Kegiatan pengadaan tanah dan permukiman kembali dalam suatu pembangunan tentunya tidak boleh ada yang dirugikan, sehingga diperlukan suatu kajian, serangkaian rembug dan kegiatan sosialisasi dengan warga terdampak proyek (WTP). Dari hasil tersebut maka akan melahirkan beberapa kesepakatan dan alternatif penanganan sehingga tidak meninmbulkan dampak negative baik bagi lingkungan maupun social.
Kegiatan tersebut merupakan serangkaian kegiatan (Land Acqusition and Resetlement Action Plan/LARAP)
Kegiatan pengadaan tanah dan permukiman kembali dalam suatu pembangunan tentunya tidak boleh ada yang dirugikan, sehingga diperlukan suatu kajian, serangkaian rembug dan kegiatan sosialisasi dengan warga terdampak proyek (WTP). Dari hasil tersebut maka akan melahirkan beberapa kesepakatan dan alternatif penanganan sehingga tidak meninmbulkan dampak negative baik bagi lingkungan maupun social.
Kegiatan tersebut merupakan serangkaian kegiatan (Land Acqusition and Resetlement Action Plan/LARAP)
Pendahuluan.
Pada era 1960 sejak berlakunya Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) , Badan Pertanahan Nasional mengalami beberapa kali pergantian penguasaan dalam hal ini kelembagaan. tentunya masalah tersebut berpengaruh pada proses pengambilan kebijakan. ketika dalam naungan kementerian agraria sebuah kebijakan diproses dan ditindaklanjuti dari struktur Pimpinan Pusat sampai pada tingkat Kantah, namun ketika dalam naungan Departemen Dalam Negeri hanya melalui Dirjen Agraria sampai ketingkat Kantah. disamping itu secara kelembagaan Badan Pertanahan Nasional mengalami peubahan struktur kelembagaan yang rentan waktunya sangat pendek.
Untuk mengetahui perubahan tersebut dibawah ini adalah sejarah kelembagaan Badan Pertanahan Nasional :
Tahun 1960 – 1970 :
– Tahun 1960 – 1963
Pada awal berlakunya UUPA, semua bentuk peraturan tentang pertanahan termasuk Peraturan Pemerintah masih di keluarkan oleh Presiden dan Menteri Muda Kehakiman. kebijakan itu ditempuh oleh pemerintah karena pada saat itu Indonesia masih mengalami masa transisi.
– Tahun 1963
tahun ketiga sejak berlakunya uupa,dibentuklah sebuah departemen pertanian dan agraria yang dipimpin oleh sadjarwo, S.H. pada saat itu pertanian dan agraria masih dalam satu naungan menteri pertanian dan agraria.
– tahun 1965
pada tahun 1965 agraria dipisah dan dijadikan sebagai lembaga yang terpisah dari naungan menteri pertanian dan pada saat itu menteri agraria dipimpin oleh R.Hermanses. S.H
– tahun 1968
Pada tahun 1968 secara kelembagaan mengalami perubahan.pada saat itu dimasukan dalam bagian departemen dalam negeri dengan nama direktorat jenderal agraria. selama periode 1968 – 1990 tetap bertahan tanpa ada perubahan secara kelembagaan begitupula dengan peraturan yang diterbitkan.
Tahun 1990 – 2000
– tahun 1990
pada periode ini kembali mengalami perubahan.agraria dipisah dan dijadikan sebagai lembaga tersendiri dengan nama menteri Negara agraria/badan pertanahan nasional yang kemudian dipimpin oleh Ir.Soni Harsono. pada saat itu terjadi perubahan yang signifikan karena merupakan awal terbentuknya badan pertanahan nasional.
– tahun 1998
Pada tahun ini masih menggunakan format yang sama dengan nama Menteri Negara agraria/badan pertanahan nasional.perubahan yang terjadi hanya pada puncuk pimpinan saja yakni Ir.Soni Harsono diganti dengan Hasan Basri Durin.
Tahun 2000 – 2010
– tahun 2002 – 2005
tahun 2002 kemudian mengalami perubahan yang sangat penting.pada saat itu badan pertanahan nasional dijadikan sebagai lembaga Negara.kedudukannya sejajar dengan kementerian.pada awal terbentuknya BPN RI dipimpin oleh Prof.Lutfi I.Nasoetion, MSc.,Ph.D
– tahun 2005 – 2010
pada tahun 2005 sampai saat ini BPN RI yang dipimpin oleh Joyo Winoto, Ph.D. dalam kurun waktu lima tahun tidak terjadi perubahan kelembagaan sehingga tetap pada format yang sebelumnya.
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA) di atur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negaranya.
Hak atas tanah akan berbeda dengan hak yang melekat pada tanah tersebut, dengan demikian ganti rugi yang diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu, namun demikian negara mempunyai wewenang untuk melaksanakan pembangunan sebagaimana di atur dalam peraturan perundang-undangan baik dengan pencabutan hak maupun dengan pembebasan tanah.
Kondisi tanah (terindikasi) terlantar di Indonesia saat ini cukup luas. Berdasarkan hasil identifikasi BPN pada tahun 2011, terdapat sekitar 7,3 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar; sedangkan tanah yang sudah dinyatakan terlantar adalah 459 bidang, yang luasnya mencakup 4,8 juta hektar. Luas tanah terlantar ini bertambah, karena data pada tahun 2007 tanah terlantar seluas 7,1 juta hektar di luar kawasan hutan. Tanah terlantar seluas itu sama dengan 14 kali luas wilayah Singapura. Data terakhir (2014), potensi tanah (terindikasi) terlantar mencapai 7,5 juta ha.
Data-data tersebut menunjukkan tanah (terindikasi) terlantar perlu ditangani sesegera mungkin dan penanganannya bersifat multi sektor. Dalam arti harus melibatkan kontribusi berbagai sektor yang terkait dan partisipasi aktif masyarakat, baik pemilik hak atas tanah maupun masyarakat yang berkepentingan pada penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Berbagai peraturan perundang-undangan telah dibentuk, kebijakan telah diambil untuk menangani masalah tanah terlantar, namun hasilnya masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Di era Orde Baru, telah ada Instruksi Mendagri No. 2 tahun 1982 tentang Penertiban Tanah Terlantar di Daerah Perkotaan yang Dikuasai oleh Badan Hukum/Perorangan yang tidak Dimanfaatkan/ Diterlantarkan,. Setelah itu kemudian terbit Keputusan Mendagri No. 268 tahun 1982 tentang Pokok-pokok Kebijakan Penertiban/Pemanfaatan Tanah yang Dicadangkan bagi dan/atau Dikuasai oleh Perusahaan-Perusahaan.
Di era Reformasi, muncul PP No. 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Keputusan Ka. BPN No. 24 tahun 2002 sebagai peraturan pelaksanaannya. Selanjutnya PP tersebut diganti oleh PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, dan ditindak lanjuti oleh Perkaban No. 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, dan Perkaban No. 5 tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar. Meskipun peraturan dan kebijakan telah dibentuk namun faktanya jumlah tanah (terindikasi) terlantar justru meningkat, sehingga upaya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar semakin jauh dari tujuan awalnya, yaitu mewujudkan keadilan agraria. dalam kerangka reforma agraria.
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/KotaPenataan Ruang
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No : 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota - Batang Tubuh RDTR
Pendahuluan.
Pada era 1960 sejak berlakunya Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) , Badan Pertanahan Nasional mengalami beberapa kali pergantian penguasaan dalam hal ini kelembagaan. tentunya masalah tersebut berpengaruh pada proses pengambilan kebijakan. ketika dalam naungan kementerian agraria sebuah kebijakan diproses dan ditindaklanjuti dari struktur Pimpinan Pusat sampai pada tingkat Kantah, namun ketika dalam naungan Departemen Dalam Negeri hanya melalui Dirjen Agraria sampai ketingkat Kantah. disamping itu secara kelembagaan Badan Pertanahan Nasional mengalami peubahan struktur kelembagaan yang rentan waktunya sangat pendek.
Untuk mengetahui perubahan tersebut dibawah ini adalah sejarah kelembagaan Badan Pertanahan Nasional :
Tahun 1960 – 1970 :
– Tahun 1960 – 1963
Pada awal berlakunya UUPA, semua bentuk peraturan tentang pertanahan termasuk Peraturan Pemerintah masih di keluarkan oleh Presiden dan Menteri Muda Kehakiman. kebijakan itu ditempuh oleh pemerintah karena pada saat itu Indonesia masih mengalami masa transisi.
– Tahun 1963
tahun ketiga sejak berlakunya uupa,dibentuklah sebuah departemen pertanian dan agraria yang dipimpin oleh sadjarwo, S.H. pada saat itu pertanian dan agraria masih dalam satu naungan menteri pertanian dan agraria.
– tahun 1965
pada tahun 1965 agraria dipisah dan dijadikan sebagai lembaga yang terpisah dari naungan menteri pertanian dan pada saat itu menteri agraria dipimpin oleh R.Hermanses. S.H
– tahun 1968
Pada tahun 1968 secara kelembagaan mengalami perubahan.pada saat itu dimasukan dalam bagian departemen dalam negeri dengan nama direktorat jenderal agraria. selama periode 1968 – 1990 tetap bertahan tanpa ada perubahan secara kelembagaan begitupula dengan peraturan yang diterbitkan.
Tahun 1990 – 2000
– tahun 1990
pada periode ini kembali mengalami perubahan.agraria dipisah dan dijadikan sebagai lembaga tersendiri dengan nama menteri Negara agraria/badan pertanahan nasional yang kemudian dipimpin oleh Ir.Soni Harsono. pada saat itu terjadi perubahan yang signifikan karena merupakan awal terbentuknya badan pertanahan nasional.
– tahun 1998
Pada tahun ini masih menggunakan format yang sama dengan nama Menteri Negara agraria/badan pertanahan nasional.perubahan yang terjadi hanya pada puncuk pimpinan saja yakni Ir.Soni Harsono diganti dengan Hasan Basri Durin.
Tahun 2000 – 2010
– tahun 2002 – 2005
tahun 2002 kemudian mengalami perubahan yang sangat penting.pada saat itu badan pertanahan nasional dijadikan sebagai lembaga Negara.kedudukannya sejajar dengan kementerian.pada awal terbentuknya BPN RI dipimpin oleh Prof.Lutfi I.Nasoetion, MSc.,Ph.D
– tahun 2005 – 2010
pada tahun 2005 sampai saat ini BPN RI yang dipimpin oleh Joyo Winoto, Ph.D. dalam kurun waktu lima tahun tidak terjadi perubahan kelembagaan sehingga tetap pada format yang sebelumnya.
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA) di atur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negaranya.
Hak atas tanah akan berbeda dengan hak yang melekat pada tanah tersebut, dengan demikian ganti rugi yang diberikan atas tanah itu juga menentukan berapa besar yang harus diterima dengan adanya hak berbeda itu, namun demikian negara mempunyai wewenang untuk melaksanakan pembangunan sebagaimana di atur dalam peraturan perundang-undangan baik dengan pencabutan hak maupun dengan pembebasan tanah.
Kondisi tanah (terindikasi) terlantar di Indonesia saat ini cukup luas. Berdasarkan hasil identifikasi BPN pada tahun 2011, terdapat sekitar 7,3 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar; sedangkan tanah yang sudah dinyatakan terlantar adalah 459 bidang, yang luasnya mencakup 4,8 juta hektar. Luas tanah terlantar ini bertambah, karena data pada tahun 2007 tanah terlantar seluas 7,1 juta hektar di luar kawasan hutan. Tanah terlantar seluas itu sama dengan 14 kali luas wilayah Singapura. Data terakhir (2014), potensi tanah (terindikasi) terlantar mencapai 7,5 juta ha.
Data-data tersebut menunjukkan tanah (terindikasi) terlantar perlu ditangani sesegera mungkin dan penanganannya bersifat multi sektor. Dalam arti harus melibatkan kontribusi berbagai sektor yang terkait dan partisipasi aktif masyarakat, baik pemilik hak atas tanah maupun masyarakat yang berkepentingan pada penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Berbagai peraturan perundang-undangan telah dibentuk, kebijakan telah diambil untuk menangani masalah tanah terlantar, namun hasilnya masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Di era Orde Baru, telah ada Instruksi Mendagri No. 2 tahun 1982 tentang Penertiban Tanah Terlantar di Daerah Perkotaan yang Dikuasai oleh Badan Hukum/Perorangan yang tidak Dimanfaatkan/ Diterlantarkan,. Setelah itu kemudian terbit Keputusan Mendagri No. 268 tahun 1982 tentang Pokok-pokok Kebijakan Penertiban/Pemanfaatan Tanah yang Dicadangkan bagi dan/atau Dikuasai oleh Perusahaan-Perusahaan.
Di era Reformasi, muncul PP No. 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Keputusan Ka. BPN No. 24 tahun 2002 sebagai peraturan pelaksanaannya. Selanjutnya PP tersebut diganti oleh PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, dan ditindak lanjuti oleh Perkaban No. 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, dan Perkaban No. 5 tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar. Meskipun peraturan dan kebijakan telah dibentuk namun faktanya jumlah tanah (terindikasi) terlantar justru meningkat, sehingga upaya penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar semakin jauh dari tujuan awalnya, yaitu mewujudkan keadilan agraria. dalam kerangka reforma agraria.
Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/KotaPenataan Ruang
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No : 20/PRT/M/2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota - Batang Tubuh RDTR
Artikel Kelembagaan Pengelolaan Agraria dan Pendaftaran Tanah di Kantor Perta...ApriAndana
Artikel Kelembagaan Pengelolaan Agraria dan Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kota Jambi
Mata Kuliah Hukum Agraria
Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Jambi
Dosen Pengampu Mata Kuliah:
1. Prof. Dr. Elita Rahmi, S.H., M.Hum.
2. Ivan Fauzani Raharja, S.H., M.H.
Mahasiswa Kelas C:
1. Apri Andana (NIM
B1A122131)
2. Danu Pranata Andora (NIM B1A122149)
3. Muhammad Khalif Akbar Taufik
(NIM B1A122103)
4. Silvester Ambrosius Manahan S. (NIM B1A122102)
Contoh Kegiatan Good Governence Fenti Anita SariFenti Anita Sari
Hubungan tanah dengan manusia adalah sangat erat, dimana tanah sebagai benda tetap, akan selalu utuh dan selalu abadi yang tidak akan musnah di permukaan bumi kecuali adanya hari akhir.
Karena hal itu, maka setiap perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah, misalnya pembuatan sertifikat tanah, di perlukan suatu instansi yang mengurusnya, seperti camat,/PPAT dan BPN, supaya tidak terjadinya peristiwa hukum dalam penggunaan hak atas tanah, seperti banyak terjadi di Indonesia.
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
pembangunan terkesan memanfaatkan tanah pertanian yang ditengarai dapat mengurangi produksi pangan. dengan demikian, dibutuhkan upaya yang masif agar pengalihan lahan pertanian tidak terjadi tanpa pengendalian.
Merengkuh kota ramah pejalan kaki dan Pesepeda. Pembelajaran Mancanegara dan ...Oswar Mungkasa
perkotaan mengalami banyak masalah disebabkan demikian intensifnya penggunaan moda kendaraan bermotor. sudah saatnya melirik alternatif lain yang lebih berkelanjutan yaitu moda berjalan kaki dan bersepeda
selama ini skema yang diperkenalkan adalah 3 R (Reuse, Reduce Recycle) kemudian dengan berkembangnya konsep ekonomi sirkuler maka berkembang pula skema lebih baru yang dikenal sebagai upcycling.
Green infrastructure in jakarta basic understanding and implementation effort...Oswar Mungkasa
The implementation of green infrastructure (GI) in Indonesia accelerated by public awareness of the importance of conservation of natural resources and ecosystems. One of the Indonesian government’s efforts to apply the principles of GI in urban areas in a structured and massive manner is through the Green City Development Program (P2KH) Ministry of Public Works and Public Housing (PUPR). The approach taken is Green Planning and Design, Green Open Space, Green Energy, Green Water, Green Waste, Green Building, Green Transportation, Green Community. The city that is the case study for discussion is Jakarta. Jakarta Smart City, Green Buildings, Urban Agriculture, and Child Friendly Integrated Public Space (RPTRA) are programs that successfully implemented. The implementation GI program easily accepted if based on the community.
Tata Kelola Kolaboratif dalam Desain Kebijakan Publik. Studi Kasus Pelaksanaa...Oswar Mungkasa
artikel ini didasarkan pada kenyataan bahwa tata kelola kolaboratif telah diadopsi dalam hampir seluruh dokumen pebangunan di Indonesia namun dalam kenyataannya masih belum sepenuhnya dapat dilaksanakan. untuk itu, makalah ini mencoba memetakan kondisi yang ada berdasar pada pembelajaran maupun studi kasus pelaksanaan SDGs di indonesia. kemudian memberikan pilihan langkah strategis dalam uaya memperkuat tata kelola kolaboratif di indonesia
Fakta, Isu dan SAran Penyempurnaan BP TAPERAOswar Mungkasa
oleh Oswar Mungkasa
FGD Daring Optimalisasi Peran, Fungsi dan Pelayanan Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP-TAPERA) bagi Penerima Manfaat Paska
Housing and Urban Development Institute
Jakarta, 24 Juni 2020
LAPORAN. Memori Akhir Jabatan Koordinator Pelaksanaan Program Strategi Ketaha...Oswar Mungkasa
disiapkan sebagai bagian dari pertanggungjawaban dan keterbukaan informasi publik
Kolobarasi yang berkelanjutan adalah kunci
mewujudkan Ketahanan Kota Jakarta”
Oswar M. Mungkasa
Presentation. Collaboration Towards A Resilient JakartaOswar Mungkasa
Collaborative approach in solving issues of Jakarta to build resilience
Oswar Mungkasa (Former Chief Resilient Officer of Jakarta 100 Resilient Cities Program)
Advocacy Forum on Giving Inputs to the Implementation of the New Urban Agenda in Myanmar - CORDAID Yangon, 22nd January 2020
Pengenalan konsep saleh sosial dalam pembangunan sanitasiOswar Mungkasa
Tulisan ini disiapkan untuk memeriahkan ajang NTU (Nugroho Tri Utomo) Writing Contest for Water and Sanitation 2019 bertema Menuntaskan Akses Sanitasi dan Air Minum Aman Berkelanjutan 2024 yang diselenggarakan oleh Jejaring Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL).
Suplemen HUD Magz Edisi 5 /2015. Kota BATAM Menyongsong MEA 2015
Kebijakan Umum Pengadaan Tanah di Indonesia
1. Oleh : Kintot Eko Baskoro
DIREKTORAT PENGATURAN DAN PENGADAAN TANAH PEMERINTAH
DEPUTI BIDANG HAK TANAH DAN PENDAFTARAN TANAH
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
2. LATAR BELAKANG
1. Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan
UUD Negara RI tahun 1945, pemerintah perlu
melaksanakan pembangunan.
2.Untuk menjamin terselenggaranya pembangunan
untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang
pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan
prinsip kemanusiaan, demokratis dan adil.
3.Peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan
tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum
belum dapat menjamin perolehaan tanah untuk
pelaksanaan pembangunan.
3. PENGADAAN TANAH
Dasar Hukum :
1. Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tanggal 14 Januari 2012;
2. Peraturan Presiden No. 71 tahun 2012 tanggal 7 Agustus
2012;
3. Permendagri No. 72 tahun 2012 tanggal 7 November 2012.
4.Peraturan Kepala BPN No. 5 tahun 2012 tanggal 30
Oktober 2012;
5. Peraturan Menkeu No. 13/PMK.01/2013 tanggal 4 Januari
2013.
4. KETENTUAN UMUM
1. Instansi
adalah lembaga negara, kementerian dan lembaga
pemerintah non kementerian, pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan Badan Hukum
Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapat
penugasan khusus Pemerintah.
2. Pengadaan Tanah
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada
pihak yang berhak.
3. Pihak yang Berhak
adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek
pengadaan tanah.
5. 4. Objek Pengadaan Tanah
adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah,
bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan
tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
5. Hak atas tanah
adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dan hak lain yang akan
ditetapkan dengan undang-undang.
6. Kepentingan umum
adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
6. 7. Hak Pengelolaan
adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepeda
pemegangnya.
8. Konsultasi Publik
adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah
antar pihak yang berkepentingan guna mencapai
kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum.
9. Pelepasan hak
adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari
pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga
Pertanahan.
7. 10. Ganti kerugian
adalah penggantian yang layak dan adil kepada pihak
yang berhak dalam proses pengadaan tanah.
11. Penilai Pertanahan/penilai
adalah orang perseorangan yang melakukan penilaian
secara independen dan profesional yang telah
mendapat izin praktek penilaian dari Menteri
Keuangan dan telah mendapat lisensi dari Lembaga
Pertanahan untuk menghitung nilai/harga objek
pengadaan tanah.
12. Pemerintah pusat/pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. 13. Pemerintah Daerah
adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah
daerah.
14. Lembaga Pertanahan
adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,
lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertanahan.
9. 18 JENIS KEPENTINGAN UMUM
1. Pertahanan dan keamanan nasional
2. Jalan umum, jalan tol, terowongan,
jalur kereta api, stasiun kereta api, dan
fasilitas operasi kereta api.
3. Waduk, bendungan, bendung, irigasi,
saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan
bangunan pengairan lainnya.
4. Pelabuhan, bandar udara dan
terminal.
5. Infrastruktur minyak, gas, dan panas
bumi.
6. Pembangkit, transmisi, gardu,
jaringan, dan distribusi tenaga listrik.
7. Jaringan telekomunikasi & informatika
pemerintah.
8. Tempat pembuangan & pengolahan
sampah.
9. Rumah sakit pemerintah/
pemerintah daerah.
10.Fasilitas keselamatan umum
11. Tempat pemakaman umum
pemerintah/pemerintah daerah
12. Fasilitas sosial, fasilitas umum dan
ruang terbuka hijau publik.
13. Cagar alam & cagar budaya.
14. Kantor pemerintah/pemerintah
daerah/desa.
15. Penataan permukiman kumuh
perkotaan &/atau konsolidasi
tanah, serta perumahan untuk
masyarakat berpenghasilan
rendah dengan status sewa.
16. Prasarana pendidikan atau
sekolah pemerintah/pemerintah
daerah.
17. Prasarana olahraga pemerintah/
pemeritah daerah dan
18. Pasar umum dan lapangan parkir
umum
10. TAHAPAN PENGADAAN TANAH
1. Perencanaan (Instansi & pemerintah daerah)
2. Persiapan (Pemprov/instansi penetapan lokasi
Gubernur)
3. Pelaksanaan (BPN RI)
4. Penyerahan hasil (BPN RI)
11. PERENCANAAN
Dibuat oleh instansi yang memerlukan tanah &
dituangkan dalam Dokumen Perencanaan yang
memuat :
1. Maksud dan tujuan rencana pembangunan.
2. Kesesuaian dgn RTRW, Rencana Pemb. Nasional
& daerah.
3. Luas tanah.
4. Letak tanah.
5. Status tanah.
6. Perkiraan waktu pelaksanaan
7. Perkiraan Nilai Tanah.
8. Penganggaran
12. DOKUMEN PERENCANAAN
Disusun berdasarkan :
1. Studi kelayakan sesuai peraturan perundangan.
2.Ditetapkan oleh instansi yang memerlukan tanah.
3.Dokumen diserahkan kepada Pemprov/Gubernur.
13. PERSIAPAN PENGADAAN TANAH
Instansi bersama Pemprov melaksanakan :
1. Pemberitahuan rencana pembangunan kpd.
masyarakat (langsung/tidak langsung).
2.Pendataan Awal lokasi renc. pembangunan
(dalam jw. 30 hari)
3.Konsultasi Publik renc. pembangunan
(dalam jw. 60 hari kerja, konsultasi publik ulang jw.
30 hari kerja apabila ada pihak yang keberatan)
14. KONSULTASI PUBLIK
1. Untuk mendapatkan kesepakatan lokasi
pembangunan.
2.Melibatkan pihak yang berhak.
3.Apabila terjadi kesepakatan, maka instansi
mengajukan penetapan lokasi kpd. Gubernur.
4.Gubernur memutuskan Penetapan lokasi selama 2
tahun dan dpt diperpanjang 1 x untuk 1 tahun.
15. TIM KAJIAN
1. Dibentuk oleh Gubernur.
2.Apabila terdapat keberatan dari masyarakat.
3.Tugas Tim Kajian :
a. menginventarisasi masalah.
b. melakukan pertemuaan dgn masyarakat.
c. membuat rekomendasi diterima/ditolak
keberatan kpd Gubernur.
d. keberatan diterima Gubernur, maka lokasi
pembangunan batal dilaksanakan/instansi harus cari
lokasi lain.
e. Jika keberatan ditolak PTUN MA
16. PELAKSANAAN DATAN
1. Oleh Kakanwil BPN Provinsi selaku Ketua.
2. Dapat memobilisasi pegawai Kanwil BPN.
3. Kakanwil BPN dapat menugaskan Kepala Kantor
Pertanahan sbg. Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
17. PENUGASAN KEPALA KANTOR
PERTANAHAN SBG KETUA
1. Dgn pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi
geografis dan SDM.
2. Pengadaan tanah dalam 1 (satu) wilayah kab/kota.
3. Dgn keputusan Kakanwil BPN Provinsi.
4. Tembusan SK kpd. Gubernur, Bupati/Walikota,
instansi yg memerlukan tanah.
5. Dilaporkan kpd Kepala BPN RI.
18. SUSUNAN PANITIA PENGADAAN TANAH PROVINSI
1. Kakanwil BPN sebagai Ketua.
2.Kabid HTPT atau eselon III yang ditunjuk sebagai
Anggota.
3. Kakantah di lokasi Pengadaan Tanah sebagai
Anggota.
4. Pejabat SKPD Prov./eselon III urusan Pertanahan
atau yang ditunjuk sebagai Anggota.
5. Pejabat SKPD Kab/Kota/eselon III urusan Pertanahan
atau yang ditunjuk sebagai Anggota
6. Camat, sebagai Anggota.
7.Lurah/Kades sbg Anggota.
8.Kasi Pengaturan Tanah Pemerintah/pjbt eselon IV yg
ditunjuk sbg Sekretaris/Anggota.
19. SUSUNAN ANGGOTA PENGADAAN TANAH,
KANTOR PERTANAHAN
1. Kakan Pertanahan sbg Ketua.
2. Kasi HTPT/pjb eselon IV yang ditunjuk sbg Anggota.
3. Pejabat SKPD Kab/Kota eselon IV/urusan
pertanahan sbg Anggota.
4. Camat/nama lain sbg Anggota.
5. Lurah/Kepala Desa/nama lain sbg. Anggota.
6. Kasubsi Pengaturan Tanah Pemerintah/pjb yang
ditunjuk sbg Sekretaris rangkap Anggota.
20. SATGAS PENGADAAN TANAH
Dibentuk oleh ketua terdiri :
1. Satgas A.
inventarisasi dan identifikasi data fisik
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah.
2. Satgas B.
inventarisasi dan identifikasi data Pihak yang
Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.
21. Satgas A,B terdiri dari 1 Ketua dan paling kurang 2
orang anggota.
1. Satgas A
Ketua dan anggota pegawai BPN,
kemampuan dibidang survei, pengukuran dan
pemetaan. Bila diperlukan Ketua Pengadaan Tanah
dpt mengangkat surveyor berlisensi.
2. Satgas B
Ketua dan anggota pegawai BPN,
kemampuan di bidang pertanahan, hukum,
manajemen dan pemetaan. Bila diperlukan Ketua
Pengadaan Tanah dpt menambah anggota dari
instansi teknis terkait.
22. Tugas Satgas A meliputi :
a. pengukuran batas keliling lokasi pengadaan
tanah.
b. pengukuraan bidang per bidang.
c. menghitung, menggambar bidang per bidang dan
batas keliling.
d. pemetaan bidang per bidang dan batas keliling
bidang tanah.
23. Tugas Satgas B, melaksanakan pengumpulan data paling
kurang meliputi :
a. Nama, pekerjaan, dan alamat Pihak yang Berhak;
b. Nomor Induk Kependudukan atau identitas diri lainnya Pihak yang
Berhak;
c. Bukti penguasaan dan/atau kepemilikan tanah, bangunan,
tanaman, dan/atau benda yang berkaitan dengan tanah;
d. Letak tanah, luas tanah dan nomor identifikasi bidang;
e. Status tanah dan dokumennya;
f. Jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah;
g. Penguasaan dan/atau kepemilikan tanah, bangunan, dan/atau
benda lain yang berkaitan dengan tanah;
h. Pembebanan hak atas tanah; dan
i. Ruang atas dan ruang bawah tanah.
24. Hasil Identifikasi dan Inventarisasi Satgas, diumumkan
selama 14 hari kerja pada :
1. Kantor kelurahan/desa/nama lain.
2. Kantor kecamatan.
3. Lokasi pembangunan.
Apabila ada keberatan dari pihak yang berhak, Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan verifikasi dan
perbaikan Peta Bidang Tanah/atau Daftar Nominatif.
25. PENILAI TANAH
1 Ditetapkan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan
Tanah, setelah memenangkan pelelangan.
2. Pengadaan Penilai dilakukan seleksi, jw 30 hari
kerja.
3. Apabila jw 30 hari kerja tidak dapat
dilaksanakan, Ketua PT menunjuk Penilai Publik.
26. Tugas Penilai/yang dinilai :
1. tanah;
2. bangunan;
3. tanaman;
4. benda yang berkaitan dengan tanah;
5. ruang atas dan bawah tanah;
6. kerugian lain yang dapat dinilai.
27. MUSYAWARAH GANTI KERUGIAN
1. Kepada Pihak yang Berhak.
2. dilokasi pengadaan tanah/tempat yang
disepakati.
3.secara langsung untuk menentukan bentuk
ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian
ganti kerugian yang dilakukan oleh Penilai.
28. BENTUK GANTI KERUGIAN
1. uang;
2.tanah pengganti;
3.pemukiman kembali;
4.bentuk lain yang disetujui kedua pihak;
5.kepemilikan saham (BUMN).
29. PEMBERIAN GANTI KERUGIAN
Bentuk Uang
1. Dilakukan melalui jasa perbankan.
2. Rekening atas nama pihak yang berhak.
3. Pemberian ganti kerugian bersamaan dgn pelepasan
hak, dan penyerahan bukti-bukti kepemilikan.
4. Dokumentasi dengan foto/video.
30. Tanah Pengganti
1. Lokasi tanah sesuai kesepakatan dgn pihak yang
berhak.
2.Nilai sama dengan bentuk uang.
3.Setelah ada permintaan tertulis dari Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah.
4.Instansi harus menyediakan tanah pengganti 6 bulan
saat penetapan ganti kerugian.
5.Pelepasan hak, tanpa menunggu adanya tanah
pengganti.
31. Pemukiman Kembali
1. Dilakukan instansi yang memerlukan tanah atas
permintaan tertulis Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
2.Nilainya sama dalam bentuk uang.
3.Instansi yang memerlukan tanah menyediakan
permukiman kembali paling lama 1 tahun.
4.Pelepasan hak tanpa menunggu selesainya permukiman
kembali.
5.Penyerahan permukiman kembali didokumentasi
dengan foto/video.
32. Kepemikian Saham
1. Berdasarkan kesepakatan pihak yang berhak dengan
BUMN yang mendapat penugasan Khusus
Pemerintah.
2.Pelepasan hak oleh pihak yang berhak, setelah
disepakati ganti kerugian dalam bentuk kepemilikan
saham.
3.Selama proses pemberian ganti kerugian, dana
kepemilikan saham dititipkan pada bank.
4.Pelepasan hak, dilakukan bersamaan dengan
penitipan uang di bank.
5.Penyerahan didokumentasi foto/video.
33. Bentuk lain
1. Gabungan Ganti Kerugian, tanah pengganti atau
putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
2.Penyerahan Ganti Kerugian bentuk lain dengan Berita
Acara Penyerahan.
3.Penyerahan didokumentasi foto/video.
34. Dalam Keadaan Khusus
1. Dalam keadaan mendesak (bencana alam, biaya
pendidikan, menjalankan ibadah, pengobatan,
pembayaran hutang).
2.Dibuktikan Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa.
3.Diberikan maksimal 25 % dari nilai Ganti Kerugian
yang didasarkan NJOP tahun sebelumnya.
4.Diberikan dalam bentuk uang.
5.Dengan Berita Acara.
6.Dokumentasi foto/video.
35. PENITIPAN UANG GANTI KERUGIAN
1. Pada Pengadilan Negeri di lokasi Pengadaan Tanah.
2.Dilakukan dalam hal :
a. pihak yang berhak menolak bentuk dan/besar
ganti kerugian hasil musyawarah & tidak ajukan
keberatan ke Pengadilan Negeri.
b. pihak yang berhak menolak bentuk dan/besar
ganti kerugian atas putusan Pengadilan
Negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
c. pihak yang berhak tdk diketahui keberadaannya.
36. d. Obyek Pengadaan Tanah yang akan diberikan ganti
kerugian :
- sedang menjadi obyek perkara di
pengadilan.
- masih disengketakan kepemilikannya.
- diletakan sita oleh pjbt yang berwenang.
- menjadi jaminan di bank/jaminan utang lainnya.
Penitipan Ganti Kerugian di Pengadilan Negeri,
dilakukan oleh instansi yang memerlukan
tanah dgn surat permohonan kepada Ketua
Pengadilan Negeri.
37. PELEPASAN OBYEK PENGADAAN TANAH
1. Dihadapan Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah,
bersamaan pemberian ganti kerugian.
2.Dilakukan dengan pelepasan hak.
3.Penyerahan bukti penguasaan /kepemilikan obyek
pengadaan tanah.
4.Pelepasan obyek pengadaan tanah dalam bentuk
Berita Acara ditandatangani dihadapan Kepala Kantor
Pertanahan.
38. PEMUTUSAN HUBUNGAN HUKUM
ANTARA PIHAK DGN OBYEK PT
Pada saat pemberian GK dan pelepasan hak
telah dilaksanakan dihadapan Kepala Kantor
Pertanahan setempat, kepemilikan/hak atas
tanah menjadi hapus, alat bukti dinyatakan
tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah
yang dikuasai langsung oleh negara.
39. GANTI KERUGIAN YANG DITITIPKAN DI PN
Pemutusan hubungan hukum antara Pihak yang
berhak dengan obyek pengadaan tanah yang ganti
kerugian dititipkan di PN, kepemilikan/hak atas
tanah menjadi hapus, dan alat bukti hak dinyatakan
tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang
langsung dikuasai oleh Negara, sejak keluarnya
penetapan pengadilan mengenai ganti kerugian.
40. Hapusnya hubungan hukum tanah yang terdaftar,
Kepala Kantor Pertanahan mencatat hapusnya hak
pada Buku Tanah dan daftar umum lainnya.
Hapusnya hubungan hukum tanah yang belum
terdaftar, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah
menyampaikan hapusnya kepada Lurah/Kepala
Desa, camat, selanjutnya dicatat dalam buku
administrasi kantor.
41. PENYERAHAN HASIL PENGADAAN TANAH
1. Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan 1
rangkap fotokopi kepada instansi yang
memerlukan tanah (7 hari), 1 rangkap untuk
permohonan hak atas tanah.
2.Dgn Berita Acara Penyerahan Hasil Pengadaan
Tanah.
3.Instansi yang memerlukan tanah, 30 hari kerja
menerima hasil PT, mengajukan permohonan
sertipikat kepada Kantor Pertanahan.
42. PENGAMBILAN UANG GANTI KERUGIAN DI
PENGADILAN NEGERI
1. Disertai surat pengantar dari Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah.
2.Yang menjadi jaminan di Bank, dapat diambil di
PN dengan surat pengantar Ketua Pelaksana PT
dan surat persetujuan dari Bank/pihak pemegang
hak tanggungan.
3.Pengambilan GK yang dititipkan di PN, pihak yg
berhak menyerahkan bukti penguasaan/
kepemilikan obyek Pengadaan Tanah.
4. Apabila Ketua Datan tdk lagi menjabat, maka
pengantar dibuat oleh Kakanwil BPN Prov.
43. PENGADAAN TANAH SKALA KECIL
1. Luas tidak lebih dari 1 Ha, dilakukan langsung.
2.Merupakan :
- satu hamparan.
- 1 (satu) tahun anggaran.
3. Tanpa melalui tahapan pengadaan tanah.
4. Dapat memakai jasa penilai.
5. Sesuai tata ruang wilayah.
44. KETENTUAN PERALIHAN
Pengadaan tanah yang sedang berlangsung :
1. telah dituangkan dalam dokumen perencanaan.
2.telah dianggarkan.
3.telah ada penetapan lokasi.
4.telah pelepasan hak; dan/atau
5.ganti kerugian telah dititipkan di PN.