SlideShare a Scribd company logo
HUKUM
EKSTRADISI
EKSTRADISI
• Berasal dari kata “extradere”
• “ex” memiliki arti keluar
• “tradere” berarti memberikan atau menyerahkan
• “extradio” (kb) bermakna penyerahan
• Ekstradisi diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan
secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi
yang dibuat sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal
balik atas seseorang yang dituduh melakukan perbuatan
pidana [tersangka, tertuduh, terdakwa], atau seseorang
yang telah dijatuhi hukuman [terhukum, terpidana]
TUJUAN EKSTRADISI
• Menghilangkan impunity
• Mencegah dan memberantas kejahatan
yang bersifat transnasional
MENGAPA HARUS EKSTRADISI?
• Negara-negara melakukan kerjasama
internasional dalam bentuk ekstradisi dalam
mencegah dan memberantas kejahatan
• Mengapa harus ekstradisi? Mengapa tidak
memperkuat keamanan wilayahnya terhadap
orang-orang yang memasuki wilayah
negaranya?
– Tidak mengeluarkan visa
– Pengusiran atau expulsion
FREEDOM OF MOVEMENT
• Hukum internasional menjamin kebebasan
individu untuk pergi meninggalkan negaranya
dan memasuki wilayah negara lain
• Hal yang sulit diprediksi adalah mens rea atau
guilty mind  apakah maksud dan tujuan dari
seseorang itu memasuki wilayah negara lain?
• Good faith ataukah bad faith  apakah ia
datang untuk berkunjung ataukah untuk
menghindari proses hukum di negara asalnya?
• Kasus Zarima dan Nazaruddin
EXPULSION
• Bagi orang yang menghindari hukuman,
tindakan pengusiran juga kurang efektif
karena:
– Yang bersangkutan akan mencari negara lain
yang mau menerima
– Tindakan tersebut tidak mampu mencegah
dan menanggulangi kejahatan
– Kasus Joko Tjandra di Papua Nugini
– Kasus Sudono Salim di Singapura
– Kasus Hendra Rahardja di Australia
DEFINISI EKSTRADISI
• Oppenheim  extradition is the delivery of an accused
or convicted individual to the state on whose territory he
is alleged to have committed, or to have been convicted
of, a crime by the state on whose territory the alleged
criminal happens for the time to be
• J.G. Starke  extradition is a process whereby under
treaty or upon a basis of reciprocity on state surrenders
to another state at its request a person accused or
convicted of a criminal offence committed against the
law of the requesting state competent to try the alleged
offender
• Harvard Research Draft Convention on Extradition 
extradition is the formal surrender of a person by a state
to another state for prosecution of punishment
UNSUR-UNSUR EKSTRADISI
• Unsur subyektif
– Negara atau negara-negara yang memiliki jurisdiksi (requesting
state)
– Negara tempat pelaku berada atau bersembunyi (requested
state)
• Unsur obyektif
– Pelaku kejahatan (tersangka, terdakwa atau terhukum)  meski
sebagai obyek, tetapi sebagai individu, hak asasi pelaku harus
tetap dilindungi  kasus Haya de la Torre dan Suresh
• Unsur prosedur
– Adanya perjanjian bilateral atau regional antara requesting state
dengan requested state
• Unsur tujuan
– Untuk tujuan apa orang yang bersangkutan diminta atau
diserahkan
JENIS-JENIS KEJAHATAN
INTERNASIONAL
• KEJAHATAN INTERNASIONAL MENURUT
CUSTOMARY INTERNASIONAL LAW
– GENOCIDA
– PIRACY
• KEJAHATAN INTERNASIONAL MENURUT
TREATY
– KONVENSI PALERMO 2000 DAN PROTOKOLNYA
TENTANG KEJAHATAN TERORGANISIR
TRANSNASIONAL
KONVENSI PALERMO 2000
• Pasal 1: Tujuan
– Mengadakan kerjasama untuk mencegah dan
memberantas kejahatan terorganisir transnasional
• PASAL 2: Definisi
– Kelompok kejahatan terorganisir  kelompok yang
terdiri dari 3 orang atau lebih yang eksis dalam
beberapa periode waktu dengan tujuan melakukan
kejahatan/pelanggaran serius yang bertentangan
dengan Konvensi ini untuk mendapatkan keuntungan
secara finansial atau lainnya secara langsung
maupun tidak langsung
– Kejahatan serius tindakan yang dianggap sebagai
kejahatan/pelanggaran dengan ancaman hukuman
kurungan minimal 4 tahun atau lebih
• Pasal 3: Ruang lingkup
– Dilakukan di lebih dari satu negara, atau
– Dilakukan di satu negara tetapi persiapan,
perencanaan, arahan atau kontrol dilakukan
dari negara lain, atau
– Dilakukan di satu negara tetapi memiliki
hubungan dengan organisasi kejahatan di
lebih dari satu negara, atau
– Dilakukan di satu negara tetapi imbasnya ke
negara lain
PERLUASAN TEKNIK
JURISDIKSI TERITORIAL
• Jurisdiksi teritorial subyektif  jurisdiksi
yang dimiliki oleh suatu negara atas
tindakan kejahatan/pelanggaran yang
dilakukan di wilayah teritorialnya (locus
delicti)
• Jurisdiksi teritorial obyektif  jurisdiksi
yang dimiliki oleh negara-negara atas
kejahatan/pelanggaran yang dilakukan di
satu negara tetapi berimbas ke atau
diselesaikan di negara lain
KEWAJIBAN MENYERAHKAN
• Apakah requested state wajib memberikan
orang yang diminta kepada requesting state?
– Grotius mengatakan bahwa “wajib hukumnya bagi
negara untuk menyerahkan orang yang berlindung di
negaranya kepada negara, tempat ia melakukan
kejahatan”
– Pendapat ini dipengaruhi oleh teori hukum alam
bahwa “tiada seorangpun yang boleh lolos dari
hukum atau hukuman”  konsep keadilan
– Adagium “aut punire aut dedere”  either you punish
or you extradite
TIDAK WAJIB MENYERAHKAN
• Menyerahkan orang yang melakukan kejahatan
tidak wajib, sebelum ada permintaan dari negara
yang meminta
• Pendapat ini lebih banyak diikuti oleh negara-
negara saat ini sehingga negara tidak memiliki
kewajiban untuk menyerahkan orang sebelum
ada permintaan
– Beberapa negara mensyaratkan adanya perjanjian
ekstradisi sebelum menyerahkan pelaku
kejahatan/pelanggaran kepada negara peminta 
Singapura – Indonesia
CONTOH-CONTOH PERJANJIAN
EKSTRADISI
• Bilateral
– Indonesia – Australia 1994 disahkan oleh
Presiden RI melalui UU Nomor 8 Tahun 1994
• Multilateral/regional
– Perjanjian ekstradisi Liga Arab 1952
– Konvensi ekstradisi negara-negara Eropa
1957
– Konvensi ekstradisi antara Belgia, Belanda
dan Luksemburg 1962
KETENTUAN-KETENTUAN YANG DIATUR
DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI
• Ada dua hal penting terkait dengan substansi
perjanjian ekstradisi, yaitu:
– Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi yang
merupakan peraturan yang berdiri sendiri  dalam
artian bahwa pokok permasalahan diatur secara
tegas dan jelas di dalam perjanjian ekstradisi tersebut
– Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi
bersifat menunjuk  pengaturannya ditentukan oleh
hukum nasional masing-masing negara
• Contoh: di Australia, orang yang diminta, terlebih dahulu
harus disetujui oleh pengadilan setempat  Hendra
Rahardja di Pengadilan Australia tidak bersedia diekstradisi
dengan alasan bahwa orang/Pemerintah Indonesia rasial
terhadap orang Tionghoa
UU NASIONAL UNTUK EKSTRADISI
• Pembentukan UU nasional untuk permasalahan
ekstradisi ini lebih ditekankan pada prosedur
atau tata cara dalam permintaan atau
penyerahan orang yang diminta atau diserahkan
• UU nasional ini juga biasanya memuat
ketentuan adanya larangan untuk menyerahkan
seseorang kepada negara lain jika tidak memiliki
perjanjian ekstradisi dan/atau jika berkaitan
dengan warganegara sendiri
• Indonesia memiliki UU Ekstradisi Nomor 1
Tahun 1979
PENYERAHAN BERDASARKAN
ASAS TIMBAL BALIK
• Jika negara tidak memiliki perjanjian ekstradisi
dengan negara lain, dapat pula negara tersebut
menyerahkan pelaku kejahatan/pelanggaran
yang masuk ke wilayahnya kepada negara yang
meminta dengan alasan timbal balik
• Indonesia sendiri mengakui asas timbal balik ini,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat 2
UU Nomor 1 Tahun 1979 yang menyatakan
“Dalam hal belum ada perjanjian tersebut pada
ayat 1, maka ekstradisi dapat dilakukan atas
dasar hubungan baik dan jika kepentingan
Indonesia menghendaki”
EFEK DARI PASAL 2 AYAT 2 UU
NOMOR 1 TAHUN 1979
• Efek internal  kondisi ini memberikan
peringatan kepada setiap orang yang berada di
wilayah NKRI, bahwa siapa saja yang
melakukan kejahatan/pelanggaran di mana
kejahatan/pelanggaran tersebut berlaku juga
jurisdiksi negara lain, maka mereka dapat
diserahkan meski tanpa adanya perjanjian
ekstradisi
• Efek eksternal  kondisi ini ditujukan kepada
negara-negara lain yang tidak memiliki
perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, tetap
dapat saling menyerahkan orang yang diminta
secara timbal balik
ASAS-ASAS DALAM EKSTRADISI
• Double criminality atau kejahatan ganda
• Speciality atau kekhususan
• Tidak menyerahkan pelaku kejahatan
politik
• Tidak menyerahkan warga negara sendiri
• Non bis in idem
• Kadaluarsa
DOUBLE CRIMINALITY
• Suatu tindakan mungkin merupakan
kejahatan/pelanggaran menurut sistem hukum negara
tertentu
– Orang yang memiliki disorientasi seksual (gay/lesbian) dianggap
pelanggaran hukum serius di Arab Saudi
• Tetapi menurut negara lain, tindakan tersebut bukan
merupakan pelanggaran
– Negara-negara barat menghargai orang-orang yang memiliki
disorientasi seksual (gay/lesbian)
• Perbedaan penilaian dalam hal ini, akan mempengaruhi
proses atau tindakan hukum
– Karikatur Nabi Muhammad yang dilakukan oleh seniman
Denmark, yang mana menurut Iran itu adalah pelecehan agama
Islam, tetapi di Denmark itu adalah kebebasan berekspresi.
Wajibkah Denmark mengekstradisi seniman tersebut yang
memandang perbuatannya bukan merupakan pelecehan agama
Islam, tetapi kebebasan ekspresi, kepada Iran yang memandang
itu sebagai pelecehan terhadap agama Islam?
• Syarat ekstradisi adalah kejahatan/pelanggaran
yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan
atas diri pelaku oleh requesting state adalah
tindakan yang menurut requested state
merupakan juga kejahatan/pelanggaran
• Requesting dan requested states sama-sama
memandang bahwa perbuatan yang dilakukan
adalah kejahatan/pelanggaran menurut sistem
hukum yang berlaku di kedua negara tersebut
• Untuk double criminality, tidak harus namanya
sama, bahkan elemen atau unsur pidananya
juga tidak harus sama
– Kasus pemalsuan uang, tanpa harus memiliki unsur-
unsur yang sama, tindakan memalsukan uang
merupakan pelanggaran hukum di Indonesia dan
Filipina
KASUS COLLINS v. LOISEL 1922
• Pengadilan Amerika Serikat menyatakan
secara tegas bahwa hukum tidak
mengharuskan kesamaan dalam hal nama
dari kejahatan yang diatur dalam hukum
nasional di negara-negara atau ruang
lingkupnya...sudah cukup jika suatu
perbuatan tertentu yang dituduhkan itu
merupakan kejahatan/pelanggaran
menurut sistem hukum kedua negara
SISTEM HUKUM NEGARA-NEGARA
• Ada beberapa sistem hukum yang dikenal di
dunia, yaitu:
– Common law system
– Civil law system
– Syariah law system
• Pemahaman terhadap suatu
kejahatan/pelanggaran sangat dipengaruhi
tradisi dan sistem hukum yang dianut oleh
negara-negara
– Indonesia  anti PKI
– Belanda  anti NAZI
– Iran  tidak puasa atau sholat merupakan
pelanggaran hukum
ASAS DOUBLE CRIMINALITY DALAM
PERJANJIAN EKSTRADISI
• Kejahatan/pelanggaran yang menjadi dasar
permintaan atau penyerahan seseorang harus
ditulis secara jelas dan tegas pada perjanjian
ekstradisi
• Hanya kejahatan yang tertulis secara jelas dan
tegas yang dapat dijadikan alasan untuk
mengajukan ekstradisi
• Apakah ada kejahatan/pelanggaran yang masuk
kategori double criminality tetapi tetap tidak
dapat diekstradisi?
– Ada, hal ini disebabkan kriteria
kejahatan/pelanggaran tersebut tidak dimasukkan ke
dalam perjanjian ekstradisi
SISTEM DALAM MENENTUKAN JENIS
KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN
• Sistem tanpa daftar atau eliminative
system
• Sistem daftar atau list system atau
enumerative system
SISTEM TANPA DAFTAR ATAU
ELIMINATIVE SYSTEM
• Sistem ini mengatur bahwa jenis
kejahatan/pelanggaran yang dapat dimintakan
ekstradisi adalah kejahatan/pelanggaran yang
ancaman pidananya dalam batas minimum
tertentu atau lebih dari batas minimum tersebut,
menurut sistem hukum kedua negara
– Perjanjian ekstradisi Italia – Panama 1930  batas
ancaman sanksi pidananya 2 tahun
– Perjanjian ekstradisi Afrika Selatan – Rhodesia
(Zimbabwe) 1962  batas ancaman sanksi pidana 6
bulan
• Keuntungan sistem ini adalah lebih fleksibel karena
hanya melihat ancaman sanksi pidana dari
kejahatan/pelanggaran yang dilakukan
• Sistem ini juga lebih mudah mengikuti perkembangan
yang terjadi di negara-negara, sehingga jenis
kejahatan/pelanggaran baru dapat secara langsung
dimintakan ekstradisi asalkan batas ancaman hukuman
pidananya memenuhi syarat
• Kelemahannya adalah hanya terlalu luas dalam konteks
jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan
• Ada kemungkinan tiap-tiap negara memiliki penilaian
yang berbeda terhadap suatu kejahatan/pelanggaran,
sehingga meskipun ada kejahatan/pelanggaran yang
dilakukan yang diakui di kedua negara tetapi karena
penilaiannya berbeda maka ancaman hukumannya pun
berbeda sehingga menyebabkan tidak dapatnya
dilakukan ekstradisi
• Sistem tanpa daftar ini lebih pas diterapkan
pada negara-negara yang memiliki tradisi
hukum atau sistem hukum dan ideologi yang
sama, semisal: Uni Eropa, komunis,
syariah/islam (kasus ulama Saudi yang lari ke
Malaysia, akhirnya diekstradisi oleh Malaysia
• Penentuan batas minimum ancaman pidana
hanya dapat diukur untuk
kejahatan/pelanggaran yang dihukum penjara
atau denda, untuk hukuman cambuk, potong
tangan, atau siksaan fisik lainnya akan menjadi
sulit ditentukan
SISTEM DAFTAR ATAU LIST SYSTEM
ATAU ENUMERATIVE SYSTEM
• Dalam sistem ini, penentuan dapat atau
tidaknya suatu kejahatan/pelanggaran
diekstradisikan ditentukan dalam satu pasal atau
lampiran dalam perjanjian ekstradisi
• Kejahatan/pelanggaran yang tidak masuk dalam
daftar berarti kejahatan/pelanggaran tersebut
tidak dapat diekstradisikan
– Indonesia – Australia 1994 ada 33 jenis kejahatan
yang dapat diekstradisikan diatur dalam Pasal 2 UU
Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi
antara Indonesia dan Australia
• Keunggulan sistem daftar ini mungkin adalah
memberikan kepastian hukum kepada para
pihak, baik yang meminta dan yang diminta
• Namun, kekurangannya adalah kaku, apalagi
jika muncul jenis kejahatan baru yang tidak
tercantum dalam daftar kejahatan tersebut,
seperti kejahatan/pelanggaran yang
menggunakan kecanggihan teknologi, yang
mana kejahatan/pelanggaran seperti itu belum
dimasukkan ke dalam peraturan perunadang-
undangan di kedua negara atau hanya salah
satu negara
SISTEM LAIN SELAIN KEDUA
SISTEM TERSEBUT
• Sistem tanpa penentuan batas ancaman pidana
minimum
– Kejahatan yang dapat dimintakan ekstradisi atau
menjadi dasar dimintakan ekstradisi adalah kejahatan
apa saja yang mana di kedua negara tersebut
tindakan yang dilakukan adalah merupakan tindak
pidana/pelanggaran
• Sistem kombinasi
– Dalam sistem ini ada kombinasi, disamping diperinci
secara tegas dan jelas dalam perjanjian ekstradisi,
juga batas minimum ancaman pidananya, untuk
dijadikan dasar permintaan ekstradisi
SISTEM KOMBINASI PADA
INDONESIA – FILIPINA 1976
• Dalam pasal II A ditegaskan bahwa: “orang-
orang yang diserahkan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan perjanjian ini adalah
mereka yang didakwa, dituntut, atau dihukum
karena melakukan salah satu
kejahatan/pelanggaran yang tersebut di bawah
ini, dengan ketentuan bahwa
kejahatan/pelanggaran tersebut menurut hukum
kedua pihak dapat dihukum dengan hukuman
mati atau perampasan kemerdekaan dengan
jangka waktu di atas 1 tahun...”
CONTOH KASUS
• Pencurian yang diatur dalam KUHP Pasal 362 s.d 367,
di mana Pasal 364 tentang pencurian ringan diancam
hukuman kurungan paling lama (maksimal) 3 bulan dan
denda sebanyak-banyaknya Rp.300,-,
• Seseorang melakukan pencurian ringan di Filipina
kemudian lari ke Indonesia, selanjutnya Filipina
mengajukan permintaan ekstradisi kepada Indonesia,
maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
– Double criminality?  iya
– Pencurian, termasuk kategori pencurian yang mana? Jika
kategorinya masuk pada pasal 362 tentang pencurian biasa
(maksimal 5 tahun), pasal 363 tentang curat (maksimal 7 tahun),
pasal 365 tentang curas (maksimal 9 tahun), maka permintaan
ekstradisi bisa terpenuhi karena di atas 1 tahun
– Jika masuk kategori pasal 364 tentang pencurian ringan, maka
permintaan ekstradisi tidak dapat dipenuhi karena kurang dari 1
tahun
BERPARTISIPASI DALAM
KEJAHATAN/PELANGGARAN
• Dalam kejahatan/pelanggaran selalu ada pelaku
(perpetrator) dan pembantu pelaku (co-perpetrator),
apakah perjanjian ekstradisi hanya meminta pelaku
ataukah juga pembantu pelaku?
• Perjanjian ekstradisi Inggris – AS 1931, Pasal 3 bagian 2
menyatakan: “extradition is also to be granted for
participation in any of the aforesaid crimes of offences,
provided that such participation be punishable by the
laws of both High Contracting Parties.”
• Demikian pula, perjanjian ekstradisi Indonesia –
Malaysia 1974, Pasal 2 Ayat 2 menyatakan: “crimes
provided for in paragraph 1 of this Article including
abetment (perbantuan) and attempt to commit such
crimes.”
• Perjanjian ekstradisi Indonesia – Filipina 1974,
Pasal II B menegaskan: “extradition shall also be
granted for participation in any of the crimes
mentioned in this Article, not only as principals
(pelaku utama) or accomplices (pelaku peserta),
but also as accessories (pelaku pembantu), as
well as for attempt to commit or conspiracy to
commit any of the aforementioned crimes, when
such participation, attempt or conspiracy is
punishable under the laws of both Contracting
Parties by deprivation of liberty exceeding one
year.”
ASAS SPECIALITY ATAU
KEKHUSUSAN
• Tahap pertama dari ekstradisi, yaitu double criminality
telah terpenuhi, maka selanjutnya adalah asas speciality
atau kekhususan
• Bagaimana jika seseorang melakukan
kejahatan/pelanggaran lebih dari satu jenis, seperti
pembunuhan, penipuan, pemalsuan mata uang,
pencurian dengan kekerasan dan sebagainya? Apakah
negara peminta dapat mengajukan ekstradisi untuk
semua jenis kejahatan/pelanggaran yang dilakukan?
• Ada 2 kemungkinan, yakni:
– Pertama, dikabulkan semua
– Kedua, dikabulkan hanya sebagian jenis kejahatan/pelanggaran
saja
APAKAH ASAS SPECIALITY INI
EFEKTIF?
• Jika negara peminta melanggar, pelaku protes,
negara yang diminta juga protes, apakah asas
speciality memiliki kekuatan hukum untuk
memaksa?
– Tampaknya tidak, dan ini merupakan kelemahan dari
asas ini, oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dari
negara yang diminta sebelum menyerahkan
seseorang kepada negara peminta demi
menghormati hak asasi dari pelaku pidana tersebut
– Ternyata asas kekhususan ini juga boleh disimpangi,
artinya negara peminta boleh mengadili atau
menghukum orang yang diminta atas kejahatan lain
selain kejahatan yang diminta
ASAS SPECIALITY DAPAT
DIKESAMPINGKAN
• Dalam hal:
– Jika negara yang diminta menyetujui maksud negara peminta
untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan/pelanggaran.
Namun demikian, persetujuan tersebut hanya untuk jenis
kejahatan/pelanggaran yang dimintakan ekstradisi, jika
keinginan mengadili dan menghukum untuk jenis
kejahatan/pelanggaran lain yang tidak ada dalam perjanjian
ekstradisi, negara yang diminta wajib menolak atau menyatakan
keberatan
– Apabila pelaku kejahatan sendiri yang menyatakan
pesetujuannya untuk diadili dan dihukum atas kejahatan lain
selain jenis kejahatan yang menjadi dasar ekstradisi
– Negara peminta dapat mengadili dan menghukum jenis
kejahatan lain selain yang diminta, jika orang tersebut tidak
segera meninggalkan wilayah negara peminta atau ia tidak
menggunakan kesempatan tersebut
PASAL IX B PERJANJIAN EKSTRADISI
INDONESIA – FILIPINA 1974
• Setelah menjalani hukuman di negara peminta, pelaku
diberi waktu untuk meninggalkan negara peminta dalam
batas waktu maksimal 45 hari terhitung sejak tanggal
pembebasan. Jika dalam waktu 45 hari ia tidak
meninggalkan negara peminta, maka ia dapat dihukum
untuk jenis kejahatan selain yang ada pada perjanjian
ekstradisi.
• Jika orang tersebut meninggalkan negara peminta dan
kemudian ia kembali lagi secara sukarela sebelum atau
setelah 45 hari, negara di mana ia berada dapat
mengadili kejahatan yang ia lakukan selain dari jenis
kejahatan yang dapat diekstradisikan
ASAS TIDAK MENYERAHKAN
PELAKU KEJAHATAN POLITIK
• Kasus Haya de la Torre
• Kejahatan politik diatur tersendiri dalam
perjanjian ekstradisi dan dikecualikan dari jenis-
jenis kejahatan yang dapat dijadikan dasar
untuk melakukan ekstradisi
– Kasus 42 warga Papua di Australia
– Kasus warga Timtim di Kedubes AS
– Kasus PRD (Partai Rakyat Demokratik)
– Lihat: Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol New York
1967 tentang Status Pengungsi
ASAS TIDAK MENYERAHKAN
WARGANEGARA SENDIRI
• Negara diberi kekuasaan untuk tidak menyerahkan
warganegaranya sendiri yang dituduh melakukan
kejahatan/pelanggaran di negara lain
• Biasanya klausula ini dicantumkan dalam perjanjian
ekstradisi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UU
Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi
antara Indonesia dan Australia
• Negara-negara yang melarang penyerahan
warganegaranya sendiri kepada negara lain selain
Indonesia, yaitu: Perancis, Jerman, Rusia, Austria,
China, Taiwan dan Jepang
ASAS NE BIS IN IDEM
(DOUBLE JEOPARDY)
• Dalam hukum pidana asas ini sangat dikenal di
mana seseorang tidak dapat diadili dan dihukum
lebih dari satu kali untuk kejahatan yang sama
• Asas ini berusaha untuk menjamin hak asasi
dari pelaku kejahatan/pelanggara agar tidak
dihukum dua kali untuk kejahatan yang sama
• Dalam setiap perjanjian ekstradisi, asas ini
selalu dicantumkan, sebagaimana dalam Pasal
6 UU Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian
Ekstradisi antara Indonesia dan Australia
ASAS KADALUARSA
• Kadaluarsa dikenal juga dengan lewat waktu
(lapse of time) dengan tujuan untuk memberikan
kepastian hukum bagi semua pihak
• Ketentuan kadaluarsa suatu
kejahatan/pelanggaran di tiap-tiap negara
berbeda-beda
• Asas ini selalu dicantumkan dalam perjanjian
ekstradisi, seperti dalam UU Nomor 8 Tahun
1994 tentang Perjanjian Ekstradisi antara
Indonesia dan Australia, pada Pasal 9 Ayat 1(a)
terkait dengan pengecualian atas ekstradisi
HAL-HAL LAIN YANG MENGHALANGI
PROSES EKSTRADISI
• Kemungkinan menghadapi bentuk-bentuk hukuman
tertentu, seperti hukuman mati atau hukuman badan
yang sifatnya menyiksa
• Untuk hukuman mati, negara-negara seperti Australia,
Kanada, Makau dan hampir semua negara di Eropa
akan menolak untuk mengabulkan permintaan ekstradisi
• Untuk hukuman badan yang sifatnya menyiksa, hampir
semua negara akan menolak permintaan ekstradisi jika
risiko yang dihadapi pelaku kejahatan/pelanggaran
adalah hukuman yang bersifat menyiksa
– Kasus Soering v. UK, Pengadilan HAM Eropa memutus bahwa
Inggris akan melanggar Pasal 3 Konvensi Eropa tentang HAM
jika mengekstradisi Soering ke Amerika Serikat jika hukuman
yang dihadapi adalah hukuman mati
KEJAHATAN POLITIK
• Konsep awal adalah aut dedere aut punire (either you
extradite or you punish) karena pelaku
kejahatan/pelanggaran wajib dihukum untuk
menghindari kesan adanya impunity
• 1815, Sir James Mackintosh mencetuskan ide bahwa
tidak benar suatu negara menyerahkan pelaku kejahatan
politik kepada negara yang meminta, seharusnyalah
negara tersebut memberikan suaka politik
• Perancis dan Belgia menjadi negara pelopor untuk tidak
menyerahkan pelaku kejahatan/pelanggaran politik
kepada negara peminta, dan hal tersebut dicantumkan
dalam setiap perjanjian ekstradisi
• Yang dimaksud dengan kejahatan politik
pada saat itu adalah menentang
pemerintah yang sah atau yang sedang
berkuasa
• Pertimbangan untuk tidak memberikan
pelaku kejahatan politik adalah
perlindungan HAM untuk seseorang atau
kelompok yang memiliki pandangan politik
berbeda
PRAKTIK NEGARA-NEGARA TERKAIT
DENGAN KEJAHATAN POLITIK
• INGGRIS
– J.S. Mill mendefinisikan kejahatan politik sebagai ‘a crime which
was conducted with the relation on the civil war and other
political commotion’
– Hakim Stephen menjelaskan bahwa ‘kejahatan politik dilakukan
dalam hubungannya dengan atau sebagai bagian dari huru hara
politik’
– Kasus Castioni 1891 antara Inggris dan Swiss, di mana Inggris
menolak untuk menyerahkan Castioni ke Swiss
– Kasus Meunir, Hakim Cave mendefinisikan bahwa ‘suatu
kejahatan dianggap sebagai kejahatan politik apabila dalam
suatu negara terdapat dua pihak atau lebih di mana pihak yang
satu berusaha memaksakan kehendaknya kepada pihak lain,
seperti pemberontak
– Akhirnya Inggris menyerahkan Meunir kepada Perancis karena
kejahatan yang dilakukan oleh Meunir bukan kejahatan politik,
karena ia melakukan seorang diri
– Kasus Polish Seaman, 1955, di mana 7 orang pelaut
memaksa kapten kapal untuk berlayar ke Inggris untuk
mencari suaka karena mereka tidak suka dengan
pemerintah Polandia yang baru
– Polandia meminta ekstradisi kepada Inggris karena 7
orang pelaut tersebut dianggap telah melakukan
pembajakan kapal
– Jika mengikuti kasus Meunir, Inggris wajib menyerahkan
mereka, karena tidak ada dua pihak yang saling
memaksakan kehendaknya, namun pengadilan Inggris
tampaknya telah memiliki prasangka yang buruk
terhadap Polandia, sehingga interpretasi kejahatan politik
diperluas dengan menghubungkan situasi dan kondisi
politik di suatu negara atau politik dunia, dan Polandia
berada di blok Timur, sedangkan Inggris di blok Barat.
– Akhirnya, pengadilan memutuskan untuk menolak
permintaan ekstradisi Polandia atas 7 pelautnya karena
ke 7 orang tersebut dianggap sebagai kelompok politik
yang sedang memberontak pada kelompok politik lain
• AMERIKA SERIKAT
– Rumusan kejahatan politik di AS kurang lebih sama
dengan yang ada di Inggris.
– Dalam sejarah ekstradisi AS, Pemerintah AS pernah
menolak permintaan Kuba untuk mengekstradisi
anggota revolusioner Kuba yang dituduh melakukan
pembunuhan pada masa rejim Baptista
– Pemerintah AS juga menolak permintaan Yugoslavia
untuk mengekstradisi dua bekas pejabatnya yang
mencari perlindungan ke AS
– 1963, Pemerintah AS mengabulkan permintaan
Venezuela untuk mengekstradisi Jimenez, mantan
Presiden Venezuela yang digulingkan dengan dasar
bahwa Jimenez melakukan korupsi
– Dalam proses ekstradisi, AS meminta jaminan
kepada pemerintah baru Venezuela untuk diadili atas
kasus-kasus korupsi saja, bukan kejahatan politik
• Kasus Syah Iran yang meminta perlindungan kepada AS
setelah digulingkan oleh revolusioner Iran pimpinan
Ayatulah Khomeini, pemerintah baru Iran tidak
mengajukan ekstradisi kepada AS karena situasi kedua
negara pada saat itu sangat tegang setelah
penyerangan kantor Kedubes AS di Teheran, Iran
• Namun, ketika Syah Iran meninggalkan AS dan menetap
di Panama, Iran mengajukan permohonan ekstradisi,
namun sehari sebelum permintaan ekstradisi diajukan,
Syah Iran meninggalkan Panama dan menetap di Mesir
sampai meninggal pada tahun 1980
• Sebenarnya, ada hal yang bisa dilakukan oleh Iran agar
Syah Iran tidak meninggalkan Panama, yaitu dengan
meminta penahanan sementara sampai permohonan
ekstradisi disampaikan, namun hal itu tidak dilakukan.
Selain itu, permohonan penahanan sementara itupun
belum tentu dikabulkan oleh Panama
• Eropa Kontinental
– Dewan Eropa membuat konvensi tentang ekstradisi
pada tahun 1957
– Pasal 3 ayat 1 mengatur “extradition shall not be
granted if the oofence in respect of which it is
requested is regarded by the requested party as a
political offence or as an offence connected with a
political offence”
– Pasal 3 ayat 2 mengatur “the same rule shall apply if
the requested party has substantial grounds for
believing that a request for extradition for an
aordinary criminal offence has been made for the
purpose of prosecuting or punishing a person on
account of his race, religion, nationality or political
opinion, or that person’s position may be prejudiced
for any of these reasons”
– Dari pasal tersebut, dapat diklasifikasikan jenis
kejahatan/pelanggarannya, yaitu: kejahatan politik
murni, kejahatan politik yang kompleks dan kejahatan
politik bertautan
– Kejahatan politik murni adalah kejahatan yang
semata-mata ditujukan pada ketertiban politik suatu
negara  pembajakan pesawat
– Kejahatan politik kompleks adalah kejahatan yang
ditujukan untuk ketertiban politik, juga ditujukan pada
hak-hak warganegara
– Kejahatan politik bertautan adalah kejahatan yang
tidak ditujukan pada ketertiban politik, tetapi memiliki
hubungan erat dengan suatu tindakan yang ditujukan
pada ketertiban politik  penipuan untuk
mendapatkan dokumen/surat yang selanjutnya
digunakan untuk kegiatan subversif
– Pengadilan Swiss menggunakan teori preponderance
untuk menganalisis kejahatan politik bertautan ini
dengan mempertimbangkan kadar dari
kejahatan/pelanggaran politik yang menjadi dasar
ekstradisi  jika pengadilan menilai unsur kejahatan
biasa lebih dominan daripada kejahatan politik atau
sebaliknya, maka itu digunakan dasar untuk
mengabulkan atau menolak ekstradisi  secara teori
ini mudah dibicarakan, namun dalam praktik tetap sulit
karena pengadilan juga akan melihat negara yang
meminta penyerahan tersebut  Kasus Tan Tjong Hoa
antara Indonesia dengan Austria, 1968, TTH adalah
WNI yang melarikan diri ke Austria karena kasus
penggelapan, Indonesia mengajukan ekstradisi
berdasarkan asas timbal balik karena belum memiliki
perjanjian ekstradisi. Meskipun awalnya menyetujui
tetapi akhirnya Austria menolak dengan alasan bahwa
TTH adalah pejahat politik karena dikaitkan dengan
ras, dan menurut Austria, di Indonesia ada diskriminasi
sosial
KLAUSULA ATTENTAT
• Ada satu jenis kejahatan yang secara jelas adalah
kejahatan politik tetapi tidak dianggap sebagai kejahatan
politik, dengan kata lain, sifat politiknya dihapus, yaitu
kejahatan menghilangkan atau percobaan menghilangkan
nyawa kepala negara dan/atau anggota keluarganya
• Belgia adalah negara yang pertama kali mencantumkan
klausula ini dalam UU ekstradisi tahun 1856  Ini diawali
adanya percobaan pembunuhan kepada Kaisar Napoleon III
tahun 1854, oleh dua warganegara Perancis yang
bermukim di Belgia, dengan cara memasang bom di
lintasan rel antara Lille dan Calais. Bom meledak tetapi
tidak menewaskan Napoleon dan keluarganya. Perancis
meminta ekstradisi tetapi karena ini adalah kejahatan politik
maka Belgia menolak karena dilarang oleh UU ekstradisi
Belgia dan perjanjian ekstradisi antaran Belgia dan
Perancis. Agar hal tersebut tidak terulang lagi, kemudian
Belgia merevisi UU ekstradisinya, dengan memasukkan
klausula Attentat tersebut
KEJAHATAN YANG DIANCAM
HUKUMAN MATI
• Ancaman hukuman dalam ekstradisi
– Permasalahan yang mungkin timbul dalam ekstradisi
terkait dengan ancaman hukuman adalah di negara
peminta, tindakan pelaku diancam hukuman mati,
sedang di negara yang diminta, ancaman hukuman
bukan hukuman mati
– Di beberapa negara hukuman mati telah dilarang
karena dianggap tidak menghargai hak asasi
manusia, seperti Inggris, Belanda, Swedia, Portugal,
Jerman Barat dan lainnya
– Jika negara peminta masih menerapkan hukuman
mati, sedangkan negara yang diminta telah
menghapus hukuman mati, maka kemungkinan besar
permintaan ekstradisi akan ditolak.
PENGATURAN KEJAHATAN YANG DIANCAM
HUKUMAN MATI DALAM PERJANJIAN
EKSTRADISI
• Pengaturan seperti ini juga diatur dalam
perjanjian ekstradisi, namu berbeda satu
perjanjian dengan yang lain. Perbedaan tersebut
biasanya terletak pada penekanan kata/kalimat
– Ada penekanan pada negara yang diminta untuk
menolak ekstradisi jika diancam dengan hukuman
mati
– Ada penekanan pada negara peminta untuk tidak
menjatuhkan hukum mati kepada pelaku jika
ekstradisi dikabulkan
PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA
AUSTRIA DAN ISRAEL 1961
• Pasal 9 ayat 1 mengatur bahwa “if the
offence for which extradition os granted is
punishable by death under the laws of the
requesting state, but it is not punishable by
death under the laws of the requested
state, the requesting state shall not
pronounce of execute the death
sentence.”
PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA
INDONESIA DAN FILIPINA 1976
• Pasal X mengatur bahwa “if the crime for which
extradition is requested is punishable by death
under the law of the requesting party, and if in
respect of such crime the death penalty is not
provided for by the law of the requested party or
is not normally carried out, extradition may be
refused unless the requesting party gives such
assurance as the requested party consider
sufficient that the death penalty no be carried
out.”
KEWARGANEGARAAN PELAKU
KEJAHATAN DALAM EKSTRADISI
• 5 Kemungkinan:
– Orang yang diminta adalah warganegara dari negara
peminta;
– Orang yang diminta adalah bukan warganegara dari
negara peminta;
– Orang yang diminta memiliki dwi kewarganegaraan
– Orang yang diminta tidak memiliki kewarganegaraan
– Orang yang diminta adalah warganegara dari negara
ketiga
• Pada umumnya, setiap perjanjian ekstradisi
akan memuat ketentuan yang mengatur tentang
penyerahan warganegara
KASUS NEDECKER 1936
• AS menolak permintaan ekstradisi dari
Perancis setelah mengetahui bahwa
Nedecker adalah warganegara AS. Oleh
Supreme Court AS, penolakan tersebut
didasarkan pada perjanjian ekstradisi
antara AS dengan Perancis pada 6 januari
1909, di mana kedua negara tidak wajib
menyerahkan warganegaranya
APA YANG DIMAKSUD DENGAN
KEWARGANEGARAAN?
• Ada dua hal penting yang muncul di sini, yaitu:
– Kewarganegaraan pada saat melakukan kejahatan,
ataukah
– Kewarganegaraan pada saat diterimanya permintaan
ekstradisi dari negara peminta
• Pertanyaan di atas menjadi penting karena ada
kemungkinan selama berada di negara yang
diminta, pelaku kejahatan mengganti
kewarganegaraan untuk kepentingan pribadi
• Jika penentuan kewarganegaraan pada
saat kejahatan dilakukan dan pelaku
adalah warganegara dari negara ketiga,
maka ia tidak menarik keuntungan apapun
jika ia merubah kewarganegaraannya
• Jika penentuan kewarganegaraannya
pada saat permintaan ekstradisi, maka
pelaku dapat mengambil keuntungan
dengan menyatakan bahwa negara yang
diminta tidak dapat mengekstradisi
warganegaranya sendiri
TIDAK MENYERAHKAN WARGANEGARANYA:
LARANGAN MUTLAK ATAU KEBIJAKSANAAN
• Diskusikan dengan teman saudara!
DWI KEWARGANEGARAAN
BAGAIMANA KETENTUAN
DAN PROSEDUR
EKSTRADISI DI INDONESIA?
DASAR HUKUM
• UU NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG
EKSTRADISI
• Pasal 1:
– Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara
kepada negara yang meminta penyerahan seseorang
yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu
kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan
dan di dalam jurisdiksi wilayah negara yang meminta
penyerahan tersebut karena berwenang untuk
mengadili dan memidananya.
UNSUR-UNSUR DALAM
EKSTRADISI
• UNSUR SUBYEKTIF  Negara yang meminta
dan negara yang diminta
• UNSUR OBYEKTIF  Pelaku perbuatan pidana
yang dapat dimintai ekstradisi (tersangka,
terdakwa atau terpidana)
• UNSUR PROSEDUR ATAU TATA CARA 
Tata cara dalam hal pelaksanaan proses
ekstradisi
• UNSUR TUJUAN  Menghukum pelaku
perbuatan pidana
PRINSIP-PRINSIP UMUM
EKSTRADISI DI INDONESIA
• Pasal 2:
– Berdasarkan perjanjian internasional, yang mana
Indonesia dan negara yang meminta menjadi negara
pihak
• UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Substances, 1988, diratifikasi oleh Pemri
melalui UU Nomor 7 Tahun 1997
• UN Convention against TOC, 2000, diratifikasi oleh Pemri
melalui UU Nomor 5 Tahun 2009
• UNCAC, 2003, diratifikasi oleh Pemri melalui UU Nomor 7
Tahun 2006
– Tanpa perjanjian internasional  dilakukan atas
dasar hubungan baik berdasarkan prinsip timbal balik
INDONESIA MENGGUNAKAN
SISTEM DAFTAR
• Pasal 4:
1. Ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan
yang tersebut dalam daftar kejahatan
terlampir sebagai suatu naskah yang tidak
terpisahkan dari UU ini.
2. Ekstradisi dapat juga dilakukan atas
kebijaksanaan dari negara yang diminta
terhadap kejahatan lain yang tidak disebut
dalam daftar kejahatan
3. ...
• Pasal 5  Kejahatan Politik
• Pasal 10  Telah diputus oleh pengadilan di Indonesia
dan memiliki kekuatan hukum tetap
• Pasal 11  Telah diadili dan dibebaskan atau telah
selesai menjalani pidananya di negara lain mengenai
kejahatan yang dimintakan ekstradisi
• Pasal 12  Kadaluarsa (lihat: KUHAP)
• Pasal 14  Ada keyakinan bahwa orang yang
dimintakan ekstradisi akan dipersekusi berdasarkan
SARA
• Pasal 16  Orang yang dimintakan ekstradisi akan
diserahkan kepada negara ketiga
PENOLAKAN PERMINTAAN
EKSTRADISI (WAJIB)
PENOLAKAN PERMINTAAN
EKSTRADISI (DISKRESI)
• Pasal 6  Kejahatan menurut pidana militer tetapi
bukan kejahatan menurut pidana umum
• Pasal 7  Warganegara Indonesia
• Pasal 8  Locus delicti-nya seluruh atau sebagian
berada di wilayah NKRI
• Pasal 9  Orang yang diminta sedang diproses hukum
di Indonesia untuk kejahatan yang sama
• Pasal 13  Kejahatan yang dilakukan diancam
hukuman mati
• Pasal 15  Orang yang diminta sedang ditahan dan
akan dituntut dan dipidana atas kejahatan lain di
Indonesia, kecuali ada ijin Presiden
SYARAT-SYARAT PENAHANAN
(ARREST WARRANT)
• Negara peminta harus mengeluarkan
surat perintah penangkapan sesuai
dengan identitas orang yang akan
dimintakan ekstradisi, termasuk perbuatan
pidana yang telah dilakukan dan peraturan
hukum yang dilanggar oleh orang yang
bersangkutan, kemudian diserahkan
kepada Pemerintah Indonesia, c.q. Kapolri
dan Jaksa Agung
PEMERIKSAAN DI PENGADILAN
• Pemeriksaan di pengadilan penting untuk
menjamin due process of law dan hak-hak dari
orang yang dimintakan ekstradisi
• Pengadilan akan melakukan cross-examination
terhadap pelaku, perbuatan pidana yang
dilakukan dan substansi dalam perjanjian
ekstradisi yang dibuat oleh Pemri
• Pengadilan selanjutnya menetapkan apakah
orang yang bersangkutan dapat diekstradisi
atau tidak.
KEPUTUSAN PERMINTAAN
EKSTRADISI
• Pasal 36:
– Penetapan pengadilan akan disampaikan
kepada Presiden oleh Menkumham dilampiri
dengan pertimbangan-pertimbangan dari
Menkumham, Menlu, Jaksa Agung dan
Kapolri
– Presiden dapat memutuskan apakah orang
yang bersangkutan dapat atau tidak
diekstradisi

More Related Content

What's hot

Presentasi kelompok 1 hukum internasional
Presentasi kelompok 1 hukum internasionalPresentasi kelompok 1 hukum internasional
Presentasi kelompok 1 hukum internasionalFranky L. Tobing
 
Makalah state responsibility
Makalah state responsibilityMakalah state responsibility
Makalah state responsibilityMuhammad Rahman
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasional
rradityaaa
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalMeita Purnamasari
 
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasionalEkstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Dimebag Darrell
 
Pengantar Hukum Internasional - Pandangan Tentang Hukum Internasional
Pengantar Hukum Internasional - Pandangan Tentang Hukum InternasionalPengantar Hukum Internasional - Pandangan Tentang Hukum Internasional
Pengantar Hukum Internasional - Pandangan Tentang Hukum Internasional
Mariske Myeke Tampi
 
Pkn sistem hukum internasional
Pkn   sistem hukum internasionalPkn   sistem hukum internasional
Pkn sistem hukum internasionalSharas Charlotha
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasional
University of Mataram
 
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum InternasionalPKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum InternasionalYudistira Ydstr
 
Bisnis internasional, 9, siti holipah, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm,...
Bisnis internasional, 9, siti holipah, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm,...Bisnis internasional, 9, siti holipah, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm,...
Bisnis internasional, 9, siti holipah, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm,...
sitiholipah2
 
Memahami kedaulatan
Memahami kedaulatanMemahami kedaulatan
Memahami kedaulatan
Anggun 'Anggun'
 
Ppt tugas 4 softskill
Ppt tugas 4 softskillPpt tugas 4 softskill
Ppt tugas 4 softskill
Tharra Thea
 
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
Mirza Afrizal
 
Bab v sistem hukum & peradilan internasional
Bab v sistem hukum & peradilan internasionalBab v sistem hukum & peradilan internasional
Bab v sistem hukum & peradilan internasional
Annisa Khoerunnisya
 
Hukum internasional
Hukum internasionalHukum internasional
Hukum internasional
Meita Purnamasari
 
Ppt pkn (peradilan Internasional)
Ppt pkn (peradilan Internasional)Ppt pkn (peradilan Internasional)
Ppt pkn (peradilan Internasional)
cavGa1
 
Hukum dan peradilan nasional
Hukum dan peradilan nasionalHukum dan peradilan nasional
Hukum dan peradilan nasional
Nyak Nisa Ul Khairani
 
Sumber hukum
Sumber hukumSumber hukum
Sumber hukum
roellys
 

What's hot (18)

Presentasi kelompok 1 hukum internasional
Presentasi kelompok 1 hukum internasionalPresentasi kelompok 1 hukum internasional
Presentasi kelompok 1 hukum internasional
 
Makalah state responsibility
Makalah state responsibilityMakalah state responsibility
Makalah state responsibility
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasional
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasional
 
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasionalEkstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
Ekstradisi sebagai sebuah perjanjian internasional
 
Pengantar Hukum Internasional - Pandangan Tentang Hukum Internasional
Pengantar Hukum Internasional - Pandangan Tentang Hukum InternasionalPengantar Hukum Internasional - Pandangan Tentang Hukum Internasional
Pengantar Hukum Internasional - Pandangan Tentang Hukum Internasional
 
Pkn sistem hukum internasional
Pkn   sistem hukum internasionalPkn   sistem hukum internasional
Pkn sistem hukum internasional
 
Sistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasionalSistem hukum dan peradilan internasional
Sistem hukum dan peradilan internasional
 
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum InternasionalPKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
PKn Kelas 11 - Sistem Hukum Internasional
 
Bisnis internasional, 9, siti holipah, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm,...
Bisnis internasional, 9, siti holipah, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm,...Bisnis internasional, 9, siti holipah, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm,...
Bisnis internasional, 9, siti holipah, prof. dr. hapzi ali, ir, cma, mm, mpm,...
 
Memahami kedaulatan
Memahami kedaulatanMemahami kedaulatan
Memahami kedaulatan
 
Ppt tugas 4 softskill
Ppt tugas 4 softskillPpt tugas 4 softskill
Ppt tugas 4 softskill
 
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
Bab 5: Sistem Hukum dan Peradilan Internasional (SMA Negeri 2 Surabaya)
 
Bab v sistem hukum & peradilan internasional
Bab v sistem hukum & peradilan internasionalBab v sistem hukum & peradilan internasional
Bab v sistem hukum & peradilan internasional
 
Hukum internasional
Hukum internasionalHukum internasional
Hukum internasional
 
Ppt pkn (peradilan Internasional)
Ppt pkn (peradilan Internasional)Ppt pkn (peradilan Internasional)
Ppt pkn (peradilan Internasional)
 
Hukum dan peradilan nasional
Hukum dan peradilan nasionalHukum dan peradilan nasional
Hukum dan peradilan nasional
 
Sumber hukum
Sumber hukumSumber hukum
Sumber hukum
 

Similar to HUKUM_EKSTRADISI.ppt

Ali R-Hukum Kewarganegaraan Indonesia
Ali R-Hukum Kewarganegaraan IndonesiaAli R-Hukum Kewarganegaraan Indonesia
Ali R-Hukum Kewarganegaraan Indonesia
Universitas Trisakti
 
Hak dan kewajiban
Hak dan kewajibanHak dan kewajiban
Hak dan kewajiban
Pamulang University
 
2. Hak dan Kewajiban WN.pptx
2. Hak dan Kewajiban WN.pptx2. Hak dan Kewajiban WN.pptx
2. Hak dan Kewajiban WN.pptx
DarmapoeteraMaulana
 
Kewarganegaraan
Kewarganegaraan Kewarganegaraan
Kewarganegaraan
Darvin Try Ananda
 
Kejahatan money laundering
Kejahatan money launderingKejahatan money laundering
Kejahatan money laundering
yulisthg
 
Kelompok 6 hak dan kewajiban warganegara indonesia
Kelompok 6   hak dan kewajiban warganegara indonesiaKelompok 6   hak dan kewajiban warganegara indonesia
Kelompok 6 hak dan kewajiban warganegara indonesia
dayurikaperdana19
 
Hak dan kewajiban WNI
Hak dan kewajiban WNIHak dan kewajiban WNI
Hak dan kewajiban WNI
Ibel007
 
materi kewarganegaraan pada mata kuliah kewarganegaraan.pptx
materi kewarganegaraan  pada mata kuliah kewarganegaraan.pptxmateri kewarganegaraan  pada mata kuliah kewarganegaraan.pptx
materi kewarganegaraan pada mata kuliah kewarganegaraan.pptx
aferianda2020
 
Ilmu sosial dasar
Ilmu sosial dasarIlmu sosial dasar
Ilmu sosial dasar
Yudi Rachmad
 
Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt
Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt
Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt
Manchester United
 
Diklat Hukum Perdata (1).pptx
Diklat Hukum Perdata (1).pptxDiklat Hukum Perdata (1).pptx
Diklat Hukum Perdata (1).pptx
haenryjati1
 
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Hak dan Kewajiban Warga NegaraHak dan Kewajiban Warga Negara
Hak dan Kewajiban Warga Negara
dwipuspasar1
 
kedudukan warga negara dan kependudukan indonesia
kedudukan warga negara dan kependudukan indonesiakedudukan warga negara dan kependudukan indonesia
kedudukan warga negara dan kependudukan indonesia
Rakha Al
 
KUH acara Pidana uu no 8 thn 1981 hukum acara pidana
KUH acara Pidana uu no 8 thn 1981 hukum acara pidanaKUH acara Pidana uu no 8 thn 1981 hukum acara pidana
KUH acara Pidana uu no 8 thn 1981 hukum acara pidana
Bobby D'Arch
 
Hak dan kewajiban warga negara
Hak dan kewajiban warga negaraHak dan kewajiban warga negara
Hak dan kewajiban warga negaraKandhie Jaya
 
Copy of pkn Kelas X
Copy of pkn Kelas XCopy of pkn Kelas X
Copy of pkn Kelas X
Srestha Anindyanari
 
Tugas makalah ppkn
Tugas makalah ppknTugas makalah ppkn
Tugas makalah ppkn
GerbangIlmu
 
39 aulia alfia r
39 aulia alfia r39 aulia alfia r
39 aulia alfia rAulia Rohma
 
Hak dan kewajiban wni
Hak dan kewajiban wniHak dan kewajiban wni
Hak dan kewajiban wni
Meita Purnamasari
 

Similar to HUKUM_EKSTRADISI.ppt (20)

Ali R-Hukum Kewarganegaraan Indonesia
Ali R-Hukum Kewarganegaraan IndonesiaAli R-Hukum Kewarganegaraan Indonesia
Ali R-Hukum Kewarganegaraan Indonesia
 
Hak dan kewajiban
Hak dan kewajibanHak dan kewajiban
Hak dan kewajiban
 
Hak dan kewajiban Warga Negara
Hak dan kewajiban Warga NegaraHak dan kewajiban Warga Negara
Hak dan kewajiban Warga Negara
 
2. Hak dan Kewajiban WN.pptx
2. Hak dan Kewajiban WN.pptx2. Hak dan Kewajiban WN.pptx
2. Hak dan Kewajiban WN.pptx
 
Kewarganegaraan
Kewarganegaraan Kewarganegaraan
Kewarganegaraan
 
Kejahatan money laundering
Kejahatan money launderingKejahatan money laundering
Kejahatan money laundering
 
Kelompok 6 hak dan kewajiban warganegara indonesia
Kelompok 6   hak dan kewajiban warganegara indonesiaKelompok 6   hak dan kewajiban warganegara indonesia
Kelompok 6 hak dan kewajiban warganegara indonesia
 
Hak dan kewajiban WNI
Hak dan kewajiban WNIHak dan kewajiban WNI
Hak dan kewajiban WNI
 
materi kewarganegaraan pada mata kuliah kewarganegaraan.pptx
materi kewarganegaraan  pada mata kuliah kewarganegaraan.pptxmateri kewarganegaraan  pada mata kuliah kewarganegaraan.pptx
materi kewarganegaraan pada mata kuliah kewarganegaraan.pptx
 
Ilmu sosial dasar
Ilmu sosial dasarIlmu sosial dasar
Ilmu sosial dasar
 
Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt
Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt
Ilmu kewarganegaraanILMU KEWARGANEGARAAN.ppt
 
Diklat Hukum Perdata (1).pptx
Diklat Hukum Perdata (1).pptxDiklat Hukum Perdata (1).pptx
Diklat Hukum Perdata (1).pptx
 
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Hak dan Kewajiban Warga NegaraHak dan Kewajiban Warga Negara
Hak dan Kewajiban Warga Negara
 
kedudukan warga negara dan kependudukan indonesia
kedudukan warga negara dan kependudukan indonesiakedudukan warga negara dan kependudukan indonesia
kedudukan warga negara dan kependudukan indonesia
 
KUH acara Pidana uu no 8 thn 1981 hukum acara pidana
KUH acara Pidana uu no 8 thn 1981 hukum acara pidanaKUH acara Pidana uu no 8 thn 1981 hukum acara pidana
KUH acara Pidana uu no 8 thn 1981 hukum acara pidana
 
Hak dan kewajiban warga negara
Hak dan kewajiban warga negaraHak dan kewajiban warga negara
Hak dan kewajiban warga negara
 
Copy of pkn Kelas X
Copy of pkn Kelas XCopy of pkn Kelas X
Copy of pkn Kelas X
 
Tugas makalah ppkn
Tugas makalah ppknTugas makalah ppkn
Tugas makalah ppkn
 
39 aulia alfia r
39 aulia alfia r39 aulia alfia r
39 aulia alfia r
 
Hak dan kewajiban wni
Hak dan kewajiban wniHak dan kewajiban wni
Hak dan kewajiban wni
 

HUKUM_EKSTRADISI.ppt

  • 2. EKSTRADISI • Berasal dari kata “extradere” • “ex” memiliki arti keluar • “tradere” berarti memberikan atau menyerahkan • “extradio” (kb) bermakna penyerahan • Ekstradisi diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang dibuat sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik atas seseorang yang dituduh melakukan perbuatan pidana [tersangka, tertuduh, terdakwa], atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman [terhukum, terpidana]
  • 3. TUJUAN EKSTRADISI • Menghilangkan impunity • Mencegah dan memberantas kejahatan yang bersifat transnasional
  • 4. MENGAPA HARUS EKSTRADISI? • Negara-negara melakukan kerjasama internasional dalam bentuk ekstradisi dalam mencegah dan memberantas kejahatan • Mengapa harus ekstradisi? Mengapa tidak memperkuat keamanan wilayahnya terhadap orang-orang yang memasuki wilayah negaranya? – Tidak mengeluarkan visa – Pengusiran atau expulsion
  • 5. FREEDOM OF MOVEMENT • Hukum internasional menjamin kebebasan individu untuk pergi meninggalkan negaranya dan memasuki wilayah negara lain • Hal yang sulit diprediksi adalah mens rea atau guilty mind  apakah maksud dan tujuan dari seseorang itu memasuki wilayah negara lain? • Good faith ataukah bad faith  apakah ia datang untuk berkunjung ataukah untuk menghindari proses hukum di negara asalnya? • Kasus Zarima dan Nazaruddin
  • 6. EXPULSION • Bagi orang yang menghindari hukuman, tindakan pengusiran juga kurang efektif karena: – Yang bersangkutan akan mencari negara lain yang mau menerima – Tindakan tersebut tidak mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan – Kasus Joko Tjandra di Papua Nugini – Kasus Sudono Salim di Singapura – Kasus Hendra Rahardja di Australia
  • 7. DEFINISI EKSTRADISI • Oppenheim  extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed, or to have been convicted of, a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be • J.G. Starke  extradition is a process whereby under treaty or upon a basis of reciprocity on state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence committed against the law of the requesting state competent to try the alleged offender • Harvard Research Draft Convention on Extradition  extradition is the formal surrender of a person by a state to another state for prosecution of punishment
  • 8. UNSUR-UNSUR EKSTRADISI • Unsur subyektif – Negara atau negara-negara yang memiliki jurisdiksi (requesting state) – Negara tempat pelaku berada atau bersembunyi (requested state) • Unsur obyektif – Pelaku kejahatan (tersangka, terdakwa atau terhukum)  meski sebagai obyek, tetapi sebagai individu, hak asasi pelaku harus tetap dilindungi  kasus Haya de la Torre dan Suresh • Unsur prosedur – Adanya perjanjian bilateral atau regional antara requesting state dengan requested state • Unsur tujuan – Untuk tujuan apa orang yang bersangkutan diminta atau diserahkan
  • 9. JENIS-JENIS KEJAHATAN INTERNASIONAL • KEJAHATAN INTERNASIONAL MENURUT CUSTOMARY INTERNASIONAL LAW – GENOCIDA – PIRACY • KEJAHATAN INTERNASIONAL MENURUT TREATY – KONVENSI PALERMO 2000 DAN PROTOKOLNYA TENTANG KEJAHATAN TERORGANISIR TRANSNASIONAL
  • 10. KONVENSI PALERMO 2000 • Pasal 1: Tujuan – Mengadakan kerjasama untuk mencegah dan memberantas kejahatan terorganisir transnasional • PASAL 2: Definisi – Kelompok kejahatan terorganisir  kelompok yang terdiri dari 3 orang atau lebih yang eksis dalam beberapa periode waktu dengan tujuan melakukan kejahatan/pelanggaran serius yang bertentangan dengan Konvensi ini untuk mendapatkan keuntungan secara finansial atau lainnya secara langsung maupun tidak langsung – Kejahatan serius tindakan yang dianggap sebagai kejahatan/pelanggaran dengan ancaman hukuman kurungan minimal 4 tahun atau lebih
  • 11. • Pasal 3: Ruang lingkup – Dilakukan di lebih dari satu negara, atau – Dilakukan di satu negara tetapi persiapan, perencanaan, arahan atau kontrol dilakukan dari negara lain, atau – Dilakukan di satu negara tetapi memiliki hubungan dengan organisasi kejahatan di lebih dari satu negara, atau – Dilakukan di satu negara tetapi imbasnya ke negara lain
  • 12. PERLUASAN TEKNIK JURISDIKSI TERITORIAL • Jurisdiksi teritorial subyektif  jurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara atas tindakan kejahatan/pelanggaran yang dilakukan di wilayah teritorialnya (locus delicti) • Jurisdiksi teritorial obyektif  jurisdiksi yang dimiliki oleh negara-negara atas kejahatan/pelanggaran yang dilakukan di satu negara tetapi berimbas ke atau diselesaikan di negara lain
  • 13. KEWAJIBAN MENYERAHKAN • Apakah requested state wajib memberikan orang yang diminta kepada requesting state? – Grotius mengatakan bahwa “wajib hukumnya bagi negara untuk menyerahkan orang yang berlindung di negaranya kepada negara, tempat ia melakukan kejahatan” – Pendapat ini dipengaruhi oleh teori hukum alam bahwa “tiada seorangpun yang boleh lolos dari hukum atau hukuman”  konsep keadilan – Adagium “aut punire aut dedere”  either you punish or you extradite
  • 14. TIDAK WAJIB MENYERAHKAN • Menyerahkan orang yang melakukan kejahatan tidak wajib, sebelum ada permintaan dari negara yang meminta • Pendapat ini lebih banyak diikuti oleh negara- negara saat ini sehingga negara tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan orang sebelum ada permintaan – Beberapa negara mensyaratkan adanya perjanjian ekstradisi sebelum menyerahkan pelaku kejahatan/pelanggaran kepada negara peminta  Singapura – Indonesia
  • 15. CONTOH-CONTOH PERJANJIAN EKSTRADISI • Bilateral – Indonesia – Australia 1994 disahkan oleh Presiden RI melalui UU Nomor 8 Tahun 1994 • Multilateral/regional – Perjanjian ekstradisi Liga Arab 1952 – Konvensi ekstradisi negara-negara Eropa 1957 – Konvensi ekstradisi antara Belgia, Belanda dan Luksemburg 1962
  • 16. KETENTUAN-KETENTUAN YANG DIATUR DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI • Ada dua hal penting terkait dengan substansi perjanjian ekstradisi, yaitu: – Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi yang merupakan peraturan yang berdiri sendiri  dalam artian bahwa pokok permasalahan diatur secara tegas dan jelas di dalam perjanjian ekstradisi tersebut – Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi bersifat menunjuk  pengaturannya ditentukan oleh hukum nasional masing-masing negara • Contoh: di Australia, orang yang diminta, terlebih dahulu harus disetujui oleh pengadilan setempat  Hendra Rahardja di Pengadilan Australia tidak bersedia diekstradisi dengan alasan bahwa orang/Pemerintah Indonesia rasial terhadap orang Tionghoa
  • 17. UU NASIONAL UNTUK EKSTRADISI • Pembentukan UU nasional untuk permasalahan ekstradisi ini lebih ditekankan pada prosedur atau tata cara dalam permintaan atau penyerahan orang yang diminta atau diserahkan • UU nasional ini juga biasanya memuat ketentuan adanya larangan untuk menyerahkan seseorang kepada negara lain jika tidak memiliki perjanjian ekstradisi dan/atau jika berkaitan dengan warganegara sendiri • Indonesia memiliki UU Ekstradisi Nomor 1 Tahun 1979
  • 18. PENYERAHAN BERDASARKAN ASAS TIMBAL BALIK • Jika negara tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara lain, dapat pula negara tersebut menyerahkan pelaku kejahatan/pelanggaran yang masuk ke wilayahnya kepada negara yang meminta dengan alasan timbal balik • Indonesia sendiri mengakui asas timbal balik ini, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1979 yang menyatakan “Dalam hal belum ada perjanjian tersebut pada ayat 1, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik dan jika kepentingan Indonesia menghendaki”
  • 19. EFEK DARI PASAL 2 AYAT 2 UU NOMOR 1 TAHUN 1979 • Efek internal  kondisi ini memberikan peringatan kepada setiap orang yang berada di wilayah NKRI, bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan/pelanggaran di mana kejahatan/pelanggaran tersebut berlaku juga jurisdiksi negara lain, maka mereka dapat diserahkan meski tanpa adanya perjanjian ekstradisi • Efek eksternal  kondisi ini ditujukan kepada negara-negara lain yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, tetap dapat saling menyerahkan orang yang diminta secara timbal balik
  • 20. ASAS-ASAS DALAM EKSTRADISI • Double criminality atau kejahatan ganda • Speciality atau kekhususan • Tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik • Tidak menyerahkan warga negara sendiri • Non bis in idem • Kadaluarsa
  • 21. DOUBLE CRIMINALITY • Suatu tindakan mungkin merupakan kejahatan/pelanggaran menurut sistem hukum negara tertentu – Orang yang memiliki disorientasi seksual (gay/lesbian) dianggap pelanggaran hukum serius di Arab Saudi • Tetapi menurut negara lain, tindakan tersebut bukan merupakan pelanggaran – Negara-negara barat menghargai orang-orang yang memiliki disorientasi seksual (gay/lesbian) • Perbedaan penilaian dalam hal ini, akan mempengaruhi proses atau tindakan hukum – Karikatur Nabi Muhammad yang dilakukan oleh seniman Denmark, yang mana menurut Iran itu adalah pelecehan agama Islam, tetapi di Denmark itu adalah kebebasan berekspresi. Wajibkah Denmark mengekstradisi seniman tersebut yang memandang perbuatannya bukan merupakan pelecehan agama Islam, tetapi kebebasan ekspresi, kepada Iran yang memandang itu sebagai pelecehan terhadap agama Islam?
  • 22. • Syarat ekstradisi adalah kejahatan/pelanggaran yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan atas diri pelaku oleh requesting state adalah tindakan yang menurut requested state merupakan juga kejahatan/pelanggaran • Requesting dan requested states sama-sama memandang bahwa perbuatan yang dilakukan adalah kejahatan/pelanggaran menurut sistem hukum yang berlaku di kedua negara tersebut • Untuk double criminality, tidak harus namanya sama, bahkan elemen atau unsur pidananya juga tidak harus sama – Kasus pemalsuan uang, tanpa harus memiliki unsur- unsur yang sama, tindakan memalsukan uang merupakan pelanggaran hukum di Indonesia dan Filipina
  • 23. KASUS COLLINS v. LOISEL 1922 • Pengadilan Amerika Serikat menyatakan secara tegas bahwa hukum tidak mengharuskan kesamaan dalam hal nama dari kejahatan yang diatur dalam hukum nasional di negara-negara atau ruang lingkupnya...sudah cukup jika suatu perbuatan tertentu yang dituduhkan itu merupakan kejahatan/pelanggaran menurut sistem hukum kedua negara
  • 24. SISTEM HUKUM NEGARA-NEGARA • Ada beberapa sistem hukum yang dikenal di dunia, yaitu: – Common law system – Civil law system – Syariah law system • Pemahaman terhadap suatu kejahatan/pelanggaran sangat dipengaruhi tradisi dan sistem hukum yang dianut oleh negara-negara – Indonesia  anti PKI – Belanda  anti NAZI – Iran  tidak puasa atau sholat merupakan pelanggaran hukum
  • 25. ASAS DOUBLE CRIMINALITY DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI • Kejahatan/pelanggaran yang menjadi dasar permintaan atau penyerahan seseorang harus ditulis secara jelas dan tegas pada perjanjian ekstradisi • Hanya kejahatan yang tertulis secara jelas dan tegas yang dapat dijadikan alasan untuk mengajukan ekstradisi • Apakah ada kejahatan/pelanggaran yang masuk kategori double criminality tetapi tetap tidak dapat diekstradisi? – Ada, hal ini disebabkan kriteria kejahatan/pelanggaran tersebut tidak dimasukkan ke dalam perjanjian ekstradisi
  • 26. SISTEM DALAM MENENTUKAN JENIS KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN • Sistem tanpa daftar atau eliminative system • Sistem daftar atau list system atau enumerative system
  • 27. SISTEM TANPA DAFTAR ATAU ELIMINATIVE SYSTEM • Sistem ini mengatur bahwa jenis kejahatan/pelanggaran yang dapat dimintakan ekstradisi adalah kejahatan/pelanggaran yang ancaman pidananya dalam batas minimum tertentu atau lebih dari batas minimum tersebut, menurut sistem hukum kedua negara – Perjanjian ekstradisi Italia – Panama 1930  batas ancaman sanksi pidananya 2 tahun – Perjanjian ekstradisi Afrika Selatan – Rhodesia (Zimbabwe) 1962  batas ancaman sanksi pidana 6 bulan
  • 28. • Keuntungan sistem ini adalah lebih fleksibel karena hanya melihat ancaman sanksi pidana dari kejahatan/pelanggaran yang dilakukan • Sistem ini juga lebih mudah mengikuti perkembangan yang terjadi di negara-negara, sehingga jenis kejahatan/pelanggaran baru dapat secara langsung dimintakan ekstradisi asalkan batas ancaman hukuman pidananya memenuhi syarat • Kelemahannya adalah hanya terlalu luas dalam konteks jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan • Ada kemungkinan tiap-tiap negara memiliki penilaian yang berbeda terhadap suatu kejahatan/pelanggaran, sehingga meskipun ada kejahatan/pelanggaran yang dilakukan yang diakui di kedua negara tetapi karena penilaiannya berbeda maka ancaman hukumannya pun berbeda sehingga menyebabkan tidak dapatnya dilakukan ekstradisi
  • 29. • Sistem tanpa daftar ini lebih pas diterapkan pada negara-negara yang memiliki tradisi hukum atau sistem hukum dan ideologi yang sama, semisal: Uni Eropa, komunis, syariah/islam (kasus ulama Saudi yang lari ke Malaysia, akhirnya diekstradisi oleh Malaysia • Penentuan batas minimum ancaman pidana hanya dapat diukur untuk kejahatan/pelanggaran yang dihukum penjara atau denda, untuk hukuman cambuk, potong tangan, atau siksaan fisik lainnya akan menjadi sulit ditentukan
  • 30. SISTEM DAFTAR ATAU LIST SYSTEM ATAU ENUMERATIVE SYSTEM • Dalam sistem ini, penentuan dapat atau tidaknya suatu kejahatan/pelanggaran diekstradisikan ditentukan dalam satu pasal atau lampiran dalam perjanjian ekstradisi • Kejahatan/pelanggaran yang tidak masuk dalam daftar berarti kejahatan/pelanggaran tersebut tidak dapat diekstradisikan – Indonesia – Australia 1994 ada 33 jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia
  • 31. • Keunggulan sistem daftar ini mungkin adalah memberikan kepastian hukum kepada para pihak, baik yang meminta dan yang diminta • Namun, kekurangannya adalah kaku, apalagi jika muncul jenis kejahatan baru yang tidak tercantum dalam daftar kejahatan tersebut, seperti kejahatan/pelanggaran yang menggunakan kecanggihan teknologi, yang mana kejahatan/pelanggaran seperti itu belum dimasukkan ke dalam peraturan perunadang- undangan di kedua negara atau hanya salah satu negara
  • 32. SISTEM LAIN SELAIN KEDUA SISTEM TERSEBUT • Sistem tanpa penentuan batas ancaman pidana minimum – Kejahatan yang dapat dimintakan ekstradisi atau menjadi dasar dimintakan ekstradisi adalah kejahatan apa saja yang mana di kedua negara tersebut tindakan yang dilakukan adalah merupakan tindak pidana/pelanggaran • Sistem kombinasi – Dalam sistem ini ada kombinasi, disamping diperinci secara tegas dan jelas dalam perjanjian ekstradisi, juga batas minimum ancaman pidananya, untuk dijadikan dasar permintaan ekstradisi
  • 33. SISTEM KOMBINASI PADA INDONESIA – FILIPINA 1976 • Dalam pasal II A ditegaskan bahwa: “orang- orang yang diserahkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan perjanjian ini adalah mereka yang didakwa, dituntut, atau dihukum karena melakukan salah satu kejahatan/pelanggaran yang tersebut di bawah ini, dengan ketentuan bahwa kejahatan/pelanggaran tersebut menurut hukum kedua pihak dapat dihukum dengan hukuman mati atau perampasan kemerdekaan dengan jangka waktu di atas 1 tahun...”
  • 34. CONTOH KASUS • Pencurian yang diatur dalam KUHP Pasal 362 s.d 367, di mana Pasal 364 tentang pencurian ringan diancam hukuman kurungan paling lama (maksimal) 3 bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp.300,-, • Seseorang melakukan pencurian ringan di Filipina kemudian lari ke Indonesia, selanjutnya Filipina mengajukan permintaan ekstradisi kepada Indonesia, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah: – Double criminality?  iya – Pencurian, termasuk kategori pencurian yang mana? Jika kategorinya masuk pada pasal 362 tentang pencurian biasa (maksimal 5 tahun), pasal 363 tentang curat (maksimal 7 tahun), pasal 365 tentang curas (maksimal 9 tahun), maka permintaan ekstradisi bisa terpenuhi karena di atas 1 tahun – Jika masuk kategori pasal 364 tentang pencurian ringan, maka permintaan ekstradisi tidak dapat dipenuhi karena kurang dari 1 tahun
  • 35. BERPARTISIPASI DALAM KEJAHATAN/PELANGGARAN • Dalam kejahatan/pelanggaran selalu ada pelaku (perpetrator) dan pembantu pelaku (co-perpetrator), apakah perjanjian ekstradisi hanya meminta pelaku ataukah juga pembantu pelaku? • Perjanjian ekstradisi Inggris – AS 1931, Pasal 3 bagian 2 menyatakan: “extradition is also to be granted for participation in any of the aforesaid crimes of offences, provided that such participation be punishable by the laws of both High Contracting Parties.” • Demikian pula, perjanjian ekstradisi Indonesia – Malaysia 1974, Pasal 2 Ayat 2 menyatakan: “crimes provided for in paragraph 1 of this Article including abetment (perbantuan) and attempt to commit such crimes.”
  • 36. • Perjanjian ekstradisi Indonesia – Filipina 1974, Pasal II B menegaskan: “extradition shall also be granted for participation in any of the crimes mentioned in this Article, not only as principals (pelaku utama) or accomplices (pelaku peserta), but also as accessories (pelaku pembantu), as well as for attempt to commit or conspiracy to commit any of the aforementioned crimes, when such participation, attempt or conspiracy is punishable under the laws of both Contracting Parties by deprivation of liberty exceeding one year.”
  • 37. ASAS SPECIALITY ATAU KEKHUSUSAN • Tahap pertama dari ekstradisi, yaitu double criminality telah terpenuhi, maka selanjutnya adalah asas speciality atau kekhususan • Bagaimana jika seseorang melakukan kejahatan/pelanggaran lebih dari satu jenis, seperti pembunuhan, penipuan, pemalsuan mata uang, pencurian dengan kekerasan dan sebagainya? Apakah negara peminta dapat mengajukan ekstradisi untuk semua jenis kejahatan/pelanggaran yang dilakukan? • Ada 2 kemungkinan, yakni: – Pertama, dikabulkan semua – Kedua, dikabulkan hanya sebagian jenis kejahatan/pelanggaran saja
  • 38. APAKAH ASAS SPECIALITY INI EFEKTIF? • Jika negara peminta melanggar, pelaku protes, negara yang diminta juga protes, apakah asas speciality memiliki kekuatan hukum untuk memaksa? – Tampaknya tidak, dan ini merupakan kelemahan dari asas ini, oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dari negara yang diminta sebelum menyerahkan seseorang kepada negara peminta demi menghormati hak asasi dari pelaku pidana tersebut – Ternyata asas kekhususan ini juga boleh disimpangi, artinya negara peminta boleh mengadili atau menghukum orang yang diminta atas kejahatan lain selain kejahatan yang diminta
  • 39. ASAS SPECIALITY DAPAT DIKESAMPINGKAN • Dalam hal: – Jika negara yang diminta menyetujui maksud negara peminta untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan/pelanggaran. Namun demikian, persetujuan tersebut hanya untuk jenis kejahatan/pelanggaran yang dimintakan ekstradisi, jika keinginan mengadili dan menghukum untuk jenis kejahatan/pelanggaran lain yang tidak ada dalam perjanjian ekstradisi, negara yang diminta wajib menolak atau menyatakan keberatan – Apabila pelaku kejahatan sendiri yang menyatakan pesetujuannya untuk diadili dan dihukum atas kejahatan lain selain jenis kejahatan yang menjadi dasar ekstradisi – Negara peminta dapat mengadili dan menghukum jenis kejahatan lain selain yang diminta, jika orang tersebut tidak segera meninggalkan wilayah negara peminta atau ia tidak menggunakan kesempatan tersebut
  • 40. PASAL IX B PERJANJIAN EKSTRADISI INDONESIA – FILIPINA 1974 • Setelah menjalani hukuman di negara peminta, pelaku diberi waktu untuk meninggalkan negara peminta dalam batas waktu maksimal 45 hari terhitung sejak tanggal pembebasan. Jika dalam waktu 45 hari ia tidak meninggalkan negara peminta, maka ia dapat dihukum untuk jenis kejahatan selain yang ada pada perjanjian ekstradisi. • Jika orang tersebut meninggalkan negara peminta dan kemudian ia kembali lagi secara sukarela sebelum atau setelah 45 hari, negara di mana ia berada dapat mengadili kejahatan yang ia lakukan selain dari jenis kejahatan yang dapat diekstradisikan
  • 41. ASAS TIDAK MENYERAHKAN PELAKU KEJAHATAN POLITIK • Kasus Haya de la Torre • Kejahatan politik diatur tersendiri dalam perjanjian ekstradisi dan dikecualikan dari jenis- jenis kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan ekstradisi – Kasus 42 warga Papua di Australia – Kasus warga Timtim di Kedubes AS – Kasus PRD (Partai Rakyat Demokratik) – Lihat: Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol New York 1967 tentang Status Pengungsi
  • 42. ASAS TIDAK MENYERAHKAN WARGANEGARA SENDIRI • Negara diberi kekuasaan untuk tidak menyerahkan warganegaranya sendiri yang dituduh melakukan kejahatan/pelanggaran di negara lain • Biasanya klausula ini dicantumkan dalam perjanjian ekstradisi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 UU Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia • Negara-negara yang melarang penyerahan warganegaranya sendiri kepada negara lain selain Indonesia, yaitu: Perancis, Jerman, Rusia, Austria, China, Taiwan dan Jepang
  • 43. ASAS NE BIS IN IDEM (DOUBLE JEOPARDY) • Dalam hukum pidana asas ini sangat dikenal di mana seseorang tidak dapat diadili dan dihukum lebih dari satu kali untuk kejahatan yang sama • Asas ini berusaha untuk menjamin hak asasi dari pelaku kejahatan/pelanggara agar tidak dihukum dua kali untuk kejahatan yang sama • Dalam setiap perjanjian ekstradisi, asas ini selalu dicantumkan, sebagaimana dalam Pasal 6 UU Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia
  • 44. ASAS KADALUARSA • Kadaluarsa dikenal juga dengan lewat waktu (lapse of time) dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak • Ketentuan kadaluarsa suatu kejahatan/pelanggaran di tiap-tiap negara berbeda-beda • Asas ini selalu dicantumkan dalam perjanjian ekstradisi, seperti dalam UU Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia, pada Pasal 9 Ayat 1(a) terkait dengan pengecualian atas ekstradisi
  • 45. HAL-HAL LAIN YANG MENGHALANGI PROSES EKSTRADISI • Kemungkinan menghadapi bentuk-bentuk hukuman tertentu, seperti hukuman mati atau hukuman badan yang sifatnya menyiksa • Untuk hukuman mati, negara-negara seperti Australia, Kanada, Makau dan hampir semua negara di Eropa akan menolak untuk mengabulkan permintaan ekstradisi • Untuk hukuman badan yang sifatnya menyiksa, hampir semua negara akan menolak permintaan ekstradisi jika risiko yang dihadapi pelaku kejahatan/pelanggaran adalah hukuman yang bersifat menyiksa – Kasus Soering v. UK, Pengadilan HAM Eropa memutus bahwa Inggris akan melanggar Pasal 3 Konvensi Eropa tentang HAM jika mengekstradisi Soering ke Amerika Serikat jika hukuman yang dihadapi adalah hukuman mati
  • 46. KEJAHATAN POLITIK • Konsep awal adalah aut dedere aut punire (either you extradite or you punish) karena pelaku kejahatan/pelanggaran wajib dihukum untuk menghindari kesan adanya impunity • 1815, Sir James Mackintosh mencetuskan ide bahwa tidak benar suatu negara menyerahkan pelaku kejahatan politik kepada negara yang meminta, seharusnyalah negara tersebut memberikan suaka politik • Perancis dan Belgia menjadi negara pelopor untuk tidak menyerahkan pelaku kejahatan/pelanggaran politik kepada negara peminta, dan hal tersebut dicantumkan dalam setiap perjanjian ekstradisi
  • 47. • Yang dimaksud dengan kejahatan politik pada saat itu adalah menentang pemerintah yang sah atau yang sedang berkuasa • Pertimbangan untuk tidak memberikan pelaku kejahatan politik adalah perlindungan HAM untuk seseorang atau kelompok yang memiliki pandangan politik berbeda
  • 48. PRAKTIK NEGARA-NEGARA TERKAIT DENGAN KEJAHATAN POLITIK • INGGRIS – J.S. Mill mendefinisikan kejahatan politik sebagai ‘a crime which was conducted with the relation on the civil war and other political commotion’ – Hakim Stephen menjelaskan bahwa ‘kejahatan politik dilakukan dalam hubungannya dengan atau sebagai bagian dari huru hara politik’ – Kasus Castioni 1891 antara Inggris dan Swiss, di mana Inggris menolak untuk menyerahkan Castioni ke Swiss – Kasus Meunir, Hakim Cave mendefinisikan bahwa ‘suatu kejahatan dianggap sebagai kejahatan politik apabila dalam suatu negara terdapat dua pihak atau lebih di mana pihak yang satu berusaha memaksakan kehendaknya kepada pihak lain, seperti pemberontak – Akhirnya Inggris menyerahkan Meunir kepada Perancis karena kejahatan yang dilakukan oleh Meunir bukan kejahatan politik, karena ia melakukan seorang diri
  • 49. – Kasus Polish Seaman, 1955, di mana 7 orang pelaut memaksa kapten kapal untuk berlayar ke Inggris untuk mencari suaka karena mereka tidak suka dengan pemerintah Polandia yang baru – Polandia meminta ekstradisi kepada Inggris karena 7 orang pelaut tersebut dianggap telah melakukan pembajakan kapal – Jika mengikuti kasus Meunir, Inggris wajib menyerahkan mereka, karena tidak ada dua pihak yang saling memaksakan kehendaknya, namun pengadilan Inggris tampaknya telah memiliki prasangka yang buruk terhadap Polandia, sehingga interpretasi kejahatan politik diperluas dengan menghubungkan situasi dan kondisi politik di suatu negara atau politik dunia, dan Polandia berada di blok Timur, sedangkan Inggris di blok Barat. – Akhirnya, pengadilan memutuskan untuk menolak permintaan ekstradisi Polandia atas 7 pelautnya karena ke 7 orang tersebut dianggap sebagai kelompok politik yang sedang memberontak pada kelompok politik lain
  • 50. • AMERIKA SERIKAT – Rumusan kejahatan politik di AS kurang lebih sama dengan yang ada di Inggris. – Dalam sejarah ekstradisi AS, Pemerintah AS pernah menolak permintaan Kuba untuk mengekstradisi anggota revolusioner Kuba yang dituduh melakukan pembunuhan pada masa rejim Baptista – Pemerintah AS juga menolak permintaan Yugoslavia untuk mengekstradisi dua bekas pejabatnya yang mencari perlindungan ke AS – 1963, Pemerintah AS mengabulkan permintaan Venezuela untuk mengekstradisi Jimenez, mantan Presiden Venezuela yang digulingkan dengan dasar bahwa Jimenez melakukan korupsi – Dalam proses ekstradisi, AS meminta jaminan kepada pemerintah baru Venezuela untuk diadili atas kasus-kasus korupsi saja, bukan kejahatan politik
  • 51. • Kasus Syah Iran yang meminta perlindungan kepada AS setelah digulingkan oleh revolusioner Iran pimpinan Ayatulah Khomeini, pemerintah baru Iran tidak mengajukan ekstradisi kepada AS karena situasi kedua negara pada saat itu sangat tegang setelah penyerangan kantor Kedubes AS di Teheran, Iran • Namun, ketika Syah Iran meninggalkan AS dan menetap di Panama, Iran mengajukan permohonan ekstradisi, namun sehari sebelum permintaan ekstradisi diajukan, Syah Iran meninggalkan Panama dan menetap di Mesir sampai meninggal pada tahun 1980 • Sebenarnya, ada hal yang bisa dilakukan oleh Iran agar Syah Iran tidak meninggalkan Panama, yaitu dengan meminta penahanan sementara sampai permohonan ekstradisi disampaikan, namun hal itu tidak dilakukan. Selain itu, permohonan penahanan sementara itupun belum tentu dikabulkan oleh Panama
  • 52. • Eropa Kontinental – Dewan Eropa membuat konvensi tentang ekstradisi pada tahun 1957 – Pasal 3 ayat 1 mengatur “extradition shall not be granted if the oofence in respect of which it is requested is regarded by the requested party as a political offence or as an offence connected with a political offence” – Pasal 3 ayat 2 mengatur “the same rule shall apply if the requested party has substantial grounds for believing that a request for extradition for an aordinary criminal offence has been made for the purpose of prosecuting or punishing a person on account of his race, religion, nationality or political opinion, or that person’s position may be prejudiced for any of these reasons”
  • 53. – Dari pasal tersebut, dapat diklasifikasikan jenis kejahatan/pelanggarannya, yaitu: kejahatan politik murni, kejahatan politik yang kompleks dan kejahatan politik bertautan – Kejahatan politik murni adalah kejahatan yang semata-mata ditujukan pada ketertiban politik suatu negara  pembajakan pesawat – Kejahatan politik kompleks adalah kejahatan yang ditujukan untuk ketertiban politik, juga ditujukan pada hak-hak warganegara – Kejahatan politik bertautan adalah kejahatan yang tidak ditujukan pada ketertiban politik, tetapi memiliki hubungan erat dengan suatu tindakan yang ditujukan pada ketertiban politik  penipuan untuk mendapatkan dokumen/surat yang selanjutnya digunakan untuk kegiatan subversif
  • 54. – Pengadilan Swiss menggunakan teori preponderance untuk menganalisis kejahatan politik bertautan ini dengan mempertimbangkan kadar dari kejahatan/pelanggaran politik yang menjadi dasar ekstradisi  jika pengadilan menilai unsur kejahatan biasa lebih dominan daripada kejahatan politik atau sebaliknya, maka itu digunakan dasar untuk mengabulkan atau menolak ekstradisi  secara teori ini mudah dibicarakan, namun dalam praktik tetap sulit karena pengadilan juga akan melihat negara yang meminta penyerahan tersebut  Kasus Tan Tjong Hoa antara Indonesia dengan Austria, 1968, TTH adalah WNI yang melarikan diri ke Austria karena kasus penggelapan, Indonesia mengajukan ekstradisi berdasarkan asas timbal balik karena belum memiliki perjanjian ekstradisi. Meskipun awalnya menyetujui tetapi akhirnya Austria menolak dengan alasan bahwa TTH adalah pejahat politik karena dikaitkan dengan ras, dan menurut Austria, di Indonesia ada diskriminasi sosial
  • 55. KLAUSULA ATTENTAT • Ada satu jenis kejahatan yang secara jelas adalah kejahatan politik tetapi tidak dianggap sebagai kejahatan politik, dengan kata lain, sifat politiknya dihapus, yaitu kejahatan menghilangkan atau percobaan menghilangkan nyawa kepala negara dan/atau anggota keluarganya • Belgia adalah negara yang pertama kali mencantumkan klausula ini dalam UU ekstradisi tahun 1856  Ini diawali adanya percobaan pembunuhan kepada Kaisar Napoleon III tahun 1854, oleh dua warganegara Perancis yang bermukim di Belgia, dengan cara memasang bom di lintasan rel antara Lille dan Calais. Bom meledak tetapi tidak menewaskan Napoleon dan keluarganya. Perancis meminta ekstradisi tetapi karena ini adalah kejahatan politik maka Belgia menolak karena dilarang oleh UU ekstradisi Belgia dan perjanjian ekstradisi antaran Belgia dan Perancis. Agar hal tersebut tidak terulang lagi, kemudian Belgia merevisi UU ekstradisinya, dengan memasukkan klausula Attentat tersebut
  • 56. KEJAHATAN YANG DIANCAM HUKUMAN MATI • Ancaman hukuman dalam ekstradisi – Permasalahan yang mungkin timbul dalam ekstradisi terkait dengan ancaman hukuman adalah di negara peminta, tindakan pelaku diancam hukuman mati, sedang di negara yang diminta, ancaman hukuman bukan hukuman mati – Di beberapa negara hukuman mati telah dilarang karena dianggap tidak menghargai hak asasi manusia, seperti Inggris, Belanda, Swedia, Portugal, Jerman Barat dan lainnya – Jika negara peminta masih menerapkan hukuman mati, sedangkan negara yang diminta telah menghapus hukuman mati, maka kemungkinan besar permintaan ekstradisi akan ditolak.
  • 57. PENGATURAN KEJAHATAN YANG DIANCAM HUKUMAN MATI DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI • Pengaturan seperti ini juga diatur dalam perjanjian ekstradisi, namu berbeda satu perjanjian dengan yang lain. Perbedaan tersebut biasanya terletak pada penekanan kata/kalimat – Ada penekanan pada negara yang diminta untuk menolak ekstradisi jika diancam dengan hukuman mati – Ada penekanan pada negara peminta untuk tidak menjatuhkan hukum mati kepada pelaku jika ekstradisi dikabulkan
  • 58. PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA AUSTRIA DAN ISRAEL 1961 • Pasal 9 ayat 1 mengatur bahwa “if the offence for which extradition os granted is punishable by death under the laws of the requesting state, but it is not punishable by death under the laws of the requested state, the requesting state shall not pronounce of execute the death sentence.”
  • 59. PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA INDONESIA DAN FILIPINA 1976 • Pasal X mengatur bahwa “if the crime for which extradition is requested is punishable by death under the law of the requesting party, and if in respect of such crime the death penalty is not provided for by the law of the requested party or is not normally carried out, extradition may be refused unless the requesting party gives such assurance as the requested party consider sufficient that the death penalty no be carried out.”
  • 60. KEWARGANEGARAAN PELAKU KEJAHATAN DALAM EKSTRADISI • 5 Kemungkinan: – Orang yang diminta adalah warganegara dari negara peminta; – Orang yang diminta adalah bukan warganegara dari negara peminta; – Orang yang diminta memiliki dwi kewarganegaraan – Orang yang diminta tidak memiliki kewarganegaraan – Orang yang diminta adalah warganegara dari negara ketiga • Pada umumnya, setiap perjanjian ekstradisi akan memuat ketentuan yang mengatur tentang penyerahan warganegara
  • 61. KASUS NEDECKER 1936 • AS menolak permintaan ekstradisi dari Perancis setelah mengetahui bahwa Nedecker adalah warganegara AS. Oleh Supreme Court AS, penolakan tersebut didasarkan pada perjanjian ekstradisi antara AS dengan Perancis pada 6 januari 1909, di mana kedua negara tidak wajib menyerahkan warganegaranya
  • 62. APA YANG DIMAKSUD DENGAN KEWARGANEGARAAN? • Ada dua hal penting yang muncul di sini, yaitu: – Kewarganegaraan pada saat melakukan kejahatan, ataukah – Kewarganegaraan pada saat diterimanya permintaan ekstradisi dari negara peminta • Pertanyaan di atas menjadi penting karena ada kemungkinan selama berada di negara yang diminta, pelaku kejahatan mengganti kewarganegaraan untuk kepentingan pribadi
  • 63. • Jika penentuan kewarganegaraan pada saat kejahatan dilakukan dan pelaku adalah warganegara dari negara ketiga, maka ia tidak menarik keuntungan apapun jika ia merubah kewarganegaraannya • Jika penentuan kewarganegaraannya pada saat permintaan ekstradisi, maka pelaku dapat mengambil keuntungan dengan menyatakan bahwa negara yang diminta tidak dapat mengekstradisi warganegaranya sendiri
  • 64. TIDAK MENYERAHKAN WARGANEGARANYA: LARANGAN MUTLAK ATAU KEBIJAKSANAAN • Diskusikan dengan teman saudara!
  • 67. DASAR HUKUM • UU NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI • Pasal 1: – Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam jurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.
  • 68. UNSUR-UNSUR DALAM EKSTRADISI • UNSUR SUBYEKTIF  Negara yang meminta dan negara yang diminta • UNSUR OBYEKTIF  Pelaku perbuatan pidana yang dapat dimintai ekstradisi (tersangka, terdakwa atau terpidana) • UNSUR PROSEDUR ATAU TATA CARA  Tata cara dalam hal pelaksanaan proses ekstradisi • UNSUR TUJUAN  Menghukum pelaku perbuatan pidana
  • 69. PRINSIP-PRINSIP UMUM EKSTRADISI DI INDONESIA • Pasal 2: – Berdasarkan perjanjian internasional, yang mana Indonesia dan negara yang meminta menjadi negara pihak • UN Convention against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988, diratifikasi oleh Pemri melalui UU Nomor 7 Tahun 1997 • UN Convention against TOC, 2000, diratifikasi oleh Pemri melalui UU Nomor 5 Tahun 2009 • UNCAC, 2003, diratifikasi oleh Pemri melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 – Tanpa perjanjian internasional  dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip timbal balik
  • 70. INDONESIA MENGGUNAKAN SISTEM DAFTAR • Pasal 4: 1. Ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan yang tersebut dalam daftar kejahatan terlampir sebagai suatu naskah yang tidak terpisahkan dari UU ini. 2. Ekstradisi dapat juga dilakukan atas kebijaksanaan dari negara yang diminta terhadap kejahatan lain yang tidak disebut dalam daftar kejahatan 3. ...
  • 71. • Pasal 5  Kejahatan Politik • Pasal 10  Telah diputus oleh pengadilan di Indonesia dan memiliki kekuatan hukum tetap • Pasal 11  Telah diadili dan dibebaskan atau telah selesai menjalani pidananya di negara lain mengenai kejahatan yang dimintakan ekstradisi • Pasal 12  Kadaluarsa (lihat: KUHAP) • Pasal 14  Ada keyakinan bahwa orang yang dimintakan ekstradisi akan dipersekusi berdasarkan SARA • Pasal 16  Orang yang dimintakan ekstradisi akan diserahkan kepada negara ketiga PENOLAKAN PERMINTAAN EKSTRADISI (WAJIB)
  • 72. PENOLAKAN PERMINTAAN EKSTRADISI (DISKRESI) • Pasal 6  Kejahatan menurut pidana militer tetapi bukan kejahatan menurut pidana umum • Pasal 7  Warganegara Indonesia • Pasal 8  Locus delicti-nya seluruh atau sebagian berada di wilayah NKRI • Pasal 9  Orang yang diminta sedang diproses hukum di Indonesia untuk kejahatan yang sama • Pasal 13  Kejahatan yang dilakukan diancam hukuman mati • Pasal 15  Orang yang diminta sedang ditahan dan akan dituntut dan dipidana atas kejahatan lain di Indonesia, kecuali ada ijin Presiden
  • 73. SYARAT-SYARAT PENAHANAN (ARREST WARRANT) • Negara peminta harus mengeluarkan surat perintah penangkapan sesuai dengan identitas orang yang akan dimintakan ekstradisi, termasuk perbuatan pidana yang telah dilakukan dan peraturan hukum yang dilanggar oleh orang yang bersangkutan, kemudian diserahkan kepada Pemerintah Indonesia, c.q. Kapolri dan Jaksa Agung
  • 74. PEMERIKSAAN DI PENGADILAN • Pemeriksaan di pengadilan penting untuk menjamin due process of law dan hak-hak dari orang yang dimintakan ekstradisi • Pengadilan akan melakukan cross-examination terhadap pelaku, perbuatan pidana yang dilakukan dan substansi dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh Pemri • Pengadilan selanjutnya menetapkan apakah orang yang bersangkutan dapat diekstradisi atau tidak.
  • 75. KEPUTUSAN PERMINTAAN EKSTRADISI • Pasal 36: – Penetapan pengadilan akan disampaikan kepada Presiden oleh Menkumham dilampiri dengan pertimbangan-pertimbangan dari Menkumham, Menlu, Jaksa Agung dan Kapolri – Presiden dapat memutuskan apakah orang yang bersangkutan dapat atau tidak diekstradisi