Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture). Paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai bagian integral dari
pembangunan ekonomi suatu bangsa atau masyarakat bangsa-bangsa dunia.
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
peningkatan produktifitas lahan dengan sistem agroforestri. berisi mengenai sistem penerapan agroforestri pada budidaya lahan, pilihan sistem agroforestri dan lain lain
O Reputation Institute Brasil listou as 10 empresas com melhor reputação no país. De acordo com a pesquisa, as empresas que atingiram até 39 pontos, têm uma reputação considerada "pobre"; de 40 a 60 pontos, a reputação é "fraca"; de 60 a 70 é "mediana"; de 70 a 80 é "forte" e acima de 80 é considerada "excelente". Nenhuma das empresas atingiu os 80 pontos.
-----> A FDC é membro do Reputation Institute e a pesquisa foi lançada na última sexta-feira (17), no campus SP. Confira mais informações no site: https://www.reputationinstitute.com
Social Media Audit / Online Publishing IndustryGranit Doshlaku
Prezantim mbi te gjeturat nga auditimi i prezences ne rrjete sociale per nje nga mediat online me te njohura ne tregun shqiptar.
Disa te dhena/slides jane fshire per shkaqe te konfidencialitetit.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Pertanian Berkelanjutan (Sustainable Agriculture). Paradigma pembangunan berkelanjutan sebagai bagian integral dari
pembangunan ekonomi suatu bangsa atau masyarakat bangsa-bangsa dunia.
Peningkatan produktifitas lahan dengan system agroforestri (tumpangsariGilang Putra
peningkatan produktifitas lahan dengan sistem agroforestri. berisi mengenai sistem penerapan agroforestri pada budidaya lahan, pilihan sistem agroforestri dan lain lain
O Reputation Institute Brasil listou as 10 empresas com melhor reputação no país. De acordo com a pesquisa, as empresas que atingiram até 39 pontos, têm uma reputação considerada "pobre"; de 40 a 60 pontos, a reputação é "fraca"; de 60 a 70 é "mediana"; de 70 a 80 é "forte" e acima de 80 é considerada "excelente". Nenhuma das empresas atingiu os 80 pontos.
-----> A FDC é membro do Reputation Institute e a pesquisa foi lançada na última sexta-feira (17), no campus SP. Confira mais informações no site: https://www.reputationinstitute.com
Social Media Audit / Online Publishing IndustryGranit Doshlaku
Prezantim mbi te gjeturat nga auditimi i prezences ne rrjete sociale per nje nga mediat online me te njohura ne tregun shqiptar.
Disa te dhena/slides jane fshire per shkaqe te konfidencialitetit.
Potencializar las competencias de cada participante para facilitarles el desarrollo de habilidades y estrategias para impactar positivamente a reclutadores y empleadores. Dando como resultado una búsqueda de empleo altamente efectiva que tenga efectos positivos en el nivel de ingreso económico de los asistentes durante los próximos meses o años, mediante un Plan de Beneficios Laborales distintivo y personalizado.
¿Deseas más información o capacitación sobre este tema? Contáctanos:
Mail: info@dirhmexico.com.mx
LinkedIn: linkedin.com/company/1389187
FB: facebook.com/DIRHMx/
Twitter: twitter.com/DIRHMx
PERSONAS - Design orientado pelos dadoscomOn Group
O Design como disciplina oferece soluções aos problemas de comunicação.
A comunicação é sempre feita para estimular algo nas pessoas e parte da resposta que construímos está diretamente dependente das motivações, experiências e objetivos pessoais.
Uma das ferramentas que o designer usa, por vezes sem se dar conta, é criar personagens fictícias, normalmente baseadas em casos que conhece pessoalmente, de modo a construir realidades paralelas que ajudam a identificar possíveis problemas no resultado final do seu trabalho.
E quantas vezes não pensamos, quando desenhamos algo, se a nossa mãe ia ou não ter dificuldades em perceber?
Esta apresentação tem como propósito usar este método instintivo como ferramenta de trabalho para sustentar cada peça de design, tendo como objetivo conseguir desenhar segundo os padrões comuns mas com focus em necessidades especificas.
DEFINISI, PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN SISTEM.pptxboyrizajuanda
Pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin
PENGEMBANGAN SISTEM PERTANIAN TERPADU.pptxboyrizajuanda
Pertanian berkelanjutan adalah pemanfaatan sumber daya yang dapat diperbarui dan sumber daya yang tidak dapat diperbaruhi untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
Makalah keynote-speakers
1. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
1
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bio-Industri
di Lahan Suboptimal
Haryono
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
PENDAHULUAN
Sebaran lahan sub-optimal di Indonesia cukup luas meliputi; lahan kering
iklim kering, lahan kering masam dan lahan rawa (basah). Salah satu lahan sub-
optimal yang mempunyai potensi dan peran strategis dalam mendukung
ketahanan dan kedaulatan pangan adalah lahan rawa. Lahan rawa menjadi
alternatif pengembangan pertanian, terutama tanaman pangan setelah terjadinya
konversi lahan-lahan sawah irigasi teknis yang terus meningkat setiap tahunnya.
Peranan yang penting dan strategis dalam mendukung ketahanan pangan dan
sekaligus pengembangan wilayah masih perlu ditingkatkan dengan penerapan
teknologi pengelolaan yang tersedia dengan tetap memperhatikan kondisi
agroekosistem lahan rawa yang bersifat labil atau rapuh.
Lahan rawa menjadi tumpuan untuk produksi pertanian baik untuk
tanaman pangan (padi, jagung, kedelai); tanaman hortikultura (sayur dan buah)
dan tanaman perkebunan (kelapa) serta komoditas tanaman industri yang saat ini
sedang berkembang yaitu kelapa sawit dan karet. Produksi ternak, baik itu
ruminansia besar dan kecil serta pengembangan unggas pada beberapa lokasi
sangat prospek untuk dikembangkan. Secara nasional kontribusi lahan rawa
terhadap ketahanan pangan (khususnya beras) berdasarkan perkiraan dari hasil
perluasaan areal, peningkatan provitas dan indeks pertanaman pada program
P2BN mencapai 14-15% dari total produksi nasional (BBSDLP, 2011).
Sedangkan di Sumatera Selatan prosentase mencapai sekitar 30% atau
setara 1,5 juta ton GKG. Komoditas-komoditas yang sesuai dan adaptif
dikembangkan di lahan rawa baik yang berbasis tanaman pangan dan perkebunan
memberikan kontribusi terhadap pendapatan baik itu petani, buruh tani,
pengusaha, penyuplai dan pedagang serta kemajuan wilayah. Infrastruktur yang
menunjang saat ini menjadikan potensi bio-industri di lahan rawa menjadi sangat
menjanjikan.
POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN
Potensi lahan rawa cukup luas, di Indonesia diperkirakan luasnya
mencapai 33,4 juta hektar(24,2% luas lahan total di Indonesia), terdiri dari rawa
pasang surut seluas 20 juta hektar dan rawa lebak seluas 13,4 hektar (Subagyo dan
Widjaja-Adhi, 1998). Lahan pasang surut meliputi; lahan potensial seluas 2,07
juta ha; lahan sulfast masam seluas 6,7 juta ha; lahan gambut seluas 10,89 juta ha;
dan lahan salin seluas 0,44 juta (Widjaja-Adhi dan Alihamsyah, 1998).
Provinsi Sumatera Selatan mempunyai potensi rawa pasang surut dan
rawak lebak berturut-turut 379.450 hektar dan 129.062 hektar, dengan luas
fungsionalnya mencapai 156.763 hektar untuk rawa pasang surut dan 49.992
hektar untuk rawa lebak (Dinas PU Pengairan, 2010).
Pengembangan lahan rawa bukan tidak memiliki kendala dan hambatan.
Lahan rawa tergolong lahan yang marginal, yakni lahan yang mempunyai
2. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
2
beberapa faktor pembatas yang menyebabkannya kurang baik untuk pertanian.
Namun dengan dukungan inovasi teknologi serta kebijakan pemerintah
marginilitas dapat dihilangkan. Lahan rawa diharapkan dan saat ini sedang
berlangsung merupakan kawasan-kawasan pertumbuhan dan produsen pangan di
masing-masing provinsi terutama dikawasan eks-transmigrasi.
Menurut Suryana (2004), pengembangan dan pemanfaatan lahan rawa
untuk berbagai kepentingan, antara lain; (1) Peningkatan ketahanan pangan
nasional dan diversifikasi produk, (2) Pengembangan agribisnis dan agroindustri
dan (3) Peningkatan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan provitas dan intensitas pertanaman (IP) pada lahan-lahan
yang selama ini telah diusahakan serta perluasan areal atau extensifikasi
merupakan strategi yang dapat ditempuh untuk mewujudkan ketahanan dan
kedaulatan pangan nasional. Teknologi yang telah dihasilkan dan sedang
dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian dalam bentuk rekomendasi paket
teknologi usahatani mendukung pertanian agribisnis di lahan rawa (Suryana,
2004). Agroindustri yang dikembangkan di lahan sub optimal lahan rawa
ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah, sekaligus pemanfaatan limbah atau
hasil samping untuk menghasilkan produk-produk turunan sekaligus mengurangi
dampak lingkungan.
PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN
Eco-farming atau pertanian ramah lingkungan (PRL) merupakan sistem
pertanian yang mengelola seluruh sumberdaya pertanian dan input usahatani
secara bijak, berbasis inovasi teknologi untuk mencapai peningkatan produktivitas
berkelanjutan dan secara ekonomi menguntungkan serta diterima secara sosial
budaya dan berisiko rendah atau tidak merusak/mengurangi fungsi lingkungan.
Kementerian Pertanian sudah meluncurkan konsep Strategi Induk
Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045 sebagai upaya memberikan acuan dan
arah pembangunan khususnya di sektor pertanian ke depan. Visi pembangunan
pertanian 2013-2045 yakni terwujudnya sistem pertanian bioindustri
berkelanjutan yang menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai
tambah tinggi dari sumberdaya hayati pertanian dan kelautan tropika.
Bioindustri berkelanjutan memandang lahan pertanian tidak semata-mata
merupakan sumberdaya alam, namun juga industri yang memanfaatkan seluruh
faktor produksi untuk menghasilkan pangan untuk ketahanan pangan, maupun
produk yang lain, yang dikelola menjadi bioenergi serta bebas limbah dengan
menerapkan prinsip mengurangi, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang
(reduce, reuse and recycle).
Dalam perspektif sistem pertanian bioindustri berkelanjutan terdapat
aspek pembaharuan, dimana usaha pertanian yang dilakukan berbasis ekosistem
intensif dengan memaksimumkan pendapatan dan nilai tambah melalui rekayasa
ekologis. Di dalamnya terdapat pola usahatani tanaman multikultura, baik yang
diwujudkan melalui diversifikasi horizontal, vertikaldan temporal, dapat juga
berupa integrasi usahatani tanaman-ternak-ikan. Pengolahan seluruh hasil
pertanian dilakukan dengan konsep whole biomas
biorefinerydenganmelipatgandakan ragam produk dan nilai tambah hasil pertanian
dan mengurangi limbah.
3. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
3
Bioindustri pertanian juga merupakan integrasi usaha pertanian dengan
memadukan tanaman-ternak- dan atau ikan dengan prinsip biodigester-
biorefineryyangdalam implementasinya akan mengurangi ketergantungan energi,
mengurangi penggunaan input eksternal, mengurangi limbah atau ramah
lingkungan dan mengurangi kebocoran hara dari agroekosistem.
RANCANG BANGUN PERTANIAN LAHAN RAWA BERKELANJUTAN
Rancang bangun pertanian ini disusun oleh Balitbangtan dengan konsep
pendekatan kawasan. Inovasi teknologi dan kelembagaan yang telah dihasilkan
melalui berbagai tahapan verifikasi, validasi dan diseminasi diharapkan dapat
mengoptimalisasi sumberdaya lahan yang tersedia di lahan rawa (BBSDLP,
2011).
Penggunaan varietas unggul, pemupukan, pengelolaan air, pemanfaatan alat dan
mesin pertanian (alsintan), managemen budidaya serta kelembagaan yang sesuai,
inovatif, terpadu, berwawasan agribisnis dan berkelanjutan dengan konsep eco-
farming estate system.
Terpadu dalam penetapan komoditas (terutama tanaman pangan,
hortikultura dan ternak), serta keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya dan
tanaman. Oleh sebab itu, penerapan Sistem Integrasi Tanaman Ternak (SITT) juga
menjadi basis utama dalam pengembangan lahan rawa, yang membangun
interaksi sinergis untuk mencapai produktivitas tanaman pangan (padi) (BBSDLP,
2011).
Tanaman menghasilkan limbah (bahan organik) yang biasa diolah
menjadi pakan sumber serat untuk ternak dan kompos. Sementara itu ternak akan
menghasilkan kotoran padat/cair yang dimanfaatkan sebagai pupuk (pupuk
kandang) untuk tanaman atau sebagai sumber biogas. Sekam padi sebagai limbah
dari Rice Milling Unit (RMU) dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi untuk
mengeringkan gabah hasil panen.
Pemanfaatan sekam sebagai bahan bakar mesin pengering padi (box
dryer) menjadi fenomena tersendiri sebagai salah satu keberhasilan inovasi
Balitbangtan di lahan rawa pasang surut, khususnya di Provinsi Sumatera Selatan.
Pengoperasian box dryer ternyata menguntungan secara ekonomis baik bagi
pemilik gabah, pengusaha RMU dan pedagang beras. Hasil analisis finansial uji
coba box dryer BBS yang berkapasitas 10 t menunjukkan penggunaan box dryer
BBS lebih efisien dibanding dengan penjemuran yang diperlihatkan oleh nilai R/C
kedua cara tersebut, yaitu 1,28 untuk box dryer BBS dan 1,07 untuk penjemuran
(Raharjo et al., 2009).
Limbah yang dihasilkan dari pemanfaatan sekam sebagai bahan bakar
box dryer berupa arang sekam yang merupakan arang hayati (biochar) yang
mempunyai banyak manfaat selain sebagai cara untuk mengurangi emisi gas
rumah kaca dari sektor pertanian, terutama padi sawah. Dengan demikian sistem
ini akan meningkatkan produktivitas tanah dengan konsep zero waste.
Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan sistem usahatani dalam upaya
meningkatkan pendapatan petani, maka Model Pertanian Lahan Rawa
Berkelanjutan (PLR) dikembangkan dalam bentuk sistem usaha agribisnis yang
berpola pada mix farming estate berbasis tanaman pangan, sayur-sayuran dan
ternak.
4. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
4
KEBUTUHAN INOVASI DAN TEKNOLOGI
Pengembangan pertanian yang ramah lingkungan untuk
mendukung bioindustri sangat membutuhkan inovasi dan teknologi yang dapat
mengatasi keterbatasan dan kendala di lahan suboptimal, khususnya lahan rawa.
Sebagai salah satu prioritas dalam agenda riset nasional (ARN) 2015-2019,
bidang pangan bersama-sama energi dan air merupakan bidang-bidang yang
saling berkait dan mendukung satu sama lain.
Pemanfaatan lahan suboptimal untuk menyediakan lahan-lahan
pertanian yang akan menyuplai bahan pangan harus didukung oleh penelitian dan
pengkajian (Litkaji). Pada saat yang sama Litkaji akan menghasilkan teknologi
produksi yang selanjutnya akan meningkatkan produksi dan ketersedian pangan.
Hal tersebut tergambar dari diagram sebab-akibat ARN Bidang Pangan-Energi-
Air 2015-2019 yang saat ini sedang difinalisasi di Kementerian Riset dan
Teknologi (Balitbangtan, 2014).
Untuk itu didalam menyusun rencana Litkaji atau riset ke depan
harus sesuai dengan agenda yang telah disusun di dalam ARN 2015-2019. Pada
prioritas bidang pangan (pertanian), peningkatan produksi pangan di lahan sub
optimal merupakan prioritas pertama yang harus diteliti, selain bioindustri kelapa
sawit dan pangan berbasis sumberdaya kelautan. Menurut DRN dan Kemen
Ristek (2014), peningkatan produksi di lahan-lahan sub optimal dapat dilakukan
melalui: (i) Perbaikan daya adaptasi tanaman dan potensi hasil, yaitu dengan
mengembangkan varietas toleran dan berdaya hasil baik, (ii) Perbaikan kondisi
agroekosistem lahan sub optimal sehingga dapat digunakan untuk kegiatan
budidaya pertanian, dan (iii) Kombinasi antara kedua upaya perbaikan varietas
adaptif dan perbaikan kondisi agroekosistem pertanian. Berdasarkan kedua
metoda tersebut maka peran bioteknologi adalah sangat penting, mengingat dapat
berperan pada kedua methoda tersebut.
Selanjutnya di dalam roadmap teknologi pangan di lahan
suboptimal digambarkan pada tahun pertama dumulai dengan perencanaan
peneltian dan pengembangan untuk mendapatkan varietas adaptif untuk lahan
suboptimal yang dilanjutkan dengan produksi bibit varietas tanaman adadtif.
Dengan dukungan produksi alsintan dan budidaya tanaman, pada tahun ketiga
dimulai dengan ujicoba skala demplot sampai tahun keempat yang akan
menghasilkan Model Budidaya dan pada akhirnya pada tahun kelima (2019) akan
dihasilkan rekomendasi kebijakan.
Memperhatikan hal-hal diatas, pengembangan pertanian di lahan
suboptimal merupakan pilihan yang tepat karena sejalan dengan ARN 2015-2019,
dimana untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional tidak dapat lagi hanya
bergantung hanya kepada lahan-lahan produktif yang ada saat ini. Inovasi akan
menghasilkan teknologi yang dapat mengatasi kendala kimia, biologi dan fisik
serta sosial kelembagaan pada lahan suboptimal. Pilihan kita untuk memanfaatkan
lahan suboptimal secara bijak dengan memperhatikan dampak-dampak yang
mungkin timbul terhadap lingkungan juga membutuhkan inovasi dan teknologi
untuk menjamin keberhasilannya.
KESIMPULAN
Bioindustri berkelanjutan memandang lahan pertanian tidak semata-mata
merupakan sumberdaya alam, namun juga industri yang memanfaatkan seluruh
5. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
5
faktor produksi untuk menghasilkan pangan untuk ketahanan pangan, maupun
produk yang lain, yang dikelola menjadi bioenergi serta bebas limbah dengan
menerapkan prinsip mengurangi, memanfaatkan kembali dan mendaur ulang
(reduce, reuse and recycle). Dalam perspektif sistem pertanian bioindustri
berkelanjutan terdapat aspek pembaharuan, dimana usaha pertanian yang
dilakukan berbasis ekosistem intensif dengan memaksimumkan pendapatan dan
nilai tambah melalui rekayasa ekologis.
Arah pengembangan lahan rawa dengn konsep bioindustri adalah menuju
pertanian terpadu dalam pola estate dalam satu hamparan untuk mencapai provitas
dan keuntungan usahatani yang optimal dan berkelanjutan, serta mampu
berkontrubusi secara signifikan terhadap ketahanan dan kedaulatan pangan
nasional. Sasaran pengembangan lahan rawa berada pada wilayah-wilayah yang
prioritas dengan tingkat kerberhasilan yang tinggi, investasi rendah, namun
berdampak luas dan strategis terkait dengan potensi kendala yang ada.
Inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan yang harus dijadikan dasar
didalam pengembangan lahan suboptimal yang fragile agar tidak berdampak
negatif terhadap lingkungan. Kerusakan yang terjadi pada lahan-lahan suboptimal
sebagian bersifat irreversibel atau tidak dapat balik. Kasus-kasus pembukaan
lahan gambut yang masif untuk lahan kelapa sawit menjadi salah satu contoh.
Sesuai dengan agenda riset nasional (ARN) 2015-2019, maka
pengembagan dan pemanfaatan lahan suboptimal untuk produksi pangan menjadi
prioritas utama penelitian dan pengkajian di sektor pangan (pertanian).
PUSTAKA ACUAN
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011.
State of The Art & Grand Design Pengembangan Lahan Rawa.
Balitbangtan 2014, 2014. Usulan Penyempurnaan Draft Agenda Riset Nasional
(ARN) 2015-2019.
Dewan Riset Nasional & Kedeputian Relevansi &Produktivitas IPTEK
Kementerian Riset dan Teknologi, 2014. Agenda Riset Nasional 2015-
2019 (draft 1.2)
Raharjo, B, Sutrisno dan Yanter Hutapea, 2009. Succes Story Pengembangan
Mesin Pengering Berbahan Bakar Sekam Di Lahan Pasang Surut Sumatera
Selatanekam Di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan.Prosiding Seminar
BBP2TP, 10 Pebruari 2009. Bogor.s
Subagyo dan Widjaja-Adhi (1998). Peluang dan Kendala Penggunaan Lahan
Rawa untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. Studi Kasus Sumatera
Selatan dan Kalimantan Tengah. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan
Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor 10-12 Pebruari
1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Suryana, A. 2004. Peranan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Rawa
Mendukung Pembangunan Agribisnis Wilayah. Prosiding Seminar
6. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
6
Lokakarya Nasional Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian
Spesifik Lokasi, Palembang, 28-29 Juni 2004.
Widjaja-Adhi dan Alihamsyah (1998). Pengemabangan Lahan Pasang Surut ,
Potensi, Prospek dan Kendala serta Teknologi Pengelolaannya untuk
Pertanian. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan
Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia.
7. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
7
Sustainable Management of Suboptimal Wetlands
for Strengthening Bioindustry in Indonesia
Benyamin Lakitan
Ministry of Research and Technology, Republic of Indonesia
and
College of Agriculture, Sriwijaya University, Inderalaya, Indonesia
E-mail: blakitan@ristek.go.id
ABSTRACT
Managing suboptimal wetlands for productive, inclusive, yet sustainable
agriculture is very challenging. At present, local community manages this
wetland for cultivating rice and few other adaptable crops, catching fishes and
other aquatic biotas from public waters, and raising livestock (duck and buffalo).
Rice-centered agriculture, as commonly practiced by local farmers, seems to be
not very promising. Recently, Government of Indonesia encourages
establishment of bioindustry-oriented agribusiness. Transforming current
traditional agriculture into bioindustry-oriented agribusiness should be executed
by gradually inserting newly introduced practices while continuing traditional
ones so that local community will not be left behind. The transformation requires
capacity in absorbing and implementing some relevant technologies such as
fermentation and biorefinery. Targeted products of bioindustry might be started
with simpler and familiar products such as processed animal feed and organic
fertilizers, fermented foods and drinks, biofuels at time it is economically feasible,
and finally move forward to more sophisticated biorefinery industries.
Keywords: fermentation, biorefinery, inclusive, biofuel, bioprocess,
biotechnology
INTRODUCTION
Soil-less culture technology for growing crops had been well developed
and is now available; however, for case of Indonesia, commercial use of the
technology (hydroponic or aeroponic) is limited only for high value and fast
growing horticultural crops. Major food crops have never been commercially
grown in soil-less culture since application of this system will not be profitable.
In order to make it profitable, most of agricultural crops have to be grown on soil.
At present, however, almost all fertile and suitable lands have been used for
agriculture. Currently, only suboptimal lands are available for agriculture.
Conversion of agricultural lands for other uses has worsened the situation.
Technologies are needed to overcome some agronomic constraints in
suboptimal lands in order to make them suitable for agriculture. In cases of
wetlands, technologies needed include those for effectively and efficiently
managing water resource, neutralizing soil and water pH, enriching soil nutrients,
and developing tolerant varieties. Application of these technologies will directly
increase production cost. Coupled with generally low crop productivity in
suboptimal lands and low price of commodities produced, it will be very hard to
8. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
8
achieve a profitable and sustainable conventional agriculture under these
circumstances.
A management breakthrough is required for making agriculture program
viable in suboptimal wetlands in Indonesia. Solely growing conventional food
crops, i.e. rice, in this wetland does not seem to be economically promising. In
fact, many local farmers have commenced to convert their crop from rice to estate
crops such as oil palm or rubber.
Recently, Government of Indonesia has encouraged establishment of
bioindustry. This industry will require bio-materials as inputs and technology as
its tool for processing inputs into outputs. The industry will not only focused on
producing food products, but could also produce health products, cosmetics,
biofuels, organic fertilizers, industrial chemicals, and intermediary products.
Therefore, crops grown in suboptimal wetlands should no longer be solely
focused on food crops. Crop selection will be more based on business prospect,
environmental sustainability, and social acceptance.
SCOPE OF BIOINDUSTRY
Spectrum of bioindustry is very wide. It may be from as simple as
decomposing biomaterial to produce organic fertilizer, producing traditional
fermented food to very high-tech and sophisticated industry. Any bioindustry
should use bio-material as raw material and/or use microorganism or enzyme
extracted from or synthesized by the organism in one or more processing stages.
In short, bioindustry should use biomaterial or engage bioprocess.
The end products are very diverse. They might be in form of organic
fertilizer, processed animal feed, fermented foods or beverages, including
functional foods; biofuels including bioethanol and biodiesel; drugs or other
health products; cosmetics or other beauty products; and many other beneficial
products, including for enhancing degradation of solid wastes/pollutants and
bioremediation. Bioindustry may also include all services directly associated with
these end products as their core businesses.
Raw materials may be harvested or extracted from cultivated crops or
indigenous wild plants, domesticated or wild animals, and cultured or caught
fishes and other aquatic/marine biotas, including single-cell microorganisms.
There are two common processes in bioindustry: fermentation and
biorefinery. Fermentation has been incorporated in processing food (dairy, fish
and meat products) and alcoholic beverages, or for producing natural additives
and supplements such as antioxidants, flavors, colorants, preservatives, and
sweeteners. Natural foods and additives derived from fermentation are more
desirable than the synthetic products produced by chemical processes.
POTENTIAL BIO-MATERIALS PRODUCED IN SUBOPTIMAL
WETLANDS
Wetlands occupy transitional zone between land and water, characterized
by the presence of water, either permanently or periodically; waterlogged soils or
high water table soil; and vegetation specifically adapted to wet conditions. Thus,
it lacks of flood-intolerant species. Therefore, wetland ecosystems have relatively
low biodiversity compared to nutrient-rich terrestrial ecosystem with favorable
agroclimate. However, lower biodiversity may not be always directly translated
9. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
9
into lower total biomass production. Undisturbed native forest in tropical
wetlands may also be as dense as other ecosystems but with less diverse plant
species.
Since most of domestication and breeding of agricultural crops have been
more concentrated for well-aerated, non-waterlogged soils; therefore, less
available cultivars or varieties of major crops are suitable for wetlands, with
exception of rice. Nonetheless, productivity of rice grown in natural wetlands
(tidal and inland swamps) is currently still much lower than in irrigated paddy
fields. While growing conventional agricultural crops is still worth of pursuing, it
may also wise to consider to domesticate and cultivate well adapted native plant
species for biomass production, including native fast-growing aquatic plants such
as freshwater macroalgae, division of Charophyta which includes Spirogyra sp.
Khola and Ghazala (2012) had studied biodiesel extraction from this macroalgae.
It is fair to assume that some species found in suboptimal wetlands might
be very unique and cannot be found in other ecosystems. There may be native
plants that are suitable as raw material for bioindustry. Their biomass might be
profitable to be used for organic fertilizer or animal feed processing industries,
raw materials for biofuel production, or they may contain beneficial chemical
substances for health or cosmetics. Surely, these hypotheses still need to be
further explored.
Indonesia should not wait until some foreign researchers do this
exploration. Hopefully Indonesia will not too late to realize the benefits, i.e. to
realize it after the species have been domesticated in the other part of the world.
Indonesia may benefit from the high biodiversity, only if domestic experts know
exactly what Indonesia is having and know how to earn benefits from the
resources. Research on native species should not only focus on or stop at
identifying and classifying the species. It needs to be extended further and
explored deeper, especially on traditional use of the plants by local community,
types and concentration of targeted chemical substances, and agroclimatic and
technical requirements for cultivating the plant species.
If it is wisely practiced, cultivating native plant species will not drastically
change local ecosystem. It should be managed such that it causes minimal impact
to the environment. Local community has been familiar with the plant species;
therefore, it will not require extra effort to introduce and develop farming methods
for the species. These approaches will provide good foundation for establishing
inclusive and sustainable future agriculture for the suboptimal wetlands.
TARGET PRODUCTS AND STAGES OF DEVELOPMENT
At present, the most common economic activities of local farmers in
suboptimal wetlands in Indonesia (Sumatera and Kalimantan) are (1) growing
mainly rice as staple crops and seasonal horticultural crops during dry season; but
oil palm and rubber are catching up in recent years; (2) catching fish in public
waters; and (3) raising livestock such as ducks and water buffalo. These activities
will be maintained as primary livelihoods of local communities.
Insertion of economic activities associated with establishment of
bioindustry will be executed gradually. It will be started with domesticating local
species or cultivating more familiar introduced crops which will be used as raw
materials for simple, less sophisticated bioindustry such as for producing
10. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
10
processed animal feed or organic fertilizers. Then, it will be followed by
modernizing traditional fermentation practices of local crop, fish, and animal
products. These fermentation-based bio-industries will be aimed to produce
widely acceptable and higher economic value fermented foods and beverages.
Later, use of locally produced biomass will be diversified to produce
biofuels and heat energy, in addition to previously developed animal feed and
organic fertilizer bio-industries. However, this option should consider economic
feasibility of biofuel produced with reference to price of fossil fuel at time of
initiation. It should not be initiated if biofuel has not been competitive, compared
to fossil fuels.
More sophisticated bioindustry that requires high technologies might be
positioned last in line, except if there is an immediate need of national interest,
supported by availability of required technologies. In this case, local community
should not be left behind. Local community can play role as supplier of raw
materials, cultivating crops as source of the required bio-material. Inclusivity
should always be one of main considerations in bioindustry development scenario
and in managing suboptimal land in Indonesia.
REQUIRED TECHNOLOGIES
1.1. Fermentation Technologies
Even though fermentation seems to be old-fashioned for bioindustry, it is
still be one of major technologies primarily used in bioindustry. Recently, more
researches and technology development activities focused on application of solid-
state fermentation (SSF) to produce some metabolites relevant for the food
processing industry, i.e., flavors, enzymes (a-amylase, fructosyl transferase,
lipase, pectinase), organic acids (lactic acid, citric acid) and xanthan gum. The
SSF reproduces the natural microbiological processes like composting and
ensiling. In industrial applications this natural process can be utilized in a
controlled way to produce a desired product. SSF has become a very attractive
alternative to submerged fermentation (SmF) for specific applications due to the
recent improvements in reactor designs. The SSF is defined as any fermentation
process performed on a non-soluble material that acts both as physical support and
source of nutrients in absence of free flowing liquid (Rodrıguez-Couto and
Angeles-Sanroman, 2006).
Singhania et al. (2009) also observed that during the past few years, there
have been significant developments in SSF technology. The SSF has built up
credibility in recent years in bioindustry due to its potential applications in the
production of biologically active secondary metabolites, apart from feed, fuel,
food, industrial chemicals and pharmaceutical products, and has emerged as an
attractive alternative to submerged fermentation (SmF). Bioremediation,
bioleaching, biopulping, and biobeneficiation are amongs major applications of
SSF in bioprocesses.
Due to continuous efforts in the areas of biochemical engineering such as
modeling aspects and bioreactor design, SSF is now on the way to
commercialization even for processes which were earlier thought feasible only for
SmF. Furthermore, utilization of agro-industrial residues as substrates in SSF
processes provides other avenue and value-addition to these otherwise under- or
non-utilized residues. In the future, SSF technology would be well developed at
11. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
11
par with SmF if rationalization and standardization continues in current trend
(Singhania et al., 2009).
Fermentation technology will continuously be further developed. For
instance, ethanol is produced in large scale from sugarcane by fermentation of
sugars and distillation. This is currently considered as an efficient biofuel
technology, leading to significant reduction on greenhouse gases emissions.
However, some improvements in the process can be introduced in order to
improve the use of energy. Low temperature fermentation and vacuum extractive
fermentation can be implemented as alternatives to the conventional fermentation
processes in ethanol production. The alternative system increased ethanol
production between 3.3% to 4.8% and reduced steam consumption up to 36%
(Palacios-Bereche et al., 2014).
1.2. Biorefinery Technologies
Separation. Biorefineries use a variety of separation methods often to
produce high value co-products from the various feed streams. Separation
methods and technologies related to biorefining including pre-extraction of
hemicellulose and other value-added chemicals, detoxification of fermentation
hydrolyzates, and ethanol product separation and dehydration. For future
biorefineries, extractive distillation with ionic liquids and hyperbranched
polymers, adsorption with molecular sieve and bio-based adsorbents,
nanofiltration, extractive-fermentation, membrane pervaporation in bioreactors,
and vacuum membrane distillation (VMD) hold significant potential (Huang et al.,
2008).
Huang et al. (2008) focused on separation technologies incorporating
bioethanol as a principal product and found thatthere were two key separation
steps in the biorefinery that offers challenges and opportunities. Firstly,
separation of fermentation inhibitors after the pre-extraction of hemicelluloses
from lignocellulosic biomass. Here the promising separation technologies are the
three in situ detoxification hybrid processes including extractive-fermentation,
membrane pervaporation-bioreactor, and VMD–bioreactor, which can eliminate
the inhibition of products and inhibitory compounds, increase the fermentation
yield and productivity, and reduce (fresh) water consumption due to recycle.
Currently, ion exchange resin (IER) method is the preferred choice for
detoxification and will be still used in the future biorefinery because of its high
detoxification efficiency, easy (continuous) operation and flexible combination of
different anion and cation exchangers. Secondly, key separation challenge in
biorefinery is the azeotropic nature of ethanol–water mixture posing challenges to
remove the last amounts of water producing fuel grade ethanol. For ethanol–water
azeotropic separation, promising technologies are the extractive distillation with
ionic liquid and hyperbranched polymers, adsorption with molecular sieve and
bio-based adsorbents.
Extraction. Azmir et al. (2013) believed that use of bioactive compounds in
different commercial sectors such as pharmaceutical, food and chemical industries
signifies the need of the most appropriate and standard method to extract these
active components from plant materials. Along with conventional methods,
numerous new methods have been established but till now no single method is
regarded as standard for extracting bioactive compounds from plants. The
12. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
12
efficiencies of conventional and non-conventional extraction methods mostly
depend on the critical input parameters; understanding the nature of plant matrix;
chemistry of bioactive compounds and scientific expertise.The increasing
economic significance of bioactive compounds and commodities rich in these
bioactive compounds may lead to find out more sophisticated extraction methods
in future.
Conversion. Pragya et al. (2013) pointed out that large scale production of
micro algal biofuels, via many available conversion techniques, faced a number of
technical challenges which have made the current growth and development of the
algal biofuel industry economically unviable. Similar concern was expressed by
Bahadar and Khan (2013). A particular challenge to research in this field is the
transition from pilot studies to industrial operations (up-scaling phase), which
often exposes algae cells and their products to hostile environments, thus reducing
yields. Hence, a need exists to integrate algae cell engineering with predictive
bioprocess engineering to ensure economic and environmental feasibility and
minimize the number of full-scale trials that fail.
A biorefinery integrates biomass conversion processes to produce bio-based
products (food, feed, chemicals, materials) and bioenergy (biofuels, power and/or
heat). By producing multiple products, a biorefinery takes advantage of the
various components in biomass and their intermediates therefore maximizing the
value derived from the biomass feedstock. A biorefinery could, for example,
produce one or several low-volume, but high-value, chemical or nutraceutical
products and a low-value, but high-volume liquid transportation fuel such as
biodiesel or bioethanol. At the same time generating electricity and process heat,
for its own use and perhaps enough for sale to local utility. The high-value
products increase profitability, the high-volume fuel helps meet energy needs, and
the power production helps in lowering energy costs and reducing greenhouse gas
emissions from traditional power plant facilities.
A bio-based industry might consider an infinite number of combinations of
biorefining alternatives to obtain value-added products. However, one of the most
important aspects to consider is a well-defined methodology for synthesizing
complex biorefinery structures in order to transform materials into products. To
achieve this, the interaction among different areas during synthesis and analysis of
bio-based processes should be intensive (Moncada et al., 2014).
As an example, Moncada et al. (2014) explored the possibilities of
integrating bio-refineries based on different generations of feedstock. They
conducted study on techno-economic and environmental analysis of two
biorefinery scenarios based on sugarcane. Cultivation of micro-algae Chlorella
sp. using CO2-rich streams derived from fermentation and cogeneration systems.
Extracted oil from the micro-algae is used as the raw material to obtain biodiesel
and glycerol as additional products to electricity, ethanol, and sugar produced
from sugarcane. This integrated biorefinery showed better performance from
environmental and economic perspectives.
CONCLUSIONS
There are possibilities for suboptimal wetlands to contribute on
establishing bioindustry-oriented agribusiness. However, this will requires long
gradual processes that should be carefully planned such that it will culminate in an
13. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
13
inclusive, sustainable, and productive agricultural system as expected. Current
agriculture practiced by local farmers should be considered as the reference point
and the local community must be involved along the way of progressing phases.
Ecological concern should be raised during periodical monitoring and evaluation;
and should always be considered in planning the following programs and
activities. Research and development activities should be focused on creating or
improving relevant technologies required for strengthening the industry.
REFERENCES
Azmir J, Zaidul ISM, Rahman MM, Sharif KM, Mohamed A, Sahena F, Jahurul
MHA, Ghafoor K, Norulaini NAN, Omar AKM. 2013. Techniques for
extraction of bioactive compounds from plant materials: A review. Journal of
Food Engineering 117:426–436
Bahadar A, Khan MB. 2013. Progress in energy from microalgae: A review.
Renewable and Sustainable Energy Reviews 27:128–148
Huang HJ, Ramaswamy S, Tschirner UW, Ramarao BV. 2008. A review of
separation technologies in current and future biorefineries. Separation and
Purification Technology 62:1–21
Khola G, Ghazala B. 2012. Biodiesel production from algae. Pakistan Journal of
Botany 44: 379-381
Moncada J, Tamayo JA, Cardona CA. 2014. Integrating first, second, and third
generation biorefineries: Incorporating micro algae into the sugarcane
biorefinery. Chemical Engineering Science 118:126–140
Palacios-Bereche R, Ensinas A, Modesto M, Nebra SA. 2014. New alternatives
for the fermentation process in the ethanol production from sugarcane:
Extractive and low temperature fermentation. Energy 70:595-604
Pragya N, Pandey KK, Sahoo PK. 2013. A review on harvesting, oil extraction
and biofuels production technologies from microalgae. Renewable and
Sustainable Energy Reviews 24:159–171
Rodrıguez-Couto S, Angeles-Sanroman M. 2006. Application of solid-state
fermentation to food industry - A review. Journal of Food Engineering
76:291–302
Singhania RR, Patel AK, Soccol CR, Pandey A. 2009. Recent advances in solid-
state fermentation. Biochemical Engineering Journal 44:13–18
14. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
14
Peningkatan Daya Saing Agroindustri Melalui Pengembangan
Teknologi Inovasi
Hasbi
Kepala Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO)
Universitas Sriwijaya
Staf Pengajar Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya
*)
Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. +62711580664
email: hasbi@unsri.ac.id
ABSTRAK
Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut pendekatan
industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara industri bukan lagi
tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal ini
bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih mendasar adalah
mentransformasikan budaya (pola pikir, sikap mental dan perilaku) masyarakat
industri di kalangan para petani.Agroindustri adalah perusahaan yang mengolah
bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahan meliputi
transformasi dan pengawetan melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan,
pengemasan, dan distribusi. Pengembangan agroindustri dapat dilakukan
berdasarkan pendekatan besarnya sumberdaya yang dimiliki (bahan baku
agroindustri) dan permintaan pasar. Pemgembangan SDM sebagai kekuatan dan
andalan masa depan bangsa hanya dapat tercapai jikalau sistem pengetahuan,
pendidikan dan pembudayaan mendapat perhatian utama. Peran daya kreativitas
dan inovasi secara cepat dan efisien menentukan. Ini hanya dapat dicapai, jikalau
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Produk agroindustri, semakin ke
hilir, umumnya semakin besar nilai tambah. Menyadari nilai tambah yang
diperoleh dari pengembangan produk olahan (hilir) jauh lebih tinggi dari produk
primer, maka pendekatan pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada
pengembangan produk, dan bukan lagi pengembangan komoditas dan lebih
difokuskan pada pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan
agroindustri. Minimal ada tiga pendekatan dasar untuk mengembangkan
agroindustri, yaitu menjadikannya sebagai basis pembangunan dan pemberdayaan
ekonomi rakyat (economic basic approach), sebagai motor penggerak
pembangunan wilayah (regional approach) dan dilaksanakan dengan pendekatan
lintas sektoral (intersector approach).
PENDAHULUAN
Kontribusi sektor pertanian terhadap penerimaan devisa lebih banyak
diperoleh dari produk segar (primer) yang relatif memberi nilai tambah kecil dan
belum mengandalkan produk olahan (agroindustri). Produk olahan mempunyai
potensi nilai tambah lebih besar, walaupun pada akhir-akhir ini ekspor produk
olahan telah semakin meningkat. Dengan mengekspor produk primer, maka nilai
tambah yang besar akan berada di luar negeri, sebaliknya bila Indonesia mampu
15. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
15
mengekspor produk olahannya, maka nilai tambah terbesarnya akan berada di
dalam negeri.
Syarat menjadi negara kuat, kita tidak lagi hanya mengandalkan ekonomi
nasional pada penjualan barang mentah, terutama produk pertanian.Nilai tambah
ekspor barang mentah tidak ada. Negara maju dengan pendapatan tinggi tidak
tergantung pada perdagangan bahan mentah, tetapi pada produk turunan yang
bernilai tinggi. Sudah saatnya Indonesia keluar dari jebakan kelas “Mentah” jika
ingin menjadi negara maju. Secepatnya beralih ke faktor-faktor produksi bernilai
tinggi, yaitu agroindustri.
Belajar dari kelemahan tersebut, maka sudah selayaknya pengembangan
pertanian ke depan dilakukan terintegrasi dengan agroindustri. Pengembangan
pertanian seharusnya berorientasi pada tiga hal, yaitu: (1) pendekatan
pembangunan pertanian reorientasi dari pendekatan produksi ke pendekatan
bisnis, dengan demikian sejak aspek usaha dan pendapatan menjadi dasar
pertimbangan utama; (2) pembangunan pertanian bukan semata pembangunan
sektoral, namun juga terkait dengan sektor lain (lintas/inter-sektoral); (3)
pembangunan pertanian bukan pengembangan komoditas secara parsial,
melainkan sangat terkait dengan pengembangan wilayah, khususnya perdesaan
yang berkaitan erat dengan upaya peningkatan kesejahteraan petani.
Meskipun negara kita subur tetapi kita masih harus mengimpor kedelai
untuk pembuatan tempe, tomat untuk produksi saus, gandum untuk mi, bawang
putih untuk bumbu dapur dan beragam hasil pertanian lain untuk industri jamu
tradisional. Kita memang tidak perlu punya cita-cita swasembada untuk semua
hasil produk pertanian. Eranya memang tidak demikian lagi. Konsumen sudah
menggeser kebutuhan dan keinginannya. Konsumen lebih menghargai jaminan
kualitas, kenyamanan dan kekhasan produk. Agroindustri merupakan solusi
penting untuk menjembatani keinginan konsumen dan karakteristik produk
pertanian yang variatif dan tidak bisa disimpan lama.
Pembangunan pertanian memang sudah saatnya menganut pendekatan
industri bukan lagi agraris, artinya menangani pertanian secara industri bukan lagi
tergantung sepenuhnya kepada faktor alam. Pengertian industri dalam hal ini
bukan semata-mata mendirikan pabrik, tetapi yang lebih mendasar adalah
mentransformasikan budaya (pola pikir, sikap mental dan perilaku) masyarakat
industri di kalangan para petani.
Kebudayaan industri tersebut antara lain mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut, pertama pengetahuan merupakan landasan utama dalam menentukan
langkah atau tindakan dalam pengambilan keputusan (bukan berdasarkan
kebiasaan semata). Kedua, perekayasan harus menggantikan ketergantungan pada
faktor alam. Ketiga, kemajuan teknologi merupakan sarana utama dalam
pemanfaatan sumber daya. Keempat, efisiensi dan produktivitas sebagai dasar
utama dalam alokasi sumber daya agar penggunaan sumber daya tersebut hemat.
Kelima, mekanisme pasar merupakan media utama transaksi barang dan jasa.
Keenam, profesionalisme merupakan karakter yang menonjol.
16. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
16
AGROINDUSTRI
Agroindustri merupakan industri dengan komoditas pertanian sebagai bahan
baku utamanya. Secara spesifik, agroindustri dapat diartikan sebagai industri
pengolahan hasil-hasil pertanian yang mencakup hasil pertanian tanaman pangan,
perkebunan, peternakan, dan perikanan serta kehutanan. Sedangkan industri
pupuk dan obat-obatan (bahan baku bukan berasal dari komoditas pertanian) serta
alat/mesin pertanian merupakan industri pendukung (supporting industries) bagi
agroindustri. Dalam sistem yang lebih lengkap, industri jasa keuangan,
transportasi, telekomunikasi, energi, penelitian dan pengembangan, asuransi,
hukum, pendidikan merupakan industri komplementer dengan pengembangan
agroindustri.
Agroindustri adalah perusahaan yang mengolah bahan-bahan yang berasal
dari tanaman dan hewan. Pengolahan meliputi transformasi dan pengawetan
melalui perubahan fisik atau kimia, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi
(Brown, 1994). Berbagai tingkat pengolahan dapat dilakukan yaitu mulai dari
kegiatan sederhana seperti pembersihan, pemisahan (grading), sampai kegiatan
yang lebih komplek seperti penyosohan, pemasakan, pencampuran, penyulingan
dan sebagainya. Seperti diketahui terdapat sejumlah manfaat akan diperoleh dari
perubahan (transformasi) komoditas pertanian menjadi produk tertentu.
Brown (1994) menggolongkan agroindustri kedalam empat level, yaitu: 1)
agroindustri level 1 aktivitas prosesnya berupa pembersihan, pengkelasan, dan
penyimpanan, 2) agroindustri level 2 aktivitas prosesnya berupa pemisahan,
penggilingan, pemotongan, dan pencampuran, 3) agroindustri level 3 aktivitas
prosesnya berupa perebusan, pengalengan, pembekuan, ekstraksi, dan
pasteurisasi, dan 4) agroindustri level 4 aktivitas prosesnya berupa pengubahan
kandungan kimia dan teksturisasi.
PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI
Secara makro keberhasilan pembangunan agroindustri sangat ditentukan
oleh kondisi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah semua
aspek yang terkait secara langsung kedalam sistem agroindustri yaitu menyangkut
benih/bibit (first generation); budidaya pertanian dalam arti luas (second
generation); pengolahan hasil pertanian (third generation) dan pemasaran (fourth
generation); input yang meliputi teknologi, SDM, bahan baku, modal, informasi;
output yang meliputi kualitas dan kuantitas serta daya saingnya pada pasar lokal,
regional dan global. Sedangkan yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah
semua aspek yang terkait secara tak langsung ke dalam sistem agroindustri yang
mencakup; iklim usaha yang kondusif, pasar, kebijakan pemerintah dan finansial.
Pengembangan agroindustri merupakan pilihan yang strategis untuk
menggerakkan roda perekonomian dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal
ini, memungkinkan karena adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri
dalam penyerapan tenaga kerja, mengingat sifat agroindustri yang padat karya dan
bersifat massal. Agroindustri yang berbasis pada masyarakat tingkat menengah
dan bawah ini merupakan sektor yang sesuai untuk menampung banyak tenaga
kerja dan menjamin perluasan berusaha sehingga akan efektif dalam upaya
meningkatkan perekonomian di perdesaan.
17. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
17
Pengembangan agroindustri dapat dilakukan berdasarkan pendekatan
besarnya sumberdaya yang dimiliki (bahan baku agroindustri) dan permintaan
pasar. Keanekaragaman produk pertanian merupakan potensi yang besar untuk
dikembangkan menjadi berbagai produk olahan, dan tuntutan pasar dengan
semakin meningkatnya permintaan terhadap bahan pangan olahan.
pengembangan agroindustri di masing-masing wilayah mempunyai ciri yang
spesifik akibat bervariasinya sumber daya, pola usaha tani dan sistem
kelembagaan yang dianut masyarakat setempat.
Pengembangan agroindustri harus memperhatikan skala usaha, sehingga
pada skala yang menguntungkan dan efisien dalam menghadapi kendala yang
cukup beragam. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam membangun
agroindustri dapat dilakukan dengan tiga pola pengembangan, yaitu pola skala
besar terintegrasi, pola kemitraan skala besar dengan petani kecil, dan pola skala
kecil di lingkungan petani (skala rumah tangga).
Pengembangan agroindustri mencakup: 1) penganekaragaman
(diversifikasi) produk; 2) pembangunan sarana dan prasarana; 3) membangun
kelembagaan; 4) mengubah pola fikir petani dari production oriented ke industry
oriented, melalui kegiatan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan untuk mencetak
tenaga profesional; dan 5) menumbuh kembangkan kegiatan produktif yang saling
terkait mulai dari sub sistem produksi, sub sistem pengolahan sampai sub sistem
distribusi dan pemasarannya.
Apabila pada produksi pertanian kendali dominan pada unsur-unsur alami,
maka pada agroindustri kendali sentral ada pada sumberdaya manusia dan
perangkat teknologi serta institusi sebagai hasil rekayasanya.
Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan
(agroindustri ) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan
pembangunan pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, yaitu
pengembangan nilai tambah produk melalui pengembangan agroindustri yang
berdaya saing. Untuk itu, salah satu strategi pembangunan pertanian ke depan
adalah pengembangan agroindustri perdesaan, yang merupakan pilihan strategis
dalam peningkatan pendapatan dan sekaligus membuka lapangan pekerjaan.
Selama ini masyarakat perdesaan cenderung menjual produk dalam bentuk segar
(primer), karena lokasi industri umumnya berada di daerah urban (semi urban).
Akibatnya nilai tambah produk pertanian lebih banyak mengalir ke daerah urban,
termasuk menjadi penyebab terjadinya urbanisasi.
PERAN SUMBER DAYA MANUSIA (SDM)
Keadaan SDM umumnya masih sangat rendah, hal ini berkaitan erat dengan
tingkat pendidikan yang rata-rata hanya sampai sekolah lanjutan pertama (SMP).
Sedangkan bagi petani yang pendidikan lebih maju umumnya pergi dan pindah ke
luar desa atau memilih pekerjaan lain. Namun dari segi ketenagakerjaan hampir
95% berada pada umur produktif (20 sampai 45 tahun). Hal ini sangat
menguntungkan sekali karena pada umumnya pada tingkat umur ini produktivitas
kerjanya sangat baik dan lebih efisien.
Pemgembangan SDM sebagai kekuatan dan andalan masa depan bangsa
hanya dapat tercapai jikalau sistem pengetahuan, pendidikan dan pembudayaan
mendapat perhatian utama. Mereka memiliki kemampuan untuk secara efisien
18. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
18
mengembangkan, menerapkan dan mengendalikan ilmu pengetahuan dan
teknologi dengan produktivitas yang tinggi. peran daya kreativitas dan inovasi
secara cepat dan efisien menentukan. Ini hanya dapat dicapai, jikalau penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Habibie (2004) menyatakan, sampai sekarang ini Indonesia belum dapat
mengandalkan pengembangan prasarana Iptek, pendidikan dan pengetahuan pada
industri, apalagi pembentukan dan pembinaan SDM-unggul dalam arti yang luas.
Oleh karena itu pemerintah harus mengambil inisiatif dan menyediakan dana
untuk mengembangkan pusat-pusat keunggulan Iptek, pendidikan dan
pengetahuan, baik yang berkaitan dengan agroindustri maupun industri
manufaktur dan idustri jasa, yang pasar domestik Indonesia cukup potensial dan
meyakinkan.
Agar masa depan suatu bangsa dapat mengandalkan pada keunggulan
SDMnya, maka perhatian harus diberikan kepada peningkatan produktivitas dan
daya saing yang erat kaitannya dengan proses pembudayaan, pengetahuan,
pendidikan, dan penelitian.
Strategi pembangunan yang mengandalkan SDM dan yang berwawasan
pengembangan SDM melalui proses pembudayaan, pengetahuan, pendidikan,
penelitian untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing, akan selalu
berdampak positip dalam usaha mengembangkan agroindustri.
Pada era sekarang dan ke depan, sumberdaya manusia yang berkualitas yang
kemudian disebut sebagai human capital yang dimiliki oleh suatu negaralah yang
akan menentukan daya saing dalam memperoleh keuntungan ekonomi. Hal ini
diperkuat oleh pendapat ekonom peraih nobel tahun 1992 –Gary S. Becker- yang
menyatakan bahwa: ”human capital is as much part of the wealth of nation as are
factories, housing, machinery, and other physical capital”.
PERAN AGROINDUSTRI PENCIPTAAN NILAI TAMBAH
Nilai tambah (value added) bagi komoditas pertanian dan agroindustri
adalah nilai yang diberikan pada produk sebagai akibat dari penerapan teknologi
pengolahan. Nilai tambah tidak sama dengan laba. Nilai tambah tidak selalu
berarti perbedaan harga komoditas pertanian dengan harga jual produk
agroindustrinya. Peningkatan daya manfaat (usefulness) suatu produk juga
merupakan nilai tambah. Peningkatan nilai tambah, yang dicerminkan melalui
berbagai aspek seperti nilai jual dan daya manfaat yang lebih tinggi, serta
diversifikasi produk akan meningkatkan kemampuan produk menembus pasar
(Yuliati, 2007).
Produk agroindustri, semakin ke hilir, umumnya semakin besar nilai
tambahnya karena semakin banyak teknologi yang diterapkan dalam proses
pengolahannya. Sebagai contoh, industri pengolahan udang. Proses pembekuan
udang mampu memberikan nilai lebih bagi udang yang diekspor, namun industri
pengolahan udang menjadi udang yang cepat saji seperti udang tempura atau
nugget udang memberikan nilai yang lebih besar untuk jumlah udang yang sama.
Peningkatan nilai tambah dilakukan salah satunya dengan menerapkan
teknologi pengolahan yang berorientasi pada permintaan pasar. Nilai tambah
produk membutuhkan penelitian, inovasi, dan teknologi yang tepat guna.
Dukungan pemerintah dalam kegiatan R&D sangat dibutuhkan.
19. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
19
Hasil analisis Supriati et al. (2006) menunjukkan bahwa pada periode 1998
– 2003 dominasi agroindustri skala besar/sedang dalam penguasaan nilai tambah.
Agroindustri skala besar/sedang pada tahun 1998 dan 2003 yang berjumlah 0,71
dan 0,59 persen dari jumlah agroindustri dan hanya menyerap tenaga kerja sekitar
43 persen ternyata menguasai pangsa output 86 persen dan pangsa nilai tambah 90
persen. Sedangkan agroindustri skala rumah tangga yang berjumlah 92 persen
(1998) dan 91 persen (2003) dan menyerap tenaga kerja sekitar 44 persen, hanya
menghasilkan nilai ouput 7 persen dan nilai tambah 7 persen saja.
Rendahnya produktivitas tenaga kerja dan nilai tambah pada agroindustri
skala kecil dibandingkan agroindustri besar disebabkan banyak faktor, antara lain
tingkat pendidikan dan keterampilan tanaga kerja yang umumnya relatif terbatas,
dan tingkat teknologi yang digunakan cenderung masih sederhana. Oleh karena
itu pada masa mendatang perlu upaya untuk meningkatkan produktivitas tenaga
kerja, dan teknologi khususnya pada agroindustri skala kecil.
Gandum akan dihargai lebih mahal kalau sudah digiling menjadi tepung
terigu, dan akan lebih tinggi lagi keitika diolah menjadi roti. Harga roti juga akan
lebih mahal kalau diberi layanan tambahan berupa pengiriman ke rumah
konsumen dengan menggunakan mobil roti atau disajikan di coffee shop hotel
berbintang lima.
Suatu waktu di salah satu tempat rekreasi saya terkesan dengan pedagang
yang menjual pisang bakar menggunakan gerobak. Pisang bakar ditambah susu
kental manis dan keju, hargannya Rp. 2.500,- per buah, sementara harga pisang di
pasar Cuma Rp. 7.000,- per sisir yang isinya sekitar 20 buah. Demikian juga ikan
tangkapan nelayan yang harga per kilonya hanya sekian ribu rupiah akan berlipat
tiga atau empat kali lipat ketika sudah dibersihkan dan dijual di supermarket,
apalagi kalau sempat diolah dan dikalengkan menjadi ikan sarden.
Pada dasarnya nilai tambah bukan diukur dari apa yang sudah dilakukan
termasuk segala biaya yang harus dikeluarkan tetapi diukur dari persepsi nilai di
benak konsumen. Karena nilai tambah diukur dengan persepsi konsumen, maka
peran pemasaran menjadi termasuk brand menjadi penting. Roti yang sama bisa
dihargai lebih mahal kalau dijual dengan merk Holland Bakery, Delicius, atau
Sari Roti. Kopi Kapal Api, daging Kibif, minyak goreng Bimoli atau sambal ABC
dihargai lebih tinggi oleh konsumen bukan sekedar karena proses pengolahan
yang berkualitas tetapi karena kerja keras membangun Brand dan
mengkomunikasikannya ke konsumen.
Konsumen memang percaya dengan persepsinya. Jadi kalau kita bisa
memberi persepsi lebih tinggi melalui valuecreation dan dilengkapi dengan
aplikasi pemasaran yang benar maka agroindustri akan memberi sumbangan lebih
besar. Selama ini komoditas pertanian sering didera gonjang ganjing anjloknya
harga karena pasokan berlimpah. Agroindustri bisa menjadi sarana melepaskan
diri dari situasi commodity-like-trap.
20. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
20
PERAN AGROINDUSTRI DAYA SAING
Mutu hasil pertanian hingga saat ini masih sangat bervariasi, mulai dari
yang bermutu sangat baik hingga sangat buruk. Namun demikian jumlah hasil
bermutu kurang baik sangat banyak. Berbagai kasus ditolaknya produk pertanian
indonesia di luar negeri disebabkan rendahnya mutu hasil. Disamping itu,
rendahnya mutu akan menyebabkan daya saing produk lokal dengan impor akan
melemah.
Peningkatan mutu agar sesuai dengan standar mutu internasional adalah
tantangan paling besar dalam agroindustri. Persoalan mutu menyangkut aspek
yang sangat luas yang dimulai dari varietas, lahan, teknologi budidaya,
perlindungan tanaman hingga cara panen dan perlakuan pascapanen serta
berikutnya agroindustri.
Persaingan perdagangan komoditas agro semakin ketat. Beberapa Negara,
seperti Thailand melakukan evaluasi daya saing kompetitifnya (competitive
advantage) secara periodik untuk mengukur posisi daya saing negaranya. Oleh
karena itu daya saing produk agroindustri sangat menentukan dalam memasuki
pasar global atau bersaing di pasar lokal.
Agenda pengembangan daya saing dilaksanakan melalui (1) program
peningkatan mutu dan standardisasi, (2) program pengembangan pemasaran, dan
(3) efisiensi dalam produksi. Program peningkatan mutu dan standardisasi
dilakukan melalui upaya-upaya antara lain: (1) penyusunan dan penerapan standar
(SNI dan standar lainnya sesuai negara tujuan ekspor), meliputi perumusan
standar, sosialisasi, dan pembinaan; (2) penerapan sistem jaminan mutu
(akreditasi, sertifikasi, pembinaan teknis); (3) peningkatan pengawasan mutu
produk untuk menjamin keamanan pangan. Program pengembangan pemasaran
antara lain meliputi upaya-upaya: (1) peningkatan kapasitas pemasaran dari para
pelaku usaha; (2) pengembangan kelembagaan pemasaran ; (3) peningkatan
market inteligence dan informasi pasar; (4) peningkatan promosi hasil pertanian
baik di pasar domestik maupun pasar internasional; (5) pengendalian impor bagi
produk-produk strategis yang banyak melibatkan petani kecil. Program dalam
efisiensi biaya produksi meliputi: (1) peningkatan produktivitas dengan biaya
tetap; dan (2) peningkatan produktivitas dengan mengurangi biaya produksi.
Program ini dapat dilakukan dengan membangun klaster agroindustri.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan agroindustri yang mampu menghasilkan
produk-produk olahan yang bermutu dan memiliki daya saing maka perlu
dikembangkan cara-cara pengolahan hasil pertanian yang berorientasi Good
Manufacturing Practices (GMP). Selain itu, untuk menjamin mutu produk yang
dihasilkan perlu diterapkan Hazards Analysis Critical Control Point (HACCP).
Dengan menerapkan GMP dan HACCP pada industri pengolahan di pedesaan
diharapkan dapat meningkatkan mutu dan nilai tambah secara optimal sehingga
dapat memberikan konstribusi yang signifikan pada perekonomian pedesaan.
Oleh karena itu produk yang mempunyai daya saing kompetitif tinggi
adalah produk yang mempunyai mutu di atas standar yang ditetapkan dan efisien,
baik dalam pemasaran maupun efisien biaya produksi.
Menyadari nilai tambah yang diperoleh dari pengembangan produk olahan
(hilir) jauh lebih tinggi dari produk primer, maka pendekatan pembangunan
21. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
21
pertanian ke depan diarahkan pada pengembangan produk, dan bukan lagi
pengembangan komoditas dan lebih difokuskan pada pengembangan nilai tambah
produk melalui pengembangan industri yang mengolah hasil pertanian primer
menjadi produk olahan, baik produk antara (intermediate product), produk semi
akhir (semi finished product) dan yang utama produk akhir (final product) yang
berdayasaing.
Sumatera Selatan dengan potensi bahan baku komoditi unggulan
perkebunan (sawit, karet, kopi dan kelapa) pengembangan produk (porduct
development) baru seperti pengembangan berbagai jenis industri oleo-pangan dan
industri oleo-kimia perlu didorong pengembangannya. Demikian pula
pengembangan industri pengolahan karet lanjutan seperti industri ban otomotif
dan barang jadi lain dari karet, pengembangan agroindustri kopi dan klaster
industri pengolahan kelapa hendaknya segera diwujudkan.
FORMULASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI
Minimal ada tiga pendekatan dasar untuk mengembangkan agroindustri,
yaitu menjadikannya sebagai basis pembangunan dan pemberdayaan ekonomi
rakyat (economic basic approach), sebagai motor penggerak pembangunan
wilayah (regional approach) dan dilaksanakan dengan pendekatan lintas sektoral
(intersector approach).
LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN
1. Usulan Kebijakan
a. Perlu pengaturan standar mutu komoditas agroindustri, peningkatan peran
pemerintah khususnya Pemerintah Kabupaten dan Kota dan mendorong peran
swasta untuk melakukan pengendalian mutu dan standarisasi.
b. Memacu pemasaran produk agroindustri pada pasar global yang proaktif dan
ofensif, dengan melakukan kerjasama yang harmonis dan ofensif antara dunia
bisnis, birokrasi dan akademisi.
c. Perlu melakukan penyesuaian dengan lembaga-lembaga perwakilan di negara-
negara pasar potensial untuk melakukan tugas promosi, membangun jaringan
pasar sebagai market intelligence.
d. Peran pemerintah yang selama ini sebagai pelaksana pembangunan hendaknya
semakin digeser kearah hanya terbatas sebagai pembuat kebijakan, fasilitator,
motivator dan dinamisator.
e. Perlu deregulasi dan rasionalisasi untuk meningkatkan efisiensi manajemen
dan delivery system guna meningkatkan daya saing.
f. Perlu kebijaksanaan moneter untuk menurunkan tingkat suku bunga dalam
upaya mendorong tumbuhnya investasi agroindustri.
g. Perlu kebijakan menggalang kemitraan yang saling menguntungkan antara
usaha besar, kecil dan masyarakat tani.
h. Perlu mendorong pengembangan teknologi terapan dan proses produksi baru
agroindustri dengan melakukan inovasi yang intensif.
i. Membuat kebijakan jangka panjang pembangunan agroindustri
22. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
22
2. Usulan Program
a. Program untuk melakukan inovasi intensif terhadap komoditas unggulan,
sehingga pohon industri setiap komoditas semakin ke hilir dan pembangunan
agroindustri memiliki peluang pengembangan dari hulu sampai ke hilir.
b. Perlu program Sistem Informasi Manajemen baik sistem produksi, pasar dan
pemasaran, perdagangan, preferensi konsumen, standar mutu sehingga
agroindustri yang akan dibangun mempunyai arah yang jelas.
c. Program pengembangan jaringan perdagangan, meningkatkan akses pasar dan
merebut pangsa pasar baik regional maupun global.
d. Program memperkuat koordinasi lembaga kerjasama antara
pemerintah/birokrasi, dunia bisnis dan akademisi untuk berpartisipasi aktif
dalam mengembangkan agroindustri.
e. Program meningkatkan kualitas SDM agroindustri secara berkelanjutan.
LANGKAH-LANGKAH OPERASIONAL
1. Perlu dikembangkan produk unggulan dan andalan yang berbasis keunggulan
komparatif menuju keunggulan kompetitif.
2. Pertanian yang dibangun terintegrasi agroindustri dengan menerapkan kaidah-
kaidah industri, sehingga diperoleh produk dengan mutu yang baik, seragam
dan kontinyu.
3. Peningkatan kualitas SDM dengan pendidikan dan pelatihan agroindustri
untuk menghasilkan SDM yang berketerampilan tinggi, berpola pikir industri,
berwawasan global dan bermotivasi unggul dan terbaik.
4. Koperasi bukan lagi tempat berkumpulnya masyarakat yang mengharapkan
bantuan dan kemudahan pemerintah, tetapi merupakan organisasi tempat
berkumpulnya manusia yang berwawasan wirausaha dan berpandangan pasar
global.
5. Pengelolaan Sumber Daya Alam bukan lagi tempat menunggu karunia Tuhan,
tetapi merupakan media untuk memenuhi kebutuhan bahan baku agroindustri.
6. Pengembangan dan pemanfaatan Iptek Agroindustri tepat sasaran, yaitu
teknologi yang sesuai dengan tantangan agroindustri dan produk yang
dihasilkan.
7. Penyediaan sarana dan prasarana transportasi yang memacu pengembangan
agroindustri.
8. Dukungan pemasaran dan perdagangan yang memacu pemasaran produk
agroindustri.
9. Perlu ditingkatkan kegiatan R & D yang mengarah kepada upaya penemuan
“adaftif technology”. Dalam hal ini perlu dilakukan kajian teknologi yang
kontinu dalam membentuk cash flow technology/techno-entreprenuership.
10. Perlu penciptaan iklim usaha yang kondusif agar pihak pemodal semakin
tertarik untuk membangun agroindustri.
11. Perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan kualitas produk, melalui
pembakuan standar, penerapan labelisasi dan perbaikan teknologi pada semua
tingkatan proses agroindustri.
12. Memperkuat sistem informasi pasar.
13. Memperpendek saluran pemasaran.
14. Membangun pusat-pusat pemasaran.
23. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
23
15. Meningkatkan keterkaitan antara produsen dan prosesor
16. Meningkatkan pelayanan untuk koordinasi antara produsen, pemakai jasa dan
peneliti.
17. Membuat pewilayahan komoditas
18. Membangun infrastruktur khususnya jalan dan pelabuhan laut.
PENUTUP
Perkembangan agroindustri selama ini dinilai belum dapat mengimbangi
tuntutan dengan potensi yang tersedia dan pangsa pasar. Disadari pula bahwa
pengembangan agroindustri merupakan tugas yang sangat berat dan
multidimensional sehingga diperlukan partisipasi seluruh lembaga pemerintah dan
nonpemerintah, para pakar, lembaga masyarakat serta para praktisi di bidang
pertanian, industri dan ekonom, dan sarana pendukungnya. Oleh karena itu, peran
dan komitmen pimpinan daerah sangat menentukan dalam mengembangkan
agroindustri.
Minimal ada tiga pendekatan dasar untuk pembangunan agroindustri saat
ini, yaitu menjadikannya sebagai basis pembangunan dan pemberdayaan ekonomi
rakyat (economic basic approach), sebagai motor penggerak pengembangan
wilayah (regional approach) dan dilaksanakan dengan pendekatan lintas sektoral
(intersectoral approach).
Pengelolaan agroindustri haruslah bersifat: 1) terpadu antar satu subsistem
dengan subsistem lain atau antar sektor secara harmonis dan komprehensif, 2)
terkoordinasi antar instansi pembina dari perencanaan hingga pelaksanaan, dan 3)
terpantau pelaksanaannya agar dapat selalu dikoreksi, diperbaiki dan ditingkatkan
pengembangannya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Azis, M. (ed.). 1993. Pasar Global Agroindustri. CIDES, Jakarta.
Brown, J.G. 1994. Agroindustrial Investment and Operation. The Word Bank,
Washington, D.C.
Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2005.
Revitalisasi Pertanian Melalui Agroindustri Perdesaan. Departemen
Pertanian
Habibie, B.J. 2004. Beberapa Pemikiran tentang Peran Sumberdaya Manusia
dalam Membangun Masa Depan Bangsa. Disampaikan di hadapan Guru
Besar, Dosen dan Mahasiswa Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 10
Februari 2004.
Hasbi. 2001. Rekayasa sistem kemitraan usaha Pola Mini Agroindustri Kelapa
Sawit. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Porter, M.E. 1980. Competitive Strategy. Mc Millan Pub. Co. Inc. New York.
24. Prosiding Seminar Nasional
Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal
Palembang, 16 September 2014
24
Said, E. G. dan Wiyandi, S. 1993. Pengembangan Agroindustri di Indonesia.
Institut Pertanian Bogor.
Supriyati., A. Setiyanto., E. Suryani & H. Tarigan. 2006. Analisis Peningkatan
Nilai Tambah Melalui Pengembangan Agroindustri. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian & Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
Walker, J. W. 1992. Human Resources Strategy. McGraw-Hill, Inc. New York.
Yuliati, K. 2007. Pengembangan Agroindustri di Indonesia (Draft Publikasi).