Zhihar merupakan perbuatan seorang suami yang menyamakan istrinya dengan perempuan mahramnya seperti ibunya atau saudara perempuannya. Dasar hukum zhihar diambil dari ayat Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4 yang melarang perbuatan tersebut.
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
Makalah Fikih Munakahat tentang Dzihar
1. MAKALAH FIKIH MUNAKAHAT II
KELOMPOK 5
ZHIHAR
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fikih Munakahat II
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Mesraini, M.A
Disusun Oleh :
1. Ahmad Zulfi Aufar 11150440000003
2. Rizki Pengestu 11150440000004
3. Nur Avita 11150440000025
4. Luthfi Abdul Latif 11150440000108
5. Siti Muslikaturrahmah 11150440000156
HUKUM KELUARGA 4A
FAKULTAS SYARIAH dan HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
2. i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt karena berkat kuasanya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dan sholawat serta
salam kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman kebodohan hingga zaman kebenaran.
Terima kasih kepada ibu Dr. Hj. Mesraini, M.A yang telah memberikan tugas
agar kita dapat mengerti dan memahami tentang dzihar.
Tujuan penulisan ini untuk menginformasikan kepada pembaca tentang dzihar
dan untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh ibu Dr. Hj. Mesraini, M.A. Semoga
materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang
membutuhkan, khususnya bagi penulis dan umumnya untuk seluruh pembaca
sehingga tujuan yang diharapkan bisa tercapai.
Kami menyadari bahwa penulisan ini banyak kekurangan. Apabila ada
kesalahan pada tulisan ini kami sangat memerlukan kritik dan saran teman teman
kurang lebihnya mohon maaf.
3. ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………….………………...... i
DAFTAR ISI………………………………………………………........ ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………...………………………. 1
Rumusan Masalah ……………………………...………………………… 1
Tujuan ………………………………………...………………………….. 2
BAB II
Pengertian zhihar …... ……………………………………………………. 3
Dasar Hukum …… ……………………...……………………………...…6
Hikmah Zhihar ….………………………………………………………..11
Rukun dan Syarat Zhihar ……….......………………………………........13
Pelaksanaan Hukum Zhihar …………………………………………...…15
Kewajiban Kafarat Zhihar ……………………………………………..…18
BAB III
Penutup
Kesimpulan ........................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA …………..…………………..………...… 22
4. 1 |K E L O M P O K 5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan sunnatullah yang telah diatur hukum
hukumnya didalam syariat, suatu perkawinan mempunyai satu tujuan yang
mulia, yaitu untuk membuat suatu keluarga yang bahagia, kekal dan
harmonis sepanjang masa dalam membina rumah tangga yang diharapkan
oleh setiap pasangan suami istri.
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu didalam kehidupan
rumah tangga ada kalanya dibumbui dengan permasalahan serta
perselisihan yang mana apabila kehidupan rumah tangga tidak dapat dijalani
dengan rasa kasih sayang antara keduanya, rasa kasih sayang yang semakin
hilang akan mengakibatkan kejenuhan dalam keluarga
Tidak sedikit dalam suatu rumah tangga yang menyelesaikan
permasalahannya diakhiri dengan sebuah perceraian yang dimulai dengan
perkataan talak dari suami, pada zaman jahiliyah apabila seseorang suami
tidak senang kepada istrinya dan bermaksud untuk mentalaknya, maka
suami itu melakukan zhihar.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan zhihar?
2. Apa yang menjadi dasar hukum zhihar?
3. Bagaimana hikmah zhihar?
4. Apa yang menjadi rukun dan syarat zhihar?
5. Kapan pelaksanaan zhihar? Dan Bagaimana akibat hukum zhihar?
6. Bagaimana kewajiban kafarat zhihar?
5. 2 |K E L O M P O K 5
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah mencoba untuk
memberikan informasi kepada rekan-rekan kami pada khususnya dan kepada
masyarakat pada umumnya tentang zhihar dalam bahasan fiqh munakahat.
6. 3 |K E L O M P O K 5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Zhihar
Pengertian Zhihar adalah kata dalam bahasa Arab yang secara arti kata
berarti “punggung” dan bukan anggota badan lainnya yang untuk keperluan zhihar
ini karena kata itu digunakan untuk suatu yang di kendarai. Istri dalam pandangan
ini diserupakan dengan sesuatu yang dikendarai suami.1
Imam Fakhr al-Razi mengatakan: “Zhihar itu bukan berasal dari kata
‘Zhahr’ (punggung) yang merupakan salah satu anggota tubuh manusia, karena
punggung disini tidak lebih penting untuk disebut dalam kasus ini daripada anggota
lainnya yang juga tempat kemaluan dan tempat merasakan nikmat, tetapi ‘zhahr’
atau ‘dzihar’ disini dengan arti ‘tinggi’. Misalnya firman Allah:
اَم
َ
فآوُعَٰ َطۡٱساَمَو ُوهُرَه
ۡ
ظَي ن
َ
أواُعَٰ َطَتۡٱسُ َ
لۥاٗب
ۡ
ق
َ
ن٩٧
97. Maka mereka tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula)
melobanginya. (Q.S. al-Kahfi [18]: 97). Sebab, setiap orang yang mengungguli atau
menaiki sesuatu itu disebut ‘zhahran’. Justru itu kendaraan yang dinaiki disebut
‘zhahr’ (punggung/ diatas) karena si penunggangnya itu berada diatasnya. Begitu
juga halnya seorang istri adalah punggung suami, karena suaminya itu berada
diatasnya sebagai pemilik alat kelamin. Jadi, seolah-olah perempuan itu kendaraan
yang dinaiki.2
1
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Kairo: Dar el-Hadith, 2009), Jilid 2, hlm 200. Lihat Juga
Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar el-Kotob al-Ilmiyah, 2003),
Jilid 4, hlm 431. Lihat juga Syihabuddin bin Ahmad bin ‘Aly bin Muhammad bin Hajr al-Asqalany,
Fathul Baari syarh Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012), jilid 10, h. 370. Lihat
juga Muhammad Muhajirin Amsar, Mishbah adz-Dzalam fi Syarh Bulughul Maram min Adillah al-
Ahkam, (Jakarta: Dar al-Hadith, 2014), Jilid 3, hlm 266. Lihat juga Amir Syarifuddin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 259
2
Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah:
Ahmad Dzulfikar dkk, (Depok: Keira Publishing, 2016), Jilid 2, hlm. 574. Lihat Juga Taqiyuddin Abu
7. 4 |K E L O M P O K 5
Dalam artian terminologis ditemukan beberapa rumusan dalam kitab fiqh,
yaitu:
Al- Mahalli dalam Syarh Minhaj al-Thalibin mendefinisikan sebagai
berikut:
بمحرمه زوجته الزوج تشبيه
Suami menyamakan istrinya dengan mahramnya.3
Wahbah Al-Zuhaili dalam Fiqh Islam Wa Adillatuhu mendefinisikan
sebagai berikut:
ال تشبيه أنرانلظر عليه حيرم منها جبزء أو اتلأبيد ىلع عليه حمرمة بإمرأة زوجته جل
الفخذ و ابلطن و اكلظهر إيله,لها يقول اكن:أخيت أو أيم كظهر ىلع انت
Seorang laki-laki menyamakan istrinya dengan perempuan yang haram untuk dia
nikahi selamanya. Atau diharamkan dari si perempuan apa yang haram baginya
seperti memandang punggung dan perut dan paha. Misalnya si suami berkarta
kepada si istri: “Bagiku kamu bagaikan ibuku atau saudara perempuanku”.4
Muhammad bin Ahmad al-Qurtubhy dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
mendefinisikan sebagai berikut:
تشبيهحمرم بظهر حملل ظهر
Bakar bin Muhammad al-Husyaini, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, (Jakarta: Dar al-
Kutub al-Islamiyah, 2004), Jilid 2, hlm 106.
3
Jalaluddin al-Mahalli, Hasyiataani Qalyubay Humairah, (Beirut: Dar El Fikr, 2006), Jilid 4,
hlm. 15
4
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Beirut: Dar El-Fikr, 1985), Jilid 7, hlm. 585
8. 5 |K E L O M P O K 5
“Menyerupai punggung yang halal dengan punggung yang haram”.5
Samsuddin Muhammad bin al-Khatib asy-Syarbany dalam Mughnil Muhtaj
ila Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj mendefinisikan sebagai berikut:
بيانه يأيت ما ىلع حال تكن لم بأنث ابلائن غري زوجة تشبيه
“Suami menyerupakan istrinya yang tidak tertalak ba’in dengan seorang
perempuan yang tidak halal bagi suami”. 6
Dalam definisi tersebut terdapat empat kata kunci yang menjelaskan hakikat
dari zhihar sebagai berikut:
Pertama: kata “menyamakan” (tasybih) yang mengandung arti zhihar itu
merupakan tindakan seseorang untuk menyamakan atau menganggap sama,
meskipun yang di angggap sama itu menurut hakikatnya adalah berbeda
Kedua: kata “suami” menjelaskan bahwa yang melakukan penyamaan atau
yang menganggap sama itu adalah suami terhadap istrinya, bukan yang lain, seperti
anak terhdap ayahnya atau yang lain.
Ketiga: kata “istrinya” mengandung arti bahwa yang disamakan oleh suami
itu adalah istrinya. Hal ini berarti bahwa bila yang disamakan oleh suami adalah
anaknya, atau istri yang menyamakan suaminya makan bukan termasuk zhihar.
Keempat: kata “mahramnya” atau orang yang haram dikawininya
mengandung arti orang kepada siapa istri itu disamakannya adalah orang orang
yang haram dikawininya.7
5
Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar el-Hadith,
2010), Jilid 9, hlm. 226.
6
Samsuddin Muhammad bin al-Khatib asy-Syarbany, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani
Alfadz al-Minhaj, (Kairo: al-Quds, 2012), Jilid 5, hlm 639. Lihat juga Muhammad bin Qasim al-Ghazi,
Fath al-Qarib al-Mujib, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah: 2003), hlm 64.
7
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 260
9. 6 |K E L O M P O K 5
B. Dasar Hukum
- Q.S. al-Mujadalah [58]: 2-4
َِين
ذ
ٱَّل
ذ
َّلِإ ۡمُهُتَٰ َهذم
ُ
أ
ۡ
نِإ ۡۖۡمِهِتَٰ َهذم
ُ
أ ذن
ُ
ه اذم مِهِئ
ٓ
ا َِسن ِنم م
ُ
ِنكم
َ
ونُرِهَٰ َ
ظُييِـَّٰٓ
ذ
ٱل
َِنم اٗر
َ
نكُم
َ
ون
ُ
ول
ُ
قَ َ
يل ۡمُه
ذ
ِإَون ۡۚ
ۡمُه
َ
نۡ َ
َلَوِلۡو
َ
ق
ۡ
ٱل
ذ
ِإَون ۡۚاٗورُزَوَ ذ
ٱّللٞور
ُ
ف
َ
غ ٌّو
ُ
فَع
َ
ل٢
َِين
ذ
ٱَّلَون
َ
أ ِلۡب
َ
ق ِنم ٖةَب
َ
قَر ُيرِرۡحَت
َ
ف وا
ُ
ال
َ
ق اَِمل
َ
ون
ُ
ودُعَي ذم
ُ
ث ۡمِهِئ
ٓ
ا َِس ن ِنم
َ
ونُرِهَٰ َ
ظُي
ِهِب
َ
ون
ُ
ظ
َ
وع
ُ
ت ۡم
ُ
ِكلََٰ
ذۡۚاذس
ٓ
اَمَتَيۡۚۦَوُ ذ
ٱّللٞريِب
َ
خ
َ
ون
ُ
لَمۡع
َ
ت اَمِب٣نَم
َ
فُامَي ِص
َ
ف ۡدِ
َ
َي ۡم
ذ
ل
َتُم ِنۡيَرۡه
َ
شۡۚاِٗينك ِۡسم َۡيِتِس ُامَع ۡطِإ
َ
ف ۡعِطَت ۡسَي ۡم
ذ
ل نَم
َ
فۡۖاذس
ٓ
اَمَتَي ن
َ
أ ِلۡب
َ
ق ِنم ِ
ۡ
ۡيَعِباَت
ِب واُِنم
ۡ
ؤُ ِتل
َ
ِكلََٰ
ذِ
ذ
ٱّللِ ِولُسَرَوۡۚۦ
ُ
ودُدُح
َ
ك
ۡ
ِلتَوهِ
ذ
ٱّللٌم ِيل
َ
أ ٌاب
َ
ذ
َ
ع َينِرِفَٰ َ
ك
ۡ
ِللَو٤
2. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya
sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak
lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka
sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan
sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun
3. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan
4. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak
kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah
11. 8 |K E L O M P O K 5
َ
ال
َ
ق:ب
َ
هاذ
َ
إلِِبحا َصِة
َ
قَد َصِنَبقيَرُزل
ُ
ق
َ
فُ َ
لاَهع
َ
فدَيل
َ
ف
َ
ك
َ
إيلمِعط
َ
أ
َ
ف
َ
كن
َ
عِماَهن
اقسَوِنمرم
َ
تَۡيِِتساِينكِسمذم
ُ
ثنِعَتاسِهِرِائ َسِب
َ
كي
َ
ل
َ
ع
َ َ
ىلعَو
َ
ِكلاَِيع
َ
ال
َ
ق:
َ
فُتعَجَر
َ
إل
ِيمو
َ
قتل
ُ
ق
َ
ف:ُتدَجَوم
ُ
كَدِنعَيق ِالضَوءُسَوِيأذالرُتدَجَوَوَدِنعِلوُسَرِ
ذ
اّلل
ذ
ّل َصُ ذ
اّلل
ِهي
َ
ل
َ
عَم
ذ
لَسَو
َ
ةَع ذالس
َ
ة
َ
كَ ََبالَود
َ
قَوَرَم
َ
أِلم
ُ
كِت
َ
قَد َصِبا
َ
وهُع
َ
فاد
َ
فذ َ
إل.
َ
ال
َ
ق:وُع
َ
فَد
َ
فا
َ
هِه
َ
إيل
}.ُاهَوَرُدَْح
َ
أوُب
َ
أَودُاو
َ
دِيذِم ِالّتَو
Dari Salamah bin Shakhr, ia berkata: “Aku adalah laki-laki yang dianugerahi
kemampuan menggauli wanita yang tidak dianugerahkan kepada orang selainku.
Ketika tiba bulan Ramadhan aku menzhihar istriku, hingga ketika telah berlalu
Ramadhan aku khawatir akan melakukan sesuatu, maka aku berusaha menahan
diri hingga siang hari, namun aku tidak kuasa menahan diri. Ketika suatu malam
ia melayaniku, tiba-tiba kainnya tersingkap, maka aku pun memeluknya. Pagi
harinya, aku menemui kaumku, lalu aku sampakan kepada mereka perihalku, aku
katakan kepada mereka: “temanilah aku menemui Rasulullah SAW untuk
menyampaikan kepadanya tentang perkaraku ini” namun mereka mengatakan:
“Demi Allah kami tidak akan melakukannya, kami khawatir akan turun ayat Al-
Qur’an mengenai kami, atau Rasulullah SAW akan mengatakan sesuatu kepada
kami, sehingga ada cela pada kami, engkau berangkat sendiri saja, dan lakukan
yang engkau perlu engkau lakukan” maka aku pun pergi hingga bertemu dengan
Nabi SAW, aku memberitahu beliau tentang perkaraku. Beliau bertanya kepadaku:
“Engkau melakukan itu?” aku jawab: “Ya, aku melakukannya”. Beliau bertanya
lagi: “Engkau melakukan itu?” aku jawab: “Ya, aku melakukannya”. Beliau
bertanya lagi: “Engkau melakukan itu?” aku jawab: “Ya, begitulah aku
melakukannya. Maka tetapkanlah ketentuan Allah terhadapku. Aku akan
bersabar”. Beliau bersabda: “merdekakanlah seorang budak”. Aku langsung
menepuk lutut dengan kedua tangan sambil mengatakan: “Tidak demi Dzat yang
12. 9 |K E L O M P O K 5
mengutusmu dengan kebenaran. Aku tidak memiliki selainnya”. Beliau berkata
lagi: “berpuasalah dua bulan berturut-turut”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah ,
apakah karena yang telah aku lakukan itu tidak ada yang lainnya kecuali
berpuasa?” beliau berkata: “Bershaqahlah” aku berkata lagi: “Demi Dzat yang
telah mengutusmu dengan kebenaran. Sungguh kami tidur pada malam hari
disertai dengan rasa lapar karena kami tidak mempunyai makanan”. Beliau
berkata lagi: “Berangkatlah engkau kepada pemegang shadaqah Bani Zuraiq,
katakan kepadanya agar membayarnya kepadamu, lalu berilah makan atas
namamu sebanyak satu wasaq (60 sha’) kurma keapda enam puluh orang miskin,
kemudian sisanya engkau gunakann untuk keperluan dirimu dan keluargamu”.
Setelah itu aku kembali kepada kaumku, lalu aku katakan: “Aku dapati pada kalian
kesempitan dan pandangan yang buruk, sementara pada Rasulullah SAW aku
dapatkan kelapangan dan keberkahan. Beliau telah memerintahkan kepadaku agar
mengambil shadaqah kalian, maka bayarlah kepadaku”. Lalu mereka
membayarkannya kepadaku. (H.R. Abu Dawud [2213]8
, dan Tirmidzi [1198]9
)10
ن
َ
ع
َ
ة
َ
ليَو
ُ
خِتنِبِِكلاَمِنب
َ
ةَب
َ
لع
َ
ثت
َ
ال
َ
قَر
َ
اه
َ
ظِِنمِجوَزُسو
َ
أُنبِِتما ذالصُتئِج
َ
ف
َ
ولُسَرِ
ذ
اّلل
ذ
ّل َصُ ذ
اّللِهي
َ
ل
َ
عَم
ذ
لَسَوو
ُ
كش
َ
أِه
َ
يلِإ
ُ
ولُسَرَوِ
ذ
اّلل
ذ
ّل َصُ ذ
اّللِهي
َ
ل
َ
عَم
ذ
لَسَوَ ُ
َيِن
ُ
ِلدا
ِهِيف
ُ
ول
ُ
قَيَوِق
ذ
اتَ ذ
اّللُه
ذ
نِإ
َ
فُنابِكِم
َ
عاَم
َ
فُتحِرَبذيتَح
َ
لَز
َ
ن
ُ
آنر
ُ
قال{د
َ
قَعِمَسُ ذ
اّلل
َ
لو
َ
ق
8
Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2011), jilid 2,
hlm. 131. Lihat Juga Muhammad Samsul Haqq al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi
Dawud, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2009), Jilid 6, hlm. 250.
9
Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, (Beirut: Dar al-Gharbi al-Islamy,
1996), jilid 2, h. 488. Lihat juga Abu al-‘Ula Muhammad Abdurrahman, Tuhfah al-Ahwazi Syarh
Jami’ al-Tirmidi, (Kairo: Dar el-Hadith, 2001), ,Jilid 4, hlm. 73.
10
Muhammad ‘Aly al-Syawkany, Nail al-Awthar, (Tt: Dar Ibnu al-Jawzi, 20016), Jilid 12,
hlm. 480. Lihat juga Imaduddin Abul Fida Ismail bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin Katsir, Tafsir
Qur’an al-‘Adzim, (Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2012), Jilid 4, hlm. 275. Lihat juga Abdul ‘Azhim
bin Badawi al-Khalafi, al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil.
Al-Wajiz, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2011). H. 625. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm.
200.
13. 10 |K E L O M P O K 5
ِيت
ذ
ال
َ
ك
ُ
ِلداَ ُ
ُتِفاَهِجوَز}
َ
لِإِضر
َ
فال
َ
ال
َ
ق
َ
فُقِتعُيةَب
َ
قَرت
َ
ال
َ
ق
َ
َّلُدِ
َ
َي
َ
ال
َ
قَي
َ
فُوم ُصِنيَره
َ
ش
ِۡيَعِباَتَتُمت
َ
ال
َ
قاَي
َ
ولُسَرِ
ذ
اّللُه
ذ
نِإ
ٌ
خي
َ
شٌريِب
َ
كاَمِهِبِنمامَي ِص
َ
ال
َ
قمِعطُيل
َ
فِسَۡيِتاِينكِسم
ت
َ
ال
َ
قاَمُهَدِنعِنمء
َ
َش
ُ
قذد َصَتَيِهِبت
َ
ال
َ
قَ ِيت
ُ
أ
َ
فذِئَت
َ
اعَسقَرَعِبِنمرم
َ
تُتل
ُ
قَيا
َ
ولُسَر
ِ
ذ
اّللِنِإ
َ
فُهُِينع
ُ
أقَرَعِبَر
َ
آخ
َ
ال
َ
قد
َ
قِتن َسح
َ
أِب
َ
هاذِمِعط
َ
أ
َ
فاَهِبُهن
َ
عَۡيِِتسِسماِينك
ِعِجارَو
َ
لِإِنابِكِم
َ
ع
َ
ال
َ
ق
ُ
قَرَعالَو
َ
ونُِّتساَع َص(داود ابو رواه)
Dari Khuwailah binti Malik bin Tsa'labah, ia berkata; suamiku yaitu Aus bin Ash
Shamit menzhiharku, kemudian aku datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengadukannya kepada beliau, sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berdialog denganku mengenainya, beliau berkata: "Bertakwalah kepada
Allah, ia adalah anak pamanmu!" Tidaklah aku beranjak pergi hingga turun Al
Qur'an: "Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya)
kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat" hingga penyebutan
kewajiban yang Allah wajibkan. Kemudian beliau berkata: "Ia bebaskan seorang
budak." Khuwailah berkata; ia tidak memilikinya. Beliau berkata; ia berpuasa dua
bulan berturut-turut. Khuwailah berkata; wahai rasulullah, sesungguhnya ia
adalah orang yang tua renta, ia tidak mampu untuk berpuasa. Beliau berkata:
"Hendaknya ia memberi makan enam orang miskin." Khuwailah berkata; ia tidak
memiliki sesuatu yang dapat ia sedekahkan. Khuwailah berkata; kemudian pada
saat itu ia diberi satu 'araq kurma. Aku katakan; wahai Rasulullah, aku akan
membantunya dengan satu 'araq yang lainnya. Beliau bersabda: "Engkau telah
berbuat baik, pergilah dan berilah makan untuknya enam puluh orang miskin dan
14. 11 |K E L O M P O K 5
kembalilah kepada anak pamanmu." Ma'mar bin Abdullah bin Hanzhalah berkata;
'Araq adalah enam puluh sha'. (H.R. Abu Dawud [2214]11
).12
ن
َ
ع
َ
ةَمِرِكع
ذ
ن
َ
أالُجَرَر
َ
اه
َ
ظِنمِهِت
َ
أَرامذم
ُ
ثاَهَع
َ
اقَو
َ
لب
َ
ق
ذ
ن
َ
أَرِف
َ
كُي
َ
يت
َ
أ
َ
فذ
ِبذانل
ذ
ّل َصُ ذ
اّلل
ِهي
َ
ل
َ
عَم
ذ
لَسَوُهَ ََبخ
َ
أ
َ
ف
َ
ال
َ
ق
َ
فاَم
َ
ك
َ
لَ َ
ْح
َ َ
ىلعاَمَتعَن َص
َ
ال
َ
قُتي
َ
أَر
َ
اضَيَباَِهقاَسِفاِرَم
َ
قل
َ
ال
َ
قاَهلِ
َ
َتاع
َ
فذيتَحَرِف
َ
ك
ُ
ت
َ
كن
َ
ع(النسايئ و الّتمذ و داود ابو و)
Dari Ikrimah bahwa seorang laki-laki telah menzhihar isterinya kemudian ia
menggaulinya sebelum membayar kafarat. Kemudian ia datang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan mengabarkan hal tersebut kepadanya. Lalu beliau
berkata: "Apa yang mendorongmu untuk melakukan apa yang telah engkau
perbuat?" Ia berkata; aku melihat putih betisnya dalam cahaya rembulan. Beliau
berkata: "Jauhi dia hingga engkau membayar kafarah." (H.R. Abu Dawud [2221]13
,
al-Tirmidzi [1191]14
, al-Nasa’i [5623]15
).
C. Hikmah Zhihar
Islam mensyariatkan pernikahan sebagai ikatan untuk selama-lamanya yang
tidak dibatasi oleh waktu, tidak dapat diputuskan oleh orang yang suka mencari
11
Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud. jilid 2, hlm. 132. Lihat Juga Muhammad
Samsul Haqq al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Jilid 6, hlm. 252.
12
Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, Bidayah al-Mujtahid,
(Kairo: Dar al-Salam, 1995), hlm. 1501. Lihat Juga Muhammad bin ‘Aly al-Syawkany, Fath al-Qadir,
(Kairo: Dar el-Hadith, 2007), Jilid 5, hlm. 219. Lihat juga Muhammad bin ‘Aly al-Syawkany, Nail al-
Awthar, Jilid 12, hlm. 48. Lihat juga Imaduddin Abul Fida Ismail bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin
Katsir, Tafsir Qur’an al-‘Adzim, Jilid 4, hlm. 275. Lihat juga Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, al-
Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-Kitab al-‘Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz, hlm. 623. Lihat
juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 200. Lihat juga Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munahakahat,
(Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 230
13
Abu Dawud al-Sijistani, Sunan Abu Dawud. Jilid 2, hlm. 133. Lihat Juga Muhammad
Samsul Haqq al-‘Azhim Abadi, ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud. Jilid 6, hlm. 255.
14
Abi Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir, jilid 2, h. 488. Lihat juga Abu al-
‘Ula Muhammad Abdurrahman, Tuhfah al-Ahwazi Syarh Jami’ al-Tirmidi, Jilid 4, hlm. 73.
15
Abi Abdurrahman Ahmad bin Syua’ib al-Nasa’i, al-Sunan al-Kubra, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 2001), Jilid 5, hlm. 275
15. 12 |K E L O M P O K 5
kelezatan, atau oleh perbuatan halal yang teramat dibenci oleh Allah (Alias Talak).
Dengan pernikahan, semua yang ada pada perempuan menjadi halal bagi seorang
lelaki, tetapi dalam batas-batas yang telah ditentukan Allah. Maka, jika ada
seseorang datang hendak merombak apa yang telah dihalalkan Allah. Sehingga
yang halal itu menjadi haram, bererti dia telah berbuat dosa besar dan melanggar
ketentuan-ketentuan Allah. Justru itu, ia akan dihukum dengan berat sekali.16
Dalam masalah dzihar ada dua hikmah yang terkandung:
1. Hikmah sebagai Hukuman, yaitu karena dia mewajibkan atas dirinya suatu
yang tidak berlaku pada orang lain, dan membawa kepada dosa dari
peninggalan kaum jahiliyyah tanpa ada ketentuan hukum yang
mewajibkannya.
2. Hikmah Kafarat (denda), Akibat melakukan zhihar ia dikenakan hukuman
kafarat yang di dalamnya terkandung faidah yang besar sekali bagi
masyarakat, yaitu berupa pembebasan hamba sahaya. Dan, ini merupakan
salah satu cara pembebasan perhambaan itu. Jika biaya untuk membeli
seorang hamba itu tidak terjangkau, maka dia diharuskan puasa dua bulan
berturut-turut. Sedangkan, puasa ini adalah tempat latihan moral yang
paling baik. Dengan berpuasa, jiwa bisa terdidik dan kebengkokan bisa
diluruskan kembali. Ini berlaku apabila orang tersebut sehat wal afiat. Akan
tetapi, Allah SWT. Tidak akan memberi beban seseorang kecuali menurut
kemampuannya. Oleh karena itu, orang yang sedang sakit dan tidak bisa
berpuasa, dialihkan dengan memberi makan 60 orang miskin. Begitulah,
masalah kafarat ini situasinya bisa beralih antara kepentingan pribadi dan
kepentingan sosial.
Hikmah yang dimaksud dari semua ini adalah untuk mengingatkan dan
mendidik agar jangan melakukan zhihar lagi juga agar suami tidak begitu mudah
bermain-main dengan urusan perkawinan dan tidak menyakiti istri dengan tindakan
16
Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah:
Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 2, hlm. 587
16. 13 |K E L O M P O K 5
yang dapat merusak kehidupan rumah tangga dan hubungan dalam keluarga.
Disamping itu, untuk menentang kebiasaan kaum jahiliyyah yang mereka itu
mendzihar istri-istri mereka secara terus menerus. Islam datang dengan membawa
rahmat dan kasih sayang, maka pikirkanlah betapa Hikmah Allah yang Maha
Tinggi.17
D. Rukun dan Syarat Zhihar
Zhihar itu merupakan suatu tindakan yang dikenai hukum yang tidak
enteng, yaitu kaffarah. Untuk itu diperlukan kriteria yang tajam untuk memisahkan
suatu perbuatan dinamai zhihar atau bukan. Untuk dapatnya unsur tersebut
ditempatkan sebagai rukun yang harus terpenuhi, kesemuanya diramu oleh dari
hasil pemahamannya terhadap dalil hukum yang berkenaan dengan zhihar.
Menurut mazhab Hanafi, rukun zhihar adalah lafal yang menunjukkan
zhihar. Asal zhihar adalah ucapan seorang suami kepada istrinya, “kamu bagiku
seperti punggung ibuku” dan dimasukkan juga kedalam ucapan zhihar ucapannya:
“Kamu bagiku seperti perut ibuku, paha ibuku atau vagina ibuku”.
Jumhur Fuqaha selain mazhab Hanafi berpendapat, zhihar memiliki 4
rukun, yaitu lelaki yang mengucapkan zhihar, istri yang dizhihar, lafal atau ucapan
dan perkara yang diserupakan.18
Adapun syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. Suami yang mengucapkan zhihar (munzahir)
Adapun yang menjadi syarat suami yang men-zhihar sama dengan yang
dipersyaratkan bagi suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk thalaq,
yaitu berakal telah baligh dan berbuat dengan kehendak sendiri. Ini adalah
persyaratan umum yang ditetapkan oleh jumhur ulama.
2. Perempuan yang diucapkan zhihar oleh suaminya (muzhahar minhu)
17
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, hlm.234
18
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk,
(Jakarta: Gema Insani, 2011), Jilid 9, hlm. 511
17. 14 |K E L O M P O K 5
Adapun syarat utama yang disepakati ulama untuk perempuan yang di
zhihar itu adalah dia istri yang terikat dalam tali pernikahan dengan laki-laki
yang menzhiharnya.19
Menurut mazhab Hanafi zhihar disandarkan kepada badan si isrtri, atau
salah satu anggota tubuh istri yang mewakili semua tubuhnya, atau bagian
yang luas dari si istri.20
3. Perkara yang diserupakan (muzhahar atau musyabbah bih)
Dari rumusan zhihar yang tampak dalam definisi dapat dipahami bahwa
syarat utama bagi perempuan yang disamakan dengan istri itu adalah ibu
dari suami. Alasan dari keharaman zhihar itu adalah mengharamkan istrinya
untuk digauli sebagaimana haramnya menggauli perempuan yang secara
hukum haram dikawininya.21
Mazhab Hanafi berpendapat, syarat perkara yang diserupakan yaitu: Dia
adalah perempuan yang haram dia nikahi selama-lamanya, perkara yang
diserupakan adalah anggota tubuh yang tidak boleh dipandangi, perkara
yang diserupakan dari jenis kelamin perempuan.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa perkara yang diserupakan adalah
manusia yang diharamkan baginya untuk dia setubuhi secara asli, baik laki-
laki ataupun perempuan, atau yang lainnya, seperti binatang.
Mazhab Syafi’I menilai bahwa perkara yang diserupakan hanyalah orang
yang haram disetubuhi untuk selama-lamanya.
Mazhab Hambali berpendapat bahwa perkara yang diserupakan yaitu:
Semua perempuan yang haram baginya untuk selama-lamanya, semua
perempuan yang diharamkannya untuk sementara, semua orang laki-laki
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 262
20
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid
9, hlm. 513
21
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 26.
18. 15 |K E L O M P O K 5
yang haram baginya, atau binatang, atau orang mati, dan yang sejenis
mereka.22
4. Ucapan zhihar
Ucapan zhihar yang telah di sepakati oleh ulama sebagai ucapan zhihar
adalah “engkau dalam pandanganku adalah seperti punggung ibuku”
terdapat didialamnya kata punggung dan kata ibu.23
E. Pelaksanaan dan Hukum Zhihar
Pelaksanaan zihar sedikit telah di singgung diatas, sebagaimana
dicontohkan kepada seorang sahabat yang bernama Aus bin Shamit yang pernah
menzhihar istrinya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zhihar hanya di khususkan
pada ibu, sebagaimana yang telah di jelaskan dalam Alquran dan As sunnah dan
sedikit telah di bahas diatas, Apabila si suami berkata kepada istrinya “bagiku kamu
seperti punggung ibuku” berarti dia telah melakukan zhihar.
Ulama sudah sepakat menyatakan bahwa hukum zhihar itu adalah haram.
Dan tidak boleh dipergunakan sebab zhihar itu suatu kedustaan, dosa dan mengada-
ada. Ia jauh berbeda dengan talak. Talak memang dibenarkan, dan zhihar ini
terlarang. Jadi kalau ada seseorang mengatakan zhihar kepada istrinya berarti dia
melakukan perbuatan haram dan harus membayar kafarat.24
Yang menjadi haram
itu dapat dilihat dari dua segi:
1. Kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang menyamakan istrinya
dengan ibunya yang terdapat didalam suat al-Muajadilah ayat 2.
22
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid
9, hlm. 515
23
Samsuddin Muhammad bin al-Khatib asy-Syarbany, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati
Ma’ani Alfadz al-Minhaj, (Kairo: al-Quds, 2012), Jilid 5, hlm 642.
24
Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah:
Ahmad Dzulfikar, Jilid 2, hlm. 574
19. 16 |K E L O M P O K 5
2. Dari segi sanksi dan ancaman Allah dengan memberatkan kaffarah
terhadap pelakunya yang melanggar apa yang dilakukannya itu.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mujadilah ayat 3.25
Dua dampak bagi zhihar yang berikut ini:
1. Pengharaman persetubuhan sebelum dibayar kafarat menurut kesepakatan
fuqaha, begitu juga menurut jumhur fuqaha yang selain mazhab Syafi’i,
yaitu pengharaman semua jenis percumbuan yang selain persetubuhan,
seperti elusan, ciuman, pandangan dengan nafsu pada anggota yang selain
wajahnya, kedua telapak tangannya, kedua kakinya, dan semua badannya,
serta kecantikannya, serta melakukan cumbuan pada yang selain vagina,
berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Mujadilah: 3.
Sebagian ulama di antaranya Abu bakar, al-Zuhriy, Imam Malik, al-
Awzai, Abu Ubit dan kalangan ahlu ra’yu (golongan Hanafiyah) dan satu
pendapat dari al-Syafi’iy berpendapat bahwa bergaul di luar jimak dan
mendapatkan kenikmatan daripadanya, diharamkan selama belum
membayar kaffarah. Alasannya ialah ucapan yang mengharamkan
hubungan kelamin juga menjangkau kepada yang berdekatan dengan itu.26
Pengharaman terus berlanjut sampai dia membayar kafarat zhihar
karena perbuatan zhiharnya ini adalah sebuah tindakan kejahatan. Zhihar ini
adalah ucapan yang mungkar dan menyimpang maka sesuai dengan kiasan
kejahatan yang membuat haram, dan yang dapat diangkat dengan kafarat.
Jika seorang suami yang melakukan zhihar menyetubuhi istrinya sebelum
dia lakukan kafarat, maka dia meminta ampunan kepada Allah akibat
perbuatan dosanya ini. Dia tidak dikenakan hukuman apa-apa selain kafarat.
Dan dia tidak cambui kembali istrinya sampai dia laksanakan kafarat.
Berdasarkan sabda Rasulullah saw kepada orang yang menyetubuhi istrinya
sebelum dia laksanakan kafarat,
25
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 200. Lihat juga Amir Syarifuddin, Hukum
perkawinan Islam di Indonesia, hlm 261
26
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 270
20. 17 |K E L O M P O K 5
َ
ال
َ
فَرق
َ
تاَهُبذيتَح
َ
لَعف
َ
تاَمَكَرَم
َ
أاّلل
“Jangan kamu dekati dia sampai kamu lakukan apa yang diperintahkan oleh
Allah kepadamu”
Dalam satu riwayat dikatakan,
ا
َ
فاَهل
َ
َتعذيتَحَرِف
َ
ك
ُ
ت
“maka jauhilah dia sampai kamu laksanakan kafarat,”
Dari Salmah bin Shakhr dari Nabi saw mengenai orang yang
melakukan zhihar yang menyetubuhi istrinya sebelum dia laksanakan
kafarat, beliau bersabda,
ٌةَار
ذ
ف
َ
كٌةَِدحاَو.
“satu kafarat”
Kemudian tekad untuk menyetubuhi yang membuat suami wajib
melaksanakan kafarat dalam firman Allah SWT, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan.” Maksudnya orang yang
melakukan zhihar bertekad untuk menyetubuhi istri yang dia zhihar. Dia
harus melaksanakan kafarat jika dia bermaksud menyetubuihnya setelah
zhihar. Jika dia merasa ridha istrinya menjadi haram untuknya, dan dia tidak
bertekad untuk menyetubuihnya maka dia tidak wajib melaksanakan kafarat
dan dia dipaksa untuk melaksanakan kafarat sebagai upaya menghilankan
kemudharatan darinya.
Mazhab Syafi’i berpendapat, dengan zhihar diharamkan
persetubuhan saja tanpa pendahuluannya dan motivasinya, sampai orang
yang melakukan zhihar melaksanakan kafarat oleh pengharaman seperti
menyetubuhi orang yang tengah haid.27
Sebagian ulama yang lain di antaranya Imam Abu Hanifah al-
Tsawriy, Ishaq dan pendapat kedua dari al-Syafi’iy berpendapat bahwa
27
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid
9, hlm. 520.
21. 18 |K E L O M P O K 5
yang diharamkan adalah hubungan kelamin dan selain dari itu tidak haram,
karena kata al-massu dalam ayat berarti hubungan kelamin dan tidak
menjangkau kepada yang lainnya.28
2. Si istri berhak meminta si suami yang melakukan zhihar untuk
menyetubuihnya karena haknya terkait dengan persetubuhan. Si istri harus
mencegah si suami untuk mencumbuinya sampai dia melaksanakan kafarat
zhihar. Si qadhi juga harus mewajibkannya melaksanakan kafarat untuk
mencegah kemudharatan dari si istri dan mewajibkan si suami adalah
dengan cara menahannya, atau memukulnya, sampai dia melaksanakan
kafarat atau menjatuhkan talak. Jika si suami mengklaim bahwa dia telah
melaksanakan kafarat zhiharnya, maka klaimnya ini dipercaya selama dia
tidak dikenal sebagai seorang pendusta.29
F. Kewajiban Kafarat Zhihar
Kafarat adalah kewajiban agama yang dipikulkan kepada seseorang sebagai
resiko atas kesalahan dan pelanggran yang dilakukannnya. Karena zhihar dianggap
agama sebagai suatu pelanggaran, maka kepada pelaku diwajibkan kafarat. Adanya
kewajiban kafarat zhihar ini didasarkan kepada firman Allah pada surah al
Mujadalih [58].30
Menurut yang tersurat dalam ayat tersebut, kafarat zhihar yaitu:
memerdekakan hamba sahaya. Jika tidak mampu diganti dengan puasa dua bulan
berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka diganti dengan memberi makan enam
puluh orang miskin.
Yang perlu dijelaskan disini ialah pendapat para ulama tentang sifat kafarat
tersebut masing-masing.
28
Amir Syarifuddin ,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 270
29
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuh, Terjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Jilid
9, hlm. 520. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 202. Lihat juga Muhammad ‘Aly al-
Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 2, hlm.
578.
30
Amir Syarifuddin ,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hlm. 270
22. 19 |K E L O M P O K 5
a. Memerdekakan hamba sahaya.
Menurut eksplisit ayat tersebut, hamba sahaya disini adalah
mutlak,yakni semua jenis hamba, sekalipun kafir.
Menurut ulama Hanafiyah, kafarat itu dapat dilakukan dengan
memerdekakan hamba sahaya baik kafir maupun yng beriman, pria maupun
wanita, tua maupun muda, bahkan yang masih menyusupun boleh. Karena
sebutan “hamba” meliputi semuanya itu.
Menurut ulama mazhab Syafi’I dan Maliki, bahwa dipersyartan hamba
yang beriman.jadi, Selain hamba yang beriman tidak sah untuk kafarat.
Alasannya, karena dalam ayat qatl (ayat yang membicarakan soal
pembunuhan yang disitu disebutkan adanya pembayaran diyat/kafarat)
disebutkan “haruslah memerdekakan seorang hamba yang beriman (QS.
An-Nisa [4]: 92)”, dalam ilmu ushul fiqih disebutkan, “yang mutlak itu
dibawa pada arti yang muqayyad (terbatas). Antara kedua ayat tersebut
(kafarat zhihar dan kafarat pembunuhan) dikompromikan dalam hal sama-
sama tidak diperkenankan yang disebabkan oleh perbuatannya itu.
Namun menurut mazhab Hanafi, redaksi yang mutlak tidak lantas
diinterpretasikan sebagai redaksi yang dibattasi, kecuali maslnya atau
kasusnya sama. Sebab, hal tersebut akan melahirkan konsekuensi logis yang
mengarah pada satu masalah yang mewujud dalam bentuk mutlak dan
terbatasi. Puasa untuk membayar kafarat sumpah, misalnya, menurut bacaan
yang msyur puasa tersebut mutlak, dan hrus dilksanakan berturut-turut
menurut bacaan yang juga masyhur.
b. Puasa dua bulan berturut-turut
Puasa dua bulan berturut-turut ini diwajibkan bagi orang yang tidak
mampu memerdekakan hamba sahaya. Hitungannya berdasarkan
perhitungan hilal (bulan), tanpa dibedakan apakah bulan itu genap atau
ganjil (29hari atau 30 hari). Tetapi, kalau ia berpuasa tanpa hitungan bulan
23. 20 |K E L O M P O K 5
maka dia harus berpuas selama 60 hari, demikian menurut pendapat ulama
Hanafiyah.
Namun menurut ulama –ulama Syafi’iyah dan Malikiyah, ia harus
berpuasa sampai datangnya hilal brau, kemudian berpuasa sebulan penuh
berdasar perhitungan hilal, sedang yang pertama tadi disempurnakan
dengan hitungan (misalnya yang pertama tadi berpuasa dipertengahan bulan
maka harus digenapkan sampai 30 hari).
c. Memberi makan 60 orang miskin.
Bagi orang yang tidak mampu melaksanakan puasa dua bulan berturut-
turut sejak awal, atau tidak mampu itu dipertengahan, karena usia lanjut atau
karena sakit yang kronis atau ada larangan puasa dari dokter, maka dia harus
memberi makan 60 orang miskin. Sementara tentang ukurannya ,para ulama
berbeda pendapat:
Abu hayyan berpendapat, bahwa eksplisit ayat mengindikasikan bentuk
makanan itu adalah mutlak, tetapi kemudia bisa di takhishkan dengan
maknan yang menjadi kebiasaaan saat turunnya ayat tersebut ,yait
umakanan mengenyangkan,tanpa dibatasi dengan mud.
Imam malik dan Asy Syafi’I berpendapat, makanan yang kurang dari 60
orang, tidaklah cukup sebagai pembayar kafarat.
Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, seandainya orang tersebut
memberi makan setiap hari kepada seorang miskin sebanyak setengah sha’
(1,35kg) sampai mencapai jumlah 60 hari, maka yang demikian itu
dipandang cukup.31
31
Muhammad ‘Aly al-Shabuny, Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam, Penerjemah:
Ahmad Dzulfikar dkk, Jilid 2, hlm. 585. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, hlm. 202.
24. 21 |K E L O M P O K 5
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Zhihar secara bahasa diambil dari Bahasa Arab yang berarti punggung.
Secara istilah zhihar adalah seorang suami menyerupai istrinya dengan
ibunya dengan ucapan “Engkau bagiku seperti punggung ibuku”.
- Dasar hukum zhihar adalah Q.S al-Mujadilah [58]: 2-4 dan Hadis Nabi
tentang cerita Salamah bin Sakhr dan Aus bin Shamit.
- Hikmah zhihar yaitu untuk mengingatkan dan mendidik agar jangan
melakukan zhihar lagi juga agar suami tidak begitu mudah bermain-main
dengan urusan perkawinan dan tidak menyakiti istri dengan tindakan yang
dapat merusak kehidupan rumah tangga dan hubungan dalam keluarga.
Disamping itu, untuk menentang kebiasaan kaum jahiliyyah yang mereka
itu mendzihar istri-istri mereka secara terus menerus.
- Zhihar memiliki 4 rukun, yaitu lelaki yang mengucapkan zhihar, istri yang
dizhihar, lafal atau ucapan dan perkara yang diserupakan.
- Hukum zhihar adala haram dan berakibat hukum kepada haramnya
berhubungan intim dengan istri dan wajibnya membayar kafarat zhihar.
- Kafarat zhihar yaitu: memerdekakan hamba sahaya. Jika tidak mampu,
maka diganti dengan puasa dua bulan berturut – turut. Dan jika tidak
mampu, maka diganti dengan memberi makan enam puluh orang miskin.
25. 22 |K E L O M P O K 5
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Muhammad Samsul Haqq al-‘Azhim. 2009. ‘Awn al-Ma’bud Syarh Sunan
Abi Dawud. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah.
Abdurrahman, Abu al-‘Ula Muhammad. 2001. Tuhfah al-Ahwazi Syarh Jami’ al-
Tirmidi. Kairo: Dar el-Hadith.
Amsar, Muhammad Muhajirin. 2014. Mishbah adz-Dzalam fi Syarh Bulughul
Maram min Adillah al-Ahkam. Jakarta: Dar al-Hadith.
Asqalany, Al, Syihabuddin bin Ahmad bin ‘Aly bin Muhammad bin Hajr. 2012.
Fathul Baari syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Ghazi, Al, Muhammad bin Qasim. 2003. Fath al-Qarib al-Mujib. Jakarta: Dar al-
Kutub al-Islamiyah.
Ghozali, Abdul Rahman. 2012. Fiqh Munahakahat. Jakarta: Kencana.
Husyaini, Al, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. 2004. Kifayah al-Akhyar fi
Halli Ghayah al-Ikhtishar. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah.
Jaziri, Al, Abdul Rahman. 2003. al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar el-
Kotob al-Ilmiyah.
Katsir, Imaduddin Abul Fida Ismail bin al-Khatib Abu Hafs Umar bin. 2012. Tafsir
Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Khalafi, Al, Abdul ‘Azhim bin Badawi. 2011. al-Wajiz fi Fiqh al-Sunnah wa al-
Kitab al-‘Aziz, Penerjemah Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka
as-Sunnah.
Mahalli, Al, Jalaluddin. 2006. Hasyiataani Qalyubay Humairah. Beirut: Dar El
Fikr.
Nasa’i, Al, Abi Abdurrahman Ahmad bin Syua’ib. 2001. al-Sunan al-Kubra.
Beirut: Muassasah al-Risalah.
26. 23 |K E L O M P O K 5
Qurthuby, Al, Muhammad bin Ahmad. 2010. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Kairo:
Dar el-Hadith.
Rusyd, Abul Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin. 1995. Bidayah
al-Mujtahid. Kairo: Dar al-Salam.
Sabiq, Sayyid. 2009. Fiqh as-Sunnah. Kairo: Dar el-Hadith.
Shabuny, Al, Muhammad ‘Aly. 2016. Rawa’i’u al-Bayan Tafsiri Ayat al-Ahkam,
Penerjemah: Ahmad Dzulfikar dkk. Depok: Keira Publishing.
Sijistani, Al, Abu Dawud. 2011. Sunan Abu Dawud. Beirut: Dar al-Kotob al-
Ilmiyah.
Syarbany, Al, Samsuddin Muhammad bin al-Khatib. 2012. Mughnil Muhtaj ila
Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj. Kairo: al-Quds.
Syarifuddin, Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Syawkany, Al, Muhammad bin ‘Aly. 2006. Nail al-Awthar. Tt: Dar Ibnu al-Jawzi.
Syawkany, Al, Muhammad bin ‘Aly. 2007. Fath al-Qadir. Kairo: Dar el-Hadith.
Tirmidzi, Al, Abi Isa Muhammad bin Isa. 1996. al-Jami’ al-Kabir. Beirut: Dar al-
Gharbi al-Islamy
Zuhaili, Al, Wahbah. 1985. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Beirut: Dar El-Fikr.
Zuhaili, Al, Wahbah. 2011. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Terjemah: Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani.