Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas evaluasi kewenangan dan hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif di beberapa daerah di Kalimantan berdasarkan landasan teori dan temuan di lapangan mengenai pola hubungan, penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan dimensi kekuasaan serta hubungan.
3. Latar Belakang (2) UUD’45 sblm amandemen “tidak diatur pemisahan scr tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif” UUD’45 stlh amandemen “prinsip hubungan check and balances antar lembaga negara dianggap sbg sesuatu yang sgt pokok” Sumber: Jimly Asshidiqie, 2005
5. Kondisi saat ini Bagaimana dengan Kalimantan ? Sumber: Sadu Wasistiono, 2002
6. Untuk itulah PKP2A III LAN melakukan suatu kajian khususnya di Kalimantan, melihat implementasi kewenangan & hubungan kerja Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif), dengan judul “Kajian Evaluasi Kewenangan dan Peningkatan Hubungan Kerja Antara Eksekutif dan Legislatif”. Gambar: arsip Tri Widodo. W. U.
16. Landasan Teori (1) Menurut Ichlasul Amal (2000), Pola hubungan eksekutif-legislatif terbagi dalam 3 (tiga) pola hubungan, yaitu: dominasi eksekutif (executive heavy), dominasi legislatif (legislative heavy) dan hubungan yang seimbang (check and balances). Terciptanya keseimbangan antara kedua lembaga tersebut sangat tergantung pada sistem politik yang dibangun. Semakin demokratis sistem politik itu, maka hubungannya akan semakin seimbang.
17. Landasan Teori (2) A.M. Munir (2009), menyatakan bahwa untuk mencapai kondisi ideal maka hubungan yang dibangun antara eksekutif dan legislatif daerah harus terbangun pada pola hubungan searah positif. Dalam membangun pola hubungan ini, keduanya tidak semata-mata didasarkan atas sistem atau perundang-undangan yang berlaku, tetapi juga didasarkan pada konsensus-konsensus etis dan nilai-nilai budaya lokal. Selanjutnya untuk menjamin terbangunnya pola searah positif, maka ruang publik (public sphere) harus terbangun secara luas. Public sphere akan memberikan ruang yang cukup bagi interaksi antara Pemerintah Daerah dan DPRD serta interaksi antara masyarakat dengan Pemerintah Daerah dan DPRD dalam menggunakan fungsi kontrol terhadap kinerja Pemerintah Daerah dan DPRD.
18. Landasan Teori (3) Siti Nurbaya (2002), mengatakan bahwa untuk mewujudkan hubungan eksekutif-legislatif yang harmonis idealnya dikembangkan pola hubungan yang realistik dalam bentuk: komunikasi, tukar menukar informasi, kerja sama antara beberapa subyek, program, masalah dan pengembangan regulasi serta klarifikasi atas berbagai permasalahannya.
19. Landasan Teori (4) Goldhaber (dalam Arni Muhammad, 2005), membuat 7 (tujuh) konsep kunci komunikasi organisasi yang bisa diterapkan dalam melakukan komunikasi politik eksekutif-legislatif, yaitu: Proses:Suatu organisasi adalah suatu sistem terbuka yang dinamis yang menciptakan dan saling menukar pesan diantara anggotanya. Karena adanya gejala menciptakan dan menukar informasi ini berjalan terus-menerus dan tidak ada henti-hentinya maka dikatakan sebagai suatu proses. Pesan:Pesan disini diartikan sebagai susunan simbol yang penuh arti tentang orang, objek, kejadian yang dihasilkan oleh interaksi dengan orang. Jaringan:Organisasi terdiri dari satu seri orang yang tiap-tiapnya menduduki posisi atau peranan tertentu. Ciptaan dan pertukaran pesan dari orang-orang ini sesamanya terjadi melewati suatu set jalan kecil yang dinamakan jaringan komunikasi. Suatu jaringan komunikasi ini mungkin mencakup hanya dua orang, beberapa orang atau keseluruhan orang dalam organisasi. Hakikat dan luas dari jaringan ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: hubungan peranan, arah dan arus pesan, hakikat seri dari arus pesan, dan isi dari pesan. Saling tergantung:Konsep kunci komunikasi ini merupakan keadaan saling tergantung satu sama lain. Hal ini telah menjadi sifat dari suatu organisasi yang merupakan suatu sistem terbuka. Bila suatu bagian dari organisasi mengalami gangguan maka akan berpengaruh kepada bagian lainnya dan mungkin berpengaruh langsung terhadap sistem dalam organisasi. Hubungan:Karena organisasi merupakan suatu sistem terbuka maka berfungsinya bagian-bagian itu terletak pada tangan manusia. Dengan kata lain jaringan melalui mana jalannya pesan dalam suatu organisasi dihubungkan oleh manusia. Oleh karena itu hubungan manusia dalam organisasi yang memfokuskan kepada tingkah laku komunikasi dari orang yang terlibat didalamnya perlu dipelajari. Lingkungan:Yang dimaksud dengan lingkungan adalah semua totalitas secara fisik dan faktor sosial yang diperhitungkan dalam pembuatan keputusan mengenai individu dalam suatu sistem. Lingkungan dapat dibedakan dalam lingkungan internal dan eksternal. Ketidakpastian:Ketidakpastian adalah perbedaan informasi yang tersedia dengan informasi yang diharapkan.untuk mengurangi faktor ketidakpastian ini organisasi menciptakan dan menukar pesan diantara anggota, melakukan suatu penelitian, pengembangan kapasitas organisasi, dan menghadapi tugas-tugas yang kompleks dengan integritas yang tinggi. Ketidakpastian juga disebabkan oleh terlalu banyaknya informasi yang diterima dari yang sesungguhnya diperlukan untuk menghadapi lingkungan mereka.
20. Landasan Teori (5) Holfstede, Scollon dan Wong Scollon (dalam Ferry Firdaus, 2000),membagi etika komunikasi interpersonal kedalam 3 (tiga) faktor yang mempengaruhinya, yaitu: Power (P+, P-): Merupakan suatu bentuk komunikasi yang asimetris, dimana terdapat satu pihak yang mempunyai posisi lebih tinggi dibanding dengan pihak yang lain. Jadi bentuk hubungannya adalah struktural hirarkhis. Bentuk power (kekuatan), dikatakan (P+) apabila salah satu pihak (pihak I) mempunyai keistimewaan dan tanggung jawab lebih daripada pihak lainnya (pihak II), dan pihak II menganggap bahwa dirinya lebih rendah posisinya dari pihak I. Biasanya ini digambarkan secara jelas didalam struktrur organisasi yang tersusun dalam hirarki-hirarki tertentu. Selanjutnya power akan dikatakan (P-) apabila meskipun terdapat hirarki tertentu namun pada praktiknya kedua belah pihak menganggap bahwa hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada hirarki sama sekali. Mereka bahkan terlihat seperti teman, kolega ataupun nampak sederajat hubungannya. Distance (D+, D-): Distance atau jarak, merupakan bentuk hubungan komunikasi antara pihak-pihak terkait dilihat dari jarak kedekatannya. Pihak-pihak yang berasal dari kelompok (dalam hal ini dari partai politik, suku, daerah,dan lain-lain yang sama) akan mendapat nilai (D-) karena tingkat kedekatan yang tinggi. Sebaliknya pihak-pihak yang berangkat dari afiliasi (partai politik, suku, daerah,dan lain-lain) berbeda, maka akan mendapat nilai (D+). Weight Imposition (W+, W-): Terkait dengan formalitas dari konten pembicaraan masalah yang disampaikan. (W+) akan tercapai apabila kedua pihak akan semakin formal dalam menyikapi suatu permasalahan yang terkait dengan kegiatan-kegiatan resmi daerah. (W-) akan terjadi apabila dalam kerangka formal namun kedua belah pihak menganggap tidak perlu membangun komunikasi yang formal dan terkesan biasa saja (informal)
21. Landasan Teori (6) Dalam hal teknik penyelesaian terhadap konflik Hendriks, W. (1992) membagi dalam 5 (lima) gaya penyelesaian, yaitu: Gaya penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan (integrating):Cara ini dilakukan melalui tukar menukar informasi. Disamping itu kedua belah pihak mempunyai keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima oleh semua kelompok. Cara ini mendorong kreativitas yang bersangkutan. Gaya penyelesaian konflik dengan cara kerelaan untuk membantu (obliging):Cara ini dilakukan melalui dorongan bagi pihak yang berkonflik untuk mencari persamaan-persamaan. Perhatian pada orang/kelompok lain tinggi yang menyebabkan seseorang merasa puas karena keinginannya dipenuhi oleh pihak lainnya, walaupun salah satu pihak harus mengorbankan sesuatu yang penting bagi dirinya. Gaya penyelesaian konflik dengan cara mendominasi (dominating):Dominating menekankan pada kepentingan diri sendiri. Kewajiban sering diabaikan demi kepentingan pribadi atau kelompok dan cenderung meremehkan kepentingan orang lain. Gaya ini dilakukan jika dihadapkan pada konflik yang membutuhkan keputusan cepat sedangkan pihak lain yang terlibat kurang memiliki pengetahuan atau keahlian tentang isu yang sedang menjadi konflik. Gaya penyelesaian konflik dengan cara menghindar (avoiding):Cara ini dilakukan melalui jalan menghindari persoalan. Pihak yang menghindari konflik tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Gaya ini merupakan suatu bentuk penghindaran terhadap tanggungjawab atau mengelak dari suatu konflik. Seseorang yang menggunakan teknik ini akan berusaha lari dari permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya atau meninggalkan pertarungan untuk mendapatkan hasil, meskipun hal itu tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas. Gaya penyelesaian konflik dengan cara kompromi (compromising):Cara ini bisa menjadi efektif bila isu konflik sangat komplek dan kedua belah pihak yang terlibat konflik mempunyai kekuatan yang berimbang. Teknik ini merupakan alternatif yang dapat ditempuh apabila teknik lainnya gagal dan kedua belah pihak dapat mencapai jalan tengah. Para gaya compromising, masing-masing pihak rela memberikan sebagian kepentingannya (win-win solution).
22. Landasan Teori (7) Terdapat 2 (dua) teknik tambahan yang dikemukakan oleh Hardjana A.M (dalam Wahyudi dan H. Akdon, 2005) yaitu: Gaya penyelesaian konflik dengan cara kerjasama (collaborating):Melalui cara ini pihak-pihak yang berkonflik bekerja sama mencari pemecahan masalah yang dapat memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Pengelolaan konflik dengan cara ini merupakan pendekatan menang-menang (win-win approach). Kedua belah pihak mendapatkan apa yang diinginkan tapi tidak penuh dan kehilangan tetapi tidak seluruhnya. Gaya penyelesaian konflik dengan cara menyesuaikan (accomoding):Pendekatan ini dilakukan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik dengan cara salah satu pihak melepaskan atau mengenyampingkan keinginan kelompoknya dan memenuhi keinginan pihak lain. Melalui cara ini, pihak yang satu merelakan kebutuhannya, sehingga pihak yang lain mendapatkan sepenuhnya hal yang diinginkan, atau dikenal dengan nama teknik kalah-menang (lose-win approach).
27. Temuan Pada Lokus Kajian Kabupaten Pontianak Keputusan DPRD Kabupaten Pontianak No. 12 Tahun 2009 ditinjau dari segi penyusunan peraturan adalah SALAH, karena tidak sesuai dengan pasal 344 ayat (2) UU No. 27/2009, bahwa ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPRD Kabupaten/ Kota tentang Tata Tertib.
28. Temuan Pada Lokus Kajian Pola Hubungan Kerja Antara Pemerintah Daerah (Eksekutif) dan DPRD (Legislatif)
29. Temuan Pada Lokus Kajian Cenderung Check & Balances Cenderung Executive Heavy Cenderung saling mendominasi shg sulit untuk Check & Balances Cenderung Legislative Heavy Provinsi Kalimantan Timur Kabupaten Kotawaringin Barat Provinsi Kalimantan Barat Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Selatan Kabupaten Pontianak Dimensi Kekuasaan Provinsi Kalimantan Tengah Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
30. Temuan Pada Lokus Kajian Dimensi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Karikatur: google karikatur, 2010 Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
31. Temuan Pada Lokus Kajian Dimensi Hubungan yang Realistik Provinsi Kalimantan Timur Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
32. Temuan Pada Lokus Kajian Kabupaten PPU Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
33. Temuan Pada Lokus Kajian Provinsi Kalimantan Selatan Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
34. Temuan Pada Lokus Kajian Provinsi Kalimantan Tengah Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
35. Temuan Pada Lokus Kajian Kabupaten pontianak Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
36. Temuan Pada Lokus Kajian Kalteng: Gubernur dianggap mempunyai kompetensi dan jaringan yg luas Semua Lokus Pontianak: indikasi perluasan jaringan pada klausul studi banding ke luar daerah dan luar negeri Mele wati Ini Taha pan Bebe rapa Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
37. Temuan Pada Lokus Kajian Dimensi Etika Komunikasi Interpersonal Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
38. Temuan Pada Lokus Kajian Dimensi Teknik Penyelesaian Konflik Terdapat beberapa teknik penyelesaian konflik yang bisa digunakan, antara lain: Integrating, Obliging, Dominating, Avoiding, Compromissing, Collaborating dan Accomoding. Namun demikian di dapat temuan bahwa, sebagian besar daerah yang menjadi lokus kajian menggunakan 2 (dua) macam pendekatan dalam menyelesaikan konfliknya. Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
39. Temuan Pada Lokus Kajian Sumber: Analisis Kajian PKP2A III LAN, 2010
40. Kesimpulan (1) Secara Normatif: Dari hasil evaluasi tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) di semua lokus kajian, bisa diketahui bahwa semuanya telah mengimplementasikan peraturan perundangan yang terkait dengan tugas dan kewenangan Gubernur/ Bupati/ Walikota dan wakil-wakilnya (eksekutif) serta bagi DPRD (legislatif). Secara Implementatif: Masih terdapat berbagai perbedaan pemahaman dan interpretasi tugas dan kewenangan antara Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif)
41. Kesimpulan (2) Perlunya perhatian bagi daerah agar penamaan aturan seharusnya tidak boleh keliru. Dalam membuat aturan mengenai tata tertib DPRD, di dalam UU No. 27/2009 pasal 344 ayat (2) telah diatur bahwa ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPRDkabupaten/kota tentang tata tertib.
42. Kesimpulan (3) Terdapat 4 (empat) daerah yang telah mengarah kepada kondisi mekanisme check and balances. Daerah-daerah tersebut antara lain: Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Tengah. Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Pontianak, keadaan pemerintahannya adalah, akibat dari dominasi dari eksekutif dalam pengelolaan anggaran executive heavy, sedangkan DPRD merasa keberadaannya tidak bisa berkembang akibat kurang berpihaknya UU No 32/2004. Kabupaten Hulu Sungai Tengah mempunyai kondisi pemerintahan daerah yang legislative heavy, karena campur tangan DPRD sampai kepada hal yang bersifat teknis yg menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Untuk Provinsi Kalimantan Barat, masing-masing lembaga (eksekutif & legislatif) saling mendominasi sehingga cukup sulit dan perlu waktu lebih untuk sampai kepada kondisi check and balances
43. Kesimpulan (4) Pola hubungan konflik: fakta di lapangan menunjukkan terjadi konflik antara Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) di semua daerah yang menjadi lokus kajian. Namun terdapat beberapa daerah yang mengindikasikan kearah pola hubungan searah positif, yaitu: Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan Kabupaten Pontianak. Sedangkan pola hubungan searah negatif tidak terjadi pada semua lokus kajian, yang artinya bahwa Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) tidak sedang membangun hubungan yang mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat sebagai pihak yang seharusnya disejahterakan daerah yang menggunakan teknik kompromi (compromissing) dalam penyelesaian masalahnya adalah Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah dan Provinsi Kalimantan Barat. Sedangkan teknik dominasi (dominating) di pakai oleh daerah-daerah: Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Pontianak.
44. Rekomendasi (1) Dalam rangka menindaklanjuti hasil temuan dari berbagai lokus kajian yang ada, maka dibuatlah suatu rekomendasi sebagai rencana tindak (action plan). Rekomendasi yang bisa diberikan terbagi dalam 2 (dua) bagian, yaitu 1) secara personal Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) dan 2) secara kelembagaan.
45. Rekomendasi (2) Secara personal, perlu adanya peningkatan terhadap kapasitas personal (software). Untuk meningkatkan kapasitas personal legislatif dan eksekutif maka diperlukan banyak pelatihan, baik berupa Bimbingan Teknis (Bimtek), Workshop maupun Diklat yang menunjang efektifitas dan efisiensi kinerja eksekutif dan legislatif. Sehingga yang harus dilakukan adalah melakukan analisis kebutuhan pelatihan (Bimtek, Workshop, Diklat), membuat perencanaan waktu pelaksanaan pelatihan, dan sebisa mungkin yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara bersama, maka pelatihannya dilakukan juga secara bersama (pelatihan terkait anggaran, legal drafting, perencanaan pembangunan daerah, pengawasan penyelenggaraan pemerintahan, SANKRI, Peningkatan Partisipasi Masyarakat, Pelayanan Publik, dll). Ini akan memberikan satu pemahaman dan interpretasi yang sama terhadap hasil (output) pelatihan. Dalam jangka panjang hal ini akan memperkuat secara emosional dan kebersamaan dalam penyelenggaraan pemerintahan agar makin sinergis. Target yang ingin dicapai dari adanya pelatihan ini adalah pemahaman dan kemampuan legislatif dan eksekutif yang makin meningkat dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya, sehingga bisa menghasilkan output dan outcome yang makin nyata (misal: pembahasan dan pengesahan APBD yang berkualitas dan tepat waktu; peningkatan jumlah Perda inisiatif; pelayanan kepada publik yang lebih responsif, transparan dan akuntabel; dll)
46. Rekomendasi (3) Secara kelembagaan, perlu adanya peraturan yang mengatur mengenai pola hubungan kerja dan koordinasi antara eksekutif dan legislatif, seperti yang yang sudah ada di Provinisi Kalimantan Timur (sebagai Best Practice Kajian). Disamping itu juga perlu adanya kode etik (code of conduct) yang mengatur hubungan antara eksekutif dan legislatif agar lebih santun dalam berinteraksi. aturan ini paling tidak mengakomodir konsep pola hubungan yang realistik, terdiri dari tata cara komunikasi formal dan informal, tata cara tukar menukar informasi, tata cara kerja sama antar maupun lintas lembaga, serta aturan mengenai klarifikasi pada saat terjadinya konflik antara eksekutif dan legislatif.
47. Rekomendasi (4) Rekomendasi selanjutnya yang menyangkut hasil kajian adalah konsep pola hubungan kerja eksekutif dan legislatif yang ideal. Penilaian mengenai ideal atau tidak paling adalah relatif, namun paling tidak berdasarkan temuan di lapangan bisa memberikan gambaran seberapa ideal hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif yang terjadi. Perlunya konsep ini adalah untuk memberikan peta dan arah kondisi hubungan kerja yang terjadi saat ini, dan strategi peningkatannya di masa yang akan datang. “Semuanya membutuhkan niat baik, kerjasama, dan komitmen yang tinggi dari Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif) untuk meningkatkan perannya bagi penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik.”