Makalah ini membahas tentang tiga topik utama dalam hukum waris Islam yaitu aul, radd, dan hak waris kakek bersama saudara. Aul adalah bertambahnya harta warisan akibat kekurangan bagian para ahli waris, sedangkan radd adalah pengembalian bagian sisa kepada ahli waris tertentu. Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hak waris antara kakek dan saudara.
ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH.
Sehingga dalam fitrah itu, Islam juga memiliki pengaturan antara sesama manusia, termasuk dalam hal muamalah. Dalam muamalah, terdapat pengaturan masalah keluarga.
KELUARGA SAKINAH MAWADAH WA RAHMAH
Inilah harapan setiap keluarga, syariah Islam memberikan konsep dalam hal ini. Maka sangat penting kita bahas mengenai konsep Islam ini.
KELUARGA MENJADI PENETRAM HATI
Setiap anggota keluarga, menjadikan rumahnya sebagai penentram hati, limhana kasih sayang dan memberikan nafkah. Sehingga konsep keluarga Islam idaman ini sangat perlu disajikan.
KELUARGA MENJADI TEMPAT MEMELIHARA DIRI
Abdullah bin Abbas r.a memberikan penafsiran pada Q.S At Tahrim: 6, sebagai berikut: “Kamu semua hendaknya mengajar keluargamu dalam urusan-urusan syariat Allah dan didiklah mereka dengan akhlak yang sempurna.
.
.
.
Penjelasannya ada di: http://bit.ly/KonsepKeluargaIslam
Al quran dan assunnah panduan hidup oleh Ustazah Shahidah Sheikh AhmadMd Azmani Syah Ali
Mengupas 4 persoalan:
DARI MANA KITA DATANG?
APA TUJUAN KEWUJUDAN KITA DI DUNIA?
KEMANA KITA AKAN PERGI SELEPAS INI?
APA PERSIAPAN KITA UNTUK KEHIDUPAN SELEPAS MATI?
ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH.
Sehingga dalam fitrah itu, Islam juga memiliki pengaturan antara sesama manusia, termasuk dalam hal muamalah. Dalam muamalah, terdapat pengaturan masalah keluarga.
KELUARGA SAKINAH MAWADAH WA RAHMAH
Inilah harapan setiap keluarga, syariah Islam memberikan konsep dalam hal ini. Maka sangat penting kita bahas mengenai konsep Islam ini.
KELUARGA MENJADI PENETRAM HATI
Setiap anggota keluarga, menjadikan rumahnya sebagai penentram hati, limhana kasih sayang dan memberikan nafkah. Sehingga konsep keluarga Islam idaman ini sangat perlu disajikan.
KELUARGA MENJADI TEMPAT MEMELIHARA DIRI
Abdullah bin Abbas r.a memberikan penafsiran pada Q.S At Tahrim: 6, sebagai berikut: “Kamu semua hendaknya mengajar keluargamu dalam urusan-urusan syariat Allah dan didiklah mereka dengan akhlak yang sempurna.
.
.
.
Penjelasannya ada di: http://bit.ly/KonsepKeluargaIslam
Al quran dan assunnah panduan hidup oleh Ustazah Shahidah Sheikh AhmadMd Azmani Syah Ali
Mengupas 4 persoalan:
DARI MANA KITA DATANG?
APA TUJUAN KEWUJUDAN KITA DI DUNIA?
KEMANA KITA AKAN PERGI SELEPAS INI?
APA PERSIAPAN KITA UNTUK KEHIDUPAN SELEPAS MATI?
Investasi Cerdas bukan Warisi Utang
Sebuah Bingkisan Pernikahan Belajar Bijak Berumah Tangga Lewat Perencanaan Keuangan
“Pernikahan jika ditinjau dari keuangan (harta) akan berdampak bertambahnya biaya atau bertambahnya pengeluaran (outcome), namun jika dipahami sebagai keberkahan rezeki maka pernikahan adalah bertambah luasnya rezeki (income/ pemasukan) dengan hadirnya pasangan dan sang buah hati. Karena sesungguhnya setiap manusia membawa rezeki masing-masing, hingga disempurnakan sampai ajal menjemputnya.”
Buku ini diharapkan dapat menjadi kado dan bahan bertukar pikiran bagi :
- Mereka yang sedang dan akan mempersiapkan rumah tangga yang berkualitas, memahami berinvestasi untuk mengatasi bertambahnya pengeluaran dan mempersiapkan mewaris. Karena pernikahan merupakan gerbang pembuka perpindahan kepemilikan harta tanpa tijarah (perniagaan/ jual beli), tapi melalui waris.
- Mereka yang ingin memetakan perjalanan kebutuhan keuangan dan pentingnya berinvestasi hingga berujung di perencanaan waris. Umumnya waris diprioritaskan dalam perencanaan keuangan disaat pensiun, padahal secara syariat seharusnya dipahami sejak seseorang memasuki gerbang pernikahan. Karena pintu waris dibuka sejak akad nikah dilangsungkan.
- Mereka yang ingin lebih memahami secara pribadi dan mengoptimalkannya potensi diri melalui Money & Man Character [MMC] Quadrant™.
- Mereka yang mau menyempurnakan ikhtiar (usaha) untuk berinvestasi (sahibul mal) dan menggaet peminat investasi (mudharib), terutama disektor riil, agar memahami bagaimana perkembangan dan mengembangkan investasinya (how to get investor & invesment management)
- Mereka yang sedang mengembangkan usahanya di sektor informal (wirausaha/ entrepreneur) dan terjebak utang. Membangun paradigma baru mengelola usaha dengan mengoptimalkan akad isytirak (kerjasama); Bebas Utang, Bebas riba.
- Mereka yang sedang belajar kajian tentang muamalah, khususnya perencanaan keuangan
UNTUK DOSEN Materi Sosialisasi Pengelolaan Kinerja Akademik DosenAdrianAgoes9
sosialisasi untuk dosen dalam mengisi dan memadankan sister akunnya, sehingga bisa memutakhirkan data di dalam sister tersebut. ini adalah untuk kepentingan jabatan akademik dan jabatan fungsional dosen. penting untuk karir dan jabatan dosen juga untuk kepentingan akademik perguruan tinggi terkait.
1. ‘AUL, RADD DAN WARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Fiqh III
Dosen Pengampu : Ambar Hermawan, M.Ag
oleh:
Wiki Tuwi Anjarwati (2021113191)
Adi Falsafi (2021113192)
Umi Fatkhurohmah (2021113211)
Ati Utami (2021113205)
Kelompok 10
JURUSAN TARBIYAH / PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2015
2. BAB I
PENDAHULUAN
Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris
meninggalkan harta warisannya dan ahli waris, maka ahli waris harus
mendapatkan harta warisan sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang
diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah
persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari
penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan itu tidak
dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini timbul karena
adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut
dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka
penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang aul, radd yaitu ketika
pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta dan juga hak
warisan kakek.
3. BAB II
PEMBAHASAN
A. ‘AUL
Al-‘aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, diantaranya
zalim dan menyeleweng, seperti dalam surat An-Nisa ayat 3:
“Yang demikian itu adalah lebih dekat agar kamu tidak berbuat
zalim.”(Qs. An-Nisa:3)
‘Aul juga bermakna “naik” atau irtifa’(mengangkat). Dikatakan
‘ala al-miizan bila timbangan itu naik, terangkat. Secara istilah Aul adalah
bertambahnya jumlah harta waris dari yang telah ditentukan dan
berkurangnya bagian para ahli waris.1
Pada masa Rasulullah saw. Dan kekhalifahan Abu Bakar Ash
Shiddiq peristiwa ‘aul belum pernah terjadi. ‘Aul pertama kali terjadi pada
masa kekhalifahan Umar bin Khattab.2
Ada dua pendapat mengeni ‘aul ini,yaitu yang pertama
membolehkan ‘aul. Pendapat ini mengikuti Umar bin Khattab ketika
menyelesaikan kasus waris dari seorang wanita yang wafat meninggalkan
seorang suami (haknya 1/2, karena tanpa anak), dan dua orang saudara
perempuan (2/3) sehingga penjumlahan keduanya melebihi harta waris.
Untuk mengatasi masalah ini Umar menjadikan harta waris menjadi tujuh
bagian. Tiga pertujuh (3/7) menjadi bagian suami dan saudara perempuan
masing-masing mendapat dua pertujuh (2/7) bagian.
Pendapat kedua adalah pendapat Ibnu Abbas, yang mendahulukan
penerimaan bagian tetap dan mengorbankan yang lebih lemah dengan
demikian tidak ada ‘aul.
Pendapat jumhur ulama mengikuti pendapat yang paling kuat dan
lebih adil, yaitu dengan menyamakan kedudukan para ahli waris dalam
1 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.201
2 Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum positif di Indonesia,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.122
4. pengurangan bagian mereka secara proporsional. Jadi, pendapat Umar bin
Khattab tersebut menjadi rujukan.
Menurut ulama faraidh, Asal Masalah (KPK) yang boleh di
‘aulkan, hanya tiga masalah saja, yaitu masalah enam, masalah dua belas
dan masalah dua puluh empat.
1. Masalah Enam
Masalah Enam hanya boleh di’aulkan kepada empat macam
saja, yaitu:
a. Masalah enam menjadi tujuh
b. Masalah enam menjadi delapan
c. Masalah enam menjadi sembilan
d. Masalah enam menjadi sepuluh
2. Masalah Dua belas
Masalah dua belas hanya boleh di’aulkan kepada tiga macam
saja, yaitu:
a. Masalah dua belas menjadi tiga belas
b. Masalah dua belas menjadi lima belas
c. Masalah dua belas menjadi tujuh belas
3. Masalah Dua Puluh Empat
Masalah dua puluh empat hanya boleh di’aulkan kepada
semacam saja, yaitu: masalah dua puluh empat menjadi dua
puluh tujuh3
B. Radd
Kata Radd menurut bahasa artinya I’adah, yaitu mengembalikan.
Sedang menurut istilah Radd adalah pengembaian bagia yang tersisa dari
bagian zawul furud nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar
3Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2014)
hlm.54-55
5. kecilnya bagian masing-masng bila tidak ada lagi orang lain yang berhak
menerimanya. Radd merupakan kebalikan dari aul.4
Radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud
tiga syarat seperti di bawah ini:
1. Adanya ashhabul furudh
2. Tidak adanya ashabah
3. Adanya sisa harta waris
Bila dalam pembagian harta waris tidak ada ketiga syarat tersebut
maka kasus Radd tidak akan terjadi.5
Radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali
suami dan istri. Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd
hanya ada delapan orang, yakni:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
3. Saudara perempuan sekandung
4. Saudara perempuan seayah
5. Ibu kandung
6. Nenek shahih (ibu dari bapak)
7. Saudara perempuan seibu
8. Saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk
ashabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu, mereka tidak bisa
mendapatkan radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila dalam
pembagian hak waris terdapat salah satunya, maka tidak mungkin ada
radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashabah.6
Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa
mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini disebabkan
kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena
kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan.
4 Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),hlm. 147.
5Op. Cit., Mardani...,hlm. 59.
6. Dan kekerabatan ini akan putus karena kematian. Mereka hanya berhak
memperoleh bagian warisan berdasarkan ketentuan sebagai ahli waris
yang mempunyai bagian tetap.
Radd dibagi menjadi empat macam yang masing-masingnya
mempunyai cara-cara tertentu sebagai berikut:
1. Ahli waris yang memiliki bagian tertentu hanya seorang dan bukan salah
seorang dari suami atau istri.
Apabila ahli warisnya hanya terdiri atas seorang ashabul furud tanpa
disertai salah seorang suami atau istri, harta peninggalannya dibagi sesuai
dengan jumlah ahli waris yang ada.
2. Ahli waris atas lebih seorang ashabul furud, bukan suami atau istri
Apabila para ahli waris yang mempunyai bagian tetap terdiri atas dua
macam dengan tidak disertai salah satu suami atau istri, harta warisannya
dibagi sesuai dengan jumlah yang dterima oleh ahli waris tersebut.
3. Para ahli waris yang mempunyai bagian tetap dan terdiri atas satu jenis
dengan disertai adanya suami atau istri
Apabila para ahli waris terdiri atas seorang ashabul furud dengan
dsertai suami atau istri, ketentuannya adalah kita keluarkan bagian orang
yang tidak menerima radd terlebih dahulu, sisanya dibagi menurut jumlah
kepada ahli waris.
4. Para ahli waris yang mempunyai bagian tetap dan berbeda serta disertai
dengan adanya salah satu diantara suami atau istri
Apabila terjadi demikian, ketentuannya dijadikan dua masalah. Satu
masalah didalamnya kita letakkan suami atau istri dan satu lagi masalah
tidak disertai suami atau istri. Masing-masing masalah kita tempatkan
dengan berdiri sendiri-sendiri , kemudian kita perhatikan diantara kedua
masalah itu dengan satu diantara tiga hubungan, yaitu tamatsul (sama),
tawafuq(kecocokan), dan tabayun(kontradiksi).7
7 Op. Cit., Dian Khaerul Umam, .., hlm. 149-150.
7. Mengenai masalah radd ini ada beberapa pendapat. Jumhur sahabat
dan tabi’in menyetujui radd ini menjadi bagian yang dikembalikan secara
proporsional ke ashabhul furud. Yang menyetujui pendapat ini meliputi
Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, dan Abdullah bin
Mas’ud demikian pula madzhab Hanafi dan Hambali.
Madzhab Maliki dan Syafi’I melarang adanya radd. Apabila tidak
ada ashabah, menurut mereka ssa harta warisan diserahkan ke baitul mal
apabila baitul mal itu terorganisasi dengan baik. Generasi ulama
sesudahnya lebih cenderung sependapat dengan pendapat yang pertama.8
C. Hak Waris Kakek dengan Saudara
Menurut Ash-shabuni, kakek shahih dalam ilmu fara’idh adalah
kakek yang hubungannya dengan orang yang meninggal dunia, bukan
melalui perempuan. Misalnya ayahnya ayah, demikianlah terus ke atas
yang dipertalikan melalui laki-laki. Apabila hubungan kakek dengan orang
yang meninggal dunia dipertalikan melalui perempuan, dinamakan kakek
fasid, seperti ayahnya ibu. Oleh karena itu, ia termasuk dzawil arham,
begitu juga ayahnya ibu ayah.
Sebagai pedoman adalah apabila pertalian di antara laki-laki itu
terdapat perempuan, dinamakan kakek tidak shahih. Sebaliknya kalau
tidak diantarai oleh perempuan dinamakan kakek shahih, walau sampai
derajat manapun, seperti ayahnya ayahnya ayah, ayahnya ayahnya
ayahnya ayah, begitu seterusnya sampai nabi adam.
1. Hukum Waris antara kakek dan saudara
Baik al-Qur’an atau hadits nabi tidak menjelaskan tentang hokum
waris bagi kakek yang shahih dengan saudara kandung ataupun
saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas sahabat sangat berhati-hati
dalam memvonis masalah ini, bahkan cenderung sangat takut untuk
8 Op. Cit., Mardani, .. , hlm. 60.
8. member fatwa yang berkenaan dengan masalah ini. Ibnu mas’ud r.a
mengatakan:
“bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat
pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang
masalah warisan kakek yang shahih dengan saudara”
Pernyataan serupa juga ditegaskan Umar bin Khattab
“orang yang paling berani diantara kalian untuk membagikan
warisan kakek dengan saudara, maka dialah orang yang paling berani
masuk kedalam api neraka”
Dinyatakan pula oleh Ali bin Abi Thalib
“barang siapa yang ingin terjun ke dalam neraka jahannam,
putuskanlah kewarisan kakek yang bersama dengan saudara”
Mungkin yang menyebabkan mereka takut untuk memutuskan
kewarisan kakek(bersama saudara) karena tidak adanya nash dari al-
Qur’an atau al-Hadits yang mengun gkapkan cara kewarisan kakek
bersama dengan saudara perempuan si pewaris. Urusan tersebut
membutuhkan ijtihad, sedangkan ijtihad kadang-kadang keliru, yang
boleh jadi menghalangi kewarisan orang yang berhak,a atu mungkin
juga memberi warisan kepada orang ayng tidak berhak. Oleh sebab itu,
sebagian sahabat tak berani memutuskan hal tersebut, terutama hal ini
menyangkut hak-hak kebendaan, ayng dikhawatirkan akan
menyebabkan kezaliman dan penganiayaan. Selain itu kedudukan ilmu
waris ini (maudhunya) sangat rawan. Allah swt tidak memberi
wewenang kepada siapapun dari dari makhluk-Nya dalam menangani
pembagian waris, bahkan cara pembagiannya pun Allah sendiri yang
menangani, agar tidak membuat kezaliman dan penganiayaan terhadap
seorang hamba, atau timbul kecurangan dan penipuan terhadap hak-
hak waris seseorang.
2. Perbedaan pendapat mengenai hak waris kakek
Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam menetapkan hokum
kewarisan kakek bersama dengan saudara, mengikuti ikhtilaf yang
9. timbul di kalangan para sahabat r.a itu sendiri. Mereka terbagi menjadi
dua golongan.
Pertama, mereka berpendapat bahwa semua saudara secara mutlak
(saudara sekandung, saudara seayah, dan saudara seibu), baik laki-laki
ataupun wanita, dihijab dari warisan dengan adanya kakek. Dengan
demikian saudara-saudara tidak mendapat warisan sama sekali bila
bersama kakek karena kakek menempati kedudukan ayah apabila ayah
tidak ada dalam segala keadaan, dan juga karena kakek merupakan
ayah yang lebih tinggi.
Kedua, dari kalangan para imam mujtahid berpendapat bahwa
saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung atau seayah dapat
menerima waris bersama dengan kakek, dan kakek tidak dapat
menghijab mereka dari warisan. Berbeda halnyabdengan ayah.
Argumentasi mereka terhadap hal tersebut adalah bahwasannya kakek
dan saudara adalah satu derajat kalau ditinjau dari pertaliannya dengan
orang yang meninggal, yakni kakek dipertalikan melalui ayah, dan
saudar pun di pertalikan melalui ayah. Kakek sebagai orang tua dari
ayah dan saudara sebagai turunan dari ayah. Oleh karena itu,
perbandingan dua kelompok tersebut mempunyai derajat yang sama
maka tidak relevan jika jihat yang satu diberi warisan , sedangkan jihat
yang lain tidak. Hal ini berarti mendahulukan sesuatu yang tidak
membawa kebaikan, sebagaimana kita memberi warisan kepada
sebagian saudara sekandung, sedangkan kepada sebagiannya yang lain
tidak, padahal mereka sama-sama dipertalikan melalui derajat keluarga
yang satu.
3. Kakek dari pihak ibu
Ulama madzhab sunni mengatakan bahwa kakek dari pihak ibu
termasuk dalam kelompok dzaw al-arham yang tidak bisa menerima
waris dengan adanya orang-orang yang memiliki bagian fardh dan
ashabah . Berdasarkan hal itu, kakek dari pihak ibu tidak bisa
menerima waris bersama-sama dengan kakek dari pihak ayah, saudara-
10. saudara perempuan dan laki-laki,anak-anak dari saudara-saudara laki-
laki seayah seibu atau yang seayah saja, para paman(saudara ayah) dan
anak-anak mereka. Kalau semua orang yang disebutkan tidak ada
semuanya, dan tidak ada pula orang-orang yang mempunyai bagian
fardh, ayahnya ibu, menurut Hanafi dan Hambali berhaka atas waris,
tetapi menurut Syafi’I dan Maliki tidak bisa mewarisi selamanya.
4. Kakek dari pihak ayah
Ulama madzhab empat sepakat bahwa ayahnya ayah bisa
menempati posisi ibu manakala ibu tidak ada, serta bisanmenerima
waris bersama-sama anak laki-lakinya sebagaimana halnya dengan
ayah. Akan tetapi dalam persoalan ibunya ayah, ketentuannya
dibedakan. Bagi Hambali, ibunya ayah tidak bisa menerima waris
ketika berada bersama-sama ayah, tetapi bisa menerima waris bila
berada bersama-sama kakek dari pihak ayah, yakni suaminya. Ayah
juga dibedakan dari ketika dua orang tua(ayah ibu) bertemu dengan
salah seorang diantara suami atau istri. Ibu, ketika berada bersama-
sama ayah dan salah seorang diantara suami atau istri pewaris,
mengambil bagian sepertiga dari tirkah (sesuatu yang ditinggalkan
pewaris) yang tersisa sesudah diambil bagian salah seorang diantara
suami atau istri pewaris, sedangkan bila ibu bertemu dengan kakek dan
salah seorang diantara suami atau istri pewaris, mengambil bagian
sepertiga tirkah pokok, dan bukan sepertiga sisa tirkah.9
9 Op. Cit., Beni Ahmad Saebani...,hlm. 237-246
11. BAB III
PENUTUP
Secara istilah Aul adalah bertambahnya jumlah harta waris dari
yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris. Sedangkan
Radd menurut istilah adalah pengembaian bagian yang tersisa dari bagian
zawul furud nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar kecilnya
bagian masing-masng bila tidak ada lagi orang lain yang berhak
menerimanya. Radd merupakan kebalikan dari aul.
Radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud
tiga syarat seperti di bawah ini:
1. Adanya ashhabul furudh
2. Tidak adanya ashabah
3. Adanya sisa harta waris
Kemudian hak waris kakek shahih dalam ilmu fara’idh adalah
kakek yang hubungannya dengan orang yang meninggal dunia, bukan
melalui perempuan. Misalnya ayahnya ayah, demikianlah terus ke atas
yang dipertalikan melalui laki-laki. Apabila hubungan kakek dengan orang
yang meninggal dunia dipertalikan melalui perempuan, dinamakan kakek
fasid, seperti ayahnya ibu. Oleh karena itu, ia termasuk dzawil arham,
begitu juga ayahnya ibu ayah.
12. DAFTAR PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh Mawaris. Bandung: Pustaka Setia
Muhibbin. 2009. Hukum Kewarisan Islam sebagai Pembaharuan Hukum
positif di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Depok: Raja
Grafindo Persada
Dian Khairul Umam. 2000. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia