1. KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DALAM
UPAYA PENINGKATAN KINERJA
TENAGA PENDIDIK DAN KEPENDIDIKAN
KARYA ILMIAH
KAJIAN TEORI SEBAGAI PESERTA DIKLAT CALON KEPALA SEKOLAH
TINGKAT SD, SMP, SMA DAN SMK KOTA MATARAM TAHUN
2007/2008
Oleh
H. M. SARTONO, S.Pd
Pembina IV/a
NIP : 19601231 198601 1 055
SMA NEGERI 2 MATARAM
2007
1
2. KATA PENGANTAR
Fungsi Kepala sekolah memegang peranan penting dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah yang diberikan tenggung jawab untuk melakukan
pengelolaan penuh terhadap pengaturan jalannya roda kependidikan di sekolah.
Peran utama Kepala Sekolah adalah sebagai pemimpin yang mengendalikan jala
nnya penyelenggaraan pendidikan di mana pendidikan itu sendiri berfungsi pada
hakekatnya sebagai sebuah transformasi yang mengubah input menjadi output. Hal
ini menentukan suatu proses yang berlangsung secara benar, terjaga sesuai
dengan ketentuan dari tujuan kependidikan itu sendiri. Untuk menjamin
terselenggaranya pendidikan di sekolah seorang pemimpin sebagai top manajer
sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah. Kepala Sekolah tentunya memerlukan
manajerial yang baik dalam rangka menjamin kualitas agar sesuai dengan tujuan
pendidikan.
Kepala Sekolah sekolah disamping berfungsi sebagai top manager sekolah,
juga tak kalah pentingnya berfungsi sebagai pengawas sekolah. Ini dimaksudkan
bahwa seorang seorang top menajer adalah faktor penentu dalam sukses atau
gagalnya suatu organisasi atau usaha, dan merupakan kunci pembuka suksesnya
organisasi. Seorang manajer yang sukses artinya memilki kemampuan dan
mampu mengelola organisasinya, mampu mengantisipasi perubahan tiba-tiba,
mengoreksi kelemahan- kelemahan serta sanggup membawa organisasinya
kepada sasaran jangka waktu yang ditetapkan. Hal lain adalah Kepala Sekolah
sebagai supervisor disekolah. Ini berarti bahwa ia berfungsi sebagai pengawas
utama, pengontrol tertinggi yang melakukan supervisi dalam menemukan atau
mengidentifikasi kemampuan atau ketidakmampuan personil (guru, pegawai tata
usaha, siswa, dan mitra kerja “komite sekolah) dan memberikan pelayanan kepada
semua kompinen warga sekolah guna meningkatkan kemampuan keahliannya dan
mengelola secara lebih efektif untuk memperbaiki, dan mengelola secara lebih
efektif untuk memperbaiki situasi belajar mengajaar agar (siswa) dapat mencapai
prestasi hasil belajar yang lebih menungkat.
Maka dalam rangka peningkatan mutu pendidikan , Kepala sekolah yang paling
terdepan melaksanakan supervisi melekat di lingkungan sekolahnya. Dalam
makalah komprehensif ini dibahas pila tentang kinerja guru pendidikan jasmani.
Pendidikan jasmani sebagai salah satu mata pelajaram di sekolah mempunyai
peran yang sangat strategis dan signifikan dalam pembentukan kepribadian
kesehatan jasmani dan rohani peserta didik.
Kepribadian sehat jasmani dan rohani menjadi tolak ukur dan faktor yang paling
dominan bagi terselenggaranya pendididkan khususnya di sekolah-sekolah.
Seseorang yang memilki kepribadian sehat jasmani dan rohani dapat
menyesuaikan diri dalam situasi sosial dalam berinteraksi dan berkomunikasi antara
satu dengan yang lainnya. Kepribadian sehat jasmani dan rohani secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi prilaku seseorang. Guru yang sehat
jasmani dan rohani menjadi persyaratan utama dalam penyelenggaraan pendidikan
2
3. di sekolah dan mempengaruhi kinerjanya. Guru dan siswa memiliki kualitas
keperibadian sehat jasmani dan rohani mempengaruhi efektifitas upaya
peningkatan interaksi belajar mengajar. Di lingkungan pendidikan khususnya di
sekolah-sekolah, peran guru pendidikan jasmani sangat dibutuhkan sebagi ujung
tombak untuk memenuhi harapan agar peserta didik memiliki kepribadsian yang
andal yang dilandasi oleh kualitas kesehatan jasmani dan rohani dalam rangka
mensukseskan tujuan pendidikan nasional membentuk manisia Indonesia yang
sehat jasmani dan rohani.
Salah satu upaya memenuhi harapan tersebut dipandang perlu penulis
menyusun karya Ilmiah dengan judul “ kemampuan manajerial kepala sekolah
dalam upaya peningkatan kinerja Tenaga Pendidik dan Kependidikan ” untuk dapat
dijadikan acuan sebagai bahan bahan secara teoritis dalam penyusunan karya tulis
ilmiah pada tahap berikutnya sebagi persyaratan dalam melaksanakan Diklat
Calon Kepala Sekolah dan hasilnya dapat bermanfaat bagi kami dan
pengembangan sekolah, ilmu pengetahuan serta pengembangan ilmu pendidikan
khususnya.
Akhirnya semoga upaya ini, meskipun dalam bentuk sederhana mendapatkan
ridho dari Allah SWT. Amin
PENULIS
H. SARTONO
3
4. Abstract
The managerial of headmaster competence is depended upon his attitude and appropriate
behavior. Basically, competence is a suffusion ability of adequate skills; and managerial is a
system of management handled by headmaster which is probably the most complex problems.
One of the main problems facing by headmaster is how to manage, to increase, to control, to
coordinate, and evaluate. The teacher workable, especially the teacher of SMAN 2 Mataram in
terms of applying his profession at school. This study is trying to identify, to observe, and
investigate how far the managerial of headmaster competence and workable of teacher of
SMAN 2 Mataram. The fact that almost educational management tasks in school environment
has been done by headmaster. The educational management tasks such as planning,
organizing, controlling, coordinating and evaluating of all school activities are needed
professional competence that must be owned by headmaster. At least the headmaster must
have managerial skills, those are: (1) skills concept (2). Skill of humanity (3) skill of
organization environment (4). Skill of technique and strategy, necessarily, the headmaster in
his /her work environment is influenced by the situation where he/ she is working. Mainly, will
be influenced by his/her attitude or behavior then behaviorism of the teacher may consist of:
(1) Hindering (2) Limitation (3) Pressure of result (4) intimating, while the headmaster
behaviorism namely: (a) distance (b) pressure of result (c) Consideration (d) Support, stated by
Halpin, Croft 1962
4
5. BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang.
1. Pembangunan nasional di bidang pendidikan merupakan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa
dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil
dan makmur. Hal ini sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam
UU RI no. 2 tahun 1989 yang berbunyi:
“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya , yaitu manusia yang berilmu
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan , keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
berkepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab terhadap
kemasyarakatan, kebangsaan”
2. Kesejahteraan bangsa bukan lagi bersumber pada sumber daya alam dan modal yang bersifat
fisik, tetapi bersumber pada modal intelektual , modal sosial, dan kredibilitas. Fungsi pendidikan
diperluas sebagai hak asasi manusia yang mendasar, modal ekonomi, sosial dan politik, alat
pemberdayaan kelompok yang kurang beruntung, landasan budaya damai dan sebagi jalan
utama menuju masyarakat belajar sepanjang hayat. Sesuai dengan paradigma baru pendidikan
khususnya pendidikan jasmani yang lebih menekankan pada pengembangan individu secara
menyeluruh, dalam arti pengembangan keterampilan intelektual, kterampilan afektif termasuk
pembangunan moral spiritual , pengembangan keterampilan fisik dan kesegaran jasmani melalui
aktivitas jasmani yang terseleksi, terprogram dan atau terarah. Ungkapan diatas dikutip dari
kurikulum berbasis kompetensi mata pelajaran pendidikan jasamani (dalam Depdiknas,
Balitbang, Puskur jakarta 2002).
3. Lebih jauh diungkapkan bahwa pengertian dari pendidikan jasmani merupakan bagian integral
pendidikan secara keseluruhan yang mampu mengembangkan anak secara utuh dalam arti
mencakup aspek-aspek jasmaniah, dan moral spiritual, yang dalam proses pembelajarannya
mengutamakan aktivitas jasmani dan pembiasaan pola hidup sehat (1-2)
4. Ketika UU No. 22/1999 dan No. 25/1999 diberlakukan dan disusul dengan kebijakan Departemen
Pendidikan Nasional tentang sistem manajemen berbasis sekolah dan pemberian kewenangan
terhadap daerah (bahkan sekolah) dalam mengelola pendidikan, timbul secercah harapan akan
semakin membaiknya pembangunan pendidikan. Model pembangunan pendidikan yang sangat
bersifat sentralistik dan monolitik serta menafikan perbedaan, secara drastis mestinya berubah
menjadi desentralistik dan pluralistik sehingga kepentingan dan kebutuhan serta potensi dan
kemampuan daerah menjadi lebih terperhatikan dan terbangkitkan.
5. Dengan desentralisasi pendidikan yang direpresentasikan melalui model pengelolaan Manajemen
Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Masyarakat, segenap komponen sekolah menjadi
semakin berperan. Penyusunan kurikulum nasional yang mengabaikan akar budaya dan
kebutuhan masyarakat setempat, dengan pemberian kewenangan besar kepada daerah,
mestinya tidak akan terulang kembali. Pemberian kewenangan yang besar kepada para guru
melalui manajemen berbasis sekolah dan kurikulum berbasis kompetensi pun diasumsikan akan
mengembalikan harga diri dan rasa percaya diri pada guru yang di masa lalu sangat terpuruk
akibat sistem yang bersifat sangat instruktif. Akan tetapi, melihat kebijakan Depdiknas akhir-akhir
ini, harapan yang mulai timbul tampaknya akan layu sebelum berkembang. Salah satu contoh
yang paling aktual adalah pelaksanaan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang penuh kontroversial.
UAN sebagai alat uji bagi siswa kelas terakhirSMP dan SMA/SMK dalam kenyataannya tidak lain
merupakan manifestasi keengganan pusat melepaskan kewenangannya dalam pengelolaan
5
6. pendidikan. Celakanya, keengganan tersebut tidak dibarengi dengan kesiapan yang cukup
sehingga muncullah kebijakan kontroversial yang sangat membingungkan menyangkut hal-hal
seperti soal ujian ulang dan hak siswa tak lulus ujian untuk melanjutkan pendidikan.
6. Banyak kalangan berasumsi dan berpendapat bahwa terjadinya perubahan kurikulum dimana
implikasinya menuntut guru agar memiliki kemampuan namun sebaliknya guru hanyalah
dikiaskan sebagai kelinci percobaaan sehingga terjadilah kemerosotan pendidikan kita dan
sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai
penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum
1975 diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan
profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang
kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu
faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan
lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.
7. Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu adalah
MANAJEMEN PENINGKATAN MUTUBERBASIS SEKOLAH /MPMBS. Hal ini disebabkan oleh
adanya Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir
semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan
kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain
manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia
ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan
global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas
sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia
merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien
dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era
globalisasi tersebut.
7. Drs. Umaedi, M.Ed (April 1999) menyatakan bahwa : Konsep yang menawarkan kerjasama yang
erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini,
berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk
ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan
melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada dan lebih jauh ia menyatakan :
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang
sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan
kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses
peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses
peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan
swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui
berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui
pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana
pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan
tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut
belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator
kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai
bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang
berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa
sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.( Dalam Pendidikan Network 2003 )
8. Kemudian ia menegaskan bahwa Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya
kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan
6
7. sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan
pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga
bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus
mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan
keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk
peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan
kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang
memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari
pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi
bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan,
sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka
dasar kebijakan pendidikan. Dan lebih jauh lagi memaparkan tentang “Konsep manajemen
peningkatan mutu berbasis sekolah” dengan tujuan adalah ;
a) Mensosialisasikan konsep dasar manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah khususnya kepada masyarakat. b) Memperoleh masukan agar konsep
manajemen ini dapat diimplentasikan dengan mudah dan sesuai dengan kondisi
lingkungan Indonesia yang memiliki keragaman kultural, sosio-ekonomi
masyarakat dan kompleksitas geografisnya. c) Menambah wawasan pengetahuan
masyarakat khususnya masyarakat sekolah dan individu yang peduli terhadap
pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan. d) Memotivasi masyarakat
sekolah untuk terlibat dan berpikir mengenai peningkatan mutu pendidikan/pada
sekolah masing - masing. e) Menggalang kesadaran masyarakat sekolah untuk ikut
serta secara aktif dan dinamis dalam mensukseskan peningkatan mutu pendidikan.
f) Memotivasi timbulnya pemikiran - pemikiran baru dalam mensukseskan
pembangunan pendidikan dari individu dan masyarakat sekolah yang berada di
garis paling depan dalam proses pembangunan tersebut. g) Menggalang
kesadaran bahwa peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab
semua komponen masyarakat, dengan fokus peningkatan mutu yang berkelanjutan
(terus menerus) pada tataran sekolah.
Mempertajam wawasan lagi bahwa mutu pendidikan pada tiap sekolah harus dirumuskan
dengan jelas dan dengan target mutu yang harus dicapai setiap tahun. 5 tahun,dst,sehingga
tercapai misi sekolah kedepan
Pendidikan Jasmani Belum Efektif , Jakarta, Kompas - Penyelenggaraan pengajaran pendidikan
jasmani di sekolah masih belum efektif. Padahal pendidikan jasmani yang dilaksanakan sebagai
bagian dari pedagogis sebagaimana mestinya, akan menunjang tercapainya tujuan pendidikan secara
keseluruhan. Sebab, aktivitas pendidikan jasmani akan melibatkan unsur fisik, mental, intelektual,
emosional, dan sosial.
Demikian antara lain isi orasi ilmiah Prof Dr Aip Syarifuddin MPd yang berjudul "Upaya Meningkatkan
Kualitas Pendidikan Jasmani" ketika dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Keolahragaan di Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) di Jakarta, Rabu (12/6). Selain Aip, sidang terbuka Senat UNJ yang dipimpin
Rektor UNJ Prof Dr Sutjipto, juga mengukuhkan Prof Dr Ida Sinambela Tampubolon MEd sebagai
guru besar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. "Cara pendidikan jasmani yang hanya
menekankan pada aspek pemberian informasi dan demonstrasi bentuk keterampilan gerak, sistem
penilaian yang hanya menagih kemampuan mengingat dan mendemonstrasikan kembali bentuk-
bentuk keterampilakan gerakan, tidak relevan dengan tujuan pendidikan yang bersifat komprehensif,"
ujarnya. Menurut Aip, pelaksanaan pendidikan jasmani di sekolah umumnya masih dilakukan secara
konvensional. Hampir semua kegiatan didominasi guru dengan menggunakan pendekatan secara
7
8. keolahragaan. Pendekatan semacam ini, sama halnya dengan pembinaan keterampilan gerak yang
sudah umum dilakukan dalam pelatihan-pelatihan pada suatu cabang olahraga. Padahal, dalam
pendidikan jasmani tidak dipentingkan prestasi siswa dalam cabang olahraga tertentu, tetapi untuk
merangsang pertumbuhan dan perkembangan anak. "Karena itu, tidak ada pendidikan jasmani yang
tidak mempunyai sasaran pedagogis, dan tidak ada pendidikan yang lengkap tanpa adanya
pendidikan jasmani. Gerak sebagai aktivitas jasmani merupakan dasar bagi manusia untuk belajar
mengenal dunia dan dirinya sendiri," katanya. Masalah utama yang dihadapi pendidikan jasmani,
menurut Aip, justru terletak pada minimnya kemampuan guru pendidikan jasmani. Tidak heran kalau
guru pendidikan jasmani tidak bisa melaksanakan tugas pembelajaran secara efektif, apalagi
kreatif."Padahal, pendidikan jasmani membutuhkan adanya kreativitas guru untuk memodifikasi
olahraga sebagai suatu pendekatan alternatif dalam pengajaran pendidikan jasmani," ujarnya. Aip
lahir di Cimahi 15 Maret 1939 dan menyelesaikan Sekolah Guru Pendidikan Jasmani di Bandung
tahun 1960. Tahun 1969, ia memperoleh gelar sarjana olahraga dari Sekolah Tehnik Olahraga.
Memperoleh Akta Mengajar V dari IKIP Jakarta tahun 1982. Gelar Magister Pendidikan diperoleh dari
Pascasarjana IKIP Jakarta jurusan Teknologi Pendidikan tahun 1988. Sepuluh tahun kemudian, ia
meraih gelar doktor dari IKIP Jakarta jurusan Pendidikan Olahraga.
Lapangan Kerja Dalam orasi ilmiah yang berjudul "Career Planning Development Program dan
Prospeknya di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Prof Dr Ida Sinambela
Tampubolon mengatakan, sangat sedikit lulusan LPTK yang langsung terjun dan berkarir di
kependidikan. Sebagian besar justru harus menunggu waktu yang cukup lama untuk dapat menapaki
karir di bidang kependidikan. Apalagi pemerintah telah menerapkan kebijakan zerro growth dalam
pengangkatan pegawai negeri sipil. Berangkat dari kenyataan seperti inilah mahasiswa LPTK
membutuhkan perencanaan karir. Soalnya selama ini karir dalam bidang kependidikan lebih sering
diartikan secara sempit dengan hanya menjadi guru. Padahal, karir dalam bidang kependidikan juga
meliputi berbagai jenis pekerjaan, termasuk di bidang nonkependidikan.
Ida Sinambela Tampubolon, lahir di Tarutung 8 April 1942. Tamat dari SMA Negeri di
Padangsidempuan tahun 1960, ia melanjutkan ke Pendidikan Biologi FKIP Universitas Sumatera
Utara dan memperoleh gelar sarjana muda 1964. Gelar sarjana pendidikan diperoleh dari IKIP
Bandung 1973. Tahun 1994, berhasil memperoleh gelar doktor di bidang Teknologi Pendidikan dari
UNJ. (MAM)
B. Dasar pemikiran
1. Perubahan manajemen pendidikan
1.1) Dengan berlakunya UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah (otoda), maka terjadi
perubahan berbagai kewenangan Pemerintah Pusat (Depdiknas) dalam berbagai hal khususnya
yang berkaitan dengan pendidikan. Hal tersebut akan berdampak pada pengelolaan pendidikan
di daerah. Di satu sisi upaya otonomi pendidikan akan berpengaruh terhadap berkembangnya
sekolah sebagai lembaga pendidikan. Di sisi lain, keragaman potensi sumber daya daerah
(termasuk kualitas manajemen kepala sekolah) akan menyebabkan kualitas hasil pendidikan di
masing-masing daerah bervariasi. Oleh karena itu, dirasa perlu melakukan pendekatan baru
untuk mengatasi berbagai permasalahan pengelolaan sekolah yang selama ini dihadapi yang
antara lain melalui pemberian kewenangan yang seluas-luasnya bagi daerah dan kepala sekolah
untuk mengelola dan mengembangkan berbagai sumber daya sekolah untuk mengembangkan
program sekolah sesuai dengan kebutuhan peserta didiknya. Belajar dari pengalaman terhadap
kebijakan sentralistik, disinyalir ada beberapa dampak sistem top-down, yaitu: (a) keterbatasan
kewenangan kepala sekolah dalam mengelola sumber daya pendidikan sekolah yang
dipimpinnya, (b) kemampuan manajemen kepala sekolah dalam mengembangkan program
pendidikan belum optimal, (c) pola anggaran yang kurang memungkinkan memberikan imbalan
guru yang profesional memadai, (d) peran serta masyarakat dalam pengelolaan sekolah
terbatas. Dengan demikian, reformasi pengelolaan pendidikan perlu diarahkan untuk dapat
8
9. terciptanya kondisi yang desentralistik, baik pada tatanan birokrasi maupun pengelolaan sekolah.
Khusus pada tingkat sekolah, melalui otonomi yang luas, partisipasi masyarakat perlu
ditingkatkan terutama dalam hal perencanaan dan pengelolaan program sekolah melalui konsep
manajemen berbasis sekolah. Pada dasarnya pendidikan di sekolah memiliki peranan penting,
bertanggung jawab untuk mempersiapkan generasi bangsa menghadapi masa sekarang dan
masa yang akan datang lebih berkualitas (susanto, 1998
1.2) Agus Darma (dalam arikelnya tertanggal 30 april 2003) mengungkapkan “ sejak bebrapa
tahun terakhir ini, manajemen pendidikan mengalami perubahan, kita kenal dengan pendekatan
“baru” dalam manajemen sekolah yang diacy sebagai manajemen berbasis sekolah ( school
based managent). Gagasan ini muncul karena dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para
pengelola pendidikan ada level operasional atas adanya keterbatasan kewenangan yang
mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa
kepala sekolah merasa tidak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan
terhadap konteks pendidikan, akibatnya peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan di
sekolah semakin dikerdilkan dengan rintisan urusan birokrasi yang menimbulkan kreativitas dan
inovasi. Agus Darma, lebih jauh mengungkapkan : Gagasan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
ini muncul sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam
pengoprasian sekolah, yang selama ini sekolah hanya kepanjangan tangan birokrasi pemerintah
pusat untuk urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak banyak memiliki
kelonggaran untuk pengoprasian sekolahnya secara mandiri.
1.3). Perubahan Peraturan perundang Undangan dengan adanya pemberlakuan Pelaksanaan
otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan konsekwensi dari Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Berdasarkan undang-
undang, pelaksanaannya paling lambat pada tahun 2001, yaitu dua tahun setelah ditetapkannya
kedua undang-undang tersebut. Waktu selama dua tahun tersebut digunakan oleh pemerintah
untuk menyiapkan peraturan-peraturan teknis, sedangkan bagi masyarakat pendidikan waktu
tersebut dapat digunakan sebagai wacana pembahasan isu-isu yang berkaitan dengan harapan-
harapan tentang visi, misi, strategi dan kebijakan seharusnya dimiliki oleh pemerintah dalam
penyelenggaraan otonomi pemerintahan dan perimbangan alokasi keuangan antara pusat dan
daerah. Salah satu komponen penyelenggaraan pemerintahan yang akan desentralisasikan ke
daerah Tingkat I (Propinsi) dan Tingkat II (Kabupaten) adalah dalam bidang penyelenggaraan
pendidikan dasar dan menengah yang mencakup SD/MI, SLTP/MTs, SLTA/MA. Mengingat
luasnya dampak kebijakan tentang pelayanan pendidikan dasar dan menengah terutama pada
golongan masyarakat akar rumput, topik ini perlu dibahas secara khusus sebagai wacana terbuka
untuk dicermati oleh semua pihak yang berkepentingan dengan pendidikan yaitu para
siswa/mahasiswa, orang tua, guru, tokoh masyarakat, pengusaha, birokrat, mentri hingga
Presiden. Sedangkan otonomi untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi selain cakupan
layanannya hanya terbatas pada masyarakat menengah ke atas, pelaksanaan otonomi tersebut
telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 yang memungkinkan perguruan
tinggi menjadi suatu badan hukum.
2. Profesionalisme guru memasuki abad 21
2.1. Dra. Ani M. Hasan (13 juli 2003) dalam sebuah artikelnya berjudul “ pengembangan
profesionalisme guru di abad pengetahuan “. Ia mengatakan bahwa dalam memasuki abad 21
yang dikenal dengan abad pengetahuan , menjadi landasan utama segala aspek kehidupan yang
meupakan suatu era dengan tuntutan lebih rumit dan memnantang, dimana suatu era sangat
besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan. Disatu sisi kemerosotan pendidkan sudah
terasakan selama bertahun tahun, dan untuk sekian kalinya kurikulumlah yang dituding sebagi
penyebab tibulnya kemerosotan tersebut. Kemerosotan pendidikan bukan hanya dilakuykan
9
10. kurikulum akan tetapi kurangnya profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.
Profesionalisme sebagi penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya namun
sangat dipengaruhi oleh dua factor besar, yaitu Fakto internal meliputi minat dan bakat, dan factor
eksternal yang berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana. Prasarana serta berbagai latihan
training dan penataran yang dilakukan guu. Profesinalisme guru dan tenaga kependidikan
memasuki abad 21 belumlah memadai terutama dalam hal keilmuannya, kendati tenaga pendidik
sudah cukup banyak akan tetapi mutu dan profesionalismenya belum sesuai harapan
2.2. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian
secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-
informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang
mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar
mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang
berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian
terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat
karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan,
melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai
professional Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Profesionalisme Guru Kondisi pendidikan
nasional kita memang tidak secerah di negara-negara maju. Baik institusi maupun isinya masih
memerlukan perhatian ekstra pemerintah maupun masyarakat.
2.3. Dalam pendidikan formal, selain ada kemajemukan peserta, institusi yang cukup mapan, dan
kepercayaan masyarakat yang kuat, juga merupakan tempat bertemunya bibit-bibit unggul yang
sedang tumbuh dan perlu penyemaian yang baik. Pekerjaan penyemaian yang baik itu adalah
pekerjaan seorang guru. Jadi guru memiliki peran utama dalam sistem pendidikan nasional
khususnya dan kehidupan kita umumnya. Guru sangat mungkin dalam menjalankan profesinya
bertentangan dengan hati nuraninya, karena ia paham bagaimana harus menjalankan profesinya
namun karena tidak sesuai dengan kehendak pemberi petunjuk atau komando maka cara-cara
para guru tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Guru selalu diinterpensi. Tidak adanya
kemandirian atau otonomi itulah yang mematikan profesi guru dari sebagai pendidik menjadi
pemberi instruksi atau penatar. Bahkan sebagai penatarpun guru tidak memiliki otonomi sama
sekali. Selain itu, ruang gerak guru selalu dikontrol melalui keharusan membuat satuan pelajaran
(SP). Padahal, seorang guru yang telah memiliki pengalaman mengajar di atas lima tahun
sebetulnya telah menemukan pola belajarnya sendiri. Dengan dituntutnya guru setiap kali
mengajar membuat SP maka waktu dan energi guru banyak terbuang. Waktu dan energi yang
terbuang ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya
3. Implikasi abad pengetahuan (abad ke 21 )
a Prof.Dr.Azis Wahab,M.A.(Ed) Direktur Program PascasarjanaUniversitas Pendidikan
Indonesia (UPI) dalam orasi ilmiahnya (2003), menyampaikan bahwa:
(1)“Gejolak perubahan yang penuh dengan ketidakpastian membawa kita
semua kepada upaya memilih dan menetapkan alternatif-alternatif yang
paling baik bagi setiap orang. Dalam menghadapi perubahan yang cepat
tersebut satu-satunya cara untuk tetap dapat berada pada posisi yang baik
dalam situasi perubahan yang begitu cepat dan hampir-hampir tak
terkendalikan itu adalah “belajar secara cepat” pada semua bidang
kehidupan tak terkecuali bidang pendidikan.
(2). Kecepatan perubahan yang diistilahkan dengan “accellerated change”,
„tumultuous change.” “rapid change” dan kita semua yang hidup dalam
10
11. abad informasi, era globalisasi yang diwarnai oleh revolusi teknologi
komunikasi dan informasi mendorong setiap individu, lembaga dan
organisisasi serta institusi pendidikan untuk melakukan repositioning agar
senantiasa dapat exist dalam era yang penuh dengan “uncertainty”,
“continuity” dan “confrontation” yang jika tidak dihadapi dengan penuh
kearifan, kesiapan dan “kecerdasan” akan membawa malapetaka yang
akan sulit mengatasinya.
(3). diperlukan alat yang tepat dan manajemen yang baik agar keberadaan
kita dalam situasi itu selain dapat mengikuti juga sekaligus diharapkan
dapat mempengaruhi dan mengarahkan perubahan itu.
(4). Adanya suatu kemampuan hanya dapat dimiliki dengan memahami
sebaik-baiknya perilaku dan sifat teknologi komunikasi dan informasi agar
dapat dimaksimalkan pemanfaataannya bagi berbagai kepentingan dan
khususnya di bidang pendidikan mungkin, selain dengan memahami
perilaku dan sifat teknologi komunikasi dan informasi juga harus dipahami
dengan sebaik-baiknya kaitan yang kuat antara teknologi komunikasi
informasi dengan pendidikan.
.(5) Peranan teknologi informasi dapat dimaksimalkan dengan mengkaji
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan untuk pendidikan
dengan memanfaatkannya secara maksimal.
(6). Perannya dalam berbagai segi kehidupan umumnya telah banyak
dikenal atau bahkan telah digunakan oleh berbagai kalangan tidak
terkecuali dalam bidang pendidikan. Itulah sebabnya percepatan dalam
perubahan harus diimbangi dengan kecepatan dalam belajar sebab
milenium III lebih diwarnai oleh perubahan kecenderungan yang amat kuat
dari mengajar kepada belajar sebagaimana telah dikemukakan”
b. Rose dan Nicholl (1997) menyatakan bahwa: “manpower” telah digantikan perannya oleh
“mindpower/brain power/intellectual power” sebab perubahan-perubahan yang cepat termasuk
apa yang disebut revolusi teknologi komunikasi dan informasi ditandai dengan perubahan yang
cepat (accellerated change) dan untuk itu perlu diimbangi dengan kecepatan di dalam belajar
(accellerated learning).
c. Prof.Dr.Azis Wahab,M.A.(Ed)( 2003) lebih jauh mengungkapkan bahwa kecepatan didalam
belajar dapat dilakukan antara lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip berikut : 1. Belajar
gaimana belajar (learning how to learn); 2. memahami dengan baik teknik belajar sendiri
(natural learning style); 3. memiliki kemampuan /keterampilan dalam memanfaatkan teknologi
informasi; 4. mengkaji informasi dengan cepat, memahaminya dan diingat dengan baik.
Mengkaji dan mengimplementasikan prinsip-prinsip di atas diharapkan dapat membantu
percepatan dalam belajar yang juga sekaligus merupakan tuntutan era informasi yang dipacu
lebih cepat melalui revolusi teknologi komunikasi dan informasi sebagaimana telah diutarakan.
Karena itu prinsip-prinsip di atas juga sekaligus merupakan langkah-langkah penting, yang perlu
dikaji dalam pelaksanaan desentralisasi daerah dan otonomi pendidikan yang didasari oleh
pendidikan yang berbasis masyarakat (Community-Based Education – CBE) dan pada akhirnya
mengarah pada pengelolaan berbasis sekolah (School-Based Management).
d. Prof.Dr.Azis Wahab,M.A.(Ed) juga menyatakan bahwa dalam memanfaatkan berbagai
kemudahan dari teknologi komunikasi dan informasi hanya mungkin terjadi jika dikelola dengan
baik, dimana telah dipahami:
(1). “kepemimpinan adalah inti manajemen, dan oleh sebab itu meningkatkan
kemampuan manajemen merupakan sebuah keharusan jika keberhasilan
11
12. pelaksanaan pendidikan dalam era desentralisasi daerah dan desentralisasi
pendidikan diharapkan berhasil.
(2). Kemampuan manajemen dapat dilakukan melalui kepemimpinan yang dapat
menciptakan situasi yang kondusif bagi terjadinya inovasi dan perubahan-
perubahan dengan menggunakan berbagai perangkat teknologi komunikasi dan
informasi, dikarenakan sifat yang melekat pada teknologi komunikasi dan
informasi, membuka kemungkinan bagi pemanfaatannya secara luas dalam
bidang pendidikan baik pada tingkat perencanaan dan pembuatan keputusan
(decision support system) tentang suatu kebijakan pendidikan sampai pada
implementasinya dalam mendukung proses pendidikan tersebut dan
dimungkinkan oleh besarnya peluang untuk mengakses informasi secara cepat
dalam waktu singkat dan dari sumber-sumber informasi yang bervariasi dengan
tingkat akurasi yang tinggi.
(3). Hal hal yang berkaitan dengan masalah jarak dan jumlah informasi yang
diperlukan tidak lagi menjadi persoalan yang justru selama ini menjadi sebab
utama terjadinya kesenjangan antara pusat dan daerah sebagai akibat langsung
dari sifat pengelolaan pendidikan yang sentralistik dan diperparah oleh
peralatan dan sistim informasi manajemen yang amat sederhana, hanya
mungkin diatasi dengan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi
secara baik.
(4). Revolusi informasi global telah berhasil menyatukan kemampuan komputasi,
televisi, radio dan telefoni secara terintegrasi Hal ini juga merupakan hasil dari
suatu kombinasi revolusi dibidang komputer personal, transmisi data dan
kompresi, lebar pita (bandwidth), teknologi penyimpanan data (data storage) dan
penyampai data (access) integrasi multimedia dan jaringan komputer.
Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media,
yaitu suara (voice,audio), video, citra (image) grafik dan teks”.
Dengan demikian pendidikan diharapkan akan menjadi “lokomotif” pembangunan daerah.
Melihat pada volume informasi yang diperlukan dan dihubungkan dengan keterbatasan teknologi
yang dimilki sekolah untuk mengelola informasi menyebabkan sedikit sekali terjadi perubahan di
sekolah. Dan Implikasi yang terjadi bahwa keadaan sekarang yang kurang bergantung pada
informasi yang dimiliki seseorang di dalam kepalanya menganggap tidak selalu mudah untuk
mengaksesnya., karena pada umumnya nampak bahwa kepala sekolah tidak selalu dapat
mengawasi dan memanfaatkan dengan baik penyimpanan informasi di sekolah, pada hal untuk
pengambilan keputusan yang cepat dan tepat diperlukan penanganan informasi yang baik
terutama pada berlakunya desentralisasi pendidikan benar-benar telah terjadi .
e. Mintzberg lebih jelas mengungkapkan bahwa
“The effective handling of information is of central important to the decision-
making role of the principal. Unorganized and difficult-to-access information is the
great enemy of effective schools decision making.” Pandangan ini menunjukkan
peran yang amat penting dalam pengelolaan informasi bagi pengambilan
keputusan di sekolah. Dalam perkembangannya memang amat diperlukan
informasi yang cepat dan tepat bagi pengambilan keputusan yang akan dilakukan
oleh pimpinan dalam hal ini kepala sekolah. Untuk itu kedepan dengan
perkembangan teknologi komunikasi dan informasi khususnya Sistem Informasi
Manajemen akan diperlukan sebagai Decision Support System, yaitu dengan
memilih bentuk pengelolaan pendidikan berbasis sekolah sebagai konsekuansi
12
13. dari demokratisasi pendidikan dan dengan dukungan masyarakat maka peran
kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah akan semakin penting.
f. Azis Wahab,M.A.(Ed) mangungkapkan bahwa dalam melaksanakan tugas “informational role”-
nya, kepala sekolah harus dapat menetapkan langkah-langkah kongkrit dalam pengelolaan
informasi sebagai hal yang pokok dalam pengelolaan pendidikan berbasis sekolah yaitu : (a).
Memanfaatkan system penggunaan teknologi komunikasi dan informasi, yaitu “computer” dalam
pengelolaan pendidikan (b). “……………………….it was argued that principals and in-school
administrators should use computing systems to enchance communications between all groups
involved in the functioning of the school, and to streemline administration and curriculum support.”
Jadi dimaksudkan bahwa Kepala sekolah hendaknya selalu menggunakan pengadaan perangkat
komputer dan memiliki pengetahuan pengoprasiannya dalam pemanfaatannya sehingga sudah
merupakan sesuatu keharusan terutama dalam abad ke 21 ini dan dalam rangka
mempersiapkan diri menerima wewenang otonomi pendidikan sebab paling tidak karena
beberapa hal sebagaimana Aziz A Wahab memaparkan antara lain :
1. Informasi yang disimpan secara elektronik memiliki fleksibilitas dalam
mengkakses dan dalam pemanfaatannya yang sudah tidak mungkin dilakukan
melalui sistem penanganan informasi dengan cara lama. Komputer juga
menyediakan begitu banyak kemudahan dalam mengelola informasi dalam arti
menyimpan, mengambil kembali dan pemutahiran informasi.
2. Komputer juga merupakan alat yang memiliki kemampuan luar biasa dalam
membantu memanfaatkan informasi itu dalam rangka pengambilan keputusan dan
pemecahan masalahan secara kreatif. Kemampuan komputer juga untuk
memanipulasi dan menyusun kembali informasi untuk kepentingan khusus
pemakai menjadikannya menjadi alat yang efektif dalam tugas menganalisis dan
menanfsirkan kecenderungan yang terjadi, pengujian hipotesisi dan identifikasi
kecenderungan baru program-program sekolah.
3. Dengan menempatkan komputer di bawah kendali langsung kepala sekolah akan
menjadi alat yang amat ampuh untuk pengelolaan dan pemrosesan informasi
sebuah kemampuan yang mengantarkan langsung informasi secara cepat
kehadapan kepala sekolah dan juga kepada pimpinan lainnya.
4. Komputer sebagai alat untuk memproses informasi, dan memiliki tingkat aplikasi
dalam setiap langkah proses manjemen – perencanaa, mengkumunikasikan
mengorgan isasikan, pengawasan dan memotivasi, memperhatikan berbagai hal
berkenaan dengan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi untuk
pendidikan dalam rangka otonomi daerah dan otonomi pendidikan Pemerintah
Daerah dengan menempatkan pendidikan sebagai titik sentral pelaksanaan
pembangunan daerah melalui kebijakan pengembangan dan pemanfaatan sumber
daya manusia berkualitas untuk pembangunan, melibatkan orangtua dan
masyarakat dalam setiap langkah kebijakan akan meningkatkan perhatian dan
partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat umumnya
dan pendidikan khususnya.
g. Ani H Hasan (2003 ), mengutip penapat Naisbit ( 1995) menyatakan bahwa ada beberapa factor
yang mempengaruhi dunia pendidikan dalam segala aspek memasuki abad pengetahuan antara
lain : (1). Dari Negara berkembang ke jaringan (2). Dari tuntutan eksper ke tuntutan konsumen
(3). Dari pengaruh barat ke cara Asia (4). Dari kelompok pemerintah ketuntutan pasar. (5). Dari
desa ke metropolitab 6). Dari padat karya ke teknologi canggih (7). Dari dominasi kaum pria ke
13
14. nunculnya kaum wanita (8). Dari barat hingga ketimur menjamurnya pengetahuan modern
melalui teknologi dan informasi.
5. Perkembangan IPTEK dan Informasi
a). Banyak kalangan para ahli berpendapat bahwa dampak langsung terhadap dunia pendidikan
adalah berkembang pesatnya IPTEK dan Informasi yang terus menerus dalam segala aspek
kehidupan manusi , sehingga tidak jarang para ilmuan mengalami kesulitan dalam
menghadapinya dan ahkirnya timbul berbagai persepsi dalam hasil karyanya . Adanya IPTEK
dan informasi dimaksud, diasumsikan bahwa sejauhmana para individu dapat mengembangkan
dirinya dalam menyesuaikan diri terutama para praktisi pendidikan berdasarkan tujuan pendidikan
dalam membantu setiap individu mengembangkan penyesuaian dirinya dalam memperoleh
kematangan kematangan berfikir. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai
permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi
perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin
ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus
mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu,
peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara
terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin
bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut. Situasi inilah yang membawa
kita kepada keadaan yang sejalan dengan kecenderungan global yang ditandai dengan era
informasi, era keterbukaan, era demokratisasi, deregulasi dan desentraralisasi. Namun demikian
euphoria kebebasan dan perubahan inii jangan sampai membawa kita sebagai bangsa
tenggelam di dalam perubahan-perubahan yang amat cepat itu tetapi bagaimana kita sebagai
individu dan kelompok baik pada tingkat lokal, nasional maupun global memposisikan diri dalam
menghadapi gejolak perubahan tersebut. Itulah sebabnya percepatan dalam perubahan harus
diimbangi dengan kecepatan dalam belajar sebab milenium III lebih diwarnai oleh perubahan
kecenderungan yang amat kuat dari mengajar kepada belajar sebagaimana telah dikemukakan
oleh Rose dan Nicholl (1997) di mana manpower telah digantikan perannya oleh
mindpower/brain power/intellectualpower sebab perubahan-perubahan yang cepat termasuk
apa yang disebut revolusi teknologi komunikasi dan informasi ditandai dengan perubahan yang
cepat (accellerated change) dan untuk itu perlu diimbangi dengan kecepatan di dalam belajar
(accellerated learning).
b) Azis Wahab,M.A.(Ed) Direktur Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia
(UPI), mengungkapkan dalam orasi ilmiahnya ( 2003 ) adalah : beberapa prinsip cara belajar
dalam memperoleh Kecepatan didalam belajar dapat dilakukan antara lain dengan
memperhatikan prinsip-prinsip berikut : 1. belajar bagaimana belajar (learning how to learn) 2.
memahami dengan baik teknik belajar sendiri (natural learning style) 3. memiliki
kemampuan/keterampilan dalam memanfaatkan teknologi informasi; 4. mengkaji informasi
dengan cepat, memahaminya dan diingat dengan baik. Dilematisnya, berkembang pesatnya
IPTEK dan informasi disatu sisi namun disi lain terjadilah kemerosotan pendidikan kita sudah
terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai
penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975
diganti dengan kurikulum 1984, kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994 hal ini sebagai
akibat dari :
14
15. c) Nasanius (1998) mengungkapkan bahwa kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh
kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar
siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya,
sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan
faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai
latihan yang dilakukan guru.
d). Sumargi, 1996) Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai
utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau
Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik
secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan
harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru
sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang
benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000).
e). Adisasono, (2000) menyatakan bahwa Teknologi komunikasi dan informasi pada dasarnya
adalah :
(1) .memungkinkan dan memudahkan manusia untuk dapat saling berhubungan
dengan cepat, mudah dan terjangkau serta memiliki potensi untuk membangun
masyarakat yang demokratis, dan salah satu dampak terbesarnya adalah
demokratisasi di bidang pendidikan, ditandai dengan adanya hubungan antara
guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa, bahkan antara guru dengan guru
dan antara guru, siswa, orangtua dan masyarakat dalam kaitannya dengan proses
pendidikan di dalam dan di luar sekolah”.
(2) sifat-sifat teknologi komunikasi dan infromasi yang membuka peluang besar
bagi pemerintah daerah dan kota untuk dapat menyiapkan diri membangun
sebuah sistem informasi yang memungkinkan terjadinya proses pemanfaatan
teknologi komunikasi dan informasi bagi kemajuan pendidikan di daerah dan kota.
(3). Kkonsekwensi dari ketersediaan jenis teknologi yang dimaksud dalam
pelaksanaan otonomi daerah, yang berarti bahwa melalui pemanfaatan teknologi
komunikasi dan informasi tersebut khususnya internet kendala keterjangkauan
dan ekspose terhadap informasi antar berbagai wilayah di seluruh Indonesia dapat
diatasi dan keutuhan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dapat tetap
terjaga.
(4) Keadaan yang dibutuhkan adalah jawab moral setiap penyedia (provider)
dan pengguna teknologi komunikasi dan informasi tersebut karena selain
diperoleh kemudahan juga akan berjalan seiring dengan dampak negatif yang
akan ditimbulkannya seaindainya pemanfaatannya itu tidak didasari nilai-nilai
keimanan dan ketaqwaan, etika, estetika dan kearifan para pemakainya
(5). Mengembangkan nilai-nilai seperti itu dampak negatif dari pemanfaatan
teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet dapat diminimalkan
khususnya bagi generasi muda yang masih dalam pertumbuhan dan pancaroba.
(6). Membangun sebuah keterbatasan dalam bersentuhan dengan teknologi
komunikasi dan informasi tersebut hampir tidak mungkin karena begitu
15
16. terbukanya berbagai sumber informasi yang disana sini diwarnai dengan berbagai
“trick” yang mengundang keterlibatan semua orang termasuk generasi muda
untuk terlibat kedalam sistem teknologi komunikasi dan informasi yang “mereka”
bangun.
(7). Intervensi, teknologi komunikasi dan informasi dapat membantu
mentransformasikan mereka yang selama ini berada pada posisi marjinal di
banyak daerah dengan peralatan sebuah komputer multi media dapat berubah dari
posisi pengamat menjadi menjadi posisi partisipan aktif, dan disinilah sebenarnya
peranan teknologi informasi terhadap dunia pendidikan dalam proses
demokratisasi pendidikan menjadi sangat signifikan. Dengan berkembangnya
teknologi informasi tersebut batas-batas antar negara menjadi hilang (borderless
nations) demikian pula antara bisnis, pendidikan dan bahkan media.
f). Berkembangnya IPTEK dan informasi begitu dahsyat sehingga hampir tidak ada aspek
kehidupan (pendidikan, perdagangan, semua segi usaha, hiburan, pemerintahan, pola kerja, pola
produksi dan bahkan pola hubungan antar manusia) yang terlepas dari pengaruh atau bahkan
dampak yang ditimbulkannya yang pada saat sekarang ini menjadi perhatian serius Namun apa
yang pada mulanya sulit dicapai oleh daerah khususnya daera-daerah yang terpencil hampir
dapat dipastikan tidak ada kendala lagi sepanjang perangkat teknologi yang butuhkan memang
tersedia. Pada abad ke-21 ini, hampir semua negara didunia bertanya tentang masa depan dunia
yang mengalami perubahan dengan cepat itudalam rangka memahami persoalannya dengan
baik”. (Azis Wahab( dalam orasi ilmiah Pendidikan Network 2003) Ia juga menyatakan tentang
manfaat mengunakan teknologi komputer dalam mengelola pendidikan adalah, dengan
menggunakan internet dengan segala fasilitasnya akan memberikan kemudahan untuk
mengakses berbagai informasi untuk pendidikan yang secara langsung dapat meningkatkan
pengetahuan siswa bagi keberhasilannya dalam belajar. Melalui teknologi informasi yang dimiliki
baik oleh daerah maupun oleh individual sekolah, dapat memanfaatkannya diantaranya untuk :
(1). penelusuran dan pencarian bahan pustaka; (2). membangun Program Artificial Intelligence
(kecerdasan buatan) untuk memodelkan sebuah rencana pengajaran; (3). memberi kemudahan
untuk mengakses apa yang disebut dengan virtual clasroom ataupun virual university
(4). pemasaran dan promosi hasil karya penelitian; Kegunaan-kegunaan seperti diatas itu dapat
diperluas bergantung kepada peralatan komputer yang dimiliki jaringan dan fasilitas telepon yang
tersedia dan provider yang bertanggung jawab untuk tetap terpeliharanya penggunaan jaringan
komunikasi dan informasi tersebut. (5). Dari waktu kewaktu jika dilihat dari jumlah pemakaian
yang makin meningkat secara eksponensial setiap tahunnya memungkinkan fasilitas yang pada
mulanya hanya dapat dinikmati segelintir orang, dan sekelompok kecil sekolah terkemuka dengan
biaya operasional yang tinggi, kedepan besar kemungkinan biaya yang besar itu akan dapat
ditekan sehingga pemanfaatannya benar-benar dapat menjadi penunjang utama bagi
pengelolaan pendidikan khususnya bagi pendidikan di daerah. (6). Pemanfaatan teknologi
informasi tersebut dapat memberikan hasil yang maksimal maka juga dibutuhkan kemampuan
pengelola teknologi komunikasi dan informasi yang baik yang dapat diperoleh melalui pelatihan
baik untuk tingkat pembuat kebijakan pendidikan di daerah maupun pada tingkat sekolah (7).
Pemahaman dan kemampuan manajerial kepala sekolah berkaitan dengan pemanfaatan
teknologi komunikasi dan infomasi tersebut merupakan salah satu persyaratan pokok dalam
pemilihan kepala sekolah.
6. Peratuturan perundang-undangan yang berlaku.
16
17. (a). Undang- undang no 22 tahun 1999 tetnang otonmi daerah. Implementasinya diberlakukan
bahwa otonomi daerah merupakan rentetan dari suatu proses pembaharuan demokratisasi, tata
cara dalam kehidupan mermasyarakat berbangsa dan bernegara. Undang undang tersebut
secara tersirat mengatur akan perubahan sentralisasi menjadi desentralisasi mencakup dunia
pendidikan yang merupakan bagian dari salah satu unsur diotomidaerahkan, dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun tidak semua orang dapat memahami adanya
perubahan tersebut. Disatu sisi mereka berhadapan dengan keadaan yang dialami dan di sisi
lain, komponen komponen lembaga pendidikan baik dari tingkat TK dasar dan menengah saja
yang diatur dalam undng undang dimaksud dimana semua aspek kegiatannya diatur berdasarkan
peraturan pemerintah daerah kabupaten atau kota. Dilemetisnya, komponen kom[ponen lembag
lembaga pendidikan di tingkat tinggi atau propinsi termasuk didalamnya kmpnen komponen
lembaga perguruan tinggi secara hirarki masih bernaung pada peratuaran pemerintah pusat. Dan
se[erti kita keahui bahwa semua lembaga pendidikan memgang peranan yang sangat strategis
sebagi pilar utama mecerdaslkan kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan juga sangat
dibutuhkan untuk menggembleng dan meningkatkan kualitas mutu bangsa secara menyeluruh.
Kendati demikian, pemberlakuan Undang undang otonomi daerah sangat berdampak nyata pada
semua lembaga kependidikan sehingga diharuskan memiliki kemampuan merespon kebutuhan
otonomi daerah, kebutuhan regional, nasional dan kebutuhan global.
(b). Undang undang sisdiknas yang berlaku dimana disahkan pada tahun 2003 belum semua
lembaga kependidikan melaksanakan dan mengetahuinya dan belem mampu mencermati
ketentuan ketentuan system pendidikan national yang baru.
(c). Undang undang nomor 2 tahun1989 pasal 30 ayat 2 yang mengatur tentangf tenaga
kependidikan berhak memperoleh bimbingan karir, kemudian pasal 30 ayat 4 menyatakan
bahwa tenaga kependidikan berkewajiban meningkatkan kemampuan professional sesuai dengan
tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan bangsa.
(d). Undang undang nomor 2 tahun 2000 yang mengatur tentang program pembangunan
nasional secara tersirat menyebutkan salah satu tujuan pembinaan sekolah, mulai dari
prasekolah sampai sekolah menengah dalam rangka mensukseskan terselenggaranya
manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah dan manajemen berbasis sekolah (MBS) dengan
tujuan bahwa sekolah diberikan otonmi seluas luasnya dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya. Namun hal ini sangat bergantung pada sumber daya manusia yanmg dimiliki sekolah
dalam mempersiapkan dirinya dengan pemahaman bersamaatas visi misi tujuan, dan sasran
yang ingin dicapai oleh sekolahnya. Dan sebagai penggerak utama MPMBS atau MBS adalah
kepala seklah, kemudian guru dan komponen warga sekolah lainnya yang menjadi penentu
berhasil tidaknya penyelenggaraan pendidikan berdasarkan undang undang dimaksud. Secar
tersirat pula berarti bahwa kepala sekolah sebagai top manajer disekolah diharapkan dapat
melaksanakan pembinaan, menumbuhkembangkan komponen warga sekolah termasuk
profesionalisme dan kinerja guru di sekolah.
(e) Ketetapan Ketetapan MPR :
Sebagaimana makna yang tertuang dalam Ketetapan MPR nomor II/MPR/1988, mengatur
tentang GBHN, secara tegas menuangkan tentang tujuan pendidikan nasional sebagai berikut :
(a). “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia
Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur,
berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri, cerdas, trampil
17
18. serta shat jasmani dan rohani” (b). Ketetapan dimaksud sejalan dengan tujuan pendidikan,
secara tersirat dan tersurat terungkap bahwa pendidikan tidak hanya menyangkut aspek
intelektual semata melainkan menyangkut pula seluruh aspek kepribadian manusia yang ingin
diproduk sebagaimana telah diatur dalam ketetapan tersebut antara lain : (1) manusia yang
beriman (2). Bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (3) berbudi pekerti luhur, (4).
Berkepribadian, (5). Berdisiplin, (6). Bekerja keras, (7). Tangguh, (8). Bertanggungjawab (9).
Mandiri (10). Cerdas. (11) trampil, serta (12). Sehat jasmani dan rohani. (c). Tujuan pendidikan
tersebut diatas, tidak terlepas dari upaya pengembangan aspek aspek SDM, yang terlibat
langsung tidak hanya Kepala sekolah akan tetapi juga para guru, karyawan, orang tua siswa ,
siswa dan masyarakat lingkungan sekitarnya. Kemudian makna sehat jasmani dan rohani dalam
ketetapan MPR tersebut secara tersirat mengandung pengertian bahwa para guru khususnya
mutlak sebagai persyaratan utama disamping memiliki persyaratan lain berupa kemampuan
kognitif, aktuatif/ psikomotorik dan afektif.
7. Hak dan kewajiban penyelenggara sekolah.
1. Tuntutan peranan strategis kepala sekolah adalah kemampuan manejerial, perencanaan, dan
kemapuan kepemimpinan, keterampilan, knsep serta teknik dalam menciptak iklim organisasi di
sekolah yang kondusif, nyaman damai harmonis sehingga guru[un dapat memilki kinerja yang
baik. Untuk merencanakan program pengajran yang baik, melaksanakan tugas belajar mengajar ,
melaksanakan program evaluasi hasil belajar siswa. Diman aperan guru di sekolah sebagi
pembimbing, fasilitator dan juga sebagi supervisor sehingga dituntut pula memilki kemampuan
agar dapat melaksanakan tugas serta pekerjannya sesuai dengan pengetahuan ,keterampilan
yang dimiliki, memilki semangat etos kerja yang tinggi, mampu mengatasi masalah masalah yang
berkaitan dengan bidang tugasnya.
2. Hak dan kewajiban dapat diartikan sebagai satu kemampuan yang ditunjukkkan baik oleh
kepala sekolah maupun guru melaksanakan tugas pekerjaanya sebagaimana diungkapkan oleh
Bernadin dan Russel yaitu kemampuan suatu kinerja merupakan hasil dari fungsi pekerjaan
atau kegiatan tertentu yang didalamnya terdapat tiga aspek yaitu kemampuan dalam
melaksanakan kejelasan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, kemampuan
akan kejelasana hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan atau fungsi waktu yang dperlukan
untuk menyelesaikan suatu pekerjaan agara hasil yang diharapkan dapat terwujud (pendapat
tersebut dikutip oleh H, A. Qodri A. Azizi, juli 2003)
3. Problema yang dihadapi kepala sekolah adalah menurunnya mutu pendidikan dewasa ini
sebagaimana diungkapkan oleh Eman Suparman ,Widyaiswara PPPG Tertulis Bidang Studi
IPS (dalam artikel 2003) memaparkan bahwa: Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi
dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan
khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain
memlalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan
sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Ia mengungkapkan
pula bahwa : berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata.
Sebagaian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup
menggembirakan, namun Sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan
dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami
peningkatan secara merata antara lain :
18
19. Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan
pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai
pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam
kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi,
mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production
function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan
pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output
pendidikan.
Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga
sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan
birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan
kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian,
motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan diri.
C. TUJUAN PENULISAN
Kemampuan manajerial di bidang pendidikan khususnya di sekolah dalam upaya mempertegas
pelaksanaan Otonomi Daerah, yang menjadi peranan yang sangat fundamental dalam
pengelolaan penyelenggaraan kependidikan di sekolah Hal itu dimaksudkan bahwa kiat
melaksanakan manajerial sebagai salah satu upaya pengembangan gagasan guna membangun
suatu kesiapan perangkat pendidikan yang ada di daerah pada umumnya dan di sekolah pada
khususnya, dalam pelaksanaan pemberlakuan otonomi daerah yang beralngsung sejak tahun
2001. Sesuai dengan apa yang disampaikan pemerintah tentang otonomi daerah, ditegaskan
bahwa pelaksanaannya adalah pada Januari 2001, kurang lebih tiga tahun berjalan sampai
dengan sekarang bukanlah waktu yang panjang bagi upaya pelaksanaan yang sempurna bagi
pelaksanaan sebuah sistem yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan secara keseluruhan.
Mengingat begitu pentingnya adanya kemampuan manajerial penyelenggara pendidikan
disekolah, maka penulis mencoba mengungkap dan melakukan kajian kajian secara teoritis
berdasarkan latarbelakang, dasar dasar pemikiran, kosep manajemen pendidikan kompetensi
kepala sekolah dan guru yang diuraikan diatas
Adapun tujuan dari kajian pustaka dalam makalah komprehensip ini adalah membahas
secara teoritis tentang “Kemampuan manajerial Kepala Sekolah dan Kinerja Guru Pendidikan
jasmani dan Kesehatan”, dibahas pula secara lebih spesifik , terinci akan hal hal sebagai berikut :
a. Ketrampilan Manajerial Kepala Sekolah yang menyangkut tentang :
1. Ketrampilan Konseptual 2. Ketrampilan manusiawi
3. Ketrampilan Organisasi 4. Ketrampilan Teknik
19
20. BAB II
KAJIAN UMUM
Konsep Manajemen Kependidikan
1). Abdul Aziz ( juli 2003 ) mengungkapkan bahwa : Manajemen Pendidikana di lingkungan sekolah
yang pertama kali dibebankan kepada Kepala Sekolah dalam upaya pemberdayaan SumberDaya
Manusia (SDM) dan Sumber Daya Kependidikan (SDK) di sekolah
2) Ia lebih jauh mengungkapkan bahwa tidak jarang Kepala Sekolah mengalami kesulitan sebagai
manajer di sekolah, karena dewasa ini menghadapi begitu kompleksnya terutama sumberdaya
kependidikan, diakibatkan oleh hamper semua tugas manajerial dilaksanakan dilaksanakan
olehnya di sekolah dalam memberdayakan SDM. Sehingga individu kepala sekolah dituntut agar
memiliki kemampuan merencanakan, mengorganisaikan, memonitor, dan mengevaluasi serta
memberikan penilaiansemua aspek kegiatan sekolahsecara internal maupun eksternal, selain dari
tuntutan tersebut kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan ketrampilan konsep, ketrampilan
manusiawi, termasuk kemampuan mengatur iklim organisasi, serta ketrampilan teknik. Disamping
itu, kemampuan manejerial kepala sekolah sangat dipengaruhi oleh kinerja guru guru sebagai
pelaksana utama pembinaan peserta didik yang merupakan kader kader generasi bangsa dan
berhasil tidaknya pendidikan , para guru yang bekerja sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki
berpengaruh pula oleh keadaan iklim dan suasana dimana mereka bekerja .
3). Manajemen pendidikan yang modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan. Lembaga-
lembaga pendidikan diharapkan mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan
keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum,
tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang
tua/masyarakat. Tidak kalah pentingnya adalah sosok penampilan guru yang ditandai dengan
keunggulan dalam nasionalisme dan jiwa juang, keimanan dan ketakwaan, penguasaan iptek,
etos kerja dan disiplin, profesionalisme, kerjasama dan belajar dengan berbagai disiplin, wawasan
masa depan, kepastian karir, dan kesejahteraan lahir batin. Pendidikan mempunyai peranan yang
amat strategis untuk mempersiapkan generasi muda yang memiliki keberdayaan dan kecerdasan
emosional yang tinggi dan menguasai megaskills yang mantap. Untuk itu, lembaga penidikan
dalam berbagai jenis dan jenjang memerlukan pencerahan dan pemberdayaan dalam berbagai
aspeknya.
4) Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 manejemen pendidikan sudah mengalami
pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal
ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik,
(3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari
pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan
fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat
teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam
tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan
memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai
tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif. Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan,
praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang
20
21. banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh
berbeda dengan pada abad industri.
5). Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad
pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru,
belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri.
6) Kardinata ( LM Tauhid, 1987 : 7 ) memaparkan bhwa Manajemen peningkatan mutu pendidikan
pada dasarnya dimaksudkan upaya pengembangan kemampuan pengembangan kemampuan
kognitif atau kecerdasan, kemampuan psikomotorik atau ketrampilan afektifdilandasi budi pekerti
yang tinggi, dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam mncapai kualitas IPTEK dan
IMTAQ yang handal, ditandai dengan kematangan emosional, intelektual, kematangan social,
kematangan moral dan tanggung jawab. Guru merupakan salah satu factor penentu manajemen
peningkatan mutu pendidikan.
7). Manajemen pendidikan akan berhasil apabila apabila tercapainya kinerja professional guru dan
keberhasilan belajar siswa. Namun demikian sangat bergantung pada individu masing masing .
sebagaimana Kost dan Rosener Weight (1981) menjelaskan bahwa setiap guru berada pada
tingkat yang berbeda kinerjanya. Tingkat kinerjanya berada dalam suatu komitmen yang
terentang dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Para guru yang tingkat kinerja rendah
ditunjukkan oleh : (1). Tidak memiliki keampuan merencanakan program pengajaran. (2) tidak
memiliki kemampuan tugas mengajarsesuai dengan program yang telah disusunnya (3) tidak
memiliki kemampuan melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa. Sedangkan guru yang tingkat
kinerjanya tinggi ditunjukkan oleh : (1) adanya kemampuan merencanakan program pengajaran
(2) adanya kemampuan melaksanakan tugas sesuai dengan program yang telah disusunnya (3).
adanya kemampuan melaksanakan program hasil evaluasi belajar siswa.
8). Agus Dharma ( dalam artikel, 2003 ) menyatakan bahwa MBS dipandang sebagai alternatif dari
pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan
daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan
kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan
demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit
pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS
memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang
tua atas proses pendidikan di sekolah mereka. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa dalam
pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran,
kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi
pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-
keputusan penting itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi
para murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan
memberdayakannya
9). A.R Tilaar (1999) dikutip oleh Agus Dharma,(dalam artikel 2003) mengungkapkan tentang
paradigma baru sistem pendidikan nasional tersebut di antaranya meliputi; Pertama,
pengembangan dan pemantapan sistem pendidikan nasional dengan menitikberatkan pada
pemberdayaan lembaga pendidikan melalui pemberian otonomi seluas-luasnya. Kedua,
pengembangan sistem pendidikan nasional yang terbuka bagi keragaman budaya dan
masyarakat dalam implementasinya. Ketiga, program pendidikan nasional hendaknya dibatasi
hanya pada upaya pelestarian integritas bangsa. Lebih jauh ia mengungkapkan bahwa untuk
21
22. terlaksananya paradigma di atas diperlukan program-program yang mendukung, di antaranya
adalah:
Pertama, mempersiapkan lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di daerah
yang meliputi SDM, organisasi, fasilitas dan program kerja sama antarlembaga di
daerah.
Kedua, debirokratisasi (demokratisasi) penyelenggaraan pendidikan dengan
restrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien dan secara bersangsur-angsur
memberikan otonomi dalam penyelenggaran pendidikan pada tingkat sekolah
(otonomi lembaga).
Ketiga, desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan
bertahap, mulai dari provinsi, kabupaten/kota dengan penyediaan SDM, dana,
sarana dan prasarana yang memadai pada daerah disertai dengan adanya panduan,
arahan dan monitoring dari pusat.
Keempat, penghapusan peraturan perundang-undangan yang menghalangi inovasi
dan eksperimen menuju sistem pendidikan yang berdaya saing di masa depan.
Kelima, otonomi bagi sekolah untuk mengatur diri sendiri dan peran masyarakat
untuk ikut menentukan kebijakan pendidikan yang diwadahi dalam bentuk Dewan
Sekolah. Fungsi pengawasan yang diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme
guru serta adanya otonomi guru untuk menentukan metode dan sistem evaluasi
belajar.
10). Umaedi, (April 1999) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang dapat menjelaskan
mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil :
“ Pertama´ strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input
oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana
semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar)
dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga
kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan
dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang
diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education
production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga
pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
“ Kedua”, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur
oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan
di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di
tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya
cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh
dan akurat oleh birokrasi pusat.
11) Ki Gunawan , Judul Artikelnya “UAN Dalam Perspektif Desentralisasi Pendidikan “ ( 12 Juli
2003) yang memaparkan tentang Sistem Evaluasi yang ditinjau dari UU No. 22/1999 dan No.
25/1999 diberlakukan dan disusul dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional tentang
22
23. sistem manajemen berbasis sekolah dan pemberian kewenangan terhadap daerah (bahkan
sekolah) dalam mengelola pendidikan, ia menjelaskan bahwa :
(a). Timbul secercah harapan akan semakin membaiknya pembangunan pendidikan,
model pembangunan pendidikan yang sangat bersifat sentralistik dan monolitik serta
menafikan perbedaan, secara drastis mestinya berubah menjadi desentralistik dan
pluralistik sehingga kepentingan dan kebutuhan serta potensi dan kemampuan daerah
menjadi lebih terperhatikan dan terbangkitkan.
(b) Dengan desentralisasi pendidikan yang direpresentasikan melalui model pengelolaan
Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Berbasis Masyarakat, segenap komponen
sekolah menjadi semakin berperan.
(c). Penyusunan kurikulum nasional yang mengabaikan akar budaya dan kebutuhan
masyarakat setempat, dengan pemberian kewenangan besar kepada daerah, mestinya
tidak akan terulang kembali.
(d) Pemberian kewenangan yang besar kepada para guru melalui manajemen berbasis
sekolah dan kurikulum berbasis kompetensi pun diasumsikan akan mengembalikan harga
diri dan rasa percaya diri pada guru yang di masa lalu sangat terpuruk akibat sistem yang
bersifat sangat instruktif.
(e) Kebijakan Depdiknas akhir-akhir ini, harapan yang mulai timbul tampaknya akan layu
sebelum berkembang. Salah satu contoh yang paling aktual adalah pelaksanaan Ujian
Akhir Nasional (UAN) yang penuh kontroversial.
(f) UAN sebagai alat uji bagi siswa kelas terakhir SLTP dan SMU/SMK dalam
kenyataannya tidak lain merupakan manifestasi keengganan pusat melepaskan
kewenangannya dalam pengelolaan pendidikan. Celakanya, keengganan tersebut
tidak dibarengi dengan kesiapan yang cukup sehingga muncullah kebijakan
kontroversial yang sangat membingungkan menyangkut hal-hal seperti soal ujian
ulang dan hak siswa tak lulus ujian untuk melanjutkan pendidikan. Berbeda dengan
ujian, evaluasi bermakna penilaian secara terus-menerus, komprehensif, dan
berkelanjutan terhadap kemampuan siswa selama belajar di sekolah dan merupakan
bagian integral dari proses pembelajaran di sekolah.
(g). Kerangka kurikulum berbasis kompetensi, Depdiknas sendiri menggariskan
bahwa penilaian berkelanjutan dan komprehensif menjadi sangat penting dalam dunia
pendidikan. Penilaian berkelanjutan mengacu kepada penilaian yang dilaksanakan
oleh guru itu sendiri dengan proses penilaian yang dilakukan secara transparan.
(h). Penilaian dilakukan secara komprehensif dan mencakup aspek kompetensi
akademik dan keterampilan hidup. Proses perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan
penilaian dilaksanakan oleh para guru dengan penanggung jawab Kepala Sekolah
sehingga kinerja seluruh komponen sekolah benar-benar dinilai dan kemampuan guru
merancang, memilih alat evaluasi, menyusun soal, dan memberi penilaian benar-benar
diuji. Dari sisi siswa, evaluasi jelas akan merupakan sebuah proses yang 'biasa' yang
tidak memerlukan persiapan khusus yang menyita seluruh energinya karena evaluasi
tersebut dijalankan oleh sekolahnya, gurunya, dan yang terpenting bahan evaluasi
adalah apa yang telah diperoleh selama proses pembelajaran.
(i) UAN yang menempatkan Pusat sebagai otoritas yang berwewenang secara
penuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tindak lanjutnya melalui
SPO (Standar Prosedur Operasional) yang sangat rinci dan ketat. Dibandingkan
dengan EBTANAS yang masih memperhitungkan nilai yang diperoleh siswa pada
semester-semester sebelumnya dalam penentuan nilai kelulusan, model UAN
23
24. sekarang menempatkan nilai UAN murni sebagai satu-satunya nilai penentu kelulusan
siswa.
(j). Semasa EBTANAS diberlakukan, segenap komponen pendidikan seolah diburu
untuk mengejar pencapaian nilai EBTANAS murni yang tinggi sehingga semua daya
dan dana benar-benar terkuras. Dapat dibayangkan apa yang terjadi sekarang dengan
evaluasi model UAN. Belum lagi dengan kebijakan-kebijakan yang saling bertentangan
perihal pemahaman 'lulus' dan 'tamat' yang diberlakukan Depdiknas hanya karena
ketidakmampuannya mengantisipasi berbagai kemungkinan yang terjadi.
(k). Sungguh mengherankan UAN yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan
prinsip evaluasi dibebani tujuan dan fungsi yang sangat penting SK 017/U/2003
menyebutkan tujuan UAN adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar siswa;
mengukur mutu pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan
sekolah/madrasah; dan mempertanggung jawabkan penyelenggaraan pendidikan
secara nasional, provinsi, kabupaten/kota, sekolah/madrasah, kepada masyarakat.
(l). UAN berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan secara nasional;
pendorong peningkatan mutu pendidikan; bahan dalam menentukan kelulusan siswa;
dan bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan siswa baru pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Tujuan dan fungsi tersebut tidak berbeda jauh dengan
fungsi EBTANAS dulu, tujuan dan fungsi yang tampaknya tidak pernah dievaluasi,
bahkan beberapa sebetulnya tak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu tujuan
dan fungsi UAN yang berhubungan dengan mutu, misalnya. Sejauh ma na hasil UAN
(sebelumnya selama bertahun-tahun hasil EBTANAS) digunakan sebagai pendorong
peningkatan mutu. Selama ini hasil EBTANAS sampai dengan UAN dari tahun ke
tahun tidak pernah meningkat secara signifikan.
(m). Kegunaan hasil UAN sebagai pertimbangan dalam seleksi masuk ke jenjang
pendidikan yang lebih tinggi pun nyatanya tidak pernah terlaksana. Lulusan SLTP
tetap harus mengikuti tes masuk SLTA dan lulusan SLTA pun tetap harus mengikuti
tes masuk Perguruan Tinggi. Ditinjau dari pemberdayaan guru dan siswa, UAN sama
sekali tidak berguna.
(n) Otoritas guru untuk merencanakan, menyusun, dan memberikan penilaian
kepada siswa-siswanya sebagai bagian integral dari tugasnya telah direbut. Seperti di
masa-masa lalu guru tetap tidak dipercaya mampu melakukan tugasnya dengan baik.
UAN lalu menjadi semacam pusat perhatian dalam proses pembelajaran. Dan, seperti
juga EBTANAS di masa lalu, seluruh proses pembelajaran dipusatkan kepada upaya
untuk sukses dalam UAN sehingga hakikat proses pembelajaran menjadi terabaikan.
Mestinya UAN yang jelas-jelas bertentangan secara diametral dengan prinsip-prinsip
desentralisasi pendidikan dan menghabiskan dana yang lumayan besar mulai tahun
depan dihapus saja. Biarkan sekolah mengevaluasi sendiri hasil kerjanya. Kalau
Pemerintah ingin melakukan kontrol terhadap kualitas pendidikan dapat saja setiap
tahun terhadap siswa-siswa setiap kelas di semua jenjang pendidikan diberikan
semacam tes standar dengan pemilihan sekolah peserta tes diambil dengan cara
random sample di tiap daerah yang dianggap dapat mewakili rata-rata nasional. Tes
standar semacam ini selain untuk mengetahui kualitas pendidikan juga dapat
dijadikan semacam tes diagnostik untuk ditindaklanjuti.
24
25. BAB III
KAJIAN KHUSUS
A. KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH
1. Pengertian Kemampuan
a. Agus Dharma ( 2003 ) mengungkapkan bahwa Berbicara masalah kemampuan manajerial
kepala sekolah tentunya harus mempedomani persyaratan kompetensi dari individu kepala
sekolah itu sendiri sebagaimana telah dipersyaratkan kompetensinya yang secara rinci diuraikan
dalam bab pendahuluan tentang “Kompetensi Kepala Sekolah dan Guru” dimana persyaratan
dimaksud adalah : Memiliki Landasan dan Wawasan Pendidikan, Memahami Sekolah sebagai
Sistem, Memahami Manajemen Berbasis Sekolah (MBS),Merencanakan Pengembangan
Sekolah, Mengelola Kurikulum,Mengelola Tenaga Kependidikan,Mengelola Sarana dan
Prasarana, Mengelola Kesiswaan, Mengelola Keuangan, Mengelola Hubungan Sekolah-
Masyarakat,Mengelola Kelembagaan, Mengelola Sistem Informasi Sekolah, Memimpin Sekolah,
Mengembangkan Budaya Sekolah, Memiliki dan Melaksanakan Kreatifitas, Inovasi dan Jiwa
Kewirausahaan, Mengembangkan Diri, Mengelola Waktu, Menyusun dan Melaksanakan
Regulasi Sekolah, Memberdayakan Sumberdaya Sekolah, Melakukan
Koordinasi/Penyerasian,Mengambil Keputusan secara Terampil, Melakukan Monitoring dan
Evaluasi, Melaksanakan Supervisi (Penyeliaan), Menyiapkan, Melaksanakan dan
Menindaklanjuti Hasil Akreditasi Membuat Laporan Akuntabilitas Sekolah. Namun kiranya
dipandang perulu juga beberapa pengertian dan definisi dari istilah “ Kemampuan, Manajerial dan
Kepala Sekolah, dimana para ahli memiliki pandangan yang berbeda beda . Ada yang memiliki
pandangan bahwa kemampuan dapat di definisikan dalam artian yang sama dengan kualitas.
b. H. Muchlas Samani, Dalam Studi Kasus Pengetahuan dan Ketrampilan ( Model Model
Manajemen Pendidikan (2003 ) menyatakan : :Definisi mengenai kualitas yang diterima secara
universal, dari definisi-definisi yang ada terdapat beberapa kesamaan, yaitu: (1). Kualitas adalah
konsep yang dinamis dan mempunyai pengertian yang pasti (2). Kualitas mencakup produk, jasa
manusia , proses, dam lingkungan (3). Kualitas adalah suatu konsep yang digunakan untuk
memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk jasa manusia , proses, dan lingkungan yangmemenuhi atau
melebihi harapan . ia menambahkan bahwa Kualitas adalah suatu pemikiran, dimana
pemunculannya, yang menstandarkan kualitas sebagai pelayanan utamanya pendidikan ,
munculnya gerakan kualitas kemudian diadopsi oleh dunia pendidikan untuk mendapatkan
kepuasan pelanggan (customer) pendidikan
1.1. John Camingham (2002 ) menidefinisikan arti dari kemampuan sebagai berikut
“ Competency is the skills, knowledge and attitude that people must
demonstrade in their jobs to meet required “ ( Kemampuan adalah
ketrampilan, pengetahuan, prilaku yang orang orang harus menunjukkannya
dalam pekerjaan pekerjaannya )
1.2. Robert L Chapman (1992) mendefinisikan kemampuan sebagai berikut
25
26. “Competency is the sufficient ability, a modest income of having the necessary
qualities or skills” ( Kemampuan adalah suatu kecukupan kecakapan,
kesederhanaan, pengetahuan yang dimiliki dilandasi atas kualitas ketrampilan
1.3.. Honey (1989 ) mendefinisikan tentang kemampuan adalah merupakan ketrampilan (skills) untuk
melakukan tugas tertentu dalam rangka mendapatkan hasil yang berguna
Dari pemaparan pengertian tersebut tidak terdapat perbedaan yang signifikan, sama sama
menekankan arti kemampuan itu adalah ketrampilan yang dimiliki seseorang . Maka dapat dipadukan
pengertiannya menjadi : Kemampuan adalah Kecukupan kecakapan kesederhanaan prilaku
seseorang yang dilandasi dengan suatu kualitas ketrampilan dalam melaksanakan
pekerjaannya.mendapatkan hasil yang berguna
Kaitannya dengan kemampuan kepala sekolah mengandung arti bahwa Kepala Sekolah sebagai
individu yang melaksanakan pekerjaannya tentunya memiliki kecukupan kecakapan kesederhanaan
prilaku dalam melaksanakan fungsinya yang dilandasi dengan kualitas ketrampilan sebagaimana
ketentuan persyaratan kompetensi kepala sekolah yang telah dijelaskan diatas. Kerpala Sekolah
sebagai individu merupakan komponen sekolah yang paling utama di sekolah berfungsi menjadi
pemimpin (top manager) dalam menentukan sukses dan gagalnya suatu organisasi sekolah. Sebagai
seorang pemimpin yang sukses dapat dipastikan memiliki kemampuan mengelola organisasinya dan
mampu mengantisipasi perubahan yang secara tiba tiba, juga dapat mengoreksi kelemahan
kelemahan, serta sanggup membawa organisasinya kepada sasaran dalam jangka waktu tertentu .
2. Pengertian Kompetensi
a. LM. Tauhid (1987 : 7 ) menjelaskan bahwa Kompetensi artinya sangat identik dengan
kemampuan dan Kemampuan setiap individu didasari oleh kemampuan kemampuan kognitif/
kecerdasan , kemampuan psikomotorik/ aktuatif dan kemampuan afektif . memaparkan
bahwa pengembangan kemampuan kogniti, psikomotor, dan afektif harus dilandasi oleh Budi
Pekerti yang tinggi dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa sehingga para individu
dapat mencapai kualitas IPTEK dan IMTAQ yang handal , ditandai dengan kematangan
emosional, intelektual, kematangan social serta kematangan moral dan tanggung jawab.
b.Dahler dan Kartini Kartono(1983), menjelaskan tentang seorang individu dalam memperoleh
kemampuan atau kompetensi hendaknya memiliki suatu karakteristik sebagai berikut : (1)
Kematangan Inetektual yang artinya Kemampuan mengarahkan diri, memperoleh wawasan
diri, belajar dari pengalaman dan kenyataan hidup serta kemampuan menyumbangkan
inisiatif (2). Kemampuan emsional. Artinya kemampuan unyuk santai, gembira untuk
menyatakan perasaan, percaya diri dan bersemangat serta kemampuan kemantapan dalam
hidup bersama (3). Kematangan ssial artinya kemampuan berinteraksi, terdorng
untukberpartisipasi dalam suasan harminis dan realita social dan kemampuan
kepemimpinan. (4). Kematangan moral dan tanggung jawab, artinya kemampuan memilki
semangat kerja dan jujur serta sanggup memperjuangkan nilai-nilai kehidupan, memilki
semangat derajat disiplin yang tinggi dan kemampuan mengambil keputusan
c. Kepala sekolah dalam melaksanakan manajerial sekolah yang berfungsi sebagai top manajer
disekolah harus memiliki dua puluh lima persyaratan kompetensi kepala sekolah
sebagaimana dipaparkan dalam ulasan “Network Pendididikan” Balitbang puspendik
sebagai berikut :
26
27. 1. Kompetensi dalam memiliki Landasan dan Wawasan Pendidikan
(a) Memahami landasan pendidikan: filosofi, disiplin ilmu (ekonomi, psikologi,
sosiologi, budaya, politik), dan ilmiah. (b) Memahami dan menghayati hakikat
manusia, hakikat masyarakat, hakikat pendidikan, hakikat sekolah, hakikat guru,
hakikat peserta didik dan hakikat proses belajar mengajar (c) Memahami aliran-
aliran pendidikan (d) Menerapkan pendekatan sistem dalam sekolah (e)
Memahami, menghayati, dan melaksanakan tujuan dan fungsi pendidikan nasional
(f) Memahami kebijakan, perencanaan, dan program pendidikan nasional, propinsi,
dan kabupaten/kota (g) Memahami kebijakan, perencanaan, dan program
pendidikan
2. Kompetensi dalam memahami Sekolah sebagai Sistem
(a) Menggunakan sistem sebagai pegangan cara berfikir, cara mengelola dan
cara menganalisis sekolah (b) Mengidentifikasi dan mengembangkan jenis-jenis
input sekolah (c) Mengembangkan proses sekolah (proses belajar mengajar,
pengkoordinasian, pengambilan keputusan, pemberdayaan, pemotivasian,
pemantauan, pensupervisian, pengevaluasian dan pengakreditasian). (d)
Meningkatkan output sekolah (kualitas, produktivitas, efisiensi, efektivitas, dan
inovasi) (e) Memahami dan menghayati Standar Pelayanan Minimal (SPM) (f)
Melaksanakan SPM secara tepat (g) Memahami lingkungan sekolah sebagai
bagian dari sistem sekolah yang bersifat terbuka
3. Kompetensi dalam memahami Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
(a) Memahami dan menghayati hakikat otonomi pendidikan (b) Memahami dan
menghayati hakikat pendidikan berbasis masyarakat (community based
education). (c) Memahami dan menghayati arti, tujuan dan karakteristik
manajemen berbasis sekolah (school based management) (d) Memahami
kewenangan sekolah dalam kerangka otonomi pendidikan (e) Memahami,
menghayati, dan melaksanakan tahap-tahap implementasi manajemen berbasis
sekolah (f) Mengevaluasi tingkat keberhasilan manajemen berbasis sekolah.
4. Kompetensi dalam merencanakan Pengembangan Sekolah
(a) Mengidentifikasi dan menyusun profil sekolah (b) Mengembangkan visi,
misi, tujuan dan sasaran sekolah (c) Mengidentifikasi fungsi-fungsi (komponen-
komponen) sekolah yang diperlukan untuk mencapai setiap sasaran sekolah (d)
Melakukan analisis SWOT terhadap setiap fungsi dan faktor-faktornya (e)
Mengidentifikasi dan memilih alternatif-alternatif pemecahan setiap persoalan (f)
Menyusun rencana pengembangan sekolah (g) Menyusun program, yaitu
mengalokasikan sumberdaya sekolah untuk merealisasikan rencana
pengembangan sekolah ( h) Menyusun langkah-langkah untuk merealisasikan
rencana pengembangan sekolah (i) Membuat target pencapaian hasil untuk setiap
program sesuai dengan waktu yang ditentukan (milestone)
5. Kompetensi dalam mengelola Kurikulum
(a) Memfasilitasi sekolah untuk membentuk dan memberdayakan tim
pengembang kurikulum (b) Memberdayakan tenaga kependidikan sekolah
agar mampu menyediakan dokumen-dokumen kurikulum (c) Memfasilitasi guru
untuk mengembangkan standar kompetensi setiap mata pelajaran (d)
Memfasilitasi guru untuk menyusun silabus setiap mata pelajaran (e)
Memfasilitasi guru untuk memilih buku sumber yang sesuai untuk setiap mata
pelajaran (f) Mengarahkan tenaga kependidikan untuk menyusun rencana dan
program pelaksanaan kurikulum (g) Membimbing guru dalam mengembangkan
27
28. dan memperbaiki proses belajar mengajar (h) Mengarahkan tim pengembang
kurikulum untuk mengupayakan kesesuaian kurikulum dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks), tuntutan dan kebutuhan masyarakat,
dan kebutuhan peserta didik (i) Menggali dan memobilisasi sumberdaya
pendidikan (j) Mengidentifikasi kebutuhan bagi pengembangan kurikulum lokal
(k) Mengevaluasi pelaksanaan kurikulum
6. Kompetensi dalam mengelola Tenaga Kependidikan
(a) Mengidentifikasi karakteristik tenaga kependidikan yang efektif (b)
Merencanakan tenaga kependidikan sekolah (permintaan, persediaan, dan
kesenjangan) (c) Merekrut, menyeleksi, menempatkan, dan mengorientasikan
tenaga kependidikan baru (d) Mengembangkan profesionalisme tenaga
kependidikan (e) Memanfaatkan dan memelihara tenaga kependidikan (f)
Menilai kinerja tenaga kependidikan (g) Mengembangkan sistem pengupahan,
reward, dan punishment yang mampu menjamin kepastian dan keadilan (h)
Melaksanakan dan mengembangkan sistem pembinaan karir (i) Memotivasi
tenaga kependidikan (j) Membina hubungan kerja yang harmonis (k)
Memelihara dokumentasi personel sekolah atau mengelola administrasi
personel sekolah (l) Mengelola konflik (m) Melakukan analisis jabatan dan
menyusun uraian jabatan tenaga kependidikan (n) Memiliki apresiasi, empati,
dan simpati terhadap tenaga kependidikan
7. Kompetensi dalam mengelola Sarana dan Prasarana
(a) Mengupayakan ketersediaan dan kesiapan sarana dan prasarana
sekolah (laboratorium, perpustakaan, kelas, peralatan, perlengkapan, dsb.) (b)
Mengelola program perawatan preventif, pemeliharaan, dan perbaikan sarana
dan prasarana (c) Mengidentifikasi spesifikasi sarana dan prasarana sekolah
(d) Merencanakan kebutuhan sarana dan prasarana sekolah (e) Mengelola
pembelian/pengadaan sarana dan prasarana serta asuransinya (f) Mengelola
administrasi sarana dan prasarana sekolah (g) Memonitor dan mengevaluasi
sarana dan prasarana sekolah
8. Kompetensi dalam Mengelola Kesiswaan
(a)Mengelola penerimaan siswa baru (b) Mengelola pengembangan bakat,
minat, kreativitas dan kemampuan siswa (c) Mengelola sistem bimbingan dan
konseling yang sistematis (d) Memelihara disiplin siswa (e) Menyusun tata
tertib sekolah (f) Mengupayakan kesiapan belajar siswa (fisik, mental) (g)
Mengelola sistem pelaporan perkembangan siswa (h) Memberikan layanan
penempatan siswa dan mengkoordinasikan studi lanjut
9. Kompetensi dalam Mengelola Keuangan
(a) Menyiapkan anggaran pendapatan dan belanja sekolah yang berorientasi
pada program pengembangan sekolah secara transparan (b ) Menggali sumber
dana dari pemerintah, masyarakat, orangtua siswa dan sumbangan lain yang
tidak mengikat (c) Mengembangkan kegiatan sekolah yang berorientasi pada
income generating activities (d) Mengelola akuntansi keuangan sekolah (cash
in and cash out) (e) Membuat aplikasi dan proposal untuk mendapatkan dana
dari penyandang dana (f) Melaksanakan sistem pelaporan penggunaan
keuangan
10. Kompetensi dalam Mengelola Hubungan Sekolah-Masyarakat
(a) Memfasilitasi dan memberdayakan Dewan Sekolah/Komite Sekolah
sebagai perwujudan pelibatan masyarakat terhadap pengembangan sekolah
(b) Mencari dan mengelola dukungan dari masyarakat (dana, pemikiran, moral
28
29. dan tenaga, dsb) bagi pengembangan sekolah (c) Menyusun rencana dan
program pelibatan orangtua siswa dan masyarakat ( d) Mempromosikan
sekolah kepada masyarakat (e) Membina kerjasama dengan pemerintah dan
lembaga-lembaga masyarakat (f) Membina hubungan yang harmonis dengan
orangtua siswa
11. Kompetensi dalam Mengelola Kelembagaan
(a) Menyusun sistem administrasi sekolah (b) Mengembangkan kebijakan
operasional sekolah (c) Mengembangkan pengaturan sekolah yang berkaitan
dengan kualifikasi, spesifikasi, prosedur kerja, pedoman kerja, petunjuk kerja,
dsb. (d) Melakukan analisis kelembagaan untuk menghasilkan struktur
organisasi yang efisien dan efektif (e) Mengembangkan unit-unit organisasi
sekolah atas dasar fungsi
12. Kompetensi dalam Mengelola Sistem Informasi Sekolah
(a) Mengembangkan prosedur dan mekanisme layanan sistem informasi,
serta sistem pelaporan (b) Mengembangkan pangkalan data sekolah (data
kesiswaan, keuangan, ketenagaan, fasilitas, dsb) (c) Mengelola hasil
pangkalan data sekolah untuk merencanakan program pengembangan sekolah
(d) Menyiapkan pelaporan secara sistematis, realistis dan logis (e)
Mengembangkan SIM berbasis komputer
13. Kompetensi dalam Memimpin Sekolah
(a) Memahami teori-teori kepemimpinan (b) Memilih strategi yang tepat
untuk mencapai visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah (c) Memiliki power dan
kesan positif untuk mempengaruhi bawahan dan orang lain (d) Memiliki
kemampuan (intelektual dan kalbu) sebagai smart school principal agar
mampu memobilisasi sumberdaya yang ada di lingkungannya (e) Mengambil
keputusan secara terampil (cepat, tepat dan cekat) (f) Mendorong perubahan
(inovasi) sekolah (g) Berkomunikasi secara lancar (h) Menggalang teamwork
yang kompak, cerdas dan dinamis (h) Mendorong kegiatan yang bersifat kreatif
(i) Menciptakan sekolah sebagai organisasi belajar (learning organization)
14. Kompetensi dalam Mengembangkan Budaya Sekolah
(a) Menerapkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan sekolah yang
demokratis (b) Membentuk budaya kerjasama (school corporate culture) yang
kuat (c) Menumbuhkan budaya profesionalisme warga sekolah (d)
Menciptakan iklim skeolah yang kondusif-akademis (e)
Menumbuhkembangkan keragaman budaya dalam kehidupan sekolah (f)
Mengembangkan budaya kewirausahaan sekolah
15. Kompetensi dalam Memiliki dan Melaksanakan Kreatifitas, Inovasi
dan Jiwa Kewirausahaan
(a) Memahami dan menghayati arti dan tujuan perubahan (inovasi)
sekolah (b) Menggunakan metode, teknik dan proses perubahan sekolah (c)
Menumbuhkan iklim yang mendorong kebebasan berfikir untuk menciptakan
kreativitas dan inovasi (d) Mendorong warga sekolah untuk melakukan
eksperimentasi, prakarsa/keberanian moral untuk melakukan hal-hal baru (e)
Menghargai hasil-hasil kreativitas warga sekolah dengan memberikan rewards
(f) Menumbuhkan jiwa kewirausahaan warga sekolah
16. Kompetensi dalam mengembangkan Diri
(a) Mengidentifikasi karakteristik kepala sekolah tangguh (efektif) (b)
Mengembangkan kemampuan diri pada dimensi tugasnya (c) Mengembangkan
29