“Setiap nama adalah doa”. Maka dalam setiap perkenalan, mengungkapkan nama adalah hal utama yang mesti dilakukan. Dalam berbagai bahasa, Martani berarti rendah hati (Sanskerta), merata (Jawa Kawi), menghidupi dan mendidik (Jawa). Sejarah Nusantara juga telah mencatat sosok cerdik cendekia bernama Ki Juru Martani. Ia adalah seorang ahli strategi, patih, guru sekaligus pendiri Kerajaan Mataram. Berbekal kecerdasan dan ilmu pengetahuan, ia selalu berhasil memenangkan persaingan tanpa terlibat dalam peperangan. Terinspirasi dari makna kata dan sosok Juru Martani, kami memaknai Majalah Martani dalam dua pengertian. Pertama, Martani mengandung spirit proses belajar yang berjalan secara terus menerus dalam waktu yang panjang. Proses belajar mengenai pengetahuan petani yang begitu tinggi nilainya. Satu kepercayaan yang selalu kami pegang adalah “belajar bisa dilakukan melalui refleksi atas keberhasilan kehidupan masyarakat tani di pedesaan.”
Rehabilitasi Hutan dan Lahan oleh CBO Hintuwua, Lonca, Sigi, Sulawesi TengahSCBFWM
Pendidikan yang relatif rendah membuat sebagian masyarakat desa Lonca tidak punya pilihan lain selain buruh tani dan berladang. Lokasi yang terpencil serta akses jalan yang belum baik menjadikan masyarakat desa Lonca agak terisolir. Pola kehidupan seperti ini merupakan ancaman bagi kelestarian hutan yang menjadi bagian dari desa lonca. Kelompok masyarakat Hintuwua dibentuk dengan tujuan untuk menjaga kelestarian hutan dan DAS serta meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa merusak hutan, selain itu CBO juga diharapkan sebagai motor penggerak di Desa.
“Setiap nama adalah doa”. Maka dalam setiap perkenalan, mengungkapkan nama adalah hal utama yang mesti dilakukan. Dalam berbagai bahasa, Martani berarti rendah hati (Sanskerta), merata (Jawa Kawi), menghidupi dan mendidik (Jawa). Sejarah Nusantara juga telah mencatat sosok cerdik cendekia bernama Ki Juru Martani. Ia adalah seorang ahli strategi, patih, guru sekaligus pendiri Kerajaan Mataram. Berbekal kecerdasan dan ilmu pengetahuan, ia selalu berhasil memenangkan persaingan tanpa terlibat dalam peperangan. Terinspirasi dari makna kata dan sosok Juru Martani, kami memaknai Majalah Martani dalam dua pengertian. Pertama, Martani mengandung spirit proses belajar yang berjalan secara terus menerus dalam waktu yang panjang. Proses belajar mengenai pengetahuan petani yang begitu tinggi nilainya. Satu kepercayaan yang selalu kami pegang adalah “belajar bisa dilakukan melalui refleksi atas keberhasilan kehidupan masyarakat tani di pedesaan.”
Rehabilitasi Hutan dan Lahan oleh CBO Hintuwua, Lonca, Sigi, Sulawesi TengahSCBFWM
Pendidikan yang relatif rendah membuat sebagian masyarakat desa Lonca tidak punya pilihan lain selain buruh tani dan berladang. Lokasi yang terpencil serta akses jalan yang belum baik menjadikan masyarakat desa Lonca agak terisolir. Pola kehidupan seperti ini merupakan ancaman bagi kelestarian hutan yang menjadi bagian dari desa lonca. Kelompok masyarakat Hintuwua dibentuk dengan tujuan untuk menjaga kelestarian hutan dan DAS serta meningkatkan pendapatan masyarakat tanpa merusak hutan, selain itu CBO juga diharapkan sebagai motor penggerak di Desa.
It's all about the culture of "Kampung Naga" and their social life. I Literally made this all by myself, without help from the other, even this presentation was made for a group anthropological observation.
It's all about the culture of "Kampung Naga" and their social life. I Literally made this all by myself, without help from the other, even this presentation was made for a group anthropological observation.
Presentasi Ninil Jannah Lingkar Association Untuk Consortium Disaster Education Indonesia: Advokasi Sekolah Aman. WS Pembelajaran PLAN Program Sekolah Aman, Yogyakarta, 2014
Presentasi Ninil Jannah Lingkar Association: Pengalaman Pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana DI Yogyakarta. Dalam diskusi persiapan pembentukan forum PRB-API DKI Jakarta.
More from Lingkar Association (Perkumpulan Lingkar) (20)
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Muh Saleh
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 merupakan survei yang mengintegrasikan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI). SKI 2023 dikerjakan untuk menilai capaian hasil pembangunan kesehatan yang dilakukan pada kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia, dan juga untuk mengukur tren status gizi balita setiap tahun (2019-2024). Data yang dihasilkan dapat merepresentasikan status kesehatan tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota.
Ketersediaan data dan informasi terkait capaian hasil pembangunan kesehatan penting bagi Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai bahan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran berbasis bukti termasuk pengembangan Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2024-2029) oleh Kementerian PPN/Bappenas. Dalam upaya penyediaan data yang valid dan akurat tersebut, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyusunan metode dan kerangka sampel SKI 2023, serta bersama dengan Lintas Program di Kementerian Kesehatan, World Health Organization (WHO) dan World Bank dalam pengembangan instrumen, pedoman hingga pelaporan survei.
Disampaikan pada PKN Tingkat II Angkatan IV-2024 BPSDM Provinsi Jawa Tengah dengan Tema “Transformasi Tata Kelola Pelayanan Publik untuk Mewujudkan Perekonomian Tangguh, Berdayasaing, dan Berkelanjutan”
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, S.H., MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN RI
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Kementerian Kesehatan menggulirkan transformasi sistem kesehatan.
Terdapat 6 pilar transformasi sistem kesehatan sebagai penopang kesehatan
Indonesia yaitu: 1) Transformasi pelayanan kesehatan primer; 2) Transformasi
pelayanan kesehatan rujukan; 3) Transformasi sistem ketahanan kesehatan;
4) Transformasi sistem pembiayaan kesehatan; 5) Transformasi SDM
kesehatan; dan 6) Transformasi teknologi kesehatan.
Transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi
penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan
kapasitas serta kapabilitas pelayanan kesehatan primer. Pilar prioritas
pertama ini bertujuan menata kembali pelayanan kesehatan primer yang ada,
sehingga mampu melayani seluruh penduduk Indonesia dengan pelayanan
kesehatan yang lengkap dan berkualitas.
Penataan struktur layanan kesehatan primer tersebut membutuhkan
pendekatan baru yang berorientasi pada kebutuhan layanan di setiap
siklus kehidupan yang diberikan secara komprehensif dan terintegrasi
antar tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Pendekatan baru ini disebut
sebagai Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer, melibatkan Puskesmas, unit
pelayanan kesehatan di desa/kelurahan yang disebut juga sebagai Puskesmas
Pembantu dan Posyandu. Selanjutnya juga akan melibatkan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Melenting dari longsoran hutan pinus 04102015
1. 1
“MELENTING DARI LONGSORAN HUTAN PINUS”
IKHTIAR MENGELOLA RISIKO DESA NEGARAJATI
Bab 1. Riwayat Negarajati ............................................................................................................2
Bab 2. Banjir - Longsoran - Amblesan..........................................................................................5
Bab 3. Ikhtiar Mengelola Risiko Bencana ...................................................................................10
Bab 4. Rencana Membangun Ketangguhan...............................................................................14
A. Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Desa Negarajati..........................................14
B. Rencana Aksi PRB Komunitas.........................................................................................15
C. Rencana Kontinjensi Ancaman Tanah Longsor ...........................................................17
Bab 5. Mengelola Risiko Bencana Dari, Oleh, Untuk Negara Jati ..............................................21
Bab 6. Awas, Waspada, Bahaya! ...............................................................................................26
Bab 7. Negarajati Menyusun Rencana - Membangun “Desaku” ................................................34
Bab 7. Melenting Balik Lebih Baik ..............................................................................................39
A. Urusan Bersama Urusan Semua, Modal Sosial...............................................................39
B. Mengelola Sumber Keuangan, Modal Keuangan ............................................................42
C. Silaturahmi, Modal Sosial.............................................................................................44
D. Menanam Kembali Menjaga Hutan, Modal Lingkungan...............................................45
Bab 8. Padamu Negarajati..........................................................................................................48
Daftar Rujukan............................................................................................................................52
Daftar Gambar
Gambar 1. Salah satu lokasi Longsoran.......................................................................................8
Gambar 2. Bagan Alur Kegiatan.................................................................................................13
Gambar 3. Analisis Risiko...........................................................................................................14
Gambar 4. SImulasi Penyelamatan Korban................................................................................19
2. 2
“Berada di atas Rangkaian Pegunungan Seribu yang membentang di bagian
selatan pulau Jawa, merupakan sebuah dataran tinggi berbukit-bukit di
ketinggian 564 mdpl yang menerima curah hujan hujan rata-rata tertinggi yaitu
488 mm pada bulan Desember dan terendah bulan Juli 43 mm. Tingkat
kelerengan di wilayah ini adalah 20-25% di wilayah pemukiman dan 30-40% di
kawasan hutan produksi Perum PERHUTANI”
Bab 1. Riwayat Negarajati
Tak diketahui persis kapan terbentuknya Desa Negarajati, namun, cerita dari mulut-ke-
mulut penduduk mengisahkan bahwa hingga saat ini telah sebelas kepala desa
memimpin Negarajati. Penuturan lain menambahkan bahwa terbentuknya desa diawali
oleh pembukaan lahan yang diikuti pageblug oleh karena penebangan salah satu
pohon jati keramat di Pesarehan Mbah Kanjeng Surya Batara. Sejak saat itu, wilayah di
sekitar makam dinamakan Gerumbul Garajati yang diikuti dengan berdirinya kelurahan
Nang Garajati yang kemudian akrab disebut Negarajati.
Secara administratif, Desa Negarajati termasuk dalam Kecamatan Cimanggu,
Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Berjarak kurang lebih 80 km dari ibukota
Kabupaten Cilacap dan 14 km dari Kecamatan Cimanggu, Desa Negarajati dapat
dicapai dari kota Cilacap melalui jalan darat mengunakan kendaraan roda 2 atau 4,
dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam. Desa Negarajati memiliki luas wilayah
sebesar 1.604,316 ha, terdiri atas 3 (tiga) dusun dengan 9 (sembilan)
gerumbul/subdusun.
Berada di atas Rangkaian Pegunungan Seribu yang membentang di bagian selatan
pulau Jawa, desa yang berada di dataran tinggi berbukit-bukit di ketinggian 564 mdpl
yang menerima curah hujan hujan rata-rata tertinggi yaitu 488 mm pada bulan
Desember dan terendah bulan Juli 43 mm. Tingkat kelerengan di wilayah iniadalah 20-
25% di wilayah pemukiman dan 30-40% di kawasan hutan produksi Perum Perhutani
yang juga berbatasan langsung dengan permukiman penduduk Dusun 1 dan Dusun 2.
Wilayah sebelah utara desa berupa hutan rimba jenis pinus yang merupakan lahan
hutan Negara (Perum. Perhutani) seluas 485 Ha dimana sebagian wilayah tersebut
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk ditanami kapulogo. Hutan milik masyarakat
mencapai luas 391,720 ha dengan hasil kayu dan bambu.
Pusat pemerintahannya di Dusun 1 Gerumbul Garajati (yang setara dengan tingkat
Rukun Warga). Secara keseluruhan, terdapat 3 dusun dengan total 26 Rukun
Tetangga. Untuk menghubungkan dusun-dusun dan desa, sudah dibangun jalan desa
beraspal. Kondisi jalan desa cukup baik meski berlubang di beberapa titik ruas jalan
yang diakibatkan tanah longsor. Sementara itu, beberapa jalan dusun masih berupa
3. 3
makadam atau jalan tanah yang diperkeras dengan bebatuan. Rumah-rumah warga
sebagian besar sudah menikmati aliran listrik dari PLN dan hanya sebagian kecil yang
tidak memakai listrik.
Mayoriitas penduduk Desa Negarajati bermata pencaharian sebagai petani, baik petani
sawah tadah hujan maupun sebagai petani hutan.Petani dibedakan menjadi dua yaitu
petani penggarap lahan sendiri dan penggarap lahan milik orang lain. Lahan pertanian
di Desa Negarajati sebagian besar berada di lereng-lereng bukit yang mengandalkan
air hujan dengan rata-rata 2 kali panen padi. Pada lahan-lahan tersebut, sebagian diairi
dari sistem ½ irigasi dan sebagian yang lain merupakan sawah tadah hujan dan
palawija lebih banyak dihasilkan daripada padi. Pada lahan padi, petani memanfaatkan
sela-sela dan pematang untung menanam ketimun, kacang panjang atau ubi jalar (pada
saat ketersediaan air dirasa memadai). Dalam setahun, warga dapat menikmati panen
dua kali atau hanya satu kali. Hasil panen umumnya digunakan hanya untuk kebutuhan
rumah tangga mereka sendiri dan bukan untuk dijual. Selain padi, mereka juga
mengusahakan tanaman jangka panjang di kebun atau tegalan, misalnya albazia,
mahoni, waru tisuk, jabon, kemukus, pala, cengkih, merica, petai, durian, salak,
kapulaga, mangga, pisang. Wirausaha industri rumahan dan pada sektor peternakan
ditekuni sebagai sumber penghasilan.
Untuk mendapatkan tambahan penghasilan sebagian petani bekerja sebagai buruh
sadap getah pinus di areal hutan pinus milik Perhutani. Saat ini, terdapat 500 warga
Desa Negarajati yang menjadi buruh sadap pinus.Sebagai penyadap getah pinus,
warga mendapatkan penghasilan bulanan sebesar Rp250.000,00 dan dari hasil
penanaman tanaman tumpang sari di bawah pinus diperoleh tambahan sebesar
Rp100.000,00 sehingga pendapatan tambahan bulanan dari buruh sadap pinus
mencapai Rp350.000,00. Profesi lain dari warga Desa Negarajati adalah peternak
ayam. Terdapat 50 orang warga yang menjalankan usaha peternakan ayam ini melalui
kerjasama dengan pengusaha. Para peternak ayam mendapatkan bibit ayam dari
pengusaha kemudian merawat bibit ayam tersebut yang nantinya dijual kembali ke
pengusaha tersebut. Harga jual ayam perkilogramnya adalah Rp. 2000,00 dan dalam
masa panen 35 hari dihasilkan 1000 ekor ayam. Masa panen 35 hari dilakukan dengan
pertimbangan pasar dan juga pada umur tersebut ayam tidak terlalu berat.
Mata pencaharian tambahan lainnya adalah sebagai perajin tikar pandan. Aktivitas ini
merupakan kegiatan sampingan ibu-ibu pada waktu luang atau di saat pekerjaan
bertani berkurang. Dusun 3 merupakan dusun dimana hampir disetiap rumah
merupakan perajin tikar pandan.Harga tikar pandan untuk ukuran 1,80X1,20m dihargai
Rp8000,00, sedangkanukuran yang lebih kecil, yaitu 1,60X1m, dihargai sekitar
Rp5000,00 per lembar.Pembuatan tikar ini membutuhkan waktu antara 3 hari sampai
dengan 1 minggu, tergantung ukurannya. Hasil kerajinan umumnya dijual langsung
kepada konsumen atau pengepul setempat.
4. 4
Masyarakat Desa Negarajati masih kental memelihara adat budayanya dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini terlihat dengan masih melaksanakan beberapa ritual
budaya hingga saat ini, diantaranya budaya Kesinoman/Sinoman/Rewang atau gotong
royong antar warga jika ada salah satu satu anggota masyarakat yang sedang memiliki
hajatan;tradisi Selametan sebagai wujud rasa syukur atas hasil panen atau setelah
mendirikan rumah; Ruwatan yaitu kegiatan menanggap wayang yang bertujuan untuk
tolak bala, misal agar tidak terjadi bencana alam atau paceklik dan lain sebagainya.
Warga Dusun 1 dan Dusun 2 masih menyelenggarakan upacara Sedekah
bumi/Nyadran atau kegiatan syukuran meskipun waktunya sedikit berbeda; Dusun
2melaksanakan pada saat bulan Suro, sementara Dusun 1pada saat bulan Hafit/Bulan
Selo. Kegiatan ini dilakukan di tempat-tempat yang menurut warga dikeramatkan
(Makam Mbah Dalem), dengan menyembelih kambing atau ayam, membawa hasil bumi
dan membawa makanan untuk disajikan dan dibagi rata kepada seluruh warga di
wilayah yang melakukan acara Sedekah Bumi tersebut.
Selain tradisi-tradisi di atas, warga juga masih melaksanakan beberapa ritual seperti
Ruwahan; yaitu upacara penghormatan kepada arwah keluarga yang sudah meninggal
dunia yang sebelumnya didahului dengan kegiatan membersihkan makam dari keluarga
yang dilanjutkan dengan syukuran. Kegiatan Ruwahan ini dilakukan di bulan Sa’ban
atau sebelum Bulan Puasa. Ada pula Ritual Pemakaman yaitu proses penggalian kubur
yang dilakukan oleh warga secara bersama-sama. Setiap warga yang membantu hanya
membawa 2 alat kerja yakni berupa 1 buah linggis dan 1 buah pacul. Tujuannya agar
terjadi kerjasama antar penggali. Pada saat di pemakaman, sebelum mayat
dimasukkan ke dalam liang lahat, anak-anak dari jenazah akan melakukan ritual
memposisikan tubuhnya seperti jenazah dengan posisi di dalam liang lahat dan sedikit
menggigit tanah yang tujuannya agar anak-anaknya nantinya akan ingat juga bahwa
mereka pada suatu saat nanti akan meninggal juga. Upacara lain yang wajib yang
dilakukan adalah Gusaran/potong gigi. Upacara ini bersifat wajib bagi anak perempuan
di Desa Negarajati namun tidak demikian bagi anak laki-laki, dengan melaksakan
khitan.
Tradisi yang masih dipelihara di tingkat Rukun Tetangga/RTyaitu adanya lumbung padi
yang dapat dimanfaatkan mencukupi kebutuhan pangan dan budaya semisal
pernikahan, khitanan, kematian. Pengembalian pinjaman padi dengan cara
mengangsur ketika panen. Praktik kelekatan sosial dan modal keuangan di tingkat RT
lainnya dengan adanya arisan dan simpan pinjam baik uang ataupun padi, secara
bergulir dimanfaatkan untuk usaha produktif maupun membiayai kebutuhan mendesak.
5. 5
"Meskipun tidak menelan korban jiwa, kejadian tanah longsor tahun 2009
yang membawa guguran material longsoran berupa tanah, batu, kayu dan
lumpur telah menyebabkan kerugian dan kerusakan yang sangat besar
bagi desa tersebut. Tercatat ada 6 orang luka berat, 700-an warga
mengungsi, 18 rumah rusak berat, 300 lainnya terdampak”
Bab 2. Banjir - Longsoran - Amblesan
Berdasarkan ciri karakteristik litologi, lingkungan pengendapan, maupun fasenya,
sebagian wilayah Kabupaten Cilacap termasuk ke dalam Lajur zona Pegunungan
Selatan (Pulau Nusakambangan), sebagian Lajur Tekukan Tengah (Meliputi wilayah
Dayeuhluhur, Wanareja, Majenang, Sidareja dan Kedungreja bagian utara), dan
sebagian lagi termasuk dalam rangkaian pegunungan Serayu Selatan. Pulau
Nusakambangan merupakan kelanjutan Pegunungan Selatan yang membujur di bagian
selatan Pulau Jawa dari bagian timur (sekitar Blambangan di Jawa Timur) hingga
bagian barat (sekitar Pelabuan Ratu di Jawa Barat) namun terputus-putus oleh blok
turun (Graben) di beberapa tempat antara lain (Yogyakarta dan dataran alluvial
Kebumen).Jenis tanah zona ini adalah vulkanis laterit, sedangkan batuan induknya
berupa dasiet dan andesiet. Secara geologi daerah ini tersusun oleh batuan sedimen
tersier yang terlipat dan tersesarkan.
Desa Negarajati termasuk daerah pengikisan dengan kemiringan lereng mencapai 20°-
30°, banyak dijumpai gerakan tanah baik di lereng bukit bagian atas maupun tengah.
Gerakan tanah yang terjadi cepat dengan bidang gerakan cepat melengkung terutama
di lereng perbukitan kemiringan yang lebih dari 30° dan daerah tebing sungai dan
tebing pemotongan. Selain itu dapat terjadi dengan gerakan lambat, dengan bidang
gerakan mendatar, pada permukaan batu lempung atau batuan kedap air, atau pada
bidang gerakan lama di lereng bagian tengah dan bawah, sehingga termasuk daerah
rawan terjadi tanah longsor.
Kejadian tanah longsor yang terakhir dan terbesar terjadi pada 2 Februari 2009 di area
hutan milik Perhutani di Petak 24 dan 27, dimana lahan tersebut berbatasan langsung
dengan permukiman penduduk Gerumbul Garunggang dan Telagaluhur di Dusun 2
serta Gerumbul Garajati, Dusun 1. Seperti dikisahkan oleh warga, sebelum peristiwa
terjadi hujan mengguyur desa selama berjam-jam. Setelah terdengar letusan keras
disusul suara gemuruh dari arah lereng bukit, pada pukul 19:00 WIB lumpur bercampur
air, bebatuan serta pepohonan dan belukar menggelontor Grumbul Garunggung dan
Telagareja, Negarajati, disertai amblesan. Warga meyakini kejadian longsor dan
amblesan tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain rekahan di atas bukit yang
terbentuk pada musim kemarau, aktivitas penambangan batu, serta longsoran kecil-
kecil yang menyebabkan terganggunya drainase. Hujan selama lebih dari lima jam yang
6. 6
terjadi hari itu menyebabkan pengikisan sehingga tanah tak lagi mampu menahan
beban. Alhasil, terjadilah pergeseran tanah dan material ke bawah dan menghantam
permukiman dan fasilitas umum di desa dengan material longsoran secara cepat.
Dinas ESDM Kabupaten Cilacap menguraikan kejadian tanah longsor di Desa
Negarajati ke dalam 3 karakteristik. Yang pertama, Aliran Bahan Rombakan; kondisi ini
terjadi ketika massa tanah bergerak oleh di dorongan oleh air. Kecepatan aliran
tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya.
Gerakan materi terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter
jauhnya. Aliran tanah ini dapat menelan korban yang cukup banyak. Kondisi ini
terutama terdapat pada lereng bukit milik Perhutani yang langsung berbatasan dengan
wilayah permukiman penduduk yang membentang sepanjang 3 km mulai dari Dusun 2
ke Dusun 1 Negarajati.
Karakteristik yang kedua adalah Longsoran Translasi, yaitu kondisi yang terjadi ketika
massa tanah dan batuan bergerak turun pada bidang gelincir berbentuk relatif rata atau
menggelombang landai. Kondisi ini banyak ditemui di sejumlah pemukiman dan areal
persawahan di Desa Negarajati. Sementara karakteristik yang ketiga adalah Rayapan
Tanah. kondisi ini tercipta ketika batuan dan massa tanah bergerak lambat dan lebih
disebabkan pembuatan konstruksi yang cukup berat pada bidang-bidang yang
mempunyai kemiringan, sistem drainase yang tidak memadai sehingga menggerus
beberapa bagian pada sebagian sisi tebing, dan beban muat kendaraan angkut yang
melebihi kapasitas penahannya (tanah). Kondisi ini umumnya terjadi pada tanah yang
jenisnya butiran kasar dan/atau halus, dan baru dapat dikenali setelah kurun waktu
yang cukup lama. Tanda-tanda yang bisa diamati dari longsor jenis rayapan ini
misalnya miringnya tiang-tiang listrik, pohon, rumah ke arah bawah. Kondisi ini banyak
dilihat pada sepanjang jalan utama desa dan dusun yang paling padat permukiman dan
lalu lalang kendaraan berat, seperti truk roda enam (truk, dll).
Kejadian yang diakibatkan oleh lereng dari bukit curam yang gundul dan berubahnya
fungsi lahan, dari jati menjadi pinus kemudian dipicu oleh hujan deras pada bulan-bulan
November hingga Februari selama 5 jam terus-menerus yang disebut sebagai masa
kritis, lalu bergeserlah tanah, yang terbawa air dan membawa material seperti
pepohonan/kayu-kayu menuruni lereng yang sebelumnya ditandai suara ledakan,
muncul rembesan air, dan juga adanya retakan tanah sehingga menyerang/menimbun
permukiman warga, sarana umum dan sekolah dasar secara mendadak dan cepat.
Kejadian ini biasanya mengancam warga setiap 2 tahun sekali dan membutuhkan
waktu 1 bulan untuk pembersihan timbunan tetapi bisa sampai satu tahun untuk lahan
sawah baru bisa ditanami kembali.
Meskipun tidak menelan korban jiwa, kejadian tanah longsor tahun 2009 yang
membawa guguran material longsoran berupa tanah, batu, kayu dan lumpur telah
7. 7
menyebabkan kerugian dan kerusakan yang sangat besar bagi desa tersebut. Tercatat
ada 6 orang luka berat, 700-an warga mengungsi, 18 rumah rusak berat, 300 lainnya
terdampak. Kerusakan yang dialami desa yaitu tertimbunnya jalan desa yang
menghubungkan Desa Negarajati dengan desa lain – mengingat jalan ini merupakan
satu-satunya akses ke wilayah lain, terputusnya sambungan listrik, hancur dan
rusaknya fasilitas ibadah seperti musala, hilangnya akses ke sumber air Citalaga yang
tertimbun selama dua minggu, rusaknya instalasi distribusi air bersih di Dusun 2,
rusaknya sawah, dan ladang hilangnya kesempatan memanen hasil bumi dan lahan
penyedia pakan ternak, juga tanaman kayu sebagai tabungan warga. Selain itu, longsor
juga mengakibatkan rusaknya sekolah dan terganggunya aktivitas belajar mengajar di
sekolah, terganggunya layanan desa dan rutinitas mata pencaharian warga,
terganggunya kesehatan fisik dan trauma warga, dan terjadinya kelaparan karena
minimnya cadangan pangan di lumbung.
Menyusul kejadian bencana 2009, warga kehilangan tempat tinggal dan terpaksa
bernaung di tempat pengungsian. Mereka tidak dapat melakukan aktivitas keseharian
secara normal dan pada waktu yang sama dihinggapi oleh rasa tak aman dan
kekhawatiran karena merebaknya isu penjarahan di dusun mereka. Selama di
pengungsian, warga juga mengalami berbagai penyakit, seperti demam, diare, flu dan
penyakit kulit. Potensi konflik muncul di antara warga, yang dipicu anggapan tak
meratanya distribusi bantuan, politisi bantuan dan akses ke sumber mata air. Hal-hal ini
tak pelak telah membuat kehidupan warga semakin sulit dan tidak menentu.
Selain hilangnya tempat tinggal, tanah longsor juga menyebabkan warga kehilangan
mata pencaharian oleh karena rusaknya aset ekonomi keluarga, memunculkan
kemiskinan baru serta pengangguran. Situasi ini kemudian memicu sebagian warga
untuk pindah ke kota dan mencoba peruntungan baru sebagai buruh angkut di pasar
maupun kuli bangunan. Sementara dampak yang dihadapi oleh penyintas anak,
hilangnya kemampuan orang tua untuk membiayai sekolah menghadapkan mereka
pada situasi putus sekolah.
Menurut warga Negarajati, hutan jati banyak menyediakan manfaat bagi warga. Tidak
hanya menyediakan pakan ternak, hutan juga menyediakan kayu bakar dan
mendukung sumber-sumber mata air.Hutan jati tersebut bak keluarga atau kerabat atau
bahkan pemantau bukit yang akan selalu menginformasikan secara gaib akan
datangnya bencana longsor. Bagi segelintir orang ‘waskita’, yang mampu menerima
pesan gaib akan datangnya bencana. Tanda-tanda tersebut, misalnya Warga akan
mendengar suara-suara binatang seperti suara desis ular, melihat kuda putih atau
kijang yang menjadi penanda sesuatu akan terjadi. Namun, kondisi ini mulai berubah
ketika jati digantikan oleh pinus. Suara-suara itu tak lagi ditemui, warga Desa Negarajati
telah ditinggalkan makhluk-makhluk gaib seiring dengan hilangnya tanaman jati.
8. 8
Dalam kaitannya dengan bencana, sepanjang sejarah yang terekam dalam ingatan
warga Negarajati, desa mereka pernah mengalami beberapa kejadian yang
dikategorikan sebagai bencana, yang menimbulkan kerugian dan gangguan serius
terhadap kehidupan warga. Kejadian tersebut antara lain yaitu longsor, kekeringan,
pengangguran, dan wabah penyakit.
Kegiatan diskusi Alur Sejarah Desa bersama dengan masyarakat mengungkap bahwa
peristiwa tanah longsor di Desa Negarajati terjadi pertama tahun 1974. Menurut warga,
kejadian llongsor saat itu menggeser badan jalan hingga lebih dari 12 meter dan
mengakibatkan kematian 2 orang warganya di Gerumbul Garunggang Dusun 2. Tahun
1980-an terjadi ada perubahan kelas hutan dari kelas hutan Jati (Tectona grandis)
menjadi kelas hutan Pinus (pinuss mercussii). Kala itu kondisi perbukitan masih
didominasi hutan Jati (tectona grandis) dan rumpun-rumpun bambu (bamboussasp),
area yang secara administratif menjadi wilayah kerja Resort Pemangkuan Hutan (RPH)
Cimanggu, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Majenang, Kesatuan
Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat. Karena perubahan tersebut dan semakin
bertambahnya laju degradasi lingkungan di wilayah tersebut, maka frekuensi kejadian
tanah longsor ditengarai semakin meningkat dengan intensitas kecil sampai sedang,
yang terjadi berturut-turut mulai tahun 1996, 2000, 2003, 2006 dan 2007.
Gambar 1. Salah satu lokasi Longsoran
Dalam ingatan warga, pasca alih fungsi lahan di perbukitan dengan penanaman pinus
menggantikan jati dan vegetasi alami pada tahun 1980-an justru makin menguatkan
intensitas tanah longsor. Perubahan jenis tanaman dan ditambah dengan semakin
lajunya degradasi lingkungan di wilayah tersebut, ditengarai warga telah meningkatkan
frekuensi kejadian tanah longsor intensitas kecil sampai sedang.
9. 9
Kejadian tanah longsor yang terbesar terjadi pada tahun 2009 yang memicu kejadian
bencana pada hutan milik Perhutani di petak 24 dan 27, dimana lahan tersebut
berbatasan langsung dengan permukiman penduduk Gerumbul Garunggang dan
Telagaluhur di Dusun 2. Material longsoran yang berupa tanah, batu, kayu dan lumpur
menyebabkan kerugian dan kerusakan yang sangat besar bagi desa tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Infrastuktur ; jalan, jembatan, saluran irigasi, saluran distribusi air bersih, instalasi
penerangan dan air bersih (reservoir) serta beberapa rumah penduduk dan
musholla di Dusun 2 rusak berat dan sebagian tertimbun lumpur dan material
lainnya. Sehingga akses transportasi Desa Negarajati, Desa Kutabima, dan Desa
Cisalak terputus. Kerugian lainnya adalah 10 Rumah rusak total, 28 rumah rusak
berat, 92 rumah rusak ringan, 1 rumah ibadah rusak berat
2) Lingkungan ; sumber air Citalaga (sumber air bersih layak konsumsi sebagai
persediaan warga di tiga desa ketika musim kemarau) juga tertimbun material
longsoran sehingga kebutuhan air bersih untuk warga di Gerumbul Garunggang,
Telagaluhur, dan sebagian Gerumbul Telagasari tidak terpenuhi. Selain itu
beberapa lahan pertanian dan perkebunan milik masyarakat juga tertimbun lumpur
dan hingga kini berubah fungsi menjadi lahan kritis.
3) Sosial-budaya ; terhentinya layanan publik pemerintahan desa dan kegiatan
belajar mengajar di sekolah selama lebih dari satu bulan, serta lumpuhnya
kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya seperti pengajian, arisan,
lumbung pangan dan posyandu, dll.
4) Ekonomi ; rusaknya aset/sumber penghidupan masyarakat ketika terjadi longsor
berakibat pada hilangnya pendapatan ekonomi masyarakat yang bekerja sebagai
penyadap getah pinus, petani dan peternak unggas, pedagang kebutuhan pokok,
pengrajin anyaman tikar pandan, usaha sale pisang. Sementara tabungan untuk
mengembangkan usaha habis terpakai untuk mencukupi kebutuhan keluarga pada
saat tanggap-darurat.
5) Manusia ; ketersediaan tenaga, waktu, dan pikiran masyarakat dikerahkan
seluruhnya untuk menangani situasi darurat tersebut sehingga masyarakat
(penyintas) tidak mampu lagi melakukan aktifitas lain untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Selain itu trauma psikis yang diderita sebagian anggota masyarakat
jelas memengaruhi hidup dan kehidupan masyarakat/lingkungannya.
10. 10
“Desa yang kuat, siaga menghadapi segala jenis bencana, dan tangguh
secara Fisik, Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Manusia serta Politik agar
mampu mengurangi risiko bencana dan mampu mewujudkan masyarakat
yang sejahtera”
Bab 3. Ikhtiar Mengelola Risiko Bencana
Masyarakat yang tangguh dapat dipahami sebagai masyarakat yang dapat mengelola
tekanan atau kekuatan yang menghancurkan (menyerap, mengurangi, menahan,
mengalihkan, menghindar, adaptasi) dengan mempertahankan struktur dan fungsi aset
penghidupan untuk memulihkan diri setelah bencana. Kemampuan atau kapasitas
masyarakat tersebut diharapkan bersumber dari diri sendiri dalam mengelola risiko,
dalam arti lain masyarakatlah yang menjadi pelaku utama untuk mengurangi
kerentanannya dan sekaligus meningkatkan kemampuan melalui serangkaian aktivitas
yang memungkinkan adanya kerjasama multipihak.
Mengutip dari dokumen UN-ISDR (UN-ISDR, Geneva 2004), resilience merupakan
“Kapasitas sebuah sistem, komunitas atau masyarakat, yang berpotensi terpapar
bahaya, untuk menyesuaikan diri terhadap ancaman, memiliki mekanisme bertahan
(coping mechanism) dan mampu memulihkan diri terhadap dampak bencana. Kapasitas
tersebut ditentukan oleh sejauh mana sistem sosial yang ada mampu mendorong
masyarakat untuk mengorganisir diri sendiri dalam meningkatkan kapasitas belajarnya
dari bencana yang lalu demi perlindungan yang lebih baik di masa depan serta mampu
meningkatkan tindakan-tindakan peredaman risiko.”
Pada konteks masyarakat desa, Desa Negarajati mendefinisikan Desa Tangguh
sebagai “Desa yang kuat, siaga menghadapi segala jenis bencana, dan tangguh secara
Fisik, Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Manusia serta Politik agar mampu mengurangi
risiko bencana dan mampu mewujudkan masyarakat yang sejahtera”.
Cita-cita masyarakat yang tangguh tersebut diupayakan melalui serangkaian aktivitas
pengelolaan risiko dengan intervensi dan fasilitasi pihak luar maupun secara mandiri
oleh masyarakat dengan mengelola sumber daya yang dimiliki. Pihak luar berperan
dalam mengembangkan praktik berdasarkan pengalaman/pengetahuan lokal dan
meningkatkan kapasitas masyarakat. upaya-upaya PRB ditunjukkan dengan adanya
praktik dan pelembagaan PRBBK oleh kelompok-kelompok masyarakat yang telah
dipadukan ke dalam perencanaan pembangunan desa.
Kegiatan bersama masyarakat secara diantaranya kajian risiko bencana yang
menghasilkan profil dan peta risiko, musyawarah desa yang menghasilkan
perencanaan aksi masyarakat, pembentukan forum penanggulangan bencana dan
11. 11
relawan, pengarusutamaan pengurangan risiko bencana bencana dalam pembangunan
desa, peningkatan kapasitas perangkat desa dan perempuan, kampanye PRB pada
masyarakat dan sekolah, penyusunan rencana kontinjensi dan uji coba dalam bentuk
gladi dan simulasi, rangkaian kegiatan mitigasi, serta pelembagaan PRB. Ragam
kegiatan tersebut dijabarkan sebagai berikut:
Analisis Risiko: analisis risiko diikuti perwakilan masyarakat (perwakilan dusun dan
mata pencaharian) mengidentifikasi ancaman, kerentanan, kapasitas dan risiko diawali
penggalian persepsi tentang pemahaman ancaman, bahaya, bencana, dan risiko serta
upaya yang semestinya dilakukan untuk menghindari, mengurangi dampak merugikan
dari bahaya. Profil risiko, selanjutnya, digunakan sebagai dasar penyusunan rencana
pembangunan desa, rencana penanggulangan bencana, rencana aksi masyarakat dan
rencana kontinjensi. Lebih dari itu, dengan mengenali risiko, komunitas dapat
melakukan upaya Pengurangan Risiko Bencana dalam kehidupan sehari-hari secara
mandiri. Pengarusutamaan gender dijabarkan dalam kajian risiko dengan pelibatan
perwakilan sektor perempuan serta melakukan analisis kerusakan dan kerugian
berbasis perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Rembug Desa; rembug atau musyawarah desa merancang visi dan kesepakatan-
kesepakatan langkah menuju desa tangguh (road map). Profil risiko desa menjadi
landasan menyepakati konsep desa tangguh versi masyarakat dengan merumuskan
kriteria-kriteria desa tangguh dengan dasar lima aset penghidupan berkelanjutan.
Musyawarah ini berujung pada penyepakatan rencana-renana dan pihak-pihak yang
akan menjadi leading di setiap rencana yang telah disepakati.
Pembentukan Forum Penanggulangan Bencana Desa; forum PRB merupakan
wadah koordinasi multipihak dalam merealisasikan kerja-kerja desa tangguh, sekaligus
memantau dan mengevaluasi. Fasilitasi dalam tahap ini ditujukan merumuskan tugas,
fungsi sebagai bentuk realisasi salah satu hasil kesepakatan rembug desa dalam
memobiisasi sumber-sumber daya desa, termasuk mendapatkan dukungan multipihak.
Perencanaan Aksi Pengurangan Risiko Bencana; dengan basis profil risiko dan
kajian desa, komunitas menyusun rencana penanggulangan bencana, rencana aksi
komunitas termasuk didalamnya rencana kontinjensi. Perencanaan aksi menyasar pada
upaya pengelolaan risiko bencana baik aspek pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan
dengan memobilisasi sumber daya komunitas
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana dalam Pembangunan Desa;
merupakan upaya memasukkan pengurangan risiko bencana sebagai bagian tak
terpisahkan dalam rencana pembangunan desa. Tahap ini diawali dengan pengkajian
terhadap RPJMDes mulai dari penilaian masalah dan potensi desa dengan
menggunakan perangkat-perangkat partisipatif untuk kemudian mengelompokkan
12. 12
potensi dan masalah, pemeringkatan masalah, membuat alternatif tindakan dan
menyusun program sesuai dengan aturan (Permendagri No. 66 tentang Perencanaan
Pembangunan Desa dan UU No. 25 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan, yang
saat ini menggunakan Permendagri No.114 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pembangunan Desa).
Upaya-upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas diarahkan untuk menjadi
bagian yang terpadu dalam perencanaan pembangunan (RPJMDes, RKP, APBDes)
dan kebijakan-kebijakan sektoral. Demikian juga, setiap proses pengelolaan
pembangunan harus memasukan unsur-unsur pengurangan risiko bencana. Integrasi
tersebut dilaksanakan dalam proses-proses musrenbangdes, penyusunan, dan
pengesahan yang secara aktif melibatkan seluruh anggota masyarakat. Integrasi PRB
dalam pembangunan melalui Peraturan Desa tentang RPJM dan Peraturan Desa
Tentang RPB.
Aksi Komunitas; Kesepakatan Rencana aksi komunitas (RAK) pengurangan risiko
bencana (RPB) dalam program pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan dijalankan
oleh komunitas secara partisipatif yang dikoordinasi oleh Forum PRB dengan menunjuk
tim penanggungjawab. Dengan harapan, pemerintah kabupaten, pemerintah desa,
masyarakat, dan pihak swasta dapat berkontribusi besar dalam aksi tersebut sesuai
tanggung jawab dan tugas masing-masing untuk menuju desa yang tangguh.
Peningkatan kapasitas perangkat desa; Peningkatan kapasitas berbentuk pelatihan
teknis dan manajerial, pada aspek teknis perangkat desa berlatih operasional komputer
untuk mengembangkan kemampuan dalam pelayanan dan administrasi. Pada aspek
manajerial perangkat desa menyerap pengetahuan tentang perencanaan
pembangunan desa dan penyusunan peraturan desa. Guna meningkatkan partisipasi
perempuan dalam pembangunan, dilaksanakan pelatihan public speaking, identifikasi
masalah, dan gender awareness.
Pelembagaan PRBBK; Untuk menjamin bahwa PRB dapat terlembaga pada
komunitas yaitu: (1) Peningkatan kapasitas perangkat pemerintahan desa dan lembaga
desa tentang tata kelola dan kebijakan desa; (2) Forum multi pihak yang tergabung
dalam Forum PRB Desa; (3) memastikan masyarakat telah merebut dan menjalankan
perangkat-perangkat analisis (VCA, PRA, dan musrenbangdes) dalam bentuk lokakarya
pengembangan perangkat dan pendampingan ujicoba perangkat. Komunitas secara
bersama-sama diharapkan dapat mengembangkan alat kajian untuk selanjutnya
diaplikasikan guna memperbaharui profil risiko, perencanaan penanggulangan bencana
dan dokumen perencanaan pembangunan desa secara periodik yang pada gilirannya
upaya pengurangan risiko bencana dapat menjadi bagian dalam sistem sosial
masyarakat dan perencanaan pembangunan desa.
14. 14
Pengalaman respon keadaan-keadaan darurat sebelumnya
dengan jelas menunjukkan bahwa tanggapan yang efektif
terhadap kebutuhan kemanusiaan dimasa krisis sangat
tergantung pada tingkat kesiapan dan perencanaan, serta
kemampuan dan ketersediaan sumber daya yang ada.
Bab 4. Rencana Membangun Ketangguhan
Pengalaman kejadian bencana tanah longsor pada 2009 merupakan awal kesadaran
masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mengelola risiko. Sumber ancaman
tanah longsor berlokasi di hutan pinus Perhutani yang berdampingan dengan
pemukiman, hutan pinus sekaligus sebagai mata pencaharian sebagian besar warga
yang bergantung
pendapatannya dengan
menyadap/menderes getah
pinus.
Berangkat dari kondisi tersebut,
maka banyak upaya yang
dilakukan oleh masyarakat
Desa Negarajati dalam rangka
untuk melakukan pencegahan,
memitigasinya sampai dengan
melakukan kesiapsiagaan.
Upaya yang dilakukan antara
lain dengan penyusunan rencana penanggulangan bencana dan dan rencana aksi,
termasuk rencana kontinjensi:
A. Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Desa Negarajati
Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) merupakan dokumen perencanaan
komunitas selama lima tahun untuk mengelola risiko bencana secara terpadu
dengan melakukan pencegahan, pengurangan risiko (mitigasi), kesiapsiagaan,
tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.
Perencanaan penanggulaan bencana yang menghasilkan Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) sebagai panduan dalam melaksanakan upaya
penanggulangan bencana. Dokumen tersebut berisi profil wilayah dan profil risiko
desa, tantangan dan peluang, kebijakan dan strategi, program dan prioritas
kegiatan, alokasi sumber dana. Didalamnya juga tercantum alokasi tugas dan
mekanisme penanggulangan bencana dari berbagai pihak. Lebih dari itu, RPB
Gambar 3. Analisis Risiko
15. 15
merupakan bentuk komitmen multi pihak dalam menanggulangi bencana secara
terpadu di Desa Negarajati.
Profil risiko bencana komunitas sebagai dasar penyusunan RPB yang didapatkan
dari kajian ancaman, kerentanan, kapasitas, dan risiko. Berdasarkan kajian
kerentanan dan kapasitas diketahui kebutuhan intervensi program dan kegiatan
pengurangan risiko bencana yang dirumuskan dalam pilihan tindakan
penanggulangan bencana masing-masing ancaman, selanjutnya menganalisis dari
semua pilihan tindakan untuk menyusun prioritas kegiatan selama 5 (lima) tahun
bersama komunitas yang disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki
komunitas. Tim perumus yang berasal dari Forum PRB Desa Negarajati dan
Pemerintah Desa Negarajati dibentuk untuk menyusun draft RPB.
Sedangkan posisi RPB sendiri merupakan dokumen yang tidak terpisahkan dengan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa). Program dalam
penanggulangan bencana diintegrasikan dalam program pembangunan desa yang
tertuang di dalam RPJM Desa yang memuat kebijakan dan program pembangunan
serta rencana kerja pemerintah desa. Dengan demikian, RPB menjadi arah dalam
melakukan pengarusutamaan program pembangunan pemerintah desa dan
lembaga-lembaga serta organisasi-organisasi desa. Rencana Penanggulangan
Bencana (RPB) juga menjadi acuan komunitas dalam menyusun Rencana Aksi
Komunitas (RAK) yang berisi kegiatan operasional untuk meredam/mencegah,
mengurangi risiko, menurunkan kerentanan, dan meningkatkan kesiapsiagaan
komunitas terhadap ancaman bencana. Dokumen RPB ini berlaku pada satu
periode kurun waktu lima tahun (2010-2015) di wilayah desa Negarajati.
B. Rencana Aksi PRB Komunitas
Rencana Aksi Komunitas (RAK) merupakan rencana operasional komunitas dalam
mengelola risiko bencana sekaligus sebagai pedoman pihak yang berkepentingan
dalam melakukan upaya PRB. Upaya-upaya pengurangan risiko bencana dalam
RAK terkait dengan peredaman ancaman/pencegahan, pengurangan risiko/mitigasi,
dan meningkatkan kesiapsiagaan komunitas dengan memaksimalkan pengerahan
sumber daya yang dimiliki komunitas tersebut, dengan pengertian lain
meminimalkan pelibatan sumber daya luar desa. Namun demikian, keterbatasan
sumber daya komunitas masih menjadi kendala untuk melakukan semua aksi PRB,
oleh karenanya diperlukan kerjasama serta komitmen lintas sektor dan multi pihak
untuk menjalankan semua rencana aksi.
Rencana aksi komunitas (RAK) PRB yang telah disepakati diaplikasikan dalam aksi
komunitas pengurangan risiko bencana dalam program pencegahan, mitigasi, dan
kesiapsiagaan oleh komunitas secara partisipatif yang dimotori oleh Forum PRB
dengan harapan terjadi mobilisasi sumber daya komunitas secara maksimal
16. 16
dengan kontribusi dari berbagai pihak (pemerintah kabupaten, institusi vertikal,
pemerintah desa, pihak swasta) sesuai tanggung jawab dan tugas masing-masing
untuk menuju desa yang tangguh.
Tindakan pengelolaan risiko bencana tersebut diantaranya:
Peredaman ancaman/pencegahan
Serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan
dan/atau mengurangi ancaman bencana, diantaranya:
1. Pembuatan tanggul dan talud
2. Rehabilitasi lahan dengan melakukan rehabilitasi lahan (reboisasi, terasiring,
dan penanaman vegetasi penutup lahan) terutama pada lahan-lahan kritis
untuk ancaman longsor dan kekeringan
3. Fogging untuk ancaman Demam Berdarah dan Chikungunya
Mitigasi
Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan
fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman
bencana, diantaranya yaitu:
1. Legalisasi Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi
Komunitas (RAK) PRB dengan Peraturan Desa
2. Penetapan kawasan lindung hutan untuk konservasi lahan dan air
3. Perbaikan dan pembuatan sarana air bersih, Penampungan Air Hujan (PAH)
4. Pembuatan peta ancaman, peta jalur evakuasi dan tanda evakuasi
5. Pelatihan pertanian terpadu organik
6. Pembangunan kebun bibit komunitas
7. Pengembangan usaha produktif rumah tangga
8. Peningkatan ketrampilan pengolahan hasil-hasil pertanian; budidaya dan
pengolahan empon-empon, umbi-umbian, sale pisang.
Kesiapsiagaan
Program dan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian
harta benda dan gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat, diantaranya yaitu:
A. Pendirian posko pemantauan tanah longsor
17. 17
B. Pengadaan alat peringatan dini; ekstensometer
C. Adanya rencana kontijensi yang telah diujicobakan
D. Pelaksanaan simulasi/gladi teknis penanganan longsor
E. Pelatihan SAR dan evakuasi dan manajemen pengungsian
F. Pengadaan alat tanggap darurat; tenda, HT, alat dapur umum, generator set,
peralatan P3K, peralatan evakuasi.
G. Adanya dana siap pakai pada keadaan darurat yang dikelola melalui koperasi
simpan pinjam.
Sebagai salah satu contoh kegiatan RAK di bidang pencegahan yakni melakukan
penanaman pohon (reboisasi) pada lahan-lahan kritis dan rentan (bukit milik
Perhutani) dan sumber-sumber air.Upaya tersebut tidak mungkin bisa terwujud
apabila tidak melibatkan peran stakeholder yang berada di wilayah desa. Selain
pemerintah desa, warga dan forum PRB Desa dalam hal ini karena wilayah yang
rentan longsor berada di wilyah pengelolaan KPH Banyumas Barat maka otomatis
juga melibatkan peran mereka. Koordinasi dilakukan oleh FPRB Desa Negarajati
dengan pihak KPH Banyumas Barat. FPRB mengusulkan untuk menjadikan areal
bekas longsor dirubah menjadi KPS (Kawasan Perlindungan Setempat).
Menurut keterangan dari pihak Perhutani, tidak mudah prosesnya untuk
merubahnya menjadi KPS karena harus mendapatkan persetujuan dari Menteri
Kehutanan. Namun dari beberapa kali koordinasi yang telah dilakukan oleh kedua
belah pihak, terjadi kesepakatan untuk menanami bekas longsoran di petak 24 dan
27 dengan jenis tanaman Mukona (mucuna sp) yang merupakan salah satu jenis
tanaman leguminose yang baik digunakan untuk tanaman penutup tanah. Tanaman
ini memiliki nama daerah yang bermacam-macam, seperti koro benguk (Jawa),
kowas (Sunda) dan kekara juleh (Maluku). Penanaman tanaman leguminosae
sebagai tanaman penutup tanah (cover crop) pada areal lahan kritis akan
membantu mengurangi erosi, menambah bahan organik tanah dan mengurangi
kepadatan tanah. Saat ini seluruh wilayah bekas longsoran telah tertanami dengan
jenis tanaman mukona tersebut. Semenjak saat itu sampai dengan sekarang (tahun
2015) belum pernah ada kejadian longsor yang melanda wilayah tersebut. Khusus
di sekitar wilayah sumber mata air Citelaga, warga menanaminya dengan jenis
tanaman Beringin (ficus spp). Pemilihan jenis tanaman beringin bertujuan karena
memiliki kemampuan sebagai tanaman konservasi mata air dan penguat lereng
alami.
C. Rencana Kontinjensi Ancaman Tanah Longsor
Upaya mendadak untuk respons darurat bencana hingga pada tahap pemulihan
awal dilakukan secara mandiri oleh masyarakat yang dikoordinir oleh Kepala Desa
18. 18
Negarajati dan dibantu oleh semua komponen masyarakat desa Negarajati
termasuk pemuda dan perempuan. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan
mendirikan layanan kesehatan (polindes), dapur umum, melakukan penyelamatan
terhadap aset/barang-barang rumah tangga yang tersisa dan mengelola bantuan
dari berbagai instansi, diantaranya Perum. Perhutani, BPBD, Bank BRI, RAPI,
PMI, Pertamina, Holcim, dan sebagainya. Selanjutnya masyarakat Desa
Negarajati secara bersama-sama dengan masyarakat Desa Cisalak dan
masyarakat Desa Kutabima melakukan gotong royong membersihkan material
longsor untuk membersihkan lingkungan permukiman, membuka akses
transportasi dan berupaya memulihkan fungsi sumber air Citalaga. Sementara
upaya pemulihan di wilayah lahan pertanian/perkebunan milik warga yang
tertimbun material longsor tetap dibiarkan dan diserahkan secara mandiri oleh
pemiliknya masing-masing, mengingat waktu dan biaya yang harus dikerahkan
pada proses pemulihannya terbilang cukup besar, padahal kebutuhan keluarga
masing-masing anggota masyarakat sudah semakin mendesak untuk segera
dipenuhi. Itulah sekelumit pengalaman dalam kondisi tanggap darurat padasaat
kejadian Tanah Longsor pada Februari 2009.
Pengalaman dari keadaan-keadaan darurat sebelumnya dengan jelas
menunjukkan bahwa tanggapan yang efektif terhadap kebutuhan kemanusiaan
dimasa krisis sangat tergantung pada tingkat kesiapan dan perencanaan, serta
kemampuan dan ketersediaan sumber daya yang ada pada mereka. Berdasar
dari hal diatas, maka menjadi penting untuk menyusun rencana kontijensi di
tingkat Desa Negarajati yang merupakan bagian tidak terpisah dengan Rencana
Aksi Komunitas (RAK) Pengurangan Risiko Bencana. Perencanaan kontinjensi
merupakan rencana manajerial yang digunakan untuk memastikan adanya
pengaturan yang memadai dalam mengantisipasi suatu kondisi krisis/mendadak
darurat.
Guna mendorong terwujudnya sistem peringatan dini yang mampu diterapkan oleh
masyarakat dalam merespons kemungkinan munculnya ancaman longsor, maka
sistim tersebut harus mampu dikelola dan dikembangkan secara mandiri oleh
masyarakat tersebut. Kegiatan penyusunan Rencana Kontinjensi dilakukan secara
bertahap dengan pelibatan penuh perwakilan masyarakat yaitu:
1) Melakukan pemetaan sumber daya yang ada di komunitas desa sehingga
bisa dimobilisasi untuk bertahan hidup saat situasi/kondisi mendadak
darurat.
2) Membangun komitmen para pihak pemangku kepentingan di tingkat desa
(lintas sektor dan mungkin lintas wilayah), untuk berkoordinasi dalam
pemenuhan kebutuhan saat situasi mendadak darurat.
19. 19
3) Merancang dan menyusun kegiatan-kegiatan pendukung, antara lain :
pembuatan peta daerah rawan bencana, penentuan lokasi/daerah aman
sebagai lokasi evakuasi/pengungsian, pembuatan jalur dan pemasangan
tanda/rambu untuk evakuasi/penyelamatan diri, merancang dan menyusun
prosedur tetap peringatan dini dan penanganan kondisi darurat,
menyediakan alat untuk deteksi dini, penyediaan alat-alat pendukung
tanggap darurat, melakukan latihan-latihan tindakan perlindungan dan
penyelamatan diri, pelatihan pengkajian cepat untuk menilai kerusakan dan
kehilangan aset-aset
sumber daya komunitas,
pembuatan posko
pemantauan dan
pengelolaan informasi.
4) Simulasi penanganan
kondisi darurat secara
periodik/berkala, untuk
menguji efektifitas dan
efisiensi prosedur-prosedur
tetap yang telah disusun,
kemudian dievaluasi guna
mendapatkan kesesuaian
perencanaan dengan fakta
empiris di lapangan,
hingga pada akhirnya
mampu meningkatkan
kapasitas masyarakat
dalam menghadapi kejadian bencana.
Salah satu Inisiatif membangun kesiapsiagaan di Desa Negarajati adalah dengan
dibentuknya Tim Kesiapsiagaan dan Tanggap Darurat yang merupakan bagian
dari Forum PRB Desa Negarajati dan bersifat ad-hoc, yang beranggotakan
struktur/fungsi yang sudah ada di masyarakat, yaitu Satuan Perlindungan
Masyarakat (Linmas), Karang Taruna, Polisi Desa, PKK, Lembaga Pembangunan
dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPPMD), Bidan Desa, Pemerintahan Desa,
Polisi Hutan Perhutani, dan beberapa kelompok masyarakat yang secara sukarela
bergabung menjadi tim (tim peringatan dini, tim evakuasi, tim keamanan, tim
pengelolaan pengungsi, tim koordinasi dan manajemen informasi dan tim dapur
umum). Tim mengemban amanat dalam:
a. Memantau lokasi rawan
b. Melakukan peringatan dini pada warga
Gambar 4. SImulasi Penyelamatan Korban
20. 20
c. Menyusun dan mensimulasikan rencana kontijensi
d. Melakukan proses evakuasi
e. Menyediakan lokasi/tempat aman (evakuasi)
f. Menyediakan fasilitas air bersih dan sanitasi, kesehatan, bahan makanan,
dapur umum, keamanan, psikososial, dan pendidikan darurat
g. Pendataan jumlah korban dan kerugian
h. Merawat korban yang selamat dan tidak selamat
21. 21
Komunitas yang tangguh sebagai cita-cita dipahami sebagai komunitas
yang memiliki kemampuan untuk: mengantisipasi, mengurangi dan
menyerap tekanan atau kekuatan destruktif yang potensial melalui
adaptasi atau perlawanan; mengelola atau mempertahankan fungsi
dasar dan struktur tertentu selama terjadi bencana; memulihkan atau
'bangkit kembali' atau ‘melenting balik’ setelah terjadi bencana.
Bab 5. Mengelola Risiko Bencana Dari, Oleh, Untuk Negara Jati
Paradigma penanggulangan bencana berdasarkan UU RI No. 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana dan dengan aturan turunannya Peraturan Pemerintah RI No.
21 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Bencana pada prinsipnya telah
menjabarkan tentang konsep penanggulangan bencana di Indonesia yang sejak saat itu
sudah harus beralih/mengalami perubahan mendasar dari sebelumnya yang
membentuk paradigma yang sekadar hanya pada penyelenggaraan bantuan darurat
menjadi paradigma yang mitigatif/preventif. Aturan tersebut juga mengamanatkan
perubahan yang terkait juga pada paradigma pembangunan sehingga yang benar-
benar menerapkan manajemen risiko. Itu pembangunan yang sudah ada/dilakukan oleh
berbagai sektor selama ini terbuktu memperbesar kejadian ancaman dan meningkatnya
kerentanan.
Dalam paradigma sekarang sedang dibangun kerangka dasar berpikir sistem dengan
prakarsa Pengurangan Risiko Bencana yang merupakan gagasan/konsep terpadu yang
menyeluruh dan bersifat lintas sektor dan atau lintas wilayah serta meliputi berbagai
aspek, yaitu aspek sosial, ekonomi dan pemanfaatan lingkungan. Pengelolaan risiko
bencana berbasis komunitas merupakan upaya yang sistematis untuk mengurangi
risiko bencana agar masyarakat memiliki ketahanan/ketangguhan terhadap risiko
bencana. Upaya sistematis tersebut dilakukan dari tahap penilaian risiko, perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dengan pendekatan dari, oleh, komunitas
(partisipaif).
Dalam tahap implementasinya di lapangan/di komunitas, kegiatan pengurangan risiko
bencana nasional yang dirumuskan harus sesuai dengan rencana pengurangan risiko
bencana pada tingkat regional dan internasional dan harus berdasarkan pada
situasi/kondisi di mana masyarakat dan instansi pemerintah dan pihak swasta ditataran
provinsi, kabupaten, kecamatan hingga desa/dusun merupakan aktor-aktor yang
memiliki kepentingan, sekaligus juga menjadi sasaran utama upaya pengurangan risiko
bencana. Dengan begitu maka bisa diharapkan situasi/kebijakan yang mendukung
terlaksananya kegiatan-kegiatan Pengurangan Risiko Bencana dalam mainstreaming
Pengelolaan Risiko Bencana yang saling mendukung/bersinergi atau saling
menguatkan. Dan bukan sebaliknya, hanya sekedar akuisisi dan aktualisasi proyek-
22. 22
proyek yang karenanya justru menjadi faktor mendasar yang meningkatkan dan
menjadi berkembangnya tingkat kerentanan dalam masyarakat dan lingkungan.
Sebagai salah satu subyek/aktor/pelaku dalam pembangunan dan pemanfaatan
sumberdaya serta Penanggulangan Bencana, tidak cukup hanya masyarakat saja yang
diharapkan dapat aktif melakukan peran dan fungsinya. Jauh lebih mendesak dan
strategis adalah mendorong dan atau mendesak pada institusi pemerintahan di
berbagai tingkat yang ada dalam memahami, menjalankan tugas pokok dan fungsinya
secara benar-benar relevan/sesuai dengan situasi permasalahan yang dihadapi
berdasarkan mandat/amanat undang-undang. Salah satunya adalah bagaimana
institusi pemerintahan mampu memberikan akses informasi (formal dan non-formal)
yang sebenar-benarnya dengan cara yang sebaik-baiknya. Bukan sebaliknya justru
mendistorsi informasi sehingga berpeluang menciptakan situasi berpotensi
memperburuk keadaan/kondisi masyarakat dan lingkungan.
Untuk itu, upaya pengurangan risiko bencana harus benar-benar mampu memotret
permasalahan, mereview tindakan, dan mengidentifikasi serta memetakan korelasi
antar masalahnya. Lalu dengan kesadaran pengetahuan tersebut bisa menjadi dasar
pedoman pelaksanaan kegiatan/program yang melibatkan “kepentingan masyarakat”
secara menyeluruh. Karena Pemerintah juga bertugas untuk mempersiapkan sarana,
prasarana dan sumber daya yang memadai untuk pelaksanaan kegiatan pengurangan
risiko bencana, termasuk didalamnya adalah kebijakan, peraturan, pengalokasian
anggaran, supervisi kegiatan dan audit. Dalam rangka menunjang dan memperkuat
kemampuan/kapasitas lokal/setempat, sejauh memungkinkan upaya-upaya
pengurangan risiko bencana akan menggunakan dan memberdayakan sumber-sumber
daya setempat yang ada dengan berusaha mengurangi/meminimalkan asupan-asupan
dan bahkan intervensi dari luar. Ini termasuk tetapi tidak terbatas pada sumber dana
semata, tetapi juga sumber daya alam, pengetahuan dan keterampilan, proses-proses
ekonomi dan sosial masyarakat. (Lingkar, 2010).
Tiga hal penting terkait dengan perubahan paradigma/konsep pikir ini, yaitu: 1)
penanggulangan bencana tidak lagi berfokus pada aspek tanggap darurat semata tetapi
lebih pada keseluruhan manajemen risiko, 2) perlindungan masyarakat dari ancaman
bencana oleh pemerintah merupakan wujud pemenuhan hak asasi rakyat dan bukan
semata-mata karena kewajiban pemerintah, 3) penanggulangan bencana bukan lagi
hanya urusan pemerintah tetapi juga menjadi urusan bersama masyarakat dan
lembaga usaha, dimana pemerintah menjadi penanggungjawab utamanya (leading
sector).
Prakarsa atau inisiatif lokal dari masyarakat dipercaya efektif untuk mengurangi risiko
bencana, sebab masyarakat telah membuktikan dirinya dalam memahami karakteristik
wilayahnya, kebutuhannya serta mampu menggunakan kemampuannya bagi
23. 23
perubahan diri, keluarga, kelompok-kelompok dan lingkungannya secara bertahap dan
selama bertahun-tahun. “Komunitas” yang kemudian dimaknai sebagai pelaku utama
dalam menggali informasi, menganalisis, menyimpulkan, merencanaan, melaksanakan,
memantau dan mengevaluasi kegiatan untuk mengurangi kerentanannya sekaligus
meningkatkan kemampuannya pada semua tingkatan, bidang dan wilayah harus
mampu diterjemahkan dengan baik dan benar oleh “para pelakunya” itu sendiri. Maka
Komunitas yang tangguh sebagai cita-cita dipahami sebagai komunitas yang memiliki
kemampuan untuk: mengantisipasi, mengurangi dan menyerap tekanan atau kekuatan
destruktif yang potensial melalui adaptasi atau perlawanan; mengelola atau
mempertahankan fungsi dasar dan struktur tertentu selama terjadi bencana;
memulihkan atau 'bangkit kembali' atau ‘melenting balik’ setelah terjadi bencana.
Pengembangan Desa Tangguh yang diadopsi dari konsep-konsep sebelumnya dan
dilakukan pengembangan berdasarkan pendekatan yang multidisipliner sebenarnya
adalah agar mampu pada titik waktunya mencapai “komunitas” yang mampu mengelola
risiko dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber-sumber daya yang ada di
“komunitas-komunitas” tersebut sehingga mempunyai ketangguhan dan sistem
adaptasi yang sesuai terhadap kondisi iklim dan perubahan lingkungannya. Dengan
modeldesentralisasi peran dalam penanggulangan bencana akan membuka ruang
dialog, komunikasi,partisipasi dan tanggungjawab “komunitas” yang lebih baik dalam
mewujudkan desa yang mempunyai ketangguhan, yang dapat diartikan sebagai
“komunitas” desa yang dapat mengelola tekanan atau kekuatan yang menghancurkan
(menyerap, mengurangi, menahan, mengalihkan, menghindar, adaptasi) dengan
mempertahankan struktur dan fungsi dari aset-aset penghidupan guna melakukan
upaya kesiap-siagaan (sebelum dan sesaat sebelum), tanggap darurat
(saat/selamaterjadi), memulihkan dirinya sendiri setelah bencana terjadi (recovery) dan
menetukan langkah-langkah perbaikan dalam pembangunan.
Pendekatan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) merupakan
kerangka kerja untuk mewujudkan komunitas yang mampu mengelola risiko bencana
dengan memobilisasi sumber daya yang dimiliki dengan
menekan/meminimalkan/mengurangi keterlibatan dan atau intervensipihak luar
(external input), lebih dari itu diharapkan masyarakat memiliki daya pegas untuk dapat
segera bangkit dari kondisi keterpurukan akibat/dampak bencana. Rangkaian kerja
dalam PRBBK diantaranya pengkajian ancaman –kerentanan – kapasitas – risiko,
pemaduan PRB di dalam perencanaan pembangunan yang mengintegrasikan
penanggulangan bencana, pembentukan dan atau revitalisasi peran dan fungsi forum
PRB desa,aksi-aksi komunitas yang mengarusutamakan PRB,serta adaya upaya-upaya
“pelembagaan” pada sistem dan mekanisme yang telah ada/mapan di masyarakat, agar
secara bertahap dan lembut terjadi perubahan yang didasari oleh pengetahuan dan
kesadarannya.
24. 24
Maka secara tertulis pelaksanaan program secara khusus bertujuan untuk melindungi
masyarakat yang rentan terhadap bencana sekaligus melindungi aset-aset
penghidupan mereka dari dampak yang merugikan/merusak akibat bencana dan
memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, dengan mengupayakanuntuk meningkatkan
kapasitas kelembagaan-kelembagaan masyarakat dan pemerintah serta meningkatkan
kerjasama lintas sektor yang bersinergi dan/atau relevan dengan kondisi
permasalahannya.
Pengelolaan Risiko Bencana (Disaster Risk Management atau DRM) adalah proses
yang sistematis dalam menggunakan keputusan-keputusan administratif, lembaga,
keterampilan operasional, dan kapasitas untuk menerapkan kebijakan-kebijakan,
strategi-strategi dan kapasitas penyesuaian masyarakat dan komunitas untuk
mengurangi dampak bahaya. Meliputi semua bentuk aktivitas, termasuk tindakan-
tindakan struktural dan non-struktural untuk mencegah, mengurangi, membangun
kesiapsiagaan atau upaya-upaya membatasi dampak merugikan yang ditimbulkan
bahaya. PRBBK sendiri adalah sebuah pendekatan yang mendorong komunitas akar
rumput dalam mengelola risiko bencana di tingkat lokal. Proses pengembangan DRM
dilaksanakan melalui: (1) Identifikasi Komunitas; (2) Pengkajian Risiko dan pemetaan;
(3)Merancang rencana DRM; (4) Pelaksanaan; (5) Monitoring dan Belajar; dan (6)
Evaluasi.
Program PRBBK dilaksanakan di dua Provinsi, yaitu di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta tepatnya di Desa Pengkok, Kecamatan Patuk dan Desa Sampang,
Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul; dan di Provinsi Jawa Tengah
tepatnya di Desa Negarajati, Kecamatan Cimanggu dan Desa Panulisan Barat,
Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap sejak Desember 2009 hingga Januari
2010.1
Pelaksanaan program dengan memfasilitasi dan mengorganisir masyarakat untuk
menganalisis ancaman, kerentanan, kapasitas, dan risiko bencana yang telah terjadi
dan potensial; merencanakan tindakan untuk meredam ancaman, mengurangi
kerentanan, dan meningkatkan kapasitas masyarakat (penyusunan RAK, RPB, dan
Rencana Kontinjensi); melaksanakan tindakan; mengintegrasikan upaya PRB dalam
pembangunan; dan memonitoring serta mengevaluasi.
1
Program pengembangan Desa Tangguh yang dilaksanakan Perkumpulan Lingkar bertujuan “Masyarakat yang lebih aman dan
berbudaya keselamatan melalui praktik PRB berbasis komunitas (PRBBK) dan mengintegrasikannya ke dalam proses
pembangunan wilayah setempat”, dengan indikator keberhasilan yaitu adanya praktik dan pelembagaan PRBBK oleh kelompok-
kelompok masyarakat yang telah dipadukan ke dalam perencanaan pembangunan desa, dengan demikian kapasitas masyarakat
telah meningkat dan secara tidak langsung telah dapat menurunkan tingkat risiko bencana. Program pengembangan Desa
Tangguh merupakan program peletakan fondasi bagi kerangka kerja Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)
untuk menuju Desa Tangguh.
25. 25
Strategi pelaksanaan program dengan pendekatan Pengarusutamaan Gender,
Peningkatan Kapasitas, Penghidupan Berkelanjutan, Pembangunan Berkelanjutan,
Pengkajian Risiko Bencana secara Partisipatif, Integrasi PRB dalam Perencanaan
Pembangunan, dan Keberlanjutan Program dan Pelembagaan.
Secara umum pertimbangan-pertimbangan (prinsip dan nilai-nilai) yang menentukan
pemilihan model/kegiatan adalah agar mampu:
● Mengoptimalkan terjadinya proses pembelajaran dalam (dari, oleh, untuk)
komunitas setempat/lokal
● Menghasilkan informasi “dari-oleh-untuk” yang relevan dengan persoalan yang
dihadapi dan atau kebutuhan komunitas
● Menghasilkan informasi terkini yang cukup strategis bagi perencanaan
pembangunan/penanggulangan bencana desa secara ilmiah dan sah
● Meletakkan pondasi bagi kerangka dasar pemikiran masyarakat dalam
menyusun perencanaan pembangunan/penanggulanan bencana dan atau
pengurangan risiko bencana di tingkat Desa
● Menghasilkan informasi yang jelas dapat diterima, dikelola (termasuk mampu
diperbaharui)secara periodik oleh komunitas setempat/lokal berdasarkan
perkembangan situasi/kondisi permasalahan yang terkini
26. 26
“ Jika Hujan Deras dalam 3-4 sehari. Muncul retakan lengkung memanjang
pada lereng/ bangunan. Muncul rembesan air. Dan pohon-pohon / tiang-
tiang / rumah-rumah miring”
Bab 6. Awas, Waspada, Bahaya!
Peringatan dini dipahami sebagai penyediaan informasi yang tepat waktu dan efektif
oleh institusi berwenang, yang memungkinkan individu terpapar bahaya untuk
mengambil tindakan agar dapat menghindari atau mengurangi risiko mereka dan
mempersiapkan respon efektif. Komponen penting dalam peringatan dini diantaranya
pemantauan dan perkiraan ancaman, pengambilan keputusan dan diseminasi informasi
kepada selutuh warga yang terancam, dan tindakan menyikapi peringatan bahaya yang
termaktub dalam prosedur tetap peringatan dini yang berisi tindakan yang dilakukan
masyarakat dalam mendeteksi, memperkirakan, memberikan peringatan, serta
pembuatan keputusan untuk melakukan respon untuk menghindar dari risiko ancaman.
Tindakan ini memerlukan informasi yang benar dan valid yang didukung dengan
pengerahan sumber daya.
Dalam dokumen rencana kontinjensi yang disusun, prosedur peringatan dini dimulai
pada tahap pemantauan tanda-tanda alam. Hasil pengamatan tersebut dilaporkan
kepada kepala desa dan kepala desa berwenang untuk memutuskan apakah rencana
kontinjensi tersebut perlu diaktifkan atau tidak - pada situasi slow onset - Jika hasil
analisa memutuskan untuk diaktifkan, maka tim peringatan dini menyebarluaskan
peringatan kepada masyarakat agar segera melakukan tindakan penyelamatan diri.
Akan tetapi jika pada alat pendeteksi gerakan tanah telah memicu tanda bunyi alarm
yang berarti langsung pada level AWAS yang artinya sudah tidak ada waktu untuk
melakukan koordinasi, maka tindakan segera menuju lokasi aman sebagai lokasi
kumpul sementara dan selanjutnya dievakuasi menuju lokasi pengungsian.
Penyusunan prosedur tetap peringatan dini dilakukan secara partisipatif melibatkan
Forum PRB dan Pemeritah Desa. Berdasarkan karakteristik ancaman tanah longsor,
disepakati gambaran tanda-tanda bahaya ancaman, status ancaman dan tindakan yang
harus dilakukan. Status WASPADA adalah ketika muncul retakan lengkung pada lereng
atau pada bangunan dan jalan serta muncul rembesan air setelah hujan, tindakannya
adalah menutup retakan dengan material padat atau lempung, menata drainase dan
menahan tanggul dengan batang-batang bambu yang ditancapkan. Lalu status
BAHAYA adalah ketika hujan deras lebih dari 2 jam dan rembesan air semakin besar,
tindakannya adalah menjauh dari lereng dan menuju lokasi aman terutama untuk
kelompok rentan. Dan pada status AWAS adalah ketika retakan berkembang semakin
lebar dan panjang, pohon dan tiang listrik mulai miring dan sirine berbunyi meraung-
27. 27
raung, tindakan yang harus dilakukan adalah melakukan evakuasi total dengan tetap
memberikan bantuan kepada kelompok rentan.
Tahapan-tahapan prosedur tetap:
A. Rantai Peringatan
1. Alur Peringatan Dini Status Waspada
Ketika memasuki musim penghujan, tim peringatan dini, Linmas, Polhut aktif
melakukan pemantauan lokasi rentan longsor.
Status waspada setelah muncul tanda-tanda:
Hujan Deras dalam 3-4 sehari
Muncul retakan lengkung memanjang pada lereng/ bangunan.
Muncul rembesan air
Pohon-pohon / tiang-tiang / rumah-rumah miring.
Tim Peringatan Dini melaporkan situasi dan status kepada RT/RW, Kepala Dusun dan
Kepala Desa dan memberikan informasi pada warga untuk menyiapkan perbekalan.
Peringatan dini disampaikan melalui kentongan, sirine, dan pengeras suara. Status
ancaman WASPADA dikeluarkan oleh TIM Peringatan Dini.
Tindakan yang dilakukan setelah hujan reda:
1) Segera menutup retakan tanah dengan meterial kedap (minimbun dengan tanah
lempung), agar air hujan tidak meresap masuk ke dalam lereng.
2) Segera membuat saluran air permukaan yang kedap air, untuk mengalirkan air
permuikaan (air hujan) menjauh dari lereng yang retak.
3) Segera membuat saluran bawah permukaan (dengan pipa/ bambu) untuk
menguras air yang telah meresap ke dalam lereng.
4) Membuat tanggul penahan dari bambu
penentuan
status
Laporan situasi
kepada RT/RW,
Masyarakat
Menyiapka
n
Pemantauan
Tanda
Penyebarluasan
Informasi/Peringata
28. 28
2. Alur Peringatan Dini Status Waspada
Ketika terjadi hujan deras dan muncul tanda-tanda gerakan tanah/longsor
diantaranya:
1) Terjadi amblesan tanah.
2) Tiba-tiba jendela dan pintu rumah pada lereng sulit dibuka, karena terjadi
perubahan bentuk konstruksi pada saat kondisi awal gerakan tanah.
Tim Peringatan Dini memberikan laporan situasi kepada RT, RW, Kepala Dusun.
Berdasarkan rekomendasi dan laporan tim peringatan dini, Kepala Dusun
menentukan status BAHAYA terhadap ancaman tanah longsor dan memberikan
perintah pada masyarakat untuk mengungsikan kelompok rentan dan
memberikan laporan situasi kepada Kepala Desa. Peringatan dini disampaikan
melalui kentongan, sirine, dan pengeras suara.
Pemantauan
Tanda
penentuan
status
(Kadus) dan
Evakuasi
Kelompok
rentan
Laporan
Kepada
Kades
Laporan situasi
Kepada RT/RW,
Kadus dan
29. 29
3. Alur Peringatan Dini Status Awas
Aktifasi Renkon
Deaktifasi
Ketika intensitas hujan masih semakin lebat lebih dari 2 jam dan muncul tanda-tanda
gerakan tanah/longsor diantaranya:
1. Retakan tanah semakin lebar ditandai dengan peringatan sirine
2. Terjadi penggembungan pada lereng
3. Rembesan air lumpur pada lereng semakin besar.
Tim peringatan dini memberikan laporan situasi dan rekomendasi kepada Kepala Desa.
Berdasarkan laporan tersebut, Kepala Desa menentukan status AWAS dan
mengaktivasi rencana kontinjensi. Kepala Desa memerintahkan tim peringatan dini
untuk menyebarluaskan peringatan melalui kentongan dan pengeras suara,
memerintahkan masyarakat untuk mengungsi, dan sekaligus mengaktifkan Tim
Kesiapsiagaan dan tanggap Darurat (Peringatan Dini, Evakuasi, Tempat Pengungsian,
Pemantauan
Sirine
Analisis dan
Penyebarluasan
Bencan
a
PelaporanPengambilan
Keputusan (Kades)
Evakuasi
Tidak terjadi
Bencana
Pemulanga
Tanda
30. 30
Kesehatan, Dapur Umum, dan Posko Utama) untuk kesiapan terjadi bencana. Kepala
Desa juga melaporkan status pada pihak terkait.
Apabila bencana terjadi, maka seluruh tim menjalankan tugas dan fungsinya dan
mengerahkan sumber daya lain untuk kebutuhan pengungsi. Namun ketika bencana
tidak terjadi setelah aktivasi Rencana Kontinjensi selama 2X24 jam dan hujan telah
reda dengan rekomendasi dari pihak yang berwenang (BPBD), maka masyarakat
kembali ke rumah dan Kepala Desa membatalkan Rencana Kontinjensi.
Prosedur Tetap Peringatan Dini Ancaman Tanah Longsor Desa Negarajati
Tanda-tanda ancaman Status Tindakan Pengambil
Keputusan
1. Hujan deras 3-4 jam
sehari
2. Muncul retakan lengkung
memanjang pada lereng/
bangunan.
3. Muncul rembesan air
4. Pohon-pohon / tiang-tiang
/ rumah-rumah miring.
Waspada 1. Peringatan dini,
Linmas, dan Polhut
melakukan
pemantauan
2. Peringatan dini
menyampaikan
informasi ke
masyarakat bahwa
status waspada
dengan kentongan,
sirine, pengeras suara
3. Masyarakat
menyiapkan
perbekalan
4. Memberikan laporan
kepada Kepala Desa
Tindakan yang
dilakukan setelah
hujan reda:
1. Segera menutup
retakan tanah dengan
meterial kedap
(minimbun dengan
tanah lempung), agar
air hujan tidak
Tim
Peringatan
dini
31. 31
meresap masuk ke
dalam lereng.
2. Segera membuat
saluran air
permukaan yang
kedap air, untuk
mengalirkan air
permuikaan (air
hujan) menjauh dari
lereng yang retak.
3. Segera membuat
saluran bawah
permukaan (dengan
pipa/ bambu) untuk
menguras air yang
telah meresap ke
dalam lereng.
4. Membuat tanggul
penahan dari bambu
1. Terjadi amblesan tanah.
2. Tiba-tiba jendela dan
pintu rumah pada lereng
sulit dibuka, karena
terjadi perubahan
bentuk konstruksi pada
saat kondisi awal
gerakan tanah.
Bahaya · Tim Peringatan dini
menyampaikan
informasi ke
masyarakat bahwa
status waspada dengan
kentongan, sirine,
pengeras suara
· Tim Evakuasi
mengungsikan
kelompok rentan
RT, RW,
Kadus
1. Retakan tanah semakin
lebar ditandai dengan
peringatan sirine
2. Terjadi penggembungan
pada lereng
3. Rembesan air lumpur
pada lereng semakin
Awas · Tim Peringatan dini
memberikan informasi
pada warga melalui
kentongan dan
pengeras suara
· Kepala Desa
mengaktifkan Rencana
Kepala Desa
32. 32
besar. Kontinjensi
· Evakuasi seluruh
warga yang berisiko
tinggi
· Kepala Desa
melaporkan kejadian
pada kecamatan dan
BPBD
Memantau Gerakan Tanah
Pemasangan alat pendeteksi gerakan tanah dilakukan pada petak 24 a, RPH
Cimanggu, BKPH Majenang. Lokasi tersebut adalah salah satu titik paling rawan terjadi
longsor dan berjarak sekitar 200 meter dari pemukiman warga yang berada di RT 1/RW
4, Gerumbul Garunggang, Dusun 2, Desa Negarajati. Dari hasil survei ditemukan
adanya retakan tanah selebar 20 cm, kedalaman sekitar 40 cm dengan bentuk retakan
tanah melengkung ke arah lokasi longsoran yang terjadi sebelumnya (2 Februari 2012).
Beberapa pertimbangan yang digunakan dalam memilih lokasi pemasangan alat
tersebut adalah:
a. Lokasi berada di petak 24 a, RPH Cimanggu, BKPH Majenang (Lahan
garapan/sadapan milik Bapak Supendi)
b. Sudah ada retakan tanah di lokasi tersebut (lebar 20 cm, kedalaman 40 cm dan
bentuk retakan melengkung ke arah lokasi longsor 2 Februari 2009)
c. Jarak sumber ancaman dengan pemukiman sekitar 200 meter
d. Saat musim penghujan muncul rembesan air berwarna keruh di sekitar
pemukiman warga
e. Pemukiman yang berada di RT 1/RW 4 Gerumbul Garunggang, Dusun 2, Desa
Negarajati dihuni oleh 34 KK.
Keswadayaan masyarakat untuk menyediakan dan memasang alat dalam bentuk
materi, tenaga, lahan serta memantau secara berkala alat dan tanda-tanda ancaman.
Keswadayaan masyarakat ini perlu diimbangi dengan transformasi pengetahuan cara
kerja alat dan pemeliharaannya agar dapat berdaya guna dan bermanfaat bagi
masyarakat terpapar tanah longsor. Keswadayaan privat sector dalam upaya
kesiapsiagaan diwujudkan dengan penyediaan lahan lokasi pemasangan alat,
komitmen tersebut didokumentasikan dengan kesepahaman bersama antara Forum
PRB Desa Negarajati dengan Perum. Perhutani dalam upaya PRB.
33. 33
Uji coba kesiapsiagaan warga desa Negarajati terakhir dilaksanakan pada tahun 2012
yang melibatkan warga Dusun 2 (gerumbul Telagaluhur dan gerumbul Garunggang),
FPRB Desa Negarajati, Pemerintah Desa. Setelah ujicoba tersebut saat ini menurut
keterangan Mas Dasri selaku ketua FPRB Desa Negarajati yang kebetulan juga
berdomisili di Gerumbul Telagaluhur apabila menjelang masuknya musim penghujan,
perangkat desa selalu aktif untuk mengingatkan kepada warga untuk siap siaga.
Bahkan apabila terjadi hujan deras dalam waktu yang cukup lama semisal 2-4 jam,
warga akan dengan sendirinya mengungsi ke tempat yang lebih aman. Biasanya
mereka akan memilih mengungsi ke rumah keluaraga mereka yang lokasinya dirasa
aman dari ancaman tanah longsor dan mereka akan kembali ke rumah setelah dirasa
kondisinya cukup aman.
Selanjutnya yang menjadi tantangan adalah komitmen untuk pengerahan sumberdaya
oleh pemangku kepentingan di tingkat komunitas desa pada masa darurat bencana
melalui sistem koordinasi yang efektif, melakukan pembaharuan data secara periodik
sesuai karakteristik ancaman untuk memperbaharui dokumen rencana kontinjensi dan
prosedur-prosedur tetap peringatan dini melalui musyawarah-musyawarah Forum PRB
Desa, mengembangkan sistim peringatan dini bahaya longsor yang berbiaya lebih
murah, lebih mudah dipahami oleh seluruh anggota masyarakat dan lebih responsive
dan pemantauan secara berkala oleh stakeholder desa terlebih pada musim-musim
penghujan guna memperoleh tanda-tanda ancaman yang lebih cepat dan efektif dalam
penyebaran informasi.
Hal yang lain yag menjadi pertimbangan apabila akan dilakukan pengembangan di
wilayah lain adalah:
a. Penyusunan sistem peringatan dini tidak dapat dipisahkan dari kegiatan lain seperti
penyusunan peta risiko, jalur dan rambu evakuasi, serta kesiapan tim dalam
memahami alat pemantau agar dapat berhasil guna dan berdaya guna bagi
masyarakat terdampak langsung.
b. Adanya alat ekstensometer bukanlah satu-satunya alat untuk memantau tanda-
tanda ancaman dan masyarakat merasa lebih aman, upaya terpenting adalah
pemantauan langsung dengan mencermati karakteristik dan tanda-tanda ancaman
oleh tim pemantau secara periodik yang kemudian bertindak.
c. Keswadayaan masyarakat dalam mengadakan dan memasang alat pemantau
harus diimbangi dengan pengenalan dan pemeliharaan alat pemantau sehingga
dapat dirasakan manfaatnya dalam tempo lama.
d. Keterpaduan rencana kontinjensi desa dan rencana kabupaten penting didorong
untuk memastikan keselarasan tindakan, maka pemerintah daerah seyogyanya
telah menyusun rencana kontinjensi pada risiko prioritas, terutama untuk ancaman
tanah longsor.
34. 34
“Hutan pinus yang menggantikan hutan jati diyakini warga menyebabkan
tanah di sekitarnya kering sehingga tak mampu menyimpan air dan berandil
terhadap minimnya ketersediaan air baik di perbukitan maupun keringnya
sumber-sumber air desa serta susutnya air sumur”
Bab 7. Negarajati Menyusun Rencana - Membangun “Desaku”
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana dalam pembangunan adalah upaya
menjadikan PRB sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam perencanaan
pembangunan desa dan kebijakan-kebijakan sektoral. Bagi desa yang belum menyusun
RPJMDesa dapat secara langsung memasukkan program PRB yang beririsan dengan
bidang-bidang atau berdiri sendiri sebagai bidang kebencanaan, sedangkan bagi desa-
desa yang sudah memiliki RPJMDesa dapat melakukan revisi atau perubahan.
Pada sekitar Bulan Oktober 2010, Pemerintah Kab. Cilacap menerbitkan Peraturan
Daerah Kabupaten Cilacap. Nomor 2 Tahun 2010 tentang Perencanaan Pembangunan
yang didalamnya juga mengatur tentang revisi RPJMDes. Setelah muncul Perda
tersebut, Pemerintah Desa Negarajati baru menyadari bahwa RPJMDes yang mereka
miliki belum sesuai dengan Permendagri Nomor 66 Tahun 2007 Tentang Perencanaan
Pembangunan Desa—Saat ini direvisi dengan Permendagri No.114 Tahun 2014
tentang Pedoman Pembangunan Desa), yang menjelaskan kegiatan-kegiatan sebagai
berikut: A. Masukan, yang terdiri hasil kajian masalah dan potensi Desa (Sketsa Desa,
Kalender Musim, Diagram Kelembagaan), B. Proses, terdiri dari pengelompokan
masalah, penentuan peringkat masalah, penentuan peringkat tindakan, C. Hasil, terdiri
dari Program tahunan, D. Dampak, terdiri dari Perdes tentang RPJMDes SK Kades
tentang RKPDes. Sehingga pada bulan November 2010 Pemerintah Desa Negarajati
sepakat untuk merevisi RPJMDes-nya. Diawali dengan pembentukan tim perumus
sejumlah 9 orang yang terdiri dari Pemerintahan Desa, Lembaga Desa dan tokoh
Masyarakat. Integrasi PRB ke dalam RPJMDes bisa dibuktikan bahwa RAK (Rencana
Aksi Komunitas) sudah masuk di dalamnya yang memuat unsur-unsur program
pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan dan tanggap darurat.
Berdasarkan Permendagri 66 tersebut, proses integrasi melalui tiga tahapan.
1. Tahap Input, Penggalian potensi dan masalah desa
2. Tahap proses, lokakarya desa
3. Tahap hasil, Pengesahan RPJMDesa.
Pertama, tahap input, dimulai dari penilaian masalah dan potensi desa menggunakan perangkat
penilaian desa secara partisipatif/PRA (transek, sketsa desa, kalender musim, diagram
kelembagaan), dalam tahap input ini masyarakat terlibat dalam diskusi membahas
potensi, masalah, dan ancaman yang ada di desa yang menghasilkan daftar masalah
35. 35
dan potensi atau profil desa sebagai dasar penyusunan kebijakan dan program, profil
risiko bencana desa menjadi pertimbangan untuk mengintegrasikan PRB dalam
perencanaan pembangunan desa.
Selain ancaman longsor yang konstan mengintai kehidupan warga Desa Negarajati,
warga secara reguler mengalami kesulitan mendapatkan air bersih selama musim
kemarau, meskipun tidak mencakup seluruh wilayah desa; hanya Dusun 1 dan 3 saja
yang mengalami. Musim kemarau bisa berlangsung mulai dari enam hingga lebih dari
sembilan bulan, mulai dua hingga tiga bulan setelah musim hujan berakhir. Siklus
delapan tahunan ini terekam sejak 1984, 1992, 2000, dan 2008. Lain warga Dusun 1
dan 3, lain pula dengan yang dialami oleh warga Dusun 2. Dusun 2 telah memiliki
instalasi pemipaan yang mengalirkan air bersih ke rumah-rumah, sementara Dusun 1
dan 3 harus menempuh jarak antara 1,5 km untuk memenuhi kebutuhan air minum di
pagi hari. Di sumber air Citelaga, warga akan mulai mengantri sekitar pukul 22:00 WIB,
yang mengular pada pukul 02:00 WIB, dan berkurang pada saat matahari terbit. Jika
tidak mau disulitkan dengan antrian dan jarak, pilihan tersedia dengan cara membeli air
jeriken, yang biayanya tentu tidak sedikit.
Selain kesulitan mendapatkan air bersih untuk dikonsumsi, warga juga kesulitan untuk
mengairi lahan pertanian terutama sawah. Persoalan kekurangan air semakin
mengemuka oleh karena sebagian besar warga Negarajati hidup dari pertanian yang
membutuhkan air. Pada saat sawah dan tegalan mengering dapat dikatakan pula
mengering pula pundi-pundi petani. Di samping pengeluaran untuk kebutuhan harian,
penghasilan menciut manakala lahan pertanian tak banyak atau gagal memberikan
pemasukan. Peluang mendapatkan penghasilan juga menyempit seiring musim
kemarau dan kekeringan sebab buruh tani minim order. Situasi diperburuk oleh
penyakit ISPA seiring datangnya cuaca panas dan debu. Tak ayal lagi, musim kemarau
dan kekeringan meminggirkan asupan keluarga yang paling kurang beruntung,
terutama anak-anak.
Warga menuturkan bahwa kekeringan yang mereka alami saat ini disebabkan oleh
proses panjang sengatan matahari di musim kemarau yang memanaskan perbukitan di
selatan desa, yang kemudian menyedot persediaan air di bukit yang gundul dan bahkan
menyebabkan terbentuknya rekahan di lereng bukit. Hutan pinus yang menggantikan
hutan jati diyakini warga menyebabkan tanah di sekitarnya kering sehingga tak mampu
menyimpan air dan berandil terhadap minimnya ketersediaan air baik di perbukitan
maupun keringnya sumber-sumber air desa serta susutnya air sumur.
Pengangguran diyakini oleh warga Desa Negarajati adalah bencana. Di Negarajati,
pengangguran terjadi pada kelompok anak dan dewasa. Pada anak, pengangguran
terjadi oleh karena beberapa hal; mulai dari ketidakmampuan orang tua membiayai
pendidikan sehingga anak drop out dan menganggur, kurangnya kemauan anak untuk
36. 36
mengenyam pendidikan, pengaruh lingkungan terhadap anak, baik oleh karena
persepsi di kalangan anak maupun di masyarakat yang menganggap putus sekolah
sebagai sesuatu yang wajar. Hal ini menempatkan anak pada situasi di mana anak
tidak melakukan aktivitas yang mendukung tumbuh kembangnya atau menganggur.
Warga juga mencatat bahwa minimnya keterampilan warga desa menyebabkan mereka
sulit mendapat pekerjaan. Selain itu, musim kemarau di Desa Negarajati juga identik
dengan kemunculan pengangguran baru oleh karena ketiadaan kebutuhan tenaga kerja
di sawah maupun ladang yang bisa dilakukan oleh warga. Selanjutnya, baik pada
kelompok anak maupun dewasa, minimnya keterampilan yang mendukung aktivitas
produktif dan tumbuh kembang menghadapi tuntutan kebutuhan keseharian menjadi
kontributor terbesar atas kriminalitas yang mengesampingkan moralitas hingga konflik
antar anggota masyarakat. Dapat ditengarai, sekitar sebulan pasca kelulusan sekolah
atau pemutusan hubungan kerja, tingkat konflik maupun kriminalitas makin meningkat.
Demam Berdarah dan Chikungunya ditularkan antara lain oleh nyamuk yang sama
yaitu Aedes Aigypti. Kejadian wabah Demam Berdarah tercatat terjadi pada Februari
2010, dan pada bulan Mei hingga Agustus 2010 terjadi wabah Chikungunya. Jenis
nyamuk yang lebih suka bertelur di air bening ini justru menyerang lebih lama di saat
musim kemarau selama tiga bulan dan sebulan pada musim penghujan. Serangan
wabah Chikungunya di Negarajati cukup ironis mengingat bulan-bulan serangan wabah
justru terjadi di musim kemarau.
Warga menuturkan bahwa wabah ini lebih disebabkan karena kurang terpeliharanya
lingkungan dan terbawanya virus oleh nyamuk dari wilayah lain. Gigitan nyamuk yang
menyerang warga selama dua atau tiga hari akan meluas hingga akibatnya terasa
selama tiga bulan paska pergantian musim terutama di saat udara terasa lembab.
Jentik-jentik nyamuk tumbuh subur di penampungan-penampungan air yang tak dikuras
dan kurang terpelihara. Kulit warga yang terkena gigitan nyamuk pembawa virus ini
akan mengalami bintik-bintik merah disertai demam tinggi. Penderita juga merasakan
ngilu di persendian serta dapat berakibat kelumpuhan sementara atau bahkan
kematian.
Pada kejadian terdahulu, penderita Chikungunya maupun Demam Berdarah absen dari
kegiatan bersekolah, sementara orang dewasa tidak bekerja. Baik anak maupun orang
tua akan terganggu aktivitasnya ketika anggota keluarga mereka terserang wabah.
Kasus wabah terakhir telah mengakibatkan sejumlah anak absen dari sekolah untuk
menunggui orang tuanya yang tengah sakit, atau bahkan sebaliknya. Serangan
beruntun ini masih meninggalkan bekas berupa trauma pada banyak warga Negarajati.
37. 37
Dari keempat ancaman yang dihadapi oleh Desa Negarajati, longsor merupakan
ancaman yang paling memiliki tingkat risiko tertinggi dan menjadi prioritas bagi warga
dibanding ancaman Kekeringan, Pengangguran, dan Wabah Penyakit.
Kedua, tahap proses, dengan melakukan lokakarya desa dengan pengelompokan
masalah, pemeringkatan masalah, pengkajian alternatif tindakan, dan penyusunan
program dan kegiatan pembanguman desa yang mengarusutamakan PRB dalam
bidang-bidang program yang selanjutnya dilakukan musrenbangdes untuk
mengkonfirmasi, menggali input, dan memprioritaskan program.
Ketiga, tahap hasil, setelah RPJMDesa direvisi berdasarkan saran dan masukan
masyarakat Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa mengesahkan
RPJMDesa. Proses penyusunan perencanaan pembangunan desa berdasarkan
mekanisme dalam Permendagri No. 66 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa
yang saat ini telah ada aturan tambahannya yakni Permendagri No. 114 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pembangunan Desa dan Peraturan Daerah Kab. Cilacap No. 2
Tahun 2010 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa.
Perencanaan pembangunan desa yang mengintegrasikan PRB didasari dengan
pendekatan perencanaan yang mengacu pada UU No. 25 Tentang Sistem Perencaan
Pembangunan Nasional, yaitu: pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, dan atas
bawah (top down) dan bawah atas (bottom up) dengan prinsip berkesinambungan,
holistik, mengandung sistem yang dapat berkembang (a learning and adaptive system),
serta terbuka dan demokratis (a pluralistic social setting). Kegiatan ini juga disertai
dengan peningkatan kapasitas pemerintahan desa guna mendorong terciptanya
kebijakan-kebijakan yang mengarusutamakan PRB dengan memperbaharui profil
dusun dan desa, pelatihan penyusunan RPJM Desa sesuai dengan Permendagri No.
66/2007 Tentang Perencanaan Pembangunan Desa, pelatihan penyusunan Perdes,
dan Manajemen Pemerintahan Desa, serta pendampingan penyusunan RPJM Desa.
Desa Negarajati, Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah
telah memiliki dokumen RPJMDes tahun 2008-2012 namun proses penyusunan RPJM
Desa Negarajati belum sepenuhnya sesuai dengan mekanisme yang diamanatkan oleh
peraturan yang ada, yaitu Permendagri No. 66 Tahun 2007. Penyusunan RPJM Desa
tersebut belum melalui forum musrenbangdes yang secara khusus mengagendakan
penyusunan RPJM Desa dan RKP, walaupun dalam musrenbangdes tahunan telah
memilah usulan berdasarkan bidang pengembangan wilayah, ekonomi, dan sosial
budaya.
Proses penyusunan belum berdasarkan permasalahan yang dihadapi dan potensi yang
dimiliki, atau analisis masalah dan potensi dengan menggunakan perangkat kalender
musim, sketsa desa, dan bagan kelembagaan. Masalah dan potensi desa dilakukan
38. 38
pada forum musyawarah dusun dan kemudian disepakati tindakan prioritas
berdasarkan masalah yang menjadi prioritas desa. Penyusunan Raperdes tersebut
belum melalui mekanisme musrenbangdes untuk menyusun RPJM, musrenbangdes
dilakukan pada awal tahun untuk menyusun RPTDes 2008.Penyusunan Reperdes
hanya mengikuti format RPJMDes yang telah disediakan oleh Pemerintah Kecamatan
Cimanggu. Walaupun telah menyebutkan penjaringan masalah dan potensi desa
menggunakan alat kajian, yaitu sketsa desa, kalender musim dan bagan kelembagaan,
namun dokumen hasil-hasil penjaringan masalah dan potensi yang menggunakan tiga
alat kajian tersebut tidak dimiliki.
Waktu lokakarya dan penggalian masalah dan potensi sangat tidak logis. Penjaringan
masalah dilakukan di Dusun I pada 19 April 2008, Dusun II pada 18 April 2008, dan
Dusun III pada 17 April 2008, sedangkan lokakarya desa diselenggarakan pada 18
Februari 2008. Idealnya penjaringan masalah dan potensi dilakukan sebelum lokakarya
desa.Program yang dipilih masih mengadopsi usulan untuk satu tahun yang kemudian
di bagi dalam jangka waktu lima tahun.
Tahun 2012 RPJM Desa Negarajati berakhir demikian pula dengan masa
kepemimpinan Kepala Desanya yaitu Tjardjo Sumardjono. Pada masa kepemimpinan
kepala desa selanjutnya, program PRB kurang mendapatkan perhatian dari Kades saat
ini. Kurangnya perhatian dari Kades saat ini karena pada saat proses kegiatan Desa
Tangguh selama kurang lebih setahun di Desa Negarajati, beliau kurang aktif
mengikutinya sehingga apa-apa yang terkait dengan cita-cita desa tangguh di Desa
Negarajati kurang mendapatkan perhatian, selain itu juga karena tidak
tersosialisasikannya RPJM Desa terdahulu yang telah mengintegrasikan PRB.
Sebelumnya pasca kegiatan desa tangguh, program-program yang telah tertuang di
dalam RPJM Desa Negarajati banyak mendapatkan perhatian dari SKPD dan instansi
terkait seperti pembangunan talut, DAM sungai, pembangunan embung, bantuan bibit
untuk penghijauan, normalisasi sumber air citelaga, rehabilitasi jalan desa,
pemasangan alat peringatan dini gerakan tanah dari Dinas ESDM Provinsi Jawa
Tengah, pemasangan alat peringatan dini gerakan tanah dari BPPTK. Namun patut
disayangkan banyak juga program dari SKPD dan Pemerintah pusat langsung ke desa
tanpa ada rembug dan penyesuaian dengan program-program desa.
Kesiapan personil atau sumberdaya manusia dalam perencanaan pembangunan
menjadi penting. Pengetahuan dan ketrampilan terkait dengan penggalian potensi dan
masalah di tingkat dusun sampai dengan tingkat desa wajib dikuasai oleh perangkat
desa maupun LPMD yang bertanggungjawab terkait dengan proses pembangunan
yang ada di desa. Hal lain adalah bagaimana informasi terkait dengan pembangunan
yang berbasis risiko juga mampu menjadi perhatian dari perangkat desa.
39. 39
“Kita butuh untuk menindak lanjuti semua hasil-hasil dari proses
Kajian yang sudah kita lakukan bersama Lingkar dan berusaha
mengimplementasikannya melalui Forum tersebut, dan sudah
harus mempunyai sebuah Perencanaan Pembangunan yang lebih
baik lagi, yaitu berperspektif PRB”
Bab 7. Melenting Balik Lebih Baik
A. Urusan Bersama Urusan Semua, Modal Sosial
Pada musyawarah desa yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan desa,
masyarakat Desa Negarajati bersepakat membentuk wadah untuk mengkoordinasikan
sumber daya desa, serta mendorong masyarakat melakukan upaya-upaya PRB melalui
pemerintah desa dan organisasi kemasyarakatan desa. Lebih dari itu, organisasi yang
berwujud Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Desa Negarajati dibentuk untuk
merencanakan, melaksanakan, memantau dan memonitoring kegiatan PRB, agar
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dapat berjalan baik dengan memobilisasi
sumber daya desa dan mendapat dukungan multipihak.
Idealnya Forum PRB dibentuk beranggotakan perwakilan dari:
a. Sosial-Fungsional : Pemerintah desa, BPD, LPPMD, PKK, Karang Taruna,
LMDH, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama
b. Territorial-khusus : Kepala Dusun, RT, RW, Instansi Pemerintah/swasta
c. Sektoral : Petani, Pengrajin, Pengusaha, Peternak, penyadap
getah
d. Marginal : Kelompok miskin, Perempuan, difabel.
Tindak lanjut dari musyawarah desa, pemerintah desa mengadakan pertemuyan yang
mengundang berbagai pihak yang berkepentingan dalam Pengelolaan Risiko Bencana/
Penanggulangan Bencana. Pertemuan tersebut juga dihadiri perwakilan dari Perhutani
yaitu Administratur (ADM) KPH Banyumas Barat dan Asper BKPH Majenang. Kepala
Desa menekankan dengan adanya forum PRB diharapkan dapat mewujudkan upaya-
upaya PRB untuk mendukung pembangunan desa dan meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam menanggulangi bencana. Perwakilan ADM menyatakan adanya
forum sangat penting sebagai upaya masyarakat menyelamatkan lingkungan, karena
beberapa wilayah memiliki kerentanan tinggi, untuk itu suatu keharusan untuk
melakukan upaya PRB.
40. 40
“Kita butuh untuk menindak lanjuti semua hasil-hasil dari proses
Kajian yang sudah kita lakukan bersama Lingkar dan berusaha
mengimplementasikannya melalui Forum tersebut, dan sudah harus
mempunyai sebuah Perencanaan Pembangunan yang lebih baik
lagi, yaitu berperspektif PRB” seruan Pak Tjardjo Sumardjono
(Kades Negarajati)”
Pada pertemuan pembentukan Forum PRB, usulan partisipan yang akan terlibat ialah
perwakilan dari:
1. Pemerintahan Desa; Pemerintah Desa dan BPD
2. Lembaga Desa; LPPMD, Karang Taruna, PKK
3. Swasta/Instansi; Perhutani, Dishutbun, UPTD-BPBD, Muspika, Tim Teknis Desa
Tangguh Kabupaten Cilacap
4. Organisasi masa; LMDH, SPPL, Tagana
Forum mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pertemuan rutin sebagai media
komunikasi dan koordinasi antara para pihak pemangku kepentingan/multi stakeholders
guna merealisasikan kerja-kerja Pengurangan Risiko Bencana di masyarakat.
Mekanisme kerja forum dibagi menjadi pada kondisi normal/tidak ada bencana Forum
PRB menjadi mitra pemerintah dalam melakukan upaya PRB dan layanan sosial,
sadangkan dalam keadaan bencana menjadi tim relawan.
Secara rinci, tugas dan fungsi FPRB yakni:
Tugas:
a. Mendorong tersusunya Rencana Penanggulangan Bencana
b. Menyusun Rencana Aksi Komunitas
c. Pelaksana kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan dan tanggap
darurat yang teruang di dalam dokumen RPB dan RAK
d. Mendorong integrasi PRB ke dalam RPJM/APBDes
e. Mengusahakan dukungan sumber daya dari pihak luar
Fungsi:
a. Koordinasi PRB/PB dengan pemerintah desa dan pihak lain
b. Pelaksanaan kesiapsiagaan dan tanggap darurat
c. Memantau kegiatan RAK
Struktur Kepengurusan
Pelindung : Kepala Desa Negarajati
Ketua : Dasri
41. 41
Sekretaris : Darto
Bendahara : Sujoko
Fasilitator Desa : Siti Hanani dan Sigit
Kesiapsiagaan dan tanggap darurat : Sabda
Berdasarkan tugas dan fungsi tersebut, masyarakat merumuskan uraian kerja
kepengurusan Forum PRB Desa Negarajati
PELINDUNG:
a. Memberikan arahan dan bimbingan kepada forum
b. Memberikan pengawasan pada kegiatan forum
KETUA FORUM;
a. Bertanggungjawab seluruh kegiatan forum pada masayarakat dan
pemerintah
b. Melakukan koordinasi pengurus dan anggota
SEKRETARIS FORUM;
a. Mendokumentasikan seluruh kegiatan
b. Menyusun administrasi forum
b. Mewakili ketua ketika berhalangan
c. Bersama ketua menyusun laporan kegiatan
BENDAHARA FORUM;
a. Menyusun manajemen keuangan dan laporan keuangan
b. Mencatat masuk dan keluarnya uang
TIM TEKNIS (FASILITATOR DESA);
a. Memberikan sosialisasi PRB kepada masayarakat
c. Melakukan pengkajian risiko bencana
TIM AKSI (KESIAP-SIAGAAN DAN TANGGAP DARURAT);
a. Memantau lokasi rawan
b. Melakukan peringatan dini pada warga
c. Menyusun dan mensimulasikan rencana kontijensi
d. Melakukan evakuasi
e. Mempersiapkan tempat yang aman (evakuasi)
f. Menyediakan fasilitas air bersih, kesehatan, bahan makanan, dapur
umum, keamanan, terapi (hiburan), pendidikan darurat
g. Pendataan korban dan kerugian
h. Merawat korban yang selamat dan tidak selamat
42. 42
Tim Kesiapsiagaan dan tanggap darurat merupakan tim atau sekumpulan relawan yang
tidak terpisah dari Forum PRB, namun tugasya lebih pada melakukan kesiapsiagaan
dan penanganan pada sitausi darurat sesui tugas sektoral yang tercantum dalam
Dokumen Rencana Kontinjensi.
Sesuai amanat UU No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, setiap
komponen bangsa memiliki peran dan tanggung jawab dalam hal penanggulangan
bencana, komponen tersebut antara lain Pemerintah, perguruan tinggi,
lembaga/organisasi masyarakat, masyarakat, dan swasta. Keterlibatan berbagai unsur
tersebut amat penting bagi upaya meredam ancaman, menurunkan kerentanan, dan
meningkatkan kapasitas yang pada akhirnya mengurangi/menghilangkan tingkat risiko
bencana yang dilakukan dalam tahapan pra, saat, dan pasca bencana. Upaya yang
terpenting pada dasarnya adalah pada tahapan pra bencana dengan melakukan usaha-
usaha pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Mengingat Desa Negarajati memiliki
ancaman tanah longsor, sangat penting untuk memadukan upaya pengurangan risiko
bencana dalam pembangunan yang menjadi salah satu peran Forum PRB.
Dalam perjalanannya, FPRB juga mendapatkan dukungan dari Pemerintah Desa
Negarajati yakni dengan adanya Surat Keputusan Kepala Desa Negarajati Nomor
220/07/X/2010 Tentang Pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana Tingkat
Desa. Setiap tahun dianggarkan oleh desa sebesar 2 juta untuk kegiatan FPRB. Pada
awal terbentuknya fungsi FPRB sangat strategis karena mereka yang bertugas untuk
melakukan koordinasi dan kerjasama dengan pihak-pihak di luar desa, antara lain
dengan Perum Perhutani KPH Banyumas Barat terkait dengan usulan tentang Kawasan
Perlindungan Setempat. Meskipun tidak berhasil untuk mewujudkan Kawasan tersebut
namun, berkat dorongan dari FPRB lokasi bekas longsoran saat ini tidak ditanami lagi
dengan jenis Pinus. Lokasi tersebut atau tepatnya di petak 24 dan 27 RPH Cimanggu
BKPH Majenang KPH Banyumas Barat telah ditanami dengan jenis tanaman Mukona
atau sejenis tanaman kacang-kacangan yang ternyata bagus juga untuk menahan
erosi. Selain dengan Perhutani, FPRB Desa Negarajati juga intensif dalam menjalin
komunikasi dengan BPBD Kabupaten Cilacap. Terkait dengan peningkatan kapasitas
anggota FPRB dan warga desa maka FPRB juga menjalin kerjasama dengan RAPI
(Radio Antar Penduduk Indonesia) wilayah Majenang dan juga dengan PMI Majenang.
Mereka dilatih di dalam bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan
menggunakan HT, mendirikan tenda, tali temali, pertolongan dan penyelamatan korban
patah tulang.
B. Mengelola Sumber Keuangan, Modal Keuangan
Material longsoran yang berupa tanah, batu, kayu dan lumpur menyebabkan kerugian
dan kerusakan yang sangat besar bagi desa tersebut. Salah satunya adalah rusaknya
aset/sumber penghidupan pertanian berupa tanah sawah dan kebun, dan sebagian
43. 43
lahan pinus sadapan yang berakibat pada hilangnya pendapatan ekonomi masyarakat
yang bekerja sebagai penyadap getah pinus dan petani. Sementara tabungan untuk
mengembangkan usaha habis terpakai untuk mencukupi kebutuhan keluarga pada saat
tanggap-darurat.
Berangkat dari kondisi tersebut, maka upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Negarajati dalam rangka mengembalikan kehidupan ekonomi dengan membuat suatu
koperasi simpan pinjam yang memiliki tujuan mengembangkan usaha produktif dan
sekaligus keuntungan dipersiapkan sebagai dana siap pakai pada saat keadaan
darurat. Di awal pembentukan yakni tanggal 25 Maret 2011, modal awalnya sebesar
21,5 juta dengan jumlah anggota 20 orang. Syarat peminjaman adalah, sebelumnya
anggota harus memiliki modal atau tabungan terlebih dahulu baru diperbolehkan untuk
meminjam dana. Jumlah dana yang dipinjam pun tidak boleh melebihi jumlah tabungan
yang telah dimiliki.
Dalam perkembangannya ternyata banyak dinamika yang berkembang sehingga tidak
semudah yang diimpikan bahwa koperasi ini akan berkembang, membantu orang
miskin untuk bisa menjadi mandiri, adanya dana siap pakai saat kondisi darurat. Saat
ini meskipun telah berkembang jumlah anggotanya menjadi 40 orang, namun modal
tidak berkembang justru terjadi kredit macet sebesar 16 jutaan. Masih ada sisa dana
sekitar 7,8 jutaan yang saat ini dipegang oleh bendahara koperasi yakni Ibu Nani.
Permasalahan ini terjadi karena mereka yang meminjam tidak mampu untuk
mengangsurnya. Meskipun sebelum meminjam sebenarnya mereka telah diberikan
informasi tentang bagaimana cara mengangsurnya, namun karena kondisi mereka yang
rata-rata memang masyarakat kurang mampu maka terjadilah permasalahan kredit
macet tersebut. Mereka berasal dari wilayah translok atau penduduk yang telah
direlokasi ke wilayah Dusun 3. Dari kegiatan tersebut pembelajarannya menurut
bendahara dan pengelola dana tersebut, ada baiknya lebih memperketat aturan
misalnya harus memiliki tabungan terlebih dahulu, tidak terlalu mudah untuk
memberikan rekomendasi kepada peminjam.
Upaya pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya lokal diwujudkan dengan
pengembangan usaha produksi sale pisang. Mengingat di wilayah Kecamatan
Cimanggu dan sekitarnya yang terkenal dengan produk sale pisang dengan
ketersediaan bahan baku cukup melimpah. Mereka memanfaatkan dana RAK dari desa
tangguh untuk memulai usahanya.
Dalam perjalanannya, produksi sale pisang mengirimkan hasil produksinya ke wilayah
sekitar desa dan kecamatan. Namun di tengah perjalanan terjadi permasalahan karena
ternyata barang tidak laku dijual. Bagian penjualan mengambil keuntungan sendiri
tanpa diketahui oleh anggota yang lain, kualitas pisang sale yang kurang bagus,
kurangnya komunikasi dan transparansi antar anggota. Kelompok produksi juga pernah
44. 44
meminjam modal kepada koperasi simpan pinjam yang dikelola oleh FPRB Desa
Negarajati, namun sampai dengan saat ini juga belum pernah mengembalikan
pinjamannya.
Belajar dari 2 kasus di atas, kelangsungan usaha tidak bisa dilepaskan tanpa ada
aturan dan komitmen dalam pengelolaan usaha serta upaya pendampingan dari pihak-
pihak yang berkepentingan. Inisiasi masyarakat di tahap awal pembentukan perlu
disambut oleh para pihak yang bertanggungjawab pada kesejahteraan masyarakat.
C. Silaturahmi, Modal Sosial
Selang satu tahun pasca kejadian bencana tanah longsor, pemerintah Provinsi Jawa
Tengah melalui BPBD Kabupaten Cilacap merealisasikan program rehabilitasi dan
rekonstruksi dengan menyediakan lahan rekolasi pemikiman bagi warga terdampak,
khususnya Dusun 2. Menimbang sumber penghidupan warga berada di sekitar Dusun 2
berupa lahan persawahan, hutan pinus, bengkel, dan toko kelontong maupun fasilitas
pendidikan dan kesehatan, maka warga menolak direlokasi karena lokasi yang jauh dari
sumber penghidupan dan fasilitas publik. Meski demikian atas permintaan kepala desa
program tersebut diterima walaupun saat ini masih banyak warga yang menempati
hunian lama, sedangkan hunian baru berfungsi sebagai tempat pengungsian terutama
pada saat musim penghujan.
Pembangunan hunian baru pun tidak lepas dari permasalahan, program dengan
mekanisme pembangunan rekanan pemerintah ini dinilai tidak mengajak masyarakat,
permasalahan turunannya menimbulkan kecemburuan sosial dari warga yang tidak
terlibat sebagai pekerja. Kualitas bangunan yang tidak sesuai dengan bestek dan
cenderung asal jadi ditemukan oleh warga akibat pembangunan pemukiman dan
infrastruktur pendukung yang “kejar target”, mekanisme kontrol yang dilakukan warga
dengan melakukan observasi dan komplain pada pelaksana bangunan.
Masih dalam skema rekonstruksi, pemerintah Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas
ESDM terlibat dalam pemasangan alat pendeteksi gerakan tanah (ekstensometer)
untuk peringatan dini, namun sistem peringatan yang menggunakan model perangkat
sms gateway tidak berjalan mulus karena server mengalami kerusakan, pihak
pengembang tidak bertanggungjawab pada kelangsungan sistem, dan tidak ada
sosialisasi bahkan tidak melibatkan masyarakat pada upaya pemeliharaan.
Guna merealisasikan rencana aksi komunitas untuk meningkatkan kesiapsiagaan
dengan sistem peringatan dini, masyarakat dengan fasilitasi Perkumpulan Lingakr dan
bekerjasama dengan Universitas Gadjah Mada mengembangkan Sistem Peringatan
Dini yang dilengkapi dengan alat ekstensometer. Agar pengalaman buruk sistem yang
tidak bekerja, masyarakat yang berperan dalam menentukan lokasi pemasangan alat,
penanggungjawab pemeliharaan, pengembangan prosedur tetap sistem peringatan dini
45. 45
yang diujicobakan di Dusun 2 dengan skenario tetap merujuk pada rencana kontinjensi.
Dengan adanya alat ekstensometer bukan satu-satunya pedoman dan menyurutkan
upaya pemantauan tanda-tanda ancaman lainnya seperti kewaspadaan ketika hujan
turun lebih dari 3 jam, munculnya mata air baru yang cenderung keruh, daun pintu dan
jendela susah ditutup, dan persiapan perbekalan untuk menyelamatkan diri.
Pada aspek mitigasi, masyarakat menuntut PT. Perhutani merubah kawasan hutan
produksi dengan vegetasi pinus terutama lahan yang berdampingan dengan
pemukiman dengan tingkat kelerengan diatas 60º menjadi kawasan lindung setempat
yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan mencegah longsor. Perubahan
kawasan tersebut idealnya disertai perubahan vegetasi yang berakar dalam dan
melebar sehingga mampu menahan gerakan tanah, selain itu adanya pengelolaan
kawasan dengan rekayasa kelerengan model teras permanen pada lahan-lahan yang
miring atau curam disertai sistem drainase. Namun sampai saat ini rencana mitigasi
struktural tersebut urung terealisasi karena tidak ada kehendak baik dari KPH hingga
ADM alih-alih merealisasikan skema pembangunan berkelanjutan dengan berbagai
macam alasan dan cenderung menghindar, Perhutani hanya dapat menyediakan bibit
tanaman yang diberikan melalui mekanisme pengajuan dari masyarakat, meskipun
telah dilakukan audensi dan konsultasi publik. Sontak masyarakat menolak mekanisme
pengajuan permintaan bibit tanaman tersebut, yang justru menjadi tanggungjawab
Perhutani melindungi warga di sekitar hutan dari ancaman tanah longsor dengan
melakukan upaya mitigasi.
D. Menanam Kembali Menjaga Hutan, Modal Lingkungan
Antara Perhutani dan Forum PRB telah bersepakat melakukan upaya pengurangan
risiko bencana, kesepakatan tersebut terdokumentasi dalam draft “Kesepakatan Kerja
Bersama Dalam Rangka Pengurangan Risiko Bencana Tanah Longsor Antara Perum
Perhutani KPH Banyumas Barat Dengan Forum PRB Desa Negarajati” Secara umum,
isi perjanjian masih sangat merugikan masyarakat, dalam artian masih terlalu
banyak/besar kewajiban yang ditanggung oleh masyarakat dengan hak yang minimal,
seperti tidak berhak membatalkan perjanjian dan menuntut apabila terjadi kerusakan
pada alat deteksi dini. Sedangkan masyarakat dibebankan kewajiban untuk
menyediakan alat deteksi dini (pasal 3) gerakan tanah (ekstensometer).
Sedangkan Perhutani memperoleh hak yang maksimal/besar dengan kewajiban
minimal, seperti tidak atau belum menyantumkan spesifikasi kegiatan pengelolaan
kawasan hutan dengan melakukan rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan sesuai
dengan PP No.76 Tahun 2008 Tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan pasal 23
dan PP No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan.
Rehabilitasi hutan sebagaimana dimaksud dalam PP No.76 Tahun 2008 Pasal 21
ayat (1) huruf a diselenggarakan melalui kegiatan: