SlideShare a Scribd company logo
MAKALAH PERPINDAHAN KALOR
PEMICU 2
PERPINDAHAN KALOR KONVEKSI
Kelompok 7
Nida Fathia (1506673170)
Jihan Mutiah (1506673201)
Wildan Raafi Utomo (1506673246)
Ameninta Cesanina Singarimbun (1506725262)
Batara Triargi Sabarudin (1506731990)
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
Depok, April 2017
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena akhirnya tim penulis dapat
menyelesaikan laporan perpindahan kalor pemicu 2 mengenai perpindahan kalor secara
konveksi.
Sebagai calon insinyur teknik kimia sudah semestinya mempelajari berbagai hal terkait
perpindahan kalor, termasuk didalamnya perpindahan kalor secara konveksi. Hal tersebut
dipandang sangat penting, untuk menjadi dasar mempelajari proses pada teknik kimia nantinya.
Walaupun banyak kendala yang dihadapi sepanjang pembuatan laporan ini, tim penulis
tetap bertekad untuk menyelesaikan laporan ini sebagai komitmen dan tanggungjawab demi
memenuhi tugas mata kuliah perpindahan kalor. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan ini.
Tim penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, tim penulis mengharapkan adanya kritik serta saran supaya laporan ini lebih baik lagi untuk
kedepannya.
Tim penulis berharap agar laporan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan dapat
menambah wawasan kami khususnya mahasiswa teknik kimia.
Depok,April 2017
Tim penulis
3
Daftar Isi
Bab 1.
Pendahuluan................................................................................................................5
Bab 2.
Jawaban Soal
1.............................................................................................................................5
2.............................................................................................................................6
3.............................................................................................................................9
4.............................................................................................................................10
5.............................................................................................................................12
6.............................................................................................................................15
7.............................................................................................................................17
8.............................................................................................................................
Soal Hitungan
1.........................................................................................................................18
1.........................................................................................................................20
3.........................................................................................................................21
4.........................................................................................................................24
Bab 3
Kesimpulan.................................................................................................................34
Daftar Pustaka............................................................................................................35
4
Daftar Gambar
Gambar 1. Pengeringan gabah secara alami...............................................................6
Gambar 2. Silinder dalam silinder..............................................................................12
Gambar 3. Aliran Heat Exchanger............................................................................15
Gambar 4. Aliran fluida dalam penukar kalor ...........................................................15
Gambar 5. Distribusi F pada Heat Exchanger dalam aliran berlawanan arah...........15
Gambar 6. Distribusi F pada Heat Exchanger dalam aliran searah...........................16
Gambar 7. Penukar kalor pelat aliran bersimpangan..................................................17
Gambar 8. Skema tong dalam selongsong..................................................................20
Gambar 9. Cross Flow pada Heat Exchanger...........................................................21
Gambar 10. Diagram penurunan suhu........................................................................22
Gambar 11. Grafik F untuk Single Pass Cross Flow Heat Exhanger.......................23
Gambar 12. Grafik ε untuk Single Pass Cross Flow Heat Exhanger .......................23
5
BAB 1
PENDAHULUAN
Konveksi adalah peristiwa perpindahan kalor melalui pergerakan molekul – molekul
fluida (cair dan gas) akibat adanya perbedaan temperatur. Perpindahan kalor konveksi
bergantung pada berbagai variabel yaitu luas permukaan benda yang bersingggungan dengan
fluida, perbedaan suhu antara permukaan benda dengan fluida, koefisien fluida yang terlibat,
viskositas fluida, kecepatan fluida yang terlibat, konduktivitas termal penghantar, kapasitas
panas fluida, dan densitas fluida.
Konveksi ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu konveksi alamiah dan konveksi paksa.
Perpindahan konveksi alami merupakan perpindahan kalor secara konveksi dimana aliran
fluida bergerak secara alami yang dipengaruhi oleh adanya gaya apung dan gaya bodi.
Konveksi alamiah dapat terjadi pada beberapa benda seperti plat, bola, silinder, benda tak
teratur, dan benda tertutup. Salah satu aplikasi konveksi alami pada kehidupan sehari-hari
adalah perstiwa angin darat dan angin laut. Sedangkan, Perpindahan kalor konveksi paksa
merupakan perpindahan kalor secara konveksi yang terjadi dengan dibantu oleh suatu alat
tambahan seperti alat penukar kalor, atau dengan kata lain perpindahan kalor yang
“dipaksakan”. Prinsip dasarnya adalah dengan adanya suatu alat yang memaksa kalor untuk
berpindah maka perpindahan kalor yang diinginkan dapat berlangsung lebih cepat dan efektif.
Perpindahan kalor konveksi banyak diaplikasikan pada proses pemanasan atau
pendinginan fluida dan merupakan kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi
serta bidang elektronika. Sifat termal dari fluida kerja memegang peranan penting dalam upaya
efisiensi energi pada peralatan perpindahan kalor. Oleh karena banyaknya fenomena dan kasus
yang terjadi di lingkungan sekitar berkaitan dengan peristiwa perpindahan kalor konveksi, baik
secara langsung maupun tidak langsung, maka pendalaman pemahaman mengenai hal tersebut
harus dilakukan. Kami (penulis) berusaha menyediakan beberapa hal mengenai mengenai
perpindahan kalor konveksi tersebut ke dalam makalah ini.
BAB 2
PEMBAHASAN
1. Bagaimana Anda menjelaskan tentang peranan pengeringan dalam proses pasca
panen gabah?
Pengeringan merupakan salah satu kegiatan pascapanen yang penting, dengan tujuan
agar kadar air gabah aman dari kemungkinan berkembangbiaknya serangga dan
mikroorganisme seperti jamur dan bakteri. Pengeringan harus sesegera mungkin dimulai sejak
saat dipanen. Apabila pengeringan tidak dapat dilangsungkan, maka usahakan agar gabah yang
masih basah tidak ditumpuk tetapi ditebarkan untuk menghindarkan dari kemungkinan
terjadinya proses fermentasi. Pengeringan akan semakin cepat apabila ada pemanasan,
perluasan permukaan gabah padi dan aliran udara. Adapun tujuan pengeringan disamping untuk
menekan biaya transportasi juga untuk menurunkan kadar air dari 23-27 % menjadi 14%,
agar dapat disimpan lebih lama serta menghasilkan beras yang berkualitas baik. Proses
pengeringan gabah sebaiknya dilakukan secara merata, perlahan-lahan dengan suhu yang tidak
terlalu tinggi. Pengeringan yang kurang merata, akan menyebabkan timbulnya retak-retak pada
gabah dan sebaliknya gabah yang terlalu kering akan mudah pecah tatkala digiling. Sedangkan
6
dalam kondisi yang masih terlalu basah disamping sulit untuk digiling juga kurang baik ditinjau
dari segi penyimpanannya karena akan gampang terserang hama gudang, cendawan dan jamur
Mengapa gabah selepas panen harus segera dikeringkan? Hal ini perlu diperhatikan,
sebab kadar air pada gabah selepas dipanen masih cukup tinggi sekitar 25% - 30%, bahkan
kadang kadang lebih. Kalau gabah itu terus disimpan tanpa pengeringan terlebih dahulu maka
gabah jelas akan mengalami kerusakan-kerusakan
2. Bagaimana Anda menjelaskan mekanisme proses dari kedua metode
pengeringandi atas bila dikaitkan dengan proses konveksi yang terjadi
didalamnya? Termasuk jenis konveksi apakah masing-masing metode tersebut?
Peristiwa yang terjadi selama pengeringan meliputi dua proses, diantaranya :
o Proses perpindahan panas
Terjadinya proses penguapan air dari bahan atau proses perubahan dari bentuk cair
ke bentuk gas.
o Proses perpindahan massa
Terjadi proses perpindahan massa uap air dari permukaan bahan ke udara.
Metode pengeringan gabah dapat dilakukan dengan cara alami dan buatan
1. Pengeringan Secara Alami
Pengeringan gabah secara alami hendaknya dilakukan di atas lantai yang terbuat dari
semen, yang dalam hal ini lantai hendaknya bersih dan tidak ada genangangenangan air. Gabah
dihamparkan di atasnya setebal 3 – 5 cm pada pagi hari (sekitar jam 08.00) kalau keadaan udara
cerah. Sekiranya lapisan atas gabah telah kering lakukan pembalikan baik dengan
menggunakan kaki atau sekop, pembalikan hendaknya dilakukan secara berulang-ulang. Sore
hari sekitar jam 16.00 dilakukan pengumpulan gabah dengan bantuan alat penggaruk sehingga
merupakan gunungan kecil, kemudian gunungan kecil ditutup dengan lembaran plastik yang
lebar, sehingga tidak ada bagian yang terbebas, untuk melindunginya kalau-kalau turun hujan
dan dari pengaruh embun. Tetapi sekiranya jumlah yang dikeringkan tidak terlalu banyak,
angkutlah gabah ke tempat penyimpanan sementara. Lakukan pengeringan seperti di atas
selama 2 sampai 3 hari, setelah itu lakukan pengujian dengan alat moisture tester apakah kadar
air gabah telah turun sampai 12% atau belum, kalau belum lakukan penjemuran lagi sampai
persentase kadar air tersebut tercapai. Kalau alat moisture tester tidak ada pengujian dilakukan
dengan cara menggenggam dan melepaskan sekumpulan gabah atau menggosok-gosoknya dan
apabila suaranya gemeresik tandanya gabah telah kering, pengujian selanjutnya dilakukan
dengan cara menggigit gabah atau memutarnya di atas lantai dengan tumit dan apabila gabah
patah dengan kulit terkelupas, yakinlah gabah telah kering setingkat dengan yang dikendaki.
Gambar 1. Pengeringan Gabah secara Alami
7
Sumber: dkpp.jabarprov.go.id
Dalam pengeringan gabah secara alami ini hendaknya diperhatikan aktivitas
pembalikan gabah, karena hamparan gabah yang menerima teriknya sinar matahari yang lama
tidak dibalik-balikkan, maka lapisan bawah dekat alantai akan mengalami kerusakan yang biasa
disebut kasus pengerasan (cara hardening) bahkan ada yang mengalami kegosongan.
Penjemuran yang terlalu lama sedang cuaca sukar terkontrol, juga dapat menimbulkan
kerusakan, yaitu dengan terjadinya kontaminasi oleh jamur atau penyakit lainnya. Pengawasan
perlu pula diperhatikan untuk mencegah kehilangan, misalnya terhadap unggas (ayam dan
burung) ataupun tenaga kerja yang bertangan panjang. Kehilangan pada waktu pengeringan
cukup banyak, yaitu sekitar 1,5% - 2%.
2. Pengeringan secara Mekanis
Pengeringan secara mekanis Kalau pengeringan secara alami tidak bisa dilakukan
karena adanya gangguan alami, seperti hari-hari hujan, cuaca mendung sepanjang hari, dan lain
sebagainya, pada waktu sekarang tidak perlu lagi merisaukan para petani atau industriindustri
pengolahan gabah karena para teknisi telah dapat menciptakan alat pengering gabah mekanis,
seperti Batch Dryer dan Continue Dryer
Blower harus dihidupkan terlebih dahulu sampai air permukaan gabah teruapkan,
baru heater dihidupkan, maksudnya untuk mencegah terjadinya kasus pengerasan (case
hardening), sebab apabila blower dihidupkan dan heaterpun dihidupkan kemungkinan
penguapan akan berlangsung teralu cepat, dengan demikian dapat mengakibatkan bagian kulit
luar yang paling luar menjadi sangat kering dan mengeras
Secara garis besar, pengering gabah buatan dikelompokkan menjadi tiga, yakni :
a) Tipe Bak (Bed Dryer )
Gabah kering sawah dihampar diatas tray (empat persegi panjang) dibagian bawah
tray diberikan hembusan udara panas, biasa menggunakan minyak dengan sistem
pengeringan secara langsung (direct drying). Sumber panas dapat berasal dari panas
matahari yang dikumpulkan (kolektor), listrik, bahan bakar sekam dan lain-lain.
b) Tipe Sirkulasi (Recirculation Batch)
Pada pengering tipe ini, udara kering dialirkan melalui suatu tabung. Udara kering
menarik kelembaban dari tabung yang merupakan kelembaban bahan yang
dikeringkan, udara basah akan melewati elemen penguap dan diuapkan. Kemudian
kelembaban dibuang, dan udara kering kemudian disirkulasikan kembali.
c) Tipe Kontinyu (Continuous Flow Dryer)
Pengering tipe kontinyu (continuous flow dryer) dikenal sebagai LSU dryer (hasil
pengembangan Lousiana State University). Gabah basah dengan bak elevator
dituangkan dibagian atas menara, gabah yang jatuh melalui kisis miring
dihembuskan udara panas dari bawah. Energi yang digunakan umumya bahan bakar
minyak. Mesin pengering jenis ini hanya terjangkau untuk pengusaha kelas
menengah ke atas atau bantuan pemerintah
Perpindahan panas yang terjadi dapat melalui berbagai cara yaitu : secara konduksi,
secara konveksi dan secara radiasi. Perpindahan secara konduksi yaitu perpindahan panas
diantara molekul-molekul dari suatu benda yang saling bersinggungan. Perpindahan panas
8
secara konduksi terjadi antara bulir-bulir padi yang dipanaskan sehingga akan terjadi
pemerataan panas pada permukaan padi. Perpindahan secara konveksi yaitu perpindahan panas
melalui media gas atau cairan. Perpindahan panas secara radiasi yaitu perpindahan panas
melalui sinar atau gelombang suara. Panas radiasi dengan mudah dapat diserap oleh
benda/materi yang berwarna gelap, sedangkan untuk benda berwarna terang sebagian akan
dipantulkan kembali.
Berdasarkan teori di atas, Bila gabah padi terkena panas maka akan terjadi
perpindahan panas kedalam gabah dan air di dalam gabah akan mengalami proses penguapan
sehingga kadar airnya turun. Penguapan mula-mula terjadi pada air di permukaan, setelah air
permukaan berkurang maka terjadi pengaliran air antar sel ke permukaan, karena proses
keseimbangan kadar air di dalam gabah sendiri. Proses ini berjalan sampai keadaan air sel dan
kadar air permukaan tertentu, selanjutnya dinding sel mengambang dan air dalam sel
mengadakan keseimbangan dengan kadar air seluruhnya sehingga ada pengaliran air antara sel.
Proses ini terjadi berulang kali sampai terjadi pemindahan air dari dalam gabah ke udara
Perpindahan panas dalam mesin pengering digunakan dua prinsip yaitu perpindahan
secara konduksi dan konveksi. Perpindahan secara konduksi terjadi diantara bulir-bulir padi
yang telah mendapatkan panas akan berpindah melalui gesekan atau bersinggungan dengan
bulir yang masih belum mendapat panas. Akibat dari perpindahan panas tersebut maka akan
terjadi perpindahan panas ke setiap bulir padi sehingga akan terjadi pemerataan panas. Proses
tersebut akan mempercepat waktu pengeringan padi dan terjadi secara merata. Sedangkan
prinsip perpindahan panas dengan cara konveksi pada konstruksi mesin pengering padi ini yaitu
udara panas dihembuskan oleh kipas kedalam ruangan yang menyimpan gabah sehingga media
yang digunakan dalam perpindahan panas adalah udara (Jordan and Priester, 1985 dalam
Kamin). Udara panas yang dihembuskan akan masuk ke celah-celah padi sehingga panas akan
cepat masuk dan membuang kadar air dari gabah. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya
perpindahan panas secara konveksi dengan media udara yang dipaksakan (Forced Convection).
Pengeringan dengan metoda seperti ini dapat dikatakan sebagai system konduksi-konveksi.
Sistem dengan menggunakan perpindahan dua macam secara teori akan mempercepat proses
pengeringan (membuang kandungan air) dan akan terjadi pemerataan pengeringan.
Mekanisme keluarnya air dari dalam bahan selama pengeringan adalah sebagai berikut:
1) Perpindahan energi (panas) antar fase dari udara ke permukaan butiran untuk
menguapkan air di permuakaan butiran.
2) Perpindahan energi (panas) dari permukaan butiran ke dalam butiran secara
konduksi.
3) Perpindahan massa air dari bagian dalam ke permukaan butiran secara difusi dan atau
kapiler.
4) Perpindahan massa air antar fasa dari permukaan butiran ke fasa udara pengering.
3. Bagaimana mengoptimalkan proses pengeringan pada metode tersebut? (Kaitkan
dengan variable-vaiabel proses yang paling berpengaruh dalam proses konveksi)
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada 2 golongan, yaitu:
Pada proses pengeringan selalu diinginkan kecepatan pengeringan yang maksimal.
Oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk mempercepat pindah panas dan pindah
massa (pindah massa dalam hal ini adalah perpindahan air keluar dari bahan yang dikeringkan
9
dalam proses pengeringan tersebut). Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk
memperoleh kecepatan pengeringan maksimum, yaitu :
1. Faktor yang berhubungan dengan udara pengering
Yang termasuk golongan ini adalah:
 Suhu
Semakin besar perbedaan suhu (antara medium pemanas dengan bahan pangan) maka akan
semakin cepat proses pindah panas berlangsung sehingga mengakibatkan proses penguapan
semakin cepat pula. Atau semakin tinggi suhu udara pengering maka akan semakin besar energi
panas yang dibawa ke udara yang akan menyebabkan proses pindah panas semakin cepat
sehingga pindah massa akan berlangsung juga dengan cepat.
 Kecepatan aliran udara
Udara yang bergerak adalah udara yang mempunyai kecepatan gerak yang tinggi yang berguna
untuk mengambil uap air dan menghilangkan uap air dari permukaan bahan yang dikeringkan,
sehingga dapat mencegah terjadinya udara jenuh yang dapat memperlambat penghilangan air.
 Kelembaban udara
Semakin lembab udara di dalam ruang pengering dan sekitarnya maka akan semakin lama
proses pengeringan berlangsung kering, begitu juga sebaliknya. Karena udara kering dapat
mengabsobsi dan menahan uap air.
 Arah aliran udara
Makin kecil sudut arah udara terhadap posisi bahan, maka bahan semakin cepat kering
2. Faktor yang berhubungan dengan sifat bahan. Yang termasuk golongan ini adalah:
 Ukuran bahan
Makin kecil ukuran benda, pengeringan akan makin cepat. Semakin kecil ukuran benda dapat
menyebabkan permukaan bahan semakin luas, dimana permukaan yang luas dapat memberikan
lebih banyak permukaan yang dapat berhubungan dengan medium pemanas serta lebih banyak
permukaan tempat air keluar.
 Kadar air
Makin sedikit air yang dikandung, pengeringan akan makin cepat (Purba. 2012). Kadar air
merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan banyaknya air yang terkandung
di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan dengan persentase berat air terhadap bahan
basah atau dalam gram air untuk setiap 100 gram bahan yang disebut dengan kadar air basis
basah (bb). Berat bahan kering atau padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan
beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap (konstan) (Tandra. 2013)
4. Bagaimana menentukan nilai koefisien perpindahan kalor konveksi pada suatu
sistem? Dan bagaimana pula nilai koefisienkonveksinya jika terjadi pada dimensi
atau bentuk benda yang berbeda-beda?
Nilai Konveksi Alamiah
 Konveksi alamiah pada plat dan silinder vertikal
10
Untuk permukaan vertikal, bilangan nussel dan grashof dilambangkan dengan L
ketinggian dari benda sebagai karakteristik dimensi. Perpindahan panas untuk silinder dapat
dikorelasikan dengan plat jika bondary layer yang terbentuk tidak besar dibandingkan dengan
diameter dari silinder tersebut atau dikriteriakan sebagai berikut:
D
𝐿
>
35
𝐺𝑟𝐿
1/4
. . . . . . . .. (1)
Nilai dari bilangan nussel dapat dilihat pada Tabel 7-1 hal 334 di buku JP Holman dimana
konstanta C dan m diketahui dan buku Cengel Tabel 9-1 hal468 atau dilihat dari rumus yang
dibuat oleh Churchill dan Chu yaitu dengan rumus sebagai berikut:
Nu0,5 = 0,825 +
0,387 𝑅𝑎
1
6
(1+(0,492/𝑃𝑟)
9
16)
8
27
. . . . . . .. . (2)
Sehingga nilai Nu dapat dihubungkan dengan laju panas pada konveksi tersebut yaitu
dengan rumus sebagai berikut:
𝑁𝑢 =
𝑞 𝑠L
𝑘( 𝑇𝑠 − 𝑇∞)
. . . . . . . . . (3)
 Konveksi alamiah pada silinder horizontal
Bilangan Nussel dapat ditentukan nilainya berdasarkan range dari bilangan Rayleigh
yang dibuat oleh Churchil dan Chu yaitu untuk range 10-5 < Ra < 1012 yaitu:
Nu0,5 = 0,6 + 0,387 (
𝑅𝑎
(1+(0,492 /𝑃𝑟)9/16)16/9)1/6. . . . .. . .. (4)
Lalu jika dilihat dari beberapa referensi lainnya untuk range bilangan Rayleigh terdapat
berbagai rumus yaitu:
10-6 < Ra < 109 (restrictid to laminar range)
Nud = 0,36 +
0,518𝑅𝑎1 /4
(1+(0,559/𝑃𝑟)9/16 )4/9. .. . . . . . . . (5)
Referensi 46
Nud = 0,53(Ra.Pr)0,25. . . . . . . .. (6)
 Permukaan Isotermal pada Silinder Vertikal dan Pelat Vertikal
Dalam sistem bidang datar vertikal, kalor dipindahkan dari bidang vertikal ke sebuah fluida
yang bergerak paralel dengan konveksi alamiahnya. Peristiwa ini hanya terjadi ketika fluida
yang bergerak sedikit terkena efek gaya konveksi. Anggap fluida mengalir akibat pemanasan,
korelasi berikut dapat digunakan ditambah dengan mengasumsikan fluida adalah sebuah
diatomik ideal yang berbatasan dengan bidang vertikal bertemperatur konstan dan aliran fluida
laminar.
Untuk sistem vertikal angka Grashof dan angka Nusselt dibentuk dari panjang plat L sebagai
tinggi permukaan dan diameter silinder, D sebagai dimensi karakteristik. Rujukan angka
Nusselt dari perhitungan fluks kalor bahwa rumus di bawah ini merupakan rumus yang
dievaluasi dari suhu film:
𝑁𝑢 = 𝐶 (𝐺𝑟. 𝑃𝑟)𝑚. . . . . . .. . (7)
11
𝑁𝑢 = 0,1 (𝐺𝑟. 𝑃𝑟)1/3.. . . . . .. . (8)
Rumus yang berlaku untuk pelat vertikal adalah:
𝑁𝑢 = 0,68 +
0,670 . 𝑅𝑎1/4
(1 + (
0,492
𝑃𝑟
)
9
16 )4/9
. . . . . . . . . (19) untuk 10-1
< RaL < 10
12
𝑁𝑢 = 0,825 +
0,387 . 𝑅𝑎1/5
(1 + (
0,492
𝑃𝑟
)
9
16 )8/27
. . . . . . . . .(10)
Percobaan-percobaan ekstensif mengenai konveksi bebas dari permukaan vertikal pada
kondisi fluks kalor tetap memberikan hasil yang dinyatakan dalam angka Grashof
termodifikasi, Gr*:
𝐺𝑟𝑥
∗
= 𝐺𝑟𝑥 𝑁𝑢 𝑥 =
𝑔𝛽𝑞 𝑤 𝑥4
𝑘𝑣2
. . . . . . .. . (11)
dimana qw adalah fluks kalor dinding.
 Silinder horizontal
Untuk silinder horizontal, penyelesaian secara sederhana menggunakan persamaan umum:
𝑁𝑢 = 𝐶 (𝐺𝑟. 𝑃𝑟)𝑚. . . . . . . . . (12)
𝑁𝑢 = 0,53 (𝐺𝑟. 𝑃𝑟)1/4 .. . . . . .. . (13)
Persamaan yang lebih sederhana tetapi berlaku hanya pada aliran laminar dari 10-6 < Grd Pr <
109:
𝑁𝑢 = 0,36 +
0,518 (𝐺𝑟 Pr)1/4
1 + (
0,559
Pr
)9/16)4/9
untuk10-6 < Gr Pr < 109 (laminar)
Persamaan perpindahan kalor dari silinder horizontal ke logam cair :
𝑁𝑢 = 0,53(𝐺𝑟. 𝑃𝑟2
)1/4
. . . . . . . . . (14)
 Konveksi alamiah pada Enclosed Spaces (silinder)
Gambar 2. Silinder dalam silinder
(Sumber: Cengel, Yunus A. 2003. Heat Transfer: A Practical Approach, 2nd ed. New
York: McGraw-Hill)
12
Misalnya terdapat kasus silinder yang dimasukkan kedalam silinder dengan memiliki
temperature yang berbeda dan diameter yang berbeda, pada kasus ini panjang karakteristik
ditinjau dari perbedaan diameternya yaitu Lc = (Do – Di)/2. Laju konveksi dalam annulus
tersebut diliat dalam rumus :
𝑄 = 2𝜋𝑘 𝑒𝑓𝑓 𝑙𝑛(𝐷𝑜𝐷𝑖)(𝑇𝑖 – 𝑇𝑜).. . . .. . . . (15)
𝑘 𝑒𝑓𝑓 𝑘 = 0,386( 𝑃𝑟0,861 + 𝑃𝑟 )1/4 .(𝐹𝑐𝑦𝑙𝑅𝑎𝐿)1/4).. . . . . . . . (16)
𝐹𝑐𝑙𝑦 = (𝑙𝑛(𝐷𝑜𝐷𝑖))4𝐿𝑐3(𝐷𝑖 − 3,5 + 𝐷𝑜 − 3,5)5.. . . . . . . . (17)
Persamaan diatas berlaku jika 0,7 < Pr < 6000 dan 102 < FcylRaL < 107 jika kurang dari 100
maka konveksi alami diabaikan dan keff tidak boleh lebih kecil dari k jika lebih kecil dari k
maka keff = k. Sifat-sifat dari fluida diukur dari temperatur dengan rumus (Ti + To)/2.
5. Dalam proses perpindahan kalor konveksi, dikenal beberapa bilangan tak
berdimensi, Dapatkan anda menjelaskan bilangan-bilangan tak berdimensi yang
terlihat baik pada konveksi alamiah, maupun konveksi paksa ?
Dalam penyelesaian masalah perpindahan panas konveksi, pada umumnya kita dapat
menyelesaikannya dengan menggunakan metode analisis. Namun seringkali pada beberapa
kasus dimana kita harus menggunakan cara cara eksperimental untuk mendapatkan data
perencanaan, serta untuk memperoleh data – data sulit yang justru diperlukan untuk menambah
pengertian kita tentang proses fisis perpindahan kalor. Data – data eksperimental ini pada
umumnya dinyatakan dalam bentuk rumus empiris yang kemudian akan sering dijumpai
hubungannya dengan beberapa bilangan tak berdimensi yang selalu digunakan dalam
penyelesaian masalah – masalah perhitungan dalam konveksi, yaitu antara lain angka
Grashof(Gr), Reynolds(Re), Nusselt(Nu), Prandtl(Pr), Stanton(St), dan Rayleigh(Ra). Setiap
bilangan tak berdimensi ini memiliki ciri khas dan karakteristik masing–masing dimana setiap
bilangan ini mengkarakterisasi juga suatu parameter khusus.
Kegunaan bilangan tak berdimensi, antara lain adalah:
1. Menentukan apakah aliran suatu konveksi bebas pada kondisi film (perbatasan
antara benda padat dengan fluida) tersebut merupakan aliran laminer atau tidak.
Pentingnya penentuan laminer dan turbulen ini adalah untuk menentukan
pemakaian analisis pada proses konveksi tersebut.
2. Menyelesaikan berbagai permasalahan pada kasus konveksi, misalnya pada suatu
aliran perpindahan kalor pada bangunan/geometri tertentu atau keterlibatan
viskositas, densitas dan karakteristik termal yang dimiliki oleh bidang tersebut,
bilangan tak berdimensi akan menunjukkan perbedaan perpindahan kalor pada
koordinat tertentu dalam bidang tersebut, sehingga dapat diketahui nilai kalor yang
masuk atau lepas serta suhu yang terdapat pada koordinat tersebut.
3. Memberikan batasan-batasan perhitungan yang diperoleh untuk dicocokkan dengan
nilai yang harus dimasukkan ke dalam perhitungan. Seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 1 (Lampiran).
Bilangan-bilangan tak berdimensi yang terdapat dalam perpindahan kalor konveksi bebas,
adalah:
1. Bilangan Reynold (Re)
Bilangan Reynold digunakan untuk menentukan jenis aliran fluida dalam pipa atau tabung
tergolong laminer (Re < 2000), transisi (2000 < Re < 4000) atau turbulen (Re>4000). Bilangan
Reynold dapat dinyatakan dalam bentuk:
13
𝑅𝑒 =
𝑢∞ 𝑥
𝑣
=
𝜌𝑢∞ 𝐷
𝜇
=
𝜌𝑢∞ 𝑥
𝜇
=
𝐺𝑑
𝜇
…..(18)
Di mana: u = kecepatan aliran bebas,
X = jarak dari tepi depan
v = µ/ρ = viskositas kinematik
D = diameter pipa
G = kecepatan massa fluida
Dengan
𝐺 =
𝑚
𝐴
= 𝜌𝑢 𝑚… (19)
Di mana: um = kecepatan rata-rata
A = luas penampang
2. Bilangan Nusselt (Nux)
Bilangan Nusselt menyatakan nilai perbandingan nilai perbandingan kalor konveksi dengan
konduksi dan digunakan untuk menentukan koefisien perpindahan kalor konveksi alami (hx).
Bilangan Nusselt dapat dinyatakan dalam bentuk:
𝑁𝑢 𝑥 =
ℎ 𝑥 𝐿
𝑘
…(20)
Di mana: hx = koefisien perpindahan kalor konveksi
k = konduktivitas termal
L = dimensi karakteristik yang berbeda-beda, misalnya pada:
 Plat : L = L = panjang plat
 Silinder : L = Do = diameter luar silinder
 Bola : L = Ro = jari-jari luar bola
 Balok : L = L’; dengan 1/L’ = (1/Lv) + (1/Lh)
3. Bilangan Prandtl (Pr)
Bilangan Prandtl merupakan parameter yang menghubungkan ketebalan relatif antara lapisan
batas hidrodinamik dan lapisan batas termal serta penghubung antara medan kecepatan dengan
medan suhu. Bilangan Prandtl didefinisikan sebagai perbandingan antara difusivitas
momentum dengan difusivitas termal yang dapat dinyatakan dalam bentuk:
𝑃𝑟 =
𝑣
𝛼
=
𝜇 𝜌⁄
𝑘𝜌 𝑐 𝑝⁄
=
𝑐 𝑝 𝜇
𝑘
….(21)
Di mana: v = viskositas kinematik / difusivitas momentum fluida
cp = kapasitas kalor jenis zat fluida
μ = viskositas fluida
k = konduktivitas termal.
4. Bilangan Grashof (Gr)
Bilangan Grashof adalah perbandingan antara gaya apung dengan gaya viskos dalam sistem
perpindahan kalor konveksi bebas. Bilangan Grashof digunakan untuk menghubungkan data
konveksi alami. Bilangan Grashof dapat dinyatakan dalam bentuk:
𝐺𝑟 =
𝑔𝛽(∆𝑇)𝜌2
𝐿3
𝜇2 =
𝑔𝛽(𝑇 𝑤−𝑇∞)𝑥3
𝑣2 ….(22)
Di mana: g = percepatan gravitasi
ΔT = beda temperatur
ρ = densitas fluida
μ = viskositas fluida
L = x = panjang signifikan
v = viskositas kinematik.
14
5. Bilangan Graetz (Gz)
Bilangan Graetz digunakan pada perhitungan konveksi gabungan (konveksi bebas dan
konveksi paksa) pada tabung horizontal. Bilangan Graetz dapat dinyatakan dalam bentuk:
𝐺𝑧 =
𝐷
𝐿
𝑅𝑒𝑃𝑟 =
𝜋
4
𝐷
𝑥
𝑅𝑒𝑃𝑟…(23)
Di mana: D = diameter tabung
L = panjang tabung
x = koordinat rektangular.
6. Bilangan Rayleigh (Ra)
Bilangan Rayleigh digunakan untuk menentukan transisi laminer ke turbulen dari suatu aliran
lapisan batas konveksi alami. Sebagai contoh, ketika Ra > 109, aliran lapisan batas konveksi
alami vertikal pada suatu plat rata menjadi turbulen. Bilangan Rayleigh merupakan perkalian
antara bilangan Grashof dan bilangan Prandtl, atau dapat dinyatakan dalam bentuk:
𝑅𝑎 = 𝐺𝑟 ∙ 𝑃𝑟 =
𝑔𝛽
𝑣𝛼
( 𝑇𝑠 − 𝑇∞) 𝐿3
…(24)
Di mana: g = percepatan gravitasi
β = koefisien muai termal
α = difusivitas termal
L = dimensi karakteristik.
6. Dalam suatu alat penukar kalor (Heat Exchanger), dapatkan anda menjelaskan peran
arah aliran fluida yang terlibat di dalamnya?
Peran arah aliran fluida dalam Heat Exchanger
Pada penukar panas dengan aliran berlawanan arah (counterflow), fluida-fluida yang
mengalir pada heat exchanger tipe ini berada saling sejajar, akan tetapi memiliki arah yang
Gambar 3. Aliran (a) paralel dan (b) berlawanan arah
Gambar 4. Aliran (a) dan (b) bersimpangan
15
saling berlawanan. Desain ini menghasilkan efisiensi perpindahan panas yang paling baik
diantara jenis heat exchanger yang lain. Hal ini disebabkan karena fluida dingin yang masuk ke
dalam exchanger akan bertemu dangan fluida sumber panas yang akan keluar dari exchanger,
dimana fluida ini sudah mengalami penurunan panas. Begitu pula pada sisi outlet fluida yang
dipanaskan, ia akan dipanaskan oleh fluida sumber panas yang baru saja masuk ke exchanger
tersebut.
Pada penukar panas ini, perbedaan temperatur pada titik akhir dapat diekspresikan
sebagai:
∆𝑇1 = 𝑇ℎ,1 − 𝑇𝑐,1 = 𝑇ℎ,𝑖 − 𝑇𝑐,𝑜….(24)
∆𝑇2 = 𝑇ℎ,2 − 𝑇𝑐,2 = 𝑇ℎ,𝑜 − 𝑇𝑐,𝑖….(25)
Sedangkan Paralelflow Heat Exchanger, fluida-fluida kerja pada penukar panas tipe
ini mengalir sejajar dan memiliki arah aliran yang sama antara fluida satu dengan yang lainnya.
Fluida-fluida tersebut masuk dan keluar heat exchanger melalui sisi yang sama. Desain aliran
fluida yang searah pada heat exchanger tipe ini, menghasilkan tingkat efisiensi perpindahan
panas yang buruk di antara semua heat exchanger dengan tipe single-pass. Namun tipe ini tetap
digunakan pada kondisi-kondisi khusus yakni:
 Heat exchanger menggunakan material yang sensitif terhadap temperatur, penggunaan
fluida dengan viskositas tinggi, atau temperatur inlet fluida panas yang mencapai 1100
oC.
 Jika fluida sumber panas akan mencapai titik beku pada saat didinginkan pada heat
exchanger.
 Dibutuhkan kondisi heat exchanger yang lebih bersih, karena temperatur dinding heat
exchanger tipe paralel flow yang lebih dingin dibandingkan dengan tipe yang lain
menyebabkan lebih sulitnya terbentuk kerak di dalam elemennya.
 Membantu mencapai fase terbentuknya nucleat boiling pada proses pembentukan uap
air.
Gambar 5. Distribusi temperatur pada penukar panas dengan aliran berlawanan
arah
16
Pada penukar panas ini, perbedaan temperatur pada titik akhir dapat diekspresikan
sebagai:
∆𝑇1 = 𝑇ℎ,1 − 𝑇𝑐,1 = 𝑇ℎ,𝑖 − 𝑇𝑐,𝑖…(26)
∆𝑇1 = 𝑇ℎ,2 − 𝑇𝑐,2 = 𝑇ℎ,𝑜 − 𝑇𝑐,𝑜…(27)
Pada crossflow heat exchanger, Dua fluida yang mengalir di heat exchanger tipe ini
memiliki arah yang saling tegak lurus atau bersilangan. Secara termodinamik, tipe ini memiliki
efisiensi perpindahan panas yang lebih rendah daripada tipe counterflow tetapi lebih tinggi
daripada tipe paralelflow. Perpindahan panas yang paling efisien terjadi pada sudut-sudut
aliran. Untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan gambar-gambar berikut.
Gambar 6. Distribusi temperatur pada penukar panas dengan aliran searah
Gambar 7. Penukar panas tipe pelat dengan aliran yang bersimpangan (crossflow)
17
KESIMPULAN
 Counterflow heat exchanger memiliki efisiensi perpindahan kalor yang paling besar.
 Paralelflow heat exchanger memiliki efisiensi perpindahan kalor yang paling kecil.
 Arah aliran fluida pada heat exchanger mempengaruhi nilai efisiensi dari tiap desain
heat exchanger
7. Bagaimana anda mengoptimalkan kinerja alat penukar kalor tersebut ? (Perhatikan
faktor-faktor yang mempengaruhi kinerjanya)
Hal yang mempengaruhi kinerja Heat Exchanger
• Koefisien Perpindahan Panas
Koefisien perpindahan panas adalah angka yang menyatakan kemampuan suatu sistem
atau alat untuk memindahkan energi panas. Semakin baik sistem maka semakin tinggi
pula koefisien panas yang dimilikinya.
• Perbedaan Suhu / Beda Suhu Rata-Rata antara Masukan dan Keluaran Produk
Temperatur fluida panas maupun dingin yang masuk HE biasanya selalu berubah-ubah.
Untuk menentukan perbedaan temperatur tersebut digunakan perbedaan temperatur rata-
rata atau LMTD (Logarithmic Mean Temperature Difference). LMTD digunakan dalam
perhitungan-perhitungan HE yang menunjukkan panas yang dipindahkan. Semakin besar
beda suhunya semakin baik pula efisiensinya.
• Jumlah Lintasan
Di dalam heat exchanger, jumlah lintasan sangat menentukan kecepatan perpindahan
kalor. Jumlah lintasan akan mempengaruhi luas permukaan yang melepas kalor. Apabila
luas permukaan yang terkena fluida panas semakin banyak atau luas, maka perpindahan
kalor akan terjadi lebih cepat. Dalam pelaksanaan, yang dimaksud dengan lintasan adalah
banyaknya jumlah tube pada HE.
• Material bahan HE
HE yang dibuat dengan material bahan yang baik (anti-korosi) akan memiliki kinerja yang
lebih tinggi. Hal ini dikarenakan material bahan yang baik akan mencegah atau
mengurangi terjadinya korosi atau terbentuknya karat pada HE yang dapat menurunkan
efisiensi kerja dari HE.
Soal Perhitungan
1. Minuman kaleng berukuran panjang 150 mm, diameter 60 mm, dengan suhu 270C
akan didinginkan dengan meletakkannya dalam lemari pendingin pada suhu 40C.
Untuk memaksimalkan laju pendinginan, apakah sebaiknya kaleng tersebut
diletakkan secara horizontal atau vertical?
Diketahui:
TS = 270C = 300 K
T ͚ = 40C = 277 K
Sehingga Tf = 1/2(Ts + T ͚) = ½(27+4) = 15,50C = 288,5 K
18
Sifat dari udara pada evaluasi temperatur tersebut adalah:
Tabel x. Sifat udara pada temperatur tertentu
1 sumber: engineeringtoolbox.com
Dari interpolasi, didapatkan hasil berupa sifat-sifat pada 40C, yaitu:
 k = 0,02458 W/m0C
 v = 1,367 x 10-5 m2/s
 𝛽 =
1
Tf
= 1/ 288,5 K = 3,47 x 10-3 K-1
 Pr = 0,7146
D = 0,06 m , L = 0,15m
Asumsi:
 Steady state
 Suhu lemari es tidak diubah-ubah
 Udara merupakan gas ideal
 Evaporator berada di bagian atas lemari es
Ditanya:
a. Laju pendinginan saat kaleng diletakkan vertikal
b. Laju pendinginan saat kaleng diletakkan horizontal
Penyelesaian
a. Kaleng diletakkan vertikal
19
Gambar 8. Sistem kaleng vertikal
GrL =
𝑔𝛽( 𝑇 𝑠− 𝑇∞)𝐿𝑐3
𝑣2
=
9,81.3,47 x 10−3 (27− 4)0,153
(1,367 x 10−5)2 = 1,414 x 107
Ra = Gr.Pr = 1,414 x 107 x 0,7146 = 1,01 x 107
D
𝐿
>
35
𝐺𝑟𝐿
1/4
0,06
0,15
>
35
(1,414 x 10^7)1/4
0,4 > 0,59
Karena tidak memenuhi persamaan tersebut sehingga sebenernya silinder vertikal
tidak dapat dianggap sebagai plat vertikal. Tapi jika diasumsikan memenuhi persamaan
tersebut maka untuk mencari laju pendinginan.
Mencari bilangan nussel
Persamaan eksperimen Churchill dan chu
Nu0,5 = 0,825 +
0,387𝑅𝑎
1
6
(1+(0,492/𝑃𝑟)
9
16)
8
27
Nu0,5 = 0,825 + (
0,387(1,01𝑥107
)
1
6
(1+(0,492/0,7146 )9/16 )8/27 )
Nu = 30,41
Sehingga,
Tkaleng= 270
C
Tudara= 40
C
20
h =
Nud x k
𝐿
h =
30,41 x 0,02458
0,15
= 4,983 W/m2 0C
Sehingga,
q = h(Ts – T ͚ )
q = 4,983 x 23
q = 114,613 W/m2
dan jika digunakan persamaan umum silinder vertikal yaitu:
Persamaan umum referensi 4
Nu = C RaL
m
Dimana untuk Ra antara 104–109 C = 0,59 dan m= ¼
Nu = 0,59 . (9 x 106)1/4
Nu = 32,32
Sehingga,
h =
Nud x k
𝐷
h =
32,32 x 0,02458
0,15
= 5,296 W/m2 0C
Sehingga,
q = h(Ts – T ͚ )
q = 5,296 x 23
q = 121,812 W/m2
Jika dilihat dari persamaan umum terdapat sedikit perbedaan untuk setiap referensi
dengan perbedaan laju sekitar 7,2 W/m2 atau sekitar 6%. Jika dirata-ratakan dari semua nilai
laju yang telah dicari akan didapatkan:
q = (121,812 + 114,613)/2 = 118,212 W/m2
21
b. Kaleng diletakkan horizontal
Gambar Sistem
Gambar 9 Sistem kaleng horizontal
Lc = D
Ra =
𝑔𝛽(𝑇𝑠− T ͚) 𝐿𝑐3
𝑣2
Pr =
9,81.3,47 x 10−3 (27− 4)0,063
(1,367 x 10−5)
2 x 0,7146
Ra = 6,4 x 105
Mencari bilangan nussel
Persamaan umum referensi 4
Nu = C RaL
m
Dimana untuk Ra antara 104–109 C = 0,53 dan m= ¼
Nu = 0,53 . (6,4 x 105)1/4
Nu = 14,99
Sehingga,
h =
Nud x k
𝐷
h =
14,99 x 0,02458
0,06
= 6,14 W/m2 0C
Sehingga,
Tkaleng= 270
C
Tudara= 40
C
22
q = h(𝑇𝑠 − 𝑇∞)
q = 6,14 x 23
q = 141,24 W/m2
Persamaan umum referensi 76
Nu = C RaL
m
Dimana untuk Ra antara 104–107 C = 0,48 dan m= ¼
Nu = 0,48 . (6,4 x 105)1/4
Nu = 13,58
Sehingga,
h =
Nud x k
𝐷
h =
13,58 x 0,02458
0,06
= 5,563 W/m2 0C
Sehingga,
q = h(Ts – T ͚ )
q = 5,563 x 23
q = 127.96 W/m2
Jika dilihat dari persamaan umum terdapat sedikit perbedaan untuk setiap referensi
dengan perbedaan laju sekitar 13 W/m2 atau sekitar 9,4%.
Persamaan Churchill dan chu
Nu0,5 = 0,6 + 0,387 (
𝑅𝑎
(1+(0,492 /𝑃𝑟)9/16)16/9)1/6
Nu0,5 = 0,6 + 0,387 (
5,7 x 105
(1+(0,492 /0,7323)9/16 )16/9 )1/6
Nu = 12,68
Sehingga,
h =
Nud x k
𝐷
23
h =
12,68 x 0,02458
0,06
= 5,19 W/m2 0C
Sehingga,
q = h(Ts – T ͚ )
q = 5,19 x 23
q = 119,47 W/m2
persamaan untuk 10-6 < Ra < 109
Nu = 0,36 +
0,518 𝑅𝑎
1
4
(1+(0,559/𝑃𝑟)
9
16 )
4
9
Nu = 0,36 +
0,518(5,7 x 105)1/4
(1+(0,559/0,7323 )9/16 )4/9
Nu = 11,16
Sehingga,
h =
Nud x k
𝐷
h =
11,16 x 0,02458
0,06
= 4,57 W/m2 0C
Sehingga,
q = h(Ts – T ͚ )
q = 4,57 x 23
q = 105,15 W/m2
Jika dilihat dari persamaan eksperimen terdapat sedikit perbedaan untuk setiap
referensi dengan perbedaan laju sekitar 14,5 W/m2 atau sekitar 12%. Jika dirata-ratakan dari
semua nilai laju yang telah dicari akan didapatkan:
q = (141,24 + 127,96 + 119,47 + 105,15)/4 = 123,46 W/m2
Jika dilihat dari nilai laju pendinginan untuk setiap bentuk geometri didapatkan
bahwa nilai laju pendingin jika kaleng diletakkan horizontal lebih besar dari laju pendiginan
24
jika kaleng diletakan vertikal. Selain ditinjau dari rumus dapat dilihat pula dari sistem
geometri tersebut dimana luas yang tertutupi pada bagian vertikal lebih banyak dari luas
yang ditutupi oleh bagian horizontal yaitu hanya sebagian kecil dari luas selimutnya
sedangkan yang vertikal yaitu luas alas kaleng tersebut. Sehingga konveksi alamiah lebih
banyak lajunya pada luas yang ditutupinya sedikit sehingga laju pendinginan pada saat
kaleng diletakkan horizontal lebih besar dari laju pendinginan pada saat kaleng diletakkan
vertikal.
2. Sebuah tong besar digunakan untuk menyimpan miyak panas dengan suhu 400oF.
Disekeliling tong dipasang selongsong yang didinginkan hingga suhu 140oF. Ruang
udara yang memisahkan tong dengan selongsong yang mengelilinginya berukuran
tinggi 35 cm dan lebar 3 cm. Ilustrasikan sistem diatas. perkirakan laju konveksi
bebas per-meter persegi luas permukaan!
Jawaban:
Gambar 8. . Skema tong di dalam selongsong
(Sumber: Dokumen pribadi)
Asumsi:
 Sistem terisolasi sempurna, sehingga hanya terjadi perpindahan kalor antara tong
penyimpan minyak dan selongsong berudara
Penyelesaian:
Tm =
TT+TS
2
=
400 +140
2
= 270℉ = 132,22℃ = 405,22 K …(35)
Suhu rata-rata didapatkan sebesar 405,22 K, maka sifat udara pada suhu tersebut adalah
k = 0,034 W/m∙ ℃ β =
1
T∞
=
1
405,22
= 2,47 × 10−3
K−1
v = 26,5 × 10−6
m2
/s Pr = 0,688
GrδPr =
gβ(TT−TS)δ3
v2 Pr…(36)
T
Tong
penyimpan
minyak
T = 400°F
z = 35 cm
δ = 3 cm
Selongsong
T = 140°F
S
25
GrδPr =
(9,8)(2,47 × 10−3)(400− 140)(
5
9
)(0,03)3
(26,5 × 10−6)2
0,688 = 92.487,77
GrδPr = 9,25 × 104
Dari tabel 7-3 (J.P. Holman, 2010), C = 0.197, n = ¼, dan m = -1/9, sehingga
Nuδ =
ke
k
= 0,197(GrδPr)
1
4 (
L
δ
)
−
1
9
…(36)
Nuδ = 0,197(9,25× 104)1/4
(
35
3
)
−1/9
= 2,61
Kemudian, nilai laju konveksi bebas per-meter persegi luas permukaan dapat dihitung
dengan
q
A
= qw = h(TT − TS) = Nuδ
k
δ
(TT − TS) …(37)
q
A
= 2,61
0,034
0,03
(400 − 140)(
5
9
) = 𝟒𝟐𝟕, 𝟐𝟕 𝐖/𝐦 𝟐
Jadi, nilai laju konveksi bebas per-meter persegi luas permukaan antara tong penyimpan
minyak dengan selongsong adalah sebesar 427,27 W/m2.
3. Gas panas dialirkan dalam tabung bersirip pada alat penukar kalor aliran silang,
untuk memanaskan 2,5 kg/detik air dari suhu 35ºC menjadi 85ºC. Gas panas
tersebut (Cp = 1,09 kJ/kgºC) masuk pada suhu 200ºC dan keluar pada suhu 93ºC.
Koefisien perpindahan kalor menyeluruh sebesar 180 W/m2.ºC. Hitunglah luas
area perpindahan kalor dengan menggunakan pendekatan : (a) LMTD, dan (b)
NTU-efektivitas.
Diketahui :
Gambar 9. Cross-flow Heat Exchanger (Fluids Unmixed)
(sumber : http://www.esru.strath.ac.uk/EandE/Web_sites/12-
13/Domestic_flue_gas/images/tmpEA60.png)
 𝑚̇ =2,5 kg/detik
 t1 = 35ºC ; t2 = 85ºC
T1 = 200ºC
T2 = 93ºC
t1 = 35ºC
t2 = 85ºC
m = 25 kg/detik
Cp = 1,09 kJ/kg ºC
U = 180 W/m2
C
26
 Cp = 1,09 kJ/kg ºC
 T1 = 200ºC ; T2 = 93ºC
 U = 180 W/m2C
Ditanya :
Luas Area Perpindahan Kalor dengan Pendekatan :
(a) LMTD ; (b) NTU-Efektivitas
Solusi :
Asumsi :
 Steady State
 Tidak ada perpindahan kalor ke lingkungan (sistem terisolasi sempurna)
 Tipe heat exchanger adalah single pass cross-flow heat exchanger, both fluid
unmixed.
a) Metode LMTD
Log Mean Temperature Difference adalah suatu pendekatan untuk menentukan
perbedaan temperatur pada heat exchanger. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa perbedaan
temperatur antara fluida panas dan fluida dingin bervariasi di sepanjang heat exchanger.
Penghitungan dilakukan dengan mengasumsikan heat exchanger terisolasi sempurna, sehingga
tidak ada kalor yang keluar ke lingkungan. Pendekatan terhadap variasi suhu kemudian
diwakilkan dengan ∆𝑇𝑙𝑚. Penghitungan LMTD diawali dengan penghitungan ∆𝑇𝑙𝑚 tersebut.
Menentukan ∆𝑇𝑙𝑚
∆𝑇𝑙𝑚 =
∆𝑇1−∆𝑇2
ln(∆𝑇1/∆𝑇2)
…(16)
∆𝑇𝑙𝑚 =
(200− 85) − (93 − 35)
ln (
115
58
)
∆𝑻𝒍𝒎 = 𝟖𝟑, 𝟑℃
Untuk cross-flow dan multipass shell-and-tube heat exchangers, diperlukan faktor
koreksi (F) yang bergantung pada bentuk dari heat exchanger serta perbedaan temperatur fluida
panas dan dingin pada inlet dan outlet. Faktor koreksi adalah besarnya penyimpangan dari ∆𝑇𝑙𝑚
pada kasus counter-flow heat exchanger. Faktor koreksi untuk shell-and-tube heat exchanger
direpresentasikan pada grafik yang menyatakan hubungan P dan R, dimana P dan R adalah
rasio temperatur, sehingga langkah selanjutnya adalah menentukan nilai P dan R, kemudian
membaca grafik untuk menentukan nilai F.
Menentukan P, R dan F
Grafik 10. Diagram Penurunan Suhu
(Sumber Holman, 2010)
(38)
27
𝑃 =
𝑡2−𝑡1
𝑇1 −𝑡1
=
85−35
200−35
= 𝟎, 𝟑𝟎𝟑 …(39)
𝑅 =
𝑇1−𝑇2
𝑡2−𝑡1
=
200 −93
85 −35
= 𝟐, 𝟏𝟒 …(40)
Dari diagram heat exchanger untuk single-pass cross-flow, both fluid unmixed, dapat
ditentukan nilai F :
Grafik 11. Grafik F untuk Single Pass Cross-Flow Heat Exchanger
(Fluids Unmixed)
(sumber: Holman, 2010)
Sehingga, dapat diperkirakan nilai F adalah 0,92 untuk P = 0,303 dan R = 2,14.
Terakhir, penghitungan luas area dengan metode LMTD
𝑞 = 𝑚𝐶 𝑝 𝑎𝑖𝑟 ∆𝑡 = 𝑈𝐴𝐹∆𝑇𝑙𝑚 …(41)
𝑞 = (2,5)(4175)(85 − 35) = (180) 𝐴(0,92)(83,3)
𝑨 = 𝟑𝟕, 𝟖 𝒎 𝟐
b) Metode Effectiveness-NTU Method
Metode Effectiveness-NTU Method merupakan metode pendekatan, seperti halnya
LMTD, namun lebih praktis digunakan apabila penghitungan memperhatikan ukuran dan tipe
dari heat exchanger. Metode ini menggunakan parameter tak berdimensi sebagai representasi
heat transfer effectiveness, yakni ε. Dalam penghitungannya, pertama kali kita harus
menentukan nilai dari Cmin dan Cmax, dimana Cmin merupakan nilai kapasitas panas fluida
terkecil dan Cmax adalah nilai kapasitas panas fluida terbesar.
Menentukan Cmin dan Cmax dengan Asas Black
𝑚 𝑔 𝑐𝑔 (200 − 93) = (2,5)(4175)(85− 35) …(42)
𝑚 𝑔 𝑐𝑔 = 𝟒𝟖𝟕𝟕𝐤𝐉/℃ = 𝐶 𝑚𝑖𝑛
Maka :
𝑐 =
𝐶 𝑚𝑖𝑛
𝐶 𝑚𝑎𝑥
=
4877
(2,5 .4175)
=
4877
10.437 ,5
= 𝟎, 𝟒𝟔𝟕 …(43)
Dan :
28
𝜀 =
𝑇ℎ1 −𝑇ℎ2
𝑇ℎ1 −𝑇𝑐1
=
200−93
200−35
= 0,648 = 𝟔𝟒, 𝟖% ...(44)
Langkah selanjutnya adalah membaca grafik untuk menentukan nilai NTU
Grafik 12. Grafik ε untuk Cross-Flow Heat Exchanger (Fluids Unmixed)
(sumber : Holman, 2010)
Dengan 𝜀 = 64,8% dan c = 0,467 didapatkan perkiraan nilai NTU sebesar 1,4
Setelah didapatkan nilai NTU, langkah selanjutnya adalah memasukkan nilai tersebut ke rumus
umum NTU, yakni 𝑁𝑇𝑈 =
𝑈𝐴 𝑠
𝐶 𝑚𝑖𝑛
, sehingga didapatkan :
𝐴𝑈
𝐶 𝑚𝑖𝑛
= 1,4 …(45)
𝐴 =
(1,4)(4877)
180
= 𝟑𝟕, 𝟗 𝒎 𝟐
4. 75.000 lb/jam etilen glikol dipanaskan dari suhu 100oF menjadi 200oF
menggunakan uap pada suhu 250oF. Untuk tujuan tertentu, telah disediakan HE
1-2 dengan diameter dalam 17 ¼ inch. HE tersebut memiliki 224 tabung jenis 14
BWG dengan diameter luar tabung ¾ inch dan panjang 16’0’’. Tabung disusun
dengan susunan triangular pitch 15/16 –inch dan jarak antar baffles 7 inch.
Berapakah faktor pengotor dari HE tersebut ?
Pembahasan :
Diketahui
𝑚̇ 𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 = 75.000
𝑙𝑏
ℎ
𝑇1,𝑖𝑛 = 100 𝑜
𝐹 (𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙) 𝑇1,𝑜𝑢𝑡 = 200 𝑜
𝐹 (𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙)
29
𝑇2,𝑖𝑛 = 250 𝑜
𝐹 ( 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚) 𝑇2,𝑜𝑢𝑡 = 250 𝑜
𝐹 (𝑙𝑖𝑞𝑢𝑖𝑑)
Gambaran Heat Exchanger
Gambar 1 Gambaran Heat Exchanger Shell & Tube dan Sistem
Karakteristik Heat Exchanger :
1. Tipe heat exchanger : HE 1-2 (1 shell dan 2 tubes)
2. Diameter dalam shell (ID) = 17,25 in
3. Jarak antar baffles (b) = 7 inch
4. Diameter luar tube (OD) = 0.75 inch
5. Panjang tube (L) = 16 ft
6. Jenis tube = 14 BWG
7. Pitch tube (Pt)= 15/16 inch
8. Jumlah tube (Nt) = 224
9. Passes tube side (npass) = 2
10. Passes shell side = 1
Ditanya : Rf = ?
Asumsi :
 Pada Heat Exchanger, steam (fluida panas) mengalir pada tube sedangkan etilen glikol (fluida
dingin) mengalir pada shell. Pemilihan fluida ini disebabkan karena uap yang terkondensasi
bersifat korosif sehingga perawatan heat exchanger akan lebih mudah jika uap dialirkan di
dalam tube.
B= 7”
N = 224
Dpipe = 0,75”
14 BWG
ID = 17,25”
L = 16’0”
𝑚̇ 𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 =
75.000 lb/jam
PT= 15/16 “
30
 Steam diasumsikan memiliki sifat-sifat termal yang sama dengan air untuk menentukan
nilai viskositas.
 Tidak ada aliran perpindahan kalor antara sistem dan lingkungan.
 Kalor yang dilepas oleh steam hanya digunakan untuk berubah wujud menjadi cair dan
tidak digunakan untuk menurunkan suhunya.
 Steady state process
 Aliran yang terdapat pada heat exchanger adalah aliran counter.
Langkah-Langkah untuk Menghitung nilai Rf :
1. Menentukan ∆𝑇𝑙𝑚 dengan metode LMTD
∆𝑇𝑙𝑚 =
(𝑇2,𝑜𝑢𝑡 − 𝑇1,𝑜𝑢𝑡 ) − (𝑇2,𝑖𝑛 − 𝑇1,𝑖𝑛)
ln (
𝑇2,𝑜𝑢𝑡 − 𝑇1,𝑜𝑢𝑡
𝑇2,𝑖𝑛 − 𝑇1,𝑖𝑛
)
=
(250 − 200)− (250 − 100)
ln (
250 − 200
250 − 100
)
= 91,024 𝑜
𝐹
2. Menentukan besarnya kalor yang berpindah (Q) dan massa steam yang masuk
Berdasarkan literatur, didapatkan nilai kalor jenis ethylene glycol pada rentang suhu 100-
200°F sebesar 0,62 Btu/lb.oF dan kalor laten penguapan air sebesar 945,5 Btu/lb
𝑄𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 = 𝑚 × 𝑐 × ∆𝑇 = (75.000
𝑙𝑏
ℎ
) × (0,62
𝐵𝑡𝑢
𝑙𝑏. 𝑜 𝐹
) × (200 𝑜
𝐹 − 100 𝑜
𝐹)
𝑄𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 = 4,65 × 106
𝐵𝑡𝑢
ℎ
Menggunakan Asas Black
𝑄𝑙𝑒𝑝𝑎𝑠 ( 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚) = 𝑄𝑡𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 (𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙)
𝑚̇ 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 × 𝐿 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 = 𝑚̇ 𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 × 𝑐 × ∆𝑇
𝑚̇ 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 × (945,5
𝐵𝑡𝑢
𝑙𝑏
) = 4,65 × 106
𝐵𝑡𝑢
ℎ
𝑚̇ 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 = 4918 𝑙𝑏/ℎ
3. Aliran dalam shell (aliran steam)
31
Tabel 4 Data Heat Exchanger
(Sumber : Kern, D. Q., 1965. Process Heat Transfer. Paris: McGraw-Hill Book Company, Inc)
Berdasarkan tabel diatas,maka didapat data untuk OD tube sebesar ¾ in dan 14 BWG
yaitu
ID = 0,584 in = 0,0487 ft 𝑎 𝑡′ = 0,268 in2 = 1,861×10-3 ft2
Selain itu, berdasarkan literatur, viskositas steam pada suhu 250°F sebesar 0,013 cp.
𝑎 𝑡 =
ID × 𝐶′𝐵
Pr× 144
=
N × 𝑎 𝑡′
144 × 𝑛 𝑝𝑎𝑠𝑠
=
224 × (1.861 × 10−3
)
144 × 2
= 1,447 × 10−3
𝑓𝑡2
𝐺𝑡 =
𝑚̇ 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚
𝑎 𝑡
=
4918
𝑙𝑏
ℎ
1,447 × 10−3 𝑓𝑡2
= 3,4 × 106
𝑙𝑏
𝑓𝑡2. ℎ
𝑅𝑒 = 𝐼𝐷 ×
𝐺𝑡
𝜇
=
(0,0487 𝑓𝑡) × (3,4 × 106 𝑙𝑏
𝑓𝑡2. ℎ
)
(0,013 𝑐𝑝) × (2,42
𝑙𝑏
𝑓𝑡. ℎ. 𝑐𝑝)
= 5,263 × 106
Karena bilangan Reynold sebesar 5,263 × 106
, maka aliran steam dalam heat
exchanger merupakan aliran yang turbulen.
32
Gambar 7 Grafik Re vs jH
(Sumber : Kern, D. Q., 1965. Process Heat Transfer. Paris: McGraw-Hill Book Company, Inc)
Karena bilangan Reynold sebesar 5,263 × 106
dan bilangan Reynold tersebut termasuk ke
dalam zona turbulen, maka
𝑗 𝐻 = 𝑅𝑒0,8
= (5,263 × 106)0,8
= 2,4 × 105
𝑗 𝐻 = (
ℎ𝑖𝑜 × 𝐼𝐷
𝑘
)(
𝑐 𝑝 × 𝜇
𝑘
)
−
1
3
(
𝜇
𝜇 𝑤
)
−0,14
→ ℎ𝑖𝑜 =
(
𝑗 𝐻
(
𝑐 𝑝 × 𝜇
𝑘
)
−
1
3
(
𝜇
𝜇 𝑤
)
−0,14
)
×
𝑘
𝐼𝐷
Berdasarkan literatur, diketahui nilai cp untuk steam sebesar 0,41
𝐵𝑡𝑢
𝑙𝑏. 𝑜 𝐹
dan k untuk steam
sebesar 9,9 × 10−3
𝐵𝑡𝑢/ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜
𝐹
ℎ𝑖𝑜 =
(
2,4 × 105
(
(0,41
𝐵𝑡𝑢
𝑙𝑏. 𝑜 𝐹
) × (0,013 𝑐𝑝)× (2,42
𝑙𝑏
𝑓𝑡. ℎ. 𝑐𝑝
)
9,9 × 10−3 𝐵𝑡𝑢/ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜 𝐹
)
−
1
3
(
0,013 𝑐𝑝
1 𝑐𝑝
)
−0,14
)
×
9,9 × 10−3
𝐵𝑡𝑢/ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜
𝐹
(0,0487 𝑓𝑡)
ℎ𝑖𝑜 = 2,9 × 104
𝐵𝑡𝑢
𝑓𝑡2. 𝑜 𝐹
4. Aliran dalam tube (aliran ethylene glycol)
Berdasarkan literatur, nilai viskositas dari etilen glikol pada temperatur 150oF sebesar 5
cp atau 11,17 𝑙𝑏/𝑓𝑡2
ℎ.
Tube pitch merupakan penjumlahan dari diameter tube dan jarak ruangan (C’). Jadi :
𝐶′
= 𝑝𝑖𝑡𝑐ℎ − 𝑂𝐷 =
15
16
−
3
4
= 0,1875 𝑖𝑛
𝑎 𝑠 =
𝐼𝐷 × 𝐶′ × 𝐵
𝑃𝑡
=
(17,25 𝑖𝑛) × (0,1875 𝑖𝑛) × (7 𝑖𝑛)
(
15
16
𝑖𝑛)
= 24,15 𝑖𝑛2
= 0,1677 𝑓𝑡2
33
𝐺𝑠 =
𝑚 𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙
𝑎 𝑠
=
75000
𝑙𝑏
ℎ
0,1677 𝑓𝑡2
= 4,5 × 105
𝑙𝑏
𝑓𝑡2. ℎ
Menentukan De
𝐷 𝑒 =
4 × (
1
2
𝑃 𝑇 × 0,86𝑃 𝑇 −
1
8
𝜋𝑑 𝑜
2
)
1
2
𝜋𝑑 𝑜
=
4 × (
1
2
×
15
16
× 0,86 ×
15
16
−
1
8
𝜋(0,75)2
)
1
2
𝜋(0,75)
𝐷 𝑒 = 0,536 𝑖𝑛 = 0,0447 𝑓𝑡
Menentukan Bilangan Reynold
𝑅𝑒 = 𝐷 𝑒 ×
𝐺𝑠
𝜇
=
(0,0447𝑓𝑡) × (4,5 × 105 𝑙𝑏
𝑓𝑡2.ℎ
)
(11,17
𝑙𝑏
𝑓𝑡. ℎ
)
= 1,8 × 103
Karena bilangan Reynold sebesar 1,8 × 103
maka aliran steam dalam heat echanger
merupakan aliran yang laminer. Berdasarkan gambar 1, didapatkan nilai hio.
Berdasarkan literatur, nilai k etilen glikol sebesar 0,1503 𝐵𝑡𝑢/ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜
𝐹 dan cp etilen
glikol sebesar 0,62
𝐵𝑡𝑢
𝑙𝑏. 𝑜 𝐹
ℎ𝑖𝑜 = 1,86 [( 𝑅𝑒)(
𝑐 𝑝 × 𝜇
𝑘
)(
𝐿
𝐷 𝑒
)]
1
3
(
𝜇
𝜇 𝑤
)
0,14
(
𝑘
𝐷 𝑒
)
ℎ 𝑖𝑜 =
1,86 [(1,8 × 103 ) (
(0,62
𝐵𝑡𝑢
𝑙𝑏. 𝑜 𝐹
) × (11,17
𝑙𝑏
𝑓𝑡. ℎ
)
(0,1503
𝐵𝑡𝑢
ℎ
. 𝑓𝑡. 𝑜 𝐹)
) (
16 𝑓𝑡
0,0447 𝑓𝑡
)]
1
3
(
5 𝑐𝑝
1 𝑐𝑝
)
0,14
(
0,1503
𝐵𝑡𝑢
ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜 𝐹
0,0447 𝑓𝑡
)
ℎ𝑖𝑜 = 2426
𝐵𝑡𝑢
𝑓𝑡2. 𝑜 𝐹
5. Menghitung Rf
𝑈𝑐𝑙𝑒𝑎𝑛 =
ℎ 𝑜 × ℎ𝑖𝑜
ℎ 𝑜 + ℎ𝑖𝑜
=
2426 × 2,9 × 104
2426 + 2,9 × 104
= 2238,72
𝐵𝑡𝑢
𝑓𝑡2. 𝑜 𝐹. ℎ
Menghitung Utotal
Berdasarkan tabel 1, didapatkan a”=0,1963 ft2
𝐴 = 𝑁 × 𝐿 × 𝑎′′
= 224 × 16 × 0,1963 𝑓𝑡2
= 703,54 𝑓𝑡2
Menghitung Udirty
𝑈 𝑑𝑖𝑟𝑡𝑦 =
𝑄
𝐴 × ∆𝑇𝑙𝑚
=
4,65 × 106 𝐵𝑡𝑢
ℎ
(703,54 𝑓𝑡2) × (91,024 𝑜 𝐹)
= 72,6
𝐵𝑡𝑢
𝑓𝑡2. 𝑜 𝐹.ℎ
𝑅
𝑓
=
𝑈𝑐𝑙𝑒𝑎𝑛 − 𝑈 𝑑𝑖𝑟𝑡𝑦
𝑈𝑐𝑙𝑒𝑎𝑛 × 𝑈 𝑑𝑖𝑟𝑡𝑦
=
2238,72 − 72,6
2238,72 × 72,6
= 0,01333
ℎ. 𝑓𝑡2
. 𝑜
𝐹
𝐵𝑡𝑢
34
BAB 3
KESIMPULAN
Perpindahan kalor konveksi sangat bergantung pada aliran atau pergerakan fluida yang
menghantarkan panasnya. Konveksi alamiah adalah perpindahan kalor antara permukaan dengan fluida
yang bergerak karena adanya perubahan massa jenis fluida akibat proses pemanasan.Konveksi paksa
adalah perpindahan kalor dimana fluida dialirkan secara paksa melalui suatu benda atau permukaan
benda (biasanya pada alat penukar kalor).
Laju perpindahan kalor konveksi dipengaruhi oleh koefisien perpindahan kalor konveksi, luas
penampang tegak lurus arah perpindahan kalor, dan perbedaan suhu.Terdapat beberapa bilangan tak
berdimensi yang dapat membantu proses penyelesaian sistem yang melibatkan perpindahan kalor
konveksi di dalamnya seperti bilangan Reynold, Prandtl, Graetz, Rayleigh, Nusselt, Stanton, dan
Grashof. Koefisien perpindahan kalor konveksi dipengaruhi oleh bilangan tak berdimensi Nusselt, nilai
konduktivitas termal, densitas, dan viskositas. Perhitungan bilangan Nusselt berbeda-beda untuk setiap
kondisi (ditentukan oleh jenis aliran, kemiringan permukaan, bentuk benda, dan faktor lainnya), dan
umumnya dipengaruhi oleh bilangan Grashof dan Prandtl.
Konveksi paksa diaplikasikan dalam alat penukar kalor. Alat penukar kalor digunakan untuk
meningkatkan suhu suatu fluida dengan menggunakan fluida lain yang suhunya lebih tinggi (atau
sebaliknya) sehingga terjadi perpindahan kalor di antara keduanya. Perhitungan pada alat penukar panas
dapat menggunakan Metode Pendekatan LMTD dan Metode NTU-efektivitas. Fouling factor terjadi
karena adanya lapisan deposit yang menempel pada alat penukar kalor yang menurunkan performa kerja
alat. Nilai Faktor Pengotoran cukup signifikan sehingga perlu dimasukkan ke dalam perhitungan. Cara
yang paling umum untuk mendapatkan laju perpindahan kalor yang tetap baik meskipun ada fouling
factor adalah dengan menambahkan sirip (fin) pada alat penukar kalor.
Daftar Pustaka
Boles,M.A., Cengel, Y.A., 2002. Thermodynamics: An Engineering Approach. New York:
McGraw-Hill
Smith, J.M., Van Ness, dan Abbott. 2001. Introduction to Chemical Engineering
Thermodynamics 6th edition. New York: McGraw Hill.
Assael, Marc J., Goodwin, Anthony R. H., 2011. Commonly Asked Questions in
Thermodynamics. Taylor and Francis Group, LLC.
Carlson ,Eric C. 1996. Don’t Gamble With Physical PropertiesFor Simulations. Aspen
Technology, Inc.

More Related Content

What's hot

Modul Penyelesaian Soal Alat Penukar Kalor
Modul Penyelesaian Soal Alat Penukar KalorModul Penyelesaian Soal Alat Penukar Kalor
Modul Penyelesaian Soal Alat Penukar Kalor
Ali Hasimi Pane
 
Pengeringan (lanjutan)
Pengeringan (lanjutan)Pengeringan (lanjutan)
Pengeringan (lanjutan)
Muhammad Luthfan
 
Double Pipe Heat Excanger
Double Pipe Heat ExcangerDouble Pipe Heat Excanger
Double Pipe Heat Excanger
Carrie Meiriza Virriysha Putri
 
Ppt kalor sensibel &amp; laten
Ppt kalor sensibel &amp; latenPpt kalor sensibel &amp; laten
Ppt kalor sensibel &amp; laten
SepriSakatsila
 
Modul mekanika fluida: Dasar-dasar Perhitungan Aliran Fluida
Modul mekanika fluida: Dasar-dasar Perhitungan Aliran FluidaModul mekanika fluida: Dasar-dasar Perhitungan Aliran Fluida
Modul mekanika fluida: Dasar-dasar Perhitungan Aliran Fluida
Ali Hasimi Pane
 
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
Iim Fatimura
 
Bab 12 prestasi_mesin (8 files merged)
Bab 12 prestasi_mesin (8 files merged)Bab 12 prestasi_mesin (8 files merged)
Bab 12 prestasi_mesin (8 files merged)
argi prasetio
 
alat-penukar-panas (Heat Exchanger)
alat-penukar-panas (Heat Exchanger)alat-penukar-panas (Heat Exchanger)
alat-penukar-panas (Heat Exchanger)
Ricco Riyan Kurniawan
 
Bucket Elevator
Bucket ElevatorBucket Elevator
Bucket Elevator
DaveWattimena
 
Penghitungan yield etanol
Penghitungan yield etanolPenghitungan yield etanol
Penghitungan yield etanolHerman Ibrahim
 
Penerapan hukum fourier pada perpindahan panas
Penerapan hukum fourier pada perpindahan panasPenerapan hukum fourier pada perpindahan panas
Penerapan hukum fourier pada perpindahan panas
iwandra doank
 
Fenomena perpindahan
Fenomena perpindahanFenomena perpindahan
Fenomena perpindahan
Ezron Wenggo
 
Perpindahan Massa
Perpindahan MassaPerpindahan Massa
Perpindahan Massa
Muhamad Yogi
 
Siklus dasar dan konsep teknik pendingin pada sistem kerja mesin pendingin (r...
Siklus dasar dan konsep teknik pendingin pada sistem kerja mesin pendingin (r...Siklus dasar dan konsep teknik pendingin pada sistem kerja mesin pendingin (r...
Siklus dasar dan konsep teknik pendingin pada sistem kerja mesin pendingin (r...
Ir. Najamudin, MT
 
Prinsip kerja rotary drum vacuum filter
Prinsip kerja rotary drum vacuum filterPrinsip kerja rotary drum vacuum filter
Prinsip kerja rotary drum vacuum filter
Ahmadjuni1
 
Makalah konversi kulit pisang menjadi bioetanol
Makalah konversi kulit pisang menjadi bioetanolMakalah konversi kulit pisang menjadi bioetanol
Makalah konversi kulit pisang menjadi bioetanol
Ahmad Dzikrullah
 
Temperatur Bola Basah(Humidifikasi)
Temperatur Bola Basah(Humidifikasi)Temperatur Bola Basah(Humidifikasi)
Temperatur Bola Basah(Humidifikasi)galih
 
Perpindahan panasd
Perpindahan panasdPerpindahan panasd
Perpindahan panasd
Wisnu Grizzly
 

What's hot (20)

Modul Penyelesaian Soal Alat Penukar Kalor
Modul Penyelesaian Soal Alat Penukar KalorModul Penyelesaian Soal Alat Penukar Kalor
Modul Penyelesaian Soal Alat Penukar Kalor
 
Pengeringan (lanjutan)
Pengeringan (lanjutan)Pengeringan (lanjutan)
Pengeringan (lanjutan)
 
Double Pipe Heat Excanger
Double Pipe Heat ExcangerDouble Pipe Heat Excanger
Double Pipe Heat Excanger
 
Ppt kalor sensibel &amp; laten
Ppt kalor sensibel &amp; latenPpt kalor sensibel &amp; laten
Ppt kalor sensibel &amp; laten
 
Modul mekanika fluida: Dasar-dasar Perhitungan Aliran Fluida
Modul mekanika fluida: Dasar-dasar Perhitungan Aliran FluidaModul mekanika fluida: Dasar-dasar Perhitungan Aliran Fluida
Modul mekanika fluida: Dasar-dasar Perhitungan Aliran Fluida
 
Ppt perpan shell and tube
Ppt perpan shell and tubePpt perpan shell and tube
Ppt perpan shell and tube
 
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
 
Bab 12 prestasi_mesin (8 files merged)
Bab 12 prestasi_mesin (8 files merged)Bab 12 prestasi_mesin (8 files merged)
Bab 12 prestasi_mesin (8 files merged)
 
alat-penukar-panas (Heat Exchanger)
alat-penukar-panas (Heat Exchanger)alat-penukar-panas (Heat Exchanger)
alat-penukar-panas (Heat Exchanger)
 
Bucket Elevator
Bucket ElevatorBucket Elevator
Bucket Elevator
 
Penghitungan yield etanol
Penghitungan yield etanolPenghitungan yield etanol
Penghitungan yield etanol
 
Penerapan hukum fourier pada perpindahan panas
Penerapan hukum fourier pada perpindahan panasPenerapan hukum fourier pada perpindahan panas
Penerapan hukum fourier pada perpindahan panas
 
Fenomena perpindahan
Fenomena perpindahanFenomena perpindahan
Fenomena perpindahan
 
Perpindahan Massa
Perpindahan MassaPerpindahan Massa
Perpindahan Massa
 
Siklus dasar dan konsep teknik pendingin pada sistem kerja mesin pendingin (r...
Siklus dasar dan konsep teknik pendingin pada sistem kerja mesin pendingin (r...Siklus dasar dan konsep teknik pendingin pada sistem kerja mesin pendingin (r...
Siklus dasar dan konsep teknik pendingin pada sistem kerja mesin pendingin (r...
 
Prinsip kerja rotary drum vacuum filter
Prinsip kerja rotary drum vacuum filterPrinsip kerja rotary drum vacuum filter
Prinsip kerja rotary drum vacuum filter
 
Makalah konversi kulit pisang menjadi bioetanol
Makalah konversi kulit pisang menjadi bioetanolMakalah konversi kulit pisang menjadi bioetanol
Makalah konversi kulit pisang menjadi bioetanol
 
Process flow diagram pg
Process flow diagram pgProcess flow diagram pg
Process flow diagram pg
 
Temperatur Bola Basah(Humidifikasi)
Temperatur Bola Basah(Humidifikasi)Temperatur Bola Basah(Humidifikasi)
Temperatur Bola Basah(Humidifikasi)
 
Perpindahan panasd
Perpindahan panasdPerpindahan panasd
Perpindahan panasd
 

Similar to Makalah pbl 2

ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 3 Transfer Massa Uap Air Selama Pengeringan
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 3 Transfer Massa Uap Air Selama PengeringanITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 3 Transfer Massa Uap Air Selama Pengeringan
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 3 Transfer Massa Uap Air Selama PengeringanFransiska Puteri
 
Laporan 7 print
Laporan 7 printLaporan 7 print
Laporan 7 print
Adityo Yudi
 
makalah dryer
makalah dryermakalah dryer
makalah dryer
Zahwa Rigayo
 
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. M. Rizki...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. M. Rizki...Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. M. Rizki...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. M. Rizki...
Luhur Moekti Prayogo
 
laporan praktikum agroklimatologi
laporan praktikum agroklimatologilaporan praktikum agroklimatologi
laporan praktikum agroklimatologiedhie noegroho
 
Termodinamika (5) b sistem_paramagnetik
Termodinamika (5) b sistem_paramagnetikTermodinamika (5) b sistem_paramagnetik
Termodinamika (5) b sistem_paramagnetik
jayamartha
 
12gravimetrik
12gravimetrik12gravimetrik
12gravimetrik
jufrikarim
 
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Any Dian...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Any Dian...Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Any Dian...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Any Dian...
Luhur Moekti Prayogo
 
Global warming
Global warmingGlobal warming
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Luhur Moekti Prayogo
 
Laporan praktikum mekanika fluida ( hydraulic bench ) itb modul 1
Laporan praktikum mekanika fluida ( hydraulic bench ) itb modul 1Laporan praktikum mekanika fluida ( hydraulic bench ) itb modul 1
Laporan praktikum mekanika fluida ( hydraulic bench ) itb modul 1
Health Polytechnic of Bandung
 
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawitpenerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
ArifaHaryani
 
LAPORAN PRAKTIKUM PINDAH PANAS ACARA 3
LAPORAN PRAKTIKUM PINDAH PANAS ACARA 3LAPORAN PRAKTIKUM PINDAH PANAS ACARA 3
LAPORAN PRAKTIKUM PINDAH PANAS ACARA 3Titin Indrawati
 
Kajian sstem kolektor panas mathri utk pengering (edited)
Kajian sstem kolektor panas mathri utk pengering (edited)Kajian sstem kolektor panas mathri utk pengering (edited)
Kajian sstem kolektor panas mathri utk pengering (edited)Ifan Ifan
 
Kajian ulang stabilitas geser dan guling parafet di sungai g
Kajian ulang stabilitas geser dan guling parafet di sungai gKajian ulang stabilitas geser dan guling parafet di sungai g
Kajian ulang stabilitas geser dan guling parafet di sungai gYuli Fransisca Santana
 
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Luhur Moekti Prayogo
 
Makalah vigita
Makalah vigitaMakalah vigita
Makalah vigita
Nurul Aulia
 
Falling film evaporator
Falling film evaporatorFalling film evaporator
Falling film evaporator
Iffa M.Nisa
 
Global warming
Global warmingGlobal warming
Global warming KABUPATEN MUNA
Global warming KABUPATEN MUNAGlobal warming KABUPATEN MUNA
Global warming KABUPATEN MUNA
Operator Warnet Vast Raha
 

Similar to Makalah pbl 2 (20)

ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 3 Transfer Massa Uap Air Selama Pengeringan
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 3 Transfer Massa Uap Air Selama PengeringanITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 3 Transfer Massa Uap Air Selama Pengeringan
ITP UNS SEMESTER 2 Satop acara 3 Transfer Massa Uap Air Selama Pengeringan
 
Laporan 7 print
Laporan 7 printLaporan 7 print
Laporan 7 print
 
makalah dryer
makalah dryermakalah dryer
makalah dryer
 
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. M. Rizki...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. M. Rizki...Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. M. Rizki...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. M. Rizki...
 
laporan praktikum agroklimatologi
laporan praktikum agroklimatologilaporan praktikum agroklimatologi
laporan praktikum agroklimatologi
 
Termodinamika (5) b sistem_paramagnetik
Termodinamika (5) b sistem_paramagnetikTermodinamika (5) b sistem_paramagnetik
Termodinamika (5) b sistem_paramagnetik
 
12gravimetrik
12gravimetrik12gravimetrik
12gravimetrik
 
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Any Dian...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Any Dian...Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Any Dian...
Makalah Desalinasi - Perkembangan Teknologi Desalinasi Air Laut (By. Any Dian...
 
Global warming
Global warmingGlobal warming
Global warming
 
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
 
Laporan praktikum mekanika fluida ( hydraulic bench ) itb modul 1
Laporan praktikum mekanika fluida ( hydraulic bench ) itb modul 1Laporan praktikum mekanika fluida ( hydraulic bench ) itb modul 1
Laporan praktikum mekanika fluida ( hydraulic bench ) itb modul 1
 
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawitpenerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
penerapan integral tentu pada pengairan pembibitan perkebunana kelapa sawit
 
LAPORAN PRAKTIKUM PINDAH PANAS ACARA 3
LAPORAN PRAKTIKUM PINDAH PANAS ACARA 3LAPORAN PRAKTIKUM PINDAH PANAS ACARA 3
LAPORAN PRAKTIKUM PINDAH PANAS ACARA 3
 
Kajian sstem kolektor panas mathri utk pengering (edited)
Kajian sstem kolektor panas mathri utk pengering (edited)Kajian sstem kolektor panas mathri utk pengering (edited)
Kajian sstem kolektor panas mathri utk pengering (edited)
 
Kajian ulang stabilitas geser dan guling parafet di sungai g
Kajian ulang stabilitas geser dan guling parafet di sungai gKajian ulang stabilitas geser dan guling parafet di sungai g
Kajian ulang stabilitas geser dan guling parafet di sungai g
 
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
Makalah Desalinasi - Pengertian dan Perkembangan Desalinasi, Teknologi dan Je...
 
Makalah vigita
Makalah vigitaMakalah vigita
Makalah vigita
 
Falling film evaporator
Falling film evaporatorFalling film evaporator
Falling film evaporator
 
Global warming
Global warmingGlobal warming
Global warming
 
Global warming KABUPATEN MUNA
Global warming KABUPATEN MUNAGlobal warming KABUPATEN MUNA
Global warming KABUPATEN MUNA
 

Recently uploaded

1 - Metode Pelaksanaan Pondasi Tiang Pancang-1.pptx
1 - Metode Pelaksanaan Pondasi Tiang Pancang-1.pptx1 - Metode Pelaksanaan Pondasi Tiang Pancang-1.pptx
1 - Metode Pelaksanaan Pondasi Tiang Pancang-1.pptx
ymikhael4
 
111078825-Nilai-Maksimum-Dan-Minimum-Turunan-Fungsi.pptx
111078825-Nilai-Maksimum-Dan-Minimum-Turunan-Fungsi.pptx111078825-Nilai-Maksimum-Dan-Minimum-Turunan-Fungsi.pptx
111078825-Nilai-Maksimum-Dan-Minimum-Turunan-Fungsi.pptx
RobiahIqlima
 
Paparan Pengawasan Bangunan Gedung.pptx
Paparan  Pengawasan Bangunan Gedung.pptxPaparan  Pengawasan Bangunan Gedung.pptx
Paparan Pengawasan Bangunan Gedung.pptx
RifkiAbrar2
 
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI BATU BARA TERHADAP PENCEMARAN UDARA.pdf
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI BATU BARA TERHADAP PENCEMARAN UDARA.pdfANALISIS PENGARUH INDUSTRI BATU BARA TERHADAP PENCEMARAN UDARA.pdf
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI BATU BARA TERHADAP PENCEMARAN UDARA.pdf
narayafiryal8
 
Sistem Proteksi Jawa Bali untuk gardu induk
Sistem Proteksi Jawa Bali untuk gardu indukSistem Proteksi Jawa Bali untuk gardu induk
Sistem Proteksi Jawa Bali untuk gardu induk
ssuser0b6eb8
 
PROGRAM PERCEPATAN PENINGKATAN TATA GUNA AIR IRIGASI 2024.pdf
PROGRAM PERCEPATAN PENINGKATAN TATA GUNA AIR IRIGASI 2024.pdfPROGRAM PERCEPATAN PENINGKATAN TATA GUNA AIR IRIGASI 2024.pdf
PROGRAM PERCEPATAN PENINGKATAN TATA GUNA AIR IRIGASI 2024.pdf
afifsalim12
 
BAHAN KULIUAH BAHAN TAMBAHAN MAKANANTM 03.pptx
BAHAN KULIUAH BAHAN TAMBAHAN MAKANANTM 03.pptxBAHAN KULIUAH BAHAN TAMBAHAN MAKANANTM 03.pptx
BAHAN KULIUAH BAHAN TAMBAHAN MAKANANTM 03.pptx
ssuser5e48eb
 
DAMPAK POLUSI UDARA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT.pdf
DAMPAK POLUSI UDARA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT.pdfDAMPAK POLUSI UDARA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT.pdf
DAMPAK POLUSI UDARA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT.pdf
benediktusmaksy
 

Recently uploaded (8)

1 - Metode Pelaksanaan Pondasi Tiang Pancang-1.pptx
1 - Metode Pelaksanaan Pondasi Tiang Pancang-1.pptx1 - Metode Pelaksanaan Pondasi Tiang Pancang-1.pptx
1 - Metode Pelaksanaan Pondasi Tiang Pancang-1.pptx
 
111078825-Nilai-Maksimum-Dan-Minimum-Turunan-Fungsi.pptx
111078825-Nilai-Maksimum-Dan-Minimum-Turunan-Fungsi.pptx111078825-Nilai-Maksimum-Dan-Minimum-Turunan-Fungsi.pptx
111078825-Nilai-Maksimum-Dan-Minimum-Turunan-Fungsi.pptx
 
Paparan Pengawasan Bangunan Gedung.pptx
Paparan  Pengawasan Bangunan Gedung.pptxPaparan  Pengawasan Bangunan Gedung.pptx
Paparan Pengawasan Bangunan Gedung.pptx
 
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI BATU BARA TERHADAP PENCEMARAN UDARA.pdf
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI BATU BARA TERHADAP PENCEMARAN UDARA.pdfANALISIS PENGARUH INDUSTRI BATU BARA TERHADAP PENCEMARAN UDARA.pdf
ANALISIS PENGARUH INDUSTRI BATU BARA TERHADAP PENCEMARAN UDARA.pdf
 
Sistem Proteksi Jawa Bali untuk gardu induk
Sistem Proteksi Jawa Bali untuk gardu indukSistem Proteksi Jawa Bali untuk gardu induk
Sistem Proteksi Jawa Bali untuk gardu induk
 
PROGRAM PERCEPATAN PENINGKATAN TATA GUNA AIR IRIGASI 2024.pdf
PROGRAM PERCEPATAN PENINGKATAN TATA GUNA AIR IRIGASI 2024.pdfPROGRAM PERCEPATAN PENINGKATAN TATA GUNA AIR IRIGASI 2024.pdf
PROGRAM PERCEPATAN PENINGKATAN TATA GUNA AIR IRIGASI 2024.pdf
 
BAHAN KULIUAH BAHAN TAMBAHAN MAKANANTM 03.pptx
BAHAN KULIUAH BAHAN TAMBAHAN MAKANANTM 03.pptxBAHAN KULIUAH BAHAN TAMBAHAN MAKANANTM 03.pptx
BAHAN KULIUAH BAHAN TAMBAHAN MAKANANTM 03.pptx
 
DAMPAK POLUSI UDARA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT.pdf
DAMPAK POLUSI UDARA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT.pdfDAMPAK POLUSI UDARA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT.pdf
DAMPAK POLUSI UDARA TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT.pdf
 

Makalah pbl 2

  • 1. MAKALAH PERPINDAHAN KALOR PEMICU 2 PERPINDAHAN KALOR KONVEKSI Kelompok 7 Nida Fathia (1506673170) Jihan Mutiah (1506673201) Wildan Raafi Utomo (1506673246) Ameninta Cesanina Singarimbun (1506725262) Batara Triargi Sabarudin (1506731990) PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA Depok, April 2017
  • 2. 2 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena akhirnya tim penulis dapat menyelesaikan laporan perpindahan kalor pemicu 2 mengenai perpindahan kalor secara konveksi. Sebagai calon insinyur teknik kimia sudah semestinya mempelajari berbagai hal terkait perpindahan kalor, termasuk didalamnya perpindahan kalor secara konveksi. Hal tersebut dipandang sangat penting, untuk menjadi dasar mempelajari proses pada teknik kimia nantinya. Walaupun banyak kendala yang dihadapi sepanjang pembuatan laporan ini, tim penulis tetap bertekad untuk menyelesaikan laporan ini sebagai komitmen dan tanggungjawab demi memenuhi tugas mata kuliah perpindahan kalor. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan ini. Tim penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, tim penulis mengharapkan adanya kritik serta saran supaya laporan ini lebih baik lagi untuk kedepannya. Tim penulis berharap agar laporan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menambah wawasan kami khususnya mahasiswa teknik kimia. Depok,April 2017 Tim penulis
  • 3. 3 Daftar Isi Bab 1. Pendahuluan................................................................................................................5 Bab 2. Jawaban Soal 1.............................................................................................................................5 2.............................................................................................................................6 3.............................................................................................................................9 4.............................................................................................................................10 5.............................................................................................................................12 6.............................................................................................................................15 7.............................................................................................................................17 8............................................................................................................................. Soal Hitungan 1.........................................................................................................................18 1.........................................................................................................................20 3.........................................................................................................................21 4.........................................................................................................................24 Bab 3 Kesimpulan.................................................................................................................34 Daftar Pustaka............................................................................................................35
  • 4. 4 Daftar Gambar Gambar 1. Pengeringan gabah secara alami...............................................................6 Gambar 2. Silinder dalam silinder..............................................................................12 Gambar 3. Aliran Heat Exchanger............................................................................15 Gambar 4. Aliran fluida dalam penukar kalor ...........................................................15 Gambar 5. Distribusi F pada Heat Exchanger dalam aliran berlawanan arah...........15 Gambar 6. Distribusi F pada Heat Exchanger dalam aliran searah...........................16 Gambar 7. Penukar kalor pelat aliran bersimpangan..................................................17 Gambar 8. Skema tong dalam selongsong..................................................................20 Gambar 9. Cross Flow pada Heat Exchanger...........................................................21 Gambar 10. Diagram penurunan suhu........................................................................22 Gambar 11. Grafik F untuk Single Pass Cross Flow Heat Exhanger.......................23 Gambar 12. Grafik ε untuk Single Pass Cross Flow Heat Exhanger .......................23
  • 5. 5 BAB 1 PENDAHULUAN Konveksi adalah peristiwa perpindahan kalor melalui pergerakan molekul – molekul fluida (cair dan gas) akibat adanya perbedaan temperatur. Perpindahan kalor konveksi bergantung pada berbagai variabel yaitu luas permukaan benda yang bersingggungan dengan fluida, perbedaan suhu antara permukaan benda dengan fluida, koefisien fluida yang terlibat, viskositas fluida, kecepatan fluida yang terlibat, konduktivitas termal penghantar, kapasitas panas fluida, dan densitas fluida. Konveksi ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu konveksi alamiah dan konveksi paksa. Perpindahan konveksi alami merupakan perpindahan kalor secara konveksi dimana aliran fluida bergerak secara alami yang dipengaruhi oleh adanya gaya apung dan gaya bodi. Konveksi alamiah dapat terjadi pada beberapa benda seperti plat, bola, silinder, benda tak teratur, dan benda tertutup. Salah satu aplikasi konveksi alami pada kehidupan sehari-hari adalah perstiwa angin darat dan angin laut. Sedangkan, Perpindahan kalor konveksi paksa merupakan perpindahan kalor secara konveksi yang terjadi dengan dibantu oleh suatu alat tambahan seperti alat penukar kalor, atau dengan kata lain perpindahan kalor yang “dipaksakan”. Prinsip dasarnya adalah dengan adanya suatu alat yang memaksa kalor untuk berpindah maka perpindahan kalor yang diinginkan dapat berlangsung lebih cepat dan efektif. Perpindahan kalor konveksi banyak diaplikasikan pada proses pemanasan atau pendinginan fluida dan merupakan kebutuhan utama dalam sektor industri, energi, transportasi serta bidang elektronika. Sifat termal dari fluida kerja memegang peranan penting dalam upaya efisiensi energi pada peralatan perpindahan kalor. Oleh karena banyaknya fenomena dan kasus yang terjadi di lingkungan sekitar berkaitan dengan peristiwa perpindahan kalor konveksi, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pendalaman pemahaman mengenai hal tersebut harus dilakukan. Kami (penulis) berusaha menyediakan beberapa hal mengenai mengenai perpindahan kalor konveksi tersebut ke dalam makalah ini. BAB 2 PEMBAHASAN 1. Bagaimana Anda menjelaskan tentang peranan pengeringan dalam proses pasca panen gabah? Pengeringan merupakan salah satu kegiatan pascapanen yang penting, dengan tujuan agar kadar air gabah aman dari kemungkinan berkembangbiaknya serangga dan mikroorganisme seperti jamur dan bakteri. Pengeringan harus sesegera mungkin dimulai sejak saat dipanen. Apabila pengeringan tidak dapat dilangsungkan, maka usahakan agar gabah yang masih basah tidak ditumpuk tetapi ditebarkan untuk menghindarkan dari kemungkinan terjadinya proses fermentasi. Pengeringan akan semakin cepat apabila ada pemanasan, perluasan permukaan gabah padi dan aliran udara. Adapun tujuan pengeringan disamping untuk menekan biaya transportasi juga untuk menurunkan kadar air dari 23-27 % menjadi 14%, agar dapat disimpan lebih lama serta menghasilkan beras yang berkualitas baik. Proses pengeringan gabah sebaiknya dilakukan secara merata, perlahan-lahan dengan suhu yang tidak terlalu tinggi. Pengeringan yang kurang merata, akan menyebabkan timbulnya retak-retak pada gabah dan sebaliknya gabah yang terlalu kering akan mudah pecah tatkala digiling. Sedangkan
  • 6. 6 dalam kondisi yang masih terlalu basah disamping sulit untuk digiling juga kurang baik ditinjau dari segi penyimpanannya karena akan gampang terserang hama gudang, cendawan dan jamur Mengapa gabah selepas panen harus segera dikeringkan? Hal ini perlu diperhatikan, sebab kadar air pada gabah selepas dipanen masih cukup tinggi sekitar 25% - 30%, bahkan kadang kadang lebih. Kalau gabah itu terus disimpan tanpa pengeringan terlebih dahulu maka gabah jelas akan mengalami kerusakan-kerusakan 2. Bagaimana Anda menjelaskan mekanisme proses dari kedua metode pengeringandi atas bila dikaitkan dengan proses konveksi yang terjadi didalamnya? Termasuk jenis konveksi apakah masing-masing metode tersebut? Peristiwa yang terjadi selama pengeringan meliputi dua proses, diantaranya : o Proses perpindahan panas Terjadinya proses penguapan air dari bahan atau proses perubahan dari bentuk cair ke bentuk gas. o Proses perpindahan massa Terjadi proses perpindahan massa uap air dari permukaan bahan ke udara. Metode pengeringan gabah dapat dilakukan dengan cara alami dan buatan 1. Pengeringan Secara Alami Pengeringan gabah secara alami hendaknya dilakukan di atas lantai yang terbuat dari semen, yang dalam hal ini lantai hendaknya bersih dan tidak ada genangangenangan air. Gabah dihamparkan di atasnya setebal 3 – 5 cm pada pagi hari (sekitar jam 08.00) kalau keadaan udara cerah. Sekiranya lapisan atas gabah telah kering lakukan pembalikan baik dengan menggunakan kaki atau sekop, pembalikan hendaknya dilakukan secara berulang-ulang. Sore hari sekitar jam 16.00 dilakukan pengumpulan gabah dengan bantuan alat penggaruk sehingga merupakan gunungan kecil, kemudian gunungan kecil ditutup dengan lembaran plastik yang lebar, sehingga tidak ada bagian yang terbebas, untuk melindunginya kalau-kalau turun hujan dan dari pengaruh embun. Tetapi sekiranya jumlah yang dikeringkan tidak terlalu banyak, angkutlah gabah ke tempat penyimpanan sementara. Lakukan pengeringan seperti di atas selama 2 sampai 3 hari, setelah itu lakukan pengujian dengan alat moisture tester apakah kadar air gabah telah turun sampai 12% atau belum, kalau belum lakukan penjemuran lagi sampai persentase kadar air tersebut tercapai. Kalau alat moisture tester tidak ada pengujian dilakukan dengan cara menggenggam dan melepaskan sekumpulan gabah atau menggosok-gosoknya dan apabila suaranya gemeresik tandanya gabah telah kering, pengujian selanjutnya dilakukan dengan cara menggigit gabah atau memutarnya di atas lantai dengan tumit dan apabila gabah patah dengan kulit terkelupas, yakinlah gabah telah kering setingkat dengan yang dikendaki. Gambar 1. Pengeringan Gabah secara Alami
  • 7. 7 Sumber: dkpp.jabarprov.go.id Dalam pengeringan gabah secara alami ini hendaknya diperhatikan aktivitas pembalikan gabah, karena hamparan gabah yang menerima teriknya sinar matahari yang lama tidak dibalik-balikkan, maka lapisan bawah dekat alantai akan mengalami kerusakan yang biasa disebut kasus pengerasan (cara hardening) bahkan ada yang mengalami kegosongan. Penjemuran yang terlalu lama sedang cuaca sukar terkontrol, juga dapat menimbulkan kerusakan, yaitu dengan terjadinya kontaminasi oleh jamur atau penyakit lainnya. Pengawasan perlu pula diperhatikan untuk mencegah kehilangan, misalnya terhadap unggas (ayam dan burung) ataupun tenaga kerja yang bertangan panjang. Kehilangan pada waktu pengeringan cukup banyak, yaitu sekitar 1,5% - 2%. 2. Pengeringan secara Mekanis Pengeringan secara mekanis Kalau pengeringan secara alami tidak bisa dilakukan karena adanya gangguan alami, seperti hari-hari hujan, cuaca mendung sepanjang hari, dan lain sebagainya, pada waktu sekarang tidak perlu lagi merisaukan para petani atau industriindustri pengolahan gabah karena para teknisi telah dapat menciptakan alat pengering gabah mekanis, seperti Batch Dryer dan Continue Dryer Blower harus dihidupkan terlebih dahulu sampai air permukaan gabah teruapkan, baru heater dihidupkan, maksudnya untuk mencegah terjadinya kasus pengerasan (case hardening), sebab apabila blower dihidupkan dan heaterpun dihidupkan kemungkinan penguapan akan berlangsung teralu cepat, dengan demikian dapat mengakibatkan bagian kulit luar yang paling luar menjadi sangat kering dan mengeras Secara garis besar, pengering gabah buatan dikelompokkan menjadi tiga, yakni : a) Tipe Bak (Bed Dryer ) Gabah kering sawah dihampar diatas tray (empat persegi panjang) dibagian bawah tray diberikan hembusan udara panas, biasa menggunakan minyak dengan sistem pengeringan secara langsung (direct drying). Sumber panas dapat berasal dari panas matahari yang dikumpulkan (kolektor), listrik, bahan bakar sekam dan lain-lain. b) Tipe Sirkulasi (Recirculation Batch) Pada pengering tipe ini, udara kering dialirkan melalui suatu tabung. Udara kering menarik kelembaban dari tabung yang merupakan kelembaban bahan yang dikeringkan, udara basah akan melewati elemen penguap dan diuapkan. Kemudian kelembaban dibuang, dan udara kering kemudian disirkulasikan kembali. c) Tipe Kontinyu (Continuous Flow Dryer) Pengering tipe kontinyu (continuous flow dryer) dikenal sebagai LSU dryer (hasil pengembangan Lousiana State University). Gabah basah dengan bak elevator dituangkan dibagian atas menara, gabah yang jatuh melalui kisis miring dihembuskan udara panas dari bawah. Energi yang digunakan umumya bahan bakar minyak. Mesin pengering jenis ini hanya terjangkau untuk pengusaha kelas menengah ke atas atau bantuan pemerintah Perpindahan panas yang terjadi dapat melalui berbagai cara yaitu : secara konduksi, secara konveksi dan secara radiasi. Perpindahan secara konduksi yaitu perpindahan panas diantara molekul-molekul dari suatu benda yang saling bersinggungan. Perpindahan panas
  • 8. 8 secara konduksi terjadi antara bulir-bulir padi yang dipanaskan sehingga akan terjadi pemerataan panas pada permukaan padi. Perpindahan secara konveksi yaitu perpindahan panas melalui media gas atau cairan. Perpindahan panas secara radiasi yaitu perpindahan panas melalui sinar atau gelombang suara. Panas radiasi dengan mudah dapat diserap oleh benda/materi yang berwarna gelap, sedangkan untuk benda berwarna terang sebagian akan dipantulkan kembali. Berdasarkan teori di atas, Bila gabah padi terkena panas maka akan terjadi perpindahan panas kedalam gabah dan air di dalam gabah akan mengalami proses penguapan sehingga kadar airnya turun. Penguapan mula-mula terjadi pada air di permukaan, setelah air permukaan berkurang maka terjadi pengaliran air antar sel ke permukaan, karena proses keseimbangan kadar air di dalam gabah sendiri. Proses ini berjalan sampai keadaan air sel dan kadar air permukaan tertentu, selanjutnya dinding sel mengambang dan air dalam sel mengadakan keseimbangan dengan kadar air seluruhnya sehingga ada pengaliran air antara sel. Proses ini terjadi berulang kali sampai terjadi pemindahan air dari dalam gabah ke udara Perpindahan panas dalam mesin pengering digunakan dua prinsip yaitu perpindahan secara konduksi dan konveksi. Perpindahan secara konduksi terjadi diantara bulir-bulir padi yang telah mendapatkan panas akan berpindah melalui gesekan atau bersinggungan dengan bulir yang masih belum mendapat panas. Akibat dari perpindahan panas tersebut maka akan terjadi perpindahan panas ke setiap bulir padi sehingga akan terjadi pemerataan panas. Proses tersebut akan mempercepat waktu pengeringan padi dan terjadi secara merata. Sedangkan prinsip perpindahan panas dengan cara konveksi pada konstruksi mesin pengering padi ini yaitu udara panas dihembuskan oleh kipas kedalam ruangan yang menyimpan gabah sehingga media yang digunakan dalam perpindahan panas adalah udara (Jordan and Priester, 1985 dalam Kamin). Udara panas yang dihembuskan akan masuk ke celah-celah padi sehingga panas akan cepat masuk dan membuang kadar air dari gabah. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya perpindahan panas secara konveksi dengan media udara yang dipaksakan (Forced Convection). Pengeringan dengan metoda seperti ini dapat dikatakan sebagai system konduksi-konveksi. Sistem dengan menggunakan perpindahan dua macam secara teori akan mempercepat proses pengeringan (membuang kandungan air) dan akan terjadi pemerataan pengeringan. Mekanisme keluarnya air dari dalam bahan selama pengeringan adalah sebagai berikut: 1) Perpindahan energi (panas) antar fase dari udara ke permukaan butiran untuk menguapkan air di permuakaan butiran. 2) Perpindahan energi (panas) dari permukaan butiran ke dalam butiran secara konduksi. 3) Perpindahan massa air dari bagian dalam ke permukaan butiran secara difusi dan atau kapiler. 4) Perpindahan massa air antar fasa dari permukaan butiran ke fasa udara pengering. 3. Bagaimana mengoptimalkan proses pengeringan pada metode tersebut? (Kaitkan dengan variable-vaiabel proses yang paling berpengaruh dalam proses konveksi) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada 2 golongan, yaitu: Pada proses pengeringan selalu diinginkan kecepatan pengeringan yang maksimal. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha untuk mempercepat pindah panas dan pindah massa (pindah massa dalam hal ini adalah perpindahan air keluar dari bahan yang dikeringkan
  • 9. 9 dalam proses pengeringan tersebut). Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk memperoleh kecepatan pengeringan maksimum, yaitu : 1. Faktor yang berhubungan dengan udara pengering Yang termasuk golongan ini adalah:  Suhu Semakin besar perbedaan suhu (antara medium pemanas dengan bahan pangan) maka akan semakin cepat proses pindah panas berlangsung sehingga mengakibatkan proses penguapan semakin cepat pula. Atau semakin tinggi suhu udara pengering maka akan semakin besar energi panas yang dibawa ke udara yang akan menyebabkan proses pindah panas semakin cepat sehingga pindah massa akan berlangsung juga dengan cepat.  Kecepatan aliran udara Udara yang bergerak adalah udara yang mempunyai kecepatan gerak yang tinggi yang berguna untuk mengambil uap air dan menghilangkan uap air dari permukaan bahan yang dikeringkan, sehingga dapat mencegah terjadinya udara jenuh yang dapat memperlambat penghilangan air.  Kelembaban udara Semakin lembab udara di dalam ruang pengering dan sekitarnya maka akan semakin lama proses pengeringan berlangsung kering, begitu juga sebaliknya. Karena udara kering dapat mengabsobsi dan menahan uap air.  Arah aliran udara Makin kecil sudut arah udara terhadap posisi bahan, maka bahan semakin cepat kering 2. Faktor yang berhubungan dengan sifat bahan. Yang termasuk golongan ini adalah:  Ukuran bahan Makin kecil ukuran benda, pengeringan akan makin cepat. Semakin kecil ukuran benda dapat menyebabkan permukaan bahan semakin luas, dimana permukaan yang luas dapat memberikan lebih banyak permukaan yang dapat berhubungan dengan medium pemanas serta lebih banyak permukaan tempat air keluar.  Kadar air Makin sedikit air yang dikandung, pengeringan akan makin cepat (Purba. 2012). Kadar air merupakan salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukan banyaknya air yang terkandung di dalam bahan. Kadar air biasanya dinyatakan dengan persentase berat air terhadap bahan basah atau dalam gram air untuk setiap 100 gram bahan yang disebut dengan kadar air basis basah (bb). Berat bahan kering atau padatan adalah berat bahan setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap (konstan) (Tandra. 2013) 4. Bagaimana menentukan nilai koefisien perpindahan kalor konveksi pada suatu sistem? Dan bagaimana pula nilai koefisienkonveksinya jika terjadi pada dimensi atau bentuk benda yang berbeda-beda? Nilai Konveksi Alamiah  Konveksi alamiah pada plat dan silinder vertikal
  • 10. 10 Untuk permukaan vertikal, bilangan nussel dan grashof dilambangkan dengan L ketinggian dari benda sebagai karakteristik dimensi. Perpindahan panas untuk silinder dapat dikorelasikan dengan plat jika bondary layer yang terbentuk tidak besar dibandingkan dengan diameter dari silinder tersebut atau dikriteriakan sebagai berikut: D 𝐿 > 35 𝐺𝑟𝐿 1/4 . . . . . . . .. (1) Nilai dari bilangan nussel dapat dilihat pada Tabel 7-1 hal 334 di buku JP Holman dimana konstanta C dan m diketahui dan buku Cengel Tabel 9-1 hal468 atau dilihat dari rumus yang dibuat oleh Churchill dan Chu yaitu dengan rumus sebagai berikut: Nu0,5 = 0,825 + 0,387 𝑅𝑎 1 6 (1+(0,492/𝑃𝑟) 9 16) 8 27 . . . . . . .. . (2) Sehingga nilai Nu dapat dihubungkan dengan laju panas pada konveksi tersebut yaitu dengan rumus sebagai berikut: 𝑁𝑢 = 𝑞 𝑠L 𝑘( 𝑇𝑠 − 𝑇∞) . . . . . . . . . (3)  Konveksi alamiah pada silinder horizontal Bilangan Nussel dapat ditentukan nilainya berdasarkan range dari bilangan Rayleigh yang dibuat oleh Churchil dan Chu yaitu untuk range 10-5 < Ra < 1012 yaitu: Nu0,5 = 0,6 + 0,387 ( 𝑅𝑎 (1+(0,492 /𝑃𝑟)9/16)16/9)1/6. . . . .. . .. (4) Lalu jika dilihat dari beberapa referensi lainnya untuk range bilangan Rayleigh terdapat berbagai rumus yaitu: 10-6 < Ra < 109 (restrictid to laminar range) Nud = 0,36 + 0,518𝑅𝑎1 /4 (1+(0,559/𝑃𝑟)9/16 )4/9. .. . . . . . . . (5) Referensi 46 Nud = 0,53(Ra.Pr)0,25. . . . . . . .. (6)  Permukaan Isotermal pada Silinder Vertikal dan Pelat Vertikal Dalam sistem bidang datar vertikal, kalor dipindahkan dari bidang vertikal ke sebuah fluida yang bergerak paralel dengan konveksi alamiahnya. Peristiwa ini hanya terjadi ketika fluida yang bergerak sedikit terkena efek gaya konveksi. Anggap fluida mengalir akibat pemanasan, korelasi berikut dapat digunakan ditambah dengan mengasumsikan fluida adalah sebuah diatomik ideal yang berbatasan dengan bidang vertikal bertemperatur konstan dan aliran fluida laminar. Untuk sistem vertikal angka Grashof dan angka Nusselt dibentuk dari panjang plat L sebagai tinggi permukaan dan diameter silinder, D sebagai dimensi karakteristik. Rujukan angka Nusselt dari perhitungan fluks kalor bahwa rumus di bawah ini merupakan rumus yang dievaluasi dari suhu film: 𝑁𝑢 = 𝐶 (𝐺𝑟. 𝑃𝑟)𝑚. . . . . . .. . (7)
  • 11. 11 𝑁𝑢 = 0,1 (𝐺𝑟. 𝑃𝑟)1/3.. . . . . .. . (8) Rumus yang berlaku untuk pelat vertikal adalah: 𝑁𝑢 = 0,68 + 0,670 . 𝑅𝑎1/4 (1 + ( 0,492 𝑃𝑟 ) 9 16 )4/9 . . . . . . . . . (19) untuk 10-1 < RaL < 10 12 𝑁𝑢 = 0,825 + 0,387 . 𝑅𝑎1/5 (1 + ( 0,492 𝑃𝑟 ) 9 16 )8/27 . . . . . . . . .(10) Percobaan-percobaan ekstensif mengenai konveksi bebas dari permukaan vertikal pada kondisi fluks kalor tetap memberikan hasil yang dinyatakan dalam angka Grashof termodifikasi, Gr*: 𝐺𝑟𝑥 ∗ = 𝐺𝑟𝑥 𝑁𝑢 𝑥 = 𝑔𝛽𝑞 𝑤 𝑥4 𝑘𝑣2 . . . . . . .. . (11) dimana qw adalah fluks kalor dinding.  Silinder horizontal Untuk silinder horizontal, penyelesaian secara sederhana menggunakan persamaan umum: 𝑁𝑢 = 𝐶 (𝐺𝑟. 𝑃𝑟)𝑚. . . . . . . . . (12) 𝑁𝑢 = 0,53 (𝐺𝑟. 𝑃𝑟)1/4 .. . . . . .. . (13) Persamaan yang lebih sederhana tetapi berlaku hanya pada aliran laminar dari 10-6 < Grd Pr < 109: 𝑁𝑢 = 0,36 + 0,518 (𝐺𝑟 Pr)1/4 1 + ( 0,559 Pr )9/16)4/9 untuk10-6 < Gr Pr < 109 (laminar) Persamaan perpindahan kalor dari silinder horizontal ke logam cair : 𝑁𝑢 = 0,53(𝐺𝑟. 𝑃𝑟2 )1/4 . . . . . . . . . (14)  Konveksi alamiah pada Enclosed Spaces (silinder) Gambar 2. Silinder dalam silinder (Sumber: Cengel, Yunus A. 2003. Heat Transfer: A Practical Approach, 2nd ed. New York: McGraw-Hill)
  • 12. 12 Misalnya terdapat kasus silinder yang dimasukkan kedalam silinder dengan memiliki temperature yang berbeda dan diameter yang berbeda, pada kasus ini panjang karakteristik ditinjau dari perbedaan diameternya yaitu Lc = (Do – Di)/2. Laju konveksi dalam annulus tersebut diliat dalam rumus : 𝑄 = 2𝜋𝑘 𝑒𝑓𝑓 𝑙𝑛(𝐷𝑜𝐷𝑖)(𝑇𝑖 – 𝑇𝑜).. . . .. . . . (15) 𝑘 𝑒𝑓𝑓 𝑘 = 0,386( 𝑃𝑟0,861 + 𝑃𝑟 )1/4 .(𝐹𝑐𝑦𝑙𝑅𝑎𝐿)1/4).. . . . . . . . (16) 𝐹𝑐𝑙𝑦 = (𝑙𝑛(𝐷𝑜𝐷𝑖))4𝐿𝑐3(𝐷𝑖 − 3,5 + 𝐷𝑜 − 3,5)5.. . . . . . . . (17) Persamaan diatas berlaku jika 0,7 < Pr < 6000 dan 102 < FcylRaL < 107 jika kurang dari 100 maka konveksi alami diabaikan dan keff tidak boleh lebih kecil dari k jika lebih kecil dari k maka keff = k. Sifat-sifat dari fluida diukur dari temperatur dengan rumus (Ti + To)/2. 5. Dalam proses perpindahan kalor konveksi, dikenal beberapa bilangan tak berdimensi, Dapatkan anda menjelaskan bilangan-bilangan tak berdimensi yang terlihat baik pada konveksi alamiah, maupun konveksi paksa ? Dalam penyelesaian masalah perpindahan panas konveksi, pada umumnya kita dapat menyelesaikannya dengan menggunakan metode analisis. Namun seringkali pada beberapa kasus dimana kita harus menggunakan cara cara eksperimental untuk mendapatkan data perencanaan, serta untuk memperoleh data – data sulit yang justru diperlukan untuk menambah pengertian kita tentang proses fisis perpindahan kalor. Data – data eksperimental ini pada umumnya dinyatakan dalam bentuk rumus empiris yang kemudian akan sering dijumpai hubungannya dengan beberapa bilangan tak berdimensi yang selalu digunakan dalam penyelesaian masalah – masalah perhitungan dalam konveksi, yaitu antara lain angka Grashof(Gr), Reynolds(Re), Nusselt(Nu), Prandtl(Pr), Stanton(St), dan Rayleigh(Ra). Setiap bilangan tak berdimensi ini memiliki ciri khas dan karakteristik masing–masing dimana setiap bilangan ini mengkarakterisasi juga suatu parameter khusus. Kegunaan bilangan tak berdimensi, antara lain adalah: 1. Menentukan apakah aliran suatu konveksi bebas pada kondisi film (perbatasan antara benda padat dengan fluida) tersebut merupakan aliran laminer atau tidak. Pentingnya penentuan laminer dan turbulen ini adalah untuk menentukan pemakaian analisis pada proses konveksi tersebut. 2. Menyelesaikan berbagai permasalahan pada kasus konveksi, misalnya pada suatu aliran perpindahan kalor pada bangunan/geometri tertentu atau keterlibatan viskositas, densitas dan karakteristik termal yang dimiliki oleh bidang tersebut, bilangan tak berdimensi akan menunjukkan perbedaan perpindahan kalor pada koordinat tertentu dalam bidang tersebut, sehingga dapat diketahui nilai kalor yang masuk atau lepas serta suhu yang terdapat pada koordinat tersebut. 3. Memberikan batasan-batasan perhitungan yang diperoleh untuk dicocokkan dengan nilai yang harus dimasukkan ke dalam perhitungan. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 (Lampiran). Bilangan-bilangan tak berdimensi yang terdapat dalam perpindahan kalor konveksi bebas, adalah: 1. Bilangan Reynold (Re) Bilangan Reynold digunakan untuk menentukan jenis aliran fluida dalam pipa atau tabung tergolong laminer (Re < 2000), transisi (2000 < Re < 4000) atau turbulen (Re>4000). Bilangan Reynold dapat dinyatakan dalam bentuk:
  • 13. 13 𝑅𝑒 = 𝑢∞ 𝑥 𝑣 = 𝜌𝑢∞ 𝐷 𝜇 = 𝜌𝑢∞ 𝑥 𝜇 = 𝐺𝑑 𝜇 …..(18) Di mana: u = kecepatan aliran bebas, X = jarak dari tepi depan v = µ/ρ = viskositas kinematik D = diameter pipa G = kecepatan massa fluida Dengan 𝐺 = 𝑚 𝐴 = 𝜌𝑢 𝑚… (19) Di mana: um = kecepatan rata-rata A = luas penampang 2. Bilangan Nusselt (Nux) Bilangan Nusselt menyatakan nilai perbandingan nilai perbandingan kalor konveksi dengan konduksi dan digunakan untuk menentukan koefisien perpindahan kalor konveksi alami (hx). Bilangan Nusselt dapat dinyatakan dalam bentuk: 𝑁𝑢 𝑥 = ℎ 𝑥 𝐿 𝑘 …(20) Di mana: hx = koefisien perpindahan kalor konveksi k = konduktivitas termal L = dimensi karakteristik yang berbeda-beda, misalnya pada:  Plat : L = L = panjang plat  Silinder : L = Do = diameter luar silinder  Bola : L = Ro = jari-jari luar bola  Balok : L = L’; dengan 1/L’ = (1/Lv) + (1/Lh) 3. Bilangan Prandtl (Pr) Bilangan Prandtl merupakan parameter yang menghubungkan ketebalan relatif antara lapisan batas hidrodinamik dan lapisan batas termal serta penghubung antara medan kecepatan dengan medan suhu. Bilangan Prandtl didefinisikan sebagai perbandingan antara difusivitas momentum dengan difusivitas termal yang dapat dinyatakan dalam bentuk: 𝑃𝑟 = 𝑣 𝛼 = 𝜇 𝜌⁄ 𝑘𝜌 𝑐 𝑝⁄ = 𝑐 𝑝 𝜇 𝑘 ….(21) Di mana: v = viskositas kinematik / difusivitas momentum fluida cp = kapasitas kalor jenis zat fluida μ = viskositas fluida k = konduktivitas termal. 4. Bilangan Grashof (Gr) Bilangan Grashof adalah perbandingan antara gaya apung dengan gaya viskos dalam sistem perpindahan kalor konveksi bebas. Bilangan Grashof digunakan untuk menghubungkan data konveksi alami. Bilangan Grashof dapat dinyatakan dalam bentuk: 𝐺𝑟 = 𝑔𝛽(∆𝑇)𝜌2 𝐿3 𝜇2 = 𝑔𝛽(𝑇 𝑤−𝑇∞)𝑥3 𝑣2 ….(22) Di mana: g = percepatan gravitasi ΔT = beda temperatur ρ = densitas fluida μ = viskositas fluida L = x = panjang signifikan v = viskositas kinematik.
  • 14. 14 5. Bilangan Graetz (Gz) Bilangan Graetz digunakan pada perhitungan konveksi gabungan (konveksi bebas dan konveksi paksa) pada tabung horizontal. Bilangan Graetz dapat dinyatakan dalam bentuk: 𝐺𝑧 = 𝐷 𝐿 𝑅𝑒𝑃𝑟 = 𝜋 4 𝐷 𝑥 𝑅𝑒𝑃𝑟…(23) Di mana: D = diameter tabung L = panjang tabung x = koordinat rektangular. 6. Bilangan Rayleigh (Ra) Bilangan Rayleigh digunakan untuk menentukan transisi laminer ke turbulen dari suatu aliran lapisan batas konveksi alami. Sebagai contoh, ketika Ra > 109, aliran lapisan batas konveksi alami vertikal pada suatu plat rata menjadi turbulen. Bilangan Rayleigh merupakan perkalian antara bilangan Grashof dan bilangan Prandtl, atau dapat dinyatakan dalam bentuk: 𝑅𝑎 = 𝐺𝑟 ∙ 𝑃𝑟 = 𝑔𝛽 𝑣𝛼 ( 𝑇𝑠 − 𝑇∞) 𝐿3 …(24) Di mana: g = percepatan gravitasi β = koefisien muai termal α = difusivitas termal L = dimensi karakteristik. 6. Dalam suatu alat penukar kalor (Heat Exchanger), dapatkan anda menjelaskan peran arah aliran fluida yang terlibat di dalamnya? Peran arah aliran fluida dalam Heat Exchanger Pada penukar panas dengan aliran berlawanan arah (counterflow), fluida-fluida yang mengalir pada heat exchanger tipe ini berada saling sejajar, akan tetapi memiliki arah yang Gambar 3. Aliran (a) paralel dan (b) berlawanan arah Gambar 4. Aliran (a) dan (b) bersimpangan
  • 15. 15 saling berlawanan. Desain ini menghasilkan efisiensi perpindahan panas yang paling baik diantara jenis heat exchanger yang lain. Hal ini disebabkan karena fluida dingin yang masuk ke dalam exchanger akan bertemu dangan fluida sumber panas yang akan keluar dari exchanger, dimana fluida ini sudah mengalami penurunan panas. Begitu pula pada sisi outlet fluida yang dipanaskan, ia akan dipanaskan oleh fluida sumber panas yang baru saja masuk ke exchanger tersebut. Pada penukar panas ini, perbedaan temperatur pada titik akhir dapat diekspresikan sebagai: ∆𝑇1 = 𝑇ℎ,1 − 𝑇𝑐,1 = 𝑇ℎ,𝑖 − 𝑇𝑐,𝑜….(24) ∆𝑇2 = 𝑇ℎ,2 − 𝑇𝑐,2 = 𝑇ℎ,𝑜 − 𝑇𝑐,𝑖….(25) Sedangkan Paralelflow Heat Exchanger, fluida-fluida kerja pada penukar panas tipe ini mengalir sejajar dan memiliki arah aliran yang sama antara fluida satu dengan yang lainnya. Fluida-fluida tersebut masuk dan keluar heat exchanger melalui sisi yang sama. Desain aliran fluida yang searah pada heat exchanger tipe ini, menghasilkan tingkat efisiensi perpindahan panas yang buruk di antara semua heat exchanger dengan tipe single-pass. Namun tipe ini tetap digunakan pada kondisi-kondisi khusus yakni:  Heat exchanger menggunakan material yang sensitif terhadap temperatur, penggunaan fluida dengan viskositas tinggi, atau temperatur inlet fluida panas yang mencapai 1100 oC.  Jika fluida sumber panas akan mencapai titik beku pada saat didinginkan pada heat exchanger.  Dibutuhkan kondisi heat exchanger yang lebih bersih, karena temperatur dinding heat exchanger tipe paralel flow yang lebih dingin dibandingkan dengan tipe yang lain menyebabkan lebih sulitnya terbentuk kerak di dalam elemennya.  Membantu mencapai fase terbentuknya nucleat boiling pada proses pembentukan uap air. Gambar 5. Distribusi temperatur pada penukar panas dengan aliran berlawanan arah
  • 16. 16 Pada penukar panas ini, perbedaan temperatur pada titik akhir dapat diekspresikan sebagai: ∆𝑇1 = 𝑇ℎ,1 − 𝑇𝑐,1 = 𝑇ℎ,𝑖 − 𝑇𝑐,𝑖…(26) ∆𝑇1 = 𝑇ℎ,2 − 𝑇𝑐,2 = 𝑇ℎ,𝑜 − 𝑇𝑐,𝑜…(27) Pada crossflow heat exchanger, Dua fluida yang mengalir di heat exchanger tipe ini memiliki arah yang saling tegak lurus atau bersilangan. Secara termodinamik, tipe ini memiliki efisiensi perpindahan panas yang lebih rendah daripada tipe counterflow tetapi lebih tinggi daripada tipe paralelflow. Perpindahan panas yang paling efisien terjadi pada sudut-sudut aliran. Untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan gambar-gambar berikut. Gambar 6. Distribusi temperatur pada penukar panas dengan aliran searah Gambar 7. Penukar panas tipe pelat dengan aliran yang bersimpangan (crossflow)
  • 17. 17 KESIMPULAN  Counterflow heat exchanger memiliki efisiensi perpindahan kalor yang paling besar.  Paralelflow heat exchanger memiliki efisiensi perpindahan kalor yang paling kecil.  Arah aliran fluida pada heat exchanger mempengaruhi nilai efisiensi dari tiap desain heat exchanger 7. Bagaimana anda mengoptimalkan kinerja alat penukar kalor tersebut ? (Perhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerjanya) Hal yang mempengaruhi kinerja Heat Exchanger • Koefisien Perpindahan Panas Koefisien perpindahan panas adalah angka yang menyatakan kemampuan suatu sistem atau alat untuk memindahkan energi panas. Semakin baik sistem maka semakin tinggi pula koefisien panas yang dimilikinya. • Perbedaan Suhu / Beda Suhu Rata-Rata antara Masukan dan Keluaran Produk Temperatur fluida panas maupun dingin yang masuk HE biasanya selalu berubah-ubah. Untuk menentukan perbedaan temperatur tersebut digunakan perbedaan temperatur rata- rata atau LMTD (Logarithmic Mean Temperature Difference). LMTD digunakan dalam perhitungan-perhitungan HE yang menunjukkan panas yang dipindahkan. Semakin besar beda suhunya semakin baik pula efisiensinya. • Jumlah Lintasan Di dalam heat exchanger, jumlah lintasan sangat menentukan kecepatan perpindahan kalor. Jumlah lintasan akan mempengaruhi luas permukaan yang melepas kalor. Apabila luas permukaan yang terkena fluida panas semakin banyak atau luas, maka perpindahan kalor akan terjadi lebih cepat. Dalam pelaksanaan, yang dimaksud dengan lintasan adalah banyaknya jumlah tube pada HE. • Material bahan HE HE yang dibuat dengan material bahan yang baik (anti-korosi) akan memiliki kinerja yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan material bahan yang baik akan mencegah atau mengurangi terjadinya korosi atau terbentuknya karat pada HE yang dapat menurunkan efisiensi kerja dari HE. Soal Perhitungan 1. Minuman kaleng berukuran panjang 150 mm, diameter 60 mm, dengan suhu 270C akan didinginkan dengan meletakkannya dalam lemari pendingin pada suhu 40C. Untuk memaksimalkan laju pendinginan, apakah sebaiknya kaleng tersebut diletakkan secara horizontal atau vertical? Diketahui: TS = 270C = 300 K T ͚ = 40C = 277 K Sehingga Tf = 1/2(Ts + T ͚) = ½(27+4) = 15,50C = 288,5 K
  • 18. 18 Sifat dari udara pada evaluasi temperatur tersebut adalah: Tabel x. Sifat udara pada temperatur tertentu 1 sumber: engineeringtoolbox.com Dari interpolasi, didapatkan hasil berupa sifat-sifat pada 40C, yaitu:  k = 0,02458 W/m0C  v = 1,367 x 10-5 m2/s  𝛽 = 1 Tf = 1/ 288,5 K = 3,47 x 10-3 K-1  Pr = 0,7146 D = 0,06 m , L = 0,15m Asumsi:  Steady state  Suhu lemari es tidak diubah-ubah  Udara merupakan gas ideal  Evaporator berada di bagian atas lemari es Ditanya: a. Laju pendinginan saat kaleng diletakkan vertikal b. Laju pendinginan saat kaleng diletakkan horizontal Penyelesaian a. Kaleng diletakkan vertikal
  • 19. 19 Gambar 8. Sistem kaleng vertikal GrL = 𝑔𝛽( 𝑇 𝑠− 𝑇∞)𝐿𝑐3 𝑣2 = 9,81.3,47 x 10−3 (27− 4)0,153 (1,367 x 10−5)2 = 1,414 x 107 Ra = Gr.Pr = 1,414 x 107 x 0,7146 = 1,01 x 107 D 𝐿 > 35 𝐺𝑟𝐿 1/4 0,06 0,15 > 35 (1,414 x 10^7)1/4 0,4 > 0,59 Karena tidak memenuhi persamaan tersebut sehingga sebenernya silinder vertikal tidak dapat dianggap sebagai plat vertikal. Tapi jika diasumsikan memenuhi persamaan tersebut maka untuk mencari laju pendinginan. Mencari bilangan nussel Persamaan eksperimen Churchill dan chu Nu0,5 = 0,825 + 0,387𝑅𝑎 1 6 (1+(0,492/𝑃𝑟) 9 16) 8 27 Nu0,5 = 0,825 + ( 0,387(1,01𝑥107 ) 1 6 (1+(0,492/0,7146 )9/16 )8/27 ) Nu = 30,41 Sehingga, Tkaleng= 270 C Tudara= 40 C
  • 20. 20 h = Nud x k 𝐿 h = 30,41 x 0,02458 0,15 = 4,983 W/m2 0C Sehingga, q = h(Ts – T ͚ ) q = 4,983 x 23 q = 114,613 W/m2 dan jika digunakan persamaan umum silinder vertikal yaitu: Persamaan umum referensi 4 Nu = C RaL m Dimana untuk Ra antara 104–109 C = 0,59 dan m= ¼ Nu = 0,59 . (9 x 106)1/4 Nu = 32,32 Sehingga, h = Nud x k 𝐷 h = 32,32 x 0,02458 0,15 = 5,296 W/m2 0C Sehingga, q = h(Ts – T ͚ ) q = 5,296 x 23 q = 121,812 W/m2 Jika dilihat dari persamaan umum terdapat sedikit perbedaan untuk setiap referensi dengan perbedaan laju sekitar 7,2 W/m2 atau sekitar 6%. Jika dirata-ratakan dari semua nilai laju yang telah dicari akan didapatkan: q = (121,812 + 114,613)/2 = 118,212 W/m2
  • 21. 21 b. Kaleng diletakkan horizontal Gambar Sistem Gambar 9 Sistem kaleng horizontal Lc = D Ra = 𝑔𝛽(𝑇𝑠− T ͚) 𝐿𝑐3 𝑣2 Pr = 9,81.3,47 x 10−3 (27− 4)0,063 (1,367 x 10−5) 2 x 0,7146 Ra = 6,4 x 105 Mencari bilangan nussel Persamaan umum referensi 4 Nu = C RaL m Dimana untuk Ra antara 104–109 C = 0,53 dan m= ¼ Nu = 0,53 . (6,4 x 105)1/4 Nu = 14,99 Sehingga, h = Nud x k 𝐷 h = 14,99 x 0,02458 0,06 = 6,14 W/m2 0C Sehingga, Tkaleng= 270 C Tudara= 40 C
  • 22. 22 q = h(𝑇𝑠 − 𝑇∞) q = 6,14 x 23 q = 141,24 W/m2 Persamaan umum referensi 76 Nu = C RaL m Dimana untuk Ra antara 104–107 C = 0,48 dan m= ¼ Nu = 0,48 . (6,4 x 105)1/4 Nu = 13,58 Sehingga, h = Nud x k 𝐷 h = 13,58 x 0,02458 0,06 = 5,563 W/m2 0C Sehingga, q = h(Ts – T ͚ ) q = 5,563 x 23 q = 127.96 W/m2 Jika dilihat dari persamaan umum terdapat sedikit perbedaan untuk setiap referensi dengan perbedaan laju sekitar 13 W/m2 atau sekitar 9,4%. Persamaan Churchill dan chu Nu0,5 = 0,6 + 0,387 ( 𝑅𝑎 (1+(0,492 /𝑃𝑟)9/16)16/9)1/6 Nu0,5 = 0,6 + 0,387 ( 5,7 x 105 (1+(0,492 /0,7323)9/16 )16/9 )1/6 Nu = 12,68 Sehingga, h = Nud x k 𝐷
  • 23. 23 h = 12,68 x 0,02458 0,06 = 5,19 W/m2 0C Sehingga, q = h(Ts – T ͚ ) q = 5,19 x 23 q = 119,47 W/m2 persamaan untuk 10-6 < Ra < 109 Nu = 0,36 + 0,518 𝑅𝑎 1 4 (1+(0,559/𝑃𝑟) 9 16 ) 4 9 Nu = 0,36 + 0,518(5,7 x 105)1/4 (1+(0,559/0,7323 )9/16 )4/9 Nu = 11,16 Sehingga, h = Nud x k 𝐷 h = 11,16 x 0,02458 0,06 = 4,57 W/m2 0C Sehingga, q = h(Ts – T ͚ ) q = 4,57 x 23 q = 105,15 W/m2 Jika dilihat dari persamaan eksperimen terdapat sedikit perbedaan untuk setiap referensi dengan perbedaan laju sekitar 14,5 W/m2 atau sekitar 12%. Jika dirata-ratakan dari semua nilai laju yang telah dicari akan didapatkan: q = (141,24 + 127,96 + 119,47 + 105,15)/4 = 123,46 W/m2 Jika dilihat dari nilai laju pendinginan untuk setiap bentuk geometri didapatkan bahwa nilai laju pendingin jika kaleng diletakkan horizontal lebih besar dari laju pendiginan
  • 24. 24 jika kaleng diletakan vertikal. Selain ditinjau dari rumus dapat dilihat pula dari sistem geometri tersebut dimana luas yang tertutupi pada bagian vertikal lebih banyak dari luas yang ditutupi oleh bagian horizontal yaitu hanya sebagian kecil dari luas selimutnya sedangkan yang vertikal yaitu luas alas kaleng tersebut. Sehingga konveksi alamiah lebih banyak lajunya pada luas yang ditutupinya sedikit sehingga laju pendinginan pada saat kaleng diletakkan horizontal lebih besar dari laju pendinginan pada saat kaleng diletakkan vertikal. 2. Sebuah tong besar digunakan untuk menyimpan miyak panas dengan suhu 400oF. Disekeliling tong dipasang selongsong yang didinginkan hingga suhu 140oF. Ruang udara yang memisahkan tong dengan selongsong yang mengelilinginya berukuran tinggi 35 cm dan lebar 3 cm. Ilustrasikan sistem diatas. perkirakan laju konveksi bebas per-meter persegi luas permukaan! Jawaban: Gambar 8. . Skema tong di dalam selongsong (Sumber: Dokumen pribadi) Asumsi:  Sistem terisolasi sempurna, sehingga hanya terjadi perpindahan kalor antara tong penyimpan minyak dan selongsong berudara Penyelesaian: Tm = TT+TS 2 = 400 +140 2 = 270℉ = 132,22℃ = 405,22 K …(35) Suhu rata-rata didapatkan sebesar 405,22 K, maka sifat udara pada suhu tersebut adalah k = 0,034 W/m∙ ℃ β = 1 T∞ = 1 405,22 = 2,47 × 10−3 K−1 v = 26,5 × 10−6 m2 /s Pr = 0,688 GrδPr = gβ(TT−TS)δ3 v2 Pr…(36) T Tong penyimpan minyak T = 400°F z = 35 cm δ = 3 cm Selongsong T = 140°F S
  • 25. 25 GrδPr = (9,8)(2,47 × 10−3)(400− 140)( 5 9 )(0,03)3 (26,5 × 10−6)2 0,688 = 92.487,77 GrδPr = 9,25 × 104 Dari tabel 7-3 (J.P. Holman, 2010), C = 0.197, n = ¼, dan m = -1/9, sehingga Nuδ = ke k = 0,197(GrδPr) 1 4 ( L δ ) − 1 9 …(36) Nuδ = 0,197(9,25× 104)1/4 ( 35 3 ) −1/9 = 2,61 Kemudian, nilai laju konveksi bebas per-meter persegi luas permukaan dapat dihitung dengan q A = qw = h(TT − TS) = Nuδ k δ (TT − TS) …(37) q A = 2,61 0,034 0,03 (400 − 140)( 5 9 ) = 𝟒𝟐𝟕, 𝟐𝟕 𝐖/𝐦 𝟐 Jadi, nilai laju konveksi bebas per-meter persegi luas permukaan antara tong penyimpan minyak dengan selongsong adalah sebesar 427,27 W/m2. 3. Gas panas dialirkan dalam tabung bersirip pada alat penukar kalor aliran silang, untuk memanaskan 2,5 kg/detik air dari suhu 35ºC menjadi 85ºC. Gas panas tersebut (Cp = 1,09 kJ/kgºC) masuk pada suhu 200ºC dan keluar pada suhu 93ºC. Koefisien perpindahan kalor menyeluruh sebesar 180 W/m2.ºC. Hitunglah luas area perpindahan kalor dengan menggunakan pendekatan : (a) LMTD, dan (b) NTU-efektivitas. Diketahui : Gambar 9. Cross-flow Heat Exchanger (Fluids Unmixed) (sumber : http://www.esru.strath.ac.uk/EandE/Web_sites/12- 13/Domestic_flue_gas/images/tmpEA60.png)  𝑚̇ =2,5 kg/detik  t1 = 35ºC ; t2 = 85ºC T1 = 200ºC T2 = 93ºC t1 = 35ºC t2 = 85ºC m = 25 kg/detik Cp = 1,09 kJ/kg ºC U = 180 W/m2 C
  • 26. 26  Cp = 1,09 kJ/kg ºC  T1 = 200ºC ; T2 = 93ºC  U = 180 W/m2C Ditanya : Luas Area Perpindahan Kalor dengan Pendekatan : (a) LMTD ; (b) NTU-Efektivitas Solusi : Asumsi :  Steady State  Tidak ada perpindahan kalor ke lingkungan (sistem terisolasi sempurna)  Tipe heat exchanger adalah single pass cross-flow heat exchanger, both fluid unmixed. a) Metode LMTD Log Mean Temperature Difference adalah suatu pendekatan untuk menentukan perbedaan temperatur pada heat exchanger. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa perbedaan temperatur antara fluida panas dan fluida dingin bervariasi di sepanjang heat exchanger. Penghitungan dilakukan dengan mengasumsikan heat exchanger terisolasi sempurna, sehingga tidak ada kalor yang keluar ke lingkungan. Pendekatan terhadap variasi suhu kemudian diwakilkan dengan ∆𝑇𝑙𝑚. Penghitungan LMTD diawali dengan penghitungan ∆𝑇𝑙𝑚 tersebut. Menentukan ∆𝑇𝑙𝑚 ∆𝑇𝑙𝑚 = ∆𝑇1−∆𝑇2 ln(∆𝑇1/∆𝑇2) …(16) ∆𝑇𝑙𝑚 = (200− 85) − (93 − 35) ln ( 115 58 ) ∆𝑻𝒍𝒎 = 𝟖𝟑, 𝟑℃ Untuk cross-flow dan multipass shell-and-tube heat exchangers, diperlukan faktor koreksi (F) yang bergantung pada bentuk dari heat exchanger serta perbedaan temperatur fluida panas dan dingin pada inlet dan outlet. Faktor koreksi adalah besarnya penyimpangan dari ∆𝑇𝑙𝑚 pada kasus counter-flow heat exchanger. Faktor koreksi untuk shell-and-tube heat exchanger direpresentasikan pada grafik yang menyatakan hubungan P dan R, dimana P dan R adalah rasio temperatur, sehingga langkah selanjutnya adalah menentukan nilai P dan R, kemudian membaca grafik untuk menentukan nilai F. Menentukan P, R dan F Grafik 10. Diagram Penurunan Suhu (Sumber Holman, 2010) (38)
  • 27. 27 𝑃 = 𝑡2−𝑡1 𝑇1 −𝑡1 = 85−35 200−35 = 𝟎, 𝟑𝟎𝟑 …(39) 𝑅 = 𝑇1−𝑇2 𝑡2−𝑡1 = 200 −93 85 −35 = 𝟐, 𝟏𝟒 …(40) Dari diagram heat exchanger untuk single-pass cross-flow, both fluid unmixed, dapat ditentukan nilai F : Grafik 11. Grafik F untuk Single Pass Cross-Flow Heat Exchanger (Fluids Unmixed) (sumber: Holman, 2010) Sehingga, dapat diperkirakan nilai F adalah 0,92 untuk P = 0,303 dan R = 2,14. Terakhir, penghitungan luas area dengan metode LMTD 𝑞 = 𝑚𝐶 𝑝 𝑎𝑖𝑟 ∆𝑡 = 𝑈𝐴𝐹∆𝑇𝑙𝑚 …(41) 𝑞 = (2,5)(4175)(85 − 35) = (180) 𝐴(0,92)(83,3) 𝑨 = 𝟑𝟕, 𝟖 𝒎 𝟐 b) Metode Effectiveness-NTU Method Metode Effectiveness-NTU Method merupakan metode pendekatan, seperti halnya LMTD, namun lebih praktis digunakan apabila penghitungan memperhatikan ukuran dan tipe dari heat exchanger. Metode ini menggunakan parameter tak berdimensi sebagai representasi heat transfer effectiveness, yakni ε. Dalam penghitungannya, pertama kali kita harus menentukan nilai dari Cmin dan Cmax, dimana Cmin merupakan nilai kapasitas panas fluida terkecil dan Cmax adalah nilai kapasitas panas fluida terbesar. Menentukan Cmin dan Cmax dengan Asas Black 𝑚 𝑔 𝑐𝑔 (200 − 93) = (2,5)(4175)(85− 35) …(42) 𝑚 𝑔 𝑐𝑔 = 𝟒𝟖𝟕𝟕𝐤𝐉/℃ = 𝐶 𝑚𝑖𝑛 Maka : 𝑐 = 𝐶 𝑚𝑖𝑛 𝐶 𝑚𝑎𝑥 = 4877 (2,5 .4175) = 4877 10.437 ,5 = 𝟎, 𝟒𝟔𝟕 …(43) Dan :
  • 28. 28 𝜀 = 𝑇ℎ1 −𝑇ℎ2 𝑇ℎ1 −𝑇𝑐1 = 200−93 200−35 = 0,648 = 𝟔𝟒, 𝟖% ...(44) Langkah selanjutnya adalah membaca grafik untuk menentukan nilai NTU Grafik 12. Grafik ε untuk Cross-Flow Heat Exchanger (Fluids Unmixed) (sumber : Holman, 2010) Dengan 𝜀 = 64,8% dan c = 0,467 didapatkan perkiraan nilai NTU sebesar 1,4 Setelah didapatkan nilai NTU, langkah selanjutnya adalah memasukkan nilai tersebut ke rumus umum NTU, yakni 𝑁𝑇𝑈 = 𝑈𝐴 𝑠 𝐶 𝑚𝑖𝑛 , sehingga didapatkan : 𝐴𝑈 𝐶 𝑚𝑖𝑛 = 1,4 …(45) 𝐴 = (1,4)(4877) 180 = 𝟑𝟕, 𝟗 𝒎 𝟐 4. 75.000 lb/jam etilen glikol dipanaskan dari suhu 100oF menjadi 200oF menggunakan uap pada suhu 250oF. Untuk tujuan tertentu, telah disediakan HE 1-2 dengan diameter dalam 17 ¼ inch. HE tersebut memiliki 224 tabung jenis 14 BWG dengan diameter luar tabung ¾ inch dan panjang 16’0’’. Tabung disusun dengan susunan triangular pitch 15/16 –inch dan jarak antar baffles 7 inch. Berapakah faktor pengotor dari HE tersebut ? Pembahasan : Diketahui 𝑚̇ 𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 = 75.000 𝑙𝑏 ℎ 𝑇1,𝑖𝑛 = 100 𝑜 𝐹 (𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙) 𝑇1,𝑜𝑢𝑡 = 200 𝑜 𝐹 (𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙)
  • 29. 29 𝑇2,𝑖𝑛 = 250 𝑜 𝐹 ( 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚) 𝑇2,𝑜𝑢𝑡 = 250 𝑜 𝐹 (𝑙𝑖𝑞𝑢𝑖𝑑) Gambaran Heat Exchanger Gambar 1 Gambaran Heat Exchanger Shell & Tube dan Sistem Karakteristik Heat Exchanger : 1. Tipe heat exchanger : HE 1-2 (1 shell dan 2 tubes) 2. Diameter dalam shell (ID) = 17,25 in 3. Jarak antar baffles (b) = 7 inch 4. Diameter luar tube (OD) = 0.75 inch 5. Panjang tube (L) = 16 ft 6. Jenis tube = 14 BWG 7. Pitch tube (Pt)= 15/16 inch 8. Jumlah tube (Nt) = 224 9. Passes tube side (npass) = 2 10. Passes shell side = 1 Ditanya : Rf = ? Asumsi :  Pada Heat Exchanger, steam (fluida panas) mengalir pada tube sedangkan etilen glikol (fluida dingin) mengalir pada shell. Pemilihan fluida ini disebabkan karena uap yang terkondensasi bersifat korosif sehingga perawatan heat exchanger akan lebih mudah jika uap dialirkan di dalam tube. B= 7” N = 224 Dpipe = 0,75” 14 BWG ID = 17,25” L = 16’0” 𝑚̇ 𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 = 75.000 lb/jam PT= 15/16 “
  • 30. 30  Steam diasumsikan memiliki sifat-sifat termal yang sama dengan air untuk menentukan nilai viskositas.  Tidak ada aliran perpindahan kalor antara sistem dan lingkungan.  Kalor yang dilepas oleh steam hanya digunakan untuk berubah wujud menjadi cair dan tidak digunakan untuk menurunkan suhunya.  Steady state process  Aliran yang terdapat pada heat exchanger adalah aliran counter. Langkah-Langkah untuk Menghitung nilai Rf : 1. Menentukan ∆𝑇𝑙𝑚 dengan metode LMTD ∆𝑇𝑙𝑚 = (𝑇2,𝑜𝑢𝑡 − 𝑇1,𝑜𝑢𝑡 ) − (𝑇2,𝑖𝑛 − 𝑇1,𝑖𝑛) ln ( 𝑇2,𝑜𝑢𝑡 − 𝑇1,𝑜𝑢𝑡 𝑇2,𝑖𝑛 − 𝑇1,𝑖𝑛 ) = (250 − 200)− (250 − 100) ln ( 250 − 200 250 − 100 ) = 91,024 𝑜 𝐹 2. Menentukan besarnya kalor yang berpindah (Q) dan massa steam yang masuk Berdasarkan literatur, didapatkan nilai kalor jenis ethylene glycol pada rentang suhu 100- 200°F sebesar 0,62 Btu/lb.oF dan kalor laten penguapan air sebesar 945,5 Btu/lb 𝑄𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 = 𝑚 × 𝑐 × ∆𝑇 = (75.000 𝑙𝑏 ℎ ) × (0,62 𝐵𝑡𝑢 𝑙𝑏. 𝑜 𝐹 ) × (200 𝑜 𝐹 − 100 𝑜 𝐹) 𝑄𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 = 4,65 × 106 𝐵𝑡𝑢 ℎ Menggunakan Asas Black 𝑄𝑙𝑒𝑝𝑎𝑠 ( 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚) = 𝑄𝑡𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 (𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙) 𝑚̇ 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 × 𝐿 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 = 𝑚̇ 𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 × 𝑐 × ∆𝑇 𝑚̇ 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 × (945,5 𝐵𝑡𝑢 𝑙𝑏 ) = 4,65 × 106 𝐵𝑡𝑢 ℎ 𝑚̇ 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 = 4918 𝑙𝑏/ℎ 3. Aliran dalam shell (aliran steam)
  • 31. 31 Tabel 4 Data Heat Exchanger (Sumber : Kern, D. Q., 1965. Process Heat Transfer. Paris: McGraw-Hill Book Company, Inc) Berdasarkan tabel diatas,maka didapat data untuk OD tube sebesar ¾ in dan 14 BWG yaitu ID = 0,584 in = 0,0487 ft 𝑎 𝑡′ = 0,268 in2 = 1,861×10-3 ft2 Selain itu, berdasarkan literatur, viskositas steam pada suhu 250°F sebesar 0,013 cp. 𝑎 𝑡 = ID × 𝐶′𝐵 Pr× 144 = N × 𝑎 𝑡′ 144 × 𝑛 𝑝𝑎𝑠𝑠 = 224 × (1.861 × 10−3 ) 144 × 2 = 1,447 × 10−3 𝑓𝑡2 𝐺𝑡 = 𝑚̇ 𝑠𝑡𝑒𝑎𝑚 𝑎 𝑡 = 4918 𝑙𝑏 ℎ 1,447 × 10−3 𝑓𝑡2 = 3,4 × 106 𝑙𝑏 𝑓𝑡2. ℎ 𝑅𝑒 = 𝐼𝐷 × 𝐺𝑡 𝜇 = (0,0487 𝑓𝑡) × (3,4 × 106 𝑙𝑏 𝑓𝑡2. ℎ ) (0,013 𝑐𝑝) × (2,42 𝑙𝑏 𝑓𝑡. ℎ. 𝑐𝑝) = 5,263 × 106 Karena bilangan Reynold sebesar 5,263 × 106 , maka aliran steam dalam heat exchanger merupakan aliran yang turbulen.
  • 32. 32 Gambar 7 Grafik Re vs jH (Sumber : Kern, D. Q., 1965. Process Heat Transfer. Paris: McGraw-Hill Book Company, Inc) Karena bilangan Reynold sebesar 5,263 × 106 dan bilangan Reynold tersebut termasuk ke dalam zona turbulen, maka 𝑗 𝐻 = 𝑅𝑒0,8 = (5,263 × 106)0,8 = 2,4 × 105 𝑗 𝐻 = ( ℎ𝑖𝑜 × 𝐼𝐷 𝑘 )( 𝑐 𝑝 × 𝜇 𝑘 ) − 1 3 ( 𝜇 𝜇 𝑤 ) −0,14 → ℎ𝑖𝑜 = ( 𝑗 𝐻 ( 𝑐 𝑝 × 𝜇 𝑘 ) − 1 3 ( 𝜇 𝜇 𝑤 ) −0,14 ) × 𝑘 𝐼𝐷 Berdasarkan literatur, diketahui nilai cp untuk steam sebesar 0,41 𝐵𝑡𝑢 𝑙𝑏. 𝑜 𝐹 dan k untuk steam sebesar 9,9 × 10−3 𝐵𝑡𝑢/ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜 𝐹 ℎ𝑖𝑜 = ( 2,4 × 105 ( (0,41 𝐵𝑡𝑢 𝑙𝑏. 𝑜 𝐹 ) × (0,013 𝑐𝑝)× (2,42 𝑙𝑏 𝑓𝑡. ℎ. 𝑐𝑝 ) 9,9 × 10−3 𝐵𝑡𝑢/ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜 𝐹 ) − 1 3 ( 0,013 𝑐𝑝 1 𝑐𝑝 ) −0,14 ) × 9,9 × 10−3 𝐵𝑡𝑢/ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜 𝐹 (0,0487 𝑓𝑡) ℎ𝑖𝑜 = 2,9 × 104 𝐵𝑡𝑢 𝑓𝑡2. 𝑜 𝐹 4. Aliran dalam tube (aliran ethylene glycol) Berdasarkan literatur, nilai viskositas dari etilen glikol pada temperatur 150oF sebesar 5 cp atau 11,17 𝑙𝑏/𝑓𝑡2 ℎ. Tube pitch merupakan penjumlahan dari diameter tube dan jarak ruangan (C’). Jadi : 𝐶′ = 𝑝𝑖𝑡𝑐ℎ − 𝑂𝐷 = 15 16 − 3 4 = 0,1875 𝑖𝑛 𝑎 𝑠 = 𝐼𝐷 × 𝐶′ × 𝐵 𝑃𝑡 = (17,25 𝑖𝑛) × (0,1875 𝑖𝑛) × (7 𝑖𝑛) ( 15 16 𝑖𝑛) = 24,15 𝑖𝑛2 = 0,1677 𝑓𝑡2
  • 33. 33 𝐺𝑠 = 𝑚 𝑒𝑡ℎ𝑦𝑙𝑒𝑛𝑒 𝑔𝑙𝑦𝑐𝑜𝑙 𝑎 𝑠 = 75000 𝑙𝑏 ℎ 0,1677 𝑓𝑡2 = 4,5 × 105 𝑙𝑏 𝑓𝑡2. ℎ Menentukan De 𝐷 𝑒 = 4 × ( 1 2 𝑃 𝑇 × 0,86𝑃 𝑇 − 1 8 𝜋𝑑 𝑜 2 ) 1 2 𝜋𝑑 𝑜 = 4 × ( 1 2 × 15 16 × 0,86 × 15 16 − 1 8 𝜋(0,75)2 ) 1 2 𝜋(0,75) 𝐷 𝑒 = 0,536 𝑖𝑛 = 0,0447 𝑓𝑡 Menentukan Bilangan Reynold 𝑅𝑒 = 𝐷 𝑒 × 𝐺𝑠 𝜇 = (0,0447𝑓𝑡) × (4,5 × 105 𝑙𝑏 𝑓𝑡2.ℎ ) (11,17 𝑙𝑏 𝑓𝑡. ℎ ) = 1,8 × 103 Karena bilangan Reynold sebesar 1,8 × 103 maka aliran steam dalam heat echanger merupakan aliran yang laminer. Berdasarkan gambar 1, didapatkan nilai hio. Berdasarkan literatur, nilai k etilen glikol sebesar 0,1503 𝐵𝑡𝑢/ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜 𝐹 dan cp etilen glikol sebesar 0,62 𝐵𝑡𝑢 𝑙𝑏. 𝑜 𝐹 ℎ𝑖𝑜 = 1,86 [( 𝑅𝑒)( 𝑐 𝑝 × 𝜇 𝑘 )( 𝐿 𝐷 𝑒 )] 1 3 ( 𝜇 𝜇 𝑤 ) 0,14 ( 𝑘 𝐷 𝑒 ) ℎ 𝑖𝑜 = 1,86 [(1,8 × 103 ) ( (0,62 𝐵𝑡𝑢 𝑙𝑏. 𝑜 𝐹 ) × (11,17 𝑙𝑏 𝑓𝑡. ℎ ) (0,1503 𝐵𝑡𝑢 ℎ . 𝑓𝑡. 𝑜 𝐹) ) ( 16 𝑓𝑡 0,0447 𝑓𝑡 )] 1 3 ( 5 𝑐𝑝 1 𝑐𝑝 ) 0,14 ( 0,1503 𝐵𝑡𝑢 ℎ. 𝑓𝑡. 𝑜 𝐹 0,0447 𝑓𝑡 ) ℎ𝑖𝑜 = 2426 𝐵𝑡𝑢 𝑓𝑡2. 𝑜 𝐹 5. Menghitung Rf 𝑈𝑐𝑙𝑒𝑎𝑛 = ℎ 𝑜 × ℎ𝑖𝑜 ℎ 𝑜 + ℎ𝑖𝑜 = 2426 × 2,9 × 104 2426 + 2,9 × 104 = 2238,72 𝐵𝑡𝑢 𝑓𝑡2. 𝑜 𝐹. ℎ Menghitung Utotal Berdasarkan tabel 1, didapatkan a”=0,1963 ft2 𝐴 = 𝑁 × 𝐿 × 𝑎′′ = 224 × 16 × 0,1963 𝑓𝑡2 = 703,54 𝑓𝑡2 Menghitung Udirty 𝑈 𝑑𝑖𝑟𝑡𝑦 = 𝑄 𝐴 × ∆𝑇𝑙𝑚 = 4,65 × 106 𝐵𝑡𝑢 ℎ (703,54 𝑓𝑡2) × (91,024 𝑜 𝐹) = 72,6 𝐵𝑡𝑢 𝑓𝑡2. 𝑜 𝐹.ℎ 𝑅 𝑓 = 𝑈𝑐𝑙𝑒𝑎𝑛 − 𝑈 𝑑𝑖𝑟𝑡𝑦 𝑈𝑐𝑙𝑒𝑎𝑛 × 𝑈 𝑑𝑖𝑟𝑡𝑦 = 2238,72 − 72,6 2238,72 × 72,6 = 0,01333 ℎ. 𝑓𝑡2 . 𝑜 𝐹 𝐵𝑡𝑢
  • 34. 34 BAB 3 KESIMPULAN Perpindahan kalor konveksi sangat bergantung pada aliran atau pergerakan fluida yang menghantarkan panasnya. Konveksi alamiah adalah perpindahan kalor antara permukaan dengan fluida yang bergerak karena adanya perubahan massa jenis fluida akibat proses pemanasan.Konveksi paksa adalah perpindahan kalor dimana fluida dialirkan secara paksa melalui suatu benda atau permukaan benda (biasanya pada alat penukar kalor). Laju perpindahan kalor konveksi dipengaruhi oleh koefisien perpindahan kalor konveksi, luas penampang tegak lurus arah perpindahan kalor, dan perbedaan suhu.Terdapat beberapa bilangan tak berdimensi yang dapat membantu proses penyelesaian sistem yang melibatkan perpindahan kalor konveksi di dalamnya seperti bilangan Reynold, Prandtl, Graetz, Rayleigh, Nusselt, Stanton, dan Grashof. Koefisien perpindahan kalor konveksi dipengaruhi oleh bilangan tak berdimensi Nusselt, nilai konduktivitas termal, densitas, dan viskositas. Perhitungan bilangan Nusselt berbeda-beda untuk setiap kondisi (ditentukan oleh jenis aliran, kemiringan permukaan, bentuk benda, dan faktor lainnya), dan umumnya dipengaruhi oleh bilangan Grashof dan Prandtl. Konveksi paksa diaplikasikan dalam alat penukar kalor. Alat penukar kalor digunakan untuk meningkatkan suhu suatu fluida dengan menggunakan fluida lain yang suhunya lebih tinggi (atau sebaliknya) sehingga terjadi perpindahan kalor di antara keduanya. Perhitungan pada alat penukar panas dapat menggunakan Metode Pendekatan LMTD dan Metode NTU-efektivitas. Fouling factor terjadi karena adanya lapisan deposit yang menempel pada alat penukar kalor yang menurunkan performa kerja alat. Nilai Faktor Pengotoran cukup signifikan sehingga perlu dimasukkan ke dalam perhitungan. Cara yang paling umum untuk mendapatkan laju perpindahan kalor yang tetap baik meskipun ada fouling factor adalah dengan menambahkan sirip (fin) pada alat penukar kalor.
  • 35. Daftar Pustaka Boles,M.A., Cengel, Y.A., 2002. Thermodynamics: An Engineering Approach. New York: McGraw-Hill Smith, J.M., Van Ness, dan Abbott. 2001. Introduction to Chemical Engineering Thermodynamics 6th edition. New York: McGraw Hill. Assael, Marc J., Goodwin, Anthony R. H., 2011. Commonly Asked Questions in Thermodynamics. Taylor and Francis Group, LLC. Carlson ,Eric C. 1996. Don’t Gamble With Physical PropertiesFor Simulations. Aspen Technology, Inc.