1. MAKALAH
KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA DALAM KEPERAWATAN
PENYEBAB TERJADINYA ADVERSE EVENTS
TERKAIT PROSEDUR INVASIF
Dosen Pengampu
Hotmaria Julia, S.Kep, Ns, M.Kep
Oleh:
Kelompok 3
Asmarita
162212004
Maisyarah
162212017
Sarimawati
162212033
Winda Angesia
162212040
PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN NON REGULER
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
TANJUNGPINANG
T.A 2022/2023
2.
3. i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Keselamatan
dan Kesehatan Kerja Dalam Keperawatan Penyebab Terjadinya Adverse Events
Terkait Prosedur Invasif” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah “Keselamatan Pasien dan Keselamatan Kesehatan Kerja Dalam
Keperawatan” Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“Budaya Dalam Lingkup Kerja Keperawatan Dalam Peningkatan Keselamatan Pasien
dan Penyebab Terjadinya Adverse Evens Terkait Prosedur Invasif” bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Hotmaria Julia, S.Kep., Ns.,
M.Kep selaku dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.
Kepulauan Anambas, 31 Juli 2022
Penulis
4. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan................................................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................. 4
A. Budaya Dalam Lingkup Kerja Keperawatan..................................................... 4
1. Budaya Keselamatan Dalam Berorganisasi ....................................................... 4
2. Budaya Patient Safety........................................................................................ 5
3. Pergeseran Paradigma Dalam Patient Safety..................................................... 5
4. Tiga strategi penerapan budaya patient safety:.................................................. 6
5. Mengukur Maturitas Budaya Patient Safety....................................................... 6
6. Level Kematangan Budaya Patient Safety......................................................... 7
7. Menilai Budaya Patient Safety........................................................................... 7
B. Penyebab Terjadinya Adverse Events Terkait Prosedur Invasif........................ 7
1. Definisi Adverse Events.................................................................................... 7
2. Kebijakan Rumah Sakit Untuk Mencegah Terjadinya ADVERSE
EVENTS/Kejadian Tidak Di Harapkan .................................................................... 9
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ............................................................................................................ 12
B. Saran....................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 13
5. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya Keselamatan pasien merupakan hal yang mendasar di dalam pelaksanaan
keselamatan di rumah sakit. Rumah sakit harus menjamin penerapan keselamatan
pasien pada pelayanan kesehatan yang diberikannya kepada pasien (Fleming &
Wentzel, 2008). Upaya dalam pelaksanaan keselamatan pasien diawali dengan
penerapan budaya keselamatan pasien (KKP-RS, 2008). Hal tersebut dikarenakan
berfokus pada budaya keselamatan akan menghasilkan penerapan keselamatan pasien
yang lebih baik dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan pasien saja
(El-Jardali,dkk, 2011).
Budaya keselamatan pasien merupakan pondasi dalam usaha penerapan
keselamatan pasien yang merupakan prioritas utama dalam pemberian layanan
kesehatan (Disch, Dreher, Davidson, Sinioris, & Wainio, 2011; NPSA, 2009). Pondasi
keselamatan pasien yang baik akan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya
asuhan keperawatan. Penerapan budaya keselamatan pasien yang adekuat akan
menghasilkan pelayanan keperawatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan yang
bermutu tidak cukup dinilai dari kelengkapan teknologi, sarana prasarana yang canggih
dan petugas kesehatan yang profesional, namun juga ditinjau dari proses dan hasil
pelayanan yang diberikan (Ilyas, 2004). Rumah sakit harus bisa memastikan penerima
pelayanan kesehatan terbebas dari resiko pada proses pemberian layanan kesehatan
(Cahyono, 2008; Fleming & Wentzel, 2008).
Penerapan keselamatan pasien di rumah sakit dapat mendeteksi resiko yang akan
terjadi dan meminimalkan dampaknya terhadap pasien dan petugas kesehatan
khususnya perawat. Penerapan keselamatan pasien diharapkan dapat memungkinkan
perawat mencegah terjadinya kesalahan kepada pasien saat pemberian layanan
kesehatan di rumah sakit. Hal tersebut dapat meningkatkan rasa aman dan nyaman
pasien yang dirawat di rumah sakit (Armellino, Griffin, & Fitzpatrick, 2010).
Pencegahan kesalahan yang akan terjadi tersebut juga dapat menurunkan biaya yang
dikeluarkan pasien akibat perpanjangan masa rawat yang mungkin terjadi (Kaufman &
McCughan, 2013). Pelayanan yang aman dan nyaman serta berbiaya rendah merupakan
6. 2
ciri dari perbaikan mutu pelayanan. Perbaikan mutu pelayanan kesehatan dapat
dilakukan dengan memperkecil terjadinya kesalahan dalam pemberian layanan
kesehatan. Penerapan budaya keselamatan pasien akan mendeteksi kesalahan yang akan
dan telah terjadi (Fujita et al., 2013; Hamdan & Saleem, 2013).
Budaya keselamatan pasien tersebut akan meningkatkan kesadaran untuk
mencegah error dan melaporkan jika ada kesalahan (Jeffs, Law, & Baker, 2007). Hal ini
dapat memperbaiki outcome yang dihasilkan oleh rumah sakit tersebut. Outcome yang
baik dapat tercapai jika terjadi peningkatan budaya keselamatan pasien di lingkungan
rumah sakit. Peningkatan tersebut harus dipantau dan dapat diukur. Beberapa peneliti
telah melakukan pengukuran terhadap budaya keselamatan pasien pada beberapa rumah
sakit di dunia. Survey yang dilakukan pada rumah sakit pendidikan Kairo Mesir
didapatkan bahwa dimensi yang paling dominan terhadap peningkatan budaya
keselamatan pasien adalah pembelajaran organisasi perbaikan terus-menerus sebanyak
78, 2% (Aboul-Fotouh, Ismail, EzElarab, & Wassif, 2012).
Budaya keselamatan pasien yang baik dapat memperkecil insiden yang
berhubungan dengan keselamatan pasien. Penelitian Harvard School of Public Health
(HSPH) (2011) menyebutkan bahwa dari seluruh dunia 43 juta orang dirugikan setiap
tahun akibat perawatan yang tidak aman. Sekitar 70% dari pasien yang mengalami
kesalahan medis menderita cacat ringan atau sementara, 7% pasien cacat permanen dan
13,6% kasus berakibat fatal (Collinson, Throne, Dee, MacIntyre, & Pidgeon, 2013).
Data dari National Patient Safety Agency, menyebutkan dari kurun waktu April-
September 2012 di London Inggris pada pelayanan kesehatan akut spesialis terjadi
insiden yang tidak diinginkan sebanyak 56.1%. Persentase insiden tersebut
menimbulkan kerugian ringan sebanyak 34.3 %, kerugian sedang sebanyak 21.1%,
kerugian berat sebanyak 0.5% dan sebanyak 0.2% berkibat fatal. Data insiden tersebut
berbeda dengan data di Indonesia.
Data insiden tersebut berbeda dengan data di Indonesia. Indonesia belum memiliki
sistem pencatatan kesalahan secara nasional. Pelaporan data tentang Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD) dan Kejadian Nyaris Cedera (KNC) belum banyak dilakukan. Data
tentang KTD dan KNC di Indonesia masih sulit ditemukan untuk dipublikasikan.
Namun diperkirakan dampak kerugian akibat KTD dan KNC tersebut cukup besar.
7. 3
Dampak dari KTD dapat berupa cacat ringan, sedang hingga berat, bahkan dapat
berakibat fatal dan kematian.
Upaya yang telah dilakukan di Indonesia antara lain terdapat pada salah satu
pedoman yang dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan PERMENKES
No.1691/MENKES/PE/VIII/2011 tentang keselamatan pasien rumah sakit. Pedoman
tersebut di antaranya berisi tentang enam sasaran keselamatan pasien yaitu ketepatan
identifikasi pasien; peningkatan komunikasi yang efektif; peningkatan keamanan obat
yang perlu diwaspadai; kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi;
pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; pengurangan risiko pasien
jatuh. Lebih lanjut ditegaskan pada bab IV pasal 8 ayat 1 yang menyatakan bahwa
setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien
(DEPKES RI, 2011). Acuan ini di antaranya mewujudkan tujuan keselamatan pasien
dan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan
pasien dan program menekan atau mengurangi insiden.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan, dapat diambil beberapa rumusan
masalah antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana budaya dalam lingkup kerja keperawatan dalam peningkatan keselamatan
pasien?
2. Apa saja penyebab terjadinya adverse evens terkait prosedur invasif?
C. Tujuan Penulisan
Untuk memberikan tambahan wawasan bagi pembaca dan penulis selanjutnya
tentang Bagaimana budaya dalam lingkup kerja keperawatan dalam peningkatan
keselamatan pasien serta penyebab terjadinya adverse events terkait prosedur invasif
dalam keperawatan.
8. 4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya Dalam Lingkup Kerja Keperawatan Dalam Peningkatan
Keselamatan Pasien
1. Budaya Keselamatan Dalam Berorganisasi
Berbagai penelitian pada berbagai industri yang membutuhkan ketepatan tinggi
(high reliability organization), seperti industri pesawat terbang, atau instalasi
pembangkit tenaga nuklir pembangkit tenaga nuklir menunjukkan bahwa safety
menunjukkan bahwa safety culture merupakan culture merupakan prioritas prioritas
pertama pertama dalam industri industri tersebut. tersebut. Industri-industri. Industri-
industri semacam-semacam ini mempunyai mempunyai beberapa karakteristik:
a. Mempunyai otonomi yang tinggi, tetapi tetap ada saling ketergantungan. Setiap
individu dalam organisasi mempunyai otonomi sebagai pekerja yang
independen, tetapi tetap membutuhkan pekerja yang lain untuk menyelesaikan
pekerjaan nya.
b. Mempunyai beberapa tim dengan budaya kerja yang berbeda-beda yang juga
saling membutuhkan. Misalnya seorang dokter merupakan bagian dari tim dokter
dan seorang perawat merupakan bagian bagian dari tim perawat. perawat. Tetapi
dokter membutuhkan membutuhkan perawat perawat dalam prakteknya dan
demikian pula sebaliknya.
c. Selalu waspada terhadap semua resiko yang mengancam keselamatan
(safety).Untuk menciptakan budaya ini biasanya organisasi sudah mempunyai
aturan-aturan dan prosedur formal, tetapi yang lebih penting adalah adanya
perhatian khusus terhadap situasi-situasi yang beresiko tinggi dan tidak hanya
sekedar mematuhi aturan dan prosedur secara mematuhi aturan dan prosedur
secara rutin. Untuk itu, biasanya ada satu petugas yang secara rutin mensupervisi
dan memonitor respon terhadap situasi yang beresiko tinggi.
d. Kompetensi staf secara rutin dievaluasi, seringkali dengan melakukan simulasi-
simulasi. Untuk situasi beresiko tinggi digunakan pendekatan kolaborasi. Pada
situasi yang beresiko tinggi, garis hirarki formal Ditinggalkan dahulu, semua
9. 5
anggota tim meningkatkan kewaspadaan, dan masing-masing anggota tim ikut
memonitor perkembangan situasi dan aktifitas anggota tim yang lain. Umpan balik
terhadap performa setiap anggota tim diberikan secara langsung dan bebas,
dengan tujuan utamanya adalah keselamatan.
2. Budaya Patient Safety
Pentingnya mengembangkan budaya patient safety juga ditekankan dalam
salahvsatu laporan Institute of Medicine “To Er Is Human” yang menyebutkan bahwa
organisasi pelayanan kesehatan harus mengembangkan budaya keselamatan sedemikian
rupa sehingga organisasi tersebut berfokus pada peningkatan reliabilitas dan
keselamatan pelayanan pasien. Hal ini ditekankan lagi oleh Nieva dan Sorra dalam
penelitiannya penelitiannya yang menyebutkan menyebutkan bahwa budaya
keselamatan yang buruk merupakan faktor resiko penting yang bisa mengancam
keselamatan pasien.
Vincent (2005) dalam bukunya bahkan menyebutkan bahwa ancaman terhadap
keselamatan pasien tersebut tidak dapat diubah, jika patient safety dalam organisasi
tidak diubah. Budaya patient safety adalah produk dari nilai, sikap, kompetensi, dan
pola perilaku individu dan kelompok yang menentukan komitmen, style dan
kemampuan suatu organisasi pelayanan kesehatan terhadap program patient safety.
Jika suatu organisasi pelayanan kesehatan tidak mempunyai budaya patient safety
maka kecelakaan bisa terjadi akibat dari kesalahan laten,gangguan psikologis dan
physiologis pada staf, penurunan produktifitas, berkurangnya kepuasan pasien, dan
menimbulkan konflik interpersonal.
3. Pergeseran Paradigma Dalam Patient Safety
Karakteristik dari positive safety culture yaitu:
a. Komunikasi dibentuk dari keterbukaan dan saling percaya
b. Alur informasi dan prosesing yang baik
c. Persepsi yang sama terhadap pentingnya keselamatan
d. Disadari bahwa kesalahan tidak bisa sepenuhnya dihindari
e. Identifikasi ancaman laten terhadap keselamatan secara proaktif
f. Pembelajaran organisasi
g. Memiliki pemimpin yang komitmen dan eksekutif yang bertanggung jawab.
10. 6
h. Pendekatan untuk tidak menyalahkan dan tidak memberikan hukuman
i. pada insiden yang dilaporkan.
4. Tiga strategi penerapan budaya patient safety:
1. Strategy 1
- Lakukan safe practices
- Rancang sistem pekerjaan yang memudahkan orang lain untuk melakukan
tindakan medik secara benar
- Mengurangi ketergantungan pada ingatan
2. Edukasi
- Kenali dampak akibat kelelahan dan kinerja
- Pendidikan dan pelatihan patient safety
- Melatih kerjasama antar
3. Akuntabilitas
- Melaporkan kejadian error
- Meminta maaf
- Melakukan remedial care
- Melakukan root cause analysis
5. Mengukur Maturitas Budaya Patient Safety
Maturitas budaya patient safety dalam organisasi diklasifikasikan oleh Ashcroft
et.al. (2005) menjadi lima tingkat maturitas: patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif dan
generatif. Di tingkat patologis, organisasi melihat keselamatan pasien melihat
keselamatan pasien sebagai masalah, akibatnya informasi-informasi terkait patient
safety akan ditekan dan lebih berfokus pada menyalahkan individu demi menunjukkan
kekuasaan pihak tertentuDi tingkat reaktif, organisasi sudah menyadari bahwa
menyadari bahwa keselamatan pasien adalah hal penting, penting, tetapi hanya
berespon ketika terjadi insiden yang signifikan. Di tingkat kalkulatif, organisasi
cenderung berpaku pada aturah-aturan dan jabatan kewenangan dalam organisasi.
Setelah insiden terjadi, informasi tidak diteruskan atau bahkan diabaikan, kesalahan
segera dibenarkan atau dijelaskan penyebabnya, tanpa analisis yang lebih mendalam
lagi.
11. 7
6. Level Kematangan Budaya Patient Safety
Patologis Tidak ada sistem untuk pengembangan budaya patient safety. Reaktif
sistemnya masih terpecah-pecah, dikembangkan sebagai bagian dari regulasi atau
permintaan akreditasi atau untuk merespon insiden yang terjadi. Kalkulatif Terdapat
pendekatan sistematis terhadap patient safety, tetapi implementasinya masih terkotak-
kotak, dan analisis terhadap insiden masih terbatas pada situasi ketika insiden terjadi.
Proaktif terdapat pendekatan komprehensif terhadap budaya patient safety, intervensi
yang evidence-based sudah diimplementasikan. Generatif pembentukan dan
maintenance budaya patient safety adalah bagian sentral sentral dari misi organisasi,
organisasi, efektifitas efektifitas intervensi intervensi selalu dievaluasi, selalu belajar
dari pengalaman yang salah maupun yang berhasil, dan mengambil tindakan-tindakan
yang berarti untuk memperbaiki situasi.
7. Menilai Budaya Patient Safety
Saat ini, budaya patient safety dinilai dengan self-completion questionnaires.
Biasanya dilakukan dengan cara mengirimkan kuesioner kepada semua staff, untuk
kemudian dihitung nilai rata-rata respon terhadap masing-masing item atau faktor.
Langkah pertama dalam proses pengembangan budaya patient safety adalah dengan
menilai budaya yang ada. Tidak banyak alat yang tersedia untuk menilai budaya patient
safety, salah satunya adalah “Manchester Patient Safety Framework”. Biasanya ada
jenis pernyataan yang digunakan untuk menilai dimensi budaya patient safety. Pertama
adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur nilai, pemahaman dan sikap. Kedua
adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur aktifitas atau perilaku yang bertujuan
untuk pengembangan budaya patient safety, seperti kepemimpinan, kebijakan dan
prosedur.
B. Penyebab Terjadinya Adverse Events Terkait Prosedur Invasif
1. Definisi Adverse Events
Adverse Event atau Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) merupakan suatu kejadian
yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan
(commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan
kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostic seperti kesalahan atau bukan
karena “underlying disease” atau kondisi pasien. keterlambatan diagnose, tidak
12. 8
menerapkan pemeriksaan yang sesuai, menggunakan cara pemeriksaan yang sudah tidak
dipakai atau tidak bertindak atas hasil pemeriksaan atau observasi; tahap pengobatan
seperti kesalahan pada prosedur pengobatan, pelaksanaan terapi, metode penggunaan
obat, dan keterlambatan merespon hasil pemeriksaan asuhan yang tidak layak; tahap
preventive seperti tidak memberikan terapi provilaktik serta monitor dan follow up yang
tidak adekuat; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan berkomunikasi,
kegagalan alat atau system yang lain. Dalam kenyataannya masalah medical error dalam
sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi
umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar
yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita
semua.
Terdapat klasifikasi dalam mendeteksi adverse events sebagai berikuti:
1. Kejadian Sentinel
Suatu kejadian yang tidak diharapkan yang menyebabkan kematian atau cedera
fisik atau psikologis serius, atau resiko daripadanya, termasuk dalam (tetapi tidak
terbatas pada) kematian yang tidak dapat diantisipasi dan tidak berhubungan dengan
penyebab alami dari penyakit pasien atau kondisi medis dasar pasien atau kondisi medis
dasar pasien contoh bunuh diri kehilangan permanen yang besar dari fungsi yang tidak
berhubungan dengan penyakit dasar pasien, pembedahan yang salah lokasi, salah
prosedur, salah pasien, penculikan bayi atau bayi yang dibawa pulang oleh orangtuanya
yang salah. Insiden ini yang mengakibatkan cedera pada pasien.
2. Kejadian Nyaris Cedera
Suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (omission), yang dapat mencederai
pasien, tetapi cedera serius, contohnya diberi obat yang seharusnya kontradikasi/ dosis
lethal, tetapi diketahui, dan diberikan antidotenya (mitigatiaon).
3. Kejadian Tidak Cedera
Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien,
tetapi timbul cedera,
4. Kondisi Potensial Cedera
Kondisi Potensial Cedera (KPC) adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk
menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
13. 9
2. Kebijakan Rumah Sakit Untuk Mencegah Terjadinya ADVERSE
EVENTS/Kejadian Tidak Di Harapkan
a. Rumah sakit wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien
System keselamatan pasien rumah sakit antara lain, pelaporan insiden, pelaporan
bersifat anonym/rahasia. Analisa, belajar, riset masalah, dan pengembangan taksonomi.
Serta keterlibatan dan pemberdayaan pasien dan keluarganya.
b. Rumah sakit wajib melaksanakan 7 langkah menuju keselamatan pasien
Dalam rangka menerapkan standar keselamatan pasien, menurut pasal 9 peraturan
Menteri Kesehatan tersebut diatas, rumah sakit melaksanakan 7 langkah menuju
keselamatan pasien rumah sakit yang terdiri dari :
1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
Bagi Rumah sakit
Kebijakan: tindakan staf segera setelah insiden, langkah kumpul fakta,
dukungan kepada staf, pasien, keluarga.
Kebijakan: peran dan akuntabilitas individual pada insiden menumbuhkan
budaya pelaporan dan belajar dari insiden, lakukan assesment dengan
menggunakan survei penilaian KP.
Bagi Tim
Anggota mampu berbicara, peduli dan berani lapor bila ada insiden.
Laporan terbuka dan terjadi proses pembelaj ajaran serta pelaksanaan
tindakan/solusi yang tepat.
2. Memimpin dan mendukung staf
Bagi Rumah Sakit:
Ada anggota direksi yang bertanggung jawab atas KP dibagian-2 ada orang
yang dpt menjadi “Penggerak” (champion) KP Prioritaskan KP dalam agenda
rapat Direksi/Manajemen masukkan KP dlm semua program latihan staf.
Bagi Tim:
Ada “penggerak” dlm tim untuk memimpin Gerakan KP menjelaskan
relevansi dan pentingnya, serta manfaat gerakan KP menumbuhkan sikap ksatria
yang menghargai pelaporan insiden.
14. 10
3. Mengitegrasikan aktivitas pengelolaan resiko
Bagi Rumah Sakit:
Struktur dan proses mjmn risiko klinis dan nonklinis, mencakup KP
pengembangan indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko. Gunakan
informasi dari sistem pelaporan insiden dan asesmen risiko dan tingkatkan
kepedulian terhadap pasien.
Bagi Tim:
Diskusi isu KP dalam forum-forum, untuk umpan balik kepada menjamin
terkait penilaian risiko pada individu pasien, proses asesmen risiko teratur,
tentukan akseptabilitas tiap risiko, dan langkah memperkecil risiko tersebut.
4. Membangun sistem pelaporan
Bagi Rumah sakit:
Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden, ke dalam maupun
ke luar yang harus dilaporkan ke KKPRS – PERSI.
Bagi Tim:
Dorong anggota untuk melaporkan setiap insiden dan insiden yang telah
dicegah tetapi tetap terjadi juga, sebagai bahan pelajaran yang penting.
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien
Bagi Rumah Sakit
Kebijakan : komunikasi terbuka tentang insiden dengan pasien dan keluarga
mendapat informasi bila terjadi insiden, dukungan, pelatihan dan dorongan
semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarga (dalam
seluruh proses asuhan pasien).
Bagi Tim:
Hargai dan dukung keterlibatan pasien dan keluarga bila telah terjadi insiden.
Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bila terjadi insiden Segera
setelah kejadian, tunjukkan empati kepada pasien dan keluarga.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
Bagi Rumah Sakit:
Staf terlatih mengkaji insiden secara tepat, mengidentifikasi sebab
Kebijakan: kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause
15. 11
Analysis/RCA) atau Failure Modes dan Effects Analysis (FMEA) atau metoda
analisis lain, mencakup semua insiden dan minimum 1 x per alat/tahun untuk
proses risiko tinggi.
Bagi Tim:
Diskusikan dlm tim pengalaman dari hasil analisis insiden. Identifikasi
bagian lain yang mungkin terkena dampak dan bagi pengalaman tersebut.
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
Bagi Rumah Sakit:
Tentukan solusi dengan informasi dari sistem pelaporan, asesment risiko,
kajian insiden, audit serta analisis. Solusi mencakup penjabaran ulang sistem,
penyesuaian pelatihan staf dan kegiatan klinis, penggunaan instrumen yang
menjamin KP Asesment risiko untuk setiap perubahan. Sosialisasikan solusi yang
dikembangkan oleh KKPRS-PERSI Umpan balik kepada staf tentang setiap
tindakan yang diambil atas insiden.
Bagi Tim:
Kembangkan asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman. Telaah
perubahan yang dibuat tim dan pastikan pelaksanaannya. Umpan balik atas setiap
tindak lanjut tentang insiden yang dilaporkan.
c. Evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien akan dilakukan program akreditasi
rumah sakit.
16. 12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Salah satu tantangan dalam pengembangan patient safety adalah bagaimana
mengubah budaya yang ada menuju budaya patient safety. Langkah penting penting
pertama adalah dengan menempatkan patient safety sebagai sebagai salah satu prioritas
utama dalam organisasi pelayanan kesehatan, yang didukung oleh eksekutif, tim klinik,
dan staf di semua level organisasi dengan pertanggung jawaban yang jelas. Beberapa
contoh langkah-langkah lainnya disajikan dalam perubahan budaya yang sangat terkait
dengan pendapat dan perasaan individu dalam organisasi.
Keselamatan pasien (Patienty Safety) adalah suatu system yang membuat asuhan
pasien dirumah sakit menjadi lebih aman. sistem ini mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesehatan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil.
B. Saran
Perlu disusun lembaran khusus mengenai adverse event pada catatan rekam medis
yang memuat pemantauan gejala dan tanda adverse event, riwayat pengobatan
terdahulu, serta penilaian tingkat keparahan adverse event dari pemakaian antipsikotika
pada pasien skizofrenia yang dapat digunakan untuk pemeriksaan perkembangan pasien
setiap hari selama pasien dirawat di masing masing rumah sakit.
Perlunya dilakukan penyusunan pedoman tatalaksana adverse event pada
penggunaan antipsikotik berdasarkan gejala dan tanda yang muncul pada pasien yang
dicantumkan dalam Standar Pelayanan Medik masing masing rumah sakit.
17. 13
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, M. (2012). Pengaruh pelatihan timbang terima pasien terhadap penerapan
keselamatan pasien oleh perawat pelaksana di RSUD Raden Mattaher Jambi. Jurnal
Health and Sport, 5(03).
Hartanto, Y. D., & Warsito, B. E. (2017). Kepemimpinan Kepala Ruang dalam
Penerapan Budaya Keselamatan Pasien di Rumah Sakit: Literature Review.
Herawati, Y. T. (2015). Budaya keselamatan pasien di ruang rawat inap rumah sakit X
Kabupaten Jember. IKESMA, 11(1).
Mandriani, E., Hardisman, H., & Yetti, H. (2019). Analisis Dimensi Budaya
Keselamatan Pasien Oleh Petugas Kesehatan di RSUD dr Rasidin Padang Tahun
2018. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(1), 131-137.
Nivalinda, D., Hartini, M. I., & Santoso, A. (2013). Pengaruh motivasi perawat dan
gaya kepemimpinan kepala ruang terhadap penerapan budaya keselamatan pasien oleh
perawat pelaksana pada rumah sakit pemerintah di Semarang. Jurnal Manajemen
Keperawatan, 1(2).
Rosyada, S. D. (2014). Gambaran Budaya Keselamatan Pasien pada Perawat Unit
Rawat Inap Kelas III Rumah Sakit Umum Daerah Pasar ReboBulan Juni Tahun 2014.
Simamora, R. H. (2018). Buku ajar keselamatan pasien melalui timbang terima pasien
berbasis komunikasi efektif: SBAR. Medan: USUpress.
Simamora, R. H. (2020). Learning of Patient Identification in Patient Safety Programs
Through Clinical Preceptor Models. Medico Legal Update, 20(3), 553-556.
Suci, W. P. (2018). Peningkatan Budaya Keselamatan Pasien melalui Pemberdayaan
Champion Keselamatan Pasien. Jurnal Kesehatan Holistic, 2(2), 23-36.
Yulia, S., Hamid, A. Y. S., & Mustikasari, M. (2012). Peningkatan pemahaman perawat
pelaksana dalam penerapan keselamatan pasien melalui pelatihan keselamatan pasien.
Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(3), 185-192.