologi Nirwan Dewanto dalam Buli-Buli Lima Kaki) 2
  • 42. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 28 Membedah Kaki Kelima Nirwan (Membongkar Ideologi Nirwan Dewanto dalam Buli-Buli Lima Kaki) oleh Endiq Anang P.
  • 43. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 29 “Bukanlah kondisi manusia yang menentukan kesadaran sosial masyarakat, tetapi sebaliknya, kondisi sosial masyarakatlah yang menentukan kesadaran.” (Karl Marx—A Contribution to the Critique of Political Economy) Sarang Sang Penyair MANUSIA urban hidup dalam lanskap yang tidak hitam-putih, melainkan abu-abu. Ia berada di dataran antara modernisme dan irasionalitas. Oleh karena itu, golongan ini tidak dapat didekati dengan dogma, melainkan metafora. Camus dalam La Peste (2004), memberikan penanda untuk bisa memahami gejolak zaman manusia urban. Menurut Camus, tanda tersebut bisa dikenali dengan melihat bagaimana mereka makan (mengonsumsi), bercinta, dan mati. Ketiga tanda itu bergerak bersama dan sekaligus, membentuk aliran rutinitas yang terus-menerus sampai ajal menjemput, serupa Sisifus yang dihukum mendorong batu. Selera penting bagi manusia urban. Mereka membedakan dirinya dengan yang lain berdasarkan selera yang dipilih. Namun, menurut Bourdieu (1979), selera itu bukan pilihan bebas yang terjadi secara alamiah, melainkan hasil konstruksi dari masyarakat di mana manusia urban menghirup napasnya. Sebagai pembukti, dalam penelitiannya yang banyak menggunakan foto, Bourdieu memperlihatkan tangan seorang perempuan tua yang bagian kepalanya telah
  • 44. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 30 dihilangkan. Ia bertanya kepada para responden dari kelas buruh, kelas menengah, dan kelas borjuis. Dan, jawaban yang diperoleh Bourdieu berbeda-beda, sesuai selera masing-masing kelas sosial. Dari penelitian tersebut, Bourdieu memberikan semacam garis bawah bahwa di balik pilihan jenis makanan, gaya berbusana, selera musik, bacaan, tempat-tempat wisata yang dikunjungi, selera seni dan budaya, hobi hingga pilihan politik, ada makna yang merujuk pada selera yang dipilih, yang kemudian dihubungkan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Bourdieu berpendapat bahwa tingkat pendidikan dan pengasuhan akan memberikan pengaruh yang signifikan dalam menentukan selera seseorang. Lebih tegasnya lagi, dalam pandangan Bourdieu, selera yang dipilih berada di bawah kendali kesadaran dan bahasa melalui relasi antara habitus, kapital, dan field. Habitus dalam kajian Bourdieu merupakan seperangkat deposisi yang akan melahirkan praktik dan persepsi. Adapun kapital yang dimaksud bukan sebatas kapital dalam perspektif Marx yang membatasi diri pada corak produksi ekonomi masyarakat; bagi Bourdieu kapital lebih luas daripada itu, yakni mencakup kapital budaya (pendidikan, gaya berpakaian), kapital sosial (ruang lingkup pergaulan) dan kapital simbolik (gelar, penghargaan). Sementara itu, yang dimaksud field oleh Bourdieu merupkan lingkungan sosial di mana posisi seseorang tumbuh dan berkembang. Dialektika antara habitus, kapital, dan field inilah yang kemudian menentukan selera manusia urban. Merujuk pada nubuat Barthes yang sudah populer, pengarang mati setelah karya tercipta. Namun, hal sebaliknya justru terjadi pada habitus, kapital, dan field ala Bourdieu; ketiganya tidak akan mati, akan terus bergulir membentuk
  • 45. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 31 kesadaran penulis yang kemudian dimuntahkan dalam karya. Maka, berdasarkan pemikiran Bourdieu tersebut, akan dapat diuraikan apakah puisi Nirwan Dewanto yang terkumpul dalam Buli-Buli Lima Kaki hanya sebatas permainan kata-kata belaka— yang menempatkan bahasa dalam posisi netral—atau adakah seperangkat selera yang ingin diwabahkan di sana. Nirwan yang hidup di sarang masyarakat urban (Jakarta) sering melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dan Eropa, dan bergerak dalam sebuah komunitas kebudayaan urban yang disebut Komunitas Utan Kayu (KUK), yang tentu saja mempunyai selera sesuai lingkungan sosialnya. Dari situlah kode-kode dalam puisi Nirwan akan dibedah guna mengetahui habitus, kapital, dan field apa yang memengaruhi selera Nirwan, yang kemudian ingin disemburkan kepada pembaca. Perempuan yang Dijebak Nirwan dalam Labirin YUNANI sangat kaya dengan mitologi. Salah satunya sosok Minotaur—banteng bertanduk dengan badan manusia. Konon, makhluk itu lahir karena kutukan Dewa Poseidon. Kisahnya berawal ketika Poseidon meminta persembahan seekor banteng jantan kepada Minos, Raja Kreta. Namun, sang raja justru menyembuyikan banteng itu. Poseidon marah dan mengutuk Pasifae, istri Minos, sehingga dibuat jatuh cinta pada banteng itu. Atas pertolongan Daidalos, Pasifae berhasil mendapatkan banteng betina tiruan. Ia pun masuk ke dalamnya dan bercinta dengan si banteng jantan. Dari persetubuhan inilah lahir Minotaur. Minotaur ditempatkan di tengah labirin yang rumit; sebuah ruangan yang membingungkan buatan Daidalos. Setiap tahun, penduduk Athena memberikan persembahan kepada Minotaur
  • 46. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 32 berupa tujuh orang perawan dan tujuh orang perjaka sebagai korban agar Kreta aman dari serangannya. Minotaur begitu mengerikan. Tak ada yang sanggup mengalahkannya sampai akhirnya muncul Theseus. Dengan dibantu Ariadne, putri Raja Kreta, Theseus masuk ke dalam labirin berbekal gulungan benang dan pedang pemberian sang putri. Benang itu kelak digunakan oleh Theseus untuk menyusuri jejaknya kembali setelah berhasil mengalahkan Minotaur demi keluar dari labirin. Dengan pedang pemberian Ariadne, akhirnya Minotaur berhasil dibunuh. Theseus muncul sebagai pahlawan. Minotaur kemudian dioper oleh manusia modern. Dunia modern yang terantuk perang, pembantaian, kemajuan mesin, keinginan untuk damai, dan masalah kemanusian lain menjelma tak ubahnya labirin ciptaan Daidalos yang seakan tanpa ujung- pangkal. Manusia mencari pusat labirin itu. Berputar-putar. Bertabrakan. Bersisihan. Saling menjegal. Di dalam labirin tersebut, segala upaya seakan berakhir pada kesia-siaan. Seperti yang dituliskan Jorge Luis Borges dalam Ibn Hakkan al Bokhari, Dead in His Labyrinth: manusia pada pangkalnya mati dalam labirinnya sendiri. Sementara itu, Camus (2010) menggambarkan manusia- manusia modern yang kesepian serupa mereka yang hidup di tengah labirin padang pasir. Mereka membutuhkan lautan— sebentuk fatamorgana asa—demi membangun imaji akan sebuah dunia lain yang lebih luas. Kota-kota di Eropa seperti Paris, Florence, Wina hingga Amsterdam telah menjadi begitu gemerlap, tapi justru kegemerlapan itulah yang membuat manusia terasing. Dengan petunjuk benang Ariadne, manusia-manusia modern yang kesepian tersebut pergi menuju dermaga yang diyakini
  • 47. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 33 sebagai gerbang menuju dunia baru. Namun, pada kenyataanya orang-orang itu hanya berputar-berputar di dalam labirin mereka sampai benang tersebut menjerat diri masing-masing. Pada akhirnya, menurut Camus, di ujung kelelahannya manusia berhenti berkeliaran dan membiarkan Minotaur memangsanya. Dengan kata lain, Minotaur, walaupun jahat dan jelek wujudnya, selalu dirindukan karena mampu membawa manusia ke dalam suasana yang ambigu. Begitu pun, perempuan dalam puisi “Sapi Lada Hitam” yang hidup di dunia urban. Ia takut pada Minotaur, tapi selalu merindukan buli-bulinya1 (kelaminnya) yang perkasa. Mungkin perempuan itu adalah Ariadne yang meminta kepada Theseus agar membunuh Minotaur; seorang perempuan yang tanpa sadar telah jatuh cinta pada buli-buli Minotaur yang digambarkannya “dengan lukisan warna emas dalam mimpimu, agar ia lekas memasukimu dari celahmu yang mana saja”, walau ia jijik dengan “wujudnya yang biasa menggiriskanmu.” Maka, diajukannya permintaan kepada si lelaki untuk membinasakan Minotaur dengan satu syarat: jangan sampai merusak buli-bulinya. Dan lelaki itu berhasil: “Tenanglah. Ia sudah kulumpuhkan dan kubawa hanya untukmu” […] “Buli-buli yang menegang selalu di antara kedua pahanya akan kutanam untuk diriku sendiri, untuk terus mendatangkan serbuk jantan bagiku.” (Sajak “Sapi Lada Hitam”) 1) Buli-buli = botol/guci kecil. Dalam puisi Nirwan dipakai untuk menggambarkan penis.
  • 48. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 34 Kini laki-laki itu sah menggantikan Minotaur. Ia memiliki keperkasaan serupa Minotaur, tapi tanpa tanduk sebab “telah kulepas tanduknya” sehingga si perempuan tidak perlu merasa takut lagi. Sekarang, sambil menyiapkan menu sapi lada hitam, mereka bisa bercinta dengan leluasa karena si perempuan sudah menanggalkan perasaan ngerinya: “Jangan memandang ke arahku, aku hanya akan memelukmu dari belakang. Dan mendesakkan buli-buli emas yang selalu kauimpikan itu ke celahmu yang terbaik tanpa kau tahu.” (Sajak “Sapi Lada Hitam”) Lantas, apa hubungan puisi “Sapi Lada Hitam” dengan manusia urban? Ketika perputaran dunia telah tiba pada era posmodern, perempuan dalam puisi Nirwan masih belum beranjak jauh dari era yang oleh Engels (2004) disebut sebagai zaman barbarisme tahap tertinggi; suatu tahapan ketika busur dan anak panah ditemukan. Dengan alat-alat tersebut, binatang liar telah menjadi makanan harian dan para lelaki menjadi pemburu. Nirwan mengawetkan pandangan tentang domestifikasi perempuan dalam puisinya, di mana tempat perempuan semestinya berada di dalam rumah seraya menunggu sang lelaki pulang berburu. Dengan begitu, perempuan diharuskan setia di dalam labirin, sementara laki-laki bebas mengembara sesuka hati dengan senjata yang ia miliki. Pandangan Nirwan segaris dengan pandangan kaum laki-laki zaman batu yang diwariskan, bahkan dikekalkan, hingga sekarang. Menurut Bhasin (1996), pandangan kuno itu melegalkan dominasi
  • 49. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 35 laki-laki atas perempuan berdasarkan pengandaian bahwa aktivitas berburu membuat laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat daripada lawan jenisnya. Menjadi pemburu berarti laki-laki mencari nafkah—ini pula yang mengukuhkannya sebagai kstaria— sementara karena perempuan lemah maka ia butuh dilindungi dari ancaman (Minotaur) oleh kaum laki-laki. Dengan demikian, meski berada di dalam rumah, perempuan juga perlu “[meng]enakan gaunmu yang paling putih. Sembunyikan rambut mayangmu di bawah kerudung putih” agar ia tidak dikenali sebagai perempuan sebab jika sampai hal tersebut terjadi maka ia bisa saja diincar oleh kaum pemangsa lain ketika pasangannya sedang berburu (di luar rumah). Artinya, perempuan wajib selalu menjaga diri “agar aku lupa kau seorang betina”. Dan, setelah hewan buruan (Minotaur) ditangkap, barulah giliran perempuan yang berperan untuk mengolahnya: “Pilihlah bagian tubuhnya yang terbaik dengan pisaumu, pisau paling tajam di dunia ini. Mungkin sedikit di atas paha dan di bawah pusarnya, bagian yang mengandung gegurat putih-perak yang menyilaukan mata. Sayat pelan- pelan, agak dalam di bawah kulit, agar arus darah tak meledak lepas ke udara.” […] “Lalu letakkan sayatan terbaik itu pada nampan logam panas yang telah kusiapkan. Jangan beri terlalu banyak garam, bawang dan paprika. Abaikan semua resep, nasihat maupun doa. Tapi siapkan bubuk lada hitam agak berlimpah. Taburkan pelan-pelan, sesuai isyarat api tungku.” (Sajak “Sapi Lada Hitam”)
  • 50. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 36 Tidak ada pergeseran. Perempuan dengan pisaunya tetap diberi tugas memasak. Dalam hal ini, adakah bedanya antara Minotaur dan si lelaki pembunuh? Jawabannya adalah tidak ada. Keduanya sama-sama menempatkan perempuan dalam sekapan domestifikasi. Mereka hanya beda wajah, tapi berkarakter sama. Kemasanlah yang membedakan keduanya. Budaya urban sangat mahir membunuh yang tradisonal—mitologi Minotaur bertanduk— sebelum kemudian menggantinya dengan wajah lain yang lebih ramah dan menarik (walaupun sama jahatnya) sehingga mampu memikat hati Ariadne-Ariadne lain; para perempuan yang sudi diperam dalam labirin patriarki demi menunggu kepulangan seorang laki-laki, pemangsanya. Pada zaman yang berbeda, perempuan dalam “Sapi Lada Hitam” hanya berputar-putar dalam labirin yang telah menjebaknya. Entah laki-laki itu bernama Minotaur, Theseus, atau Nirwan, misalnya, ia akan sama saja: mengandalkan buli-buli demi memikat perempuan. Begitu pentingnya buli-buli maka benda ini perlu dirawat agar selalu perkasa sehingga patukannya mematikan. Ramuan perlu dikonsumsi. Obat-obatan wajib diminum. Maka, menjamurlah toko-toko yang menjual kebutuhan semacam itu. Salah satu yang terkenal adalah toko yang menjual “Kobra”:2 “Tokomu menjual aneka taring yang tampaknya lebih manjur daripada taringku.” Harapan para konsumen setelah menelan obat-obatan itu adalah si buli-buli bisa “menari tanpa henti, untuk memikat bakal kekasih, yang tak mampu lagi melihat lukisan gaya baru pada kulitku.” Tapi, adakah taring yang paling manjur dijual di sana? Si penjual—sebagaimana penjual obat kebayakan—tidak 2) Sajak “Kobra”.
  • 51. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 37 bisa memberikan kepastian: “Namun kau tak mampu menjawab ketika seorang pelanggan bertanya, ‘Mana yang paling baik untuk mematikan seekor kuda hitam?”’ Ironisnya, si penjual sendiri ternyata tidak mampu memberikan “kepuasan” sehingga istrinya dibawa oleh sewujud cerpelai3 yang menunggang kuda hitam:4 “Siang tadi kulihat sang cerpelai berbelanja ke tokomu, ia bersepatu dan berpakaian rapi, dan ia memborong banyak sekali taring, bisa dan kulit berwarna hijau lumut, dan di ujung jalan ia mengambil seekor kuda hitam dari tambatan, yang di pelananya sudah duduklah istrimu, sungguh, aku tak berdusta.” (Sajak “Kobra”) Masyarakat urban dan mitos memang tidak bisa disapih. Walaupun revolusi industri telah memumbulkan peradaban hingga menyentuh langit-langit pencapaian yang belum pernah dikenal sebelumnya (memukul lebur struktur agraris dan feodal, membuka jalan tol bagi industrialisasi, membuat rasionalisme berjingkrakan), manusia-manusianya ternyata tidak sanggup melepaskan diri dari budaya nenek moyang mereka, yaitu mitos. Mitos, yang selalu berayun dalam kesamaran, misteri, dan tak terpediksi oleh rumus-rumus ilmiah, masih terasa memikat bagi manusia modern yang hidup dalam dunia yang nyaris monoton dan serba pasti, di mana rasionalitas adalah segalanya. Mitos 3) Cerpelai = garangan; binatang yang suka mencuri ayam peliharaan. Dalam konteks ini, cerpelai merupakan laki-laki yang mencuri istri orang. 4) Dalam dongeng-dongeng dikisahkan bahwa penyelamat sang putri adalah tokoh pangeran yang datang dengan naik kuda putih. Namun, dalam puisi “Kobra”, laki-laki yang menunggang kuda hitam merupakan personifikasi dari laki-laki pencuri dan kudanya. Dengan berkuda hitam (gelap) maka diharapkan ia tak akan terlihat saat sedang beraksi (apalagi ketika hari tidak lagi terang).
  • 52. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 38 memang ambivalen, dianggap benar dan tidak. Sifat ambivalen inilah yang menempatkan mitos bertautan dengan metafora dan alegori. Boleh saja manusia-manusia urban itu mengaku telah menanggalkan budaya kampung seraya sangat rajin menenteng smart phone ke mana-mana, tapi pada kenyataannya mereka ternyata masih dihantui mitos seputar daya tahan seksual sehingga rela berburu serbuk kadal Mesir, Mak Erot, sampai kobra hanya karena semua itu dianggap ampuh membuat kejantanan kaum laki-laki tak kenal lunglai dalam pertarungan “menaklukkan” perempuan. Karena kedigdayaan “buli-buli” merupakan sarana untuk mengekalkan dominasi terhadap perempuan, maka benda spesial yang satu ini pun perlu dijaga dan dipertahankan kebugarannya agar mampu bertarung kapan saja dan di mana saja. Tak pelak lagi, darah dan empedu kobra yang kabarnya bisa “memaksaku berdiri tegak” itu mesti dicari. Tak dapat dielakkan, perempuan dalam puisi Nirwan tetap menjadi objek—lagi-lagi terjebak dalam labirin. Maka, buli-buli pun berubah menjadi taji—“tapi lebih sering lagi kauasah mulutmu dengan tajiku”5 —atau berubah menjadi gading—“yakni gading yang suka menggalimu di balik gaun”6 —atau menjelma serupa belalai—“belalai yang mahir membidikmu”7 —atau mewujud lebih ganas lagi: linggis—“linggis beliung kaku kelu”8 . Hingga semakin benderanglah gagasan yang ada di balik ragam pilihan kata Nirwan atas nama buli-buli, yaitu alat untuk menaklukkan sang 5) Sajak “Museum Birahi Suci”. 6) ibid 7) ibid 8) Sajak “Virgo”.
  • 53. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 39 objek [perempuan]: taji, gading, belalai, linggis, hingga pisau. Sila dibayangkan bagaimana lingga perempuan di-taji, di-linggis, atau ditikam dengan pisau oleh si pemangsa, seraya ia menyanyikan kidung pujian demi menutupi maksud hati sebenarnya; “benar aku suka menggerakkanmu seperti boneka bunraku.”9 Dan, memang benar! Perempuan dalam sajak Nirwan tak ubahnya boneka yang pasrah diapakan saja, tanpa mampu melawan atau memberontak. Dan sebagaimana kita tahu, boneka bunraku merupakan sejenis boneka yang dipakai dalam pertunjukan sandiwara untuk bangsawan-bangsawan (kelas atas) Jepang. Begitulah perempuan dalam perspektif Nirwan yang mesti berlaku serba sempurna, anggun, dan indah karena ia akan tampil di depan bangsawan (sang tuan; laki-laki). Lantas, bagaimana nasib perempuan yang dijebak dalam labirin itu? Yang telah di-taji, di-linggis? Sebagai manusia, tentu saja sang Puan10 tidak bahagia karena menjadi objek semata. Ia hidup dalam dukacita, tapi tak mau menampakkannya. Maka dipakainya “gaun kembang biru muda”11 ketika “pergi berkeliling kota”12 demi menyamarkan kedukaan itu. Sembari mengusir dukanya, si Puan: “Duduk-duduk di taman Menikmati matahari Memandang bocah-bocah kecil 9) op.cit. 10) Sajak “Puan”. 11) ibid 12) ibid
  • 54. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 40 Dan siswa-siswa pembolos sekolah Dan ibu-ibu pembosan rumah.” (Sajak “Puan”) Ia ingat semasa bocah ketika masih bebas ke sana-kemari dan berbuat apa saja. Ia teringat pula masa sekolah ketika impian masih seluas bentangan langit dengan cinta platonis yang dianggap abadi. Semua itu tentu tidak pernah dirasakan lagi oleh si Puan karena ia diperangkap dalam labirin. Namun, kenang- kenangan itu rupanya belum dirasa cukup sehingga si Puan: “…singgah di toko buku Menyigi betapa berlimpah Kitab pengobatan hati Kitab penyelamat Kitab sup ayam bagi jiwa.” (Sajak “Puan”) Rupanya, si Puan ingin mencari obat bagi kedukaannya dari kitab-kitab itu. Bacaan serupa ini memang tengah menjamur di rak-rak toko buku. Tukang-tukang motivator sudah sejajar dengan para kiai. Televisi menayangkan khotbah-khotbahnya dan penerbit menghimpun kata-kata sucinya dalam wujud buku bersampul tebal. Si Puan memang sedang hidup di zaman New Age (zaman pencerahan jilid II), sebagaimana yang dimaklumatkan John Naisbitt dan Patricia Aburdane dalam Megatrend 2000: Spiritualiy Yes!; Organized Religion, No! Seperti yang diuraikan Camus (2010) bahwa, ketika kesepian marak menyeruak di tengah modernisme dan agama “resmi” tidak mampu memberikan
  • 55. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 41 jawaban, maka manusia mencari obat baru. Kegersangan gurun pasir dunia Utara telah memacu orang untuk mempelajari lagi ajaran-ajaran arkaik dari Hinduisme, Budhisme, sampai ajaran China hingga petuah Tao sebagai pelepas dahaga. Ini terjadi ketika, menurut Nietzsche, Tuhan telah mati dan gereja sebagai tempat menyimpan jasadnya, pun dogma agama, tidak lebih daripada sekadar kata-kata yang membosankan. Kencenderungan humanisme modern yang menempatkan manusia sebagai sosok utama—sementara pada sisi lain memperkosa alam habis- habisan—justru membuat manusia itu sendiri terkurung dalam labirin gersang gurun pasir. Maka, agama pun dioplos dengan ajaran-ajaran lain hingga menjadi sebentuk spiritual baru yang memarakkan era New Age ini. Dan rupanya, si Puan mencoba mencari jawaban atas kedukaannya dari kitab-kitab hasil oplosan tersebut. Apakah ia menemukannya di sana? “Sang dukacita tercengang-cengang Begitu keliru para pengarang itu Memahami dirinya.” (Sajak “Puan”) Mungkin benar sarkasme yang beredar akhir-akhir ini: “Hidup tak semudah cocot Mario Teguh.” Tidak heran, si Puan gagal menemukan apa yang dicarinya. Luka yang disandangnya akibat lama disekap dalam labirin itu bukan luka luar: “Kau yang pernah mengira Tubuh sang dukacita penuh Bilur lebam dan bekas luka
  • 56. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 42 Akan kecewa bila tahu Di spa, ketika ia telanjang sepenuhnya Betapa si pemijat terpana-pana Akan tubuh selicin itu.” (Sajak “Puan”) Luka itu memang tidak tampak di atas kulit licinnya yang rutin diolesi reramuan seperti yang diiklankan lewat televisi dan ditawarkan di mal-mal papan atas, serta selalu dirawat di sanggar kecantikan. Luka perempuan urban bukan luka perempuan golongan “bawah” yang timbul akibat pukulan atau sundutan rokok suami yang pemabuk. Luka itu tiada lain adalah keterasingan yang tidak akan bisa dilihat oleh mata. Apa yang dialami si Puan serupa yang dikatakan Driyarkara (2006), yakni sebentuk “Sayap yang Berluka”. Manusia modern memiliki kebebasan, tidak dikekang lagi oleh agama dan tetek-bengek adat serta norma seperti pada Zaman Kegelapan, tapi di satu titik justru membuat paradoks pada dirinya sendiri. Mesin-mesin buatan zaman industri telah mampu menciptakan apa saja yang dibutuhkan manusia, tubuh bisa dirias-rias sebagus-bagusnya, tapi seperti kata Driyarkara, manusia tak berkutik. Inilah yang membuat si Puan terasing. Ia tampil sempurna untuk menutupi sayapnya yang terluka. Mungkin Karl Marx lebih tajam dalam mengurai mengapa manusia bisa merasa terasing (alienasi). Menurut Marx sebagaimana disitir Fromm (2004), alienasi bukan hanya terjadi ketika manusia tidak bisa memahami dirinya saat menguasai dunia, tapi lebih daripada itu, yakni ketika manusia juga terasing dari dunianya—alam, benda-benda, dan sesamanya. Pemikiran
  • 57. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 43 Marx sejajar dengan apa yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Lama, yaitu ketika manusia berubah menjadi syirik. Makna syirik bukan sekadar manusia menyembah banyak Tuhan, melainkan lebih gawat daripada itu; ketika manusia justru menyembah dan memuja berhala ciptaannya sendiri. Akibatnya, manusia tergantung pada berhala dan tidak mampu menjadi dirinya sendiri. Tepat sindirian Democritus, filsuf Yunani: ia berjalan-jalan di pasar membawa obor di siang bolong. Ketika ditanya apa yang dicarinya, ia menjawab, “Manusia!” Itulah yang tengah dialami si Puan. Oleh karena itu, untuk menyembuhkan dukacitanya, semestinya si Puan menemui Marx, bukan berpaling pada “kitab sup ayam” atau “kitab pengobat hati”. Dengan begitu, diharapkan ia akan memberontak dan kabur dari labirinnya. Sayangnya, si Puan mesti tunduk pada Nirwan yang jelas bukan Kiri. Bagi Nirwan, Kiri sudah dimangsa “Hiu” (kapitalisme) ketika orang-orang Kiri dibantai dan di penjara setelah peristiwa Oktober 1965.13 Nirwan memberi kesaksian: “di masa kanakku Pernah kulihat di perut hiu yang dibelah Sepotong kain merah alangkah merah Pakaian siapakah melanglang sejauh itu Pakaian orang kiri yang diburu serdadu?” (Sajak “Hiu”) Nirwan memang tidak percaya pada ideologi Kiri ciptaan Marx. Dalam puisinya “Palu”, ia berhujah: ”[…] kami pernah 13) Nirwan lahir tahun 1961 sehingga ketika pecah tragedi 1965 umurnya sekitar empat tahun.
  • 58. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 44 membantingmu ke arah Revolusi; si sabit menyandingimu tapi kami tak percaya akan warna merah darah yang mengalasi kau berdua.” Palu-Arit14 (simbol komunisme) dengan warna merah sebagai latar benderanya tidak dipercayai Nirwan. Revolusi komunis setelah peristiwa di Soviet dan China, bagi Nirwan, tidak ada lagi karena telah dimangsa oleh kapitalisme (hiu). Dengan begitu, tidak ada pilihan bagi si Puan untuk memilih Kiri, hingga terpaksalah ia: “…menjelma menjadi siapa saja Sambil berkliling-kliling kota Menghangatkan aneka pasar dan plaza.” (Sajak “Puan”) Lantas, ia pun menghilang: “sang puan dukacita tak terlihat lagi”. Mungkin saja, ia kembali diperangkap dalam labirin agar “taji”, “gading”, “belalai” dan “linggis” Nirwan tak kehilangan taklukan. Sesekali, si Puan memang muncul sebagi istri orang yang berselingkuh dengan si aku di sebuah hotel di Bali. Mereka sedang ber-“Bulan Madu”15 sambil “membuat film pendek yang tanpa alur”16 . Kita tentu tahu “film pendek tanpa alur” adalah film porno. Dengan kata lain, si aku tengah men-taji, me-linggis si perempuan tanpa melibatkan perasaan. Bukankah dalam film porno tidak dibutuhkan perasaan, selain bagaimana caranya agar birahi bisa dituntaskan dalam berbagai varian jurus yang 14) “Arit” dalam puisi Nirwan disebut “sabit” 15) Sajak “Bulan Madu”. 16) ibid
  • 59. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 45 menghebohkan? Jangan harap ada drama dan melankoli di sana. Namun, sebagaimana paradoks manusia urban, sebelum berpisah keduanya tetap “larut dalam haru”17 . Untungnya, mereka segera diingatkan bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah sebatas membuat film pendek tanpa alur; setelah permainan cinta usai maka selesailah hubungan. Selepas ini, si perempuan memulai lagi rutinitasnya “mengiris daun bawang untuk telur dadar sarapannya sendiri”18 di dapur dan waktu melakukan itu ia “terluka telunjuk kirinya oleh pisau”19 . Si perempuan telah kembali dalam kesendirian dan keterlukaannya. Sementara itu, suami si perempuan dengan “kasar membanting pintu kamar”20 , tidak mempedulikannya lagi. Oke, film pendek sudah usai. Tapi, tunggu dulu, si perempuan ternyata muncul lagi dalam “Virgo”: “Kau mengembang ketika Ujungku menggorokkan luka Penuh jarum benang sari Lebih terang dari surya.” (Sajak “Virgo”) Apa sebenarnya Virgo ini?: “Segi tiga sama sisi Bercelah dan bergigi— Permisi-permisi— 17) ibid 18) ibid 19) ibid 20) ibid
  • 60. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 46 Izinkan aku masuk.” (Sajak “Virgo”) Virgo tiada lain adalah arsitektur vagina, dengan celah dan giginya, tempat dimana ujungku akan dimasukkan. Virgo kembali menjadi objek dari “linggis beliung kaku kelu” yang digunakan untuk “menggorokkan luka” sembari menyemprotkan “jarum benang sari”[sperma]. Sebenarnya, siapakah pemilik Virgo? Ketika berada di “Hotel Felix Culpa”,21 setelah si lelaki “mencelupkan telunjukku ke mulutmu/Lalu berusaha memasukimu dua kali, mungkin tiga kali”22 , pemilik Virgo meminta kepastian kepada lelaki itu untuk memilih: “antara jantung hati dan puting susu”23 . Dan, si lelaki akhirnya memilih jantung hati: takluk. Nosferatu: Coca Cola, Kentang Prancis, dan Sepatu Manolo Blahnik TERNYATA, pemilik Virgo itu tiada lain adalah “Nosferatu”. Si dia ini mungkin akan membuat kita terkaget-kaget karena habitus Nirwan akan tampak semakin bugil. Seperti apa identitas Nosferatu yang bisa membuat Nirwan bertekuk lutut?: “Sungguh kau semacam dewi, meski Tanganmu berbulu dan tungkaimu Terlalu panjang dan mulutmu Selalu menghembuskan bau keju.” 21) Sajak “Hotel Felix Culpa”. 22) ibid 23) ibid
  • 61. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 47 (Sajak “Nosferatu”) Rupanya, Nosferatu bukan perempuan Indonesia karena mulutnya selalu “menghembuskan bau keju”. Dan, bila menengok tempat tinggalnya: “Di luar salju turun, dan aku/Tak tahu bagaimana pulang”. Keju dan salju sudah pasti bukan ciri khas Indonesia. Mungkin tempat itu berada nun di benua Eropa atau Amerika. Yang jelas, Nirwan merasa dirinya berasal dari negeri budak ketika berada di tempat Nosferatu: “Ia mestinya belajar ilmu jiwa Kepada aku, budak sebuah negeri Di mana setiap pejantan bahagia Tak serong di bawah matahari.” (Sajak “Nosferatu”) Ciri negeri budak (Indonesia) adalah pejantannya (laki- lakinya) tidak serong pada siang hari—di bawah matahari; tidak perlu sembunyi-sembunyi. Untuk apa seorang lelaki dari negeri budak bersetubuh dengan perempuan berbau keju?: “Lalu lidahku mencari lidahmu Agar esok aku berani mengunyah Brokoli mentah dan keping salami Dan tak akan berdosa lagi aku. Jika dalam badai salju menantang Sang iblis Oaxaca. Sebab lidahku Sudah serupa miliknya. Lidah api
  • 62. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 48 Mahir mencuri jantung hatimu.” (Sajak “Nosferatu”) Ternyata tujuan si lelaki adalah agar ia bisa sekasta dengan si perempuan yang tangannya berbulu itu; naik kelas dari lelaki negeri budak menjadi lelaki dari negeri tuan. Setelah persetubuhan tersebut, si lelaki sudah merasa sama dengan lelaki yang berasal dari negara “dunia pertama”, si iblis Oaxaca: “Sebab lidahku/ Sudah serupa miliknya”. Dengan demikian, sah-lah ia menikahi Nosferatu (budaya keju beriklim salju/Utara) dan tidak perlu cemburu lagi. Pandangan Nirwan dalam “Nosferatu” rupanya masih digandoli pandangan kolonialis. Orang-orang yang berasal dari bekas negeri jajahan umumnya selalu berusaha menyejajarkan diri dengan penduduk negeri penjajah dengan cara mengikuti pola hidup sang penjajah demi dianggap beradab dan modern. “Lidah” tentu saja bukan sekadar sarana mengecap makanan, tapi lebih daripada itu, yakni alat untuk berbicara, menggetarkan kata-kata. Maka, si lelaki perlu “mencari lidahmu” agar bisa berbahasa dalam bahasa sang Nosferatu. Dalam menganalisis penjajahan Inggris di India, Spivak (2001) memberikan penjabaran tentang bagaimana akar kolonialisme itu bisa tetap menjangkar, yakni salah satunya lewat “kekerasan epestemik”. Orang-orang India “dipaksa” mempelajari bahasa Inggris, selain sebagai alat komunikasi, juga untuk memahami kesusastraan Inggris. Lewat karya sastra kolonial itulah dicangkokkan pola pikir si penjajah ke dalam kepala rakyat jajahannya. Cara ini dilakukan dengan sedemikian halus hingga tidak disadari oleh masyarakat terjajah, sebaliknya malah menimbulkan anggapan bahwa apa yang mereka baca
  • 63. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 49 adalah milik mereka sendiri. Namun, apa yang dialami Nirwan jelaslah bukan sejenis “kekerasan epistimik” ala Spivak karena ia melakukannya dengan sadar dan penuh kepasrahan. Dengan terang-terangan, ia ingin menjadi “londo hitam” agar “lidahku/ Sudah serupa miliknya”. Betul! Nosferatu merupakan film klasik tentang vampir yang terinspirasi novel Bram Stoker, Dracula. Agar bisa sebangsa dengan vampir, seseorang manusia harus rela digigit lehernya dan diisap darahnya. Setelah itu, ia pun sah diakui sebagai bagian dari bangsa vampir (pengisap; negara “dunia pertama” sering digambarkan sebagai pengisap negara Selatan sejak era kolonial sampai sekarang). Tidak heran, Nirwan pasrah saja ketika lehernya hendak diisap oleh Nosferatu: Maka lekaslah tutupkan mataku/ Dan ulurkan taringmu ke leherku.” Harapannya, usai itu ia akan merasa satu dengan Nosferatu: “Lalu coklat sawo dan putih roti Atau gelap manggis dan pucat lili Berkelindan di depan perapian Mana sanggup berpisah lagi.” (Sajak “Nosferatu”) Cokelat dan putih tak sanggup berpisah; Nirwan merasa tak sanggup diceraikan dari negeri vampir. Setelah diisap darahnya, ia ingin abadi di sana sebagaimana abadinya bangsa vampir. Namun, rupanya masih ada hal lain yang mengganggu transformasi Nirwan. Apakah itu? Kulit. Nirwan membenci kulit cokelatnya:
  • 64. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 50 “Dengan dua sloki wiski Kentucky Jadilah aku batang terendam Bangkitkanlah sampai kau sabar Meniti kulit coklat jahanamku.” (Sajak “Nosferatu”) Saking inginnya berkulit putih serupa Nosferatu, sang vampir, Nirwan menjahanamkan kulit coklatnya. Mungkin baginya hal tersebut adalah sebuah kutukan bagi manusia yang dilahirkan oleh matahari khatulistiwa. Tak pelak lagi, walaupun lidahnya sudah disamakan dengan Nosfaratu, dan lehernya telah diisap darahnya, warna kulit cokelatnya tidak bisa diubah; kecuali ia melakukan operasi plastik meniru Michael Jackson, misalnya. Pada akhirnya, putih tetap dianggap lebih tinggi dibandingkan cokelat. Gegar kulit yang dialami Nirwan sebetulnya diderita pula oleh manusia urban lain, yang rajin memutihkan kulitnya; sebab yang putih adalah yang paling unggul dan memesona. Obat pemutih dan operasi pencerah kulit pun rela dikejar bahkan sampai ke luar negeri—tentu saja makna luar negeri di sini bukan Suriah, Afghanistan, Maroko atau Kenya, tapi minimal Singapura, dan tentu saja Eropa atau Amerika. Lagi-lagi, keinginan agar dianggap setara dengan negara “dunia pertama” menjadi penting. Tidak hanya soal kulit, nama ternyata juga dipandang sebagai sumber keminderan. Nirwan rupanya agak kikuk jika berada di “Pelabuhan Udara” di negeri Utara karena namanya tidak sepelafalan dengan nama orang-orang dari negeri Nosferatu: “Ketika petugas keamanan bertanya siapa nama keluargaku, kusorongkan beberapa, misalnya saja Kiarostami,
  • 65. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 51 Natalegawa, Ologoundou, Rabearivelo, atau Guayasamin.” (Sajak “Pelabuhan Udara”) Nama tentu saja menunjukkan identitas si pemilik pada KTP atau paspor. Sebagai lelaki kelahiran Surabaya, Nirwan tidak punya nama keluarga sebagaimana Nosferatu. Karena merasa minder dikenali sebagai seseorang yang berasal dari negeri yang “belum tertera dalam peta”24 oleh petugas bandara, ia lekas-lekas berkata: “Pilih mana saja, Tuan, yang membuat pencatat sidik jarimu lekas menganggukkan kepala,”25 sambil melafalkan nama- nama yang seolah-olah tak berbau Indonesia. Rupanya, ia takut kombinasi nama dan warna kulitnya bisa menimbulkan kecurigaan sehingga si petugas tak lekas meloloskannya dari pintu imigrasi. Ia takut ditampik. Sebetulnya, dengan terbang Nirwan ingin mencabutkan diri dari akarnya yang berasal dari ayah kelahiran Tiwanaku dan ibu kelahiran Bayuwangi. Namun, akar itu ternyata sulit dihilangkan walaupun tubuhnya sudah dibawa terbang melintasi samudera dan benua. Maka, digugatlah ayah-bundanya: “Ayah, kenapa kau hendak tertanam lagi di kampung halaman kami? Bunda, kenapa akar-akar kami membelit lehermu?” (Sajak “Pelabuhan Udara”) 24) Sajak “Pelabuhan Udara” 25) ibid.
  • 66. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 52 Nirwan ternyata mengalami krisis identitas itu; terombang- ambing antara akar ayah dan bunda yang hendak dicerabutnya demi menancap di negeri Nosferatu. Dalam kajian Spivak sebagaimana disitir Marton (2008) ketika menelaah novel Jane Eyre, posisi termarjinalkan Jane terselamatkan ketika ia diadopsi keluarga River (sang tuan/negara penjajah). Pun, Nirwan yang merasa minder karena kulit cokelatnya dan namanya yang tanpa nama keluarga merasa terselamatkan ketika diposisikan sejajar oleh negara Nosferatu dengan mendapat fasilitas penumpang (warga) kelas satu (walaupun hanya) di pesawat. Ketika ia tertegun memikirkan akar lamanya yang sulit dikibaskan, muncullah suara penyelamat: “Lekaslah, hai penumpang kelas satu.”;26 ia sudah mengalami transformasi kelas. Kini, (ia merasa) kelasnya sudah menjadi kelas satu. Dan sebagai warga kelas satu, tak bisa tidak minuman dan makanan yang masuk ke dalam mulut pun perlu disesuaikan. Jangan heran, untuk menghilangkan “Dahaga”, ia tidak bisa asal minum: “Kau mencuri dari lidahku Merah muda belia Atau putih semenjana Untuk melunakkan coklatmu” (Sajak “Dahaga”) Minuman yang berhasil mencuri lidah “merah muda belia atau putih semenjana” Nirwan adalah Coca Cola—salah satu jenis minuman yang berlabel minuman ringan (soft drink). Minuman 26) ibid.
  • 67. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 53 yang terbuat dari campuran sirup karamel ini pertama kali diperkenalkan oleh John Styth Pemberton, seorang ahli farmasi dari Altanta, pada 8 Mei 1886. Sang teman, Frank M. Robinson, menyarankan agar hasil minuman itu diberi nama Coca Cola dengan alasan bahwa huruf “C” lebih mudah dikenali. Dan, benar saja! Logo Coca Cola sekarang sudah tenar di seluruh dunia, bahkan sangat rutin menghiasi papan iklan dan layar kaca. Bagi masyarakat urban, Coca Cola bermakna lebih daripada sekadar minuman. Menurut Baudrillard (1996), dalam kultur urban, mengonsumsi bukan semata-mata memasukkan makanan ke dalam perut, melainkan sebuah proses manipulasi tanda. Apa yang dikosumsi bukan lagi objek-objek melainkan sistem objek- objek. Dengan kata lain, meminum Coca Cola merupakan proses pencarian idetintas; ia bukan semata sarana untuk menghilangkan dahaga, melainkan yang lebih penting adalah tanda dari kultur modern. Maka Nirwan pun menyandingkan Coca Cola dengan tanda yang sepadan: “[…]Untuk menyelamatkan aku/ Dari kentang goreng Prancis/Pencengkeram urat leherku.”27 Coca Cola disandingkan dengan kentang goreng Prancis bukan dengan ketela goreng, misalnya. Dan, yang penting, meminum Coca Cola berarti mencabuti akar/identitas lama yang masih tersisa: “Kau rajin mencabuti akarku Supaya aku membubung tinggi.” (Sajak “Dahaga”) 27) Sajak “Dahaga”.
  • 68. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 54 Sebagaimana telaah Baudrillard, mengonsumsi juga dipandang sarana untuk menunjukkan gengsi, kemakmuran, erotisme, modernisme dan tanda-tanda keurbanan lain. Tidak heran, ketika meminum Coca Cola, si peneguk merasa mem­bubung gengsi dan citranya sebagai manusia modern. Tapi, apakah proses “imitasi” demikian berjalan mulus? Ternyata masih ada kekagokan di sana: “Kau hidup berkalang es Untuk menyelamatkan aku Dari kentang goreng Prancis Pencengkeram urat leherku” (Sajak “Dahaga”) Ketika menggabungkan Coca Cola dengan kentang goreng Prancis, Nirwan merasa belum terbiasa sehingga lehernya tercengkeram. Pun, ketika menyandingkan Coca Cola dengan bistik Argentina: “Betapa daging bakar Argentina Gagal (lagi) berjodoh denganmu.” (Sajak “Dahaga”) Pencarian identitas itu terus-menerus dilakukan agar sesuai dengan budaya Nosferatu. Semuanya dicoba demi mencari yang pas. Sampai akhirnya: “Tapi bakmi keriting Shanghai Bisa masuk dalam perangkapmu.” (Sajak “Dahaga”)
  • 69. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 55 Dengan begitu, Nirwan sudah merayakan dekolonialisasi modern (kalangan aktivis Kiri menyebutnya neoliberalisme) sambil menenggak Cola Cola. Tidak ada perlawanan di sana. Nirwan bersedia mengorbankan apa saja demi menjadi sekasta dengan Nosferatu. Sehingga apa yang diharapkan Spivak (2001) untuk melawan alienasi kultural guna menjadi dirinya sendiri dengan “menunda persetujuan” (a willing suspension of disbelief) tidak akan kita temukan dalam puisi Nirwan. Artinya, keurbanan dirayakan dengan suka cita mulai dari sepatu Manolo Blahnik, gaun rancangan Tuan Lawata, majalah Femina, kentang goreng Prancis, daging bakar Argentina, wiski Kentucky, sampai Coca Cola. Nirwan pelan-pelan sudah semakin jauh dari akarnya. Ia sudah mulai bosan dengan cakrawala tempat ia dulu dilahirkan. Pun, ia bosan dengan hujan—sebuah berkah dari daerah tropis. Mengapa ia bosan? Penyair yang Bosan dengan Hujan TIDAK seperti nenek moyangnya yang bertungkus lumus membalik-balik tanah di sawah yang selalu merindu hujan dan berduka ketika hujan datang terlambat, Nirwan justru tidak bisa mencintai hujan: “Aku tidak mencintaimu sebab dalam puisimu jarum- jarum hujan sekadar jatuh tegak lurus dengan muka bumi.” (Sajak “Belaka”) Puisi “Belaka” diperuntukkan Nirwan kepada Sapardi Djoko Darmono. Nirwan menampakkan kebosanannya dengan hujan: “Kau hanya mencintai hujan yang jatuh dari langit, terutama
  • 70. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 56 langit bulan Juni… Kau tak mendengarkanku, dan terus saja kau mengumpulkan hujan yang itu-itu juga dalam puisimu.”28 Bahkan hujan itu sedemikan memuakkan bagi Nirwan sehingga diumpakan: “seperti pegawai di kantor walikota.”29 Dengan kata lain, Nirwan menggugat Sapardi, yang kenapa hanya menulis puisi tentang hujan yang membuatnya bosan. Dibosankan oleh hujan, Nirwan enggan menulis tentang hujan. Hujan sudah menjadi masa lalu baginya. Ia pun lebih suka menulis tentang keju dan salju, Coca Cola, dan kentang goreng Prancis. Sebagaimana yang ia akui sendiri bahwa setelah meminum Coca Cola maka akarnya tercabuti, lidahnya sudah mulai terbiasa dengan brokoli mentah, dan hatinya lebih mencintai Nosferatu dibandingkan si Puan. Ia tidak rindu lagi pada hujan (yang hanya mengingatkannya pada tanah becek kampung halaman) karena yang dirindukannya adalah tempat-tempat nun di Utara—di mana hujan tidak turun seperti di tanah khatulistiwa. Maka, tidak salah jika ia memanjatkan “Doa Musim Gugur” bukan Doa Musim Hujan karena tempat yang diimpikannya adalah: “Hutan mapel yang menutup semenanjung dan mengekalkan diri ke arah observatorium, atau titik di mana kau biasa mencekat lautan kembang api Empat Juli.” (Sajak “Doa Musim Gugur”) Jika Indonesia memiliki “Tujuhbelas Agustus” maka Amerika memiliki “Empat Juli”. Amerika adalah negara tempat di 28) Sajak “Belaka”. 29) ibid
  • 71. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 57 mana Nirwan sering melabuhkan mimpi-mimpinya. Ia memang berbeda dari Sapardi yang telah berurat-akar di negara tropis ini sehingga tidak heran jika puisi Sapardi berkisah tentang hujan melulu—“Percakapan Malam Hujan” dan “Hujan Bulan Juli”. Sebaliknya, Nirwan lebih suka menulis tentang salju sebagaimana yang terpanjat dalam doanya: “Ketika aku menggunakan bebuliran untuk menyebut salju yang terlalu tergesa menghampiri puluhan tomat yang belum selesai dipetik di Eagle Heights—“ (Sajak “Doa Musim Gugur”) Bahkan, tomat yang diinginkan Nirwan pun mesti dipetik jauh-jauh di Eagle Heights—salah satu perkebunan tomat di Amerika Serikat—bukan di Batu atau daerah Puncak, misalnya; karena tomat di tempat itu tidak dibasuh oleh hujan, melainkan salju. Mungkin saja banjir besar di Jakarta akibat hujan adalah salah satu alasan mengapa Nirwan hendak menjauh dari hujan. Yang pasti, Nirwan lagi-lagi memilih ber-“Doa Musim Semi” daripada ber-Doa Musim Hujan karena ia selalu teringat waktu: “…sarapan pagiku, aku menyantap roti putih Italia yang keras kepala meskipun lelidah salju tak lagi mampu menyaingi putih piringku, dan pisauku enggan berkilat di permukaan margarina yang cepat melunak di bawah tatapanku.” (Sajak “Doa Musim Semi”) Tentu saja, Nirwan tidak merindukan hujan seperti nenek moyangnya dulu, yang menonton hujan di serambi sembari
  • 72. Memasak Nasi Goreng tanpa Nasi: Antologi Esai Pemenang Sayembara Kritik Sastra DKJ 2013 58 menyantap ubi bakar bersanding kopi pahit dan rokok klobot. Rindu Nirwan hanya mau menjangkar pada roti Italia yang disantapnya ketika musim semi. Ia tak merindu pula pada burung emprit kaji yang bersembunyi di antara dedaunan ketika hujan menderas, sebaliknya yang dirindukannya: “…pasukan belibis berleher hijau, pemecah selimut es di danau dekat rumahku, ketika pepohonan birch mulai menekuk lutut dan membanggakan lagi putih kulit mereka yang tua.” (Sajak “Doa Musim Semi”) Kalaupun terpaksa menulis hujan, maka Nirwan memilih menulis “Hujan di Monona”—salah satu kota di Amerika Serikat. Sebab, hujan di sana sudah jelas berbeda: “Tertinggal di ranting mapel, rambut hujan. Mengulum tampuk poeni, mulut hujan. Terlipat di pinggir danau, jubah hujan.” (Sajak “Hujan di Monona”) Ia tentu lebih akrab dengan hujan di Monona ketimbang hujan di Lereng Merapi, misalnya, lebih akrab dengan mapel dibandingkan waru, karena akarnya sudah tercerabut dari tanah tempat tali pusarnya di kuburkan. Dengan begitu, tidak heran jika Nirwan menjadi penyair yang konsisten menyuarakan kosakata negara-negara Utara. Ia memang menulis dengan bahasa Indonesia, tapi lebih suka bercerita tentang mapel, poeni, roti atau salju daripada hujan. Guna menarik garis pembeda bahwa dirinya adalah penyair yang lain daripada yang lain, Nirwan menggunakan