Artikel ini menggambarkan potensi komoditas pisang di Desa Kalipucang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Desa ini memiliki lahan subur untuk menanam berbagai jenis pisang. Beberapa warga mulai mengolah pisang menjadi keripik sebagai sumber penghasilan tambahan. Contohnya Mbah Armi dan kelompok tani Dwi Tunggal. Namun, masih dibutuhkan dukungan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas produksi dan pem
1. artaniMenebar Inspirasi dan Informasi Petani
Petani
Tegak Berdiri
di Tengah Badai
1
Edisi
Januari2017
Sekolah Inovasi Tani
Desa Memiliki Kewenangan
dalam Urusan Pertanian
Suara Tani
Tantangan Pengembangan
Pertanian Perdesaan
Laporan Utama
Strategi Petani Menghadapi
Alih Fungsi Lahan
2. REDAKSI MARTANI
Penanggungjawab:
Sutomo
Redaktur:
Edi Purwanto
Redaktur Pelaksana:
Nasrun Annahar
Anggota Tim Redaksi:
L. Riansyah
Fahrul Ulum
M. Mujtabah
Kontributor:
Tri Wahyu Widarto
Very Yudha Lesmana
Aris Fahmi
M. Luthfil Hakim
Editor:
Mahalli
Tata Letak:
Dwi Purbo Yuwono
ALAMAT REDAKSI:
D'Wiga Regency A3-12, Kelurahan
Mojolangu, Kota Malang (65142)
Phone/fax:
(0341) 3039081
Email:
info@averroes.or.id
Portal:
www.padi.averroes.or.id;
www.averroes.or.id
Twitter:
@avecom
Instagram:
@averroes.or.id
DITERBITKAN OLEH:
DIDUKUNG OLEH:
artaniMenebar Inspirasi dan Informasi Petani
S a l a m Re d a k s i
3. Daftar Isi
Warta Desa:
Potret Kemandirian dalam Wujud Keripik Pisang 1
Menimbang Asa Petani Salak Wonosari 3
Jatiarjo, Desa Pertanian Terkemukan Sejak Jaman Penjajahan Belanda 4
Laporan Utama:
Strategi Petani Menghadapi Alih Fungsi Lahan 6
Editorial:
Tanah Leluhur 9
Sekolah Inovasi Tani:
Desa Memiliki Kewenangan dalam Urusan Pertanian 10
Tokoh Tani:
Nur Hidayat Tokoh Penggerak Petani Muda 12
Profil Karnadi 14
Zainul 15
Suara Tani:
Membangun Kekuatan Pertanian Melalui Kelompok Tani 17
Tantangan Pengembangan Pertanian Perdesaan 19
Refleksi Pengetahuan:
Belajar dari Mahaguru Alam Semesta 20
Kopi sebagai Solusi 22
Pengetahuan dan Cita Rasa Salak Wonosari 23
Wawancara:
Wawancara Kepala Dinas Pertanian 25
Opini:
Lima Modal yang Menguatkan Petani 28
Tahukah Anda:
Komoditas Warisan Belanda di Kalipucang 30
Resensi Buku:
Membaca Dinamika Ketahanan, Kemandirian dan Kesejahteraan Pangan di
Jawa 32
Bilik Tani:
Perjalanan Janu di Gunung Cikur 34
4. Desa Kalipucang terletak di ketinggian 700 meter di
atas permukaan laut. Desa yang terkenal sebagai
penghasil susu sapi segar ini masuk dalam wilayah
Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan. Secara
administratif, Desa Kalipucang terdiri dari enam dusun
yakni Kuntul Utara, Kuntul Selatan, Dodogan, Cikur,
Mucangan dan Dusun Jelag.
Potret Kemandirian dalam
Wujud Keripik Pisang
Warta
Desa
1
Selain masyhur sebagai penghasil
susu segar, Kalipucang juga
menyimpan potensi hasil
pertanian yang besar. Komoditas
kopi, cengkeh, alpukat, durian,
nangka dan pisang serta
tanaman lain tumbuh subur pada
671 ribu lahan pertanian kering
dan 338 ribu hektar tegal. Semua
komoditas ini memang belum
banyak disentuh, sehingga
sebagian besar masih tumbuh
secara alami.
Dari sekian banyak komoditas,
kopi dan pisang merupakan
produk yang paling banyak
dihasilkan oleh desa ini. Sejauh
ini, pengolahan hasil panen kopi
dan pisang dilakukan dalam skala
kecil, dikelola secara tradisional
dan mandiri oleh perseorangan
ataupun kelompok. Hasil olahan
kopi dan pisang ini hanya
dititipkan pada warung-warung
yang ada di desa. Selain itu,
kedua produk ini dipamerkan dan
dipasarkan juga jika ada event-
event di tingkat kabupaten atau
kecamatan yang diselenggarakan
oleh dinas tertentu.
Desa ini memiliki potensi
komoditas pisang dalam
kapasitas yang besar.
Ada beragam pisang
yang tumbuh subur di
desa ini. Masyarakat
mengelompokkan jenis
pisang menjadi dua,
yaitu pisang olahan dan
pisang buah. Pisang
buah adalah pisang yang
layak dijual dalam bentuk
buah, di antaranya
adalah pisang Ambon,
Barlin, hijau, Raja Molo,
Emas dan pisang Santen.
Permintaan pasar atas
jenis pisang buah ini
sangat tinggi, sehingga
masyarakat lebih tertarik
untuk menjualnya
langsung dalam bentuk
buah.
Sedangkan pisang olahan terdiri
dari pisang Candi dan pisang
Nangka. Kedua jenis pisang ini
sebenarnya rasanya sangat enak
bila dikonsumsi langsung dalam
bentuk buah. Namun masyarakat
lebih sering mengolah dulu
dalam bentuk keripik atau
makanan lainnya. Sebagian kecil
pengolahan pisang ini dilakukan
oleh perseorangan atau
kelompok dalam bentuk industri
rumahan.
Mbah Armi adalah salah satu
warga yang sudah mendapat
penghasilan tambahan dari
mengolah komoditas pisang
menjadi keripik. Menurutnya ada
selisih harga yang lumayan
apabila pisang dijual dalam
bentuk keripik dibandingkan
dengan dalam bentuk buah.
Janda 65 tahun ini
mengungkapkan bahwa pisang
Santen atau Nangka dalam satu
tandan dihargai Rp.30.000,-. Jika
diolah menjadi keripik, satu
tandan rata-rata menjadi 45
bungkus. Armi menjual setiap
bungkus keripik pisangnya
5. Warta
Desa
2
seharga Rp.1.750,-. Apabila ditotal harga pisang
setelah diolah menjadi keripik adalah sebesar
Rp.78.750,-. Dengan mengolah pisang menjadi
keripik, Armi masih mendapat selisih keuntungan
kotor sebesar Rp.50.750,- setiap tandannya.
Seperti halnya Armi, Kelompok Tani Dwi Tunggal
juga mulai memproduksi keripik pisang. Karnadi,
ketua Kelompok Tani Dwi Tunggal menceritakan
bahwa kelompoknya mampu menghasilkan
pendapatan sebesar Rp.90.000,-/hari dari
penjualan keripik pisang.
Kelompok Tani Dwi Tunggal mulai memperbaiki
pengemasan produk keripiknya. Selain itu,
kelompok tani ini juga mulai mengajukan izin
Industri Rumah Tangga (IRT) kepada Dinas
Perindustrian Kabupaten Pasuruan. Namun,
sampai hari ini IRT tersebut belum juga ia
dapatkan. Karnadi berharap Pemerintah
Kabupaten Pasuruan mempermudah proses
perizinan, agar industri rumahan di Pasuruan
khususnya di Desa Kalipucang bisa berkembang.
“Kami berharap Pemerintah Kabupaten Pasuruan
mempermudah proses perizinan IRT. Kami sudah
mengurusnya beberapa kali, namun tak kunjung
kami dapatkan”, keluh Karnadi pada diskusi
terbatas tentang potensi Desa Kalipucang
(02/01/2017)
Berdasarkan pengakuan Karnadi, permintaan
keripik pisang buatan kelompoknya dari hari ke
hari semakin meningkat. Namun ia mengakui
untuk meningkatkan produksi olahan pisang,
kelompoknya masih mengalami kesulitan dan
kendala manajemen, tenaga kerja dan sarana
prasarana pemasaran.
Armi dan Kelompok Tani Dwi Tunggal adalah
contoh kemandirian dan keberdayaan masyarakat
desa dalam meningkatkan nilai potensi desa
mereka. Sebenarnya masih banyak produk olahan
lain yang bisa dihasilkan dari komoditas pisang di
Desa Kalipucang, misalnya selai pisang, jenang
pisang, getuk pisang, tepung pisang ataupun
lainnya. Memang dibutuhkan inovasi dan
sentuhan-sentuhan dari pemerintah ataupun
pihak lainnya untuk mengembangkan produk
olahan pisang ini.
Peningkatan kapasitas dan produktivitas,
baik sumber daya manusia maupun
peningkatan teknik pengolahan dan
pengelolaan kegiatan usaha, menjadi hal
yang mutlak diperlukan. Kiranya perhatian
dan kerjasama antara pemerintah daerah,
pihak swasta, universitas maupun lembaga
lainnya dapat semakin menguatkan potensi
Desa Kalipucang pada khususnya, dan
potensi sumber daya alam lainnya di
Kabupaten Pasuruan. [Tri]
6. Warta
Desa
3
Menimbang Asa
Petani Salak Wonosari
ecamatan Gondangwetan,
KKabupaten Pasuruan memang
masyhur sebagai wilayah
penghasil salak. Selain Desa Kresikan,
Desa Wonosari juga dikenal khalayak
menjadi penghasil salak. Beberapa petani
salak Desa Wonosari, kini mulai
memproduksi jenang salak.
Selain tanaman padi dan palawija, warga di Desa
Wonosari juga memiliki tanaman salak. Hampir
semua rumah memiliki pohon salak yang ditanam di
pekarangan atau tegalan yang letaknya tidak jauh
dari rumah. Kondisi tanah dan cuaca di desa ini
rupanya cocok untuk budi daya salak.
Tanaman salak di desa ini bisa panen dua kali dalam
setahun. Uniknya, panen raya salak tidak bisa ditandai
dengan penanggalan Masehi. Waktu panen raya
hanya bisa diprediksi dengan acuan penggalan Jawa
atau Hijriah. Panen raya salak biasanya terjadi pada
bulan Mulud dan Syawal. Pada bulan-bulan tersebut,
jumlah salak di desa ini sangat berlimpah.
“Biasanya pas peringatan Muludan (hari lahirnya Nabi
Muhammad) dan pas Hari Raya Idul Fitri, salak
menjadi suguhan bagi para tamu, karena pas waktu
itu salak sedang banyak-banyaknya,” ujar Hanafi,
salah seorang petani salak sekaligus Kepala Urusan
Pertanian Desa Wonosari.
Sajian salak pada saat berlangsungnya acara
Maulid Nabi dan Idul Fitri seolah menjadi
kewajiban setiap keluarga. Sehingga masyarakat
merasa kurang lengkap jika saat pada bulan
tersebut tidak menyajikan salak. Menurut Hanafi,
pada 2015 kemarin salak mengalami gagal panen
dikarenakan musim yang tidak menentu. Sebagian
masyarakat yang cenderung sudah fanatik
terhadap salak, harus merogoh sakunya lebih
dalam untuk membeli salak.
Bagi masyarakat Wonosari, salak sudah menjadi
bagian hidup dan identitasnya. Pada awalnya salak
hanya dikonsumsi sendiri dan menjadi hidangan
para tamu. Masyarakat di desa ini sangat bangga
apabila bisa memberikan hidangan salak, apalagi
bisa memberikan oleh-oleh kepada para tamu
yang datang ke rumahnya.
Belakangan, banyak orang yang mengatakan
bahwa salak Wonosari memiliki cita rasa yang
khas, berbeda dengan salak yang dijual di
pasaran. Salak Wonosari terkenal manis keasam-
asaman. Kombinasi manis dan asam yang
terkandung dalam Salak Wonosari dirasa pas oleh
masyarakat penikmat buah. Selain itu salak yang
dihasilkan dari desa ini juga lembut tekstur daging
buahnya.
Menurut Gufron, salak Kresikan terlalu manis
rasanya dan cenderung berair. “Terlalu manis dan
berair menjadikan salak Desa Kresikan kurang enak
dimakan”, jelas anggota kelompok tani ini.
7. Warta
Desa
4
Jatiarjo, Desa Pertanian
Terkemuka Sejak Jaman
Penjajahan Belanda
Rupanya pemberian salak sebagai oleh-oleh
kepada sanak keluarga tersebut, menjadikan
orang lain semakin penasaran dengan salak
Wonosari. Mengingat permintaan salak Wonosari
di pasaran semakin tinggi, maka masyarakat mulai
membudidayakan salak sebagai tambahan
penghasilan.
Belakangan salak Wonosari tidak hanya dijual
dalam bentuk buah, namun sudah ada beberapa
orang yang mencoba mengolah salak menjadi
jenang salak dan beberapa produk lainnya.
Pasangan suami istri Roni dan Lilik adalah salah
satu keluarga yang telah mengolah salak menjadi
jenang. Pasangan ini mengolah salak dengan
cara-cara tradisional. Cara mengolah salak
menjadi jenang ini mereka dapatkan dari orang
tua mereka yang sejak lama memproduksi jenang
salak.
Inisiatif untuk mengolah salak menjadi jenang ini
berawal dari keaktifan Lilik dalam kegiatan PKK.
Selain karena kemampuan mengolah salak yang
didapatkan secara turun-temurun, Lilik juga
mendapat tambahan pengetahuan mengenai
pengolahan salak dari pelatihan pelatihan PKK
yang diselenggarakan oleh Kecamatan.
Selain pemasaran secara konvensional, Roni dan
Lilik mencoba membuat terobosan dalam
memasarkan jenang salak. Media online menjadi
salah satu cara pasangan ini mengenalkan dan
menjual jenang salak pada ruang yang lebih luas.
Dari media inilah jenang salak hasil produksinya
mulai dikenal banyak orang. Permintaan pasar
akan jenang salak semakin hari semakin banyak.
Usaha yang dirintis pada 2015 silam ini telah
mengantongi Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
dari pemerintah kabupaten. Pada 2015, usaha ini
terpaksa tidak berjalan sebagaimana tahun
sebelumnya. Cuaca yang tidak menentu membuat
gagal panen. Ujungnya, terjadi kelangkaan bahan
baku.
Meski demikian, pasangan suami istri tersebut
optimis pada tahun-tahun mendatang bisa
melanjutkan usahanya. Mereka berharap bisa
mendapatkan pelatihan dalam meningkatkan
kemampuan memproduksi, manajemen usaha,
pengemasan hingga pemasaran. [Very]
J
atiarjo adalah salah satu desa yang secara
administratif masuk dalam Kecamatan Prigen,
Kabupaten Pasuruan. Desa yang terletak di lereng
Gunung Arjuno ini memiliki iklim yang sejuk dan tanah
yang subur. Oleh karenanya, di Jatiarjo tersimpan
potensi sumber daya alam yang melimpah, khususnya
di bidang pertanian dan perkebunan.
“Kesuburan tanah membuat
Jatiarjo memiliki banyak
komoditas. Yang paling
banyak di sini adalah kopi,
nangka, gadung dan sayuran
organik,” papar Syamsuri,
tokoh pemuda Jatiarjo.
8. Warta
Desa
5
Sejarah mencatat bahwa potensi Jatiarjo telah
dikenali oleh Pemerintah Kolonial sejak era tanam
paksa. Belanda mendatangkan orang-orang dari
Madura untuk dibawa ke desa ini. Mereka dipaksa
untuk menanam sayur-sayuran, palawija, tanaman
tegakan hutan hingga buah-buahan.
Jejak-jejak peristiwa tanam paksa itu
masih bisa terlihat hingga saat ini.
Dua dari tiga dusun di Desa Jatiarjo
(Tegal Kidul dan Tonggowa) dipenuhi
warga keturunan Madura. Ragam
pertanian dan keberadaan warga
keturunan Madura tersebut menjadi
bukti bahwa kesuburan tanah dan
kondisi iklim merupakan potensi yang
sudah ada sejak lama.
Selain budi daya komoditas tersebut di atas, di
Jatiarjo juga terdapat kegiatan budi daya tanaman
kopi. Tepatnya di Dusun Cowek, komoditas ini
dibudidayakan di lahan milik Perhutani. Menurut
Mochammad Tha'im, salah satu petani kopi di
Dusun Cowek, sejarah tanaman kopi dimulai
puluhan tahun yang lalu atau berbarengan
dengan periode awal dibangunnya Taman Safari
Indonesia 2.
Pembangunan kawasan Taman Safari Indonesia 2
di Jatiarjo membuat banyak warga kehilangan
lahan pertaniannya. Oleh karenanya, para warga
setempat mulai menanami lahan Perhutani tanpa
izin. “Mulanya, petani semacam merampas lahan
dari Perhutani lantas menggarap lahan hutan
dengan tanaman palawija. Tanaman palawija ini
kemudian sering dicabuti oleh mandor Perhutani.
Tak jarang, terjadi konflik antara petani dan pihak
Perhutani,” ujar Tha'im.
Lambat laun konflik antara keduanya mulai
mereda. Hal tersebut terjadi pasca diwujudkannya
kesepakatan antar keduanya. Kesepakatan
tersebut berisi petani boleh bercocok tanam di
lahan Perhutani asalkan tidak mengganggu
tanaman tegakan. Hingga akhirnya, dari
kesepakatan tersebut, tanaman kopi dipilih karena
dirasa tidak mengganggu tanaman tegakan dan
juga menguntungkan petani.
Lebih lanjut, Tha'im menjelaskan bahwa status
lahan Perhutani yang digarap oleh warga Jatiarjo
adalah lahan kelola bukan hak milik. Lahan
Perhutani yang dikelola oleh petani desa ini kurang
lebih seluas 350 hektar. Luasan tersebut menjadi
garapan bagi 500 petani.
Ada sebuah hal unik dari cerita Tha'im mengenai
luasan lahan garapan tersebut. Ia menceritakan
bahwa luasan hak kelola oleh masyarakat
tergantung siapa yang lebih banyak mbabat
(membuka lahan) hutan. Tidak pernah ada
pertentangan antar masyarakat meski luas lahan
yang mereka garap berbeda-beda. Bagi orang
yang sejak awal membuka lahan luas, hingga kini
ia mengerjakan lahan yang luas pula. Sebaliknya,
bagi yang membuka lahan sempit, hingga kini ia
menggarap lahan yang sempit.
“Jadi, dulu itu kalau sudah ada orang membuka
lahan dengan luasan tertentu meskipun sudah
ditinggal beberapa bulan, asal ada penanda maka
tidak akan ada warga lain yang mengakui bahwa
itu adalah lahannya. Ibaratnya ditanami pisang
satu batang saja, itu sudah menjadi penanda.
Tidak ada yang boleh mengaku-ngaku atas lahan
itu,” ujar pria yang juga menjabat sebagai ketua
Kelompok Tani Rejo Tani.
“Kelompok Rejo Tani diketuai oleh Tha'im. Jumlah
anggota aktif sebanyak 25 anggota. Masing-
masing dari anggota menggarap lahan antara 1
hingga 2 hektar dengan jumlah tanaman kopi
masing-masing anggota berkisar antara 2000-
3000 tanaman.”
Sampai hari ini, hasil panen komoditas kopi hanya
dipasarkan dalam bentuk bijian. Setelah panen
kopi melalui proses pengeringan dan pengupasan
kulit luar, hasil panen langsung dijual. Hal ini
dilakukan karena memang belum tersedia alat
untuk memproses lebih lanjut. “Saya pribadi
berharap agar ada bantuan berupa alat dan
pelatihan sehingga pengelolaan pasca panen kopi
lebih bisa dimaksimalkan,” terangnya. [Aris dan
Fahrul]
9. Laporan
Utama
6
Strategi Petani
Menghadapi Alih Fungsi Lahan
“Di sini, rumput tetangga tak nampak lebih hijau
dari pada rumput kita”
Itulah perumpamaan yang
dikatakan oleh Tri Wahyu,
salah satu fasilitator lapangan
Program Pendidikan Agrobisnis
Desa Inovatif (Padi), untuk
menggambarkan kondisi Desa
Kalipucang, Kecamatan Turur,
Pasuruan. Setelah sekian lama
menjadi desa pertanian, desa ini
kini lebih dikenal sebagai desa
peternakan. Lahan yang dulu
ditanami beragam komoditas
pertanian kini berubah menjadi
hamparan rumput gajah.
Terjadi penyusutan yang sangat
pesat pada lahan pertanian
terutama untuk komoditas kopi
dan sayur. Hal ini terjadi karena
mayoritas penduduk beralih
pekerjaan dari petani menjadi
peternak sapi perah. Peralihan
pekerjaan secara massal ini
didorong oleh lebih tingginya
harga susu dibandingkan harga
komoditas pertanian.
“Ada arus balik pola pekerjaan
masyarakat. Jadi nek tahun 80-
90an wong tani iku nyambi
ternak. Sekarang wong ternak
nyambi tani,” papar Haji Trik salah
seorang tokoh Desa Kalipucang.
Meski peternakan sapi menjadi
pilihan yang lebih menguntungkan
bagi masyarakat, mereka
menyadari betul bahwa perubahan
ini akan berdampak buruk bagi
kelestarian alam dan kesejahteraan
manakala mencapai titik yang
ekstrem. Jika seluruh lahan di Desa
Kalipucang berubah menjadi lahan
rumput gajah, di saat yang sama
tanaman perkebunan dan
pepohonan juga akan habis.
Ujungnya, ancaman bencana
longsor pun akan datang. Selain
itu, citra sebagai desa penghasil
beragam komoditas pertanian juga
akan hilang dari desa ini.
Karnadi, ketua Kelompok Tani Dwi
Tunggal Desa Kalipucang berharap
agar seluruh komoditas pertanian,
perkebunan maupun peternakan
yang sudah menjadi penopang
kehidupan masyarakat sejak lama
bisa dipertahankan secara
seimbang.
“Komoditas kopi atau apel di
Kalipucang jangan sampai bernasib
sama seperti apel Kota Batu. Punah
karena alih fungsi lahan dan
kerusakan lingkungan,” harapnya.
Salah satu upaya untuk
menjaga keseimbangan
berbagai komoditas di
Kalipucang diwujudkan
dengan membentuk
Kelompok Tani Dodogan
Makmur yang berada di
Dusun Dodogan.
Kelompok tani ini telah
membentuk divisi-divisi
dengan tugas yang
berbeda beda. Ada divisi
yang bertugas mengurus
kebutuhan petani ada
pula divisi yang
membawahi kepentingan
peternak. Dengan
harapan kelompok tani
ini bisa mengapresiasi
kebutuhan pertanian dan
peternakan.
10. Senada dengan Kalipucang, Desa
Wonosari Kecamatan
Gondangwetan juga mengalami
pergeseran komoditas pertanian
dan perkebunan. Para petani
yang dahulu menanam salak, kini
mulai beralih untuk menanam
sengon. Alasan petani mengganti
salak menjadi sengon karena
salak tidak terlalu
menguntungkan untuk ditanam
di desa ini.
Tanaman sengon, menurut
beberapa narasumber yang
ditemui, lebih menguntungkan
dan lebih mudah dalam
perawatannya. Perawatan
dilakukan secara intensif hanya
pada satu tahun pertama saja.
Begitu sudah menginjak tahun
kedua dan seterusnya, sengon
bisa tumbuh dengan sendirinya
tanpa butuh perhatian khusus.
Pada usia empat atau lima tahun,
sengon tersebut siap untuk
dipanen.
Dari lima dusun yang di Desa
Wonosari, peralihan komoditas
dari perkebunan salak menjadi
sengon paling banyak berada di
di Dusun Ngepreng dan sebagian
Dusun Kili Barat dan Timur.
Sayangnya, menurut Khanafi,
sebagian besar lahan sengon di
desa ini dimiliki oleh beberapa
orang kaya saja, khususnya di
Dusun Ngepreng. Sementara
warga desa sebagian besar hanya
berposisi sebagai pekerja yang
mengolah dan merawat.
Lebih lanjut, Kaur Pertanian Desa
Wonosari ini menjelaskan bahwa
sengon sekarang sudah menjadi
bisnis yang cukup menggiurkan.
Menurutnya, hasil panen dari
sengon banyak manfaatnya, bisa
dijadikan bahan untuk mebel,
ukiran kayu, atau untuk dasaran
kayu kaligrafi.”
Zainul sebagai ketua kelompok tani
di desa ini, sedikit mengkhawatirkan
terkait “sengonisasi” di Desa
Wonosari. Menurutnya, apabila tidak
dibendung, semakin lama lahan
pertanian dan perkebunan di desa
ini akan habis dan berganti menjadi
sengon. Padahal menurutnya, lahan
pertanian sangat penting untuk
menjaga keseimbangan ekosistem
di desa.
Lahan yang sudah pernah ditanami
sengon, kemungkinan untuk
ditanami padi atau tanaman pangan
lain sangat kecil. Karena struktur
tanah telah berubah. Belum lagi
akar sengon agak sulit untuk
dibersihkan. Tentu belum bisa
dibajak, jika akar bekas sengon tidak
dibersihkan. Kemungkinan besar
tanah tersebut menjadi tegal dan
kemudian menjadi rumah, seperti
tegalan-tegalan lainnya.
Lain halnya dengan di Desa Jatiarjo.
Desa Jatiarjo sebagian besar
masyarakatnya bekerja sebagai
petani, namun lahan yang ada di
desa sudah semakin menyempit.
Penyempitan lahan di desa ini
dikarenakan mulai banyaknya
industri, pariwisata dan sebagian
dialihfungsikan untuk perumahan.
Di desa ini, pergeseran terjadi tidak
hanya pada lahan tapi juga pola
pekerjaan. Masyarakat yang dulunya
bekerja sebagai petani kini mulai
banyak yang beralih menjadi buruh
pabrik atau buruh bangunan. Hal ini
dikarenakan lahan pertanian yang
mereka miliki telah terjual kepada
perusahaan-perusahaan besar.
Semakin berkurangnya lahan
pertanian di Jatiarjo ini, mendorong
beberapa orang yang tidak memiliki
lahan pertanian membuka lahan
baru di wilayah hutan. Dari satu
dua orang akhirnya semakin
banyak yang membuka lahan
baru di hutan. Akhirnya lereng
Arjuno tersebut berubah menjadi
lahan pertanian bersama antara
masyarakat dan Perhutani.
Berdasarkan kesepakatan
bersama, warga dan
Perhutani membentuk
Lembaga Masyarakat
Desa Hutan (LMDH).
Lembaga inilah yang
menjadi penghubung
antara petani penggarap
lahan hutan dengan
Perhutani. Penggarapan
lahan dengan pola
kemitraan di bawah
naungan LMDH dan
kelompok tani menjadi
solusi yang tepat atas
berkurangnya lahan
pertanian milik warga.
Inilah salah satu strategi
petani Jatiarjo untuk
mempertahankan diri
untuk tetap menjadi
petani.
Menurut Samsuri, alih lahan
hutan bersama ini sekarang
sangat menguntungkan petani
dan Perhutani. Kebakaran hutan
di lereng Gunung Arjuno sudah
jarang sekali terjadi. Selain
tanaman kopi, para petani juga
bisa menanam beragam tanaman
dengan sistem tumpang sari.
Dengan pola ini, masyarakat dan
Laporan
Utama
7
11. Perhutani bisa bersinergi untuk
menjaga hutan bersama.
Strategi Petani untuk Hidup
Menanggapi alih fungsi lahan ini,
Winaryo Wijanarko berpendapat
positif. Pemerhati pertanian ini
menganggap bahwa perubahan
fungsi lahan komoditas pertanian
sangat wajar. Menurutnya ini
adalah strategi petani dalam
mempertahankan “periuknya”
agar tetap terisi.
“Kasus di Kalipucang yang
mengubah fungsi lahan pertanian
produktif menjadi rumput gajah,
lahan pertanian menjadi sengon
seperti yang terjadi di Desa
Wonosari, ataupun penguasaan
hutan menjadi lahan pertanian di
Desa Jatiaro, adalah hal yang
wajar,” terang ketua KPU
Kabupaten Pasuruan ini.
Alumni Sekolah Demokrasi ini
beranggapan bahwa, apa yang
dilakukan petani di ketiga desa
tersebut adalah upaya petani
untuk terus bisa hidup dengan
bertani. Tentu masing-masing
desa dan wilayah, petani memiliki
strategi yang berbeda.
Lebih lanjut, ia menjelaskan
bahwa strategi itu memang harus
dilakukan agar mereka bisa
bertahan hidup. Bisa jadi dengan
mengubah tanaman pertanian,
para petani bisa mendapatkan
keuntungan yang lebih banyak.
“Selama alih fungsi lahan masih
berputar di wilayah pertanian
tidak menjadi masalah. Namun
jika alih lahan dari pertanian
menjadi pemukiman, industri
ataupun pariwisata, ini yang
harus dibendung”, terangnya.
Winaryo berpesan agar
masyarakat, pemerintah desa,
dan pihak-pihak lain bisa ikut
menjaga luasan lahan pertanian.
Karena menurutnya,
bagaimanapun juga lahan
pertanian tetap harus ada,
khususnya lahan-lahan pertanian
kelas satu. Pemerintah Kabupaten
Pasuruan telah mengeluarkan
Peraturan Daerah Nomor 12
Tahun 2010 tentang Tata Ruang.
“Semoga Perda ini bisa menjadi
pagar beton agar lahan pertanian
produktif di Kabupaten Pasuruan
tetap terjaga,” pungkasnya.
Pentingnya Peraturan Desa
tentang Tata Ruang
Undang-Undang Nomor 41 tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan
(PLP2B) yang diikuti dengan
Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Insentif PLP2B. Peraturan ini
sebenarnya digunakan untuk
melindungi lahan pertanian dari
arus pembangunanisme yang
semakin tidak bisa dikendalikan.
Menurut Fahrul Ulum, desa
memiliki kewenangan untuk
mengatur dan menjaga pertanian
dari alih fungsi lahan. Pendapat
Alumni Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya ini
didasarkan pada UU Nomor 6
Tentang Desa. Atas dasar itu,
menurutnya desa bisa membuat
Peraturan Desa yang mengatur
tentang tata ruang desa.
“Seiring dengan lahirnya UU
Desa, Desa memiliki kewenangan
untuk mengatur tata ruang desa,
dengan syarat tidak bertentangan
dengan Peraturan Daerah dan
peraturan yang lain di atasnya.
Nah di Kabupaten Pasuruan
sebenarnya sudah memiliki Perda
No. 12 tahun 2010 tentang Tata
Ruang. Pemerintah desa bisa
menerjemahkan Perda itu pada
lingkup lokal skala desa dengan
dibuatkan Peraturan Desa,” jelas
Fahrul.
Lebih lanjut Fahrul menjelaskan
bahwa Peraturan Desa akan
menjaga lahan pertanian agar
tidak beralih fungsi. Dalam
peraturan desa tersebut,
pemerintah desa dan BPD bisa
mengatur, wilayah mana saja
yang akan menjadi lahan
pertanian, pariwisata, perumahan
dan atau komoditas apa yang
bisa diunggulkan di desa
tersebut. Dengan demikian, alih
fungsi lahan pertanian di desa
bisa diminimalisir.
Alih fungsi lahan yang terjadi di
Desa Kalipucang, Desa Jatiarjo
dan Desa Wonosari tersebut
sebenarnya masih dalam batas
kewajaran. Karena menurut pria
asal Lamongan ini, alih lahan
pertanian masih sebatas
perubahan komoditasnya saja.
“Apabila memang
dipergunakan untuk
pembangunan perumahan,
dibeli oleh pihak luar ataupun
untuk pariwisata, maka
pemerintah dan masyarakat
harus tegas menolaknya.
Karena ini akan mengurangi
lahan pertanian. Nah, jika
pemerintah desa sudah
memiliki Peraturan Desa, maka
akan lebih mudah menepis
investor yang hendak
mengubah fungsi lahan
pertanian,” pungkas pria yang
akrab dipanggil Ruben ini.
[Nasrun, Edi]
Laporan
Utama
8
12. Editorial
9
ampak dari kejauhan, seperiuk sego liwet
Tditenteng oleh lelaki setengah baya. Saya
perhatikan, pria itu sibuk mondar-mandir dari
petak tegal satu ke petak tegal yang lainnya. Sesekali
dia berhenti di pematang tegal. Setelah itu, dia
keluarkan satu centong nasi liwet dan dituang dalam
sehelai daun pisang. Ditaruhlah sego liwet itu tepat di
bawah pematang tegal yang paling terjal.
Selama proses ini berlangsung,
mulut pria ini tidak pernah
berhenti komat-kamit membaca
mantra. Entah mantra apa yang
dia baca sore itu. Setelah saya
mendekat, rupanya dia adalah
Winardi yang tadi siang bertemu
saya di Sanggar Pamujan.
Tamping sego liwet seperti yang
dilakukan Winardi rupanya
dilakukan juga oleh sebagian
besar masyarakat Ngadas
Malang. Tamping sego liwet
dilakukan secara rutin setiap Rebo
Legi (Rabu Manis). Rebo Legi
adalah sembahyang istimewa
menurut masyarakat di desa ini.
Mereka melaksanakan
sembahyang setiap Rabu, namun
khusus Rebo Legi, masing-masing
keluarga membawa sego liwet ke
Sanggar Pamujan. Setelah
sembahyangan selesai, mereka
menyebar sego liwet di tegal
masing-masing.
Upaya ini mereka lakukan untuk
menjaga tanah leluhur agar tetap
lestari. Selain ucapan syukur,
masyarakat Tengger Malang juga
berharap agar Sang Hyang
Wenanging Jagad tetap menjaga
kondisi tanah agar tidak longsor.
Tanaman yang mereka tanam
tidak diserang hama penyakit dan
bisa panen dengan hasil yang
memuaskan.
Apa yang dilakukan oleh
masyarakat Tengger di sisi Selatan
Gunung Bromo ini, merupakan
upaya untuk mempertahankan
kesuburan tanah. Menjaga agar
ada penyatuan antara manusia
dan lingkungan sekitar. Menurut
mereka, alam akan murka jika
manusia tidak menyatu dengan
alam. Sebaliknya, alam akan
memberikan berkah apabila
manusia bisa mengetahui dan
menyatu dengan alam.
Tata cara menghormati tanah dan
penyatuan dengan alam ini masih
banyak dilakukan oleh
masyarakat di Indonesia. Sedekah
bumi, upacara sebelum tanam,
panen raya, dan ritual-ritual
lainnya di beberapa wilayah masih
tetap dipertahankan. Walaupun
seiring kuatnya arus islamisasi,
upacara seperti ini sudah mulai
bergeser pemaknaannya.
Selain penghormatan terhadap
alam, masyarakat Desa Ngadas,
memiliki aturan adat tersendiri
terkait dengan tanah leluhur.
Seluruh tanah pertanian di desa ini
tidak bisa dijual kepada orang di
luar desa. “Jangankan menjual,
menggarap saja orang luar tidak
diperbolehkan”, itulah kata yang
pernah saya dengar langsung
beberapa tahun yang lalu dari
Mbah Ngatrulin, dukun Ngadas
Malang.
Aturan ini sudah berlaku bertahun-
tahun dan ditaati oleh semua
masyarakat hingga saat ini. Hal ini
adalah salah satu strategi
masyarakat Ngadas agar bisa tetap
bisa bertahan hidup dengan
bertani. Desa-desa lain di Indonesia
tentunya memiliki cara dan strategi
yang berbeda dalam
mempertahankan lahan pertanian.
Tanah
Leluhur
13. Hampir kebanyakan masyarakat
adat memiliki aturan yang kuat
tentang tanah leluhur ini. Aturan-
aturan tersebut di beberapa
tempat masih diugemi bersama.
Badui Dalam misalnya, tradisi
menjaga tanah leluhur seolah
menjadi keharusan bagi mereka.
Tidak semua orang bisa
menerjang masuk ke lokasi Badui
Dalam.
Contoh yang lain adalah Sedulur
Sikep, yang sekarang sedang
berjuang habis-habisan untuk
mempertahankan tanah leluhur
dari derasnya modernisasi.
Gunretno, salah satu tokoh
Sedulur Sikep dan kawan-
kawannya saat ini sedang
berhadap-hadapan dengan
pemerintah dan pabrik semen
untuk mempertahankan tanah
leluhurnya.
Pertanian adalah salah satu mata
pencaharian penting yang harus
tetap diberikan ruang oleh
Negara. Lahirnya UU Nomor 41
tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, kiranya masih
belum memberikan garansi
terhadap utuhnya lahan
pertanian. Faktanya, fungsi alih
lahan pertanian menjadi industri
massif terjadi di beberapa wilayah
di Indonesia.
Apa yang dilakukan oleh
masyarakat Tengger, Badui Dalam
dan Sedulur Sikep adalah upaya-
upaya yang bisa dilakukan untuk
mempertahankan lahan
pertanian. Entah berapa tahun
lagi mereka bisa tetap bertahan
hidup sebagai petani di tanah
leluhurnya sendiri. [Edi
Purwanto]
G
ambaran atau image petani bagi
masyarakat umum dapat dikatakan erat
dengan permasalahan kemiskinan,
rendahnya pendidikan dan selalu dijadikan
sebagai objek pembangunan. Gambaran
tersebut didukung oleh temuan data di
Kabupaten Pasuruan.
Dari tahun ke tahun, luas lahan pertanian di Kabupaten Pasuruan
mengalami penurunan. Catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten
Pasuruan menyatakan bahwa pada tahun 2013, persentase luas lahan
pertanian di kabupaten ini adalah sebesar 62,2 persen. Pada tahun 2014
turun menjadi 61 persen. Penurunan terus berlanjut hingga tahun 2015
mencapai angka 59,9 persen.
Senada dengan penurunan luasan lahan pertanian, penurunan juga
terjadi pada perputaran uang di sektor ini. Masih dari sumber yang
sama, BPS Kabupaten Pasuruan mencatat bahwa terjadi penurunan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian yang sangat
signifikan. Pada tahun 2013, PDRB di sektor ini berada pada angka 22,3
persen, kemudian anjlok pada tahun 2015 dengan angka 8,0 persen.
Turunnya berbagai angka tersebut masih diperkuat oleh data mengenai
jumlah rumah tangga petani. Dalam kurun waktu 10 tahun (2003-2013)
jumlah rumah tangga pertanian Kabupaten Pasuruan menurun
sebanyak 22,3 persen. Angka penurunan ini terjadi di seluruh
kecamatan kecuali Tosari, Puspo dan Lumbang.
Latar belakang mengenai penurunan luas lahan pertanian, PDRB dan
jumlah rumah tangga petani menguatkan hipotesis Komunitas Averroes,
Desa Memiliki Kewenangan
dalam Urusan Pertanian
Sekolah
Inovasi
Tani
10
14. bahwa minat masyarakat untuk
menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian memang
mengalami penurunan. Edi
Purwanto, Program Manager
Komunitas Averroes untuk
Program Pendidikan Agrobisnis
Desa Inovatif (PADI) menyatakan
bahwa Averroes bersama
masyarakat Pasuruan akan
memulai proses belajar bersama
dalam menggali potensi
pertanian. Hal ini sebagai salah
satu upaya Averroes dalam
rangka turut membantu
peningkatan kesejahteraan
petani.
“Kita akan belajar bersama
petani untuk menganalisa
potensi yang mereka miliki.
Berlanjut ke perencanaan
strategi pengembangan
lantas juga mendorong
mereka untuk bisa
menyuarakan kebutuhan
dan perencanaan mereka
kepada pemerintah desa
dan dinas-dinas terkait,”
Papar Edi saat Membuka
Workshop Program yang
diselenggarakan di Lawang
pada Rabu siang
(29/12/2016).
Dalam paparannya, Edi
menyatakan bahwa PADI adalah
program Komunitas Averroes
dengan beberapa gabungan
pendekatan. Pendekatan pertama
yang digunakan dalam program
ini adalah Appreciative Inquiry.
Sebuah pendekatan yang lebih
mengutamakan analisa potensi
daripada penggalian masalah.
“Kita tidak hendak mencari-cari
masalah. Kita ingin membangun
pola pikir yang positif. Yang kita
cari adalah apa yang menjadi
potensi di desa dalam bidang
pertanian. Kemudian kita analisis
secara partisipatif bersama
masyarakat. Lantas kita
rencanakan bagaimana strategi
pengembangannya,” Lanjut Edi.
Selain Appreciative Inquiry,
terdapat semangat lain yang
mendasari program PADI yaitu
semangat berbagi informasi.
Kesuksesan satu petani harus
menjadi kesuksesan bersama.
Kesadaran untuk berbagi
pengetahuan dan praktik baik
selama menjadi petani harus
dibagikan baik oleh petani sendiri
maupun oleh organisasi
pemberdayaan.
Hal lain yang tidak kalah
pentingnya dalam penguatan
petani adalah mengenai subjek
yang mengakomodir urusan
pertanian. Selama ini, kebutuhan
petani hanya dikoordinir oleh
kelompok tani dan dinas
pertanian kabupaten. Lahirnya
UU Desa dinilai menjadi tonggak
penting dalam usaha pemenuhan
kebutuhan petani. Dengan
demikian, selain penguatan
keluarga petani, program ini juga
akan menguatkan kelembagaan
kelompok tani dan peningkatan
peranan desa dalam
memanfaatkan kewenangannya
di bidang pertanian.
“Selama ini pertanian cuma
menjadi urusan kelompok tani.
Kalau ada proposal, langsung
masuk ke dinas pertanian. Kami
ingin mewacanakan kepada
publik bahwa pertanian adalah
urusan masyarakat, karenanya,
peran desa harus pula jadi yang
terdepan,” tukas Edi menutup
paparannya.
Seiring dengan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, Desa memiliki kewenangan
dalam urusan pertanian. Hal ini
tersurat dalam Peraturan Menteri
Desa, Pembangunan Daerah
tertinggal dan Transmigrasi
Nomor 1 Tahun 2015 Juncto
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 44 Tahun 2016 tentang
Kewenangan Desa. Pada
peraturan tersebut, desa memiliki
kewenangan dalam bidang
pertaian di antaranya adalah,
pengembangan benih lokal,
pengembangan teknologi tepat
guna pengolahan hasil pertanian,
penetapan jenis pupuk dan pakan
organik untuk pertanian,
penetapan komoditas unggulan
pertanian, dan lain sebagainya.
Beberapa urusan pertanian yang
menjadi urusan desa bisa dibiayai
oleh Anggaran Pendapatan dan
Belanja Desa.
Sebagai sebuah tambahan
informasi, Program PADI akan
dilaksanakan di tiga desa di
Kabupaten Pasuruan. Desa
Jatiarjo, Kecamatan Prigen, Desa
Wonosari, Kecamatan
Gondangwetan dan Desa
Kalipucang, Kecamatan Tutur
adalah tiga desa yang akan
berproses bersama dalam
program PADI. Selain
menganalisa potensi yang dimiliki
oleh petani, program ini akan
mengajak petani belajar
bersama-sama mengenai
pengelolaan produksi pertanian
pasca panen, manajemen
pemasaran hingga manajemen
organisasi kelompok tani.
[Nasrun]
Sekolah
Inovasi
Tani
11
15. Tokoh
Tani
Inspiratif
12
S
ore itu, kami tiba di rumah Nur Hidayat bersamaan dengan hujan deras dan angin kencang. Buruknya
cuaca di luar tak mampu melunturkan rasa hangat kami. Meski baru dua kali bertemu, kami sudah
saling akrab dan sering kali melempar canda tawa.
Cak Dayat, demikian warga Desa Jatiarjo akrab memanggil Nur Hidayat. Sosoknya baik, sederhana, dan
berjiwa muda. Ia dikenal sebagai tokoh penggerak petani muda sejak ia berhasil membawa kelompok taninya
berprestasi.
Penggerak Petani Muda
Cak Dayat lahir pada 26 Maret 1980 di Desa Jatiarjo.
Di usianya yang masih tergolong muda ini, ia sudah
memiliki segudang pengalaman mulai dari pertanian,
hingga lika-liku kehidupan. Pengalaman itulah yang
membuatnya piawai mengatur manajemen organisasi
dan membagi waktu dalam aktivitasnya yang padat.
Ayah dari dua orang anak ini tergolong orang yang
tak kenal lelah. Bagaimana tidak, dalam
kesehariannya, selain menjadi satpam di Taman Safari
Indonesia II, ia juga aktif sebagai seorang ketua di
Kelompok Tani Sumber Makmur Abadi (Sumadi).
Kelompok Tani ini ia dirikan bersama rekan-rekannya
pada 2011 silam.
Sebagian besar anggota kelompok tani yang ia
pimpin adalah para kawula muda. Mereka adalah
anak-anak petani yang dalam jiwanya masih tertanam
“lahan dan kebun”. Cak Dayat rela sebagian ruang di
rumahnya dijadikan Sekretariat Sumadi. Baginya,
berkumpul dengan anak-anak muda dan melihat
mereka bergairah untuk bertani adalah suatu
kebanggaan tersendiri.
Wujud kesuksesan Cak Dayat dalam memimpin
pemuda tani adalah munculnya tokoh yang bernama
Khusairi. Rencanannya, petani berumur 24 tahun ini
akan berangkat ke Jepang untuk menjalani proses
magang di bidang pertanian. Berkat kontribusi Dayat,
Khusairi lolos seleksi dari tingkat kelompok tani
regional hingga nasional.
Kesadaran Cak Dayat dalam menggerakkan potensi
generasi muda untuk bertani merupakan refleksi dari
masa kecilnya. “Sejak kecil saya ikut ke ladang. Bantu
orang tua tiap hari ke hutan cari-cari rumput dan
kayu. Jadi sejak kecil saya sudah diajari bertani,”
Ujarnya. Berawal dari situlah seorang Dayat tumbuh
sebagai sosok yang bernaluri di bidang pertanian.
Baginya, organisasi kelompok tani adalah wadah
untuk menumbuhkembangkan pengetahuan
masyarakat. Ia menjelaskan bahwa sebelum
mendirikan Sumadi, ia sempat bergabung dengan
bisnis pertanian Mitra Kaliandra. Namun di tengah
jalan, ia merasa ada proses negosiasi antara petani
dan Kaliandra yang tidak sesuai. Karena itulah ia
beserta beberapa rekannya, memilih mundur dari
Mitra Kaliandra dengan harapan dapat mendirikan
kelompok tani yang bisa memberdayakan
masyarakat.
Kegigihan dan idealisme Cak Dayat bukan tanpa latar
belakang dan alasan yang mempengaruhi. Pria
berwajah murah senyum ini menuturkan memiliki
beberapa inspirator yang menjadi panutan.
Nur Hidayat:
Tokoh
Penggerak
Petani Muda
16. “Saya jamaah dari habib-habib. Saya melihat ulama-
ulama terdahulu. Ketika mereka terjun ke masyarakat
itu mereka mengorbankan semuanya. Dan mereka
tidak mengharapkan apa-apa (imbalan). Salah satu
inspirator saya itu ada Habib Abu Bakar Muhammad
Assegaf dari Gresik. Kemudian tokoh-tokoh NU di
tempat saya, salah satunya seperti bapak saya. Di
mana beliau mengikuti organisasi dengan merelakan
waktunya. Lalu ada bapak Dur Rahim dia masih
keluarga dengan saya.”
Ada yang unik dari kisah hidup Cak Dayat. Ia
menceritakan bahwa sebagai seorang petani,
keluarganya memiliki satu kitab kuno yang dijadikan
dasar untuk kegiatan bertani. Dari kitab itulah ia
mendapatkan pengetahuan cara bertani dengan
perhitungan perhitungan berdasarkan kondisi alam
dan hasil produknya berkualitas baik.
“Saya ada kitab kuno yang dipelajari dan dijadikan
pegangan. Berbahasa Arab tapi membahas tentang
pertanian. Itu yang menginsipirasi saya ke pertanian
organik,” jelasnya.
Sumadi, Prestasi, dan Mimpi-Mimpinya
Cak Dayat memiliki mimpi agar petani dan kelompok
tani bisa mandiri. Karenanya, dalam setiap program
pemberdayaan dan kemitraan, kelompok tani harus
menjadi subjek pembangunan agar setiap harapan
dan aspirasi petani dapat terwadahi. Mimpi inilah
yang juga menginsipirasi terbentuknya Kelompok Tani
Sumadi yang ia pimpin hingga sekarang.
“Karena kita selalu dijadikan objek program itu, saya
menyadarkan ke teman-teman. Membentuk
organisasi. Kepingin tahu sebenarnya mengubah
keadaan itu seperti apa. Kemudian tercetuslah ide
bahwa organisasi ini nantinya harus bisa menarik
aspirasi dari teman-teman yang ada di sini,” tegasnya.
Berbekal cita-cita untuk mandiri, Sumadi akhirnya
berdiri dengan anggota sekitar 20-an. Secara politik,
menurut Dayat, berdirinya Sumadi bisa meningkatkan
daya tawar warga desa Jatiarjo. Juga dapat
melindungi eksistensi dari para anggotanya. Tujuan
ini memang tidak lepas dari proses penamaan
Sumadi.
“Waktu itu memang dirapatkan dengan teman-
teman, ada yang bilang sumber makmur, ada yang
bilang abadi. Maksudnya (dari nama ini) adalah
menjadi sumber penghidupan teman-teman.
Menciptakan satu peluang yang berkelanjutan,”
paparnya dengan berapi-api.
Masa-masa awal pembentukan Sumadi, Cak Dayat
bersama rekan-rekannya menghadapi banyak
tantangan. Satu di antaranya adalah membentuk
kesadaran berorganisasi pada anggota.
“Kami membentuk mindset dengan ide-ide baru.
Mengubah pola kebiasaan cara berorganisasi.
Bagaimana organisasi ini bukan objek bantuan. Tapi
kita mencari peluang usaha yang memang akan
dibutuhkan di masa mendatang, salah satunya ya
pertanian organik ini,” kenangnya.
Bukan Dayat jika mudah menyerah. Pria berusia
kepala tiga ini terus berpikir agar organisasinya bisa
berjalan sesuai mimpinya. Ia memberikan tanggung
jawab kepada anggotanya berdasarkan pada naluri,
minat dan bakat masing-masing. Dengan cara itu,
setiap anggota akan aktif karena mereka menyukai
tanggung jawabnya.
“Saya melakukan manajemen keanggotaan dan
organisasi dengan menempatkan anggota sesuai
dengan minat dan bakatnya. Inspirasinya, dari
keluarga. Jadi keluarga saya itu memang orang-
orang NU. Dengan itu, pemikiran dan tingkat yang
berbeda-beda itu maka kita lihat dan cermati. Mereka
kita petakan lalu tempatkan di tempat yang sesuai
dengan minat masing-masing.”
Hingga kini, bisa dikatakan bahwa Sumadi
merupakan kelompok tani aktif, yang mandiri dan
berprestasi. Ini membuktikan bahwa kegigihan Dayat
selama ini membuahkan hasil. Tak hanya prestasi,
beberapa program kerjasama juga dilakukan oleh
Dayat dan Sumadi membuktikan bahwa ia dan
organisasinya memiliki kualitas yang tak bisa
dipandang sebelah mata.
Ketika ditanya tentang harapan di masa mendatang,
Dayat mengaku masih memiliki cita-cita yang belum
tercapai. Ia berharap masyarakat Jatiarjo bisa
mengoptimalkan lahan dan tidak memperjualbelikan
lahannya.
“Dengan mempertahankan lahan, masyarakat tidak
kalah dengan para investor. Jadi pertanian organik ini
satu jalan untuk berjuang. Bahwa kawasan sini punya
nilai tawar,” tandasnya. [Luthfil]
Tokoh
Tani
Inspiratif
13
17. Tubuh tinggi tegap, kulit sawo matang dan kumis yang tebal
adalah segelintir ciri fisik untuk menggambarkannya. Dengan ciri
macam tersebut di atas, ia sekilas mirip dengan tokoh
pewayangan bernama Gatotkaca. Ialah Karnadi, salah satu petani kopi
yang cukup dikenal di Desa Kalipucang.
Sebagai putra asli Kalipucang, Karnadi sejak lama bergelut dengan
dunia pertanian. Orang tuanya petani, dan kini, ia pun menjadi seorang
petani. Jika diperbolehkan memberikan persentase, bisa jadi, hampir
sembilan puluh persen hidupnya berkutat dalam ranah (sebagai, dari,
untuk dan oleh) petani.
Bersama keluarganya, Karnadi tinggal di Dusun Cikur, Desa Kalipucang.
Untuk sampai di rumahnya, berbagai rintangan harus dihadapi. Jalan
tanah terjal dan sempit ditambah genangan air hujan menjadikan
perjalanan harus hati-hati. Setelah naik turun melewati jalan tanah,
hutan pinus dan hamparan tanaman kopi sudah menunggu. Hingga
akhirnya, pasca melewati hutan pinus akan nampak kawasan
perkampungan. Dan di situlah Karnadi bersama keluarganya tinggal.
Rumahnya sederhana. Di teras rumah, terdapat mesin pengolah kopi yang berjajar rapi. Berbatasan langsung
dengan hutan pinus dan kebun kopi, rumahnya nampak sejuk nan asri.
menjabat sebagai ketua
kelompok sejak 2005. Di awal
kepemimpinannya, ia lebih
banyak mencurahkan
perhatiannya untuk memperbaiki
dan mengaktifkan lagi laju
kelompok tani.
Setelah setahun ia pimpin, Dwi
Tunggal mampu membangun
kerjasama dengan perusahaan
Gonden Harvesindo untuk
memproduksi kopi ekspor
hingga pada 2010. Menurut
Karnadi, kerjasama tersebut
bukanlah usahanya semata.
Namun, hal tersebut terwujud
karena atas usaha bersama
dari seluruh anggota
kelompok.
Karnadi dan Kelompok Tani
Dwi Tunggal
Selain sebagai petani, Karnadi
juga tercatat sebagai anggota
Kelompok Tani Dwi Tunggal.
Kelompok tani ini berdiri sejak
2002. “Dulu, ada enam
kelompok tani di Kalipucang.
Kelompok Arobusta 1 sampai 6
justru vakum setelah sekolah
lapang, tidak ada kegiatan
lanjutan. Berawal dari sini,
terbentuklah Dwi Tunggal yang
merupakan penggabungan
antara kelompok tani Arobusta 4
dan Arobusta 5 yang berada di
Dusun Cikur,” kenang Karnadi.
Hingga saat ini, Dwi Tunggal
telah melalui tiga kali pergantian
kepemimpinan. Karnadi
Waktu terus berlalu,
perkembangan kelompok tani
yang ia pimpin makin meningkat.
Hal ini dapat dilihat dari adanya
bimbingan dan bantuan dari
Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten. Bantuan alat berupa
mesin pemisah kulit, mesin
pembubuk biji kopi dan alat pres
pengemas diberikan kepada
kelompok ini Dwi Tunggal. Tidak
hanya itu, bahkan kelompok tani
Dwi Tunggal juga berkesempatan
untuk studi banding ke daerah
lain.
“Kalau soal bantuan dan
pendampingan, Dinas Kehutanan
dan Perkebunan sangat baik dan
sangat membantu. Saya juga
pernah mendapat pelatihan uji
coba rasa kopi di Pusat Penelitian
Karnadi, Sosok Dibalik
Kelompok Tani Dwi Tunggal
Tokoh
Tani
Inspiratif
14
18. Kakao dan Kopi di Jember selama 4 hari,”
ujarnya.
Saat ini, ia beserta kelompoknya mulai
berinovasi mengolah hasil pertanian
menjadi produk siap konsumsi. Kopi
bubuk premium dengan merek Kopi
Bintang Sembilan adalah salah satu
hasilnya. Meski belum diproduksi secara
massal, geliat Karnadi untuk mewujudkan
kopi bubuk produksi kelompok tani Dwi
Tunggal terus ia usahakan. Berbagai
pameran dan bazar ia ikuti untuk
memperkenalkan produknya tersebut.
Bahkan, ia juga telah mengurus proses
perizinan usaha pada pemerintah daerah
melalui Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Pasuruan.
Ketika ditanya mengenai rencana di masa
mendatang, Karnadi mengungkapkan
beberapa tantangan yang dihadapi dalam
mengembangkan pertanian di desanya.
Pertama, berkurangnya lahan pertanian
karena penguasaan lahan oleh
perusahaan atau investor swasta dari luar
desa. Kedua, sumber daya manusia untuk
sektor pertanian dan perkebunan semakin
langka. Sebagian besar angkatan kerja
asal Kalipucang memilih bekerja di luar
wilayah desa atau bekerja di perusahaan.
“Masalah kemampuan manajemen
pengelolaan budidaya kopi sampai pada
manajemen bisnis dan pemasaran juga
menjadi masalah utama kelompok tani
kami, saya pikir itu yang perlu diperbaiki
agar tidak ada alasan lahan dibeli investor
atau juga generasi penerus memilih
bekerja di luar,” harapnya.
Bagi Karnadi, untuk mengembangkan
suatu kelompok, terkhusus kelompok tani,
dibutuhkan kerjasama dan kolaborasi
antar semua stakeholder. “Mengapa
begitu, karena ini urusannya dengan
semua pihak yang ada di desa. Jika
hubungan yang terjalin itu baik, maka
akan menghasilkan hal yang baik pula,”
tegasnya dengan nada penuh keyakinan.
[Tri]
Tepatnya di Dusun Ngepreng, Desa Wonosari, Zainul
Ibadi tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Sehari-
hari kehidupannya ia isi dengan bertani dan berkebun.
Pria kelahiran Poncokusumo, Malang, tersebut sejak kecil
sudah diajari oleh orang tuanya untuk bercocok tanam di
lahan pertanian dan perkebunan. Didikan tersebut diberikan
oleh orang tuanya dengan harapan agar kelak ia mampu
meneruskan pekerjaan leluhurnya sebagai petani.
Kini, hasil didikan tersebut terbukti. Kemampuan bertani dan
berkebun yang dimiliki Zainul (sapaan akrabnya) tak bisa
diragukan. Kepindahannya dari Malang ke Pasuruan justru
menjadikannya sebagai teladan bagi petani lain. Ilmu
pertanian dari Malang menjadi referensi bagi petani di
Wonosari, Pasuruan.
Dalam riwayat hidupnya, ia lulus dari Institut Agama
Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya 10 tahun silam.
Pendidikan tinggi itulah yang menjadi penunjang
pola pikirnya dalam mengembangkan pertanian. Di
saat yang sama, interaksinya dengan para akademisi
tidak membuatnya meninggalkan nilai-nilai luhur
yang biasa dipegang oleh petani.
Setelah lulus kuliah, Zainul memilih untuk mengembangkan
pertanian yang telah diwariskan oleh orang tuanya. Tak
pernah sekalipun ia merasa malu atau gengsi menyandang
pekerjaan sebagai petani. “Tidak pernah saya merasa malu
menjadi petani. Bahkan, saya merasa bangga karena bisa
memberikan manfaat dan berbagi pengetahuan baru kepada
petani lain, meskipun umurnya lebih tua daripada saya,”
terang Zainul.
“Menjadi petani itu dijalani,
bukan disesali,”
Zainul Ibadi, Petani Wonosari
Zainul, Sarjana
yang Memilih
Jadi Petani
Tokoh
Tani
Inspiratif
15
19. Tidak bisa dipungkiri, latar
belakangnya sebagai anak petani
membuatnya bersikukuh menjadi
petani. “Sampai kapan pun, saya
tetap ingin menjadi petani.
Apalagi saya juga diwarisi sawah
oleh orang tua,” papar pria yang
juga memiliki hewan ternak di
rumahnya itu.
Aktif di Kelompok Tani
Terjunnya Zainul dalam kelompok
tani bisa dibilang berawal dari
sebuah ketidaksengajaan.
Awalnya ia menanam anggrek di
pekarangan rumahnya. Tanaman
anggrek tersebut kemudian ia
ikutkan pameran tanaman hias
yang diadakan oleh Dinas
Pertanian Kabupaten Pasuruan.
Dari situlah petualangannya di
kelompok tani dimulai.
Hari terus berganti, Zainul kian
bersemangat untuk mengajak
masyarakat sekitar mengelola
tanaman anggrek. Lama-
kelamaan, masyarakat mulai
menaruh simpati kepada Zainul.
Lantas Zainul dipercaya untuk
mengelola Kelompok Tani Sari
Jaya 1 Desa Wonosari.
Kegigihan Zainul untuk terus
memperbaiki dan
mengembangkan kelompok tani
berlanjut dengan usahanya
memfasilitasi petani agar
mendapat bantuan atau
pelatihan-pelatihan. Halangan
dan rintangan tidak menyurutkan
semangatnya untuk terus belajar
hal-hal baru. Meskipun
kenyataannya banyak petani desa
menganggap apa yang ia
contohkan tidak bermanfaat, ia
tetap melanjutkan apa yang ia
yakini.
Sebagai ketua kelompok tani,
Zainul tanpa pamrih terus
mempromosikan minuman sari
buah salak Desa Wonosari. Salah
satunya adalah dengan ikut
pameran se-kecamatan.
Meskipun tidak mendapat hasil
maksimal, setidaknya ada usaha
bersama dari kelompok tani dan
juga menambah pengalaman
mengenai produk olahan pasca
panen.
Bukti perjuangan Zainul lainnya
juga terlihat dari usahanya
menularkan kegiatan pertanian
tanaman organik. Awalnya,
kegiatan pertanian organik belum
banyak diminati oleh para petani.
Kini, dengan ketulusan dan
kesabaran yang dilakukannya,
para petani banyak meniru apa
yang dilakukan oleh Zainul.
Selain menjadi ketua kelompok
tani, Zainul juga aktif dalam
organisasi sosial masyarakat,
yakni Gerakan Pemuda ANSOR.
Berangkat dari anggota pengurus
anak cabang Ansor, sekarang ia
menjadi sekretaris anak cabang
Ansor Gondangwetan. Selain di
Ansor, Zainul juga pernah
menjadi ketua BPD Desa
Wonosari. “Tetapi, hanya satu
periode. Karena di BPD marai
akeh pikiran, Mas,” ujar pria yang
juga pengurus KUD Wonosari ini.
Pandangan Zainul Tentang
Pertanian
Bagi Zainul, dibandingkan
dahulu, petani sekarang
sudah mendapatkan
banyak kemudahan seiring
dengan ilmu dan teknologi
yang semakin maju. Meski
begitu, perkembangan
teknologi yang kian deras
tidak semuanya ia makan
mentah-mentah. Dalam
kegiatan pertanian yang ia
lakukan, ia tetap
menggunakan teknologi
dan pengetahuan lama
yang dirasa masih baik
dan selaras.
Dalam benaknya, ia merasa miris
manakala melihat generasi hari ini
yang seolah enggan menjadi
petani. Banyak para pemuda
lebih memilih menjadi kuli
bangunan, buruh mebel dan
buruh pabrik karena masalah
uang. “Mungkin karena menjadi
petani itu hasilnya lama,
sedangkan buruh pabrik
bayarannya langsung per bulan,
Mas,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Zainul berharap
pengetahuan dan semangat
untuk menjadi petani terus
ditularkan kepada generasi muda.
“Tidak ada yang salah menjadi
seorang petani. Toh, andai petani
tidak ada, yang lain mau makan
apa?” tegasnya dengan tatapan
meyakinkan. [Very]
Tokoh
Tani
Inspiratif
16
20. Suara
Tani
17
elompok tani menjadi satu
Kwadah bagi para
anggotanya untuk
melakukan gerakan bersama
dalam usaha pertanian. Gerakan
ini umumnya berada pada ruang
yang sangat cair, para petani
saling bertukar gagasan dan
pengetahuan demi
perkembangan pertanian. Selain
itu, gerakan kelompok tani juga
merupakan wujud dari aktualisasi
program dari pihak ketiga atau
misi internal dari kelompok itu
sendiri. Oleh karenanya, keaktifan
kelompok tani bisa menjadi satu
tolak ukur untuk melihat sejauh
mana berkembangnya industri
pertanian di suatu wilayah atau
desa.
Kelompok tani di Desa Jatiarjo,
Kecamatan Prigen, Kabupaten
Pasuruan menjadi satu contoh
dinamika yang menarik untuk
diperbincangkan. Di desa ini
sedikitnya terdapat sepuluh
kelompok tani yang tersebar di
tiga dusun. Dari sepuluh
kelompok tersebut, lima di
antaranya merupakan kelompok
tani aktif. Subur Makmur 1, Subur
Makmur 2, Subur Makmur 3,
Sumber Makmur Abadi, dan Rejo
Tani adalah lima kelompok tani
yang Nampak aktif berkegiatan.
Keaktifan kelompok-kelompok ini
dapat dilihat melalui kegiatan dan
program yang dilaksanakan
secara rutin. Menariknya,
masyarakat desa ini merasa,
bahwa kelompok tani benar-
benar dapat menjadi sarana
pendorong peningkatan
perekonomian petani.
Di tengah kegiatan yang aktif
tersebut, kelompok tani di Desa
Jatiarjo masih menghadapi
masalah yang perlu untuk
disuarakan. Saat ini petani sedang
menghadapi satu desakan yang
nyata. Sebagaimana dinyatakan
oleh sebagian besar narasumber
dari Kelompok Tani Desa Jatiarjo,
mereka sepaham mengatakan
bahwa kondisi alam berubah-
ubah tidak menentu. Ditambah
lagi, penyempitan lahan
pertanian juga telah menjadi satu
permasalahan serius bagi desa
ini.
Kesepahaman ini menjadi titik
balik bagi petani Desa Jatiarjo
untuk berhimpun demi
menciptakan gerakan bersama.
Sebuah gerakan adaptif terhadap
kondisi lingkungan dan
pengembangan industri
pertanian. Gerakan tersebut
akhirnya melahirkan solidaritas
dalam wujud banyaknya
kelompok tani di desa ini.
Praktiknya, kelompok tani di Desa
Jatiarjo memang dapat
menunjukkan satu hasil kreatif
mengembangkan pertanian bagi
Membangun Kekuatan
Pertanian Melalui Kelompok Tani
21. masing-masing anggotanya.
Akan tetapi, beberapa hambatan dan masalah
disebutkan masih melilit kondisi kelompok tani
mereka. Di antaranya, belum adanya satu agenda
komunikasi antar kelompok tani, minimnya
pendampingan yang berkelanjutan dari pemerintah
dan pihak ketiga serta kesadaran petani yang masih
rendah dalam berkelompok.
Muchammad Ta'im, ketua Rejo Tani misalnya, Ia
begitu mengharap adanya forum yang dapat
mengumpulkan jejaring kelompok tani dari seluruh
penjuru Desa Jatiarjo. Sebab, selama ini forum yang
membahas pertanian hanya terdapat di masing-
masing kelompok tani. Pun demikian dengan
Murtolo, Kelompok Subur Makmur 2. Ia juga
mengharapkan satu forum dialog yang bisa menjadi
tempat berbagi gagasan antar kelompok tani.
Harapan ini kemudian juga ditegaskan oleh Sareh,
Kepala Desa Jatiarjo
“Selama ini memang belum
ada forum atau agenda
kumpul bareng antar
kelompok tani. Sebetulnya
saya sangat mengharapkan
adanya agenda seperti itu.
Karena melalui agenda
kumpul bareng, setidaknya
mereka punya misi bersama”
ungkapnya.
Pada aspek pendampingan, para petani yang
tergabung dalam berbagai kelompok tani juga
senada menyebutkan jika selama ini proses
pendampingan dari pihak ketiga atau pemerintah
hanya “mengejar target” . Ketika program telah usai,
sebagian besar mereka melepaskan diri, tanpa ada
kegiatan yang berlanjut. Proses pendampingan yang
berkelanjutan begitu diharapkan, karena sistem
pertanian yang baik tidak bisa dibentuk dengan
waktu yang cepat.
Para ketua kelompok tani di Jatiarjo juga menggaris
bawahi bahwa minimnya kesadaran dari para petani
menjadi tugas berat. Kesadaran tersebut adalah
terkait dengan kegiatan bertani secara inovatif. Hal
semacam ini dinyatakan oleh Hidayat, “nakhoda”
Kelompok Tani Sumadi. Ia mencotohkan ketika ada
inovasi dalam penanaman sayuran organik, petani
cenderung menunggu sejauh mana inovasi tersebut
menghasilkan pendapatan yang nyata. Setelah
terdapat bukti keberhasilan, mereka baru mau
bergerak. Dengan kata lain, kebanyakan petani takut
untuk mengambil risiko.
Dalam segi partisipasi politik, Sareh menyebutkan
bahwa selama ini memang belum ada anggaran
khusus terkait pertanian. Penyebabnya adalah pola
pikir masyarakat yang cenderung meminta
pembangunan infrastruktur dalam segi fisik saja.
Sehingga anggaran khusus terkait pertanian atau
yang berhubungan dengan peningkatan
kesejahteraan petani belum dialokasikan.
Melihat hambatan dan tantangan tersebut, maka
sebenarnya tersimpan harapan besar dari para
kelompok tani Jatiarjo. Ini tidak lepas dari komitmen
para pemangku kepentingan, kelompok tani dan
pemerintah desa untuk berbenah diri. Salah satu
upaya konkret yang akan dilakukan misalnya
membentuk forum dan agenda kumpul kelompok
tani. Dari agenda tersebut nantinya pemerintah desa
mengharapkan adanya usulan yang dikeluarkan oleh
kelompok tani kepada pemerintah desa. Sehingga,
aturan perencanaan desa yang bersifat pendek atau
jangka menengah memiliki kerangka khusus untuk
memfasilitasi kebutuhan para petani dan
kelompoknya.
Masa depan kelompok tani Jatiarjo menjadi satu
komitmen untuk digapai bersama. Satu pertegasan
bahwa saat ini petani juga memiliki mimpi untuk
mempertahankan eksistensinya di tengah jeratan
industrialisasi. Mimpi yang akan menjadi inspirasi
untuk mengembalikan dan mengembangkan sumber
daya alam negeri agraris yang melimpah ruah.
Bagaikan pepatah Jawa: “Memayu Hayuning
Bawana,” Memperindah Keindahan Dunia. Kiranya
sudah saatnya petani menentukan masa depan dan
menggapai mimpinya. [Luthfil]
Suara
Tani
18
22. Dewasa ini, terdapat peningkatan perhatian
pemerintah Indonesia pada dunia pertanian.
Peran petani sebagai produsen pangan,
menjadikan posisi mereka semakin penting dalam
kehidupan. Itikad baik meningkatkan produksi
pertanian dan memperbaiki kesejahteraan petani
mengarahkan pemerintah untuk menjadikan desa
sebagai ujung tombak pembangunan.
Jumlah penduduk yang meningkat berdampak pada
kebutuhan bahan pangan yang semakin besar. Hal ini
akan berakibat pada harga pangan bilamana tidak
diimbangi dengan peningkatan produksi pangan.
Semakin mahalnya harga pangan, ternyata tidak
berbanding lurus dengan kesejahteraan petani. Hal
ini, terjadi karena banyak faktor, di antaranya adalah
semakin mahalnya biaya produksi, mulai dari benih,
pupuk, peralatan sampai dengan pemasaran. Belum
lagi besarnya gempuran produk olahan dari negara
lain yang lebih murah.
Berbagai program dan upaya telah dilaksanakan
pemerintah Indonesia guna meningkatkan produksi
dan kesejahteraan petani. Melalui dinas-dinas terkait,
pemerintah memberikan bantuan peralatan dan
pendampingan. Pembangunan sarana dan prasarana
dilaksanakan secara besar-besaran, mulai
pembangunan infrastruktur jalan, peremajaan pasar-
pasar rakyat, bantuan permodalan, hingga
modernitas akses informasi petani.
Tantangan
Pengembangan
Pertanian
Perdesaan
Temuan di lapangan mengindikasikan perlunya
“intensifikasi” dan “ekstensifikasi” metode peningkatan
kesejahteraan petani. Sebagaimana temuan di Desa
Kalipucang, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan,
petani dan kelompok tani mengakui bahwa bantuan
dan perhatian pemerintah sangat besar. Berbagai
peralatan untuk mengolah hasil pertanian diberikan
oleh pemerintah. Ditambah pendampingan dan
pelatihan melalui dinas-dinas terkait.
Sayangnya perhatian tersebut juga diiringi dengan
beberapa permasalahan yang tidak bisa dikatakan
remeh. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari
petani dan kelompok tani, kemasan dan branding
produk menjadi masalah utama dalam proses pasca
panen. Petani harus bersaing langsung dengan
produk-produk industri besar dalam dan luar negeri
dengan kemasan yang jelas lebih baik.
Kemasan adalah hal pertama yang dilihat konsumen
untuk memilih produk. Konsumen akan tertarik pada
sebuah produk setelah melihat bungkus yang
menarik. Dalam hal mempromosikan produk, petani
baru bisa melakukannya melalui pameran yang
diadakan pemerintah daerah. Promosi dengan
metode lainnya termasuk melalui media online belum
bisa dilakukan oleh petani di Kalipucang.
Dalam hal kualitas produk, petani belum meramu dan
menghasilkan produk yang bermutu, baik dari segi
komposisi maupun nilai manfaatnya. Sejauh ini, yang
Suara
Tani
19
23. bisa dilakukan petani hanyalah
memanen lantas menjualnya kepada
pengepul atau tengkulak.
Dalam hal pemasaran, petani merasa
belum ada upaya dari pemerintah
untuk mengakomodir produk-produk
petani di pasar modern. Belum tersedia
titik-titik pemasaran produk-produk
lokal yang difasilitasi oleh pemerintah
secara berkelanjutan. Hal ini menjadi
kendala bagi petani untuk menjadikan
produk mereka berjaya di daerahnya
sendiri.
Manajerial usaha agrobisnis
juga masih menjadi kendala
dan keluhan kelompok tani
maupun petani. Dengan
pendampingan dari instansi
pemerintah, mereka dapat
memproduksi produk
pangan. Namun demikian,
sering kali tidak terdapat
pendampingan pada
manajemen usaha dan
pemasaran.
Turunnya minat generasi muda pada
sektor pertanian juga menjadi masalah
jamak yang terjadi di berbagai wilayah.
Sejauh ini belum ada program
pendampingan atau pelatihan
pertanian yang secara khusus
menyasar generasi muda.
Tantangan bidang pertanian memang
sangat beragam dan pelik. Tentunya ini
adalah renungan bersama yang harus
segera dicarikan jalan keluar. Kiranya
tantangan pertanian bukan hanya milik
petani, namun lebih dari itu, pelbagai
pihak harus ikut berperan serta dalam
melakukan pengembangan dan
peningkatan kualitas produk pertanian.
[Tri]
Belajarlah dari kupu-kupu, yang berusaha mengubah diri
dari sesosok ulat yang menjijikkan menjadi sebuah makhluk
yang teramat indah melengkapi keindahan bunga-bunga.
Belajarlah dari air yang meski terbentur pada bebatuan dan
berbagai aral rintangan, ia tetap teguh pendirian menuju satu
tujuan. Sebagai manusia, tentu sangat disayangkan jika kita tak
belajar dari alam yang telah memberikan ilmu bahkan hikmah
dalam setiap sisi kehidupan.
Indonesia sebagai negara kepulauan, beriklim tropis dengan
ribuan suku, mendapatkan titipan kekayaan luar biasa dari Tuhan.
Interaksi antar beragam karakter manusia dan berbagai jenis
kondisi alam menjadikan Indonesia memiliki budaya dan kearifan
keilmuan lokal yang beragam pula.
Selama satu bulan saya menetap di Desa Kalipucang, kecamatan
Tutur, Kabupaten Pasuruan untuk kepentingan penelitian sebelum
dilaksanakannya Program Pendidikan Agrobisnis Desa Inovatif.
Interaksi saya dengan kondisi alam dan masyarakat di desa ini
memberikan saya pengalaman yang luar biasa. Pengalaman yang
saya serap dari “maha guru” alam dan petani yang bekerja sama
untuk menghasilkan berbagai cara atau teknik dalam mengatasi
permasalahan kehidupan. Interaksi antar keduanya terjadi untuk
saling berbagi, saling menghargai dan saling menguntungkan satu
sama lain.
Berikut beberapa praktik dan ilmu pertanian yang saya temukan di
lapangan, yang justru tidak saya temukan di buku maupun di
bangku perkuliahan.
Belajar dari
Mahaguru
Alam
Semesta
Refleksi
Pengetahuan
20
24. Memeram Buah Alpukat dalam Beras
Dalam penelitian ini saya berkesempatan untuk
tinggal di rumah Mbah Manistri. Sebuah kebetulan
yang tak ternilai harganya. Selama tinggal di sana
saya berusaha untuk mengikuti seluruh aktivitas Mbak
Manistri dan Mbah Yamin, suaminya. Saya yakin
bahwa kedua orang tua Hariyono, Kepala Desa
Kalipucang ini memiliki pengalaman hidup dan ilmu
yang begitu banyak. Usia yang sudah hampir
menginjak kepala delapan tentu membuat keduanya
banyak memakan asam garam kehidupan sebagai
petani dan peternak.
Pada suatu pagi mbah Manistri memanggil Bunga,
salah seorang cucunya yang paling kecil. Ia meminta
bantuan cucunya untuk mempercepat pematangan
buah alpukat. Betapa terkejutnya saya dengan proses
pematangan buah alpukat yang dilakukan oleh
Bunga tersebut.
·Bunga memasukkan buah alpukat yang
diambil oleh Mbah Manistri dari kebun ke
dalam sebuah karung yang berisi beras.
·Setelah dua hari, Mbah Manistri kemudian
mengambil buah alpukat tersebut, dan
ternyata buah alpukat tersebut sudah
masak
Setelah saya pelajari lebih lanjut, alpukat memang
jenis buah yang tak bisa masak pohon. Buah ini harus
dipetik terlebih dahulu sebelum proses pematangan.
Dalam dunia akademik, proses pematangan semua
jenis buah terjadi karena adanya gas etilen yang
dikeluarkan oleh buah itu sendiri. Semakin banyak
gas etilen yang terkandung dalam buah, semakin
cepat pula proses pematangannya.
Dengan ditanamkan ke dalam beras, gas etilen yang
dikeluarkan buah alpukat akan 'terperangkap' di
sekeliling buah, sehingga alpukat menjadi semakin
cepat masak. Demikian cara orang Kalipucang
mematangkan buah alpukat. Berlainan dengan cara
ini, orang-orang di Eropa atau di Amerika juga
melakukan proses pematangan alpukat dengan cara
yang sedikit berbeda. Mereka membungkus buah
alpukat dengan kertas kemudian diikat. Saya akhirnya
dapat menyimpulkan satu hal baru lagi, mengenai
alasan kenapa buah pepaya sering dibungkus
dengan kertas koran. Selain menghindari gesekan
dan benturan, juga agar cepat masak.
Fermentasi Kopi Ala Luwak
Ketika bertemu dan berdiskusi dengan Karnadi, ada
pengalaman unik yang saya dapatkan. Untuk
mendapatkan kopi premium, Ketua Kelompok Tani
Dwi Tunggal ini meniru perilaku Luwak. Berikut
langkah-langkah yang ia kerjakan dalam
“memanipulasi” kopi biasa menjadi kopi premium.
·Karnadi memanen kopi dari pagi hari
hingga maksimal pukul 14:00 siang.
·Kopi matang merah yang baru ia panen
tersebut dikupasnya dengan mesin
pengupas.
·Setelah itu, ia akan melakukan fermentasi
dengan memasukkan kopi dalam kotak
dan menutupnya dengan kain goni basah
selama satu malam.
·Setelah satu malam, kopi dicuci bersih
lantas dilanjutkan dengan penjemuran di
atas para-para bambu.
·Setelah kering, kopi dapat disimpan atau
langsung digiling
Ternyata kombinasi antara biji kopi masak pohon
dengan fermentasi kain goni basah mampu
menghasilkan kopi dengan cita rasa premium mirip
dengan kopi luwak. Cara sederhana ini dapat
membantu membuat kopi dengan cita rasa premium
tanpa bantuan hewan luwak dan tanpa biaya yang
mahal tentunya.
Semoga beberapa refleksi pengetahuan ini, dapat
bermanfaat dan menambah wawasan pembaca. Lain
ladang, lain belalang mungkin adalah ungkapan yang
tepat untuk menggambarkan potensi kekayaan
keilmuan lokal yang ada di seluruh penjuru Indonesia.
Setiap masyarakat yang tinggal di tempat berbeda,
kondisi geografis berbeda dan sosial budaya yang
berbeda mempunyai cara atau teknik sendiri untuk
berproses bersama alam semesta dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup. [Tri]
Refleksi
Pengetahuan
21
25. esuburan alam Desa Jatiarjo, menjadikan tiga
Kjenis kopi tersebut tumbuh dengan subur. Kopi
di desa ini rata-rata ditanam di lahan
Perhutani. Terdapat sekitar 350 hektar lahan Perhutani
yang digarap oleh warga desa ini. Sebagaimana
penjelasan Rasub, ketua Kelompok Tani Subur
Makmur 3, setidaknya petani Desa Jatiarjo mampu
menghasilkan 10 ton kopi kering dalam setiap masa
panen.
Awal mula petani menggarap lahan hutan tidaklah
ditanami kopi, melainkan palawija. Akan tetapi
banyak terjadi konflik antara petani dan Perhutani
karena komoditas palawija tersebut. Sejatinya konflik
antara petani dan Perhutani tidak hanya terjadi di
Jatiarjo, konflik serupa juga terjadi di berbagai wilayah
di Indonesia.
HuMA (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologis) mencatat bahwa
hampir seluruh wilayah kerja Perum Perhutani
terutama di Pulau Jawa memiliki masalah konflik
terkait lahan. Sedikitnya terdapat 6.800 desa yang
terlibat konflik dengan Perhutani di Pulau Jawa.
(Sumber; huma.or.id)
Terjadinya konflik antara petani Desa Jatiarjo dengan
Perum Perhutani memang berawal dari berkurangnya
lahan pertanian di desa ini. Petani yang tidak lagi
mempunyai lahan garapan terpaksa membuka lahan
pertanian di hutan.
Dalam usaha menangani konflik atau pertikaian perlu
mempertemukan kepentingan dua kubu yang
sedang berkonflik. Lambat laun ditemukanlah cara
untuk menangani konflik antara petani dan Perhutani.
Petani boleh bercocok tanam di lahan Perhutani
asalkan tidak mengganggu tanaman tegakan. Adalah
kopi, sebuah komoditas yang dianggap tidak
mengganggu tanaman tegakan dan juga
menguntungkan bagi para petani. Maka kepentingan
Perhutani dengan tanaman tegakannya terwadahi
dan kepentingan warga dengan tanaman kopi juga
terpenuhi.
Kopi, berdasarkan penelitian ilmiah, merupakan
tanaman yang mampu menahan air. Kemampuan ini
hampir sama dengan tanaman tegakan hutan.
Dengan kata lain, fungsi tanaman kopi tidak jauh
berbeda dengan tanaman hutan. Sembari
menghasilkan uang, kopi juga membantu Perhutani
Kopi sebagai
Solusi
Kopi merupakan salah satu
komoditas paling populer di
kalangan masyarakat Indonesia.
Tanaman ini tumbuh tegak,
bercabang dan dapat mencapai
ketinggian hingga 12 meter. Dari
sekian banyak jenis kopi,
terdapat tiga jenis yang lazim
ditanam dan diperjualbelikan
yakni Arabica, Robusta dan
Liberica.
Refleksi
Pengetahuan
22
26. untuk menyimpan air dalam
tanah.
Berkat kopi, petani yang pada
mulanya banyak kehilangan lahan
garapan dan berkonflik dengan
Perhutani, kini hidup sejahtera.
Sejalan dengan hal itu, sejak
kemitraan petani kopi dan
Perhutani terjalin dengan
harmonis, kebakaran hutan nyaris
tidak pernah terjadi lagi. Rasa
memiliki dan kesadaran untuk
pelestarian hutan, tumbuh dalam
jiwa petani.
“Petani sekarang ikut melindungi
hutan dari kebakaran maupun
kerusakan. Kalaupun ada
kebakaran petani siap gotong-
royong untuk memadamkannya,”
ujar Syamsuri, salah seorang
petani penggarap lahan hutan.
Warga Desa Jatiarjo yang
menggarap lahan hutan
terhimpun dalam sebuah wadah
bernama Lembaga Masyarakat
Desa Hutan (LMDH) Ngudi
Lestari. Lembaga ini berfungsi
sebagai pengayom dan
penampung aspirasi petani
penggarap lahan hutan.
Sebagai informasi tambahan,
kopi Jatiarjo rata-rata ditanam
dengan sistem tumpang sari.
Tumpang sari adalah suatu sistem
penanaman campuran berupa
perlibatan dua jenis tanaman
atau lebih pada satu areal lahan
tanam dalam waktu bersamaan
atau agak bersamaan. Sistem ini
dirasa dapat memaksimalkan
potensi lahan pada areal hutan.
Dengan sistem ini tidak ada areal
lahan yang tidak termanfaatkan.
Hasil produksi pertanian semakin
beragam, penghasilan petani pun
semakin bertambah. [Aris]
S
esederhana apapun
perawatan dan perlakuan
yang harus dilakukan oleh
orang-orang Wonosari terhadap
salak (Salacca zalacca), jenis
tanaman ini tetap membutuhkan
pengetahuan yang mumpuni
agar berbuah. Mungkin orang-
orang lebih mengenal salak
pondoh dari Yogyakarta atau
salak Bali. Namun secara
keseluruhan, pohon berduri ini
harus diperlakukan sesuai dengan
kodrat kebotaniannya yang rumit.
Sebagai bagian dari tanaman
berbuah dengan jenis palem,
salak punya kecenderungan
berjenis kelamin jantan dan
betina. Salak tidak akan berbuah
apabila tidak terjadi perkawinan.
Hal ini mengakibatkan orang-
orang yang menanamnya harus
tahu cara mengawinkannya.
Perkawinan ini tidak akan terjadi
bilamana petani salak tidak
paham tanda-tanda perbedaan
jenis kelaminnya, apa yang bisa
diidentifikasi, dan bagaimana cara
mengawinkannya.
Rata-rata orang Desa Wonosari
yang di pekarangannya ditanami
salak tahu cara mengawinkan
salak. Mereka juga paham dan
mengenal apa saja beda salak
jantan dengan salak betina.
Pengetahuan ini berlangsung
lama sejak nenek moyang Desa
Wonosari. Meski belum diketahui
bagaimana salak sampai di Desa
Wonosari, orang-orang yang
Pengetahuan dan
Cita Rasa Salak
Wonosari
Refleksi
Pengetahuan
23
Sumber gambar: wartabromo.com
27. memiliki pohon salak dan berumur di atas 35 tahun
tahu cara mengawinkannya.
Menurut Khanafi, Kaur Pertanian Desa Wonosari,
“Ilmu dan pengalaman menanam salak sudah
menjadi warisan nenek moyang dulu, karena selain
untuk pertanian tanah kami juga sangat mendukung
untuk ditanami salak. Terbukti hampir semua rumah
warga di Desa Wonosari memiliki kebun salak,
meskipun luas lahannya tentu terbatas.” Dalam
penjelasan Khanafi, beserta konfirmasi pada
penduduk Desa Wonosari lainnya, mereka belajar
mengenai salak sejak kecil.
Di samping itu, tetua desa dulu juga mewariskan ilmu
mengolah salak menjadi jenang untuk
mempertahankan daya tahannya hingga berhari-hari.
Dengan demikian, Desa Wonosari sebagai salah satu
Desa Maslahat di Kabupaten Pasuruan seharusnya
terdorong untuk mengembangkan pengetahuan
tersebut ke wilayah yang lebih praktis dan
menambah pemasukan bernilai ekonomi.
Di rumah Khanafi terlihat banyak pohon salak yang
sedang berbunga. Ia sempat mempraktikkan
bagaimana cara mengawinkan salak setelah
menjelaskan perbedaan jenis kelamin dilihat dari
bentuk daun dan perawakan salak tersebut. Dalam
pemaparannya itu, ia dengan lihai memperagakan
bagaimana ia meletakkan bunga salak jantan di dekat
bunga salak betina.
Menurutnya, itu bagian paling mudahnya. Bagian
paling sulitnya adalah mengidentifikasi yang mana
bunga pohon salak jantan dan yang mana pohon
salak betina. Tanpa pengetahuan yang membutuhkan
bertahun-tahun pengalaman ini, tidak akan pernah
ada salak di pasar atau pusat-pusat penjualan buah.
Cara membedakan salak jantan dan betina, menurut
Khanafi ada dua cara yaitu dilihat dari biji dan
daunnya. Menurutnya salak betina adalah salak yang
di dalam buahnya ada anaknya.
“Jika di dalam buah salak ada tiga, dua ada bijinya
dan satu tidak ada bijinya (anaknya). Nah, yang dua
itu adalah betina. Sedangkan salak jantan adalah
salak yang ketiga buahnya ada bijinya semua”, jelas
Khanafi.
Lantas bagaimana mengetahui jenis kelamin salak
sebelum penyerbukan? Sambil menunjuk daun salak,
Khanafi menjelaskan bahwa pohon salak yang
memiliki daun panjang berjenis kelamin jantan,
sedangkan yang memiliki daun pendek-pendek dan
agak rapat adalah salak betina.
“Sampeyan lihat ini mas, daunnya panjang berarti ini
pejantan, sedangkan yang yang berdaun pendek dan
agak rapat di sebelah sana itu adalah betina,” terang
Khanafi sambil menunjuk pohon salak betina yang
dimaksud.
Menurut Khanafi pula, semua orang di Desa
Wonosari bisa disebut sebagai orang yang tahu
banyak tentang salak. Hal yang sama juga dikatakan
oleh Zainul, ketua Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) Desa Wonosari yang banyak bergelut di
bidang pertanian. Secara umum di Kecamatan
Gondangwetan, pengetahuan ini sangat kuat berlaku
turun-temurun.
Orang-orang melestarikan salak di
pekarangannya karena selain berbuah,
salak juga berfungsi sebagai pagar yang
kuat dengan duri-duri tajam. Itulah
mengapa banyak rumah di Desa
Wonosari dan desa-desa sekitarnya
dikelilingi pepohonan salak. Bahkan,
beberapa rumah di Dusun Ngepreng
dan Dusun Nuso hampir tidak kelihatan
karena ada di dalam rimbunan pohon
salak.
Pengolahan Pasca Panen
Produk-produk lokal pasca panen berbahan dasar
salak di Desa Wonosari, seperti jenang dan sari buah,
pernah dilakukan oleh industri rumah tangga setelah
melihat potensi salak yang melimpah. Roni dan Lilik,
pasangan suami-istri di Dusun Ngepreng yang
pernah mencoba mengelola jenang salak,
menjelaskan bahwa membuat jenang salak itu
mudah. Menurut mereka, pengolahan jenang
berbahan dasar salak diketahui oleh mayoritas orang
Desa Wonosari.
Roni, alumni Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
itu, mengembangkan jenang salak dan menjualnya
secara online. Baginya, setahun penjualan jenang
Refleksi
Pengetahuan
24
28. salak hasilnya memang tidak bisa dianggap gagal,
karena jenang buatannya berbeda dari biasanya,
ragam rasa yang ditawarkan menjadi daya tarik
tersendiri selain dari bahan dasarnya yang terbilang
tidak lumrah di tempat lain. Lokalitas yang terangkat
ke pasaran ini bisa menjadi ciri khas bagi Desa
Wonosari.
Untuk menjamin legalitas kesehatan dan
keamanannya, industri rumahan ini telah memiliki izin
usaha berupa Produk Industri Rumah Tangga (P-IRT)
meski hanya berlaku selama satu tahun. Kendala
keberlanjutannya ada pada pemasaran yang tidak
bisa diprediksi dengan baik fluktuasi permintaannya
dan musim salak yang hanya berlaku dua kali dalam
setahun.
Dua hal ini akan menjadi tantangan tersendiri
mengingat bahan dasarnya bisa diatasi dengan cara
mendapatkan dari desa lain dan pemasaran bisa
dilakukan dengan memperluas jangkauan promosi.
Pada akhirnya, modal tentu menjadi harapan utama
yang harus dikendalikan dengan memperhitungkan
biaya produksi dan distribusi.
Selain jenang, Rohman, warga Dusun Wonosalam,
dua tahun lalu memproduksi sari buah dan minuman
berbahan salak. Seperti Roni dan Lilik, Rohman
terkendala dengan modal yang terbatas, pemasaran
yang kurang masif, dan pengepakan yang kurang
menjanjikan. Kreativitas dan ide muncul saat produksi
ekstrak cair sirup salak tersebut dibuat. Rohman
mengaku telah mendapatkan izin dari Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sehingga ia
dengan meyakinkan menjelaskan bahwa produk sari
buah dan minuman tersebut aman dikonsumsi
hingga batas kedaluwarsa yang sudah diuji.
Pengetahuan lokal berhubungan dengan salak, dari
fungsi dan pendekatan untuk memperlakukannya,
sampai saat ini masih lestari dengan pembatasan
tertentu, yaitu kenyataan bahwa (1) pengetahuan ini
belum sepenuhnya tertransformasi ke generasi
berikutnya karena adanya keterancaman perubahan
profesi dan (2) kehadiran pohon sengon yang
dianggap lebih banyak menambah pemasukan di
sektor ekonomi masyarakat. Dua tantangan ini
menjadi fenomena tersendiri di antara semangat
para generasi tua Desa Wonosari yang menginginkan
agar pengetahuan tentang salak ini tetap ada. [Very,
Mahalli]
i tengah ekspansi industrialisasi
Ddi Pasuruan, sektor pertanian
t e r u s b e r t a h a n d a n
menghasilkan inovasi dan prestasi.
Terakhir, Kabupaten Pasuruan sudah
mendapatkan paten untuk komoditas
Mangga Gadung 21. Mangga Gadung
memang menjadi salah satu komoditas
unggulan di Kabupaten ini. Tentu saja
prestasi ini tidak didapatkan dalam waktu
sekejap. Apa rahasianya?
Tim Martani berkesempatan untuk menimba ilmu
kepada Ir. Ihwan, M.Si, Kepala Dinas Pertanian
Kabupaten Pasuruan pada Rabu siang (28/11/2016).
Banyak cerita dan pengalaman menarik dari sosok
yang sudah mengabdi hampir 28 tahun di Dinas
Pertanian Kabupaten Pasuruan ini. Berikut hasil
wawancara dengan Ir. Ihwan M.Si.
Pengalaman membanggakan apa yang bapak alami
selama mengabdi di Dinas Pertanian?
Suka dukanya banyak. Namun yang membanggakan
adalah saya menjadi saksi atas keberhasilan mangga di
Pasuruan. Awalnya di tahun 1994 ada program SAGU
(Sentra Pengembangan Agrobisnis Unggulan dari
Departemen Pertanian). Di Jawa Timur ada tiga lokasi
yakni Pasuruan, Situbondo dan Sampang. Saya jadi
Pimpro (Pimpinan Program) di Kabupaten Pasuruan.
Refleksi
Pengetahuan
25
Ir. Ihwan, M.Si: Jika
Petani Punya Kemauan,
Mereka Pasti Berhasil
29. Komoditas mangga dikembangkan di mana?
Saya dulu merekomendasikan 3 Kecamatan, Wonorejo,
Sukorejo dan Rembang. Dari ketiga tersebut, yang
berkembang sampai sekarang bagus ada di Rembang
dan Sukorejo. Bibit dan anggaran tersedia melalui
APBN. Kita mendapatkan data potensi memungkinkan
tanah di situ oke.
Apa kunci keberhasilan waktu itu?
Mengubah perilaku manusia. Apapun yang dilakukan,
kalau manusianya (petani) gak mau berubah ya tidak
akan berubah. Karena manusia itu kalau tidak disentuh
dengan keyakinan dan kebenaran kan susah.
Kebiasaan orang itu, kalau bicara belum tentu
dipercaya kan? Nah, untuk meyakinkan mereka saya
ajak praktek langsung. Sumber daya manusianya saya
perbaiki dulu, diajak belajar bersama.
Mangga juga begitu. Caranya saya sekolahkan dan
menitipkan ke perusahaan (budi daya). Satu kelas itu
satu angkatan 30 orang. Tidak hanya teori, lebih
banyak praktik langsung. Saya suruh menjual mangga
itu. Dengan mengubah mindset, bagaimana petani
yakin bahwa mangga itu mahal. Saya sampaikan ke
yang punya perusahaan. Pak, petani dilatih dan disuruh
menjual mangga kepada pembeli dan suruh setorkan
uang ke bendahara. Dia (petani) gak percaya mangga
kok harganya bisa tinggi.
Apakah langsung berhasil di tahun pertama?
Tentu bertahap. Butuh waktu tidak sebentar. Petani itu
tidak bisa kalau hanya dikasih teori. Prinsip mereka itu
yang penting bisa tanam, panen dan makan. Sudah
menurut dia (petani) itu sudah cukup. Diajak menanam
mangga butuh proses. Teknik budi daya sudah dia
kuasai, cara tanam, jarak tanamnya harus berapa,
lubang tanamnya kedalaman berapa, apa saja yang
diisi lubang dan sebagainya.
Kalau sudah tanam, bagaimana mangganya.
Bagaimana kalau sudah panen dan penjualannya
seperti apa. Tujuh tahun pertama, waduh belum bisa.
Banyak yang menjual hasil panen dengan sistem
borongan. Jadi, ada yang datang dari Surabaya, dari
mana-mana beli 1 hektar sebelum masa panen.
Lantas?
Akhirnya saya cari cara lagi. Saya bilang ke mereka,
“Bapak harus (dijual saat) masak pohon kalau ingin
kaya”. Kalau masak pohon, investor gak datang gak
masalah. Pembeli akan datang sendiri. Ternyata, begitu
mangga itu umurnya baru pentilan, sudah datang
orang mau borong seperti sebelumnya. Saya gak mau
kecolongan. Saya yang pesan sendiri mangganya. Saya
titip uang, saya ambil pada saat panen nanti. Harganya
berapa nanti ikut harga di pasaran. Saya ambil mangga
masak pohon. Memang kalau dibayangkan susah. Itu
titip uang hanya kepercayaan. Anggaran yang kami
alokasikan untuk itu sangat besar. Saya percaya aja.
Karena mereka sudah terbiasa begitu.
Strategi itu berhasil?
Cukup efektif. Sekarang sudah makmur, Mas. Buah
mangga mereka tidak mau dibeli kalau tidak masak
pohon. Dari petani yang gak punya mangga, sekarang
sudah menjadi juragan. Saya menjadi saksi atas
keberhasilan mereka. Dari jadi staf di Dinas Pertanian
hingga menjadi Kepala Dinas. Di situ saya merasa
sangat bangga dan bahagia.
Kebahagiaan seperti itu yang tidak bisa dinilai dengan
materi ya, Pak?
Iya. Dulu saya ajak susah. Sekarang saya tawarkan bibit
sudah banyak yang ngantri. Karena sudah liat
tanamannya pasti makmur. Jadi sekarang saya kalau
ngomong sama kelompok tani mangga, saya gak perlu
cerita. Bapak mau menjadi kaya? Mau, gimana
caranya? Tanya petani. Itu lihat temannya yang sudah
jadi. Ya toh? Itu bukan ratusan meter. Itu ribuan meter.
Nah kalau sekarang saya membeli mangga mahal
harganya. Pak Bupati beli mangga mahal.
Wawancara
26
Sumber foto: dinamikabangsa.blogspot.co.id
30. Nama Ir. Ihwan, M.Si
TTL Bima, Nusa Tenggara Barat, 3 Februari
1963
Jabatan Kepala Dinas Pertanian Kabupaten
Pasuruan
Pendidikan Insinyur Pertanian Universitas Merdeka
Malang (lulus 1987)
S2 Administrasi Publik Universitas
Merdeka Malang (lulus 2000)
Kalau sudah ada yang berhasil,
apakah pasti yang lain tergerak?
Begini saya kasih tahu. Petani itu
kebanyakan memang berbekal
tiga hal. mendengar, melihat dan
menirukan. Kalau ada penyuluhan,
mereka mendengar. Apakah
langsung dilakukan. Ya tidak.
Mereka harus melihat dulu. Kalau
ada hasilnya, dan mereka yakin,
baru melakukan dan meniru.
Seper ti cabai juga begitu.
Pasuruan ini kan awalnya tidak ada
pertanian cabai. Saya punya
pikiran, ini orang bagaimana
caranya agar berhasil. Saya cari di
daerah mana sih cabai yang paling
bagus? Yang sudah maju SDM-
nya. Akhirnya dapat informasi
Kediri dan Lumajang. Saya ajak
mereka ke Kediri.
Setelah pulang dari Kediri, oh
ternyata budi daya tanam cabe
dari dulu salah. Pulang dari Kediri,
saya kumpulkan lagi. Mereka
tertarik, wih bagus pak, katanya.
Saya tanya, ngerti caranya? Oh iya
saya coba. Berarti mereka mau
mencoba. Yang semula tadi
melihat itu, setelah melihat di sana
b a g u s d i a k a n s a m b i l
mendengarkan itu. Setelah
m e l a k s a n a k a n , a d a
kekurangannya yang harus
diperbaiki. Nyatanya juga bisa.
Yang benar itu begini diterapkan
sama mereka dan berhasil. Saya
fasilitasi bibit dan kebutuhan
lainnya. Sekarang sudah mulai
nampak hasilnya.
Cabai berhasil dikembangkan di
mana?
Gondangwetan dan Rembang.
Panen kemarin lumayan besar. Dan
mereka merasakan betul hasilnya.
Kemarin ada yang panen 70 juta
selama sebulan dengan lahan 1
Hektar. Modalnya 28 juta sekarang
sudah panen 70 juta. Untung tiga
kali. Sekarang tanam lagi dia dari
modal yang keuntungan tadi, di
kembangkan lagi. Tapi itu gak
modal lagi.
Selain cabai?
Banyak. paprika, krisan, sedap
malam. Itu dulu awalnya gak ada
apa apa. Yang namanya komoditas
paprika misalnya ini kan gak masuk
komoditas unggulan. Tapi
sekarang menjadi komoditas
unggulan Pasuruan. Perlu waktu 7
t a h u n . S e k a r a n g m e n j a d i
komoditas unggulan di Tutur.
Krisan juga begitu. Awalnya hanya
beberapa hektar. Sekarang
Pasuruan merupakan penghasil
krisan terbesar di Indonesia.
Bahkan dapat penghargaan dari
presiden. Intinya, jika petani punya
kemauan, pasti berhasil.
M e m b a n g u n k e p e r c a y a a n
bersama itu yang penting?
Jadi begini, kita mengikuti
bagaimana perilaku masyarakat
dan mau berubah yang kita ikuti
dan tujuan kita cuma satu,
bagaimana memakmurkan dia.
Sebenarnya ilmu bertani itu
mudah untuk ditularkan. Dan
mereka sebenarnya sudah punya
ilmu itu dari pengalaman. Cuma
terkadang, perlu motivasi dan
dukungan. Itulah mengapa saya
paling suka di lapangan, sampai
sekarang. Membantu petani perlu
ketulusan dan totalitas. Nah kalau
sudah seperti ini, kepercayaan itu
pasti mulai terbangun. PPL dan
mantri pertanian saya arahkan
untuk memiliki prinsip seperti itu.
[Rian]
Karier Staf PNS Dinas Pertanian Pasuruan (1989)
Kepala Sub Seksi Holtikultura (1994-1996)
Kepala Seksi Produksi (1996-1998)
Kepala Seksi Produksi Palawija (1998-2000)
Kepala Bidang Produksi (2000-2004)
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Pasuruan
(2004-Sekarang)
Keluarga Istri : Heny Anggriani, S.Pd (46 tahun)
Anak : Ariani Anisah Pratiwi (18 tahun)
Safira Ridho Nur Amalina (14 tahun)
Wawancara
27
31. alam analisis kelas di Indonesia, petani
Dmasuk dalam golongan proletariat atau
tenaga kasar. Para petani selalu menghadapi
ketidakpastian mulai dari kondisi alam, hasil tanaman
yang didapatkan, harga panen yang dimanipulasi
oleh tengkulak hingga tidak adanya jaminan negara
dalam mengatasi keterpurukan yang menimpanya.
Sejatinya, tanpa ada sentuhan dari pihak luar pun,
petani telah memiliki tatanan kehidupan yang mapan.
Mereka memiliki pengetahuan lokal (seperti cara
menanam, upacara adat, gotong royong, metode
panen dan sebagainya) yang telah teruji untuk
menghadapi permasalahan-permasalahan yang
dihadapi. Pengetahuan lokal petani ini mereka
dapatkan secara turun-temurun dari para leluhur.
Sayangnya, justru program pemberdayaan petanilah
yang sering kali mengancam hilangnya pengetahuan
lokal tersebut. Karenanya apabila pihak luar
(pemerintah, LSM, NGO) ingin melakukan upaya
penguatan sumber daya petani harus berpijak
terlebih pada nilai-nilai lokal yang ada.
Berbicara mengenai petani juga harus melibatkan
pembahasan mengenai sistem kehidupan mereka.
Petani sebagai komunitas yang sudah terhubung
dengan kehidupan kolektif di masyarakat pedesaan,
memiliki modal sosial sebagai akar yang kuat untuk
menjaga semangat gotong royong. Maka, dalam
mengubah wajah petani dan daerah pedesaan
menuju kondisi yang lebih baik, tentu dibutuhkan
model pengelolaan sumber daya yang tidak terlepas
dari kekayaan pengetahuan lokal asli petani. Berbagai
macam pengetahuan baru dari luar tentunya sangat
diperlukan untuk para petani. Namun demikian, harus
dilakukan upaya adaptasi dan “akulturasi
pengetahuan” agar tak mengubah nilai luhur
kehidupan petani.
Potensi Sumber Daya Pedesaan
Upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh
pemerintah kepada petani tak jarang menemui jalan
buntu. Kegiatan dengan anggaran yang begitu besar
sering kali tidak memberikan solusi konkret atas
permasalahan yang terjadi. Selama ini, kesalahan
yang dilakukan oleh pelaku pemberdayaan adalah
tidak pernah memberikan penguatan mental petani
dalam mengelola sumber daya yang mereka miliki.
Program pemberdayaan dan berbagai pelatihan
diberikan dari dan dengan cara pandang orang luar.
Apa yang dipandang penting oleh pelaku
pemberdayaan, itulah yang sering kali diberikan.
Petani yang sudah terlalu lama hidup dalam
keterpurukan, akhirnya memandang orang luar
sebagai pahlawan lantas menerima apapun yang
diberikan.
Sebagai sebuah ilustrasi, masyarakat petani di Jatiarjo,
Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan. Mereka
sempat mengalami kelesuan karena lahannya habis
terjual. Seiring berjalannya waktu, mereka bisa
mengatasi hal itu. Para petani yang kehilangan lahan
ini kemudian bernegosiasi dengan Perhutani untuk
bermitra dalam pengelolaan lahan hutan. Kini mereka
bangkit dari keterpurukan. Maka dari itu,
pemberdayaan petani tak cukup dengan melihat
permasalahan yang mereka hadapi, tapi juga perlu
menelisik beragam potensi yang tersimpan dalam diri
petani.
Dharmawan (2001) dalam bukunya yang berjudul
Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan
Lima Modal yang
Menguatkan
Petani
Oleh: A'la Fahmi** Asisten peneliti di program studi Sosiologi
Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor.
Opini
28
32. menjelaskan bahwa aktivitas dalam mendapatkan
potensi sumber daya dikenal dengan istilah strategi
nafkah. Strategi nafkah sendiri mengandung makna
segala kegiatan atau keputusan yang diambil untuk
bertahan hidup dan atau membuat hidup lebih baik.
Tujuan dari bertahan hidup ini adalah membangun
beberapa strategi untuk keamanan dan
keseimbangan mata pencaharian. Dalam melakukan
strategi bertahan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, rumah tangga memerlukan semacam
modal atau bisa dikatakan sumber nafkah. Terdapat
lima bentuk modal atau biasa disebut aset
penghidupan. Ellis (2000) dalam bukunya Household
Strategies and Diversity in Developing Countries,
merinci lima modal tersebut, sebagaimana dijelaskan
berikut:
Modal Fisik, merupakan modal yang berbentuk
infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan,
gedung, dan lain-lain.
Modal Manusia, adalah keterampilan, pengetahuan,
kesehatan, dan kemampuan yang dimiliki setiap
individu untuk mengelola berbagai sumber daya.
Modal Sosial, merupakan potensi sumber daya sosial
( jaringan, pernyataan sosial, hubungan sosial, afiliasi,
asosiasi) yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat
dalam menjalankan berbagai aktivitas penghidupan.
Modal Alam, adalah serupa sumber daya alam dan
jasa lingkungan, yang darinya nafkah diperoleh
untuk memenuhi kebutuhan. Contoh dari sumber
alam ini adalah tanah, air, udara, dan lainnya, siklus
hidrologi dan penyerapan polusi.
Modal Ekonomi, adalah modal dasar seperti
pinjaman, simpanan, dan semua aset ekonomi
termasuk infrastruktur dasar dan teknologi dan
perlengkapan produksi.
Berpijak pada konsep di atas, bahwa kelima modal
tersebut merupakan potensi dasar yang dimiliki oleh
desa yang sering dimanfaatkan oleh para petani.
Memberdayakan petani tak cukup dengan
mengetahui masalah, mencari sebab-sebabnya,
lantas mencarikan solusi. Memberdayakan petani
tentu akan lebih efektif jika didahului atas
pemahaman mengenai kelima modal di atas.
Untuk menggerakkan kelima modal tersebut
memang tidaklah mudah. Diperlukan kolaborasi yang
baik dari para pemangku kepentingan agar nilai-nilai
lokal yang terkandung tetap bisa berjalan tanpa
tergerus oleh nilai-nilai baru yang masuk. Dalam
kaidah fikih hal semacam ini terkait dengan sebuah
ungkapan “Al muhafadzatu 'ala al Qadimi al Shalih
wal akhdzu bi al Jadidi al Ashlah,” menjaga warisan
para pendahulu yang baik dan mengambil hal baru
yang lebih baik. Demikian pula dalam ilmu kebijakan
publik, hal ini disebut dengan strategi incremental,
“manambal baju yang sobek tanpa perlu mengganti
dengan kain yang baru.”
Rata-rata masyarakat petani di Indonesia
memang berada di wilayah pedesaan yang kaya akan
sumber daya dan kearifan lokal. Berbagai sumber
daya dan kearifan lokal inilah yang bisanya di
manfaatkan oleh para petani menjadi berbagai
produk mulai dari makanan khas ataupun kerajinan.
Di beberapa daerah di Indonesia seperti di Kota Batu
terdapat banyak sekali aneka keripik buah, di Nusa
Tenggara Timur terdapat tenun yang dibuat oleh
para istri petani ataupun biasanya di beberapa
daerah yang terdapat aliran sungai dijadikan sebagai
energi listrik.
Berpijak dari beberapa pemahaman teori di
atas, di wilayah Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi terdapat sebuah desa adat yang bernama
Kasepuhan Ciptagelar. Masyarakat di dalamnya rata-
rata juga merupakan petani. Dalam kehidupan
keseharian mereka diatur oleh nilai-nilai tradisi.
Masyarakat di wilayah ini menjunjung tinggi nilai-nilai
kearifan lokal dan rasa gotong royong. Semua
pembangunan desa dilakukan dengan cara gotong
royong mulai dari pembangunan jembatan,
pembangkit listrik tenaga air hingga aktivitas
pertanian.
Penerapan nilai-nilai kearifan lokal ini Nampak nyata
dalam cerminan pengelolaan sumber daya yang ada
di desa. Selama ini masyarakat memanfaatkan
sumber daya hutan yang ada di sekitar pemukiman
dengan aturan yang sangat bijak. Mereka tidak boleh
merambah hutan seenaknya. Juga terdapat
pembatasan wilayah mana yang boleh diakses
masyarakat dan wilayah mana yang terlarang. Dalam
bidang pertanian, mereka tidak diperbolehkan
menggunakan obat-obatan kimia, semuanya harus
dikerjakan dengan cara tradisional dan gotong
royong.
Opini
29
33. Di Kasepuhan Ciptagelar padi
mempunyai makna filosofis.
Masyarakat menganggap bahwa
komoditas ini merupakan
kehidupan itu sendiri. Karenanya,
hasil panen padi tidak boleh
diperjualbelikan di dalam maupun
di luar desa. Seluruh hasil panen
padi disimpan di lumbung
bersama. Lumbung tersebut
mampu menampung cadangan
beras untuk kebutuhan selama 2
tahun.
Meski menjaga tradisi, masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar tidak
menolak perkembangan teknologi
asalkan tidak bertentangan
dengan nilai-nilai yang mereka
genggam. Mereka memanfaatkan
teknologi dengan arif dan
bijaksana. Untuk mempermudah
akses informasi, mereka membuat
saluran radio dan televisi sendiri.
Khusus untuk saluran televisi,
mereka menambahkan saluran
lokal desa untuk melihat berbagai
acara yang pernah ada di dalam
desanya. Teknologi lain yang
diterapkan di desa ini adalah
penggunaan beberapa panel
surya dan pembangkit listrik
tenaga air untuk mendapatkan
pasokan listrik secara mandiri.
Dinamika kehidupan petani
memang tidak sesederhana yang
dibayangkan. Ada kompleksitas
yang menyelimuti kehidupan
mereka. Maka dari itu, masyarakat
petani tidak bisa dipandang secara
general. Mereka mempunyai latar
belakang sejarah yang sangat
beragam dan inilah yang
membuat petani dan desa menjadi
entitas yang khas.
Kalau sudah begini, masihkah
anda ragu pada kekuatan petani?
S
ekitar 28 kilometer arah Selatan dari pusat pemerintahan
Kabupaten Pasuruan, terdapat Desa Kalipucang. Secara teritorial,
Kalipucang berbatasan dengan Desa Sumberpitu di bagian utara,
di bagian timur berbatasan dengan Desa Janjang Wulung, sebelah
selatan dengan Desa Pungging dan Tutur, dan di sebelah barat dengan
Desa Dawuhan Sengon. Secara administratif Kalipucang masuk dalam
wilayah Kecamatan Tutur.
Kalipucang memiliki beragam potensi untuk dikembangkan. Di sektor
pertanian, sejak dulu Kalipucang masyhur sebagai penghasil kopi dan
cengkeh. Sedangkan di sektor peternakan, susu sapi perah menjadi
salah satu sumber utama penghasilan masyarakat desa.
Kopi, cengkeh dan susu sapi, menurut warga setempat memiliki sejarah
yang panjang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yamin, “Kopi,
cengkeh dan susu Kalipucang memiliki sejarah yang panjang sekali.
Bahkan, ketiganya merupakan saksi bisu masa penjajahan.”
Konon, sejarah susu perah di Kalipucang dimulai pada 1911 atau juga
bersamaan dengan masuknya Belanda ke wilayah Nongkojajar. Kala itu,
para Kompeni merasa kebingungan untuk mencukupi kebutuhan susu
yang minim, khususnya di sekitar Pasuruan. Atas dasar itu, para
pimpinan Belanda yang bertugas di Nongkojajar berkeinginan untuk
mendatangkan sapi perah dari negaranya.
Komoditas Warisan
Belanda
di Kalipucang
Tahukah
Anda ?
30
34. “Sebagaimana diketahui banyak
orang, Belanda merupakan salah
satu dari lima negara dengan tingkat
konsumsi tertinggi di dunia. Data
yang diterbitkan Intisari,
sebagaimana dilansir
Nationalgeographic.co.id pada
Januari 2014, menyebutkan bahwa
Belanda merupakan negara dengan
tingkat konsumsi terbesar ketiga di
dunia (320,15 kg/kapita per tahun).”
Niat tersebut akhirnya benar-benar terjadi. Belanda
membawa sapi perah ke wilayah Nongkojajar (atau
yang sekarang dikenal sebagai wilayah Kecamatan
Tutur) dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan
susu bagi orang-orang Belanda. “Jadi, dahulu itu ada
banyak sekali sapi yang dibawa ke sini. Sapi-sapi
tersebut diarak dan dipamerkan di benteng. Para
warga pribumi banyak yang berkumpul untuk melihat
sapi-sapi tersebut,” ujar Yamin yang lebih akrab
dipanggil Simbah.
Atas keberadaan sapi-sapi tersebut, masyarakat
setempat akhirnya juga ketiban sampur. “Masyarakat
asli dipaksa oleh orang-orang Belanda untuk
beternak sapi perah dan mengikuti kemauan kolonial
Pemerintahan Belanda. Padahal kan itu hal baru bagi
masyarakat di sekitar sini. Malangnya lagi, Kalipucang
adalah sentranya,” ungkap pria yang hampir
memasuki usia kepala delapan tersebut.
Hasil perahan susu tersebut diantar dengan jalan kaki
atau diangkut kuda menuju benteng. Susu-susu
tersebut kemudian oleh pihak Belanda digunakan
untuk memenuhi kebutuhan susu para anggotanya
yang ada di kawasan Pasuruan. Menurut Simbah,
para warga biasanya setor minimal seminggu sekali.
Tidak hanya susu, Belanda juga membawa dua jenis
tanaman baru ke Nongkojajar. Adalah kopi dan
cengkeh, jenis tanaman yang didatangkan jauh-jauh
dari Belanda. Walhasil, selain dipaksa untuk beternak
sapi, warga setempat diberikan tugas lain untuk
membudidayakan dua tanaman tersebut.
Sama halnya dengan susu, hasil panen kopi dan
cengkeh tersebut juga disetor minimal seminggu
sekali ke Nongkojajar. Beberapa waktu berlalu, pihak
Belanda merasa bahwa kopi dan cengkeh yang
ditanam di Kalipucang memiliki kekhasan aroma dan
rasa yang berbeda dengan komoditas yang sama di
tempat lainnya. Hal tersebut kemudian membuat
Belanda menaikkan jumlah setoran kopi dan cengkeh
warga
.
“Selalu ada hikmah dan
manfaat di balik sebuah
kejadian, sekalipun itu
adalah penjajahan.”
Hal tersebut muncul dari orang nomor satu di
Kalipucang. Hariyono, Kepala Desa Kalipucang,
menjelaskan bahwa sistem tanam paksa yang kala itu
dilakukan oleh Belanda membawa angin segar untuk
Kalipucang. Bagaimana tidak, melimpahnya susu,
kopi dan cengkeh di Kalipucang hari ini diyakini atau
tidak adalah efek dari Belanda. "Tidak ada yang benar
dari penjajahan. Namun begitu, besarnya hasil susu,
kopi dan cengkeh di Kalipucang adalah andil Belanda
juga," terang Hariyono.
Dalam perkembangannya, pelan tapi pasti
perkebunan dan pertanian di desa Kalipucang mulai
terkikis. Peternakan sapi perah menjadi pilihan utama
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Hal tersebut tentunya berimbas pada penggantian
komoditas pertanian dan perkebunan dengan
tanaman rumput sebagai bahan pangan utama
ternak sapi.
Kondisi tersebut dipastikan akan terus terjadi bahkan
meningkat jika melihat kebijakan pemerintah.
Terhitung 2015-2019, Kalipucang dijadikan sebagai
“Desa Susu” oleh pemerintah. Meski begitu, cerita
tragis antara masyarakat Kalipucang dan Belanda
akan terus diingat oleh para warga. Ialah susu, kopi
dan cengkeh yang menjadi mawar di antara
keduanya. Cerita tersebut akan terus berlanjut, turun-
temurun, pada waktu yang tiada batasnya. [Fahrul]
Tahukah
Anda ?
31
35. Resensi
Buku
32
Pangan adalah kebutuhan paling mendasar bagi
kelangsungan hidup manusia. Kebutuhan ini
tidak terikat oleh kondisi geografis ataupun
strata sosial. Karenanya, kecukupan pangan menjadi
indikator penting dalam membangun kesejahteraan
masyarakat.
Begitu pentingnya persoalan pangan, menjadikannya
sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia. Kini
kecukupan pangan dan keterbebasan dari kelaparan
telah diakui sebagai hak yang paling mendasar bagi
umat manusia.
Dalam konteks kehidupan bernegara, ketahanan
pangan menjadi indikator penting dalam
membangun ketahanan nasional. Pengalaman dari
perjalanan sejarah negara-negara di dunia telah
mencatat bahwa negara yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan pangan, niscaya tidak akan sanggup
membangun ketahanan nasionalnya. Sebaliknya,
negara yang sanggup memenuhi kebutuhan pangan,
cenderung berhasil dalam membangun ketahanan
nasional.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang
Pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai
“kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, dan terjangkau
serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan
dan kebudayaan untuk dapat hidup secara sehat,
aktif dan produktif secara berkelanjutan.”
Sebagai landasan awal untuk mengetahui
keseluruhan isinya, buku ini menjelaskan perbedaan
mendasar antara ketahanan pangan dan kemandirian
pangan. Ketahanan pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan dari negara sampai dengan
perseorangan. Adapun kemandirian pangan diartikan
sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi pangan yang beraneka ragam dari
dalam negeri, terutama dari kearifan lokal.
Sementara itu, daerah dapat disebut sebagai tahan
pangan jika ketersediaan pangan lebih besar dari
kebutuhan konsumsi terhadap pangan. Sebuah
daerah dikatakan mandiri pangan manakala 100
persen kebutuhan pangan pokok dapat dipenuhi dari
diproduksi internalnya. Sebaliknya, jika sebanyak 80
persen kebutuhan pangan pokok tidak dapat
diproduksi sendiri, maka daerah tersebut dikatakan
tidak mandiri pangan.
Indonesia sebagai negara agraris dengan wilayah
daratan yang luas, mempunyai potensi besar dalam
hasil produksi pertanian. Setiap provinsi di Indonesia
mayoritas wilayahnya adalah lahan pertanian dan di
setiap Kabupaten/Kota pun pasti terdapat lahan
pertanian. Menurut data dari Badan Ketahanan
Pangan di bawah Kementrian Pertanian, dari tahun
2010 hingga tahun 2014, hasil produksi padi
mengalami kenaikan sebesar 1,6 persen. Produksi
jagung mengalami kenaikan sebesar 1,1 persen,
sedangkan untuk hasil produksi kedelai juga
mengalami kenaikan sebesar 1.9 persen (sumber:
bkp.pertanian.go.id).
Meski hasil produksi pangan nasional cenderung
mengalami peningkatan, Tedy Dirhamsyah dalam
bukunya ini menilai bahwa peningkatan ketahanan
Membaca Dinamika Ketahanan,
Kemandirian dan
Kesejahteraan
Pangan di Jawa