1. Pengelolaan Pesisir dan Laut dengan Kearifan Lokal DI KABUPATEN MUNA
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui penguatan kearifan lokal merupakan suatu
kegiatan atau aktifitas stakeholders dalam memanfaatkan segala yang ada di pesisir dan laut,
khususnya sumberdaya ikan, terumbu karang, dan mangrove dengan cara-cara yang ramah
lingkungan untuk kesejahteraan hidup manusia. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut juga
mencakup aspek upaya atau usaha stakeholders dalam mengubah ekosistem pesisir dan laut
untuk memperoleh manfaat maksimal dengan mengupayakan kesinambungan produksi dan
menjamin kelestarian sumberdaya tersebut.
Aspek kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tersebut
termanifestasikan pada kegiatan atau aktivitas yang ramah lingkungan karena kearifan lokal
itu sendiri merupakan berbagai gagasan berupa pengetahuan dan pemahaman masyarakat
setempat terkait hubungan manusia dengan alam dalam mengelola sumberdaya pesisir dan
laut yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, dan bernilai baik. Kearifan lokal juga
menyangkut keyakinan, budaya, adat kebiasaan dan etika yang baik tentang hubungan
manusia dengan alam (sumberdaya pesisir dan laut) sebagai suatu komunitas ekologis.
Sejak dahulu kala sebelum zaman kecanggihan tekhnologi, sumberdaya pesisir dan laut di
Kabupaten Muna dikelola dengan segala kearifan lokal yang ada. Berbagai kearifan lokal
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tersebut seperti kafoghira di
Desa Wadolao; Maluppa Tambar Adah Kampoh di Desa Tapi-tapi; Andre Sikullung Assena
dan Dipadoeang Pina di Desa Pasikuta; Decera di Desa Pajala; Kaago-ago di Desa Kembar
Maminasa; Maduai Pina di Desa Bangko; Bala di Kelurahan Napabalano; Kapopanga di
Kelurahan Tampo dan Katingka di Desa Napalakura.
Kearifan lokal tersebut mampu menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan laut di
Kabupaten Muna, khususnya sumberdaya ikan, mangrove dan terumbu karang. Sejumlah
stakeholders yang diwawancarai di lokasi penelitian menuturkan bahwa regulasi berbagai
kearifan lokal di Kabupaten Muna yang termuat dalam beberapa ketentuan budaya, adat
istiadat, dan tradisi masyarakat dijadikan oleh masyarakat pesisir sebagai penuntun moral
dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut secara ramah lingkungan.
2. “Awaghaituini, okapointa maitu nembali hukumu weloliwu. Insaidi taotehie, taharagamie, be
taangkafie welo taeghondohi kadadiha we tehi” kata La Merudi, salah seorang stakeholders
di lokasi penelitian.
Makna dari penuturan La Merudi tersebut adalah “Zaman dahulu kala, budaya dan tradisi
yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi hukum dalam
kehidupan masyarakat. Kami masyarakat sangat takut, taat, menghargai dan mengikuti semua
ketentuan tradisi dan budaya dalam aktivitas kami mencari kehidupan di pesisir dan laut”.
Stakeholder di lokasi penelitian mengakui bahwa berbagai aturan dan larangan dalam tradisi
dan budaya yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mampu menjaga
kelestarian sumberdaya pesisir dan laut dari kerusakan. Tradisi dan budaya tersebut cukup
ampuh dalam mengendalikan berbagai aktivitas yang bersifat destruktif dan merusak.
Kondisi ini terjadi sebelum era tahun 1990-an.
Memasuki era tahun 1990-an, tanda-tanda kerusakan sumberdaya pesisir dan laut di
Kabupaten Muna mulai terlihat. Sejumlah stakeholders menilai, tanda-tanda kerusakan itu
seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Di era ini,
konfigurasi sistem pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut moderen mulai melemahkan
kearifan lokal yang ada. Munculnya armada dan alat penangkapan ikan modern yang dapat
menangkap ikan dalam jumlah besar namun tidak ramah lingkungan membuat banyak
masyarakat lokal meninggalkan kearifan lokalnya dengan mengabaikan berbagai tradisi dan
budaya yang mereka miliki.
Melemahnya kearifan lokal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir
dan laut. Dampak ikutannya adalah menurunnya hasil tangkapan ikan akibat eksploitasi
berlebihan, termasuk hilangnya sejumlah jenis ikan akibat kerusakan terumbu karang dan
mangrove.
“Nando wawono minaho nanumando kapala balano, minaho nanumando opuka harimau,
minaho daebomu kenta, kabarihi taepoli kenta. Taerako kenta minahi nakodohoa we wuntano
tehi. Tamaka ampaitu nandoomo puka harimau, nobarimo mebomuno kenta, nohalimo
taeghawa kenta. Kaghawamani nendaimo. Tabea takala weundalo balano maka taepoli kenta
balahino” kata La Tadi, salah seorang stakeholders.
3. Makna dari penuturan La Tadi tersebut adalah “Dahulu kala sebelum adanya kapal besar,
sebelum adanya pukat harimau (trawl), sebelum adanya bom ikan, hasil tangkapan kami
selalu melimpah. Tak perlu ke laut lepas untuk menangkap ikan. Namun sekarang ini setelah
maraknya pukat harimau (trawl), maraknya bom ikan, kami sudah kesulitan mendapatkan
ikan. Hasil tangkapan kami semakin sedikit. Untuk mendapatkan ikan besar, kami harus ke
lautan lepas yang dalam”.
Belajar dari fenomena kerusakan lingkungan akibat meninggalkan nilai-nilai tradisi dan
budaya sebagai suatu kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, kini
masyarakat pesisir Kabupaten Muna mulai menggali kembali berbagai kearifan lokal yang
ada. Berbagai upaya dilakukan untuk menghidupkan dan menguatkan kembali tradisi dan
budaya yang ada sebagai suatu kearifan lokal agar menjadi penuntun sikap dan perilaku yang
baik bagi masyarakat dalam mengelola sumberdaya pesisir dan laut di Kabupaten Muna.
Upaya masyarakat pesisir dalam menguatkan kearifan lokal tersebut telah dilakukan sejak
tahun 2005 lalu yang diwujudkan dengan : (1) keikutsertaan stakeholders dalam setiap
kegiatan budaya, tradisi, dan/atau hukum adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut meskipun tanpa dukungan pemerintah setempat; (2) adanya ide, gagasan, dan
kehendak stakeholders yang disampaikan kepada pemerintah daerah agar kearifan lokal
dijadikan produk hukum berupa peraturan daerah untuk mengelola sumberdaya pesisir dan
laut di Kabupaten Muna; dan (3) kepatuhan dan ketaatan stakeholders terhadap berbagai
tradisi, budaya, dan/atau hukum adat yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan
laut di Kabupaten Muna.
Seiring upaya penguatan kearifan lokal, masyarakat pesisir dalam melakukan berbagai
aktivitas di pesisir dan laut selalu berpedoman pada tradisi dan budaya yang ada. Mereka
menjadikan tradisi dan budaya sebagai petunjuk dan penuntun moral dalam mengelola
sumberdaya pesisir dan laut yang ada. Seluruh pemali (larangan) dalam berbagai budaya dan
tradisi yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dipatuhi sehingga
kelestarian lingkungan pesisir dan laut tetap terjaga.
Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah kondisi mangrove di Desa Bangko Kecamatan
Maginti, Kabupaten Muna. Diera tahun 1990-2000, kondisi mangrove di daerah tersebut
sangat memprihatinkan karena berada diambang kehancuran. Namun setelah upaya
penguatan kearifan lokal yang dilakukan sejak tahun 2005 lalu melalui penetapan budaya
4. memelihara pohon bakau menjadi sebuah peraturan desa yang sifatnya mengikat, dimana
setiap pelaku penebangan satu pohon bakau yang belum layak panen dikenai sanksi menanam
10 pohon bakau pengganti hingga usia bakau dewasa, maka mengrove di daerah tersebut kini
lestari kembali. Nampak seluruh daerah pesisir pantai Desa Bangko tertutup dengan
mangrove. Selain itu, dampak ikutan dari kelestarian hutan mangrove tersebut adalah
meningkatnya hasil tangkapan nelayan, khususnya ikan dan kepiting bakau.
“Dulu sebelum tahun 2005, mangrove di sini nyaris punah. Masyarakat merambah habishabisan pohon bakau untuk berbagai kepentingan, mulai dari kayu bakar sampai bahan baku
pembuatan rumah. Bersamaan dengan itu, hasil tangkapan ikan oleh nelayan sangat kurang
dan kepiting bakau sulit kami dapatkan. Menyikapi hal itu, kami bersama aparat desa
berembuk dan sepakat untuk menetapkan budaya menanam bakau menjadi peraturan desa.
Setiap yang menebang bakau yang masih muda, dikenai hukuman menanm sepuluh bakau
dan memeliharanya hingga dewasa. Peraturan desa ini sangat efektif dan kini hasilnya kami
sudah nikmati” kata M Hayal, stakeholders yang juga Kepala Desa Bangko.
Kondisi membaik dan lestarinya sumberdaya pesisir dan laut akibat penguatan kearifan lokal
juga terjadi di Desa Pajala. Di daerah tersebut, kata Kepala Desa Pajala, Ambo Ibrahim,
sumberdaya ikan melimpah setelah masyarakat mematuhi pemali (larangan) dari budaya
Decera. Dalam budaya Decera, masyarakat dilarang menangkap ikan dengan bom atau racun.
Kepatuhan masyarakat terhadap larangan dalam budaya Decera tersebut berimplikasi pada
meningkatnya hasil tangkapan nelayan. Hal ini terjadi karena terumbu karang sebagai tempat
hidup dan tempat mencari makan bagi ikan kondisinya semakin membaik akibat
berkurangnya aktivtas penangkapan tidak ramah lingkungan seperti bom dan racun yang
dapat merusak terumbu karang.
Dampak positif berupa kelestarian sumberdaya pesisir dan laut serta meningkatnya hasil
tangkapan nelayan akibat penguatan kearifan lokal juga dialami oleh masyarakat Desa
Pasikuta. Menurut Sekretaris Desa Pasikuta, H Mardin, kepatuhan masyarakat terhadap
pemali dalam tradisi Andre Sikullung Assena yakni berupa larangan menangkap ikan dengan
bom dan racun, berimplikasi positif terhadap meningkatnya hasil tangkapan ikan oleh
nelayan setempat. Peningkatan hasil tangkapan itu disinyalir oleh H. Mardin akibat
kelestarian terumbu karang sebagai tempat bagi ikan untuk hidup dan mencari
makan…………….RamadaN